kesalahan penggunaan bahasa jepang mahasiswa dengan dosen pada mahasiswa sastra jepang universitas udayana.

Kode/Nama Bidang Ilmu : 532 : Sastra dan (Bahasa) Jepang

LAPORAN AKHIR
PENELITIAN HIBAH DOSEN MUDA

PENGARUH BAHASA INDONESIA DALAM PENGGUNAAN
BAHASA JEPANG MAHASISWA DENGAN DOSEN

TIM PENELITI
Ni Putu Luhur Wedayanti, S.S., M.Hum. (0830118301)
Ni Luh Kade Yuliani Giri, S.S., M.Hum. (0022078002)

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG
FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
NOVEMBER 2015

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ...............................................................................


i

HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................

ii

DAFTAR ISI ...............................................................................................

iii

RINGKASAN .............................................................................................

iv

JUDUL PENELITIAN ................................................................................

1

I PENDAHULUAN ..................................................................................


1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................

1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................

2

1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................

3

II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................

4

2.1 Kajian Pustaka .......................................................................................


4

2.3 Kerangka Teori......................................................................................

5

III METODE PENELITIAN .......................................................................

6

3.1 Metode dan Teknik Penyediaan Data ...................................................

7

3.2 Metode dan Teknik Analisis Data .........................................................

8

3.2 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data...............................


8

IV PEMBAHASAN ....................................................................................

13

V SIMPULAN.. ..........................................................................................

28

UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................

29

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

i

RINGKASAN


Penelitian ini dimotivasi oleh banyaknya kesalahan yang terjadi saat
mahasiswa menggunakan bahasa Jepang dalam berkomunikasi dengan dosen.
Kesalahan-kesalahan mahasiswa tersebut terdapat bukan hanya dalam tuturan
lisan, tetapi juga tulisan. Dengan meneliti konsep kesalahan mahasiswa,
diharapkan pengajar dapat menemukan solusi dan dapat melakukan perbaikan
terhadap kesalahan-kesalahan yang ditemukan.
Data dikumpulkan melalui kuisioner, dengan responden adalah mahasiswa
sastra Jepang, Universitas Udayana semester empat dan semester enam. Data
yang didapat kemudian diklasifikasikan sesuai dengan klasifikasi kesalahan
berbahasa berdasarkan kesalahan fonologis, kesalahan leksikal, kesalahan
sintaktik, kesalahan intrepretif, dan kesalahan pragmatik. Data yang telah
terklasifikasi kemudian dianalisis menggunakan teori taksonomi kesalahan
berbahasa oleh Tarigan (2009:83). Dalam menganalisis taksonomi kesalahan
berbahasa tersebut, dibandingkan juga dengan sistem bahasa dalam Bahasa
Indonesia untuk mengetahui pengaruh dari bahasa tersebut terhadap bentuk
tuturan mahasiswa Sastra Jepang.
Analisis kesalahan berbahasa ini sangat penting untuk dilakukan bukan
hanya sebagai sarana evaluasi dosen terhadap proses belajar mengajar, tetapi juga
langkah konkrit untuk menyelesaikan permasalahan dalam pembelajaran bahasa

Jepang. Penelitian ini diharapkan dapat membantu pembelajar bahasa Jepang
untuk berkomunikasi lebih baik dengan dosen. Implikasinya bahwa dengan dapat
menggunakan bahasa Jepang bentuk yang sopan, mahasiswa yang akan
memasuki dunia profesional dapat berkomunikasi dengan pantas dan sopan
terhadap atasannya.

ii

JUDUL PENELITIAN: PENGARUH BAHASA INDONESIA DALAM
PENGGUNAAN BAHASA JEPANG MAHASISWA DENGAN DOSEN
(Studi Kasus Mahasiswa Sastra Jepang, Universitas Udayana)
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembelajaran bahasa asing, sebagai bahasa kedua, yang dilakukan setelah
dewasa kerap menemui kesulitan karena sistem bahasa ibu telah tertanam dalam
di otak pembelajar bahasa kedua tersebut. Hal ini dapat menjadi faktor
penghalang pembelajar bahasa asing untuk dapat menguasai bahasa asing
tersebut dengan baik. Meskipun melakukan kesalahan dalam mempelajari bahasa
kedua (bahasa asing) dianggap sebagai sesuatu yang wajar, tetapi dengan analisis
kesalahan berbahasa, kesalahan tersebut dapat diuraikan konsep kesalahannya,

sehingga dapat menjadi jalan yang lebih singkat untuk memperbaiki kesalahan
dan menguasai bahasa yang dipelajari lebih sempurna.
Permasalahan mengenai pengaruh bahasa Ibu dalam pembelajaran bahasa
asing juga disampaikan oleh Juaningsih (2010:2) bahwa pemerolehan bahasa
asing sebagai bahasa kedua bagi pembelajar dewasa bukan merupakan hal yang
mudah, karena dalam diri mereka telah tertanam kaidah bahasa ibu mereka (B1).
Pengaruh sistem bahasa Indoenesia atau bahasa daerah (bahasa Bali) pada bahasa
Jepang disebut fenomena interferensi. Fenomena interferensi seperti ini dikatakan
sebagai masalah yang diakibatkan kurangnya informasi kebahasaaan yang
mestinya dimiliki oleh setiap individu dalam rangka berkomunikasi dalam bahasa
Asing (Sudipa, 2012:108).
Ditambahkan lagi bahwa fenomena kebahasaan dalam kaitannya dengan
interferensi menurut Menyul (dalam Sudipa, 2012:108) ada empat objek yang
dapat dikaji, yaitu : (1) aspek bunyi; (2) aspek kata; (3) aspek kalimat; (4) aspek
makna. Seorang penutur yang menguasai lebih dari satu bahasa dikatakan bahwa
bahasa pertamanya cenderung memengaruhi pada saat menggunakan bahasa
lainnya. Pengaruh yang bisa terjadi di bidang frase kerap terjadi kesalahan posisi
inti dan modifier karena sistem susunan inti dan modifier dalam bahasa Jepang
dan bahasa Indonesia yang berbeda. Misalnya, mahasiswa memanggil dosen
1


dengan Sensei Yanti , yang seharusnya adalah Yanti sensei „Ibu (guru) Yanti‟.
Hal tersebut diakibatkan oleh pengaruh bahasa Indonesia yang memiliki susunan
inti mendahului modifier yaitu Ibu Yanti. Tipe kesalahan sejenis juga terjadi saat
mahasisa berkomunikasi dengan dosen dalam proses belajar mengajar.
Mahasiswa kerap menerjemahkan langsung sistem bahasa Indonesia ke dalam
kalimat berbahasa Jepang yang menyebabkan kalimat tersebut tidak alamiah dan
rancu dalam sistem bahasa Jepang.
Kesalahan-kesalahan yang disebabkan pengimplementasian sistem bahasa
satu ke bahasa lainnya harus segera diidentifikasi dengan tepat. Hal ini tidak saja
terkait pada ketidaktepatan pemilihan strategi pembelajaran yang dapat
mengakibatkan kesalahan terendapkan dan tidak terperbaiki, tetapi juga
kekhawatiran mahasiswa akan lulus dan menghadapi dunia profesional dengan
bekal kemampuan bahasa yang tidak matang. Melihat banyaknya kesalahan yang
dilakukan oleh mahasiswa sebagai pembelajar bahasa Jepang, peneliti tertarik
untuk mengkaji lebih lanjut permasalahan kesalahan berbahasa mahasiswa saat
berbicara menggunakan bahasa Jepang dengan dosen. Orientasi idealis penelitian
ini adalah teridentifikasinya kesalahan-kesalahan berbahasa mahasiswa, sehingga
dapat dengan segera dievaluasi dan ditemukan langkah-langkah untuk
memperbaiki kesalahan tersebut sebagai solusi konkrit bagi proses pembelajaran

bahasa Jepang, di Universitas Udayana.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut, maka dirumuskan
dua permasalahan, yaitu :
1. Bagaimana klasifikasi kesalahan berbahasa mahasiswa sastra Jepang sesuai
dengan taksonomi kesalahan berbahasa?
2. Bagaimana tipe perawatan yang tepat terhadap kesalahan berbahasa
mahasiswa sastra Jepang sesuai dengan taksonomi kesalahan berbahasanya?

