Perbedaan Komponen-komponen Love Berdasarkan Triangular Model Of Love (Suatu Telaah Penghayatan Retrospektif Pada Pasutri Yang Memiliki Anak Autisma di Bandung).
Universitas Kristen Maranatha Abstrak
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui perbedaan komponen-komponen love berdasarkan Triangular Model of Love yang diteliti secara retrospektif pada pasutri yang memiliki anak autisma di Bandung. Pemilihan sampel menggunakan metode snowball sampling, dan sampel dalam penelitian ini berjumlah 25 pasutri. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian komparatif. Rancangan tersebut membandingkan perbedaan antara penghayatan pasutri secara retrospektif sebelum dan sesudah memiliki anak yang didiagnosis autisma.
Penelitian ini berlandaskan teori mengenai Triangular Model of Love dari Sternberg (1987) dan secara spesifik membahas mengenai 3 komponen lovenya (intimacy, passion dan decision/commitment). Secara teoretis, Sternberg mengemukakan faktor yang dapat mempengaruhi perubahan relasi yaitu pengalaman, dukungan keluarga dan status sosio ekonomi, sehingga peneliti membuat penelitian mengenai penghayatan sebelum dan sesudah memiliki anak autisma yang dirasakan sebagai pengalaman kurang menyenangkan.
Alat ukur yang digunakan merupakan alat ukur baku yaitu Triangular Love Scale dari Sternberg (1987) dan terdiri dari 45 item. Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan dengan menggunakan uji validitas Spearman dan reliabilitas dengan menggunakan teknik splithalf dengan program SPSS 14.0. Data yang diperoleh diolah menggunakan uji beda Wilcoxon dengan program SPSS 14.0.
Berdasarkan pengolahan data secara statistik, maka secara menyeluruh pada pasutri didapat perubahan yang signifikan pada komponen intimacy sebesar -2,754 dan komponen passion sebesar -2,446, sedangkan komponen decision/commitment sebesar -1,242 dan tidak mengalami perubahan signifikan. Apabila dilihat dari pihak suami, perubahan yang terjadi signifikan terlihat pada kesemua komponennya yaitu intimacy (sebesar -2,740), passion (sebesar -3,078) dan decision/commitment (sebesar -2,022). Dilihat dari pihak istri, perubahan yang signifikan hanya terdapat pada komponen intimacy (sebesar -2,779) sedangkan komponen passion (sebesar -1,852) dan decision/commitment (sebesar -0,506) perubahan yang terjadi tidak signifikan.
Kesimpulan yang diperoleh adalah terdapat perbedaan komponen-komponen love yang dihayati oleh pasutri secara retrospektif sebelum dan sesudah memiliki anak yang didiagnosis autisma dengan arah yang negatif (terjadi perubahan dalam arah mengalami penurunan). Peneliti mengajukan saran agar dilakukan penelitian yang lebih spesifik dan lengkap hingga mengungkap model-model dari Triangular Model of Love dan juga agar pembaca dari penelitian ini dan terutama pasutri yang memiliki anak autisma dapat memperoleh informasi mengenai komponen-komponen lovenya dan dapat memanfaatkannya untuk memfasilitasi kegiatan konseling bila terdapat masalah/konflik yang muncul.
(2)
Universitas Kristen Maranatha Abstract
This research is an explorative studies concerning the difference of the love components based on Triangular Model of Love according to retrospective method of married couples who have child with autism in Bandung. The election uses the snowball sampling method, and total sample in this research are 25 married couple who have autism child. This research uses comparative design, which compare the difference about past and now comprehension according to retrospective method of married couples who have child with autism.
This research used the theory about Triangular Model of Love from Sternberg (1987) and in a specific examine about 3 components of love (intimacy, passion and decision/commitment). In the theory, Sternberg propose about the factors which change couple relation, that is experiences, family support and socio-economic status, so researcher make the research about the past and now comprehension of married couple who have autism child, because many people sense that autism child is a bad experience
The instrument that being use to collect data obtained from Triangular Love Scale from Sternberg (1987) that consist of 45 items. The standardization of validity and reliability uses Spearman and splithalf method with SPSS 14.0 program. The result data proses uses difference examination with SPSS>14.0.
From the statistic final result, observe in total, married couples had significant difference in intimacy component (as -2,754) and passion component (as -2,446), but decision/commitment component hadn’t significant difference (as -1,242). If we see from husband side, husband had significant difference in 3 component, intimacy (as-2,740), passion 3,078) and decision/commitment (-2,022). But, in wife side, wife had significant difference only in intimacy component (as -2,779), passion (as -1,852) and decision/commitment (as -0,506) hadn’t significant difference.
In conclusion, married couple who have child with autism in Bandung had the difference of the love components according to retrospective in the past and now comprehension and the direction is negative (concerned have descend). The suggestion for the next researcher to try doing specific and complete research into the models of love and for the reader and especially married couples who have children in autism can obtain information about love components and have benefit for counseling facilitation if they have problems in this household.
(3)
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... i
Daftar Isi ... iii
Daftar Tabel ... vi
Daftar Gambar ...vii
Daftar Grafik ...viii
Daftar Skema ... ix
Daftar Lampiran ... x
Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ...1
1.2 Identifikasi Masalah ... 12
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian ... 12
1.3.2 Tujuan Penelitian ...12
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Ilmiah... 13
1.4.2 Kegunaan Praktis ...13
1.5 Kerangka Pemikiran ...14
1.6 Asumsi Penelitian ...22
(4)
Universitas Kristen Maranatha Bab II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Triangular Theory of Love
2.1.1 Cinta ………. ………….23
2.1.2 Triangular Model of Love ...24
2.2 Tahapan Perkembangan ………..41
2.3 Pernikahan ………..42
2.4 Autisma ………..44
Bab III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 23
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.2.1 Variabel Penelitian ... 23
3.2.2 Definisi Operasional ... 23
3.3 Alat Ukur 3.3.1 Kuesioner Triangular Model of Love ...24
3.3.2 Data Penunjang ... 26
3.3.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 3.3.3.1 Validitas ... 26
3.3.3.2 Reliabilitas ...28
3.4 Subyek Penelitian 3.4.1 Teknik Sampling ... 29
3.4.2 Karakteristik Subyek Penelitian ... 30
3.5 Teknik Analisis Data ...30 Bab IV HASIL DAN PEMBAHASAN
(5)
Universitas Kristen Maranatha 4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Gambaran Responden ………...….54
4.1.2 Pengolahan Data Penelitian ………54
4.2 Pembahasan ………56
Bab V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...66
5.2 Saran 5.2.1 Teoretis ...67
5.2.2 Guna Laksana ...67
Daftar Pustaka ... xi
Daftar Rujukan ………. xii Lampiran
(6)
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL
1. Tabel 2.1 Properties of Triangle Vertices ...27 2. Tabel 2.2 The Triangular Theory of Love : Types of Relationship …………...38 3. Tabel 2.3 Tahap Perkembangan Psikososial Erikson ………41 4. Tabel 3.1 Gambaran Alat Ukur ... 48 5. Tabel 4.1 Gambaran Responden …………...……….54 6. Tabel 4.2 Ada/Tidaknya dan Signifikansi Perubahan Komponen Love yang
Dimiliki Pasutri Pada Penghayatan Sebelum dan Sesudah Memiliki Anak yang Didiagnosis Autisma Berdasarkan Uji Beda Wilcoxon ... 7. Tabel 4.3 Ada/Tidaknya dan Signifikansi Perubahan Komponen Love yang
Dimiliki Suami dan Istri Pada Penghayatan Sebelum dan Sesudah Memiliki Anak yang Didiagnosis Autisma Berdasarkan Uji Beda Wilcoxon ...
