Ke Mana Arah Perekonomian Indonesia

Ke Mana Arah
Perekonomian Indonesia?
Oleh: Sabiq Carebesth
Sumber : Sinar Harapan Cetak :
http://cetak.shnews.co/web/read/2013-0521/12535/ke.mana.arah.perekonomian.indonesia#.UaL8GnfU
Mtw

Fakta ekonomi global sekarang menunjukkan 50 persen perdagangan global diisi sektor jasa
dan mampu menyerap hingga 60 persen tenaga kerja di seluruh dunia.
Hal yang tentu saja sudah bergeser dari era booming oil pada dekade 70-an ketika negaranegara dengan soviet ekonomi tumbang dan investasi asing pada sumberdaya alam tak
terbarukan, terutama tambang minyak--merajalela sebagaimana tampak pada penguasaan
investasi asing di Indonesia; Cargill, Exxon, BP, Heidelberg Cement, Newmont, Rio Tinto
dan Freeport di Indonesia.
Sektor jasa telah mengisi 52 persen produk domestik bruto (PDB) di negara-negara
berpendapatan menengah. Bahkan, memenuhi hampir 60 persen PDB pada negara maju.
Pendapatan sektor jasa di Indonesia menyumbang 50 persen dari total PDB dan
mempekerjakan 50 persen orang dari seluruh jenis pekerjaan.
Menyimak kenyataan tersebut, ekonomi Indonesia seperti tengah berada dalam satu fase
puncak liberalisme dalam ekonomi kapitalis di mana sektor jasa mengisi hampir separuh
dari sendi-sendi ekonomi nasional.
Hal yang mengkhawatirkan dan menjadikan potret tersebut ironis adalah karena kita hanya

menyumbang buruh murah bagi sektor jasa, sementara investor dalam negeri maupun
BUMN di sektor jasa sangat minim dan lemah daya saingnya.
Kendati sektor jasa menyumbang cukup besar bagi pendapatan nasional, sebenarnya hal itu
masih menyisakan pertanyaan seperti ke mana keuntungan dari pendapatan nasional paling
banyak terkonsentrasi? Siapa yang paling mungkin mengakumulasi kapital dan menikmati
hasil surplus dalam sistem ekonomi liberal yang tak pernah memiliki “motif” untuk
mentransformasikan kelas-kelas ekonomi kecil untuk menjadi lebih sejahtera?
Jika ada sedikit—roti—yang disebut pertumbuhan, itu sama sekali tak menjangkau rakyat
di lapis bawah. Kemiskinan nyaris menjadi absolut karena sistem ini memang tidak
mengandung komponen transformasi sosial dan pengentasan kemiskinan berkelanjutan.
Sistem ekonomi liberal akan terus berupaya menjaga hegemoni atas situasi ekonomi,
penetrasi pada sistem ekonomi, oligarki dan bila perlu monopoli dalam akses pasar dan
produksi. Singkatnya, yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.
Liberalisasi Ekonomi

Setelah mengalami pertumbuhan cukup kuat dibandingkan perekonomian negara ASEAN
lain tahun lalu, perekonomian Indonesia mendadak dikepung sejumlah persoalan yang dapat
mengancam laju pertumbuhan.
Kekagetan ini bukan semata pada fakta bahwa sampai kuartal I 2003 ini pertumbuhan
ekonomi kita melambat sehingga pemerintah harus berpikir keras dalam merencanakan

pembiayaan melalui perubahan APBN, namun lebih mengagetkan bahwa ternyata asumsi
dan arah ekonomi nasional kita benar-benar telah berorientasi sangat liberal-kapitalistik.
Mudah saja menandai hal itu, yaitu ketika asumsi dominan dalam sistem ekonomi nasional
tak lagi merujuk pada basis perekonomian rakyat dan karakter ekonomi nasional, melainkan
sepenuhnya mengikuti tren perekonomian global.
Apakah sistem liberal kapitalis benar-benar tak terhindarkan untuk Indonesia, sehingga
orientasi ekonomi “pertumbuhan” benar-benar telah mengabaikan fakta bahwa ketimpangan
ekonomi masyarakat benar-benar sampai pada titik nadir? “Pemerataan” kesejahteraan
ekonomi hanya mempertontonkan ketimpangan penguasaan aset ekonomis dan akses
minimal pada kesejahteraan.
Jumlah orang miskin di Indonesia sekarang telah banyak dibicarakan, angka kelaparan,
kematian ibu melahirkan, gizi buruk; semua itu berlangsung di tengah target pertumbuhan
yang terus membuai kita semua dengan angka-angka ramalan PDB yang seperti hanya
pepesan kosong dan manis di angka saja.
PDB nasional sampai kuartal I/2013 menunjukkan tren yang memperkuat asumsi tersebut,
yaitu ketika sektor jasa menjadi penyumbang terbesar PDB, sekitar 52 persen dari total
PDB, angka yang jauh lebih tinggi dari yang bisa disumbang sektor industri dan agribisnis.
Sektor pertanian hanya bisa menyumpang pada kisaran 15,14 persen.
Sementara itu, di sektor perdagangan, kita benar-benar mengalami defisit neraca
perdagangan yang memprihatinkan dengan indikasi tingginya angka impor dan pelambatan

ekspor dalam banyak perjanjian kerja sama ekonomi-perdagangan bilateral maupun
multilateral.
Sebenarnya tak terlalu mengherankan bila pertumbuhan ekonomi sampai pada kuartal
tersebut melemah menjadi hanya 6,02 persen atau terendah selama tiga tahun terakhir.
Dengan alasan utama pada pelambatan pertumbuhan investasi, terutama investasi asing,
sementara daya saing ekonomi nasional kita sangat lemah.
Lemahnya daya saing yang memprihatinkan bahkan untuk kawasan ekonomi terbatas
ASEAN. Meski akan memasuki era integrasi ekonomi pada 2015, kesiapan daya saing
Indonesia masih dalam kondisi yang rentan. Mengacu data Global Competitiveness Report
2012-2013, daya saing Indonesia berada di peringkat ke-50 dari 144 negara (Kompas, 29/4).
Peringkat ini berada di bawah Singapura di posisi ke-2, Malaysia (ke-25), Brunei (ke-28),
dan Thailand (ke-38). Sementara itu, data indeks kinerja logistik dari Bank Dunia 2012
mencatat, peringkat Indonesia masih di bawah Singapura yang berada di posisi pertama,
Malaysia (ke-29), Thailand (ke-38), Filipina (ke-52), dan Vietnam (ke-53).
Kekacauan kultur ekonomi semacam itu pada akhirnya membutuhkan campur tangan
negara; kita semua harus berhenti berilusi pada “tangan-tangan tak terlihat” (invisible hand)

yang konon akan membagikan dengan adil roti dari pertukaran ekonomi global; tangan itu
mungkin tak terlihat, tapi masalahnya adalah--ada yang mengendalikan.
Sekarang waktunya bagi Indonesia untuk memperjelas arah pembangunan ekonominya;

yang terutama adalah dengan menata fondasi ekonomi berupa keadilan pada akses pemilikan
dan penguasaan sumber-sumber produksi strategis.
Dengan demikian, dominasi investasi asing pada sumber daya alam dan sumber daya
manusia bisa dikendalikan untuk menjamin penguasaan negara atas sumber-sumber
ekonomi untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
*Penulis adalah pemerhati masalah ekonomi politik pangan dan Pemimpin Redaksi Jurnal Sosial
Agraria “Agricola” Yayasan Bina Desa, Jakarta.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1