2

1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian mengenai analisis kesalahan berbahasa mahasiswa sastra Jepang
terhadap dosen ini, memiliki beberapa tujuan, yakni :
1

Untuk mengetahui tipe-tipe kesalahan yang konseptual dalam tuturan bentuk
sopan bahasa Jepang mahasiswa ketika berkomunikasi dengan dosen, di
Universitas Udayana,


2

Untuk memperoleh tipe-tipe perawatan yang tepat setelah mengetahui konsep
atau tipe kesalahan berbahasa yang terjadi pada mahasiswa,

3

Untuk memberi bantuan yang paling relevan pada pembelajar bahasa Jepang,
dan merencanakan proses belajar mengajar yang lebih baik agar tidak terjadi
lagi kesalahan yang serupa.

3

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka
Beberapa tinjauan pustaka dan teori digunakan untuk membantu proses
analisis dalam penelitian ini. Pengamatan mengenai kesalahan berbahasa telah
dilakukan oleh banyak ahli diantaranya adalah Sudipa (2012), Prasetya, dkk

(2013), dan Nugraha (2001).
Sudipa (2012) meneliti mengenai “Pengaruh Negatif Sintaksis dan Semantik
Bahasa Indonesia pada Bahasa Inggris Tulis Mahasiswa di Bali”. Dalam
penelitian tersebut, Sudipa menemukan bahwa adanya interferensi dari bahasa
Indonesia yang memengaruhi pilihan penggunaan kata secara semantis, dan
sintaksis ketika menulis karangan berbahasa Inggris. Data dikumpulkan dari
empat universitas di Bali yang memiliki jurusan bahasa Inggris, yaitu, Universitas
Udayana, Universitas Mahasaraswati, Universitas Warmadewa, dan Universitas
Pendidikan Ganesha. Data yang terkumpul diklasifikasikan menjadi kesalahan
pemilihan leksikon secara semantik, dan kesalahan penggunaan leksikon secara
sintaksis. Data yang telah terklasifikasi kemudian disandingkan dengan sistem
semantik dan sintaksis bahasa Indonesia. Ditemukan bahwa banyak mahasiswa
yang masih menggunakan aturan bahasa Indonesia dalam karangan berbahasa
Inggris.
Penelitian yang dilakukan oleh Sudipa digunakan sebagai referensi karena
kesalahan serupa juga terjadi pada mahasiswa sastra Jepang, Universitas Udayana.
Meskipun objek penelitian dan teori yang digunakan berbeda, penelitian ini sangat
berguna karena memberikan masukan penulis mengenai konsep interferensi
bahasa Indonesia terhadap bahasa Inggris mahasiswa yang diteliti.
Prasetya, dkk (2013) meneliti mengenai “Analisis Kesalahan Berbahasa
Tuturan Mahasiswa dalam Proposal Skripsi Mahasiswa”. Penelitian ini terfokus
pada kesalahan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar pada forum
resmi ujian proposal skripsi. Kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa sebagian
besar dilakukan dengan menggunakan kalimat yang tidak lengkap, atau terkadang

4

kalimat yang tidak efektif, kalimat yang tidak sesuai aturan bahasa Indonesia,
sehingga tuturan mahasiswa tersebut sulit untuk dipahami. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Kemudian
setelah dianalisis, didapatkan empat tipe kesalahan yang membuat kalimat bahasa
Indonesia mahasiswa menjadi tidak efektif, yakni kesalahan penghilangan,
kesalahan penambahan, kesalahan formasi, kesalahan susun. Kesalahan-kesalahan
tersebut menyebabkan banyak tuturan yang sulit untuk dipahami bahkan tidak
dimengerti oleh peserta seminar.
Nugraha (2001) meneliti mengenai “Kesalahan-kesalahan Berbahasa
Indonesia Pembelajar Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing: Sebuah
Penelitian Pendahuluan”. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kesalahan
berbahasa yang dilakukan oleh pembelajar bahasa Indonesia. Kesalahan yang
ditemukan setelah dianlisis berupa kalimat tidak efektif, pemilihan leksikon, afiks,
konjugasi, susunan kata, penggunaan kata sambung “yang”, kata jamak, dan
penggunaan preposisi. Kemudian, untuk menyelesaikan permasalahan kesalahan
berbahasa tersebut ditawarkan program remedial, yaitu : pemberian informasi
tentang kesalahan-kesalahan berbahasa yang dilakukan pembelajar, koreksi secara
berpasangan dan koreksi individual, pemberian contoh-contoh yang benar atas
kesalahan-kesalahan yang terjadi, pemberian deretan-deretan morfologis dan katakata bersinonim dalam konteks, serta diskusi bersama pembelajar tentang
penyebab kesalahan pembelajar.

2.2 Kerangka Teori
Penelitian ini menggunakan teori analisis kesalahan berbahasa dan tahaptahap pelaksanaan remidi yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kesalahan
berbahasa yang disampaikan oleh Tarigan. Teori yang disampaikan oleh Tarigan
dianggap paling tepat untuk menganalisis data sesuai tujuan penelitian.
Dalam pembelajaran bahasa, Tarigan (2009: 14) menyatakan bahwa
kesalahan berbahasa sering dijumpai tidak hanya oleh pembelajar bahasa kedua
sebagai bahasa asing, tetapi juga oleh pembelajar bahasa pertama. Menurut

5

Tarigan, berkaitan dengan istilah kesalahan berbahasa, terdapat dua istilah yang
memiliki makna yang hampir sama, yaitu kesalahan dan kekeliruan. Kesalahan
berbahasa menurutnya adalah penggunaan bahasa yang menyimpang dari kaidah
bahasa yang berlaku dalam bahasa tersebut, sedangkan kekeliruan berbahasa
didefinisikan sebagai penggunaan bahasa yang menyimpang dari kaidah bahasa
yang berlaku dalam bahasa tersebut namun tidak dipandang sebagai pelanggaran
berbahasa (Tarigan, 1997:70). Berikut adalah tabel perbandingan kesalahan dan
kekeliruan berbahasa.
Kategori Sudut Pandang

Kesalahan Berbahasa

Kekeliruan Berbahasa

1. Sumber

Kompetensi

Performansi

2. Sifat

Sistematis, berlaku secara Acak,tidak

sistematis,

umum

secara individual

3. Durasi

Permanen

Temporer/Sementara

4. Sistem Linguistik

Sudah dikuasai

Belum dikuasai

5. Produk

Penyimpangan

kaidah Penyimpangan

bahasa
6. Solusi

Dibantu

kaidah

bahasa
oleh

melalui

guru Diri sendiri (siswa) :
latihan mawas diri, pemusatan

pengajaran remedial

perhatian

Selain itu, Corder (dalam Indihadi, 2009: 45) juga membahasa mengenai
kesalahan berbahasa. Corder menggunakan tiga istilah untuk memetakan ruang
lingkup kesalahan berbahasa yaitu :
1. Lapses adalah kesalahan berbahasa akibat penutur beralih cara untuk
menyatakan sesuatu sebelum keseluruhan tuturan kalimat selesai
dijelaskan dengan lengkap. Kesalahan ini sering disebut juga slip of the
tounge dalam tuturan langsung, sedangkan dalam tulisan kesalahan ini

kerap disebut slip of the pen.