(7)
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 2.1 ”Spearmanian Model” ...29 2. Gambar 2.2 ”Thomsonian Model”... ...29 3. Gambar 2.3 ”Thurstonian Model”...30
(8)
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR GRAFIK
1. Grafik 2.1 Level of Intimacy ...34 2. Grafik 2.2 Level of Passion ...36 3. Grafik 2.3 Level of Decision/Commitment ...37
(9)
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR SKEMA
1. Skema 3.1 Kerangka Pikir ... 21 2. Skema 3.2 Rancangan Penelitian... 46
(10)
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1. Kisi-kisi Alat Ukur 2. Lampiran 2. Alat Ukur
3. Lampiran 3. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 4. Lampiran 4. Olah Data Wilcoxon
5. Lampiran 5. Keseluruhan Skor Data Lampiran Data Suami
Aspek Intimacy Aspek Passion
Aspek Decision/commitment Lampiran Data Istri
Aspek Intimacy Aspek Passion
Aspek Decision/commitment Lampiran Data Penunjang Data Penunjang Suami Data Penunjang Istri
(11)
1
Universitas Kristen Maranatha BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupannya, manusia merupakan makhluk yang memiliki berbagai macam kebutuhan, misalnya kebutuhan yang sifatnya fisik seperti sandang, pangan, dan papan, serta kebutuhan yang sifatnya psikis seperti kasih sayang, rasa aman, dan perlindungan. Dua kebutuhan tersebut mendorong manusia berperan sebagai makhluk sosial dan melakukan interaksi dengan sesamanya, misalnya melakukan kontak sosial dengan orang lain berupa saling mengenal satu sama lain, saling berkomunikasi, bergaul, berteman, dan menjalin sebuah hubungan yang lebih mendalam.
Untuk sebagian besar orang dewasa, menjalin hubungan percintaan dengan lawan jenis merupakan elemen yang sangat penting dalam kehidupan. Pada dasarnya setiap pasangan menginginkan agar kebutuhan-kebutuhan yang diperlukannya itu dapat dipenuhi oleh pasangannya masing-masing. Mereka membutuhkan hubungan yang erat dan diwarnai oleh saling memberi afeksi satu sama lain dan saling berbagi.
Dalam hubungan yang dijalin tersebut, pasangan membutuhkan cinta sebagai dasarnya. Cinta didefinisikan sebagai hasil emosi yang vital dan mendalam dari pemuasan kebutuhan, bersamaan dengan perhatian dan penerimaan terhadap pasangan sehingga menghasilkan hubungan yang mendalam. (Lamanna dan Riedmann, 1985). Menurut Daniel Goldstine (1977), hubungan
(12)
2
Universitas Kristen Maranatha yang mendalam terbentuk melalui tiga tahap yaitu tahap jatuh cinta, tahap kekecewaan dan tahap penerimaan. Tahap jatuh cinta merupakan tahap awal saat individu merasa bahagia dengan dirinya sendiri, dengan pasangannya dan juga dengan hubungan yang terjalin antara seseorang dan pasangannya. Individu melihat sisi baik dari pasangannya dan biasanya pada tahap ini, sangat kecil kemungkinan bagi pasangan untuk bertengkar satu sama lain. Tahap kedua merupakan tahap kekecewaan yaitu ketika pada pasangan mulai timbul konflik. Pasangan sudah mulai menyadari tingkah laku atau sifat yang tidak disukai dari pasangannya sehingga ada perasaan tidak puas dengan yang dilakukan oleh pasangan. Tahap terakhir yaitu tahap penerimaan, pasangan menyadari sisi positif dan negatif dari pasangannya, dan mulai bisa menerimanya karena menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna.
Apabila setiap pasangan telah melewati tahap penerimaan, maka hubungan itu umumnya akan ditindaklanjuti ke gerbang pernikahan. Menurut hasil wawancara kepada tiga puluh responden yang tinggal di Bandung, hampir 90%nya menjalani kehidupan pernikahan didasari oleh adanya rasa cinta dari kedua belah pihak. Mereka umumnya memilih pasangan yang sesuai dan memiliki cinta juga kedekatan secara emosional dengan dirinya. Hal tersebut mendukung mereka untuk dapat menjalani hidup bersama dengan pasangan yang mereka cintai.
Hidup bersama dalam sebuah ikatan pernikahan merupakan suatu seni, memerlukan penyesuaian karakter dari dua individu yang berbeda, motivasi yang tinggi, dan keterampilan pribadi maupun sosial yang baik. Oleh karena itu,
(13)
3
Universitas Kristen Maranatha membangun sebuah pernikahan bukanlah hal yang mudah, demikian pula tidak ada sebuah pernikahan yang berlangsung secara mulus tanpa adanya konflik yang berarti. Sumber-sumber konflik sendiri sangatlah beragam, bisa dari kedua pasangan itu sendiri atau dari lingkungan keluarga. Pada dasarnya, keberadaan konflik akan menguji cinta yang dimiliki oleh pasangan, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kelangsungan pernikahan.
Kegagalan dalam mempertahankan hubungan pernikahan akan berujung pada terjadinya perceraian. Berdasarkan data di Pengadilan Agama Bandung, pada tahun 2006, ada 2.194 kasus perkara perceraian yang masuk. Lalu pada tahun 2007, jumlahnya meningkat menjadi 2.374 perkara. Artinya ada peningkatan sebesar 20,7%. (Zaky Yamani/Pikiran Rakyat/Eva Fahas). Penyebabnya antara lain karena alasan ekonomi, ketidak harmonisan pasangan, lepas tanggung jawab, dan poligami tidak sehat. Selain itu, dalam sebuah pernikahan, tidak jarang masalah anak menjadi salah satu dari penyebab perceraian.
