Kemampuan Degradasi Substrat Lignoselulosa dari Inokulan dengan Berbagai Tingkat Penggunaan Cacing Tanah (Lubricus rubellus).

(1)

1

SKRIPSI

KEMAMPUAN DEGRADASI SUBSTRAT

LIGNOSELULOSA DARI INOKULAN DENGAN

BERBAGAI TINGKAT PENGGUNAAN

CACING TANAH (

Lumbricus rubellus

)

I KOMANG JULIARTAWAN

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

2

SKRIPSI

KEMAMPUAN DEGRADASI SUBSTRAT

LIGNOSELULOSA DARI INOKULAN DENGAN

BERBAGAI TINGKAT PENGGUNAAN

CACING TANAH (

Lumbricus rubellus

)

I KOMANG JULIARTAWAN NIM. 1207105025

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

3

KEMAMPUAN DEGRADASI SUBSTRAT

LIGNOSELULOSA DARI INOKULAN DENGAN

BERBAGAI TINGKAT PENGGUNAAN

CACING TANAH (

Lumbricus rubellus

)

Skripsi Ini Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan Pada Program Studi Ilmu Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar

I KOMANG JULIARTAWAN 1207105025

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS UDAYANA


(4)

4

KEMAMPUAN DEGRADASI SUBSTRAT LIGNOSELULOSA DARI INOKULAN DENGAN BERBAGAI TINGKAT PENGGUNAAN CACING

TANAH (Lumbricus rubellus)

I KOMANG JULIARTAWAN

Program Studi Ilmu Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana Denpasar

E-mail : juli_robert69@yahoo.com

RINGKASAN

Pakan merupakan salah satu faktor penting yang akan menentukan keberhasilan usaha peternakan selain faktor genetik dan manajemen peternakan. Hal ini disebabkan karena peranan pakan cukup besar dilihat dari biaya pakan. Biaya pakan merupakan biaya produksi terbesar dalam usaha peternakan karena bahan pakan yang digunakan penyusun utama ransum bagi ternak, seperti jagung dan kedelai juga dikonsumsi oleh manusia dan masih diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan manusia sehingga harganya mahal. Untuk menekan biaya produksi maka perlu diupayakan dengan memanfaatkan limbah dan gulma tanaman pangan sebagai bahan penyusun ransum. Namun, pemanfaatan limbah dan gulma sebagai pakan mempunyai faktor pembatas antara lain tingkat kecernaan yang rendah akibat tingginya kandungan serat kasar khususnya senyawa lignoselulosa dari bahan pakan asal limbah pertanian tersebut. Oleh karena itu diperlukan aplikasi teknologi pakan untuk mengatasi berbagai kendala yang ada yaitu dengan produksi inokulan melalui pemanfaatan mikroba yang berasal dari cacing tanah. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan degradasi substrat lignoselulosa dari inokulan dengan berbagai tingkat penggunaan cacing tanah (Lubricus rubellus) telah dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana selama 3 bulan. Evaluasi kemampuan degradasi substrat lignoselulosa didasarkan pada diameter zone bening yang terbentuk pada substrat asam tanat (sebagai sumber lignin), carboxymethylcellulosa/CMC (sebagai sumber selulosa) dan Xylan (sebagai sumber xylanosa/hemiselulosa). Penelitian dilaksanakan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Keempat perlakuan tersebut adalah BC1 yaitu inokulan yang diproduksi dari 0,1% cacing tanah (Lumbricus rubellus), BC2 yaitu Inokulan yang diproduksi dari 0,2% cacing tanah (Lumbricus rubellus), BC3 yaitu Inokulan yang diproduksi dari 0,3% cacing tanah (Lumbricus rubellus) dan BC4 yaitu Inokulan yang diproduksi dari 0,4% cacing tanah (Lumbricus rubellus). Hasil penelitian menunjukan bahwa inokulan BC4 mampu menghasilkan degradasi substrat lignin yang tertinggi (0,98 cm) dan berbeda nyata (P<0,05) dengan inokulan BC1 (0,81 cm), namun berbeda tidak nyata dengan inokulan BC2 (0,90 CM) dan BC3 (0,92 cm). Pada substrat hemiselulase (Xylan) menunjukkan bahwa inokulan BC4 mampu menghasilkan degradation yang tertinggi (1,740 cm), dan berbeda tidak nyata terhadap inokulan BC1 (1,233 cm), BC2 (1,247 cm), BC3 (1,250 cm). Sedangkan terhadap substrat selulosa (CMC) keempat inokulan mempunyai kemampuan degradasi yang berbeda tidak nyata (P>0,05). Berdasarkan hasil


(5)

5 penelitian disimpulkan bahwa peningkatan penggunaan cacing tanah sampai 0,4% mampu meningkatkan degradasi substrat lignin (Asam Tanat) dan sustrat xylan (Hemiselulosa) dari inokulan yang diproduksi


(6)

6

DEGRADATION ABILITY OF LIGNOCELLULOSE SUBSTRATE FROM INOCULANT WITH USE DIFFERENT LEVELS OF EARTH WORM

(Lubricus rubellus) I KOMANG JULIARTAWAN

Animal Science Program, Faculty of Animal Husbandry, Udayana University, Denpasar

E-mail : juli_robert69@yahoo.com

SUMMARY

Feed is one important factor that will determine the success of the farm besides genetic factors and farm management. This is because the role of feed sizeable seen from the cost of feed. The cost of feed is the largest production cost of factory farming because of the feed material used for the main constituent of cattle feed, such as corn and soybeans are also consumed by humans and are still priority is to meet human needs so expensive. To reduce the cost of production it needs to be pursued by utilizing waste and weed crops as the building blocks ration. However, utilization of waste and weeds as fodder have limiting factors such as the level of digestibility is low due to high crude fiber content of the lignocellulose compounds in particular of feed materials of agricultural origin of the waste. Therefore we need food technology applications to overcome the obstacles that exist, namely the production of inoculants through the utilization of microbial derived from earthworms.The reseach aimed to determine the degradation ability of substrate lignocellulose from inoculant ith different levels of use of earth worm (Lubricus rubellus) has been carried out in the Laboratory of Nutrition and Feed Animal, Faculty of Animal Husbandry, Udayana University for 3 months. Evaluasi of degradation ability of lignosecellulose substrates is based on te diameter of clear zone formed on tannic acid substrate (as a sourceof lignin), carboxymethylcellulosa/CMC (as a source of cellulosa) and Xylan (as a source of xylanosa/hemiselulosa). The experiment as conducted with completely randomized design (CDR) with 4 treatments and 3 replications. The fourth treatment as BC1 is inoculant manufactured from 0,1% of earth earth worm (Lubricus rubellus), BC2 is inoculant manufactured from 0,2% of earth worm (Lubricus rubellus), BC3 is inoculant manufactured from 0,3% of earth worm (Lubricus rubellus), BC4 is inoculant manufactured from 0,4% of earth worm (Lubricus rubellus). The result showed that the inoculant BC4 capable of producing the highest lignin degradation substrate (0,977 cm) and significantly (P<0,05) with inoculant BC1 (0,813 cm), but no significant with inoculant BC2 (0,892 cm) and BC3 (0,923 cm). While the substrate hemicellulose(Xylan) that the inoculant BC4 capable of producing the highest lignin degradation substrate (1,740 cm) and significantly (P<0,05) with inoculant BC1 (1,233 cm), BC2 (1,247 cm) and BC3 (1,250 cm). While the substrate cellulose (CMC) fourth inoculant have different degradation ability was not significant (P>0,05). Based on the result of the study concluded that the


(7)

7 increased use of earth worm until 0,4% can improve the degradation substrate of lignin (Tannic Acid) and substrate of hemicellulose (Xylan) of inoculants produced.


(8)

8

PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN

JUDUL : Kemampuan Degradasi Substrat Lignoselulosa dari Inokulan dengan Berbagai Tingkat Penggunaan Cacing Tanah (Lubricus rubellus) NAMA MAHASISWA : I Komang Juliartawan

NIM : 1207105025 FAKULTAS : Peternakan

JURUSAN ; Ilmu Peternakan

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL

………..

