METODOLOGI DAN IDEOLOGI AL-MÂWARDIY DALAM AL-’AHKÂM AL-SHULTHÂNIYYAH
METODOLOGI DAN IDEOLOGI AL-MÂWARDIY
DALAM AL-’AHKÂM AL-SHULTHÂNIYYAH
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora
(M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
NIM : 036322013
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2008
ii
iii
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Metodologi dan Ideologi AlMâwardiy dalam Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah” merupakan hasil karya dan
penelitian saya sendiri. Di dalam bagian tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi.
Peminjaman karya-karya sarjana lain di dalam tesis ini adalah semata-mata untuk
keperluan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 03 November 2008
Abdurrosyid
v
MOTTO
4 + , +- .
(*
*
786 5
! "# $%&'
( "#) *
/-) -! *
01- 2 3'
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan [menyuruh kamu] apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui." Q.S. al-Nisâ’ (4): 58.
9 /: 9; <
- =!
"Dan sesungguhnya kamu [Muhammad] benar-benar berbudi pekerti yang
agung." Q.S. Nun/al-Qalam (68): 4
vi
PERSEMBAHAN
!
"
#
$
!
#
%
$
!
!
&
'(()
%
*
%
'((+
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setiap manusia hidup dengan pemahaman terhadap masa lalu yang
diceritakan, yang memungkinkannya mengkondisikan diri dalam kekinian, bahkan
menyusun angan-angan masa depan. Dengan demikian, masa lalu adalah lokus
pencarian makna "jatidiri" setiap orang. Imajinasi, impian, tak lain kecuali
serangkaian preskripsi tentang bagaimana menempatkan hasil pemahaman: – iman
/ideologi – dalam orbit kehidupan, dan menghadapi kekuatan-kekuatan yang
meremehkan 'jatidiri'.
Penulis terlahir di lingkungan budaya yang sangat menghargai masa lalu
Islam: pesantren salafiy,1 di sebuah desa pinggiran sebelah timur kota besar,
Semarang. Namun, seperti ciri pesantren salafiy pada umumnya, Pondok Pesantren
Tafsir dan Sunnah: Al-Itqon, tempat kelahiran penulis, merupakan wahana bagi
warga pesantren untuk menemukan jalinan intensif masa lalu-masa kini-masa depan,
melalui prinsip fikih: Al-muhâfazhatu ‘ala al-qadîmi al-shâlihi wa al-akhdzu bi aljadîdi al-’ashlahi ("menjaga nilai-nilai masa lalu yang baik dan mengambil nilai-nilai
baru – kekinian – yang lebih baik"), sebuah prinsip melihat sejarah secara dinamis.
Melalui prinsip hidup yang dijunjung tinggi di lingkungan pesantren semacam AlItqan ini, warga sangat menyadari dan menghargai arti "relatifitas nilai".
Suatu hari, ketika penulis masih duduk di bangku kelas enam Madrasah
Diniah Ibtidaiah, masuk seorang santri baru yang berasal dari desa tetangga. Ia
berusia kira-kira 5-7 tahun lebih tua dari usia rata-rata santri di kelas kami. Meski
teman santri baru ini berumur relatif lebih dewasa daripada santri-santri lain, ia
tampak mengalami kesulitan menangkap pemahaman dari pelajaran-pelajaran yang
ada, terutama pelajaran pokok ilmu "nahwu" dan "sharaf". Apalagi, ia tidak sebagai
1
Istilah "pesantren salafi" diartikan sebagai pesantren yang masih mengajarkan kitab-kitab
warisan intelektual Islam klasik (turâts) sebagai kurikulum utama, dan perbandingannya adalah
"pesantren hadîtsiy/khalafiy" seperti pesantren-pesantren yang menamakan diri "pesantren
modern". Pada pesantren jenis yang kedua tersebut, kitab-kitab turâts tidak dikaji sebagai
kurikulum utama.
viii
santri mukim melainkan sebagai santri kalong,2 sehingga tidak banyak kesempatan
baginya untuk mendiskusikan kesulitan-kesulitan pelajaran yang dihadapinya
bersama teman-teman santri maupun guru-guru pembimbing. Hal yang paling
menonjol darinya adalah keaktifannya dalam organisasi santri, baik di tingkat kelas
maupun di tingkat madrasah.
Kurang-lebih dua tahun berikutnya, Sang teman mulai jarang-jarang masuk
kelas, hingga akhirnya tidak masuk sama sekali. Belakangan penulis ketahui, ia aktif
mengadakan dan mengikuti kajian agama di mana-mana, yang jelas di luar pesantren.
Suatu hari ia datang ke pesantren/madrasah dengan penampilan fisik dan sikap yang
di luar kebiasaan. Ia tidak lagi memakai sarung dan pecis, ciri khas pakaian santri
laki-laki, tetapi baju koko dan celana 'congklang', dan berkopiah. Ia menampakkan
semangat yang gigih dan besar sebagai pemuda gerakan yang menginginkan
"kehormatan Islam" dengan mendirikan "Negara Islam" (khilâfah/’imâmah). Bahkan,
ia menilai bahwa kajian agama model pesantren/madrasah seperti yang pernah ia ikuti
tidak efektif dalam menjawab tuntutan 'kehormatan Islam' yang ia cita-citakan itu. Ia
pun memperkenalkan kepada teman-teman santri buku-buku (terjemahan) dan
majalah-majalah, sebagai bahan bacaan barunya. Penulis dan teman-teman santri lain,
kami warga pesantren umumnya, sebenarnya telah memiliki "standar" penilaian
tersendiri terhadap buku-buku dan majalah-majalah seperti yang diperkenalkannya
itu.
Setelah itu, ia tak pernah lagi berkunjung ke pesantren dan kami tak tahu
bagaimana kabarnya. Sampai akhirnya, setelah kurang-lebih 20-an tahun penulis
tidak pernah berjumpa dengannya, ketika penulis menyimak siaran 'Kabar Petang'
dari sebuah stasiun televisi swasta, diberitakan bahwa seorang laki-laki yang diduga
sebagai anggota teroris tewas ditembak petugas "Polisi Detasemen Lapan-Lapan", di
Sleman Yogyakarta. Menurut berita itu, laki-laki itu memiliki banyak nama dan salah
satunya berinisial "Em-En" yang berasal dari salah satu desa tetanggaku. Penulis
penasaran, jangan-jangan laki-laki yang diberitakan itu adalah Sang teman yang
2
Menurut pengertian yang dipakai dalam lingkungan orang-orang pesantren, santri mukim adalah
murid-murid yang tinggal di pesantren, sebaliknya santri kalong adalah murid-murid yang tidak
menetap di dalamnya dan disebut juga santri lajon, yaitu mereka yang biasanya berasal dari desadesa di sekeliling pesantren yang bolak-balik dari rumahnya sendiri untuk mengikuti pelajaran di
pesantren. Bandingkan Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai, LP3ES, Jakarta, 1982, h. 51-52.
ix
penulis ceritakan. Seminggu kemudian ketika penulis pulang ke Semarang, ternyata
dugaan itu benar.
Tentu,
ini
hanyalah
salah
satu
kisah
yang
terkait
dengan
isu
khilâfah/’imâmah. Sebuah isu tentang problem "Islam" yang sampai hari ini masih
sangat nyaring terdengar. Isu yang telah meminta banyak keringat, air mata, dan
darah "syuhada". Menurut penulis, jarang sekali isu khilâfah/’imâmah itu didekati
secara ilmiah melalui kajian sejarah. Bahkan, isu itu telah menjelma sebagai gelora
ideologi gerakan yang mendakwahkan diri sebagai kelompok "Islam militan".
Bagaimanakah asal-usul dan mekanisme ide khilâfah/’imâmah itu terbangun, dan
bagaimana
pula
ideologi
melingkupinya?
Kajian
terhadap
Al-’Ahkâm
al-
Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy adalah sebuah cara untuk memahami salah satu
fenomena sejarah Islam itu yang masih sangat aktual hingga kini.
Pertama-tama, Penulis harus menyampaikan terima kasih dan penghargaan
kepada para petugas di Perpustakaan Kolsani dan Perpustakaan Pusat Universitas
Sanata Dharma atas pelayanan dan dedikasi mereka, terutama mas Slamet (Kolsani)
yang tak pernah jera melayani peminjaman buku oleh penulis dan yang sangat santun
dalam memberi teguran kepada penulis karena selalu terlambat dalam pengembalian,
bahkan selalu me-ngendon buku-buku dalam waktu yang lama. Yang kedua, terima
kasih penulis ucapkan kepada Pak Nardi (Dr. S(i)t(i). Sunardi) atas segala
bimbingannya; Romo Baskara, Romo Banar, Pak Budiawan, dan Mbak Devi; mereka
yang selalu berempati tehadap penulis, bahkan penulis merasa telah diperlakukan
lebih dari sekedar sebagai mahasiswa. Ketiga, terima kasih pula kepada Mas Tri
bersama istri yang banyak membantu dan memberi motivasi, tak lupa kepada Entis,
I'im dan suami yang memberi banyak waktu, tenaga, pikiran, dan perhatian untuk
selesainya tesis ini, serta Izzah, Mas Totok (juragané "Joglo Semar"), Icul, Pak Teo,
Yus, dan semua "adik-adik" di IRB: Hasan, Anziem, Dona, Olvi, dan terutama Kang
Wahyudin yang sempat menjadi "dosen penguji" dalam simulasi ujian. Spesial,
terima kasih buat Mbak Hengky dan Mbak Yayas, serta Mas Mulyadi yang rajin
x
selalu, dan terakhir terima kasih kepada Prof. Dr. Mujahirin Tohir (Guru Besar
Antropologi di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang) atas keramahan,
keakraban, dan terutama keutuhan dedikasinya dalam membaca laporan penelitian ini
secara teliti dan kritis.
Akhirnya, penulis berharap dan berdoa, semoga kajian ini bermanfaat dan
semua orang yang berjasa pada hidup penulis dan dalam kajian ini mendapatkan ganti
kebaikan dari Allah Subhânahû wa Ta‘âlâ, amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Abdurrosyid
Yogyakarta, Desember 2008
xi
DAFTAR ISI
...............................................................................................
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................
MOTTO .......................................................................................................
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................
KATA PENGANTAR ................................................................................
DAFTAR ISI ...............................................................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................
ABSTRAK ...................................................................................................
Hal
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
xi
xiv
xvii
BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................
A. Latar Belakang ...................................................................
B. Rumusan Masalah..............................................................
C. Tujuan Penelitian ..............................................................
D. Relevansi Penelitian...........................................................
E. Survei Hasil-hasil Penelitian..............................................
F. Orientasi dan sistematika Penulisan...................................
1
1
11
11
13
21
33
BAB II
KERANGKA TEORETIS DAN METODE PENELITIAN
A. Kerangka Teoretis dan Pengertian Konsep-Konsep ....
1. Situasi Sosial Historis dan Peranannya dalam
Pembentukan Pengetahuan ..........................................