Seorang anak dapat diartikan sebagai anugerah bagi keluarga yang memilikinya. Kehadiran anak dapat semakin merekatkan hubungan kedua orangtuanya, memberikan kegembiraan dan pengalaman baru. Selain itu, kehadiran anak juga dapat membuka bermulanya konflik-konflik baru dalam kehidupan rumah tangga, apalagi dalam kondisi penyesuaian yang dirasa masih labil dalam kehidupan pernikahan. Di samping itu tidak semua anak terlahir dengan kondisi normal, misalnya anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus.
(14)
4
Universitas Kristen Maranatha Di Indonesia semakin marak muncul kasus-kasus yang menyangkut anak berkebutuhan khusus, salah satu diantaranya adalah autisma. Autisma merupakan gangguan perkembangan yang kompleks, karena disebabkan oleh gangguan syaraf yang memengaruhi fungsi normal otak, khususnya bidang kecakapan berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Gangguan autisma dapat terjadi akibat kelainan pada otak kecil, sehingga proses sensoris, daya ingat, berpikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian) menjadi terganggu. Kelainan terdapat di daerah sistem limbik, akibatnya terjadi gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi sehingga anak kurang dapat mengendalikan emosinya.
Pada Februari 2007, Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (The Centers for Disease Control and Prevention) menerbitkan laporan prevalensi autisma, yaitu sekitar 150 kelahiran, satu diantaranya menderita autisma dan jumlah ini terus meningkat, pertumbuhannya sekitar 10-17% per tahun (Mom&Kiddie, Mei 2008). Melihat keadaan ini, maka semakin banyak keluarga-keluarga dengan anak yang mengalami gangguan autisma.
Anak yang mengalami gangguan autisma juga dapat menimbulkan kesulitan lain terhadap keluarga terutama orangtuanya. Seperti yang dikatakan oleh Dono Baswardono, dkk (Mom&Kiddie, Mei 2008) bahwa diperkirakan biaya seumur hidup merawat seorang anak dengan autisma berkisar antara $3,5-5 juta atau setara dengan 35-50 milyar Rupiah maka untuk merawat anak autisma membutuhkan dana yang sangat besar, belum lagi yang berkaitan dengan afeksi, perhatian, kesabaran, dan hal-hal yang lainnya yang dituntut dari orangtua.
(15)
5
Universitas Kristen Maranatha Anak yang memiliki gangguan autisma akan memiliki masalah dalam perilakunya sehari-hari, diantaranya perilaku hiperaktivitas atau hipoaktivitas. Anak sulit untuk mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan mereka, tantrum, sulit bergaul dengan orang lain, tidak ingin memeluk atau dipeluk, jelas sangat peka atau tidak peka sama sekali terhadap rasa sakit, kecakapan motorik kasar/halus tidak seimbang dan sebagainya. Bahkan dalam beberapa kasus, perilaku agresif atau melukai diri sendiri juga muncul. Oleh karena itu, orangtua yang memiliki anak dengan gangguan autisma, akan memiliki kesulitan yang lebih besar dalam merawat anak mereka dibandingkan dengan orangtua yang memiliki anak yang normal.
Kesulitan-kesulitan tersebut dapat menimbulkan konflik-konflik dalam keluarga yang pada akhirnya dapat pula memengaruhi relasi antara suami dan istri maupun relasi orangtua-anak. Beberapa pasutri yang memiliki anak autisma dapat mengalami kondisi putus asa, stres dan memiliki beban psikologis yang pada akhirnya akan berujung pada terjadinya perceraian (http://irsanarietiaz.wordpress.com/2007/04/16/autisme-mengancam-dunia-anak/). Padahal seorang anak, baik itu anak yang normal, terlebih yang menderita autisma sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orangtuanya untuk dapat tumbuh dan berkembang.
Bagi pasutri yang memiliki anak autisma, kenyataan yang digambarkan di atas akan terlihat lebih kompleks karena perubahan yang terjadi dapat bersifat positif maupun negatif. Ada seorang istri yang menghayati bahwa setelah anaknya didiagnosis autisma, suaminya tidak menerima kenyataan tersebut
(16)
6
Universitas Kristen Maranatha sehingga cenderung menjauh dari keluarga, atau saling menyalahkan satu sama lain atas keadaan yang diderita oleh anaknya. Ada pula pasutri yang mengatakan bahwa mereka semakin bertanggung jawab terhadap keluarganya dan pada anaknya tersebut, apalagi dikarenakan anaknya tersebut memiliki gangguan dalam perkembangannya sehingga membutuhkan perhatian yang khusus. Ada pula pasutri yang menghayati bahwa kedua-duanya berusaha bersama dalam menjaga dan merawat anaknya. (www.ayahbunda/2008/03/29/20316/artikel-autistik).
Dalam kondisi senang maupun susah, diharapkan pasangan suami istri dapat tetap mempertahankan komponen-komponen cinta dalam hubungan pernikahan. Dalam menjalin dan menjalani sebuah hubungan yang dilandasi oleh cinta, menurut Robert Sternberg (1986,1987), didalamnya memiliki tiga komponen, yaitu intimacy (adanya perasaan akan kedekatan yang dimiliki oleh pasangan), passion (dorongan yang menimbulkan adanya ketertarikan secara fisik dan penyaluran dorongan seksual) dan decision/commitment (keputusan untuk mencintai pasangannya secara mendalam dan menjaga perasaan cinta masing-masing).
Dalam suatu hubungan cinta, belum tentu ketiga komponen cinta itu seluruhnya hadir. Artinya, mungkin saja suatu hubungan cinta didominasi oleh satu komponen, atau gabungan antara dua komponen, atau juga gabungan dari ketiganya. Begitu pula, setiap komponen cinta akan memiliki kekuatan yang beragam. Idealnya, cinta yang sudah diwujudkan menjadi pernikahan, memiliki ketiga komponen didalamnya agar relasi yang terbina menjadi mendalam. Ketiga komponen tersebut penting untuk dimiliki dalam setiap pernikahan karena apabila
(17)
7
Universitas Kristen Maranatha tidak, maka pernikahan tidak dapat berlangsung dengan baik, dan hubungan yang terjalin umumnya bersifat dangkal. Demikian pula dengan pasutri yang memiliki anak autisma, mereka membutuhkan komponen-komponen cinta dalam kehidupan pernikahannya.