Menyetujui

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Dr. Ir. I Gusti Lanang Oka Cakra, M. Si I Made Mudita,SPt,MP NIP. 196012311987031012 NIP. 197405102005011004

Mengetahui

Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar

Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS NIP. 195903121986011001


(9)

9

Skripsi ini Diuji Pada

Tanggal

20 Juni 2016

Ketua : Dr. Ir. I Gusti Lanang Oka Cakra, M.Si Sekretaris : Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS Penguji Utama : I Made Mudita S.Pt, MP

Penguji Anggota : 1. I Wayan Suberata, S.Si, M.Si


(10)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pakan merupakan salah satu faktor penting yang akan menentukan keberhasilan usaha peternakan selain faktor genetik dan manajemen peternakan (Harfiah 2010). Hal ini disebabkan karena peranan pakan cukup besar dilihat dari biaya pakan (Suheda et al., 2010). Biaya pakan merupakan biaya produksi terbesar dalam usaha peternakan karena bahan pakan yang digunakan penyusun utama ransum bagi ternak, seperti jagung dan kedelai juga dikonsumsi oleh manusia dan masih diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan manusia sehingga harganya mahal. Untuk menekan biaya produksi maka perlu diupayakan dengan memanfaatkan limbah dan gulma tanaman pangan sebagai bahan penyusun ransum. Limbah pertanian memiliki potensi yang cukup besar sebagai sumber pakan ternak (Mariyono dan Romjali, 2007). Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak dapat mengatasi masalah biaya pakan yang cukup tinggi dalam usaha peternakan sekaligus sebagai upaya diversifikasi sumber pakan ternak. Salah satu limbah dan gulma tanaman pangan yang berpotensi sebagai pakan ternak yaitu dedak padi, eceng gondok dan daun apu. Dedak padi berpotensi sebagai pakan ternak ditinjau dari kandungan nutrien yang dimilikinya seperti kandungan protein sekitar 12-13,5% dan energi metabolis sekitar 1640-1890 kkal/kg (Bidura, 2007). Selain itu, eceng gondok merupakan salah satu jenis gulma tanaman pangan yang memiliki kandungan nutrien yang cukup baik seperti energi metabolis 2096,92 kkal/kg, protein kasar 13 %, serat kasar 21,3 % (Radjiman et al., 1999). Syamsuhaidi (1997) menyatakan bahwa daun apu yang tumbuh disawah


(11)

mempunyai kandungan nutrisi cukup bagus, yaitu mengandung 25,76 % protein kasar, 11,08% serat kasar, 3,17% lemak kasar, 0,94% kalsium, 0,33% fosfor tersedia, 0,94% lysin, 0,35% metion, dan kandungan energi termetabolisnya sebesar 1973,83 kkal/kg bahan.

Sebagian besar limbah pertanian dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak (Djayanegara dan Sitorus, 1983). Namun, pemanfaatan limbah dan gulma sebagai pakan mempunyai faktor pembatas antara lain tingkat kecernaan yang rendah akibat tingginya kandungan serat kasar khususnya senyawa lignoselulosa dari bahan pakan asal limbah pertanian tersebut (Howard et al., 2003; Saha, 2003; Chandel et al., 2007). Lignoselulosa terdiri tiga polimer yaitu lignin, selulosa dan hemiselulosa

(Howard et al., 2003; Perez et al., 2002). Degradasi secara sempurna ketiga polimer tersebut baru akan dapat menyediakan semua potensi nutrisi yang terkandung dalam bahan pakan asal limbah inkonvensional. Lignoselulosa hanya bisa didegradasi oleh mikroba tertentu, yaitu kelompok mikroba/bakteri lignoselulolitik. Di alam terdapat berbagai sumber konsorsium mikroba lignoselulolitik salah satu diantaranya adalah cacing tanah (Pathma dan Sakthivel, 2012).

Cacing tanah merupakan sumber konsorsium mikroba sinergis yang sangat potensial yang mampu mendegradasi senyawa lignoselulosa dan antinutrisi, memproduksi antibiotika, pigmen fluorescent, siderophores, chitinase dan glucanase serta berbagai growth promotor melalui pelarutan mineral, memproduksi

hormon 1-aminocyclopropane-1carboxylate (ACC) deaminase, dan menekan mikroba patogen (Pathma dan Saktivhel, 2012). Cacing tanah mempunyai kemampuan mendegradasi berbagai bahan organik karena dalam saluran pencernaannya mengandung berbagai konsorsium mikroba simbion seperti bakteri,


(12)

protozoa dan mikro fungi serta berbagai enzim seperti amilase, protease, selulase, lipase, chitinase, dan urease. Mukus dalam saluran pencernaan cacing tanah mengandung berbagai nutrien (karbohidrat, protein, bahan mineral dan bahan organik, serta berbagai asam amino) serta hormon. Mudita (Unpublished) telah berhasil mengisolasi empat bakteri lignoselulolitik, empat bakteri lignolitik, delapan bakteri selulolitik. Fujii et al., (2012) menambahkan bakteri selulolitik dominan cacing tanah Amynthus heteropoda dan Eisenia fetida adalah Burkholderia spp, Enterobacter Herbaspiririllum dan Pseudomonas, sedangkan fungi selulolitik dominan adalah Penicillium, Fusarium dan Staphylotrichum. Owa et al. (2013) juga menunjukkan dari saluran pencernaan cacing tanah Libyodrilus

violaceus berhasil diisolasi bakteri Acinobacter sp., Alcaligans faecalis, Bacillus

sp., B. brevis, B. cereus, B. lalerosporus, B. lichenoform, Corynebacterium sp., E.

cloacae, Erwinia salicie, Flavobacterium sp., F. aquartile, Kiebsiella sp.,

Micrococcus inteus, M. kristinae, M. varians, Proteus rennvi, P. vulgaris, dan Pseudomonas sp. Bakteri selulolitik dalam saluran pencernaan mempunyai peranan

penting dalam proses pendegradasi seloluosa yang hidup secara anarob dalam saluran cerna. Bakteri tersebut salah satunya dapat ditemukan dalam saluran cerna cacaing tanah Karena hewan tersebut mamakan sisa organisme yang membusuk dalam tanah (Reanida et al., 2012).

Berbagai kandungan nutrien dan growth promotor serta berbagai mikroba simbion, pemanfaatan cacing tanah sebagai sumber inokulan konsorsium mikroba akan menghasilkan produk inokulan yang berkualitas. Perbedaan tingkat penggunakan cacing tanah sebagai sumber inokulan sudah tentu akan mempengaruhi kemampuan degradasi substrat dari inokulan yaang diproduksi.


(13)

Peningkatan penggunaan sumber inokulan akan meningkatkan populasi mikroba dari inokulan tersebut (Mudita et al., 2009; Dewi 2015). Beberapa penelitiian menunjukkan bahwa peningkatan populasi bakteri pada produk inokulan akan mampu meningkatkan kemampuan degradasi dari inokulan tersebut. Penelitian Mudita et al. (Unpublished) mengungkapkan bahwa peningkatan populasi bakteri pada inokulan yang diproduksi menggunakan kombinasi isolat kolon sapi bali dan sampah organik mampu meningkatkan kemampuan degradasi dari inokulan tersebut. Putra et al. (2015) menunjukan bahwa inokulan yang diproduksi dari cacing tanah 0,1-0, 4% mampu menghasilkan peningkatkan populasi bakteri dari inokulan, namun informasi mengenai kemampuan degradasi substrat lignoselulosa dari inokulan dengan berbagai tingkat penggunaan cacing tanah belum dapat diperoleh sehingga kegiatan penelitian untuk mengetahui kemampuan degradasi substrat lignoselulosa dari inolukan dengan berbagai tingkat penggunaan cacing tanah perlu dilaksanakan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang ada, maka rumusan masalah yang diangkat pada penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kemampuan degradasi substrat lignoselulosa dari inokulan dengan penggunaan tingkat cacing tanah (Lumbricus rubellus) ?

2. Berapa tingkatan penggunaan cacing tanah (Lumbricus rubellus) dalam inokulan sehingga bisa memperoleh kemampuan degradasi substrat lignoselulosa yang optimal ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kemampuan degradasi substrat lignoselulosa dari inokulan dengan berbagai tingkat penggunaan cacing


(14)

tanah (Lubricus rubellus) dan mengetahui tingkat penggunaan cacing tanah yang optimal dari inokulan yang diproduksi

1.4 Hipotesis Penelitian

Peningkatan penggunaan cacing tanah (Lumbricus rubellus) diduga akan meningkatkan kemampuan degradasi substrat lignoselulosa dari inokulan.

1.5 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai tingkat penggunaan cacing tanah (Lumbricus rubellus) yang optimal dalam produksi inokulan yang mampu menghasilkan tingkat degradasi lignoselulosa yang tinggi. Disamping itu hasil penelitian diharapkan dapat menjadi acuan dalam upaya optimalisasi pemanfaatan limbah dan gulma tanaman pangan sebagai pakan ternak.