6

2. Error didefinisikan sebagai kesalahan berbahasa akibat penutur melanggar
kaidah atau aturan tata bahasa (breaches of code ). Kesalahan ini terjadi
akibat penutur sudah memiliki aturan (kaidah) tata bahasa yang berbeda
dari

tata

bahasa

yang

lain,

sehingga

itu

berdampak

pada

kekurangsempurnaan atau ketidakmampuan penutur.
3. Mistake adalah kesalahan berbahasa akibat penutur tidak tepat dalam
memilih kata atau ungkapan untuk situasi tertentu. Kesalahan ini mengacu
kepada kesalahan akibat penutur tidak tepat menggunakan kaidah yang
diketahui benar, bukan karena kurangnya penguasaan bahasa kedua (B2).
Kesalahan disebabkan oleh produk tuturan yang tidak benar.
Kesalahan-kesalahan

berbahasa

ini

kemudian

dipetakan/dibedakan

wilayah atau klasifikasi kesalahannya (taksonomi kesalahan). Beberapa ahli
memberikan berbagai macam taksonomi kesalahan berbahasa diantaranya adalah
Burt, Dulay, Krashen, Nurhadi maupun Tarigan. Tarigan (2009:83) memberikan
empat taksonomi berbahasa yang cakupannya lebih luas, yakni taksonomi
kategori linguistik, taksonomi siasat permukaan, taksonomi komparatif, dan
taksonomi efek komunikatif.
Nurhadi (dalam Indihadi, 2009 7--8) juga memberikan empat kategori
taksonomi kesalahan berbahasa yaitu taksonomi kategori linguistik, taksonomi
kategori strategi performansi, taksonomi kategori komparatif, dan taksonomi
kategori efek komunikasi. Taksonomi kategori linguistik mengklasifikasikan
kesalahan berbahasa berdasarkan kesalahan yang terjadi pada komponen bahasa
maupun konsistensi bahasa, yaitu kesalahan pada tataran fonologi, kesalahan pada
tataran morfologi dan sintaksis, kesalahan pada tataran semantik dan kata, dan
kesalahan tuturan wacana.
Taksonomi kategori strategi performansi kesalahan dibedakan karena
adanya penyimpangan bahasa yang terjadi pada pemerolehan dan pengajaran
bahasa kedua. Dalam kategori strategi performansi, tataran kesalahan berbahasa
dapat dibedakan menjadi empat kesalahan, yaitu :

7

1. Penanggalan (omission) yaitu penutur bahasa menanggalkan satu atau
lebih unsur-unsur bahasa yang diperlukan dalam suatu frase atau kalimat.
Akibatnya terjadi penyimpangan konstrusksi frase atau kalimat.
2. Penambahan (addition) yaitu penutur bahasa menambahkan satu atau lebih
unsur-unsur bahasa yang tidak diperlukan dalam suatu frase atau kalimat.
Akibatnya terjadi penyimpangan konstruksi suatu frasa atau kalimat.
3. Kesalahbentukkan (misformation) yaitu penutur membentuk suatu frasa
atau kalimat yang tidak sesuai kaidah bahasa itu. Akibatnya konstruksi
frasa atau kalimat menjadi salah.
4. Kesalahurutan (misordering) yaitu penutur menyusun atau mengurutkan
unsur-unsur bahasa dalam suatu konstruksi frasa atau kalimat di luar
kaidah bahasa tersebut.
Berdasarkan taksonomi komparatif, kesalahan dibedakan menjadi empat tataran
kesalahan, yaitu :
1. Kesalahan interlingual yang disebut juga kesalahan interferensi, yakni
kesalahan yang bersumber dari pengaruh bahasa pertama terhadap bahasa
kedua.
2. Kesalahan intralingual yakni kesalahan berbahasa yang diakibatkan
penguasaan atau pemahaman terhadap bahasa kedua yang kurang
memadai.
3. Kesalahan ambigu yakni kesalahan berbahasa yang merefleksikan
kesalahan intralingual dan interlingual, yakni kesalahan yang diakibatkan
oleh kesalahan interlingual dan kesalahan intralingual.
4. Kesalahan unik adalah kesalahan yang tidak dapat dideskripsikan
berdasarkan tataran kesalahan intelingual dan intralingual. Kesalahan ini
tidak dapat dilacak atau diprediksi penyebabnya apakan kesalahan
interlingual ataupun intralingual.
Berdasarkan kategori efek komunikasi yang didefinisikan sebagai kesalahan
berbahasa yang menjadi kesalahan lokal yaitu kesalahan pada konstruksi kalimat

8

yang ditanggalkan salah satu unsurnya akibatnya proses komunikasi menjadi
terganggu. Dan kesalahan global yaitu kesalahan pada tataran bahasa yang
menyebabkan seluruh tuturan atau isi yang dipesankan dalam berkomunikasi, baik
lisan maupun tulisan menjadi tidak dapat dipahami.
Setelah mengklasifikasikan taksonomi kesalahan berbahasa, Tarigan
menjelaskan

langkah-langkah

prosedur

untuk

mengurangi

atau

bahkan

menghilangkan sama sekali kesalahan-kesalahan berbahasa tersebut sebagai
berikut: (1) mengumpulkan data yang berupa kesalahan-kesalahan berbahasa yang
dibuat pembelajar, (2) mengidentifikasi dan mengklasifikasi kesalahan; tahap
pengenalan dan pemilah-milahan kesalahan berdasarkan kategori ketatabahasaan,
(3) membuat peringkat kesalahan yang berarti membuat urutan kesalahan
berdasarkan keseringan kesalahan-kesalahan itu muncul, (4) menjelaskan
kesalahan dengan mendeskripsikan letak kesalahan, sebab-sebabnya dan
pemberian contoh yang benar, (5) membuat perkiraan daerah atau butir
kebahasaan yang rawan menyebabkan kesalahan, dan (6) mengoreksi kesalahan
berupa pembetulan dan penghilangan kesalahan berupa penyusunan bahan yang
tepat dan penentuan strategi pembelajaran yang serasi (Tarigan, 2009: 71-72).
Setelah melakukan prosedur identifikasi yang tepat, kesalahan-kesalahan
mahasiswa tersebut kemudian diklasifikasikan ke dalam empat taksonomi
kesalahan berbahasa, yakni taksonomi kategori linguistik, taksonomi siasat
permukaan, taksonomi komparatif, dan taksonomi efek komunikatif (Tarigan,
2009: 83). Selain langkah-langkah yang diajukan di atas, Tarigan juga
mengajukan tahap-tahap pembelajaran remedi sebagai tindak lanjut dari
identifikasi dan analisis kesalahan-kesalahan berbahasa. Tahap-tahap itu meliputi,
diagnosis

kesalahan,

perawatan/penyembuhan

kesalahan,

penanggulangan

kesalahan dan perbaikan kesalahan. Pembelajaran remedi ini hendaknya
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan (1) frekuensi kesalahan, (2)
kesalahan insidental atau kesalahan abadi/terus-menerus, (3) dampak kesalahan
tersebut terhadap performansi berbahasa pembelajar, (4) dampak kesalahan
tersebut terhadap pemaknaan bahasa,

9

(5) peluang keberhasilan dalam

pengurangan kesalahan, (6) dampak pada pembelajar itu sendiri (Tarigan, 2009:
50-56).