Berdasarkan hasil survei awal yang diperoleh dari delapan responden yang didapat dari hasil kuesioner dan wawancara yang memiliki anak autisma di kota Bandung, maka hasilnya adalah penghayatan pada pasangan suami istri pertama sebelum memiliki anak yang didiagnosis autisma terdapat kecenderungan baik suami maupun istri memiliki passion yang tinggi, mereka merasa bahwa pasangannya memiliki daya tarik. Relasi mereka pun cukup dekat, mereka saling berkomunikasi satu sama lain dan sering melakukan aktivitas bersama. Komitmen mereka pun cukup tinggi, karena mereka mewujudkannya dalam ikatan pernikahan. Sedangkan penghayatan setelah memiliki anak yang didiagnosis autisma, terdapat penurunan passion baik pada suami maupun istri. Suami agak merasa kecewa terhadap kehadiran anak mereka yang mengalami gangguan autisma, namun seiring waktu suami dapat menerimanya dan mereka secara bersama-sama merawat dan menjaga anak mereka yang cenderung hiperaktif di rumah, oleh karena itu mereka mereka memiliki intimacy yang cukup tinggi. Commitment mereka tetap tinggi, mereka berusaha untuk mempertahankan pernikahan mereka dan berkeinginan untuk merawat anak mereka dan mereka memiliki target bagaimana anak mereka yang mengalami autisma itu dapat meningkatkan kapasitas dirinya. Pada pasutri pertama terdapat kecenderungan bahwa penghayatan yang dimiliki sebelum memiliki anak yang didiagnosis
(18)
8
Universitas Kristen Maranatha autisma, baik suami maupun istri memiliki intimacy, passion, dan commitment yang tinggi. Sedangkan penghayatan setelah memiliki anak yang didiagnosis autisma, terdapat penurunan passion pada pasangan, namun intimacy dan commitment mereka tetap tinggi.
Pasangan suami istri kedua, penghayatan yang dimiliki sebelum anaknya didiagnosis autisma, pasangan sama-sama memiliki passion yang tinggi, suami merasa tertarik pada istrinya, begitu pun sebaliknya. Sedangkan mengenai intimacy, suami merasa bahwa dirinya cukup dekat dengan istrinya, mereka memiliki keterbukaan satu dengan yang lainnya, penghayatan istri justru sebaliknya, pada awal pernikahan, istri merasa dirinya belum merasa terlalu dekat dengan suaminya dan masih banyak hal-hal yang belum diketahui oleh dirinya. Namun penghayatan setelah memiliki anak yang didiagnosis autisma, pada suami terdapat kecenderungan memiliki passion yang agak rendah sedang istri memiliki passion yang cenderung tinggi. Istri merasa bahwa dirinya cukup memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap suaminya, sedang suami merasa sebaliknya. Intimacy suami pun cenderung rendah, suami merasa bahwa dirinya tidak terlalu memiliki kedekatan dengan istrinya dan suaminya sekarang sedang fokus pada karirnya, sedang istri merasa bahwa ia menghayati dirinya merasa dekat dengan suaminya meskipun mereka hanya bertemu setelah suaminya pulang dari kantor, namun hal tersebut tidak dipermasalahkan oleh istri. Sedangkan commitment mereka berdua dapat tetap bertahan sehingga mereka memiliki komitmen yang cukup tinggi, mereka berusaha untuk mempertahankan pernikahan mereka. Pada pasangan kedua terdapat kecenderungan bahwa penghayatan yang dimiliki
(19)
9
Universitas Kristen Maranatha sebelum memiliki anak yang didiagnosis autisma, suami memiliki intimacy, passion, dan commitment yang tinggi, sedangkan istri memiliki intimacy yang cenderung rendah, namun passion dan komitmennya tinggi. Dan penghayatan setelah memiliki anak yang didiagnosis autisma, terdapat penurunan passion dan intimacy pada suami, sedangkan commitment tetap tinggi, dan pada istri terdapat peningkatan intimacy, sedangkan passion dan commitment tetap tinggi.
Pada pasangan suami istri ketiga, penghayatan sebelum memiliki anak yang didiagnosis autisma, suami mengaku bahwa dirinya memiliki passion yang tinggi terhadap pasangan, sedangkan istri kurang memiliki passion yang tinggi. Mengenai intimacy, suami menghayati bahwa dirinya kurang memiliki kedekatan dengan istrinya, suami mengaku masih belum terlalu mengenal istrinya secara mendalam sedang istri sebaliknya karena mereka sering menghabiskan waktu bersama. Sedangkan penghayatan setelah memiliki anak yang didiagnosis autisma, passion suami tetap tinggi walaupun memiliki anak autisma dikarenakan subyek memiliki anak pertama dan kedua yang normal, sehingga tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Sedangkan istri sebaliknya, memiliki passion yang cenderung rendah memiliki ketakutan mengenai kemungkinan anak mereka nanti akan mengalami gangguan autisma yang serupa dengan saudaranya. Intimacy yang dirasakan oleh keduanya pun cenderung rendah, mereka jarang melakukan aktivitas secara bersama-sama, suami sibuk bekerja sehingga istri merasa kerepotan dalam mengurus anaknya, dan suami pun jarang merawat dan bermain bersama dengan anak-anak mereka. Commitment masih cenderung tinggi, mereka masih berusaha untuk mempertahankan pernikahan mereka hingga saat
(20)
10
Universitas Kristen Maranatha ini. Pada pasangan ketiga terdapat kecenderungan bahwa penghayatan sebelum memiliki anak yang didiagnosis autisma, suami memiliki intimacy dan commitment yang tinggi, sedang intimacy cenderung rendah, sedangkan istri memiliki intimacy dan commitment yang cenderung tinggi, namun passion cenderung rendah. Dan penghayatan setelah memiliki anak yang didiagnosis autisma, suami tetap memiliki intimacy yang cenderung rendah juga passion dan commitment yang tinggi, dan pada istri terdapat penurunan intimacy, sehingga passion dan intimacy cenderung rendah sedangkan commitment tinggi.