2. Mekanisme Pembentukan Pengetahuan.......................
3. Fungsi Pengetahuan .....................................................
4. Kritik Pengetahuan......................................................
5. Ideologi ........................................................................
6. Kritik Ideologi..............................................................
B. Metode Penelitian ............................................................
1. Sumber data .................................................................
2. Teknik Pengumpulan data...........................................
3. Teknik analisa Data......................................................
37
37
BAB III
EKSPLORASI TERHADAP AL-MÂWARDIY
DAN AL-’AHKÂM AL-SHULTHÂNIYYAH
A. Substansi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah...........................
1. Asal-usul Imamah dan Fungsinya................................
2. Landasan Normatif Legalitas Imamah.........................
3. Ketentuan Yuridis Pengangkatan Imam/Khalifah.........
38
41
45
51
53
56
60
60
60
61
63
64
64
68
70
xii
4. Kualifikasi "Dewan Pemilih" dan Calon Imam ..........
a. Kualifikasi "Dewan Pemilih".................................
b. Kualifikasi Calon Imam.........................................
5. Mekanisme Pengangkatan Imam .................................
a. Sistem Pemilihan ...................................................
b. Sistem Permandatan...............................................
6. Tugas-tugas Pokok Imam ............................................
7. Pemakzulan Imam, Kudeta, dan Pemberontakan .. .....
8. Sistem Birokrasi Negara ..............................................
B. Konteks Historis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah .............
1. Riwayat Hidup Al-Mâwardiy ......................................
2. Kondisi Sosial dan Politik di Bagdad abad IV H/10 M
3. Sejarah Wacana Politik Islam .....................................
C. Metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah........................
1. Asal-usul Pembentukan Fikih (Hukum Islam) ...........
2. Metodologi Pembentukan Fikih .................................
3. Metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah.....................
D. Wacana-wacana Ideologis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah
BAB IV
71
71
72
73
74
75
77
80
82
84
85
89
99
115
116
120
124
124
ANALISA HISTORIS, METODOLOGIS, DAN MITOS AL’AHKÂM AL-SHULTHÂNIYYAH ........................................
131
A. Analisa Historis:
Sosiologi-Genealogi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah..........
134
1. Konteks Sosial-Budaya yang Melahirkan
135
al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ........................................
2. Konteks Politik yang Melahirkan
al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ........................................
137
3. Konteks Budaya Intelektual [Wacana Politik] yang
Melahirkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah .....................
140
4. Posisi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dalam Konteks
Sosial, Politik, dan Budaya Islam Abad IV H/X M .....
141
5. Efek Konteks Historis terhadap al-’Ahkâm al-ShulthâNiyyah .........................................................................
143
a. Historisitas Konsep Imamah ....................................
144
b. Implikasi Ideologis Konsep Imamah .......................
155
1. Nuansa Ideologis Kewajiban Pengangkatan Imam 167
2. Nuansa Ideologis Mekanisme Pengangkatan Imam 169
3. Nuansa Ideologis Tugas-tugas Imam...................
186
4. Nuansa Ideologis Mekanisme Pemakzulan Imam
188
5. Nuansa Ideologis Pengabsahan Kudeta
dan Pemberontakan..............................................
190
6. Nuansa Ideologis Pembatasan Hak Wanita
dalam Kepemimpinan ..........................................
192
Catatan Penutup Analisa Historis ..................................
196
xiii
BAB V
B. Analisa Metodologis.........................................................
1. Sistem Metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah.........
2. Batas-batas Metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah
dan Implikasinya ..........................................................
a. Batas-batas secara Metodis-Epitemis dan
Implikasinya.............................................................
b. Batas-batas secara Ideologis dan Implikasinya........
Catatan Penutup Analisa Metodologis...........................
197
199
C. Analisa Mitis ....................................................................
1. Konsep Inti al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan
Sistem Mitisnya ...........................................................
2. Sistem Pemikiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan
Sistem Mitisnya ...........................................................
3. Fungsi Mitis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ...................
212
KESIMPULAN .......................................................................
A. Konteks Historis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan
Implikasinya.......................................................................
B. Syarat-syarat Ilmiah (Metodologi) al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan Implikasinya ...................................................
BAB VI
PENUTUP ...............................................................................
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN : 1. Tabel Operasionalisasi Metodologi al-’Ahkâm
al-Shulthâniyyah
2. Daftar Isi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah
202
202
209
212
216
231
234
238
242
245
248
255
261
275
xiv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi dimaksudkan untuk menuliskan kata-kata atau istilah-istilah Arab ke
dalam tulisan bahasa Indonesia (Latin). Semua kata atau istilah Arab, kecuali
nama, yang belum menjadi bahasa baku bahasa Indonesia, ketika ditulis dengan
bahasa Indonesia, ditransliterasi dan dicetak miring (italik), seperti
ditransliterasi dengan khilâfah. Kata-kata atau istilah yang sudah baku tidak perlu
ditransliterasi, seperti salat, Zakat, dan Ramadan. Pedoman transliterasi itu
sebagai berikut:
A. Konsonan
Arab Latin
’ (apostrof)
b
t
ts (t dan s)
j
h (h garis bawah)
kh (k dan h)
d
dz (d dan z)
r
z
s
sy (s dan y)
sh (s dan h)
dh (d dan h)
th (t dan h)
zh (z dan h)
xv
‘
!
gh (g dan h)
"
f
#
q
$
k
%
l
&
m
'
n
(
w
)
h
*
y
B. Vokal
1. Vokal tunggal:
a
i
u
2. Vokal rangkap
*
: ai (tanda baca "a" yang bersambungan dengan yâ’ sukûn)
(
: au (tanda baca "a" yang bersambungan dengan waw sukûn)
3. Vokal panjang (madd)
: â (tanda baca "a" yang bersambungan dengan alif)
+*
: î (tanda baca "i" yang bersambungan dengan yâ’ sukûn)
+(
: û (tanda baca "u" yang bersambungan dengan waw sukûn)
xvi
C. Tâ’ Marbûthah ( ):
1. Ditulis dengan "h", apabila tidak berhubungan atau tidak dibaca sambung
dengan kata lain, seperti ,-./ ditransliterasi dengan al-madînah
2. Ditulis dengan "t" dan disesuaikan dengan tanda baca "a", "u", atau "i",
apabila dibaca sambung dengan kata lain sesudahnya, seperti 0 1,/
,-./
ditransliterasi dengan Al-Madînatu al-Munawwarah, Al-Madînata alMunawwarah, atau Al-Madînati al-Munawwarah, sesuai dengan kaidah
’i‘rab-nya.
D. Penulisan kata yang menggunakan "al-" (% )
1. "Al-" yang terletak di awal kalimat, "a"-nya ditulis dengan huruf kapital
dan sesudah "l" diberi garis datar "-", seperti 0 1 ,/
,-./ ditransliterasi
dengan Al-Madînatu al-Munawwarah. Khusus kata 2 "a"-nya ditulis
dengan huruf kapital: "Allah", dan tidak dicetak miring jika tidak dalam
satu rangkaian dengan kata yang lain. Jika terangkai dengan kata lain
menjadi satu kata seperti 2 .34, ditulis menjadi: ‘abdullâh, atau ‘abdillâh,
‘abdallâh.
2. "Al-" yang terletak di tengah kalimat, "a"-nya ditulis dengan huruf kecil.
3. "Al" yang dimiliki suatu kata yang terletak di tengah kalimat tetap ditulis
"al-", seperti 0 1 ,/
,-./
ditransliterasi dengan Al-Madînatu al-
Munawwarah
4. "Al-" yang berhubungan dengan huruf-huruf Syamsiyyah tetap ditulis
dengan "al-", seperti 5/6
ditransliterasi dengan al-syams.
5. Huruf konsonan setelah "al-" ditulis dengan huruf kapital jika merupakan
nama benda atau merupakan judul.
F. Semua nama surat al-Qur'an ditransliterasi, tetapi tidak ditulis miring.
xvii
ABSTRAK
Penelitian ini membahas metodologi dan ideologi al-Mâwardiy dalam al’Ahkâm al-Shulthâniyyah, sebuah karya monumental dari seorang cendekiawan
Muslim klasik, dalam upaya mencari akar-akar sejarah pemikiran etika politik
Islam dan kaitannya dengan ideologi. Dalam konteks kajian pemikiran Islam yang
lebih luas, penelitian ini merupakan upaya kritik sejarah dan kritik ideolgi, suatu
upaya yang dihindari kebanyakan orang karena khawatir dapat merong-rong
kemapanan iman.
Walaupun al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ditulis al-Mâwardiy pada abad IV
H/X M, kitab ini masih dijadikan rujukan utama dalam diskursus mengenai model
kekuasaan dan pemerintahan Islam hingga sekarang. Kajian kritis terhadap al’Ahkâm al-Shulthâniyyah mensyaratkan penelusuran sejarah kelahirannya, metode
pembentukannya, serta jangkauan-jangkauan ideologisnya.
Dalam konteks teoretis dan praktis politik Islam, kehadiran al-’Ahkâm alShulthâniyyah menjadi wacana "penanda" yang penting bagi pembakuan model
"negara Islam": khilâfah, yang merujuk pada pengalaman "negara Madinah".
Namun sejarah menunjukkan, bahwa "negara Madinah" sebagai sumber imajinasi
politik Islam telah berkembang sedemikian rupa menjadi "negara ‘Umâwiyyah",
"negara ‘Abbâsiyyah", "negara Fâthimiyyah", dan "negara ‘Utsmâniyyah" yang
semuanya mengklaim sebagai pewaris sah tahta kekuasaan Islam. Al-‘Ahkâm alShulthâniyyah menampilkan dirinya sebagai pemikiran politik Islam yang ideal
dan mengatasi perbedaan-perbedaan sejarahnya yang nyata dan penuh konflik.
Penelitian ini menyimpulkan, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dilahirkan dan
dibentuk oleh sejarah yang melingkupinya, sistem berpikir yang mengarahkannya,
serta mengandung fungsi dan bias-bias yang bersifat ideologis.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagi kehidupan setiap kelompok orang atau masyarakat, kekuasaan
memiliki arti penting karena mereka hidup dan bergerak dengan kekuasaan itu
sendiri.3 Dalam konteks Islam, kekuasaan juga selalu menjadi perhatian kaum
muslimin. Bahkan, masalah itu telah mengarahkan seluruh sejarah mereka sejak
masa pendirian Islam hingga sekarang. Sejak awal pertumbuhan di Arab,
fenomena keterkaitan Islam dengan kekuasaan dapat dibuktikan melalui
pengalaman Muhammad. Selain sebagai Nabi utusan Allah (Rasulullah), dia juga
memiliki “senjata” dengan mendirikan komunitas (’ummah) di bawah
kepemimpinannya. Justru karena dia muncul sebagai yang berwenang dalam
agama maka dia menjadi pemimpin Umatnya.4 Kenyataannya, Nabi Muhammad
memang tampil sebagai pendiri sebuah negara yang sepeninggalnya mampu
menguasai tata dunia global selama berabad-abad.
Maka wajar, ketika Nabi Muhammad wafat dan jasadnya pun belum
dimakamkan, di kalangan Sahabat5 muncul persoalan pertama yang berdimensi
3
Dalam ilmu sosial dan politik, kekuasaan adalah konsep yang penting meskipun hingga sekarang
hakikatnya masih sangat sulit untuk dipahami. Namun, menurut April Carter kekuasaan
mempunyai dua ciri: pertama kemampuannya untuk menghasilkan kesetiaan yang bersifat suka
rela, dan kedua kemampuannya untuk memerintah dan memaksakan kepatuhan. Lihat April
Carter, Otoritas dan Demokrasi, Jakarta: Rajawali, 1985, h. 25-28.