10

III METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang menggambarkan
dengan jelas suatu hal/fenomena, sekaligus menerangkan hubungan, menentukan
prediksi serta mendapatkan makna dan implikasi dari suatu masalah yang ingin
dipecahkan. Populasi penelitian ini adalah kesalahan berbahasa dalam tes tertulis
pembelajar bahasa Jepang di Universitas Udayana semester empat dan enam
tahun 2015. Sumber data primer dari penelitian ini adalah jawaban dari kuisioner
yang disebarkan kepada 120 orang mahasiswa. Instrumen penelitian adalah
kuisioner yang berisi dua puluh pertanyaan terkait tuturan yang harusnya
diucapkan mahasiswa jika berkomunikasi dengan dosen.

Mahasiswa yang

digunakan sebagai responden adalah mahasiswa semester empat dan enam, karena
mahasiswa tersebut dalam kurikulum Program Studi Sastra Jepang telah
mengambil mata kuliah yang tata bahasa maupun percakapan bentuk honorifik
bahasa Jepang.
3.1Metode dan Teknik Penyediaan Data
Dalam penyediaan data penelitian ini, peneliti menggunakan metode simak
(pengamatan/observasi) yakni metode yang digunakan dengan menyimak
penggunaan bahasa. Sebagai lanjutannya, peneliti menggunakan teknik simak
bebas libat cakap yaitu peneliti tidak ikut serta dalam proses interaksi tersebut
sehingga dapat melihat penggunaan bahasa secara objektif (Mahsun, 2005:242).
Data primer disediakan dengan memberikan kuesioner atau daftar
pertanyaan yang jelas dan terperinci kepada informan yang dianggap memenuhi
syarat yang diperlukan sebagai data penelitian ini (Wiseman dan Aron, 1970 dalam
Mahsun,

2005:246).

Dari

hasil

penyebaran

kuisioner

tersebut,

peneliti

mengklasifikasn data sesuai dengan tipe kesalahan, kemudian dilakukan pencatatan,
tahap selanjutnya adalah analisis data.

11

3.2 Metode dan Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis permasalahan kesalahan
penggunaan bahasa Jepang bentuk sopan mahasiswa kepada dosen adalah metode
kualitatif. Sedangkan, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik
klasifikasi dan menguraikan (Ratna, 2010: 211). Teknik yang pertama digunakan
agar data yang dianalisis telah diklasifikasikan sesuai dengan masalah yang
dianalisis. Selanjutnya, diuraikan sesuai dengan tipe kesalahan berbahasa
taksonomi kesalahan berbahasa menurut Tarigan. Setelah diklasifikasikan dan
dianalisis

kesalahan

berbahasa

mahasiswa

sesuai

taksonomi

kesalahan

berbahasanya, lalu dianalisis proses remidi yang paling tepat untuk masingmasing tipe kesalahan berbahasa tersebu.
3.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Terdapat dua metode dalam penyajian hasil analisis data, yaitu metode
formal dan informal (Sudaryanto, 1993: 145-146). Metode informal dilakukan
dengan mendeskripsikan bentuk permasalahan dalam pembelajaran bahasa Jepang
sebagai bahasa asing yang dihadapi mahasiswa. Metode formal disajikan dengan
pemaparan jumlah semua bentuk kesalahan penggunaan bahasa Jepang bentuk
sopan mahasiswa kepada dosen dengan menggunakan angka dan tabel.

12

IV. PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan kuisioner sebagai

instrument

dalam

mengumpulkan data. Kuisioner yang terkumpul sangat bervariasi, dan sebagian
besar masih sangat dipengaruhi oleh pola kalimat bahasa Indonesia. Kuisioner
yang terkumpul sebanyak 54 lembar, yang merupakan mahasiswa sastra Jepang,
Universitas Udayana semester enam. Mahasiswa yang menjadi responden adalah
mereka yang dominan menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi
sehari-harinya.
Analisis

data

dilakukan

melalui

beberapa

tahapan,

yaitu,

data

diklasifikasikan berdasarkan kesalahan yang dilakukan paling sering. Setelah
terpilah, kemudian dianalisis kalimat-kalimat yang dibuat tersebut dibandingkan
dengan kalimat dalam bahasa Jepang yang seharusnya. Dari kalimat-kalimat yang
salah tersebut, dicari kalimat-kalimat yang memiliki kesalahan sama atau mirip
dan kemudian dianalisis penyebab kesalahannya. Kalimat bahasa Jepang tersebut
dibandingkan dengan kalimat bahasa Jepang dari data secara langsung sehingga
akan terlihat kesalahan-kesalahan yang ada dengan lebih jelas. Berikut adalah
kalimat bahasa Jepang yang benar dari kuisioner yang diberikan.
Pertanyaan dalam kuisioner :
1. Bagaimanakah cara anda memastikan janji tugas bimbingan dengan
dosen?
2. Bagaimanakah cara anda menolak suruhan dosen untuk menjadi panitia
pada seminar yang diadakan program studi?
3. Bagaimana cara anda memberitahu bahwa dosen anda salah menulis kanji
yang ada di papan tulis?
4. Bagiamana cara anda mengusulkan agar tenggat waktu pengumpulan tugas
diperpanjang dua hari?
5. Bagaimana cara anda meminta ijin untuk permisi ke kamar kecil di tengah
pelajaran?

13

6. Bagaimana cara anda untuk meminta diijinkan meminjam buku milik
dosen?
7. Bagaimana cara anda untuk menawarkan diri membawakan tape yang

dibawa oleh dosen?
8. Bagaimana cara anda untuk meminta tolong agar dijelaskan kembali oleh
dosen mengenai bab yang belum dipahami?
9. Bagaimana cara anda meminta ijin tidak mengikuti perkuliahan karena ada
urusan mendadak?
10. Bagaimana cara anda menyampaikan pada dosen jika ingin meminjam
tape untuk dibawa ke kelas?
Pertanyaan dalam kuisioner adalah konteks situasi yang harus dibuat oleh
mahasiswa. Meskipun hanya sepuluh pertanyaan yang diminta untuk dibuat
kalimatnya, akan tetapi dari sepuluh kalimat tersebut telah dapat menjawab
pengaruh bahasa Indonesia dalam bahasa Jepang mahasiswa program studi Sastra
Jepang, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana. Konteks percakapan
dengan dosen dijadikan sebagai situasi dalam kuisioner karena percakapan dengan
dosen merupakan percakapan semiformal yang sarat dengan nilai kesantunan dan
terkadang terdapat kesungkanan di beberapa hal. Oleh sebab itu, dalam
percakapan tersebut, apakah mahasiswa beralih kode menggunakan bahasa
Indonesia dicampur dengan bahasa Jepang, ataukah bahasa Jepang dengan sistem
tata bahasa bahasa Indonesia.
Data-data kuisioner yang terkumpul kemudian dianalisis bentuk-bentuk
kesalahannya (taksonomi kesalahan berbahasanya) dengan harapan dapat menjadi
bahan evaluasi demi usaha memperbaiki kesalahan-kesalahan mahasiswa tersebut.
Berikut adalah contoh data-data yang dipilih dari kumpulan data, yang memiliki
kesalahan paling sering dilakukan.
1. Sensei, sumimasen, watashi wa yanti san nensei desu. Ashita jikan ga
arimasu ka. jikan ga attara Soudan shiyou to omoimasu.

