Ke Mana Pendidikan Akan Dibawa?

[(OMPAS
c Senin

-1
17

G

2~4
18
19

() Jan

0

0

Selasa

9


5678
21

20

.

o Kamis

Rabu

22

23

r, Peb
------0 Mar 0 Apr 0 Mei

/\


Jumar

10

24
Jun

.

11

25

0

Jul

o Sabru
12


0

Minggu

13

26

27

Ags

o Sep

14
28

15
29


16
30

31

OOkr 0 Nov 0 Des.

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

Ke Mana Pendidikan Akan Dibawa?
OLEH TRY HARIJONO

ejumlah langkah perbaikan
di bidang pendidikan diklaim pemerintah sudah ditempuh. Mulai dari penyediaan
biaya operasional pendidikan,
buku sekolah elektronik, program sertifikasi guru, hingga sekolah yang diklaim gratis.
Berbagai kebijakan ini tentu
saja harns dikritisi secara obyektif karena pemerintah tarnpaknya lebih berkutat pada persoalan-persoalan yang kasatmata.
Persoalan mendasar, yakni meningkatnya mutu pendidikan,

hingga saat ini masih jauh dari
harapan.
Selama bertahun-tahun, mutu
pendidikan
Indonesia
tidak
beranjak maju. Dalam laporan
UNESCO soal pencapaian target
Education for All 2015,misalnya,
posisi Indonesia berada jauh di
bawah Malaysia. Padahal, sejak
akhir tahun 1960-an, Malaysia
justru belajar mengelola pendidikan dari Indonesia.
Malaysia kini sudah bisa menerapkan pendidikan yang peserta didiknya mampu mandiri,
kreatif, bisa mengembangkan die
ri, dan setiap individu mampu
menyiapkan masa depannya sendiri. Sebaliknya, di Indonesiaseperti diakui Presiden Susilo
Bambang
Yudhoyono-masih
teIjadi ketidaksesuaian antara lulusan pendidikan dan kebutuhan

masyarakat.
Akibatnya, angka pengangguran terdidik terns meningkat.
Jumlahnya lebih dari 740.000
orang, mulai dari lulusan program diploma hingga saIjana.

S

Fokus ke kognitif
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional sebenarnya sudah secara tegas menyatakan sistern pendidikan antara lain bertujuan untuk berkembangnya
peserta didik sehingga berakhlak
mulia, cakap, kreatif, berilmu,
mandiri, dan bertanggung jawab.
Namun, dalam praktik di lapangan, berbagai kebijakan yang
diambil pemerintah lebih terfokus pada aspek kognitif. Peserta
didik dihargai berdasarkan pencapaian nilai yang standarnya telah ditentukan pemerintah. Adapun pembentukan sikap dan karakter anak didik, membangun
semangat, serta mengoptimalkan
kebudayaan untuk membangun
martabat bangsa masih kurang
diperhatikan.


Angka Partisipasi Kasar dan
Angka Partisipasi Murni
Tahun 2007/2008

Perkembangan Angka
Putus Sekolah

(dalam persen)

APM

Jen;ang

APK

TK

35,57

SD


115,51

NjA

=

94,9

~

SMP

92,52
--

71,6

--


". - - '-

SM

60,51

PT

17,25

. -.

0'

2003/04

,NjA

Menengah(SM)


Keguruan . -.
,
,

27,23

" ,._ ',',
_'_"

,., ".

2,ML_

34,42 (termasuk D-3)

Diploma 1,2

"'--' _'.~" '._'.'~~'
_,',
"-"


_j~l~I~~~{:-~,'=

_

Pascasarjana

".,..,..",."..-"",...,

Kompas, diolah

~._'_
"'-

SMP

19,72
9,}§,.,__

21,96

0,23

0,19

o
o
o

PT
_.1

~~---...--..

~

!3,74

49,16
'_- .C.'.
..-~ '-..
...C. '..

10,93

SM
.".__~.-"'...~.,..,

o
o
o

"', P,Q4.

H,_,.._"__p,_,_.:2,,5~._.._

Sarjana

Utbang

-

(dalam persen)

SD

TK

._~,MN(m K~g_l!r~i,lI!.,_

Sumber

.,.-

2004/05 2005/06 2006/07 2007/08

Ijazah Tertinggi

-SM

--

NjA

Guru Menurut Ijazah Tertinggi Tahun 2007/2008

< Sekolah

_.-

50,19

4,60
~

_.J415.2_
70,35
,'i;32--'

--

_.1'1W___.
79,33
~

2,07

~-

,-

~
---Q.

o

o
o
o
55,20
" "44;80',

dari Depdiknas

BESTARI

--- -~
Pendidikan budi pekerti diabaikan. Persoalan perbedaan
kemampuan individu dan kreativitas juga dipinggirkan sejak
pendidikan dasar hingga pendidikan menengah dan lanjutan.
Semua peserta didik harns memiliki kemampuan minimal yang
sama untuk mata pelajaran tertentu. Peserta didik yang menonjol dalam bidang tertentu, seperti seni, tak terbuka ruang yang
memadai untuk berkembang.
Di sisi lain, kecerdasan intelektual peserta didik kurang diperhatikan. Peserta didik yang
yang lamban dalam proses pembelajaran maupun brilian dengan
tingkat_k~rdasan di atas ratarata berada pada "ruang" yang
sama. Siswa-siswa brilian yang
bisa menjadi knowledge worker
untuk kemajuan Indonesia pada
masa depan tidak mendapat perhatian yang semestinya. Tidak
heran jika mereka kemudian diburu Singapura dengan beragam
iming-iming yang menggiurkan.
Inilah salah satu persoalan
pendidikan yang harns segera dipecahkan.