4
Lihat Mohammed Arkoun “Agama dan Kekuasaan”, dalam Johan Hendrik Meuleman (ed.),
Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Jakarta: INIS, 1994, h.
210.
5
Kata "Sahabat" dengan huruf kapital "S" berarti orang yang hidup semasa dengan Nabi
Muhammad atau orang yang terlahir ketika Nabi masih hidup, dan ia beriman kepadanya.
2
politik: siapa yang akan menjadi pengganti (khalîfah)6 tugas-tugasnya. Persoalan
pertama ini segera menjadi polemik, pertentangan dan bahkan di kemudian hari
berkembang menjadi krisis politik yang menentukan sejarah Islam ke masa depan.
Krisis politik yang terjadi di seputar masalah suksesi kepemimpinan
setelah Nabi wafat dan munculnya berbagai peristiwa tragis yang berlipat ganda,
adalah bukti lain yang menunjukkan bahwa Islam sebagaimana teraktualisasikan
dalam proses sejarah tidak terlepas dari masalah kekuasaan.
Meskipun kekuasaan memiliki arti penting dalam artikulasi Islam dan
merupakan pengalaman sejarah umat Islam yang otentik, tetapi secara teoretis
ternyata Alquran maupun sunah (hadis) tidak memberikan panduan yang spesifik
bagaimana seharusnya sistem kekuasaan dapat ditegakkan dan diorganisasikan
dalam Islam. Tepatnya, di dalam dasar-dasar ajaran Islam tidak ada ketentuan
yang pasti mengenai bentuk kekuasaan tertentu dan sistem pemerintahannya.7
Oleh sebab itu, dapat dimaklumi adanya perbedaan pendapat di kalangan Sahabat
sepeninggal Nabi tentang siapa yang akan menjadi penggantinya. Demikian juga
6
Istilah khalîfah secara harfiah berarti "pengganti", dan dalam wacana politik Islam istilah tersebut
berarti "pemimpin pengganti Rasulullah", yaitu setiap orang yang memegang jabatan kekuasaan
Islam yang tertinggi setelah Rasulullah wafat (dalam urusan negara dan agama) yang
melaksanakan syariat (hukum) Islam di kehidupan negara. Selanjutnya, istilah tersebut ditulis
"Khalifah" dengan huruf kapital "K" jika berfungsi sebagai sebutan, dan ditulis "khalifah" jika
berarti sebagai jabatan. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, h. 563.
Dalam konteks Suni (Ahlu Sunah[Waljamaah]), istilah "khalifah" sama artinya dengan "Imam"
(’imâm). Istilah "khalifah" dalam laporan peneletian ini juga diartikan sama dengan istilah
"Imam", yaitu "pemimpin/penguasa tertinggi Islam". Dalam arti itu, kata "Imam" ditulis dengan
huruf kapital "I" yang membedakannya dengan kata "imam" yang berarti "pemimpin" di luar
bidang negara atau politik, seperti imam salat, imam mazhab, dll.. "Khalifah/Imam" menunjuk
kepada "orang/pejabat" dan "kekuasaan-lembaga-negara" disebut "khilafah" (khilâfah) atau
"imamah" (’imâmah). Tetapi tidak demikian halnya dalam konteks Syî‘ah. Mazhab Islam yang
satu ini hanya memiliki konsep "Imam-imamah" dalam arti spesifik, yaitu pemimpin/penguasa
Islam yang kekuasaannya bersifat suci (ma‘shûm) dan merupakan hak mutlak Nabi Muhammad
dan keturunannya (’âlu baiti al-Naby). Syî‘ah tidak menerima konsep "khalifah-khilafah"
sebagaimana dipahami Suni.
7
Lihat Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of The State, Lahore: Islamic Book Foundation,
1983, h. 39.
3
polemik dan pertentangan politik di antara mereka menjadi tidak mudah
diselesaikan.
Ironisnya, siapapun yang bermaksud menjelaskan karakter tertentu
kekuasaan politik yang Islami, memastikan struktur dan mekanismenya, dan
menyusun sistemnya, justru tidak akan dapat terhindar dari perangkap-perangkap
kepentingan dan ideologi. Karena tidak dapat disangkal bahwa polemik berupa
klaim-klaim politik, pertentangan, dan pertumpahan darah yang terjadi adalah
bermotivasi kekuasaan dan perbedaan kepentingan antar pribadi atau antar
kelompok yang pada taraf tertentu diatasnamakan bermotivasi menegakkan
kebenaran agama. Klaim kalangan Quraisy atas hak kekuasaan terhadap selain
mereka, klaim elit Quraisy yang pro-’Abû Bakr terhadap kalangan yang pro-‘Aly
bin ’Abî Thâlib misalnya, atau sebaliknya, adalah contoh-contoh yang nyata
operasi kepentingan politik kekuasaan dan ideologinya.
Tidak dapat disangkal pula bahwa faksi-faksi politik yang saling bersaing
untuk meraih kekuasaan telah memanfaatkan berbagai sarana seperti kekuatan
sosial, kekuatan ekonomi, dan kekuatan ideologi. Khusus mengenai kekuatan
ideologi, strategi operasinya dapat dirunut dari munculnya klaim-klaim kelompok
sebagai yang paling berhak atas kekuasaan. Wacana yang berkembang adalah
bagaimana mekanisme suksesi kepemimpinan harus ditempuh serta siapa aktor
dan dari kelompok mana yang berhak dan pantas menduduki jabatan khalifah.
Pernyataan ’Abû Bakr misalnya, bahwa tidak ada landasan teoretis yang pasti
4
yang dapat dijadikan pedoman bagi mekanisme suksesi kepemimpinan,8 jelas
berhadapan dengan klaim kalangan pro-‘Aly yang memastikan kepemimpinan
sebagai hak istimewa keluarga keturunan Nabi (’âlu baiti al-Naby).9 Wacana
permulaan yang tidak dapat terlepas dari muatan “penumpang gelap” ideologi ini
terus berkembang seiring dengan perkembangan realitas politik di mana otoritas
kekhalifahan berhasil ditegakkan di atas segala macam bentuk dominasi sekaligus
tandingannya.10
Apalagi dalam prakteknya, masing-masing faksi selain menciptakan
komunitas-komunitas yang dibentuk atas dasar keterikatan area geografis, suku,
budaya, dan kepentingan tertentu, juga mengembangkan konsep dasar dan
karakteristik gerakannya. Konsekuensinya, pertentangan antar faksi untuk meraih
kekuasaan berkembang menjadi perbedaan paham (aliran) dalam sistem teologi
(dasar-dasar kepercayaan, hukum, dan struktur sosial yang lain). Kebutuhan yang
8
Dalam lingkaran para elit Sahabat di Saqîfah Banî Sâ‘idah, ’Abû Bakr menyatakan: “Seharusnya
saya menanyakan, siapa yang akan menggantikan dia (Nabi Muhammad) dalam kekuasaan politik.
Jika dia mengangkat seseorang, maka siapapun tidak bisa menolak calonnya dalam masalah ini.
Dan seharusnya saya menanyakan juga kepada Nabi, apakah kaum Ansar berhak dalam kekuasaan
politik.” Lihat ’Abû Muhammad ‘Abdullâh bin Muslim bin Qutaibah al-Dainuriy (’Ibn Qutaibah),
Al-’Imâmatu wa al-Siyâsah: Târîkhu al-Khulafâ’, Mesir: Muassasat al-Halabiy wa al-Syarîkah,
t.t., jilid I, h. 19. Namun, di tengah-tengah perdebatan yang sengit antara kelompok Muhajirin dan
kelompok Ansar, ’Abû Bakr mengemukakan sebuah hadis Nabi bahwa: “Para Imam adalah tetap
dari Quraisy”. Lihat al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah, Bairut: Dâru al-Fikr, 1416/1996, h.
6
9
Kelompok Sahabat yang pro-‘Aly berpendirian bahwa Nabi Muhammad telah menunjuk dan
memproklamirkan ‘Aly, menantunya, sebagai penggantinya. Pendirian demikian utamanya
didasarkan pada peristiwa Ghâdir Khûm yang terjadi pada bulan Zulhijah tahun ke-10 hijriah
ketika Nabi menyampaikan pidato dalam haji wadak. Lihat Usman Abu Bakar dkk., “Negara dan
Pemerintah: Studi Komparatif Pemikiran Al-Mâwardiy dan ’Ibn al-Farrâ’”, Semarang: Balai
Penelitian IAIN Walisongo, 1994/5, h. 2, tidak diterbitkan.
10
Faksi politik mayoritas yang pada akhirnya menamakan diri golongan Ahlu Sunah Waljamaah
(Suni) mengembangkan wacana kekuasaan yang mengkristal pada konsep ‘Wewenang Dewan
Permusyawaratan’ (’ahlu al-syûra/’ahlu al-halli wa al-‘aqd). Sementara itu wacana kekuasaan
’âlu al-bait yang diusung oleh kelompok pro-‘Aly yang kemudian menamakan diri Syî‘ah terus
dimatangkan menjadi konsep ’imâmah dengan segala keistimewaannya. Demikian juga faksi
Khawârij, yang anti pada kedua faksi utama, mengusung wacana "kebebasan" yang berujung pada
ekstrimitas dan keabsahan memberontak terhadap penguasa.
5
riil untuk menyusun ajaran-ajaran Islam yang komprehensif dan sistematis oleh
masing-masing
komunitas
bertumpang-tindih
dengan
kepentingan-
kepentingannya sebagai faksi politik. Maka, perkembangan suatu paham atau
aliran di dalam Islam sangat terkait dengan kepentingannya sebagai faksi politik
dan sangat dipengaruhi oleh dominasi paham atau aliran yang dianut oleh rezim
yang berkuasa. Dengan demikian, wacana kekuasaan dengan ideologinya telah
menyebar ke segala arah sehingga mampu menembus batas-batas kesadaran
massa
karena
mengambil
bentuk-bentuk
wacana
baru
(dogma-dogma
keagamaan).
Karena latar belakang konflik politik yang berkepanjangan dan tidak
adanya pedoman teoretis yang dapat dijadikan pijakan untuk mengorganisasikan
sistem kekuasaan dalam Islam, kaum intelektual Muslim (ulama) merasa
terpanggil untuk menyusun teori hukum konstitusional Islam
seiring dengan
semangat untuk mensistematisasi seluruh ajaran Islam. Di dalam golongan Suni
misalnya, para imam mazhab fikih seperti: ’Abû Hanîfah [al-Nu‘mân] (80-150 H
/699-767 M), Mâlik bin ’Anas (93-179 H /w.795 M), Muhammad bin ’Idrîs alSyâfi‘iy (150-204 H/w. 819 M), Ahmad bin Hanbal (164-241 H), dan al-’Auza‘iy
(w. 773 M) telah merintis kajian politik (al-fiqh al-siyâsiy) dan memasukkannya
ke dalam kitab-kitab fikih (hukum Islam) karangan mereka, meskipun masih
bersifat terbatas dan parsial. Barulah di tangan para murid mereka yang terkemuka
kajian politik kenegaraan dibahas secara tersendiri (terpisah dari tema-tema kajian
fikih yang lain), mendalam, meluas, detail dan sistematis. Sederet nama besar di
antara mereka adalah ’Abû Yûsuf Ya‘qûb al-Kûfiy (w. 182 H, murid ’Abû
6
Hanîfah), ’Ibn Qutaibah (w. 300 H/913 M), al-Jâhizh (w. 305 H/917 M), alBâqillâniy (w. 403 H), ’Abû Hasan ‘Aly bin Muhammad bin Habîb [alMâwardiy] (364-450 H /974-1058 M), al- Baghdâdiy (w. 463 H), dan ’Abû Ya‘lâ
al-Farrâ’ (380-458 H /963-1011 M). 11
Secara umum dapat dikatakan bahwa sebaik apapun kualitas moral
individu para cendekiawan tersebut, sekuat apapun dedikasi mereka terhadap
tanggung jawab keilmuan, dan seteguh apapun upaya independensi mereka dari
pengaruh kekuasaan, di balik karya teoretis mereka terdapat endapan-endapan
kepentingan untuk memanfaatkan agama secara ideologis dalam konteks
persaingan bersama lawan-lawan mereka di dalam ruang politik yang ada.