14

‘Ibu (dosen), maaf, saya (mahasiswa) tingkat tiga yanti. Apa besok ada
waktu? Kalau ada waktu saya ingin mendiskusikan mengenai tugas saya.‟
2. Sensei, sumimasen, zemi no toki, watashi wa odaran ga arimasu kara,
iinkai ni naru kotow o dekimasen.

„Ibu, maaf, saat seminar, karena saya ada odalan jadi saya tidak bisa
menjadi panitia‟
3. sensei,

sumimasen,

sono

kokuban

de

kaita

kanji

ga

chotto

machigaemashita.

„Ibu, maaf, kanji yang ibu tulis di papan itu salah‟
4. Sensei, sumimasen, kono shukudai wo atsumaru jikan wa ninichi enchou
shitemo ii desuka.

„Ibu, maaf, jam pengumpulan tugas ini, bolehkah diundur hari dua?‟
5. Sensei, sumimasen, toire e ikasetemo ii deshouka.

„Ibu, maaf, bolehkah saya ke toilet?‟
6. Sensei, sumimasen, sono hon wo karitemo ii deshouka.

„Ibu, maaf, bolehkah saya meminjam buku itu?‟
7. Sensei, sumimasen, ano teepu wa motte tetsudaimasen ka.

„Ibu, maaf, saya bantu bawa tape itu?‟
8. Sensei, sumimasen, ano bun wa wakarimasen kara, mouichido setsumei
shite kudasai.

„Ibu, maaf, bagian itu saya belum mengerti, tolong jelaskan lagi.‟
9. Sensei, sumimasen, taisetsu na youji ga arimasu kara, watashi wa kougi
wo suru koto ga dekimasen.

„Ibu, maaf, karena ada urusan penting, saya tidak bisa memberi kuliah.‟
10. Sensei, sumimasen, watashi wa A sensei no kurasi ni teepu wo totte
ikimasu.

„Ibu, maaf, saya mau ambil tape untuk dibawa ke kelasnya Ibu A.‟
Berikut adalah analisis dari data yang secara kuantitas merupakan kesalahan
terbanyak yang dilakukan mahasiswa.

15

(Data 1) Sensei, sumimasen, watashi wa yanti san nensei desu. Ashita jikan ga
arimasu ka. jikan ga attara soudan shiyou to omoimasu.
„Ibu, maaf, saya Yanti mahasiswa tingkat tiga. Besok ada waktu? Kalau
ada waktu saya ingin bimbingan.

Data (1) menunjukkan kesalahan yang dipengaruhi oleh sistem bahasa
pada bahasa Indonesia. Dimulai dari klausa Sensei, sumimasen „Ibu (dosen), saya
minta maaf‟. Klausa tersebut sangat kental akan pengaruh dari budaya masyarakat
Indonesia yang masih memegang erat anggah-ungguh berbahasa dengan para
senior, atau mereka yang lebih tua, ataupun mereka yang dihormati. Dalam
kehidupan sehari-hari telah menjadi pemahaman (yang tidak selalu benar) bahwa
mahasiswa jika menghubungi dosen disamaartikan mengganggu dosen, oleh
sebab itu kebanyakan mahasiswa jika menghubungi dosen dengan telepon ataupun
pesan pendek di telepon seluler selalu diawali dengan kata maaf. Hal tersebut
tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang salah mengingat kesopanan
menunjukkan jati diri seseorang. Hanya saja, mahasiswa kerap menggunakan
aturan tersebut dalam bahasa Jepang yang memiliki budaya berbahasa yang
berbeda. Dalam berpesan singkat di telepon seluler, mahasiswa tidak meminta
maaf, akan tetapi langsung memperkenalkan diri mereka dan tujuan menghubungi
dosen. Biasanya aturan-aturan meminta maaf, mengucapkan terima kasih atas
bantuan yang telah diberikan, sesegera mungkin disampaikan di surel.
Seandainyapun meminta maaf, mahasiswa seharusnya menggunakan leksem
honorifik karena meminta maaf pada dosen yang notabene seseorang yang
dihormati.
Penggunaan kata sumimasen untuk mewakili permintaan maaf mahasiswa
ini dikarenakan dalam bahasa Indonesia yang tidak mengenal stratifikasi sistem
bahasa, kata maaf dapat digunakan untuk semua kalangan. Sedangkan dalam
bahasa Jepang, kata sumimasen „maaf‟, meskipun berarti maaf akan tetapi hanya
digunakan kepada teman sejawat (kenalan sebaya). Kata permintaan maaf yang
digunakan untuk meminta maaf kepada dosen adalah moushiwake gozaimasen

16

„maaf‟ yang sama-sama berarti maaf dalam bahasa Indonesia, akan tetapi
merupakan bentuk honorifik dalam bahasa Jepang.
Pada frasa watashi wa yanti sannensei desu „Saya Yanti mahasiswa
tingkat tiga‟ terdapat penanggalan partikel yang sangat penting dalam
kalimat/frasa bahasa Jepang, dan kesalahbentukan frasa. Frasa tersebut harusnya
watashi wa sannensei no Yanti desu. Kesalahan seperti ini kerap terjadi karena

perbedaan sistem modifier+inti antara bahasa Indonesia dan bahasa Jepang.
Dalam bahasa Jepang inti didahului modifier dan tetap harus ada partikel yang
yang memiliki fungsi gramatikal. Sedangkan dalam bahasa Indonesia inti diikuti
oleh modifier tanpa harus ada partikel apapun.
Bahasa Indonesia (Inti + Modifier)

watashi wa yanti sannensei desu (x)
saya Top Yanti tingkat 3 Kop
Saya Yanti (mahasiswa) tingkat tiga.

Bahasa Jepang (modifier + inti)
(o)

watashi wa sannensei no Yanti desu.

saya Top tingkat 3 Gen Yanti Kop.
Saya, Yanti (mahasiswa) tingkat tiga
Dari perbandingan struktur kedua bahasa yang berbeda tersebut, sangat
jelas terlihat mahasiswa masih terpengaruh sistem tata bahasa dalam bahasa
Indonesia saat membuat kalimat dalam bahasa Jepang.
Kalimat selanjutnya ashita jikan ga arimasu ka. jikan ga attara soudan
shiyou to omoimasu. „apakah besok ada waktu? Kalau ibu ada waktu, saya

bermaksud untuk bimbingan‟. Kalimat tersebut dari segi struktur tata bahasa
masih berterima, dengan arti bahwa secara tata bahasa kalimat tersebut tidak salah,
akan tetapi secara pragmatik kalimat tersebut kurang tepat dan mengandung
ketidaksopanan. Karena berbicara kepada dosen, seharusnya mahasiswa
menggunakan kata yang lebih sopan (bentuk honorifik). Untuk ungkapan meminta
bimbingan, dalam bahasa Jepang sesungguhnya sudah ada frasa yang biasa
digunakan untuk maksud tersebut, yaitu soudan ni noru „meminta bimbingan.

