Ke Mana Suara Petani?
/~
123
17
.
@
o Jan
Pikiran Rakyat
o Selasa - o
Senin
4
5
20
0
19
Peb OMar
6
Rabu o Kamis 0 Jumat o Sabtu
. 0 hMi~~g~
-.~~~.
.
21
7
22
OApr
.Mei
8
~3
9
OJun
10
24
11
25
OJul
12
26
13
27
0 Ags OSep
14
15
28
29
OOkt
o
16
30
Nov
0
31
Des
Li
Ke Mana Suara Petani?
Oleh IWAN SETIAWAN
P
ADA masa Orde Bani,
meski hanya terdaftar
tiga partai kontenstan,
tetapi hampir setiap pemilu,
suara petani --yang waktu itu
merupakan konstitue'n terbesar-- terakumulasi pada satu
partai yang berkuasa, Golkar.
Hal itu karena besarnya faktor
pengendalian, mobilisasi, politik pertanian, politik massa
mengambang (floating mass),
dan faktor internal petani (baca: masyarakat perdesaan) sendiri, yang menurut Merton memiliki tingkat kepatuhan (conformity) yang tinggi pada pemimpin yang agung (pembesar).
Sejak reformasi bergulir, peta politik di Indonesia sudah
berbalik, partai beIjubel, pola
pemilu berubah, masyarakat
yang makin cerdas terbuka untuk bersuara, informasi tidak
terkooptasi, dan petani bebas
berorganisasi. Namun, petani
sendiri tetap mengambang, tidak memiliki partai. Pertanyaannya, ke manakah mengalirnya suara petani? Masihkah
suara petani terakumulasi pada
partai yang berkuasa?
Secara politik, meski persentasenya tidak sebesar di mas a
Orba, sebagai konstituen, suara
petani masih tetap diperhitungkan oleh partai politik, caleg,
dan capres/cawapres yang berkompetisi, termasuk dalam Pemilu 2009. Faktanya, hampir
semua partai menjadikan petani dan sektor pertanian (terutama pangan) sebagai isu politik
pada Pemilu 2009. Indikatornya terlihat jelas pada setiap
kampanye, baik dalam dialog
d:;m monolog di lapangan terbuka maupun di media massa
dan elektronik.
.
Ironisnya, mes\
123
17
.
@
o Jan
Pikiran Rakyat
o Selasa - o
Senin
4
5
20
0
19
Peb OMar
6
Rabu o Kamis 0 Jumat o Sabtu
. 0 hMi~~g~
-.~~~.
.
21
7
22
OApr
.Mei
8
~3
9
OJun
10
24
11
25
OJul
12
26
13
27
0 Ags OSep
14
15
28
29
OOkt
o
16
30
Nov
0
31
Des
Li
Ke Mana Suara Petani?
Oleh IWAN SETIAWAN
P
ADA masa Orde Bani,
meski hanya terdaftar
tiga partai kontenstan,
tetapi hampir setiap pemilu,
suara petani --yang waktu itu
merupakan konstitue'n terbesar-- terakumulasi pada satu
partai yang berkuasa, Golkar.
Hal itu karena besarnya faktor
pengendalian, mobilisasi, politik pertanian, politik massa
mengambang (floating mass),
dan faktor internal petani (baca: masyarakat perdesaan) sendiri, yang menurut Merton memiliki tingkat kepatuhan (conformity) yang tinggi pada pemimpin yang agung (pembesar).
Sejak reformasi bergulir, peta politik di Indonesia sudah
berbalik, partai beIjubel, pola
pemilu berubah, masyarakat
yang makin cerdas terbuka untuk bersuara, informasi tidak
terkooptasi, dan petani bebas
berorganisasi. Namun, petani
sendiri tetap mengambang, tidak memiliki partai. Pertanyaannya, ke manakah mengalirnya suara petani? Masihkah
suara petani terakumulasi pada
partai yang berkuasa?
Secara politik, meski persentasenya tidak sebesar di mas a
Orba, sebagai konstituen, suara
petani masih tetap diperhitungkan oleh partai politik, caleg,
dan capres/cawapres yang berkompetisi, termasuk dalam Pemilu 2009. Faktanya, hampir
semua partai menjadikan petani dan sektor pertanian (terutama pangan) sebagai isu politik
pada Pemilu 2009. Indikatornya terlihat jelas pada setiap
kampanye, baik dalam dialog
d:;m monolog di lapangan terbuka maupun di media massa
dan elektronik.
.
Ironisnya, mes\