Secara khusus dalam kasus ’Abû Hasan ‘Aly bin Muhammad bin Habîb
al-Mâwardiy (terkenal dengan sebutan al-Mâwardiy), ia telah menulis kitab al’Ahkâm al-Sulthâniyyah. Secara substansial, isi kitab ini telah memenuhi tuntutan
kebutuhan
teoretis
atas
landasan
hukum
konstitusional
bagi
praktek
penyelenggaraan kekuasaan negara dalam kerangka etika politik Islam. Bukan
saja cakupan materi kitab tersebut yang komprehensif, tetapi juga disusun secara
sistematis, dan menggunakan metode ilmiah yang sulit diragukan.
Maka tidak mengherankan jika kitab tersebut dinilai sebagai karya
monumental, literatur penting tentang prinsip-prinsip kekuasaan dalam Islam, dan
memiliki pengaruh yang dominan terhadap pemikiran politik Islam.12 ’Al-Ahkâm
al-Sulthâniyyah merupakan masterpiece karya al-Mâwardiy yang menjadi rujukan
11
Catatan tahun wafat para cendekiawan Muslim tersebut mengacu kepada ‘Umar Ridhâ Kihâlah,
Mu‘jamu al-Mu’allifîn, Beirut, Dâru ’Ihyâ’i al-Turâtsi al-‘Arabiy, tt.
12
Lihat Ann K. S. Lambton, State and Government in Medieval Islam, Oxford: Oxford University
Press, 1981, h. 83.
7
terpenting pemikiran politik Suni pada abad-abad setelahnya hingga sekarang. Di
Indonesia, pengaruh al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah tampak seperti dalam tradisi
intelektual yang berlaku di dunia pesantren, di mana kitab ini dianggap sebagai
literatur yang paling muktabar mengenai pemikiran politik Islam. Selain itu,
pengaruh al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah juga tampak di dalam pemikiran
organisasi/gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), seperti tertuang di dalam edisiedisi buletinnya: "Al-Islam", yang fokus pada perjuangan menegakkan
"khilafah".13
Namun dari sudut pandang sejarah terlihat, bahwa al-’Ahkâm alSulthâniyyah ditulis oleh al-Mâwardiy dalam konteks ketegangan pertentangan
politik antar dinasti dan golongan yang terus bersaing untuk meraih kekuasaan
dan menanamkan pengaruhnya. Sejak pertengahan abad ke-9 M, kekuasaan
khalifah dari dinasti ‘Abbâsiyyah yang berkedudukan di Bagdad mulai melemah.
Khalifah dinasti ‘Abbâsiyyah tidak lagi memiliki kekuasaan yang eksklusif dan
penuh. Otoritas khalifah mulai terganggu dengan munculnya penguasa-penguasa
lokal yang tidak selalu menaruh respek terhadap eksistensi pemerintahan pusat.
Kekuasaan dinasti Thâhir di Persia, dinasti Thûlûn di Mesir, dan berbagai
pemberontakan telah ikut serta memperlemah posisi khalifah. Apa yang dapat
dipertahankan khalifah pada saat itu adalah sebatas otoritas simbolik sebagai
13
Hizbut Tahrir memang tidak pernah menyebutkan bahwa gagasan "khilafah"-nya merujuk
secara spesifik kepada al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy. Tetapi bagi siapapun yang
mengusung gagasan itu dalam konteks politik sekarang, atau siapapun yang ingin mendalami teori
politik Islam, ia tidak dapat mengabaikan posisi al-Mâwardiy dengan teorinya di dalam al-’Ahkâm
al-Shulthâniyyah.
8
penguasa tunggal dunia Islam.14 Kemudian, pada tahun 944 M, dinasti Buwaihiy
yang merupakan para petinggi militer yang memiliki kecenderungan Syî’ah yang
kuat berhasil masuk dan menguasai pusat kekuasaan Khalifah ‘Abbâsiyyah di
Bagdad. Faksi Syî’ah yang semula lebih merupakan gerakan bawah tanah, dengan
kehadiran dinasti Buwaihiy di pusat kekuasaan, menjadi lebih leluasa berkembang
dan membangun jaringan komunitasnya. Sehingga, dalam waktu yang relatif
singkat Bagdad, Ray, Isfahan, Qazwin, Syiraz, dan Thabaristan telah berkembang
menjadi pusat-pusat dinamika Syî’ah. Di bawah pengaruh perlindungan para
’amîr dan sultan15 dari dinasti Buwaihiy berbagai perayaan keagamaan yang
bersandar pada doktrin Syî’ah berlangsung secara semarak. Gerakan intelektual
juga berkembang dengan pesat. Beberapa ilmuwan terkenal seperti ’Ibn
Bâbawaih, al-Mufîd, ‘Allâm al-Hudâ, dan al-Thûsiy hidup pada masa tersebut dan
berhasil mengembangkan doktrin-doktrin Syî’ah lebih jauh.16
Perkembangan situasi sosial dan politik tersebut jelas mengundang reaksi
dari kelompok lawan untuk mengadakan gerakan tandingan. Suni (Ahli Sunah)
sebagai faksi politik yang terbesar, terutama melalui sayap mazhab Hambali
merespon perkembangan situasi tersebut secara fundamental, yakni mengadakan
14
M. Nafis, dkk., “Konfigurasi Keagamaan dalam Islam: Studi tentang Sekte dan Mazhab Abad
XI di Daerah Bagdad dan Khurasan”, Semarang: Balai Penelitian IAIN Walisongo, 1996, h. 18,
tidak diterbitkan.
15
Pada masa kepemimpinan ’Abû Bakr hingga ’Aly, pemimpin Islam disebut ’amîru al-mu’minîn.
Perkembangan kemudian, umat Islam juga mengenal sebutan "khalifah", "Imam", "malik", "amir",
dan "sultan" bagi penguasa-penguasa mereka. Dalam tataran praktis maupun teoretis politik Islam
yang terus berkembang seiring dinamika politik dan perluasan wilayah kekuasaan Islam ,
penguasa tertinggi Islam (penguasa pusat) disebut "khalifah", atau "Imam", atau ’amîru almu’minîn yang menyimbolkan kesatuan kekuasaan Islam; sedangkan "malik", "amir", dan "sultan"
adalah penguasa-penguasa daerah otonom. Fenomena ini terus berlangsung hingga dihapuskannya
lembaga khilafah terakhir yang berpusat di Turki oleh Mustafa Kamal pada pertengahan abad ke19 M.
16
M. Nafis, Ibid., h. 20.
9
polemik serta perlawanan terhadap gerakan Syî’ah. Pertengkaran antara dua
kelompok inipun seringkali terjadi.
Pada sisi lain, semangat faksi Suni dalam melakukan gerakan tandingan
dimanfaatkan Khalifah al-Qâdir Billâh (berkuasa: 991-1031 M) untuk
memperkuat posisinya dan mengembalikan otoritas kekuasaan kekhalifahan yang
selama hampir dua abad dipegang oleh para "amir" dan sultan yang
membangkang. Untuk tujuan tersebut, Khalifah al-Qâdir Billâh menetapkan
kebijakan politik berupa “Dekrit Qadiriah”, yaitu pemberlakuan sistem teologi
Suni sebagai mazhab resmi negara sekaligus penguatan otoritas institusi khalifah
sebagai penguasa tunggal negara Islam (al-Dawlat al-Islâmiyyah). Koalisi antara
pihak khalifah dengan faksi Suni ini di kalangan sarjana Barat dikenal sebagai
“the Suni Revival and Restoration”.17 Khalifah yang menggantikan al-Qâdir
Billâh, yaitu al-Qâ’im Billâh (berkuasa: 1031-1075 M), melanjutkan kebijakan
tersebut dengan membentuk panitia khusus yang bertugas mempersiapkan segala
sesuatu yang berhubungan dengan pengembalian otoritas khalifah. Usaha restorasi
ini tidak hanya ditujukan kepada kekuasaan dinasti Buwaihiy, tetapi juga
ditujukan kepada seluruh dinasti yang berkuasa di beberapa daerah Islam, seperti
dinasti Hamdâniy, dinasti Saljûq, dan dinasti Fâthimiyyah.18
Koalisi antara pihak Khalifah ‘Abbâsiyyah dengan kekuatan faksi Suni
yang mayoritas memiliki makna yang strategis bagi kedua belah pihak, terbukti
dengan semakin menguatnya posisi dan otoritas khalifah atas dinasti-dinasti
pesaingnya dan diberlakukannya mazhab Suni sebagai mazhab resmi negara, serta
17
Lihat G. Makdisi, “The Suni Revival”, dalam D. S. Richard (ed.), Islamic Civilization 950-1150,
Oxford: Bruno Cassier, 1973, h. 68-155.
18
Usman Abu Bakar, Op. Cit., h. 20-21.
10
diangkatnya ulama Suni menjadi pejabat-pejabat penting negara, antara lain
sebagai penasehat khalifah atau hakim. Hal-hal inilah yang mempengaruhi kondisi
struktur politik dan formasi keagamaan.19
Gambaran umum situasi dan kondisi sosial dan politik seperti tersebut di
atas menjadi pengalaman hidup al-Mâwardiy, bahkan sebagai salah satu tokoh
terkemuka dari mazhab Suni dia terlibat langsung dalam struktur pemerintahan
dengan menjadi hakim agung (’aqdh al-qudhât).
Terkait dengan kehadiran al-Mâwardiy sebagai salah satu pemikir
terkemuka mazhab Suni, dan bahkan dia terlibat langsung dalam praktek politik
pemerintahan dengan menjadi hakim agung, patut diduga bahwa seluruh situasi
yang menjadi konteks dan melingkupi kehidupannya itu memiliki pengaruh yang
kuat terhadap karya pemikirannya, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah.
Diasumsikan bahwa al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah bukanlah datang secara
sekonyong-konyong: hampa sejarah (a-historis), atau tidak terkait dengan
kerangka epistemik (metodologis dan ideologis) yang berkembang pada masa itu.
al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai hasil pemikiran merupakan sebagian simbol
dari realitas: pergulatan antar-kepentingan sosial, politik, ekonomi, dan budaya
pada zamannya. Atau dengan perkataan lain, tentu ada kekuatan-kekuatan sosial,
politik, dan budaya (khususnya ilmu pengetahuan dan ideologi) yang mendorong
dan atau melahirkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, mengoperasikannya pada
zamannya, bahkan mengkanonkannya pada zaman sesudahnya sehingga sekarang.