(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak

Limbah tanaman pangan adalah bagian tanaman pangan yang tersedia dan dapat dimanfaatkan sebagai pakan setelah produk utama dipanen. Produksi limbah tanaman pangan di suatu wilayah dapat diperkirakan berdasarkan luas lahan panen dari tanaman pangan tersebut (Jayasurya, 2002). Djayanegara dan Sitorus (1983) menyatakan bahwa sebagian besar limbah pertanian dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak, namun sampai saat ini pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak belum optimal. Hambatan yang sering dialami adalah kualitas yang rendah, serat kasar tinggi, kurang disukai ternak, konversinya tidak mudah dan produksinya berfluktuasi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, sentuhan teknologi sangat diperlukan sehingga limbah dapat diubah menjadi pakan bergizi dan sumber energi bagi ternak (Sarwono dan Arianto, 2006).

Kandungan nutrien dari limbah dan gulma tanaman pangan untuk pakan ternak seperti batang pisang, eceng gondok, daun apu sangat baik diberikan kepada ternak. Namun di dalam penyusunan ransum untuk ternak nonruminansia khusunya itik belum dapat memenuhi kebutuhan yang optimal bagi ternak, dikarenakan limbah maupun gulma tanaman pangan mempunyai kualitas yang tidak seimbang bahkan rendah diakibatkan adanya kandungan serat kasar yang tinggi dan senyawa seperti lignin, silika, kutin, theobromine, tannin, kafein, asam sianida, keratin, dan lain-lain. Serta kandungan mineral (terutama Ca, P, Mg, Cu, Zn, Co, Mn, Fe, dab S) dan vitamin (vitamin A dan E) rendah, dimana kesemuanya merupakan senyawa anti


(16)

nutrisi sehingga harus diolah terlebih dahlu sebelum diberikan kepada ternak non ruminansia (Wijana, 2008)

2.2 Lignoselulosa Sebagai Faktor Pembatas Penggunaan Limbah Dan Gulma Tanaman Pangan

Pemanfaatan sumber daya asal limbah dalam pengembangan usaha pertanian terintegrasi baik limbah pertanian sebagai pakan ternak, maupun limbah peternakan sebagai pupuk organik, biourine, biogas maupun biofestisida merupakan kunci keberhasilan program usaha pertanian terintegrasi. Pemanfaatan berbagai jenis limbah akan mengurangi biaya operasional usaha/produksi, mengurangi resiko terjadinya pencemaran lingkungan (Hegarty, 2001) serta meningkatkan penghasilan/laba usaha tani.

Namun pemanfaatan limbah baik limbah pertanian sebagai pakan ternak, maupun limbah peternakan (feses dan urine) sebagai pupuk organik, biourine, biofestisida maupun biogas sering menghadapi kendala terkait terutama dalam proses degradasi bahan asal limbah tersebut. Tingginya kandungan serat kasar terutama senyawa lignoselulosa merupakan faktor pembatas utama pemanfaatan sumber daya alam asal limbah tersebut sebagai produk yang bermanfaat (Bidura, 2007). Dibawah disajikan kandungan lignoselulosa dari beberapa bahan asal limbah.


(17)

Tabel 2.1 Kandungan senyawa lignoselulosa beberapa sumber daya alam

No Bahan Limbah1 Komposisi Lignoselulosa (%) Selulosa Hemiselulosa Lignin 1 Jerami Padi 32,1 24 18 2 Jerami gandum 30 50 15 3 Tongkol jagung 45 35 15 4 Kulit Kacang Tanah 25-30 25-30 30-40 5 Biji Kapas 80-95 5-20 0 6 Baggas Tebu 33,4 30 18,9 7 Limbah kertas 60-70 10-20 5-10 8 Rumput-Rumputan 25-40 25-50 10-30 9 Dedaunan 15-20 80-85 0 10 Feses Sapi 15 - 20 20-25 5-10 Sumber: 1)Howard et al., 2003,

Lignoselulosa merupakan komponen utama tanaman (komponen dinding sel) yang menggambarkan jumlah sumber bahan organik yang dapat diperbaharui. Lignoselulosa terdiri dari polimer selulosa, hemiselulosa, lignin dan beberapa bahan ekstraktif lain yang berikatan secara kompak dan menjadi pembangun dinding sel tanaman. Susunan dinding sel tanaman terdiri dari lamela tengah (M), dinding primer (P) serta dinding sekunder (S) yang terbentuk selama pertumbuhan dan pendewasaan sel yang terdiri dari lamela transisi (S1), dinding sekunder utama (S2) dan dinding sekunder bagian dalam (S3) (Gambar 2.1).


(18)

Dinding primer mempunyai ketebalam 0.1-0.2µm dan mengandung jaringan mikrofibril selulosa yang mengelilingi dinding sekunder yang relatif lebih tebal (Chahal dan Chahal 1998). Selulosa pada setiap lapisan dinding sekunder terbentuk sebagai lembaran tipis yang tersusun oleh rantai panjang residu ß-D-glukopiranosa yang berikatan melalui ikatan ß-1,4 glukosida yang disebut serat

dasar (elementary fiber). Sejumlah serat dasar jika terjalin secara lateral akan membentuk mikrofibril. Mikrofibril mempunyai struktur dan orientasi yang berbeda pada setiap lapisan dinding sel (Perez et al. 2002). Lapisan dinding sekunder terluar (S1) mempunyai struktur serat menyilang, lapisan S2 mempunyai mikrofibril yang paralel terhadap poros lumen dan lapisan S3 mempunyai mikrofibril yang berbentuk heliks. Mikrofibril dikelilingi oleh hemiselulosa dan lignin. Bagian antara dua dinding sel disebut lamela tengan (M) dan diisi dengan hemiselulosa dan lignin. Hemiselulosa dihubungkan oleh ikatan kovalen dengan lignin. Selulosa secara alami terproteksi dari degradasi dengan adanya hemiselulosa dan lignin.

Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman dan di alam hampir tidak pernah dijumpai dalam keadaan murni, tetapi berikatan dengan senyawa/komponen lain yaitu lignin dan hemiselulosa membentuk senyawa lignoselulosa (Howard, 2003). Dinding sel tanaman muda terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan pektin. Seiring dengan perkembangan dan umur tanaman, lignin menjadi bagian dari dinding sel (Perez, 2002). Lignin secara fisik dan kimia merupakan penyebab utama ketidakmampuan ternak mendegradasi bahan pakan. Secara kimia, lignin berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa membentuk ikatan kovalen yang kompak dan kuat (Gambar 2.2), sedangkan secara fisik, lignin


(19)

bertindak sebagai penghalang proses perombakan dinding sel oleh mikroba rumen. Struktur berkristal serta adanya lignin dan hemiselulosa disekeliling selulosa merupakan hambatan utama dalam menghidrolisis selulosa. Kristalisasi selulosa dan pengerasan fibril selulosa oleh lignin membentuk suatu senyawa lignoselulosa yang keras (Gambar 2.3).

Gambar 2.2. Hubungan antara lignin, selulosa dan hemiselulosa pada senyawa lignoselulosa

Gambar 2.3. Tipe ikatan antara lignin dan polisakarida.


(20)

Efisiensi pemanfaatan selulosa sebagai sumber energi bagi ruminansia sangat tergantung pada kemampuan ternak untuk memutus ikatan yang memproteksi selulosa dari serangan enzim selulase. Selulosa dan hemiselulosa pada lignoselulosa tidak dapat dihidrolisis oleh enzim selulase dan hemiselulase kecuali lignin yang ada pada bahan pakan limbah tersebut dilarutkan, dihilangkan atau

dikembangkan terlebih dahulu (Perez, 2002).

2.2.1 Selulosa sebagai faktor pembatas penggunaan limbah

Selulosa adalah zat penyusun tanaman yang terdapat pada struktur sel. Kadar selulosa dan hemiselulosa pada tanaman pakan yang muda mencapai 40% dari bahan kering. Bila hijauan makin tua proporsi selulosa dan hemiselulosa makin bertambah (Tillman et al., 1998). Sellulosa merupakan suatu polisakarida yang mempunyai formula umum seperti pati (C6H1005)n. Sebagain besar sellulosa

terdapat pada dinding sel dan bagian-bagian berkayu dari tumbuhan-tumbuhan. Selulosa tidak dapat dicerna oleh hewan ruminansia kecuali non-ruminansia herbivora yang mempunyai mikroba pencerna sellulosa dalam sekumnya. Hewan ruminansia rnempunyai mikroba pencerna sellulosa didalam rumenretikulumnya sehingga sellulosa dapat dimanfaatkan dengan baik (Anggorodi, 1994). Komponen utama dari serat kasar yang merupakan penyusun dinding sel tanaman terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin (Church dan Pond, 1988). Selulosa merupakan substansi yang tidak larut dalam air yang terdapat di dalam dinding sel tanaman terutama dari bagian batang, tangkai dan semua bagian yang mengandung kayu. Selulosa merupakan homopolisakarida yang mempunyai molekul berbentuk linear, tidak bercabang dan tersusun atas 10.000 sampai 15.000 unit glukosa yang dihubungkan dengan ikatan â-1,4 glikosidik


(21)

(Nelson dan Michael, 2000). Polisakarida (selulosa maupun hemiselulosa) agar dapat digunakan sebagai sumber energi harus dirombak terlebih dahulu menjadi senyawa sederhana. Selulosa sebagai fraksi serat kasar akan didegradasi oleh bakteri selulolitik selama proses fermentasi menjadi monomernya yang dapat digunakan sebagai sumber energi. Waktu yang diperlukan mikrobia beradaptasi dengan substrat memperlihatkan kecenderungan dengan urutan selulosa lebih rendah dan hemiselulosa (Prayitno, 1997).