Sedangkan pada pasangan suami istri yang keempat, penghayatan sebelum anaknya didiagnosis autisma, terdapat kecenderungan memiliki passion yang agak rendah, dalam pernikahannya mereka merasa bahwa pasangannya kurang memiliki daya tarik. Awal pernikahan mereka pun sebenarnya dikarenakan merupakan perjodohan yang dilakukan oleh keluarga, sehingga mereka pun cenderung memiliki intimacy yang agak rendah. Commitment awal dari suami agak rendah karena sebetulnya suami keberatan dalam melakukan perjodohan tersebut, sedangkan istri menunjukan sikap pasrah dalam menerimanya. Demikian pula penghayatan setelah mereka memiliki anak yang didiagnosis autisma, passion dan intimacy mereka tetap cenderung rendah. Sedangkan mengenai commitment, suami merasa bahwa dirinya memiliki peningkatan komitmen untuk menjaga pernikahan mereka, sehingga mereka memiliki commitment yang cenderung tinggi. Pada pasangan keempat terdapat kecenderungan bahwa penghayatan sebelum memiliki anak yang didiagnosis autisma, suami memiliki intimacy, passion, dan commitment yang rendah, sedangkan istri memiliki
(21)
11
Universitas Kristen Maranatha intimacy dan passion yang cenderung rendah, namun komitmennya tinggi. Dan penghayatan setelah memiliki anak yang didiagnosis autisma, terdapat peningkatan commitment pada suami, sedangkan passion dan intimacy masih cenderung rendah, dan pada istri tetap memiliki passion dan intimacy yang cenderung rendah, sedangkan commitment tetap tinggi.
Dari data awal yang diperoleh dari beberapa pasutri yang tinggal di kota Bandung, maka pasutri yang memiliki anak yang didiagnosis autisma, penghayatan sebelum anaknya didiagnosis autisma, terdapat kecenderungan memiliki passion yang tinggi (75% suami dan 50% istri) dan memiliki passion yang rendah (25% suami dan 50% istri). Memiliki intimacy yang tinggi (50% suami dan 50% istri) dan memiliki intimacy yang rendah (50% suami dan 50% istri). Memiliki commitment yang tinggi (75% suami dan 100% istri) dan commitment yang rendah (25% suami). Sedangkan penghayatan setelah memiliki anak yang didiagnosis autisma, terdapat kecenderungan memiliki passion yang tinggi (25% suami dan 25% istri) dan memiliki passion yang rendah (75% suami dan 75% istri). Memiliki intimacy yang tinggi (25% suami dan 50% istri) dan memiliki intimacy yang rendah (75% suami dan 50% istri). Memiliki commitment yang tinggi (100% suami dan 100% istri) dan tidak ada responden yang memiliki commitment yang rendah.
Oleh karena itu, berdasarkan gambaran di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai komponen-komponen love berdasarkan triangular model of love pada pasutri yang memiliki anak yang didiagnosis autisma di kota Bandung. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif,
(22)
12
Universitas Kristen Maranatha yaitu penelitian yang dilakukan untuk meneliti atau menghayati kondisi/keadaan yang terjadi di masa lampau, namun diteliti pada masa sekarang, kemudian membandingkan kondisinya dengan keadaan sekarang (Ranjit Kumar, 1999).
1.2 Identifikasi Masalah
Bagaimana perbedaan komponen-komponen love berdasarkan triangular model of love yang dihayati oleh pasutri dalam retrospektif sebelum dan sesudah memiliki anak autisma di kota Bandung.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai perbedaan komponen-komponen love berdasarkan triangular model of love secara retrospektif baik penghayatan sebelum dan penghayatan sesudah pasutri memiliki anak yang didiagnosis autisma di kota Bandung.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan komponen-komponen love, yaitu passion, intimacy dan commitment yang berbentuk profile menurut triangular model of love dari pasutri yang memiliki anak autisma di kota Bandung, sehingga secara retrospektif dapat diketahui perbedaan penghayatan triangular model of love sebelum dan penghayatan triangular model of love sesudah pasutri memiliki anak yang didiagnosis autisma.
(23)
13
Universitas Kristen Maranatha 1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Ilmiah
Sebagai sumber informasi pada ilmu pengetahuan psikologi, terutama dalam setting psikologi perkembangan dan psikologi keluarga.
Sebagai informasi bagi peneliti lain yang akan mengadakan atau melanjutkan penelitian mengenai triangular model of love.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Untuk memberikan informasi mengenai gambaran komponen-komponen love berdasarkan triangular model of love bagi suami dan istri yang memiliki anak autisma di kota Bandung sehingga pasangan dapat lebih mengerti mengenai gsmbsrsn komponen-komponen love yang dimiliki dalam berelasi.
Untuk memberikan informasi mengenai perbedaan komponen-komponen love berdasarkan triangular model of love yang dihayati oleh pasangan yang memiliki anak yang didiagnosis autisma secara retrospektif, sehingga diharapkan pasangan dapat menjadikannya sebagai sumber data apabila pasangan hendak melakukan konseling rumah tangga atau konseling keluarga.
1.5 Kerangka Pemikiran
Masa dewasa awal yang dimulai dari usia sekitar 19 tahun sampai 26 tahun, dan berakhir ketika individu mencapai usia 40 tahun, merupakan waktu bagi individu dalam membangun sebuah relasi yang intim dengan individu yang
(24)
14
Universitas Kristen Maranatha lain secara emosional. (Santrock). Dalam membangun relasi tersebut dapat diwujudkan dalam sebuah ikatan pernikahan.
Pernikahan merupakan ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU Pernikahan tahun 1974 pasal 1). Dalam pernikahan berarti persatuan antara dua individu yang berbeda jenis kelamin dan mereka akan membentuk sebuah keluarga ditambah dengan kehadiran seorang anak.
Kehadiran seorang anak merupakan suatu hal yang penting dalam sebuah pernikahan. Dalam sebuah pernikahan kehadiran anak memang merupakan sukacita, namun kehadiran anak juga dapat menimbulkan stres dan konflik baru dalam kehidupan rumah tangga, baik itu mengenai pemenuhan finansialnya, pemenuhan afeksi dan perhatian, apalagi dalam kondisi penyesuaian yang dirasa masih labil dalam kehidupan pernikahan. Dengan demikian, kehadiran anak dapat membawa perubahan dalam relasi yang terdapat pada suami dan istri.