19
M. Nafis, Op. Cit., h. 4.
11
Dengan demikian ada gejala-gejala sejarah, epistemologi, dan ideologi
yang perlu diungkap terkait dengan kelahiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, dan
gejala-gejala itu sulit didekati dengan perspektif teologis-substansialis. Oleh
karena itu, gejala-gejala yang terkait dengan kelahiran al-’Ahkâm alShulthâniyyah perlu dilihat dari sudut pandang teori kritis dan menempatkannya
dalam wilayah kajian budaya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini mengambil tema “fenomena
historis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy”. Tema penelitian ini
dimaksudkan untuk menjawab masalah utama: kekuatan-kekuatan sejarah yang
melahirkan dan membentuk gagasan etika politik Islam al-Mâwardiy dalam al’Ahkâm al-Shulthâniyyah”. Garis besar masalah ini dapat diuraikan menjadi tiga
persoalan spesifik sebagai berikut:
1. Kondisi sosial, politik, dan budaya macam apa yang menentukan kelahiran
al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy?
2. Apa metodologi yang dipakai al-Mâwardiy untuk menyusun al-’Ahkâm alShulthâniyyah?
3. Bagaimana implikasi dari keduanya secara ideologis?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan persoalan tersebut di atas,
penelitian ini dilakukan untuk beberapa tujuan, yaitu:
12
1. Mengungkap dan menggambarkan kondisi-kondisi sosial-historis yang
menentukan kelahiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy.
Pengungkapan kondisi sosial-historis ini penting untuk menunjukkan
bahwa al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai sebuah gagasan bukan
merupakan kreasi mental al-Mâwardiy yang transenden dan terlepas dari
aspek-aspek kesejarahan. Sebaliknya, pengungkapan kondisi sosialhistoris itu akan memperlihatkan kelahiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah
sebagai fenomena yang bersifat budaya dan manusiawi, dan dengan
demikian ia sangat terikat dengan aspek-aspek kesejarahan.
2. Mengungkap dan menggambarkan metodologi atau sistem pemikiran yang
diapakai untuk merumuskan pandangan-pandangannya tentang etika
politik Islam dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Penjelasan mengenai
sistem
pemikiran
al-Mâwardiy
ini
penting,
karena
pandangan-
pandangannya tentang etika politik Islam pastilah berada di dalam sistem
budaya pemikiran tertentu dan dirumuskannya melalui teknik-teknik
pemikiran yang ada di dalam sistem itu. Pengungkapan aspek metodologi
ini merupakan salah satu konsekuensi teoretis dari perspektif penelitian
yang menempatkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai fenomena
budaya.
3. Menganalisis implikasi-implikasi ideologis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah,
baik yang terkait dengan aspek historis, metodologis, maupun substansi.
Karena penelitian ini menempatkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai
fenomena budaya, maka ideologi merupakan sebagian aspek lain yang
13
juga perlu diperhitungkan. Bahkan, jika aspek ini diabaikan dalam
mengkaji al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, selain akan berakibat mengurangi
arti bobot kajian dengan perspektif kritik sejarah, lebih-lebih hal itu juga
akan mengakibatkan perolehan pemahaman mengenai al-’Ahkâm alShulthâniyyah yang lebih kuat nuansa teologisnya. Padahal pemahaman
yang lebih berorientasi teologis sangat kecil kemungkinannya dapat
menghindar dari "perangkap" ideologi yang ada pada dirinya sendiri,
maupun kemungkinan untuk dapat menangkap keberadaan ideologi dalam
al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai sebuah wacana keagamaan yang
otoritatif.
D. Relevansi Penelitian
Islam memiliki makna yang historis, tetapi, pada saat yang sama, fenomena ini
sering diabaikan dalam pemahaman dan kajian terhadap Islam, atau pemahaman
yang ada tentang fenomena ini sangat kurang memadai.
Menurut Mohammed Arkoun, telah lama wacana Islam dimonopoli oleh
kalangan yang disebut sebagai revivalis (salafiy: secara literal berarti pengikut
kaum terdahulu yang saleh) dan terkungkung oleh postulat-postulat modernisme.
Sejak permulaan Nahdhah (kebangkitan Islam) pada abad ke-19 M hingga saat
ini, wacana Islam terjebak dalam konfrontasi antara dua sikap dogmatis: klaimklaim teologis dari kaum reformis salafiy yang menempuh jalan pemikiran
14
’ishlâhiy,20 dan postulat-postulat ideologis dari rasionalisme positivis kaum
modernis.21 Wacana Islam konfrontatif ini terangkum dalam semua diskusi
skolastik tentang Orientalisme. Islam, dalam diskusi-diskusi ini, diasumsikan
sebagai sebuah kesatuan sistem pemikiran, kepercayaan, non-kepercayaan yang
spesifik, esensial, dan tak dapat diubah, yang superior atau inferior (menurut umat
Islam atau non-Islam) terhadap sistem Barat (Kristen). Pendekatan historis
terhadap Islam dalam kedua tradisi tersebut tidak lebih dari sebagai sandaran
ideologis dan perhitungan naratif terhadap fakta-fakta. Sejarah hanya dilihat
secara antikuarian, di mana masa lampau terlalu diagung-agungkan dan diangkat
sebagai hakim dan menjadi legitimasi atas masa kini.22 Menurut Arkoun, "inilah
saatnya menghentikan konfrontasi tidak relevan antara dua sikap dogmatis ini."23
Ada fenomena lain sebagai akibat dari wacana konfrontatif di atas. Semua
polemik yang belakangan ini ditujukan terhadap Orientalisme memperlihatkan
20
Sikap reformis (’ishlâhiy), menurut Mohammed Arkoun, merupakan ciri utama pemikiran Islam
sejak Nabi Muhammad wafat (632 M). Dalam pandangan model pemikiran ini, nilai perilaku
manusia dan, secara lebih umum, nilai perkembangan suatu masyarakat sejak saat itu, dianggap
semata-mata bergantung pada keselarasan dengan teks-sumber-model atau dengan contoh-contoh
dan warisan-warisan dari figur-figur yang diidealkan, yaitu Nabi, para Sahabat dan Imam (’imâm).
Setiap langkah penyimpangan dari model-model ini dirasa dan dipikir sebagai degenarsi pribadi
dan dekadensi komunal. Akibatnya ulama dari setiap mazhab, hingga saat ini, mendakwahkan
kembali kepada pola yang benar dari eksistensi manusia yang serba asli. Diskusi yang lengkap
mengenai hal ini lihat, Mohammed Arkoun, Pemikiran Arab, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996,
h. 21. Di tempat lain Arkoun mendefinisikan pemikiran ’ishlâhiy sebagai pemikiran pembaruan
yang muncul sejak abad ke-19 oleh mazhab salaf [kaum revivalis]. Lihat Mohammed Arkoun,
"Rethinking Islam", dalam Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam
Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta, Paramadina, 2001, h. 336.
21
Suasana intelektual Barat abad ke-19 M menekankan manusia sebagai makhluk yang dikenal
sangat rasional dan menaruh harapan besar dalam pemikiran (akal) sebagai satu-satunya sarana
untuk mengerti dan menyelesaikan setiap masalah sosial. Paham ini merasuk dalam lingkungan
intelektual Muslim, salah satu nama yang memiliki pengaruh besar hingga saat ini adalah
Muhammad ‘Abduh (Mesir: 1849-1905 M). Di Indonesia hingga sekarang, pemikiran-pemikiran
pembaruan ‘Abduh masih berpengaruh sangat dominan di lingkungan intelektual Muslim yang
mengklaim sebagai kelompok "pembaru" [modernis].
22
Ungkapan “sejarah antikuarian” meminjam istilah yang dipakai St. Sunardi, lihat tulisannya,
“Kajian Budaya: Pada Mulanya Adalah Perlawanan ….”, dalam RETORIK, Vol. 2, No. 4, Oktober
2003, h. 12.
23
Mohammed Arkoun, “Rethinking Islam”, h. 337.
15
dengan jelas bahwa apa yang dikenal sebagai kelompok Islam "fundamentalis"
bersikeras menegakkan simbol-simbol ajaran Islam sebagai sebuah institusi
formal (seperti konsep "khilafah" [khilâfah] atau "imamah" [’imâmah]), yang tak
lebih hanya sebagai sebuah alat ideologis untuk mencapai kepentingankepentingan politiknya. Pada tataran praktis, Islam diposisikan dalam kerangka
strategi yang tidak menyentuh realitas sosial, bahkan seringkali menimbulkan
kekerasan.
Demikian juga, karena terperangkap dalam wacana Orientalisme,
kesarjanaan modern tetap jauh dari proyek epistemologis apapun yang dapat
membebaskan Islam dari postulat-postulat esensialis dan substansialis tentang
metafisika klasik.24 Studi Islam, khususnya, dihambat oleh warisan definisi dan
metode yang kaku dari teologi dan metafisika klasik.25 Kelemahan ini, bahkan
tampak lebih jelas tergambar melalui literatur-literatur pemikiran Islam modern
yang miskin, konformis, dan seringkali polemis. Kebanyakan literatur justru
menunjukkan kecenderungan ke arah jalan pemikiran ’ishlâhiy yang membabibuta.26 Selain itu, karena dikuasai oleh postulat-postulat rasionalisme positivistik,
24
Mohammed Arkoun, Loc. Cit.
Contoh yang paling nyata adalah postulat mengenai Alquran. Sejak kekalahan doktrin
Muktazilah tentang kemakhlukan Alquran, "Islam resmi" sampai sekarang berpegang pada
keyakinan yang baku bahwa Alquran bukan makhluk dan bersifat azali. Oleh karena itu, hingga
saat ini masih tidak mungkin, umpamanya, menggunakan ekspresi "problem Tuhan" dalam studi
Islam, menggabungkan Tuhan dan musykil (problem); Tuhan tidak dapat dianggap sebagai
problematik. Ia diketahui dengan baik, ditampilkan dengan baik dalam Alquran; manusia hanya
diharuskan untuk merenungkan, meresapi, dan memuja apa yang Tuhan wahyukan tentang DiriNya dalam Kata-kata-Nya sendiri. Contoh lainnya adalah definisi yang dibakukan mengenai
kelompok sosial mu’minûn di satu sisi, dan kâfirûn, munâfiqûn, serta musyrikûn di sisi yang lain.
Definisi-definisi tersebut beserta konsep-konsep turunannya terpelihara secara masif dalam
literatur Islam dan nya
DALAM AL-’AHKÂM AL-SHULTHÂNIYYAH
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora
(M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
NIM : 036322013
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2008
ii
iii
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Metodologi dan Ideologi AlMâwardiy dalam Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah” merupakan hasil karya dan
penelitian saya sendiri. Di dalam bagian tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi.
Peminjaman karya-karya sarjana lain di dalam tesis ini adalah semata-mata untuk
keperluan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 03 November 2008
Abdurrosyid
v
MOTTO
4 + , +- .
(*
*
786 5
! "# $%&'
( "#) *
/-) -! *
01- 2 3'
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan [menyuruh kamu] apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui." Q.S. al-Nisâ’ (4): 58.
9 /: 9; <
- =!
"Dan sesungguhnya kamu [Muhammad] benar-benar berbudi pekerti yang
agung." Q.S. Nun/al-Qalam (68): 4
vi
PERSEMBAHAN
!
"
#
$
!
#
%
$
!
!