Smith dan Aidoo (1988), menyatakan bahwa selulosa terdapat hampir di semua material berkayu. Kandungan selulosa dalam bahan berkayu ini dapat mencapai 30-45% bahkan dapat mencapai 70-90% pada kapas. Kandungan selulosa tersebut bervariasi tergantung dari jenis dan bagian tanaman tersebut. Selulosa dan hemiselulosa juga merupakan penyusun jaringan tumbuhan yang tersusun dari gula yang berbeda. Selulosa adalah polimer liner yang tersusun dari D-glukosa yang diikat oleh β-1,4 glikosida membentuk celobiosa (Sanchez, 2009). Senyawa ini didegradasi oleh enzim mikroba menjadi oligosakarida kemudian menjadi glukosa. Pemecahan selulosa merupakan pemecahan polimer anhidrosa menjadi molekul-molekul yang lebih kecil. Melalui hidrolisis tersebut dihasilkan oligosakarida, trisakarida dan disakarida seperti selotriosa, selobiosa serta monomer-monomer glukosa atau pemecahan lainnya (alkohol, aldiehid, asam-asam dan keton) dan pada akhirnya menghasilkan CO2 dan air (Hardjo et al, 1989).

2.2.2 Hemiselulosa sebagai faktor pembatas penggunaan limbah

Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat molekul rendah. Komposisi hemiselulosa 15-30% dari berat kering bahan lignoselulosa (Perez et al., 2002). Hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis


(22)

dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa dan arabinosa (Gambar 2.4). Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa membentuk mikrofibril yang meningkatkan stabilitas dinding sel. Hemiselulosa juga berikatan silang dengan lignin membentuk jaringan kompleks dan memberikan struktur yang kuat.

Gambar 2.4. Bangun molekul hemiselulosa

Morrison (1986) mendapatkan bahwa hemiselulosa lebih erat terikat dengan lignin dibandingkan dengan selulosa, sehingga selulosa lebih mudah dicerna dibandingkan dengan hemiselulosa. Jung (1989) melaporkan bahwa perubahan kecernaan selulosa dan hemiselulosa diakibatkan oleh keberadaan lignin yang berubah-ubah. Dikatakan pula bahwa kandungan lignin pada rumput lebih tinggi dibandingkan dengan legum.

Hemiselulosa rantainya pendek dibandingkan selulosa dan merupakan polimer campuran dari berbagal senyawa gula, seperti xilosa, arabinosa, dan galaktosa. Selulosa alami umumnya kuat dan tidak mudah dihidrolisis karena rantai glukosanya dilapisi oleh hemiselulosa dan di dalam jaringan kayu selulosa terbenam dalam lignin membentuk bahan yang kita kenal sebagai lignoselulosa.


(23)

2.2.3 Lignin sebagai faktor pembatas penggunaan limbah

Lignin adalah salah satu komponen penyusun tanaman yang bersama dengan sellulosa dan bahan-bahan serat Iainnya membentuk bagian struktural dan sel tumbuhan. Pada batang tanaman, lignin berfungsi sebagai bahan pengikat komponen penyusun Iainnya, sehingga suatu pohon bisa berdiri tegak. Kalau dianologikan dengan bangunan, lignin dan serat-serat tanaman itu mirip seperti beton dengan batang-batang besi penguat di dalamnya, yang memegang serat serat yang berfungsi seperti batang besi, sehingga membentuk struktur yang kuat. Berbeda dengan sellulosa yang terutama terbentuk dari gugus karbohidrat, lignin terbentuk dan gugus aromatik yang saling dihubungkan dengan rantai alifatik, yang terdiri dari 2-3 karbon. Pada proses pirolisa lignin, dihasilkan senyawa kimia aromatis yang berupa fenol, terutama kresol (Young, 1986).

Lignin merupakan polimer dengan struktur aromatik yang terbentuk melalui unit-unit penilpropan yang berhubungan secara bersama oleh beberapa jenis ikatan yang berbeda (Perez et al. 2002). Lignin sulit didegradasi karena strukturnya yang kompleks dan heterogen yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman. Lebih dari 30 persen tanaman tersusun atas lignin yang memberikan bentuk yang kokoh dan memberikan proteksi terhadap serangga dan patogen. Disamping memberikan bentuk yang kokoh terhadap tanaman, lignin juga membentuk ikatan yang kuat dengan polisakarida yang melindungi polisakarida dari degradasi mikroba dan membentuk struktur lignoselulosa. Lignin terutama terkonsentrasi pada lamela tengah dan lapisan S2 dinding sel yang terbentuk selama proses lignifikasi jaringan tanaman. Lignin tidak hanya mengeraskan mikrofibril selulosa, juga berikatan secara fisik dan kimia dengan hemiselulosa. Lignin yang


(24)

melindungi selulosa bersifat tahan terhadap hidrolisis karena adanya ikatan arilalkil dan ikatan eter (Gambar 2.6).

Para Kumaril Alkohol Koniferil Alkohol Sinapil Alkohol Model Kerangka C Gambar 2.5 Satuan penyusun lignin (Steffen, 2003)

Gambar 2.6. Bangun struktur lignin

Pembentukan lignin terjadi secara intensif setelah proses penebalan dinding sel terhenti. Pembentukan dimulai dari dinding primer dan dilanjutkan ke dinding sekunder. Faktor lignin dalam membatasi fermeabilitas dinding sel tanaman dapat dibedakan menjadi efek kimia dan efek fisik. Efek kimia, yaitu hubungan


(25)

lignin-karbohidrat dan asetilisasi hemiselulosa. Lignin secara fisik membungkus mikrofibril dalam suatu matriks hidrofobik dan terikat secara kovalen dengan hemiselulosa. Hubungan antara lignin karbohidrat tersebut berperan dalam mencegah hidrolisis polimer selulosa. Kadar lignin akan bertambah dengan bertambahnya umur tanaman. Tanaman pakan mengandung selulosa 20-30%, hemisellulosa 14-20% dan pektin kurang dari 10% serta lignin 2-12% (Young, 1986).

2.3 Degradasi Senyawa Ligoselulosa

Lignoselulosa merupakan senyawa yang terdiri dari selulosa, hemiselosa dan lignin. Degradasi lignoselulosa secara sempurna dapat menyediakan nutrien yang optimal untuk ternak (Perez et al ,2002). Degradasi lignoselulosa terdiri dari degradasi senyawa selulosa, degradasi senyawa hemiselulosa, degradasi senyawa lignin.

2.3.1 Degradasi senyawa selulosa

Degradasi selulosa merupakan proses pemecahan polimer hidroglukosa menjadi molekul yang lebih sederhana. Proses ini menghasilkan oligo, tri atau disakarida seperti selobiosa, selotriosa, monomer glukosa, CO2 dan H2O. Degradasi

selulosa dapat dilakukan secara biologis (aktivitas enzim mikroba), fisik maupun kemis (Tillman, 1987). Sejumlah mikroba mampu menghidrolisis selulosa sampai taraf tertentu (Mudita et al.,2014).

Selolusa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman, dibangun oleh unit-unit D-glukosa dengan ikatan 1,4. Ikatan-ikatan ini membentuk mikrofibril selulosa yang tidak larut dalam air. Bagian selulosa yang mudah dihidrolisis disebut bagian amorf selulosa. Selulosa merupakan subtansi yang


(26)

utama dalam proses enzimatis Kecepatan degradasi enzimatis juga dipengaruhi oleh struktur selulosa. Degradasi selulosa berlangsung melalui hidrolisis rantai polisakarida menjadi molekul sederhana, yang menghasilkan oligosakarida maupun monomer glukosa atau produk degradasi sepe rti asam - asam organik maupun alkohol (Fadilah, 2012).