17

Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai perbedaan tersebut, berikut
adalah kedua data :
Data mahasiswa salah : Sensei, sumimasen, watashi wa yanti san nensei desu.
Ashita jikan ga arimasu ka. jikan ga attara soudan
shiyou to omoimasu.
„Ibu (dosen) maaf, saya Yanti (mahasiswa) tinggat tiga.
Apa besok ada waktu? Jika ada waktu saya ingin
bimbingan‟.
Kalimat ini seharusnya : Sensei,sannensei no Yanti desu. Shukudai no goshidou ni
tsuite, itsu sureba yoroshii deshouka?
„Ibu (dosen), saya Yanti (mahasiswa) tingkat tiga.
Mengenai bimbingan tugas saya, kapankah sebaiknya
bisa dilakukan?‟
Kesalahan yang terjadi adalah penanggalan, kesalahbentukan, dan kesalahan
intralingual.
(data 2) Sensei, sumimasen, zemi no toki, watashi wa odaran ga arimasu kara,
iinkai ni naru koto wo dekimasen.

„Ibu (dosen) maaf, saat seminar, karena saya ada odalan,tidak bisa
menjadi panitia seminar.‟
Kalimat di atas terdapat kesalahan interlingual, alasannya bahwa data
tersebut secara tatabahasa masih dapat berterima, karena dalam percakapan
memang dapat mengandung makna seperti situasi dalam kuisioner. Akan tetapi,
cara penyampaiannya tidak sesuai secara pragmatik. Kalimat yang menyatakan
secara langsung penolakan adalah kalimat biasanya dihindari oleh masyarakat
Jepang. Biasanya orang Jepang tidak akan menyatakan secara langsung (blakblakan) kalau tidak bisa atau tidak berkenan untuk melakukan permintaan kawan
bicara. Dalam bahasa Jepang, penolakan biasanya diungkapkan dengan sungkan
dan menghindari kata tidak bisa menjadi kalimat yang menggantung atau hanya
diakhiri dengan permintaan maaf. Berikut adalah kalimat bahasa Jepang yang
salah dan kalimat bahasa Jepang yang seharusnya :

18

Data dalam bahasa Jepang salah :
Sensei, sumimasen, zemi no toki, watashi wa odaran ga arimasu kara, iinkai ni
naru koto wo dekimasen.
„Ibu (dosen) maaf, saat seminar, karena saya ada odalan, tidak bisa menjadi
panitia seminar.‟

Data dalam bahasa Jepang yang seharusnya :
Sensei, seminaa no iinkai ni tsuite, konkai wa chotto ……
watashi, dekinakunaru node, taihen moushiwake gozaimasen.
„Ibu (dosen) mengenai seminar nanti, saat ini sepertinya ……
Saya sungguh minta maaf karena tidak dapat berpartisipasi kali ini‟

Kesalahan berbahasa yang terjadi adalah kesalahbentukan dan kesalahan
intralingual. Kesalahbentukan adalah ditemukannya kesalahan penggunaan
partikel dalam frasa ~naru koto wo dekimasen yang seharusnya ~naru koto ga
dekimasen „tidak bisa menjadi…‟. Hal tersebut berkaitan dengan status verba
dekiru „bisa‟ yang merupakan verba intransitif, sehingga partikel yang

menerangkannya adalah partikel ga.
(Data 3) sensei, sumimasen, sono kokuban de kaita kanji ga chotto
machigaemashita .

„Ibu (dosen), maaf, kanji yang ditulis di papan itu sedikit salah‟
Data 3 merupakan data mengenai dosen yang melakukan kesalahan
menulis huruf kanji di papan tulis dan mahasiswa berniat untuk memberitahukan
kesalahan penulisan tersebut. Data tersebut menyebutkan bahwa dosennya
melakukan kesalahan dalam menulis yang ditandai verba machigaemashita
„salah‟. Pengunaan adverbial chotto „sebentar‟ juga kurang tepat. Adverbia chotto
„sebentar‟ biasanya digunakan untuk menerangkan keterangan waktu, misalnya
chotto matte kudasai „tolong tunggu sebentar‟. Oleh karena itu terdapat

kesalahurutan penggunaan unsur-unsur bahasa yaitu adverbial dalam kalimat
tersebut.

19

Secara pragmatik, data 3 juga kurang tepat karena sangat tidak sopan
mengucapkan kata salah secara langsung terhadap kesalahan yang dilakukan
dosen di depan kelas baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Hal tersebut
seharusnya dikemas dalam bahasa yang lebih sopan dan tidak langsung. Berikut
perbandingan dua kalimat bahasa Jepang :
Kalimat bahasa Jepang yang masih salah : sensei, sumimasen, sono kokuban de
kaita
kanji
ga
chotto
machigaemashita.
„Ibu (dosen), maaf, kanji yang
ditulis di papan itu sedikit salah‟
Kalimat bahasa Jepang yang lebih baik

: Sensei, sumimasen, kokuban no
kanji no kakijun wa sukoshi
chigawanai dewa arimasen ka.
„Ibu (dosen), kanji yang ditulis di
papan, apa tidak sedikit berbeda?‟

Frasa chigawanai dewa arimasenka „tidakkah itu salah‟ lebih tepat digunakan
karena tidak langsung mengacu pada kesalahan, akan tetapi menggunakan dasar
ketidaklangsungan.

Alih-alih

mengatakan

machiagemashita

„salah‟,

machigawanai dewa arimasenka „tidakkah itu salah‟ dapat dikatakan lebih baik.

Adverbia yang digunakan juga adalah sukoshi „sedikit‟ yang lebih tepat pada
konteks tersebut.
(Data 4) : Sensei, sumimasen, kono shukudai wo atsumaru jikan wa ninichi
enchou shitemo ii desuka.
„Ibu (dosen), maaf, waktu mengumpulkan tugas ini, bolehkah
ditangguhkan hari dua?‟
Kesalahan yang terjadi pada data 4 adalah kesalahan interlingual, yaitu
digunakannya verba atsumaru „mengumpulkan‟ untuk kata mengumpulkan tugas
dan frasa ~shitemo ii desuka „bolehkah …‟ untuk meminta sesuatu. Dalam bahasa
Jepang, untuk mengungkapkan kata yang berarti mengumpulkan tugas adalah
dashimasu „mengeluarkan‟, meskipun secara harfiah kata tersebut berarti

mengeluarkan, akan tetapi jika disandingkan dengan kata seperti shukudai

20

„pekerjaan

rumah‟

maka

kata

shukudai

wo

akan

dashimasu

berarti

„mengumpulkan tugas‟.
Kata ninichi yang tidak memiliki arti dalam bahasa Jepang karena
kesalahurutan kata tesebut adalah pengaruh dari bahasa Indonesia yang untuk
mengungkapkan maksud mengucapkan kata dua hari, adalah menggunakan kata
dua (ni) dan hari (nichi) digabungkan apaadanya. Sedangkan dalam bahasa Jepang,
kata ni dan nichi jika digabungkan tersebut tidak memiliki arti yang beterima,
karena kata dua hari telah memiliki leksem sendiri, yaitu futsukakan „dua hari‟.
Kata „bolehkah…‟ adalah ungkapan yang biasa digunakan dalam bahasa
Indonesia untuk meminta sesuatu (meminta ijin, meminta pertolongan). Akan
tetapi dalam bahasa Jepang terdapat frasa yang lebih tepat dan sopan untuk
meminta sesuatu (waktu pengumpulan tugas yang diperpanjang) kepada dosen,
yaitu ~shite itadakemasen ka „berkenankah anda‟. Kata ini terkesan tidak
memaksa dan cenderung tidak langsung sehingga membuat yang mendengar juga
lebih nyaman karena tidak dipaksa untuk melakukan atau memutuskan sesuatu.
Berikut adalah kalimat bahasa Jepang yang seharusnya. Berikut adalah penggalan
kesalahan pada data empat yang dipenggal menjadi beberapa frasa :
Frasa I data yang salah : Sensei, sumimasen „Ibu, maaf‟
Frasa yang seharusnya

Ungkapan yang salah

: Sensei, onegai ga arimasu ga
permohonan‟

„Ibu, saya ada

: kono shukudai wo atsumaru jikan ‘jam pengumpulan
tugas ini‟

Ungkapan yang seharusnya: shukudai wo dasu no hi wa „hari pengumpulan tugas‟
atau

shukudai no shimekiri hi ‘hari pengumpulan tugas‟

Ungkapan yang salah

: ninichi enchou shitemo ii desuka.
’bolehkah diperpanjang hari dua‟
futsukakan gurai made nobashite itadakemasenka.