&
'(()
%
*
%
'((+
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setiap manusia hidup dengan pemahaman terhadap masa lalu yang
diceritakan, yang memungkinkannya mengkondisikan diri dalam kekinian, bahkan
menyusun angan-angan masa depan. Dengan demikian, masa lalu adalah lokus
pencarian makna "jatidiri" setiap orang. Imajinasi, impian, tak lain kecuali
serangkaian preskripsi tentang bagaimana menempatkan hasil pemahaman: – iman
/ideologi – dalam orbit kehidupan, dan menghadapi kekuatan-kekuatan yang
meremehkan 'jatidiri'.
Penulis terlahir di lingkungan budaya yang sangat menghargai masa lalu
Islam: pesantren salafiy,1 di sebuah desa pinggiran sebelah timur kota besar,
Semarang. Namun, seperti ciri pesantren salafiy pada umumnya, Pondok Pesantren
Tafsir dan Sunnah: Al-Itqon, tempat kelahiran penulis, merupakan wahana bagi
warga pesantren untuk menemukan jalinan intensif masa lalu-masa kini-masa depan,
melalui prinsip fikih: Al-muhâfazhatu ‘ala al-qadîmi al-shâlihi wa al-akhdzu bi aljadîdi al-’ashlahi ("menjaga nilai-nilai masa lalu yang baik dan mengambil nilai-nilai
baru – kekinian – yang lebih baik"), sebuah prinsip melihat sejarah secara dinamis.
Melalui prinsip hidup yang dijunjung tinggi di lingkungan pesantren semacam AlItqan ini, warga sangat menyadari dan menghargai arti "relatifitas nilai".
Suatu hari, ketika penulis masih duduk di bangku kelas enam Madrasah
Diniah Ibtidaiah, masuk seorang santri baru yang berasal dari desa tetangga. Ia
berusia kira-kira 5-7 tahun lebih tua dari usia rata-rata santri di kelas kami. Meski
teman santri baru ini berumur relatif lebih dewasa daripada santri-santri lain, ia
tampak mengalami kesulitan menangkap pemahaman dari pelajaran-pelajaran yang
ada, terutama pelajaran pokok ilmu "nahwu" dan "sharaf". Apalagi, ia tidak sebagai
1
Istilah "pesantren salafi" diartikan sebagai pesantren yang masih mengajarkan kitab-kitab
warisan intelektual Islam klasik (turâts) sebagai kurikulum utama, dan perbandingannya adalah
"pesantren hadîtsiy/khalafiy" seperti pesantren-pesantren yang menamakan diri "pesantren
modern". Pada pesantren jenis yang kedua tersebut, kitab-kitab turâts tidak dikaji sebagai
kurikulum utama.
viii
santri mukim melainkan sebagai santri kalong,2 sehingga tidak banyak kesempatan
baginya untuk mendiskusikan kesulitan-kesulitan pelajaran yang dihadapinya
bersama teman-teman santri maupun guru-guru pembimbing. Hal yang paling
menonjol darinya adalah keaktifannya dalam organisasi santri, baik di tingkat kelas
maupun di tingkat madrasah.
Kurang-lebih dua tahun berikutnya, Sang teman mulai jarang-jarang masuk
kelas, hingga akhirnya tidak masuk sama sekali. Belakangan penulis ketahui, ia aktif
mengadakan dan mengikuti kajian agama di mana-mana, yang jelas di luar pesantren.
Suatu hari ia datang ke pesantren/madrasah dengan penampilan fisik dan sikap yang
di luar kebiasaan. Ia tidak lagi memakai sarung dan pecis, ciri khas pakaian santri
laki-laki, tetapi baju koko dan celana 'congklang', dan berkopiah. Ia menampakkan
semangat yang gigih dan besar sebagai pemuda gerakan yang menginginkan
"kehormatan Islam" dengan mendirikan "Negara Islam" (khilâfah/’imâmah). Bahkan,
ia menilai bahwa kajian agama model pesantren/madrasah seperti yang pernah ia ikuti
tidak efektif dalam menjawab tuntutan 'kehormatan Islam' yang ia cita-citakan itu. Ia
pun memperkenalkan kepada teman-teman santri buku-buku (terjemahan) dan
majalah-majalah, sebagai bahan bacaan barunya. Penulis dan teman-teman santri lain,
kami warga pesantren umumnya, sebenarnya telah memiliki "standar" penilaian
tersendiri terhadap buku-buku dan majalah-majalah seperti yang diperkenalkannya
itu.
Setelah itu, ia tak pernah lagi berkunjung ke pesantren dan kami tak tahu
bagaimana kabarnya. Sampai akhirnya, setelah kurang-lebih 20-an tahun penulis
tidak pernah berjumpa dengannya, ketika penulis menyimak siaran 'Kabar Petang'
dari sebuah stasiun televisi swasta, diberitakan bahwa seorang laki-laki yang diduga
sebagai anggota teroris tewas ditembak petugas "Polisi Detasemen Lapan-Lapan", di
Sleman Yogyakarta. Menurut berita itu, laki-laki itu memiliki banyak nama dan salah
satunya berinisial "Em-En" yang berasal dari salah satu desa tetanggaku. Penulis
penasaran, jangan-jangan laki-laki yang diberitakan itu adalah Sang teman yang
2
Menurut pengertian yang dipakai dalam lingkungan orang-orang pesantren, santri mukim adalah
murid-murid yang tinggal di pesantren, sebaliknya santri kalong adalah murid-murid yang tidak
menetap di dalamnya dan disebut juga santri lajon, yaitu mereka yang biasanya berasal dari desadesa di sekeliling pesantren yang bolak-balik dari rumahnya sendiri untuk mengikuti pelajaran di
pesantren. Bandingkan Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai, LP3ES, Jakarta, 1982, h. 51-52.
ix
penulis ceritakan. Seminggu kemudian ketika penulis pulang ke Semarang, ternyata
dugaan itu benar.
Tentu,
ini
hanyalah
salah
satu
kisah
yang
terkait
dengan
isu
khilâfah/’imâmah. Sebuah isu tentang problem "Islam" yang sampai hari ini masih
sangat nyaring terdengar. Isu yang telah meminta banyak keringat, air mata, dan
darah "syuhada". Menurut penulis, jarang sekali isu khilâfah/’imâmah itu didekati
secara ilmiah melalui kajian sejarah. Bahkan, isu itu telah menjelma sebagai gelora
ideologi gerakan yang mendakwahkan diri sebagai kelompok "Islam militan".
Bagaimanakah asal-usul dan mekanisme ide khilâfah/’imâmah itu terbangun, dan
bagaimana
pula
ideologi
melingkupinya?
Kajian
terhadap
Al-’Ahkâm
al-
Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy adalah sebuah cara untuk memahami salah satu
fenomena sejarah Islam itu yang masih sangat aktual hingga kini.
Pertama-tama, Penulis harus menyampaikan terima kasih dan penghargaan
kepada para petugas di Perpustakaan Kolsani dan Perpustakaan Pusat Universitas
Sanata Dharma atas pelayanan dan dedikasi mereka, terutama mas Slamet (Kolsani)
yang tak pernah jera melayani peminjaman buku oleh penulis dan yang sangat santun
dalam memberi teguran kepada penulis karena selalu terlambat dalam pengembalian,
bahkan selalu me-ngendon buku-buku dalam waktu yang lama. Yang kedua, terima
kasih penulis ucapkan kepada Pak Nardi (Dr. S(i)t(i). Sunardi) atas segala
bimbingannya; Romo Baskara, Romo Banar, Pak Budiawan, dan Mbak Devi; mereka
yang selalu berempati tehadap penulis, bahkan penulis merasa telah diperlakukan
lebih dari sekedar sebagai mahasiswa. Ketiga, terima kasih pula kepada Mas Tri
bersama istri yang banyak membantu dan memberi motivasi, tak lupa kepada Entis,
I'im dan suami yang memberi banyak waktu, tenaga, pikiran, dan perhatian untuk
selesainya tesis ini, serta Izzah, Mas Totok (juragané "Joglo Semar"), Icul, Pak Teo,
Yus, dan semua "adik-adik" di IRB: Hasan, Anziem, Dona, Olvi, dan terutama Kang
Wahyudin yang sempat menjadi "dosen penguji" dalam simulasi ujian. Spesial,
terima kasih buat Mbak Hengky dan Mbak Yayas, serta Mas Mulyadi yang rajin
x
selalu, dan terakhir terima kasih kepada Prof. Dr. Mujahirin Tohir (Guru Besar
Antropologi di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang) atas keramahan,
keakraban, dan terutama keutuhan dedikasinya dalam membaca laporan penelitian ini
secara teliti dan kritis.
Akhirnya, penulis berharap dan berdoa, semoga kajian ini bermanfaat dan
semua orang yang berjasa pada hidup penulis dan dalam kajian ini mendapatkan ganti
kebaikan dari Allah Subhânahû wa Ta‘âlâ, amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Abdurrosyid
Yogyakarta, Desember 2008
xi
DAFTAR ISI
...............................................................................................
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................
MOTTO .......................................................................................................
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................
KATA PENGANTAR ................................................................................
DAFTAR ISI ...............................................................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................
ABSTRAK ...................................................................................................
Hal
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
xi
xiv
xvii
BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................
A. Latar Belakang ...................................................................
B. Rumusan Masalah..............................................................
C. Tujuan Penelitian ..............................................................
D. Relevansi Penelitian...........................................................
E. Survei Hasil-hasil Penelitian..............................................
F. Orientasi dan sistematika Penulisan...................................
1
1
11
11
13
21
33
BAB II
KERANGKA TEORETIS DAN METODE PENELITIAN
A. Kerangka Teoretis dan Pengertian Konsep-Konsep ....
1. Situasi Sosial Historis dan Peranannya dalam
Pembentukan Pengetahuan ..........................................
2. Mekanisme Pembentukan Pengetahuan.......................
3. Fungsi Pengetahuan .....................................................
4. Kritik Pengetahuan......................................................
5. Ideologi ........................................................................
6. Kritik Ideologi..............................................................
B. Metode Penelitian ............................................................
1. Sumber data .................................................................
2. Teknik Pengumpulan data...........................................
3. Teknik analisa Data......................................................
37
37
BAB III
EKSPLORASI TERHADAP AL-MÂWARDIY
DAN AL-’AHKÂM AL-SHULTHÂNIYYAH
A. Substansi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah...........................
1. Asal-usul Imamah dan Fungsinya................................
2. Landasan Normatif Legalitas Imamah.........................
3. Ketentuan Yuridis Pengangkatan Imam/Khalifah.........
38
41
45
51
53
56
60
60
60
61
63
64
64
68
70
xii
4. Kualifikasi "Dewan Pemilih" dan Calon Imam ..........
a. Kualifikasi "Dewan Pemilih".................................
b. Kualifikasi Calon Imam.........................................
5. Mekanisme Pengangkatan Imam .................................
a. Sistem Pemilihan ...................................................
b. Sistem Permandatan...............................................
6. Tugas-tugas Pokok Imam ............................................
7. Pemakzulan Imam, Kudeta, dan Pemberontakan .. .....
8. Sistem Birokrasi Negara ..............................................
B. Konteks Historis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah .............
1. Riwayat Hidup Al-Mâwardiy ......................................
2. Kondisi Sosial dan Politik di Bagdad abad IV H/10 M
3. Sejarah Wacana Politik Islam .....................................
C. Metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah........................
1. Asal-usul Pembentukan Fikih (Hukum Islam) ...........
2. Metodologi Pembentukan Fikih .................................
3. Metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah.....................
D. Wacana-wacana Ideologis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah
BAB IV
71
71
72
73
74
75
77
80
82
84
85
89
99
115
116
120
124
124
ANALISA HISTORIS, METODOLOGIS, DAN MITOS AL’AHKÂM AL-SHULTHÂNIYYAH ........................................