Tidak semua anak lahir dalam kondisi normal misalnya anak-anak yang berkebutuhan khusus. Salah satu diantaranya adalah autisma, yang merupakan gangguan perkembangan yang kompleks, karena disebabkan oleh gangguan syaraf yang mempengaruhi fungsi normal otak, khususnya bidang kecakapan berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Anak yang memiliki gangguan autisma akan memiliki masalah dalam perilakunya sehari-hari, diantaranya perilaku hiperaktivitas atau hipoaktivitas. Anak sulit untuk mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan mereka, tantrum, sulit bergaul dengan orang lain, tidak
(25)
15
Universitas Kristen Maranatha ingin memeluk atau dipeluk, jelas sangat peka atau tidak peka sama sekali terhadap rasa sakit, kecakapan motorik kasar/halus tidak seimbang dan sebagainya. Bahkan dalam beberapa kasus, perilaku agresif atau melukai diri sendiri juga muncul. Oleh karena itu, orangtua yang memiliki anak dengan gangguan autisma, akan memiliki kesulitan yang lebih besar dalam merawat anak mereka dibandingkan dengan orangtua yang memiliki anak yang normal. Konflik dapat muncul disebabkan oleh hal tersebut.
Walaupun suami dan istri memiliki peran yang berbeda dalam rumah tangga, namun mereka harus bahu-membahu merawat dan mendidik anak-anaknya, baik itu yang normal, maupun yang autis. Apabila kesulitan tersebut tidak dapat diantisipasi secara baik, maka dapat menimbulkan stres dalam keluarga yang dapat menyebabkan perceraian. Padahal seorang anak, baik itu anak yang normal ataupun autisma sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orangtuanya untuk dapat tumbuh dan berkembang.
Suatu pernikahan, umumnya dibangun oleh setiap pasangan atas dasar cinta. Cinta tersebut didefinisikan sebagai hasil emosi yang vital dan mendalam dari pemuasan kebutuhan, yang berarti, bersamaan dengan perhatian dan penerimaan terhadap pasangan serta menghasilkan hubungan yang mendalam atau intim (Lamanna dan Riedmann, 1985). Pada suatu hubungan suami isteri yang didasari oleh love, terdapat tiga komponen dari love, yaitu passion, intimacy, dan commitment (Stenberg,1984).
Intimacy merujuk pada perasaan kedekatan yang dimiliki oleh pasangan, adanya ketertarikan akan relasi mereka yang berdasarkan cinta dan
(26)
16
Universitas Kristen Maranatha memiliki bentuk tingkah laku yang terdapat dalam hubungan mereka seperti cara masing-masing individu menghargai pendapat pasangannya dan mengerti masalah yang dihadapi oleh pasangan. Kedua adalah passion, merujuk pada dorongan yang menimbulkan adanya ketertarikan secara fisik, kedekatan secara fisik dan penyaluran dorongan seksual, memiliki bentuk tingkah laku yang terdapat dalam hubungan seperti adanya ketertarikan pada pasangan atau kontak fisik yang dilakukan terhadap pasangannya. Terakhir adalah decision/commitment yang merujuk pada keputusan untuk mencintai pasangannya secara mendalam dan menjaga perasaan cinta masing-masing, bentuk tingkah lakunya adalah kesetiaan dan loyalitas terhadap hubungan pernikahan.
Idealnya, suatu hubungan cinta, terlebih yang sudah terwujud menjadi sebuah pernikahan, didasari oleh komponen cinta yang saling berinteraksi dan saling mengisi. Artinya, secara proporsional masing-masing pasangan suami-istri harus mampu mengekspresikan intimacy, passion dan commitment secara seimbang sebagai faktor utama perekat keutuhan rumah tangga. Oleh karena itu, ketiga komponen love tersebut dibutuhkan dalam suatu kehidupan pernikahan. Demikian pula dalam fungsi waktu, derajat tinggi rendahnya komponen cinta dapat mengalami perubahan.
Menurut Sternberg, dukungan keluarga dan status sosio ekonomi yang dimiliki oleh pasutri dapat berpengaruh terhadap perubahan yang terjadi dalam kehidupan pernikahan pasangan, namun faktor yang paling berpengaruh terhadap perubahan relasi pasutri adalah pengalaman yang yang terjadi dalam perjalanan kehidupan pernikahan setiap pasangan. Adapun yang termasuk dalam pengalaman
(27)
17
Universitas Kristen Maranatha dapat berupa pengalaman secara fisik maupun secara emosional, pengalaman dengan pasutri ataukah dengan orang-orang disekitarnya seperti orangtua dan keluarga dan juga apakah pasutri tersebut memiliki pengalaman yang menyenangkan atau bahkan sebaliknya. Pada pasutri yang memiliki anak autisma, pengalaman dalam kehidupan pernikahan seperti kehadiran anak yang menderita autisma amat berpeluang menjadi pengalaman yang kurang menyenangkan dan secara perlahan-lahan akan mengubah harmonisasi dari ketiga komponen cinta pada pasangan suami-istri yang bersangkutan.
Penghayatan sebelum memiliki anak autisma masing-masing pasangan mampu mengekspresikan intimacy, passion dan commitment secara harmoni, maka penghayatan setelah memiliki anak autisma harmonisasi dari ketiga komponen cinta itu memperlihatkan pergeseran, misalnya, penghayatan yang dirasakan sebelum anaknya didiagnosis autis, intimacy yang dimiliki oleh pasutri tinggi, pasangan saling terbuka satu dengan yang lainnya, memiliki penghargaan yang tinggi terhadap pasutri, memahami, menerima pasutri apa adanya dan memberi dukungan emosional pada pasutri, sedangkan penghayatan setelah pasutri memiliki anak yang didiagnosis autisma, intimacy tersebut dapat berubah menjadi rendah, pasutri menjadi lebih tertutup dengan pasangannya, juga tidak ada lagi kedekatan atau kehangatan dalam hubungan.. Dapat juga terjadi, komponen intimacy yang semula rendah menjadi meningkat, pasutri saling terbuka, mereka mengomunikasikan pikiran dan perasaannya masing-masing, dan merasa dekat satu dengan lainnya, karena terbina saling berbagi, memiliki
(28)
18
Universitas Kristen Maranatha pemahaman lebih besar tentang keadaan pasangannya dan secara bersama-sama merawat anaknya yang didiagnosis autis.
Dalam hal passion, penghayatan sebelum pasutri memiliki anak yang didiagnosis autisma, passion yang dimiliki oleh pasutri dapat tinggi, pasutri memiliki dorongan dan hasrat yang kuat untuk melakukan kontak fisik dan pasutri merasa bahwa pasangannya sangat memiliki daya tarik. Passion tersebut dapat berubah, pasutri dapat merasa bahwa daya tarik dari pasangannya berkurang dan pasutri jarang dalam melakukan kontak fisik, pasutri juga jarang melakukan aktivitas bersama-sama dengan pasangannya. Atau sebaliknya, awalnya memiliki passion yang rendah namun meningkat menjadi tinggi.