Selulosa alami merupakan kristalin dan mempunyai struktur yang kompleks. molekul selulosa dibangun dari unit-unit β glukosa. Dua molekul β - glukosa dikombinasikan melalui pertalian 1.4 yang menghasilkan β-cellobiose. Molekul selulosa merupakan polimer linier sederhana dari 1000 -10.000 unit sellobiose yang berikatan melalui ikatan 1,4-β glukosidik (Nurmayani, 2007)

Aktivitas mikrobia selulolitik dalam mendegradasi selulosa dilakukan secara ekstraseluler melalui dua sistem, yaitu: 1) Sistem hidrolitik, melalui produksi enzim hidrolase yang merombak selulosa dan hemiselulosa, dan 2) Sistem oksidatif dan sekresi lignase ekstraseluler melalui depolimerisasi lignin (Peres et al., 2002). Lynd et al (2002) dan Beauchemin et al. (2003) disitasi oleh Mudita et al,(2014) menyebutkan perombakan secara enzimatis berlangsung karena adanya kompleks enzim selulase yang bersifat spesifik untuk menghidrolisis ikatan β -1,4-glikosidik, rantai selulosa dan derivatnya melalui beberapa tahapan. Tahap pertama adalah menguraikan polimer selulosa secara random oleh enzim carboxymethilcelulase/CMC-ase atau endo β-1,4 glukanase dengan cara memecah ikatan hidrogen yang ada di dalam struktur kristalin selulosa (ikatan internal α -1,4-glukosida) sehingga terbentuk rantai-rantai individu selulosa (oligodekstrin). Tahap kedua adalah penguraian selulosa dari ujung pereduksi dan non pereduksi oleh eksoglukanase (selodektrinase dan selobiohydrolase) melalui pemotongan


(27)

ujung-ujung rantai individu selulosa (ujung-ujung pereduksi dan non-pereduksi) sehingga menghasilkan disakarida dan tetrasakarida (misal selobiosa). Tahap ketiga (terakhir) adalah tahap penguraian selobiosa menjadi glukosa oleh enzim β -glukosidase/glukohydrolase..

Reaksi degradasi selulosa menurunkan kadar karbon dan sebaliknya sintesa komponen-komponen sel akan meningkatkan kadar karbon (Djuarnani, 2004). Selulosa sebagai senyawa paling banyak di bumi tersusun atas 8 000 - 12 000 unit glukosa yang dihubungkan oleh ikatan 1,4-β-glukosida. Ikatan l,4-β- glukosida pada serat selulosa dapat dipecah menjadi monomer glukosa oleh

selulase (Fikrinda, 2000)


(28)

Gambar 2.8 Mekanisme degradari selulosa oleh enzim selulase

Proses perombakan secara enzimatis terjadi dengan adanya enzim selulase sebagai agen perombak yang bersi fat spesifik untuk menghidrolisis ikatan 1,4-β- glukosidik dan rantai selulosa dan derivatnya. Kompleks enzim selulase umumnya terdiri dari tiga unit enzim utama yaitu Endo β-(1,4)-glucanase (cx) yang berperan terutama pada bagian amorf pada rantai selulosa, membelah selulosa dan menghasilkan sedikit oligosakarida dengan ujung rantaiyang bebas, Ekso β -(1,4)-glucanase (cl) atau cellobiosehydrolase yang ber peran pada pemecahan dibagian

kristal rantai selulosa,membelah sellobiose dari ujung rantai yang tidak tereduksi dan β-glukosidase merupakan unit enzim yang penting untuk menghasilkan produk glukosa dari pemecahan selobiosa (Nurmayani, 2007)

2.3.2 Degradasi senyawa hemiselulosa

Degradasi hemiselulosa merupakan hasil dari aktivitas komplek enzim hemiselulase terdiri dari endo-β-1,4-xylanase, ekso-β-1,4-xylosidase,

endo-arabinase, α-L-arabinofuranosidase, endo- β-1,4-mananase, dan ekso- β

-1,4-mannosidase. Komponen utama dari hemiselulosa adalah xilan dan mannan.


(29)

sinergis, seperti endo-1,4-β-xilanase, 1,4-β-xilosidase, α-glukuronidase, α -L-arabinofuranosidase, asetil, furoloil, p-kumaril-esterase dan asetil-esterase (Coughlan and Hazlewood, 1993; Olempska-Beer, 2004). Enzim endo-1,4-β -xilanase bertugas menghidrolisis ikatan β-1,4 dalam rantai silan menghasilkan silooligomer pendek yang selanjutnya akan dihidrolisis menjadi unit silosa tunggal oleh β-silosidase. Enzim α-D-glukorosidase menghidrolisis ikatan α-1,2-glikosidik dari asam 4-O-metil-D-glukoronik rantai samping silan. Asetil esterase menghidrolisis substitusi asetil pada silosa dan feruloil esterase yang menghidrolisis ikatan ester antara substitusi arabinosa dan asam ferulik. Feruloil esterase dapat melepaskan hemiselulosa dari lignin dan sehingga lebih mudah

didegradasi oleh hemiselulase lain. Sedangkan degradasi sempurna dari mannan membutuhkan adanya kompleks enzim mananase yang terdiri dari; endo-β -D-mananase, ekso-β-D-mananase, α-D-manosidase, dan D-glukosidase (Howard, 2003). β-D-mananase menghidrolisis bagian tengah rantai manan, galaktomanan dan glukomanan, sedangkan β-D-glukosidase menghidrolisisi rantai sampingnya. Aktivitas hidrolisis dari kompleks enzim tergantung pada tipe enzim dan struktur manan sebagai substrat.

Hemiselulase dihasilkan oleh berbagai mikrobia seperti Trichoderma,

Aspergillus, Bacillus sp, Aeromonascaviae, Neurospora sitophila, Cryptococcus,

Penicillium, Aureobasidium, Fusarium, Chaetomium, Phanerochaete, Rhizomucor,

Humicola, Talaromyces, Clostridium sp, dan lain-lain yang dapat diisolasi dari berbagai sumber seperti sel tubuh hewan (seperti rayang, keong, siput), rumen, maupun sampah/limbah organik (Ohara et al., 1998; Chandel et al., 2007). Hasil penelitian Lee et al. (1985) menunjukkan Clostridium acetobutylicum strain ATCC


(30)

824 menghasilkan xylanase, xilopiranosidase, dan arabinofuranosidase, sedangkan strain NRRL B527 menghasilkan xilanase terbanyak. Bacillus sp dan B. pumilus PU 4-2 yang diisolasi dari perut rayap C. formosanus dan usus rayap

Termitidae dapat menghasilkan enzim silanase. Hasil penelitian Purwadaria et al.

(2004) menunjukkan B. pumilus PU 4-2 menghasilkan xilanase dengan aktivitas 3,0 U/ml dengan masa inkubasi optimum 36 jam dan aktivitas spesifik 67,5 U/mg.

Beberapa jenis bakteri rumen, kolon dan caecum ruminansia (F. succinogenes, B. fibrisolvens, R. Albus) dan fungi rumen mampu menghasilkan

enzim silanase. Akin dan Borneman (1990) menyebutkan jamur rumen mampu menghasilkan enzim silanase lebih tinggi daripada jamur anaerob lainnya, namun produksi silanase tersebut dipengaruhi oleh keberadaan gula, jika terdapat gula maka produksi silanase akan terhambat. Beberapa jenis jamur seperti Trichoderma reesei dan Penicillium chrysoporium menghasilkan β-xylosidase yang mempunyai ukuran lebih besar namun kurang populer dibandingkan endosilanase lainnya. Endosilanase dan endoglukanase dari jamur rumen Neocllimastix frontalis mempunyai aktivitas lebih tinggi dibandingkan endosilanase dan endoglukanase dari jamur anaerobik lainnya. Peres et al. (2002) juga mengungkapkan silanase bakteri pada umumnya lebih stabil pada pengaruh temperatur dari pada jamur. Enzim silanase termofilik dapat dihasilkan oleh kelompok bakteri Actinomycetes dan Thermonospora. Enzim silanase Actinobacteria bekerja aktif pada kisaran pH 6,0 – 7,0, sedangkan silanase jamur bekerja optimal pada pH 4,5 – 5,5. Jamur lain juga mampu menghasilkan silanase. Aspergillus niger yang ditumbuhkan pada media 50% dedak padi mampu menghasilkan enzim xylanase ekstraseluler


(31)

(Riyanto et al., 2000). Penicillium oxalicum juga dapat menghasilkan silanase yang mampu aktif pada suhu tinggi dan pH basa (Muthezilan et al., 2007).