131
A. Analisa Historis:
Sosiologi-Genealogi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah..........
134
1. Konteks Sosial-Budaya yang Melahirkan
135
al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ........................................
2. Konteks Politik yang Melahirkan
al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ........................................
137
3. Konteks Budaya Intelektual [Wacana Politik] yang
Melahirkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah .....................
140
4. Posisi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dalam Konteks
Sosial, Politik, dan Budaya Islam Abad IV H/X M .....
141
5. Efek Konteks Historis terhadap al-’Ahkâm al-ShulthâNiyyah .........................................................................
143
a. Historisitas Konsep Imamah ....................................
144
b. Implikasi Ideologis Konsep Imamah .......................
155
1. Nuansa Ideologis Kewajiban Pengangkatan Imam 167
2. Nuansa Ideologis Mekanisme Pengangkatan Imam 169
3. Nuansa Ideologis Tugas-tugas Imam...................
186
4. Nuansa Ideologis Mekanisme Pemakzulan Imam
188
5. Nuansa Ideologis Pengabsahan Kudeta
dan Pemberontakan..............................................
190
6. Nuansa Ideologis Pembatasan Hak Wanita
dalam Kepemimpinan ..........................................
192
Catatan Penutup Analisa Historis ..................................
196
xiii
BAB V
B. Analisa Metodologis.........................................................
1. Sistem Metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah.........
2. Batas-batas Metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah
dan Implikasinya ..........................................................
a. Batas-batas secara Metodis-Epitemis dan
Implikasinya.............................................................
b. Batas-batas secara Ideologis dan Implikasinya........
Catatan Penutup Analisa Metodologis...........................
197
199
C. Analisa Mitis ....................................................................
1. Konsep Inti al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan
Sistem Mitisnya ...........................................................
2. Sistem Pemikiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan
Sistem Mitisnya ...........................................................
3. Fungsi Mitis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ...................
212
KESIMPULAN .......................................................................
A. Konteks Historis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan
Implikasinya.......................................................................
B. Syarat-syarat Ilmiah (Metodologi) al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan Implikasinya ...................................................
BAB VI
PENUTUP ...............................................................................
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN : 1. Tabel Operasionalisasi Metodologi al-’Ahkâm
al-Shulthâniyyah
2. Daftar Isi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah
202
202
209
212
216
231
234
238
242
245
248
255
261
275
xiv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi dimaksudkan untuk menuliskan kata-kata atau istilah-istilah Arab ke
dalam tulisan bahasa Indonesia (Latin). Semua kata atau istilah Arab, kecuali
nama, yang belum menjadi bahasa baku bahasa Indonesia, ketika ditulis dengan
bahasa Indonesia, ditransliterasi dan dicetak miring (italik), seperti
ditransliterasi dengan khilâfah. Kata-kata atau istilah yang sudah baku tidak perlu
ditransliterasi, seperti salat, Zakat, dan Ramadan. Pedoman transliterasi itu
sebagai berikut:
A. Konsonan
Arab Latin
’ (apostrof)
b
t
ts (t dan s)
j
h (h garis bawah)
kh (k dan h)
d
dz (d dan z)
r
z
s
sy (s dan y)
sh (s dan h)
dh (d dan h)
th (t dan h)
zh (z dan h)
xv
‘
!
gh (g dan h)
"
f
#
q
$
k
%
l
&
m
'
n
(
w
)
h
*
y
B. Vokal
1. Vokal tunggal:
a
i
u
2. Vokal rangkap
*
: ai (tanda baca "a" yang bersambungan dengan yâ’ sukûn)
(
: au (tanda baca "a" yang bersambungan dengan waw sukûn)
3. Vokal panjang (madd)
: â (tanda baca "a" yang bersambungan dengan alif)
+*
: î (tanda baca "i" yang bersambungan dengan yâ’ sukûn)
+(
: û (tanda baca "u" yang bersambungan dengan waw sukûn)
xvi
C. Tâ’ Marbûthah ( ):
1. Ditulis dengan "h", apabila tidak berhubungan atau tidak dibaca sambung
dengan kata lain, seperti ,-./ ditransliterasi dengan al-madînah
2. Ditulis dengan "t" dan disesuaikan dengan tanda baca "a", "u", atau "i",
apabila dibaca sambung dengan kata lain sesudahnya, seperti 0 1,/
,-./
ditransliterasi dengan Al-Madînatu al-Munawwarah, Al-Madînata alMunawwarah, atau Al-Madînati al-Munawwarah, sesuai dengan kaidah
’i‘rab-nya.
D. Penulisan kata yang menggunakan "al-" (% )
1. "Al-" yang terletak di awal kalimat, "a"-nya ditulis dengan huruf kapital
dan sesudah "l" diberi garis datar "-", seperti 0 1 ,/
,-./ ditransliterasi
dengan Al-Madînatu al-Munawwarah. Khusus kata 2 "a"-nya ditulis
dengan huruf kapital: "Allah", dan tidak dicetak miring jika tidak dalam
satu rangkaian dengan kata yang lain. Jika terangkai dengan kata lain
menjadi satu kata seperti 2 .34, ditulis menjadi: ‘abdullâh, atau ‘abdillâh,
‘abdallâh.
2. "Al-" yang terletak di tengah kalimat, "a"-nya ditulis dengan huruf kecil.
3. "Al" yang dimiliki suatu kata yang terletak di tengah kalimat tetap ditulis
"al-", seperti 0 1 ,/
,-./
ditransliterasi dengan Al-Madînatu al-
Munawwarah
4. "Al-" yang berhubungan dengan huruf-huruf Syamsiyyah tetap ditulis
dengan "al-", seperti 5/6
ditransliterasi dengan al-syams.
5. Huruf konsonan setelah "al-" ditulis dengan huruf kapital jika merupakan
nama benda atau merupakan judul.
F. Semua nama surat al-Qur'an ditransliterasi, tetapi tidak ditulis miring.
xvii
ABSTRAK
Penelitian ini membahas metodologi dan ideologi al-Mâwardiy dalam al’Ahkâm al-Shulthâniyyah, sebuah karya monumental dari seorang cendekiawan
Muslim klasik, dalam upaya mencari akar-akar sejarah pemikiran etika politik
Islam dan kaitannya dengan ideologi. Dalam konteks kajian pemikiran Islam yang
lebih luas, penelitian ini merupakan upaya kritik sejarah dan kritik ideolgi, suatu
upaya yang dihindari kebanyakan orang karena khawatir dapat merong-rong
kemapanan iman.
Walaupun al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ditulis al-Mâwardiy pada abad IV
H/X M, kitab ini masih dijadikan rujukan utama dalam diskursus mengenai model
kekuasaan dan pemerintahan Islam hingga sekarang. Kajian kritis terhadap al’Ahkâm al-Shulthâniyyah mensyaratkan penelusuran sejarah kelahirannya, metode
pembentukannya, serta jangkauan-jangkauan ideologisnya.
Dalam konteks teoretis dan praktis politik Islam, kehadiran al-’Ahkâm alShulthâniyyah menjadi wacana "penanda" yang penting bagi pembakuan model
"negara Islam": khilâfah, yang merujuk pada pengalaman "negara Madinah".
Namun sejarah menunjukkan, bahwa "negara Madinah" sebagai sumber imajinasi
politik Islam telah berkembang sedemikian rupa menjadi "negara ‘Umâwiyyah",
"negara ‘Abbâsiyyah", "negara Fâthimiyyah", dan "negara ‘Utsmâniyyah" yang
semuanya mengklaim sebagai pewaris sah tahta kekuasaan Islam. Al-‘Ahkâm alShulthâniyyah menampilkan dirinya sebagai pemikiran politik Islam yang ideal
dan mengatasi perbedaan-perbedaan sejarahnya yang nyata dan penuh konflik.
Penelitian ini menyimpulkan, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dilahirkan dan
dibentuk oleh sejarah yang melingkupinya, sistem berpikir yang mengarahkannya,
serta mengandung fungsi dan bias-bias yang bersifat ideologis.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagi kehidupan setiap kelompok orang atau masyarakat, kekuasaan
memiliki arti penting karena mereka hidup dan bergerak dengan kekuasaan itu
sendiri.3 Dalam konteks Islam, kekuasaan juga selalu menjadi perhatian kaum
muslimin. Bahkan, masalah itu telah mengarahkan seluruh sejarah mereka sejak
masa pendirian Islam hingga sekarang. Sejak awal pertumbuhan di Arab,
fenomena keterkaitan Islam dengan kekuasaan dapat dibuktikan melalui
pengalaman Muhammad. Selain sebagai Nabi utusan Allah (Rasulullah), dia juga
memiliki “senjata” dengan mendirikan komunitas (’ummah) di bawah
kepemimpinannya. Justru karena dia muncul sebagai yang berwenang dalam
agama maka dia menjadi pemimpin Umatnya.4 Kenyataannya, Nabi Muhammad
memang tampil sebagai pendiri sebuah negara yang sepeninggalnya mampu
menguasai tata dunia global selama berabad-abad.
Maka wajar, ketika Nabi Muhammad wafat dan jasadnya pun belum
dimakamkan, di kalangan Sahabat5 muncul persoalan pertama yang berdimensi
3
Dalam ilmu sosial dan politik, kekuasaan adalah konsep yang penting meskipun hingga sekarang
hakikatnya masih sangat sulit untuk dipahami. Namun, menurut April Carter kekuasaan
mempunyai dua ciri: pertama kemampuannya untuk menghasilkan kesetiaan yang bersifat suka
rela, dan kedua kemampuannya untuk memerintah dan memaksakan kepatuhan. Lihat April
Carter, Otoritas dan Demokrasi, Jakarta: Rajawali, 1985, h. 25-28.
4
Lihat Mohammed Arkoun “Agama dan Kekuasaan”, dalam Johan Hendrik Meuleman (ed.),
Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Jakarta: INIS, 1994, h.
210.
5
Kata "Sahabat" dengan huruf kapital "S" berarti orang yang hidup semasa dengan Nabi
Muhammad atau orang yang terlahir ketika Nabi masih hidup, dan ia beriman kepadanya.
2
politik: siapa yang akan menjadi pengganti (khalîfah)6 tugas-tugasnya. Persoalan
pertama ini segera menjadi polemik, pertentangan dan bahkan di kemudian hari
berkembang menjadi krisis politik yang menentukan sejarah Islam ke masa depan.
Krisis politik yang terjadi di seputar masalah suksesi kepemimpinan
setelah Nabi wafat dan munculnya berbagai peristiwa tragis yang berlipat ganda,
adalah bukti lain yang menunjukkan bahwa Islam sebagaimana teraktualisasikan
dalam proses sejarah tidak terlepas dari masalah kekuasaan.