Begitu pula dengan commitment, penghayatan sebelum memiliki anak yang didiagnosis autisma, pasutri memiliki commitment yang tinggi dalam pernikahan, namun penghayatan yang dimiliki setelah anaknya didiagnosis autis, commitment pasutri melemah dan keyakinan mereka untuk menjaga hubungan pernikahan dan kesetiaan menjadi berkurang. Dapat juga terjadi, awalnya pasutri memiliki commitment yang rendah, pasutri kurang memiliki keyakinan dan keputusan yang kuat untuk menjaga hubungan pernikahan, namun penghayatan setelah memiliki anak yang didiagnosis autisma, timbul semangat dalam diri pasutri untuk mempertahankan pernikahan dan bahu-membahu menjaga serta merawat anaknya tersebut.
Pergeseran dari komponen-komponen cinta dapat mempengaruhi harmonisasi antara ketiga komponen. Misalnya, passion dan intimacy menurun tetapi commitment meningkat. Artinya, pasutri mempertahankan pernikahan
(29)
19
Universitas Kristen Maranatha karena didorong oleh tanggung jawab untuk mengasuh dan merawat anaknya yang didiagnosa autisma. Kedekatan dan keterbukaan lebih banyak diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan anak melebihi kebutuhan keduanya. Akan tetapi, bisa juga terjadi, ketiga komponen cinta menurun seluruhnya, sehingga relasi pasangan suami-istri menjadi berubah secara total. Tidak tertutup kemungkinan pula, pasangan suami-istri semakin mempererat cintanya karena keberadaan ketiga komponen cinta semakin meningkat. Juga terdapat kemungkinan bahwa derajat dari komponen-komponen cintanya tidak mengalami perubahan, walaupun kemungkinannya lebih kecil dibandingkan dengan kemungkinan bahwa komponen-komponen tersebut mengalami perubahan. Intimacy, passion dan commitment dapat bertahan dari awal pernikahan sampai kepada pasutri memiliki anak yang didiagnosis autisma. Kemungkinannya cenderung lebih kecil dikarenakan dalam menjalin sebuah hubungan yang didasari oleh love, maka pengalaman yang dialami bersama pasangan, baik itu pengalaman yang dirasa menyenangkan maupun yang kurang atau tidak menyenangkan, menjadi faktor penting yang memiliki pengaruh besar dalam relasi pasangan. Setelah mengalami tahun-tahun pernikahan dan hidup bersama, melewati berbagai hal secara bersama-sama, maka pasutri tentulah memiliki pengalaman yang beraneka ragam.
(30)
20
Universitas Kristen Maranatha Skema Kerangka Pikir
Suami Komponen Love
- passion - intimacy - commitment
Istri
Komponen Love - passion - intimacy - commitment Anak didiagnosis
autisma
Faktor yang mempengaruhi perubahan relasi: 1. Pengalaman (secara fisik atau emosional)
- Menyenangkan - Tidak menyenangkan 2. Dukungan Keluarga 3. Status Sosio Ekonomi
Istri Suami
(31)
21
Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi Penelitian
Hubungan suami istri dalam suatu pernikahan dilandasi oleh love yang memiliki komponen intimacy yaitu adanya perasaan akan kedekatan yang dimiliki oleh pasutri, passion yaitu dorongan yang menimbulkan adanya ketertarikan secara fisik dan penyaluran dorongan seksual dan decision/commitment yaitu keputusan untuk mencintai pasangannya secara mendalam dan menjaga perasaan cinta masing-masing, yang membentuk triangular model of love.
Dalam suatu pernikahan, pasangan suami istri memiliki triangular model of love yang berbeda-beda tergantung dari derajat komponen love yang dihayati. Pengalaman yang dimiliki oleh pasutri yang memiliki anak autisma, dapat menyebabkan komponen love yang dimiliki berpeluang untuk berubah derajat tinggi rendahnya, sehingga terdapat perbedaan komponen-komponen love berdasarkan triangular model of love yang dihayati oleh pasutri secara retrospektif sebelum dan sesudah memiliki anak yang didiagnosis autisma.
1.7 Hipotesis Penelitian
Terdapat perbedaan komponen-komponen love berdasarkan triangular model of love yang dihayati oleh pasangan secara retrospektif sebelum dan sesudah pasangan memiliki anak yang didiagnosis autisma di kota Bandung.
(32)
66
Universitas Kristen Maranatha
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat ditarik suatu gambaran umum mengenai perbedaan komponen-komponen Love yang dihayati secara retrospektif pada pasutri yang memiliki anak yang didiagnosis autisma di kota Bandung, dengan kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan komponen-komponen love yang dihayati oleh pasutri secara retrospektif sebelum dan sesudah memiliki anak yang didiagnosis autisma dengan arah yang negatif (terjadi perubahan dalam arah mengalami penurunan).
2. Setelah memiliki anak yang didiagnosis autisma, pada suami terdapat perubahan yang signifikan pada komponen intimacy, passion dan decision/commitment sedangkan pada istri, perubahan yang signifikan hanya terjadi pada komponen intimacy.
3. Perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh pengalaman kurang menyenangkan yang dialami oleh pasutri berupa didiagnosisnya anak mereka mengalami autisma, juga dukungan keluarga yang didapat.
(33)
67
Universitas Kristen Maranatha
5.2. Saran
5.2.1. Teoretis
Bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian sejenis agar dapat mengadakan penelitian-penelitian dengan desain penelitian yang lebih spesifik misalnya membahas sampai ke model-model dari Triangular Model of Love agar data hasil dari penelitian dapat lebih lengkap dijaring sesuai dengan landasan teoretiknya.
5.2.2. Guna laksana
1). Bagi Pasutri yang Memiliki Anak yang Didiagnosis Autisma
Agar dapat menggunakan informasi mengenai komponen-komponen love yang dihayati secara retrospektif sebelum dan sesudah memiliki anak autisma untuk lebih mengerti gambaran komponen-komponen love berdasarkan triangular model of love dalam berelasi, dan dapat memanfaatkannya untuk memfasilitasi kegiatan konseling pasangan/keluarga bila terdapat konflik-konflik yang muncul, baik secara perorangan, berpasangan, maupun dalam kelas sehingga dapat dilakukan program pelatihan, workshop, atau sesi konseling bagi pasutri tersebut. 2). Bagi Suami dan Istri yang Memiliki Anak yang Didiagnosis Autisma - Bagi suami, agar dapat menggunakan informasi mengenai triangular model
of love sebagai salah satu sudut pandang untuk melihat dan ikut menghayati situasi emosional yang dialami oleh istri sehingga dapat memahami kesulitan yang dimiliki oleh istri.