2.3.3 Degradasi senyawa lignin

Ikatan lignin pada pinsipnya tidak berikatan linear tetapi merupakan senyawa kompleks. Lignin merupakan senyawa polimer yang sulit didegradasi dan hanya sedikit mikroorganisme yang mampu mendegradasi lignin secara efektif. Degradasi lignin membutuhkan enzim ekstraseluler yang tidak spesifik karena lignin mempunyai struktur acak dengan berat molekul tinggi. Degradasi lignin dari komplek lignoselulolitik merupakan respon dari aktivitas tiga (3) kelompok utama enzim ekstraseluler yaitu lignin-peroksidase/Li-P, mangan-peroksidase/Mn-P, dan lakase/Lac (Perez et al., 2002).

Lignin Peroksidase (EC 1.11.1.14, Li-P, Ligninase) merupakan enzim

lignolitik pertama yang berhasil ditemukan (Hammel, 1997) yang diisolasi dari beberapa kapang pelapuk putih (white rot fungus) dari kelas Basidiomycetes, seperti P. chrysosporium, Phlebia radiata, T. versicolor. Enzim Li-P bertugas mengkatalisis oksidasi sebuah elektron dari cincin aromatik lignin dan akhirnya membentuk kation-kation radikal. Senyawa radikal ini secara spontan atau bertahap melepaskan ikatan antar molekul dan beberapa diantaranya melepaskan inti pada cincin aromatik (Perez, 2002). Oksidasi substruktur lignin yang dikatalisis oleh Li-P dimulai dengan pemisahan satu elektron cincin aromatik substrat donor dan

menghasilkan radikal kation aril yang kemudian mengalami berbagai reaksi postenzymatic. Li-P memotong ikatan Cα-Cβ molekul lignin. Pemotongan ikatan

pada Cα-Cβ merupakan jalur utama perombakan lignin (Hammel, 1997).


(32)

kemampuan mengoksidasi senyawa fenolik, amina, eter aromatik, dan senyawa aromatik polisiklik. Li-P adalah enzim peroksidase ekstraseluler yang mengandung heme yang aktivitasnya bergantung pada H2O2, yang mempunyai potensial redoks

yang sangat besar dan pH optimum yang rendah (Gold dan Alic, 1993).

Enzim Mangan-Peroksidase/Mn-P (EC. 1.11.1.13, Mn-P) ditemukan tidak lama setelah ditemukannya Li-P dari Phanerochaete chrysosporium oleh Kuwahara Tahun 1984 (Suparjo, 2008). Enzim Mn-P merupakan heme peroksidase ekstraseluler yang membutuhkan Mn2+ sebagai substrat pereduksinya (Steffen, 2003). Enzim Mn-P mengoksidasi Mn2+ menjadi Mn3+ dan H2O2 sebagai katalis

untuk menghasilkan gugus peroksida (Camarero et al., 1994). Mn3+ yang dihasilkan dapat berdifusi ke dalam substrat dan mengaktifkan proses oksidasi. Hal ini didukung pula oleh aktivitas kation radikal dari veratril alkohol dan enzim penghasil H2O2. Proses ini diakhiri dengan bergabungnya O2 ke dalam struktur

lignin (De Jong et al., 1994). Radikal fenoksil yang dihasilkan lebih lanjut bereaksi yang akhirnya melepaskan CO2 (Suparjo, 2008).

Enzim Lakase/Lac berperanan mengoksidasi gugus fenol menjadi kuinon (Arora dan Sandhu, 1985). Ishihara (1980) menyatakan lakase adalah enzim pengoksidasi melalui proses demitilasi yang mengubah gugus metoksi menjadi methanol. Disamping itu terdapat kelompok enzim fenoloksidase (lakase dan tirosinase) yang mengoksidasi gugus δ dan p-fenol serta gugus amina menjadi kuinon dan memberi perubahan warna terhadap substansi fenolik 1-naftol dan p-kresol (Crawford, 1981). Perez et al., 2002 menyatakan laccase mereduksi O2

menjadi H2O dalam substrat fenolik melalui reaksi satu elektron membentuk radikal


(33)

(2.2-azinobis/3-ethylbenzthiozoline-6-sulphonate) atau HBT (Hydroxybenzotriazole), laccase mampu mengoksidasi senyawa nonfenolik tertentu dan veratryl alkohol. Berat molekul laccase basidiomycetes bervariasi antara 50 – 70 kDA (Suparjo, 2008).

Lignin merupakan senyawa aromatik yang sulit didegradasi, hanya sedikit organisme yang telah diketahui mampu mendegradasi lignin secara baik. Mikrobia eukariotik seperti jamur di alam merupakan perombak lignin paling efisien dan berperanan penting dalam siklus karbon. Beberapa mikrobia prokariotik seperti bakteri mempunyai kemampuan mendegradasi lignin. Bakteri dari genus Aeromonas, Bacillus, Flavobacterium, Pseudomonas maupun Streptomyces memiliki kemampuan enzimatis dalam menggunakan senyawa aromatik cincin (aromatic ring) dan rantai samping yang ada pada lignin (Hernandes et al., 1994). Disamping itu bakteri berperanan dalam perombakan lebih lanjut senyawa intermediet hasil degradasi jamur (Ruttiman et al., 1991). Marti ni et al. (2003) mengungkapkan bakteri dari genus Micrococcus (isolat SPH-9) dan Bacillus (isolat SPH-10) yang diisolasi dari sampah domestik mampu mendegradasi lignin (lindi hitam) masing-masing sebesar 75% dan 78%. Prihantini et al. (2011) mengungkapkan isolat bakteri TLiD dan BOpR mampu mendegradasi lignin dan organochlorin (lignolitik) jerami padi sampai 100% pada fermentasi hari ke-7.

2.4 Cacing Tanah Sebagai Sumber Inokulan Pendegradasi Lignoselulosa

Cacing Tanah adalah hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang (invertebrata) dan digolongkan kedalam filum Annelida karena seluruh tubuhnya tersusun atas beberapa segmen (ruas) yang berbentuk seperti cincin (Khairuman & Khairul, 2009). Cacing tanah mengandung yaitu lemak, kalsium, fosfor, serat kasar dan kandungan protein yang ada di tubuhnya sangat


(34)

tinggi dan banyak, setidaknya terdiri atas 9 macam asam amino esensial yaitu arginin, fenilalanin, histidin, isoleusin, leusin, lisin, methionin, threonin, valin dan 4 macam asam amino nonesensial yang terdiri dari sistin, glisin, serin, tirosin. Banyaknya asam amino esensial yang terkandung memberikan indikasi bahwa cacing tanah juga mengandung berbagai jenis enzim yang sangat berguna (Palungkun, 2010).

Fuji et al. (2012) menambahkan bahwa bakteri selulolitik yang dominan pada cacing tanah Amynthun heteropoda dan Eisenia fetida adalah Burkholderia spp, Enterobacter Herbaspiririllum dan Pseidomonas, sedangkan fungi selulolitik

yang dominan adalah Penicillium, Fusarium dan Staphylotrichum. Owa et al. (2013) juga melaporkan bahwa saluran pencernaan cacing tanah Libyodrilus violaceus berhasil diisolasi bakteri Acinobacter sp., Alcaligans faecalis, Bacillus

sp., B. brevis, B.cereus, B lalerosporus, B. lichenoform, Corynebacterium sp., E.

cloacae, Erwinia salicie, Flavobacterium sp., F, aquartile, Kiebsiella sp.,

Micrococcus inteus, M. varians, Proteus rennvi, P. vulgaris, dan Pseudomonas sp.

Peranan inokulan dalam upaya menurunkan kandungan serat kasar dan senyawa anti nutrisi pada bahan pakan penyususn ransum komplit, pemanfaatan teknologi biofermentasi merupakan salah satu strategi yang dapat dilakukan (Suharto,2004). Fermentasi merupakan proses perubahan kimia pada substrat sebagai hasil mikroorganisme dengan menghasilkan produk tertentu. Selama proses fermentasi terjadi perubahan pH, kelembaban, aroma dan perubahan kompisisi zat makanan seperti protein, lemak, serat kasar, karbohidrat, vitamin dan mineral (Bidura, 2007). Terjadinya fermentasi tergantung pada jenis substrat, mikroba yang bekerja dalam proses fermentasi dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi


(35)

pertumbuhan dan metabolisme mikroba yang bersangkutan. Mikroba yang berperan dalam proses fermentasi umumnya dari kapang, khamir dan bakteri (Wardani, 2014).