„berkenankah untuk memperpanjang kira-kira dua hari
lagi?‟

21

Data 5 :

Sensei, sumimasen, toire e ikasetemo ii deshouka.
„Ibu (dosen), maaf, bolehkah saya pergi ke toilet?‟

Data mengenai konteks ini paling kerap mengalami kesalahan yang
disebabkan kultur berbahasa dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia,
mahasiswa biasanya menggunakan kata bolehkah untuk meminta ijin melakukan
sesuatu. Kata bolehkah ini yang secara langsung padanannya adalah ~temo ii desu
ka, sering membuat mahasiswa melakukan kesalahan dengan menerjemahkan

semua bentuk meminta ijin atau meminta pertolongan menjadi bentuk ~te mo ii
desuka. Kerancuan ini dipengaruhi oleh konsep bahasa Indonesia yang dipelajari

mahasiswa terlebih dahulu. Padahal dalam bahasa Jepang terdapat bentuk ~sasete
itadakemasenka untuk menyatakan permohonan ijin (memohon agar diijinkan

melakukan sesuatu). Hanya saja frasa ~saseru ini juga digunakan untuk
mengungkapkan bentuk kausatif, hal tersebut juga menimbulkan keraguan pada
mahasiswa untuk menggunakan bentuk ~saseru untuk meminta ijin, karena
kawatir malah mengesankan ketidaksopanan. Berikut adalah kalimat yang benar
untuk menyatakan keinginan minta ijin pergi ke toilet
Kalimat bahasa Jepang yang salah : Sensei, sumimasen, toire e ikasetemo ii
deshouka.
„Ibu (dosen), maaf, bolehkah saya pergi ke
toilet?‟
Kalimat bahasa Jepang yang benar : Sensei, toire e ikasete itadakemasenka.
„Ibu, apakah saya diijinkan untuk pergi ke
belakang?

Data 6.

Sensei, sumimasen, sono hon wo karitemo ii deshouka.

„Ibu (dosen), maaf, apa saya boleh meminjam buku itu?‟
Data ini juga kurang tepat digunakan karena tidak menggunakan bentuk
honorifik untuk berbicara kepada dosen. Penggunaan pronominal sono juga
kurang tepat karena menggunakan kata itu untuk merujuk pada apa yang dimiliki
dosen kurang sopan, sebaiknya frasa sono hon „buku itu‟ diganti menjad sochira
no hon „buku yang itu (Honorifik)‟, kemudian kata kariru „meminjam‟ digunakan
22

dalam kalimat ini cenderung karena terpengaruh oleh sistem bahasa Indonesia.
Dalam bahasa Jepang kata meminjam dan meminjamkan memiliki verba yang
berbeda. Jika kita menggunakan kata kariru „meminjam‟ verba tersebut hanya
mengacu pada aktivitas kita yang melakukan sesuatu. Akan tetapi, jika
menggunakan kata kasu yang berarti „meminjamkan‟, secara pragmatik kalimat
tersebut akan menjadi lebih sopan karena disertai makna yang menyatakan bahwa
sensei (dosen) telah bersedia meminjamkan (melakukan sesuatu untuk mahasiswa,

yang merupakan perbuatan yang patut dihargai) buku.
Kalimat bahasa Jepang yang salah : Sensei, sumimasen, sono hon wo karitemo ii
deshouka.
„Ibu (dosen), maaf, apa saya boleh
meminjam buku itu?‟
Kalimat bahasa Jepang yang benar : Sensei, sono hon wo kashite itadakemasen ka.
‘Sensei, apakah mungkin meminjamkan
buku itu kepada saya.‟

Data 7 Sensei, sumimasen, ano teepu wa motte tetsudaimasen ka .
„Ibu (dosen), maaf, apa bisa saya bantu membawa tape itu?‟
Data ini juga sering mengecoh karena dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Jepang, cara menawarkan bantuan sangat berbeda. Kalau dalam bahasa Indonesia
sering terdengar kata „bantu‟, „membantu‟ yang berarti melakukan sesuatu untuk
seseorang. Dalam bahasa Jepang, pada kalimat yang berarti memberikan bantuan,
jarang sekali kata yang berarti membantu digunakan. Jika ingin menawarkan
bantuan atau sesuatu biasanya digunakan frasa ~te ageru (memberikan bantuan
kepada ~), frasa ~te ageru tersebut dapat juga ditambahkan bentuk ~mashouka
menjadi ~te agemashouka ataukah hanya (verba)~mashouka yang digunakan
untuk menghaluskan tawaran bantuan.
Mahasiswa jarang menggunakan kata ~mashouka untuk menawarkan
bantuan diprediksi karena mahasiswa telah mempelajari bentuk ~mashou ka
sebagai bentuk untuk menyatakan ajakan pada semester dasar, dan kuatitas

23

penggunaan bentuk ~mashouka sebagai bentuk mengajak lebih sering sehingga
mahasiswa tidak terbiasa menggunakan bentuk ini untuk menawarkan bantuan.
Kalimat bahasa Jepang yang salah : Sensei, sumimasen, ano teepu wa motte
tetsudaimasen ka .

„Ibu (dosen), maaf, apa bisa saya bantu
membawa tape itu?‟
Kalimat bahasa Jepang yang benar : Sensei, teepu omochi shimashouka.
„Ibu, biar saya yang membawa tape-nya‟
Data 8 : Sensei, sumimasen, ano bun wa wakarimasen kara, mouichido setsumei
shite kudasai.
„Ibu, maaf, karena saya tidak mengerti kalimat itu, tolong jelaskan sekali
lagi‟
Kalimat ini menunjukkan kesalahan karena tidak menunjukkan sopan santun
saat meminta bantuan kepada dosen. Penggunaan bentuk imperatif ~ te kudasai
meskipun dalam bahasa Indonesia kerap diterjemahkan menjadi kata „tolong‟,
akan tetapi ~te kudasai adalah bentuk imperatif yang biasanya digunakan kepada
orang yang sebaya atau berkedudukan di bawah pembicara. Oleh sebab itu, ~ te
kudasai tidak tepat digunakan dalam konteks tersebut. Dalam situasi ini dan