K lip i n 9 Hum QsUn
-

-

-

0:;...=
.

'""""_

Pendidik:ill sebenarnya men- sejahteraan guru, terutarna guru

dapat tempat terhormat dalam
konstitusi. Secara tegas konstitusi memagari agar 20 persen
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) digunakan
untuk pendidikan. Namun, lagilagi dalam praktik teIjadi kebijakan yang kontroversial. Di dalam 20 persen APBN tersebut,
atau sekitar Rp 207 triliun untuk
APBN 2009, ternyata sudah termasuk gaji guru. Bahkan, gaji
guru mendapat porsi terbesar dalam anggaran tersebut.
Akibatnya, alokasi anggaran
untuk meningkatkan mutu dan
operasional pendidikan semakin
berkurang. Apalagi anggaran
pendidikan tersebut bukan hanya untuk Departemen Pendidikan Nasional, tetapijugadibagi
untuk institusi lain. Padahal, persoalan pendidikan yang harns dibenahi begitu luas.
Dalam persoalan tenaga pengajar, misalnya, hingga saat ini
terdapat sekitar 2,7 juta guru,
tetapi hanya sekitar 900.000
orang yang berpendidikan D-4
atau §-l. Di sisi lain, tingkat ke-

.

p Qd 2 0 0 9-

swasta, guru honorer, dan tenaga
sukarelawan, juga masih sangat
memprihatinkan. Tidak sedikit
guru yang gajinya jauh di bawah
buruh pabrik, bahkan dibandingkan dengan buruh pembuat sandal jepit sekalipun. P~~ahal, gu-

ru-guru inilah yang diharapkan
bisa mencetak anak bangsa berkualitas untuk masa depan.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu guru dengan
sertifikasi juga tak berjalan muIus karena beragam kendala, termasuk terbatasnya dana. Di sisi
lain, juga banyak guru yang kesulitan meningkatkan kemampuan
karena terbatasnya akses informasi, komunikasi dan informasi.
Peningkatan mutu pendidikan
juga makin sulit karena terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan di sejumlah daerab. Ruang kelas SD yang rusak misalnya, masih sekitar 200.000 ruang
kelas, sedangkan untuk SMP sekitar 12.000 ruang kelas yang
rusak. Ini masih ditambah lagi
dengan kenyataan sekitar 34,3
persen SMP/madrasah tsanawiyah (MTs) tidak mempunyai perpus'takaan dan 38,2 persen sekolah tidak memiliki laboratorium.
Rehabilitasi ruang kelas ini dijanjikan selesai 2009 dengan
anggaran sekitar Rp 9 triliun.
Janji ini perlu bukti, mengingat
jumlah anggaran yang sangat terbatas. Dalam Rencana Kegiatan
Anggaran Depdiknas 2009, misalnya, hanya dialokasikan 15
persen atau sekitar Rp 7,5triliun
untuk rehabilitasi sekolah, beasiswa, dan perpustakaan.
Tingginya putus sekolah
Tantangan di bidang pendidikaIi tidak berhenti sampai di
situ. Angka putus sekolah untuk
berbagai jenjang pendidikan masih cukup tinggi. Setiap tahun,
misalnya, 211.643siswa SMP dan
MTs putus sekolah karena sejumlah faktor. Selain itu, sekitar
452.000 tamatan SD dan madrasah ibtidaiyah (M!) tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi.

Sampai akhir 2007, angka partisipasi murni SDjMI sederajat
sebesar 94,90 persen. Angka partisipasi murni adalah rasio murid
SD berus,ia 7-12 tahun terhadap
penduduk kelompok umur 7-12
tahun.
Adapun angka partisipasi kasar SMPjMTs sederajat sebesar
92,52 persen. Angka partisipasi
kasar adalah rasio jumlah siswa
yang sedang sekolah di tingkat
pendidikan tertentu terhadap
jumlah penduduk kelompok usia
tersebut.
Salah satu penyebab tingginya
angka putus sekolah antara lain
di kalangan masyarakat miskin,
siswa menjadi tulang punggung
ekonomi keluarga. Karena itu,
jika siswa pergi ke sekolah, sumber penghasilan ekonomi keluarga juga menjadi berkurang.
Kampanye sekolah gratis yang
digembar-gemborkan pemerintah untuk merangsang minat
anak sekolah kenyataannya juga
lebih bersifat politis.
Melihat tingginya angka putus
sekolah, terutama di kalangan
siswa SMPjMTs, program wajib
belajar sembilan tahun yang dicanangkan sendiri oleh pemerintah memang tidak mudah diterapkan. Padahal, tahun 2008
dicanangkan sebagai tahun terakhir pencapaian target penuntasan wajib belajar pendidikan
dasar sembilan tahun.
Selain persoalan di atas, masih
setumpuk lagi persoalan pendidikan yang menghadang di depan
mata. Persoalan mahalnya masuk
perguruan tinggi negeri, kekurangan jumlah guru, rendahnya
penghargaan terhadap guru besar, tingginya angka buta huruf,
dan persoalan-persoalan lain menunggu penuntasan segera.
Pertanyaan pokoknya, ke mana pendidikan kita_akan d!.hawa?