Pemanfaatan cacing tanah dalam produksi inokulan telah menunjukkan bahwa penggunaan 0,1–0,4% cacing tanah (Lubricus rubellus) mampu menghasilkan inokulan dengan kandungan nutrien dan populasi mikroba yang cukup tinggi (Putra, 2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bioinokulan yang diproduksi dengan memanfaatkan cacing tanah dengan level 1-4% mampu menghasilkan bioinokulan dengan kandungan Fosfor/P, Kalsium/Ca, Zinc/Zn, Belerang/S, dan Protein terlarut yang berbeda tidak nyata (P>0,05) yaitu masing-masing sebesar 132,21 – 151,29 mg/l, 1155,83 – 1281 mg/l, 7,29 – 7,76 mg/l, 227,33 – 236,00 mg/l, 4,03 – 4,39% dan 0,77 – 0,84% (Tabel 2.2)

Tabel 2.2 Kandungan nutrien bioinokulan konsorsium mikroba cacing tanah

Bioinokulan1

Kandungan Nutrien Bioinokulan

P Ca Zn S Protein

terlarut

mg/l mg/l mg/l mg/l %

BC 1 132,21a2 1275,00a 7,29a 227,33a 4,03a

BC 2 149,95ab 1281,25a 7,51a 232,67a 4,34a

BC 3 151,29b 1242,50a 7,76a 232,67a 4,39a

BC 4 132,47ab 1155,83a 7,57a 236,00a 4,17a

SEM3 4,60 96,97 0,22 6,30 0,14 Sumber : Putra, 2015

Keterangan: Hasil analisis Lab. Analitik UNUD 1) Perlakuan yang diberikan

BC1 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,1 mg/l BC2 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,2 mg/l BC3 =Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,3 mg/l BC4 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,4 mg/l 2) Hurup yang sama pada kolom sama, berbeda tidak nyata (P>0,05)


(36)

Dihasilkannya kandungan mineral seperti Ca, P, S dan Zn yang tinggi serta protein terlarut yang juga tinggi dari keempat bioinokulan (Tabel 2.2), selain disebabkan oleh bahan penyusun medium juga merupakan sumbangan dari mikroba inokulan. Hal ini mengingat sel tubuh mikroba tersusun atas berbagai protein/asam amino terutama asam amino mengandung sulfur (metionin, sistein dan sistin) serta berbagai mineral pembangun tubuh (Ca, P, dan S) serta mineral fungsional seperti Zn sehingga kandungan nutrien bioinokulan menjadi tinggi.

Tabel 2.3 Populasi mikroba dan derajat keasaman bioinokulan konsorsium mikroba cacing tanah

PERLAKUAN / JENIS BIOINOKULAN POPULASI MIKROBA pH Total bakteri Bakteri Selulolitik Bakteri Amilolitik Bakteri Proteolitik Total Fungi x109sel/ml x108sel/ml x108sel/ml x108sel/ml x104sel/ml

BC 1 7,77a 1,18a 6,60a 4,03a 2,92a 3,81a BC 2 8,85a 1,35a 6,87a 4,67a 2,99a 3,64a BC 3 8,88a 1,73a 7,37a 4,83a 3,23a 3,53a BC 4 9,40a 1,76a 6,73a 4,97a 3,52a 3,64a SEM 0,66 0,17 0,92 1,29 0,61 00,09 Sumber : Putra, 2015

Keterangan: Hasil analisis Lab. Nutrisi dan Makanan ternak Fakultas Peternakan UNUD

1) Perlakuan yang diberikan (Jenis Bioinokulan yang diproduksi)


(37)

BC2 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,2 mg/l BC3 =Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,3 mg/l BC4 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,4 mg/l 2) Hurup yang sama pada kolom sama, berbeda tidak nyata (P>0,05)

3) SEM = Standard Error of The Treatment Means

Pemanfaatan cacing tanah sebagai sumber konsorsium mikroba mampu menghasilkan bioinokulan dengan populasi mikroba baik bakteri maupun fungi yang cukup tinggi dan dengan derajat keasaman yang cukup rendah (Tabel 2.3). Penggunaan cacing tanah sebanyak 0,1–0,4% (10 – 40 ml larutan cacing tanah 10% dalam 1 liter bioinokulan) mampu menghasilkan bioinokulan dengan kandungan total bakteri 7,77 – 9,40 x 109 koloni/ml, bakteri selulolitik 1,18 – 1,76 x 108 koloni/ml, bakteri amilolitik 6,60 – 7,37 x 108 koloni/ml, bakteri proteolitik 4,03

4,97 x 108 koloni/ml dan total fungi 2,92 – 3,52 x 108 koloni/ml serta dengan derajat keasaman (pH) 3,53 – 3,81 (Tabel 2.3).

Berbagai hasil penelitian telah menunjukkan bahwa semakin tinggi populasi mikroba akan meningkatkan kemampuan degradasi lignoselulosa dari inokulan bersangkutan (Mudita et al., Unpublished”;). Mudita et al. (2012) menunjukkan bahwa inokulan yang diproduksi dari 2% cairan rumen dan 0,2% rayap dengan populasi bakteri selulolitik tertinggi yaitu 6,33 – 8,00 x 109 kol/ml mempunyai kemampuan degradasi substrat kaya selulosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan inokulan yang mempunyai populasi mikroba yang lebih rendah.


(38)

Tabel 2.4 Pengaruh perlakuan terhadap populasi bakteri bioinokulan Perlakuan2

Populasi Bakteri (...x 109 koloni/ml)1 Total Bakteri

(x 109 koloni/ml)

Bakteri Selulolitik

(x 109 koloni/ml)

Bakteri Silanolitik

(x 109 koloni/ml) BR1E1 11,96a 6,33a 4,87a

BR2E1 13,27bc 6,65a 6,01a

BR1E2 12,94ab 6,43a 5,56a

BR2E2 14,01bc 7,00a 6,39a

BR1E3 13,70bc 7,03a 6,59a

BR2E3 14,23c 8,00a 6,91a

SEM4 0,34 0,75 0,53

Sumber : Mudita et al. (2012)

Keterangan:

1) Hasil Analisis Lab. Biofarmaka Fakultas Farmasi Unhas 2) Perlakuan yang diberikan, yaitu:

BR1E1 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 10% cairan rumen dan 0,1% rayap

BR2E1 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 20% cairan rumen dan 0,1% rayap

BR1E2 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 10% cairan rumen dan 0,2% rayap

BR2E2 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 20% cairan rumen dan 0,2% rayap

BR1E3 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 10% cairan rumen dan 0,3% rayap

BR2E3 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 20% cairan rumen dan 0,3% rayap

3) Notasi berbeda pada kolom sama menunjukkan nilai berbeda nyata (P<0,05) 4) SEM = Standard Error of the Treatment Mean.


(1)

6-sulphonate) atau HBT (Hydroxybenzotriazole), laccase mampu mengoksidasi senyawa nonfenolik tertentu dan veratryl alkohol. Berat molekul laccase basidiomycetes bervariasi antara 50 – 70 kDA (Suparjo, 2008).

Lignin merupakan senyawa aromatik yang sulit didegradasi, hanya sedikit organisme yang telah diketahui mampu mendegradasi lignin secara baik. Mikrobia eukariotik seperti jamur di alam merupakan perombak lignin paling efisien dan berperanan penting dalam siklus karbon. Beberapa mikrobia prokariotik seperti bakteri mempunyai kemampuan mendegradasi lignin. Bakteri dari genus Aeromonas, Bacillus, Flavobacterium, Pseudomonas maupun Streptomyces memiliki kemampuan enzimatis dalam menggunakan senyawa aromatik cincin (aromatic ring) dan rantai samping yang ada pada lignin (Hernandes et al., 1994). Disamping itu bakteri berperanan dalam perombakan lebih lanjut senyawa intermediet hasil degradasi jamur (Ruttiman et al., 1991). Marti ni et al. (2003) mengungkapkan bakteri dari genus Micrococcus (isolat SPH-9) dan Bacillus (isolat SPH-10) yang diisolasi dari sampah domestik mampu mendegradasi lignin (lindi hitam) masing-masing sebesar 75% dan 78%. Prihantini et al. (2011) mengungkapkan isolat bakteri TLiD dan BOpR mampu mendegradasi lignin dan organochlorin (lignolitik) jerami padi sampai 100% pada fermentasi hari ke-7.

2.4 Cacing Tanah Sebagai Sumber Inokulan Pendegradasi Lignoselulosa Cacing Tanah adalah hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang (invertebrata) dan digolongkan kedalam filum Annelida karena seluruh tubuhnya tersusun atas beberapa segmen (ruas) yang berbentuk seperti cincin (Khairuman & Khairul, 2009). Cacing tanah mengandung yaitu lemak, kalsium, fosfor, serat kasar dan kandungan protein yang ada di tubuhnya sangat


(2)

tinggi dan banyak, setidaknya terdiri atas 9 macam asam amino esensial yaitu arginin, fenilalanin, histidin, isoleusin, leusin, lisin, methionin, threonin, valin dan 4 macam asam amino nonesensial yang terdiri dari sistin, glisin, serin, tirosin. Banyaknya asam amino esensial yang terkandung memberikan indikasi bahwa cacing tanah juga mengandung berbagai jenis enzim yang sangat berguna (Palungkun, 2010).