seharusnya diganti dengan bentuk permintaan tolong onegai shimasu yang
meskipun sama-sama dapat diterjemahkan menjadi kata „tolong‟ dalam bahasa
Indonesia, akan tetapi mengandung bentuk hormat (honorifik) sehingga lebih
sopan.
Kata wakarimasen „tidak mengerti‟ juga biasanya ditambahkan adverbial
untuk lebih menjelaskan kadar ketidakmengertian akan suatu subbab/ bab yang
sedang ditanyakan. Adverbia yang sering digunakan adalah mada „belum‟ atau yoi
„baik, benar, sungguh‟ yang jika disandingkan dengan verba akan berganti
menjadi bentuk yoku dengan makna yang sama. Adverbia tersebut jika
ditambahkan dengan kata wakarimasen akan menjadi mada yoku wakarimasen
„masih belum mengerti dengan baik‟. Kata sambung ~kara yang berarti „karena‟,
jika berbicara dengan orang yang lebih dihormati biasanya diganti menjadi node
dengan makna yang sama „karena‟, hanya saja node lebih sopan daripada kara dan
24

digunakan pada konteks yang lebih formal. Adakalanya juga diganti dengan
partikel ga yang terkadang menjadi penanda topik, tetapi jika berada diakhir
kalimat/klausa kerap digunakan untuk menyatakan kesungkanan atau keraguraguan. Mengungkapkan atau memperlihatkan kesungkanan saat meminta tolong
adalah hal yang baik karena perilaku tersebut memperlihatkan kesadaran
pembicara bahwa meminta tolong tersebut merupakan perbuatan yang merepotkan
atau menyusahkan sehingga sebaiknya tidak meminta tolong dengan ringan hati.

Kalimat yang salah : Sensei, sumimasen, ano bun wa wakarimasen kara,
mouichido setsumei shite kudasai.
„Ibu, maaf, karena saya tidak mengerti kalimat itu, tolong jelaskan sekali
lagi‟
Kalimat yang benar : Sensei, ano mondai wa mada yoku wakarimasen ga,
mouichidou setsumei shiteitadakemasen ka.
„Ibu, saya masih belum mengerti dengan baik perihal bab ini, apa
Ibu bisa menjelaskannya sekali lagi?‟
(Data 9) Sensei, sumimasen, taisetsu na youji ga arimasu kara, watashi wa kougi
wo suru koto ga dekimasen.
„Ibu, maaf, karena ada urusan penting, saya tidak dapat memberi kuliah‟
Data ini menunjukkan kesalahan pada frasa taisetsu na youji ga arimasu
kara „karena ada urusan penting‟. Secara harfiah frasa ini tidak ada kesalahan dari

segi tata bahasanya, ungkapan ini memang berarti „karena ada urusan penting‟,
akan tetapi biasanya taisetsu na youji ini jarang disebutkan dalam percakapan
terutama dengan dosen apabila mengenai urusan pribadi mahasiswa. Hal ini
adalah hal yang sering dilakukan mahasiswa di Indonesia jika meminta ijin
dengan menjelaskan alasan ketidakhadiran. Untuk menyampaikan ketidakhadiran
biasanya hanya disampaikan kyuuyou ga arimasu „ada urusan mendadak‟ yang
dapat juga menyatakan itu penting. Alasan yang terlalu pribadi tidak akan
disampaikan kecual diperlukan untuk disampaikan kepada dosen.
Klausa watashi wa kougi wo suru koto ga dekimasen „saya tidak dapat
memberikan

kuliah‟

juga

merupakan

25

kesalahan

yang

terjadi

karena

kekurangtahuan mahasiswa terhadap verba yang benar. Konteks kalimat yang
diberikan adalah agar mahasiswa mengatakan tidak dapat mengikuti kuliah, akan
tetapi verba yang digunakan oleh mahasiswa adalah kougi wo suru „memberikan
kuliah‟. Hal ini berdasarkan pada pemahaman mahasiswa bahwa suru tersebut
berarti „melakukan‟ sehingga jika kougi „kuliah‟ digabungkan dengan suru
„melakukan‟ mahasiswa otomatis akan berpikir bahwa melakukan kuliah sama
dengan kuliah itu sendiri. Hal ini juga dikarena mahasiswa telah mempelajari
verba bentuk mengajar oshieru dan untuk belajar benkyou suru, oleh sebab itu
mahasiswa tidak terbiasa menggunakan variasi leksem yang lain. Padahal untuk
kata mengikuti perkuliahan itu sendiri sudah ada verba sendiri yaitu kougi ni deru.
Verba kougi ni deru jika diurai berasal dari kata kougi „kuliah‟ dan kata deru
„keluar‟, arti kata deru ini kerap mengecoh mahasiswa yang tidak mengetahui
makna verba ini, kata deru yang berarti keluar cenderung menggiring mahasiswa
untuk berpikir bahwa verba ini bukan berarti mengikuti perkuliahan akan tetapi
sebaliknya keluar dari perkuliahan atau membolos.
Kalimat bahasa Jepang yang salah : Sensei, sumimasen, taisetsu na youji ga
arimasu kara, watashi wa kougi wo suru
koto ga dekimasen.
„Ibu, maaf, karena ada urusan penting, saya
tidak dapat memberi kuliah‟
Kalimat bahasa Jepang yang benar : Sensei, kyuuyou ga arimasu node, honjitsu no
kougi ni deru koto ga dekimasen.
„Ibu, karena ada urusan mendadak, saya
tidak dapat mengikuti perkuliahan hari ini.‟

(Data 10) Sensei, sumimasen gakka no teepu wo jugyou no tame ni kurasu ni
omochi yoroshii deshou ka.
„Ibu, apa tape milik jurusan boleh saya pinjam untuk dibawa ke kelas?‟
Kesalahan yang terjadi pada data 10 terletak pada pemilihan leksem gakka
yang mengacu pada „jurusan‟ dan adanya penanggalan pada verba bentuk
honorifik di akhir kalimat. Kata gakka sebaiknya diganti dengan jimusho „kantor;

26

jurusan‟ karena jimusho lebih bermakna kantor itu sendiri dibandingkan dengan
gakka yang sifatnya abstrak. Kemudian, penanggalan verba shite dan morfem -mo
sebelum yoroshii juga membuat kalimat tersebut salah. Kata omochi akan menjadi
kata bentuk honorifik yang ditujukan pada orang yang lebih tua, sedangkan yang
sedang berbicara adalah mahasiswa. Oleh sebab itu, kata omochi seharusnya
ditambahkan shimasu sehingga menjadi omochi shimasu, yang berarti membawa
dan memiliki aspek menunjukkan posisi yang berbicara lebih kecil, lebih muda
atau kedudukannya lebih rendah. Kata yoroshii „baik‟ tidak dapat menjadi
bermakna minta ijin dikarenakan tidak ada kata ~te mo yang merupakan satu
kesatuan frasanya. Oleh sebab itu, kata shimasu harus diubah bentuknya menjadi
bentuk ~te (renyoukei) menjadi shite dan diikuti kata mo yoroshii menjadi omochi
shitemo yoroshii „bolehkah saya bawa‟. Berikut adalah perbandingan kalimat

yang salah dan kalimat yang benar :

Kalimat yang salah : Sensei, sumimasen gakka no teepu wo jugyou no tame ni
kurasu ni omochi yoroshii deshou ka.
„Ibu, apa tape milik jurusan boleh saya pinjam untuk
dibawa ke kelas?‟
Kalimat yang benar : Sensei, shitsurei itashimasu, jimushou no teepu wo jugyou
no tame ni, kurasu ni omochi shitemo yoroshii deshouka.
„Ibu, maaf mengganggu (permisi), apa boleh saya bawa
tape yang ada di kan