(34)
68
Universitas Kristen Maranatha - Bagi istri, agar dapat menggunakan informasi mengenai triangular model of
love sebagai salah satu sudut pandang untuk melihat dan ikut menghayati dorongan motivasional yang dimiliki oleh suami sehingga dapat memahami kesulitan yang dimiliki oleh suami.
(35)
xi
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA
Brehm/Miller/Perlman/Campbell. 2002. Intimate Relationship 3rd edition. USA : McGraw-Hill, Co
Handojo. 2003. Autisma. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia
Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology. London : Sage Publications.
Lamanna, Mary A. & Agnes Riedmann. 1985. Marriages and Families Making Choices Throughout The Life Cycle 2nd edition. California : Wadsworth Publishing Company
Millis D, Evelyn. 1977. Marriage and Familiy Development. Philadelphia : J.B.Lippincott Company
Papalia/Sterns/Feldman/Camp. 2007. Adult Development & Aging. USA : McGraw-Hill, Co
Santrock, John W. 2004. Life Span Development. USA : McGraw-Hill, Co
Sternberg, Robert. 1986. Psychological Review. USA : Yale University
Sternberg, Robert & Karin Weis. 2006. The New Psychology of Love. USA : Yale University
(36)
xii
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN
Aprilia. 2006. Studi Deskriptif Mengenai Triangular Model of Love Pada Pasangan Kristen Dalam Tiga Tahun Pernikahan di Kota Bandung (Metodologi Penelitian 2). Bandung: Fak. Psikologi Maranatha
Sternberg, Robert. 1997. European Journal of Social Psychology. USA : Yale University
(1)
1.6 Asumsi Penelitian
Hubungan suami istri dalam suatu pernikahan dilandasi oleh love yang memiliki komponen intimacy yaitu adanya perasaan akan kedekatan yang dimiliki oleh pasutri, passion yaitu dorongan yang menimbulkan adanya ketertarikan secara fisik dan penyaluran dorongan seksual dan decision/commitment yaitu keputusan untuk mencintai pasangannya secara mendalam dan menjaga perasaan cinta masing-masing, yang membentuk triangular model of love.
Dalam suatu pernikahan, pasangan suami istri memiliki triangular model of love yang berbeda-beda tergantung dari derajat komponen love yang dihayati. Pengalaman yang dimiliki oleh pasutri yang memiliki anak autisma, dapat menyebabkan komponen love yang dimiliki berpeluang untuk berubah derajat tinggi rendahnya, sehingga terdapat perbedaan komponen-komponen love berdasarkan triangular model of love yang dihayati oleh pasutri secara retrospektif sebelum dan sesudah memiliki anak yang didiagnosis autisma.
1.7 Hipotesis Penelitian
Terdapat perbedaan komponen-komponen love berdasarkan triangular model of love yang dihayati oleh pasangan secara retrospektif sebelum
(2)
Universitas Kristen Maranatha
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat ditarik suatu gambaran umum mengenai perbedaan komponen-komponen Love
yang dihayati secara retrospektif pada pasutri yang memiliki anak yang didiagnosis autisma di kota Bandung, dengan kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan komponen-komponen love yang dihayati oleh pasutri secara retrospektif sebelum dan sesudah memiliki anak yang didiagnosis autisma dengan arah yang negatif (terjadi perubahan dalam arah mengalami penurunan).
2. Setelah memiliki anak yang didiagnosis autisma, pada suami terdapat perubahan yang signifikan pada komponen intimacy, passion dan
decision/commitment sedangkan pada istri, perubahan yang signifikan hanya terjadi pada komponen intimacy.
3. Perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh pengalaman kurang menyenangkan yang dialami oleh pasutri berupa didiagnosisnya anak mereka mengalami autisma, juga dukungan keluarga yang didapat.
(3)
5.2. Saran 5.2.1. Teoretis
Bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian sejenis agar dapat mengadakan penelitian-penelitian dengan desain penelitian yang lebih spesifik misalnya membahas sampai ke model-model dari Triangular Model of Love agar data hasil dari penelitian dapat lebih lengkap dijaring sesuai dengan landasan teoretiknya.
5.2.2. Guna laksana
1). Bagi Pasutri yang Memiliki Anak yang Didiagnosis Autisma
Agar dapat menggunakan informasi mengenai komponen-komponen love
yang dihayati secara retrospektif sebelum dan sesudah memiliki anak autisma untuk lebih mengerti gambaran komponen-komponen love berdasarkan triangular model of love dalam berelasi, dan dapat memanfaatkannya untuk memfasilitasi kegiatan konseling pasangan/keluarga bila terdapat konflik-konflik yang muncul, baik secara perorangan, berpasangan, maupun dalam kelas sehingga dapat dilakukan program pelatihan, workshop, atau sesi konseling bagi pasutri tersebut. 2). Bagi Suami dan Istri yang Memiliki Anak yang Didiagnosis Autisma - Bagi suami, agar dapat menggunakan informasi mengenai triangular model
(4)
Universitas Kristen Maranatha - Bagi istri, agar dapat menggunakan informasi mengenai triangular model of
love sebagai salah satu sudut pandang untuk melihat dan ikut menghayati dorongan motivasional yang dimiliki oleh suami sehingga dapat memahami kesulitan yang dimiliki oleh suami.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Brehm/Miller/Perlman/Campbell. 2002. Intimate Relationship 3rd edition. USA : McGraw-Hill, Co
Handojo. 2003. Autisma. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia
Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology. London : Sage Publications.
Lamanna, Mary A. & Agnes Riedmann. 1985. Marriages and Families Making Choices Throughout The Life Cycle 2nd edition. California : Wadsworth Publishing Company
Millis D, Evelyn. 1977. Marriage and Familiy Development. Philadelphia : J.B.Lippincott Company
Papalia/Sterns/Feldman/Camp. 2007. Adult Development & Aging. USA : McGraw-Hill, Co
Santrock, John W. 2004. Life Span Development. USA : McGraw-Hill, Co
Sternberg, Robert. 1986. Psychological Review. USA : Yale University
Sternberg, Robert & Karin Weis. 2006. The New Psychology of Love. USA : Yale University
(6)
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN
Aprilia. 2006. Studi Deskriptif Mengenai Triangular Model of Love Pada Pasangan Kristen Dalam Tiga Tahun Pernikahan di Kota Bandung (Metodologi Penelitian 2). Bandung: Fak. Psikologi Maranatha
Sternberg, Robert. 1997. European Journal of Social Psychology. USA : Yale University