Fuji et al. (2012) menambahkan bahwa bakteri selulolitik yang dominan pada cacing tanah Amynthun heteropoda dan Eisenia fetida adalah Burkholderia spp, Enterobacter Herbaspiririllum dan Pseidomonas, sedangkan fungi selulolitik yang dominan adalah Penicillium, Fusarium dan Staphylotrichum. Owa et al. (2013) juga melaporkan bahwa saluran pencernaan cacing tanah Libyodrilus violaceus berhasil diisolasi bakteri Acinobacter sp., Alcaligans faecalis, Bacillus sp., B. brevis, B.cereus, B lalerosporus, B. lichenoform, Corynebacterium sp., E. cloacae, Erwinia salicie, Flavobacterium sp., F, aquartile, Kiebsiella sp., Micrococcus inteus, M. varians, Proteus rennvi, P. vulgaris, dan Pseudomonas sp. Peranan inokulan dalam upaya menurunkan kandungan serat kasar dan senyawa anti nutrisi pada bahan pakan penyususn ransum komplit, pemanfaatan teknologi biofermentasi merupakan salah satu strategi yang dapat dilakukan (Suharto,2004). Fermentasi merupakan proses perubahan kimia pada substrat sebagai hasil mikroorganisme dengan menghasilkan produk tertentu. Selama proses fermentasi terjadi perubahan pH, kelembaban, aroma dan perubahan kompisisi zat makanan seperti protein, lemak, serat kasar, karbohidrat, vitamin dan mineral (Bidura, 2007). Terjadinya fermentasi tergantung pada jenis substrat, mikroba yang bekerja dalam proses fermentasi dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi


(3)

pertumbuhan dan metabolisme mikroba yang bersangkutan. Mikroba yang berperan dalam proses fermentasi umumnya dari kapang, khamir dan bakteri (Wardani, 2014).

Pemanfaatan cacing tanah dalam produksi inokulan telah menunjukkan bahwa penggunaan 0,1–0,4% cacing tanah (Lubricus rubellus) mampu menghasilkan inokulan dengan kandungan nutrien dan populasi mikroba yang cukup tinggi (Putra, 2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bioinokulan yang diproduksi dengan memanfaatkan cacing tanah dengan level 1-4% mampu menghasilkan bioinokulan dengan kandungan Fosfor/P, Kalsium/Ca, Zinc/Zn, Belerang/S, dan Protein terlarut yang berbeda tidak nyata (P>0,05) yaitu masing-masing sebesar 132,21 – 151,29 mg/l, 1155,83 – 1281 mg/l, 7,29 – 7,76 mg/l, 227,33 – 236,00 mg/l, 4,03 – 4,39% dan 0,77 – 0,84% (Tabel 2.2)

Tabel 2.2 Kandungan nutrien bioinokulan konsorsium mikroba cacing tanah

Bioinokulan1

Kandungan Nutrien Bioinokulan

P Ca Zn S Protein

terlarut

mg/l mg/l mg/l mg/l %

BC 1 132,21a2 1275,00a 7,29a 227,33a 4,03a BC 2 149,95ab 1281,25a 7,51a 232,67a 4,34a BC 3 151,29b 1242,50a 7,76a 232,67a 4,39a BC 4 132,47ab 1155,83a 7,57a 236,00a 4,17a

SEM3 4,60 96,97 0,22 6,30 0,14

Sumber : Putra, 2015

Keterangan: Hasil analisis Lab. Analitik UNUD 1) Perlakuan yang diberikan

BC1 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,1 mg/l BC2 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,2 mg/l BC3 =Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,3 mg/l BC4 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,4 mg/l 2) Hurup yang sama pada kolom sama, berbeda tidak nyata (P>0,05)


(4)

Dihasilkannya kandungan mineral seperti Ca, P, S dan Zn yang tinggi serta protein terlarut yang juga tinggi dari keempat bioinokulan (Tabel 2.2), selain disebabkan oleh bahan penyusun medium juga merupakan sumbangan dari mikroba inokulan. Hal ini mengingat sel tubuh mikroba tersusun atas berbagai protein/asam amino terutama asam amino mengandung sulfur (metionin, sistein dan sistin) serta berbagai mineral pembangun tubuh (Ca, P, dan S) serta mineral fungsional seperti Zn sehingga kandungan nutrien bioinokulan menjadi tinggi.

Tabel 2.3 Populasi mikroba dan derajat keasaman bioinokulan konsorsium mikroba cacing tanah

PERLAKUAN / JENIS BIOINOKULAN

POPULASI MIKROBA

pH Total

bakteri

Bakteri Selulolitik

Bakteri Amilolitik

Bakteri Proteolitik

Total Fungi x109sel/ml x108sel/ml x108sel/ml x108sel/ml x104sel/ml

BC 1 7,77a 1,18a 6,60a 4,03a 2,92a 3,81a

BC 2 8,85a 1,35a 6,87a 4,67a 2,99a 3,64a

BC 3 8,88a 1,73a 7,37a 4,83a 3,23a 3,53a

BC 4 9,40a 1,76a 6,73a 4,97a 3,52a 3,64a

SEM 0,66 0,17 0,92 1,29 0,61 00,09

Sumber : Putra, 2015

Keterangan: Hasil analisis Lab. Nutrisi dan Makanan ternak Fakultas Peternakan UNUD

1) Perlakuan yang diberikan (Jenis Bioinokulan yang diproduksi)


(5)

BC2 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,2 mg/l BC3 =Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,3 mg/l BC4 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,4 mg/l 2) Hurup yang sama pada kolom sama, berbeda tidak nyata (P>0,05)

3) SEM = Standard Error of The Treatment Means

Pemanfaatan cacing tanah sebagai sumber konsorsium mikroba mampu menghasilkan bioinokulan dengan populasi mikroba baik bakteri maupun fungi yang cukup tinggi dan dengan derajat keasaman yang cukup rendah (Tabel 2.3). Penggunaan cacing tanah sebanyak 0,1–0,4% (10 – 40 ml larutan cacing tanah 10% dalam 1 liter bioinokulan) mampu menghasilkan bioinokulan dengan kandungan total bakteri 7,77 – 9,40 x 109 koloni/ml, bakteri selulolitik 1,18 – 1,76 x 108 koloni/ml, bakteri amilolitik 6,60 – 7,37 x 108 koloni/ml, bakteri proteolitik 4,03

4,97 x 108 koloni/ml dan total fungi 2,92 – 3,52 x 108 koloni/ml serta dengan derajat keasaman (pH) 3,53 – 3,81 (Tabel 2.3).

Berbagai hasil penelitian telah menunjukkan bahwa semakin tinggi populasi mikroba akan meningkatkan kemampuan degradasi lignoselulosa dari inokulan bersangkutan (Mudita et al., Unpublished”;). Mudita et al. (2012) menunjukkan bahwa inokulan yang diproduksi dari 2% cairan rumen dan 0,2% rayap dengan populasi bakteri selulolitik tertinggi yaitu 6,33 – 8,00 x 109 kol/ml mempunyai kemampuan degradasi substrat kaya selulosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan inokulan yang mempunyai populasi mikroba yang lebih rendah.


(6)

Tabel 2.4 Pengaruh perlakuan terhadap populasi bakteri bioinokulan Perlakuan2

Populasi Bakteri (...x 109 koloni/ml)1 Total Bakteri

(x 109 koloni/ml)

Bakteri Selulolitik (x 109 koloni/ml)

Bakteri Silanolitik (x 109 koloni/ml)

BR1E1 11,96a 6,33a 4,87a

BR2E1 13,27bc 6,65a 6,01a

BR1E2 12,94ab 6,43a 5,56a

BR2E2 14,01bc 7,00a 6,39a

BR1E3 13,70bc 7,03a 6,59a

BR2E3 14,23c 8,00a 6,91a

SEM4 0,34 0,75 0,53

Sumber : Mudita et al. (2012)

Keterangan:

1) Hasil Analisis Lab. Biofarmaka Fakultas Farmasi Unhas 2) Perlakuan yang diberikan, yaitu:

BR1E1 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 10% cairan rumen dan 0,1% rayap

BR2E1 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 20% cairan rumen dan 0,1% rayap

BR1E2 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 10% cairan rumen dan 0,2% rayap

BR2E2 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 20% cairan rumen dan 0,2% rayap

BR1E3 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 10% cairan rumen dan 0,3% rayap

BR2E3 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 20% cairan rumen dan 0,3% rayap

3) Notasi berbeda pada kolom sama menunjukkan nilai berbeda nyata (P<0,05) 4) SEM = Standard Error of the Treatment Mean.