Meskipun kekuasaan memiliki arti penting dalam artikulasi Islam dan
merupakan pengalaman sejarah umat Islam yang otentik, tetapi secara teoretis
ternyata Alquran maupun sunah (hadis) tidak memberikan panduan yang spesifik
bagaimana seharusnya sistem kekuasaan dapat ditegakkan dan diorganisasikan
dalam Islam. Tepatnya, di dalam dasar-dasar ajaran Islam tidak ada ketentuan
yang pasti mengenai bentuk kekuasaan tertentu dan sistem pemerintahannya.7
Oleh sebab itu, dapat dimaklumi adanya perbedaan pendapat di kalangan Sahabat
sepeninggal Nabi tentang siapa yang akan menjadi penggantinya. Demikian juga
6
Istilah khalîfah secara harfiah berarti "pengganti", dan dalam wacana politik Islam istilah tersebut
berarti "pemimpin pengganti Rasulullah", yaitu setiap orang yang memegang jabatan kekuasaan
Islam yang tertinggi setelah Rasulullah wafat (dalam urusan negara dan agama) yang
melaksanakan syariat (hukum) Islam di kehidupan negara. Selanjutnya, istilah tersebut ditulis
"Khalifah" dengan huruf kapital "K" jika berfungsi sebagai sebutan, dan ditulis "khalifah" jika
berarti sebagai jabatan. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, h. 563.
Dalam konteks Suni (Ahlu Sunah[Waljamaah]), istilah "khalifah" sama artinya dengan "Imam"
(’imâm). Istilah "khalifah" dalam laporan peneletian ini juga diartikan sama dengan istilah
"Imam", yaitu "pemimpin/penguasa tertinggi Islam". Dalam arti itu, kata "Imam" ditulis dengan
huruf kapital "I" yang membedakannya dengan kata "imam" yang berarti "pemimpin" di luar
bidang negara atau politik, seperti imam salat, imam mazhab, dll.. "Khalifah/Imam" menunjuk
kepada "orang/pejabat" dan "kekuasaan-lembaga-negara" disebut "khilafah" (khilâfah) atau
"imamah" (’imâmah). Tetapi tidak demikian halnya dalam konteks Syî‘ah. Mazhab Islam yang
satu ini hanya memiliki konsep "Imam-imamah" dalam arti spesifik, yaitu pemimpin/penguasa
Islam yang kekuasaannya bersifat suci (ma‘shûm) dan merupakan hak mutlak Nabi Muhammad
dan keturunannya (’âlu baiti al-Naby). Syî‘ah tidak menerima konsep "khalifah-khilafah"
sebagaimana dipahami Suni.
7
Lihat Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of The State, Lahore: Islamic Book Foundation,
1983, h. 39.
3
polemik dan pertentangan politik di antara mereka menjadi tidak mudah
diselesaikan.
Ironisnya, siapapun yang bermaksud menjelaskan karakter tertentu
kekuasaan politik yang Islami, memastikan struktur dan mekanismenya, dan
menyusun sistemnya, justru tidak akan dapat terhindar dari perangkap-perangkap
kepentingan dan ideologi. Karena tidak dapat disangkal bahwa polemik berupa
klaim-klaim politik, pertentangan, dan pertumpahan darah yang terjadi adalah
bermotivasi kekuasaan dan perbedaan kepentingan antar pribadi atau antar
kelompok yang pada taraf tertentu diatasnamakan bermotivasi menegakkan
kebenaran agama. Klaim kalangan Quraisy atas hak kekuasaan terhadap selain
mereka, klaim elit Quraisy yang pro-’Abû Bakr terhadap kalangan yang pro-‘Aly
bin ’Abî Thâlib misalnya, atau sebaliknya, adalah contoh-contoh yang nyata
operasi kepentingan politik kekuasaan dan ideologinya.
Tidak dapat disangkal pula bahwa faksi-faksi politik yang saling bersaing
untuk meraih kekuasaan telah memanfaatkan berbagai sarana seperti kekuatan
sosial, kekuatan ekonomi, dan kekuatan ideologi. Khusus mengenai kekuatan
ideologi, strategi operasinya dapat dirunut dari munculnya klaim-klaim kelompok
sebagai yang paling berhak atas kekuasaan. Wacana yang berkembang adalah
bagaimana mekanisme suksesi kepemimpinan harus ditempuh serta siapa aktor
dan dari kelompok mana yang berhak dan pantas menduduki jabatan khalifah.
Pernyataan ’Abû Bakr misalnya, bahwa tidak ada landasan teoretis yang pasti
4
yang dapat dijadikan pedoman bagi mekanisme suksesi kepemimpinan,8 jelas
berhadapan dengan klaim kalangan pro-‘Aly yang memastikan kepemimpinan
sebagai hak istimewa keluarga keturunan Nabi (’âlu baiti al-Naby).9 Wacana
permulaan yang tidak dapat terlepas dari muatan “penumpang gelap” ideologi ini
terus berkembang seiring dengan perkembangan realitas politik di mana otoritas
kekhalifahan berhasil ditegakkan di atas segala macam bentuk dominasi sekaligus
tandingannya.10
Apalagi dalam prakteknya, masing-masing faksi selain menciptakan
komunitas-komunitas yang dibentuk atas dasar keterikatan area geografis, suku,
budaya, dan kepentingan tertentu, juga mengembangkan konsep dasar dan
karakteristik gerakannya. Konsekuensinya, pertentangan antar faksi untuk meraih
kekuasaan berkembang menjadi perbedaan paham (aliran) dalam sistem teologi
(dasar-dasar kepercayaan, hukum, dan struktur sosial yang lain). Kebutuhan yang
8
Dalam lingkaran para elit Sahabat di Saqîfah Banî Sâ‘idah, ’Abû Bakr menyatakan: “Seharusnya
saya menanyakan, siapa yang akan menggantikan dia (Nabi Muhammad) dalam kekuasaan politik.
Jika dia mengangkat seseorang, maka siapapun tidak bisa menolak calonnya dalam masalah ini.
Dan seharusnya saya menanyakan juga kepada Nabi, apakah kaum Ansar berhak dalam kekuasaan
politik.” Lihat ’Abû Muhammad ‘Abdullâh bin Muslim bin Qutaibah al-Dainuriy (’Ibn Qutaibah),
Al-’Imâmatu wa al-Siyâsah: Târîkhu al-Khulafâ’, Mesir: Muassasat al-Halabiy wa al-Syarîkah,
t.t., jilid I, h. 19. Namun, di tengah-tengah perdebatan yang sengit antara kelompok Muhajirin dan
kelompok Ansar, ’Abû Bakr mengemukakan sebuah hadis Nabi bahwa: “Para Imam adalah tetap
dari Quraisy”. Lihat al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah, Bairut: Dâru al-Fikr, 1416/1996, h.
6
9
Kelompok Sahabat yang pro-‘Aly berpendirian bahwa Nabi Muhammad telah menunjuk dan
memproklamirkan ‘Aly, menantunya, sebagai penggantinya. Pendirian demikian utamanya
didasarkan pada peristiwa Ghâdir Khûm yang terjadi pada bulan Zulhijah tahun ke-10 hijriah
ketika Nabi menyampaikan pidato dalam haji wadak. Lihat Usman Abu Bakar dkk., “Negara dan
Pemerintah: Studi Komparatif Pemikiran Al-Mâwardiy dan ’Ibn al-Farrâ’”, Semarang: Balai
Penelitian IAIN Walisongo, 1994/5, h. 2, tidak diterbitkan.
10
Faksi politik mayoritas yang pada akhirnya menamakan diri golongan Ahlu Sunah Waljamaah
(Suni) mengembangkan wacana kekuasaan yang mengkristal pada konsep ‘Wewenang Dewan
Permusyawaratan’ (’ahlu al-syûra/’ahlu al-halli wa al-‘aqd). Sementara itu wacana kekuasaan
’âlu al-bait yang diusung oleh kelompok pro-‘Aly yang kemudian menamakan diri Syî‘ah terus
dimatangkan menjadi konsep ’imâmah dengan segala keistimewaannya. Demikian juga faksi
Khawârij, yang anti pada kedua faksi utama, mengusung wacana "kebebasan" yang berujung pada
ekstrimitas dan keabsahan memberontak terhadap penguasa.
5
riil untuk menyusun ajaran-ajaran Islam yang komprehensif dan sistematis oleh
masing-masing
komunitas
bertumpang-tindih
dengan
kepentingan-
kepentingannya sebagai faksi politik. Maka, perkembangan suatu paham atau
aliran di dalam Islam sangat terkait dengan kepentingannya sebagai faksi politik
dan sangat dipengaruhi oleh dominasi paham atau aliran yang dianut oleh rezim
yang berkuasa. Dengan demikian, wacana kekuasaan dengan ideologinya telah
menyebar ke segala arah sehingga mampu menembus batas-batas kesadaran
massa
karena
mengambil
bentuk-bentuk
wacana
baru
(dogma-dogma
keagamaan).
Karena latar belakang konflik politik yang berkepanjangan dan tidak
adanya pedoman teoretis yang dapat dijadikan pijakan untuk mengorganisasikan
sistem kekuasaan dalam Islam, kaum intelektual Muslim (ulama) merasa
terpanggil untuk menyusun teori hukum konstitusional Islam
seiring dengan
semangat untuk mensistematisasi seluruh ajaran Islam. Di dalam golongan Suni
misalnya, para imam mazhab fikih seperti: ’Abû Hanîfah [al-Nu‘mân] (80-150 H
/699-767 M), Mâlik bin ’Anas (93-179 H /w.795 M), Muhammad bin ’Idrîs alSyâfi‘iy (150-204 H/w. 819 M), Ahmad bin Hanbal (164-241 H), dan al-’Auza‘iy
(w. 773 M) telah merintis kajian politik (al-fiqh al-siyâsiy) dan memasukkannya
ke dalam kitab-kitab fikih (hukum Islam) karangan mereka, meskipun masih
bersifat terbatas dan parsial. Barulah di tangan para murid mereka yang terkemuka
kajian politik kenegaraan dibahas secara tersendiri (terpisah dari tema-tema kajian
fikih yang lain), mendalam, meluas, detail dan sistematis. Sederet nama besar di
antara mereka adalah ’Abû Yûsuf Ya‘qûb al-Kûfiy (w. 182 H, murid ’Abû
6
Hanîfah), ’Ibn Qutaibah (w. 300 H/913 M), al-Jâhizh (w. 305 H/917 M), alBâqillâniy (w. 403 H), ’Abû Hasan ‘Aly bin Muhammad bin Habîb [alMâwardiy] (364-450 H /974-1058 M), al- Baghdâdiy (w. 463 H), dan ’Abû Ya‘lâ
al-Farrâ’ (380-458 H /963-1011 M). 11
Secara umum dapat dikatakan bahwa sebaik apapun kualitas moral
individu para cendekiawan tersebut, sekuat apapun dedikasi mereka terhadap
tanggung jawab keilmuan, dan seteguh apapun upaya independensi mereka dari
pengaruh kekuasaan, di balik karya teoretis mereka terdapat endapan-endapan
kepentingan untuk memanfaatkan agama secara ideologis dalam konteks
persaingan bersama lawan-lawan mereka di dalam ruang politik yang ada.
Secara khusus dalam kasus ’Abû Hasan ‘Aly bin Muhammad bin Habîb
al-Mâwardiy (terkenal dengan sebutan al-Mâwardiy), ia telah menulis kitab al’Ahkâm al-Sulthâniyyah. Secara substansial, isi kitab ini telah memenuhi tuntutan
kebutuhan
teoretis
atas
landasan
hukum
konstitusional
bagi
praktek
penyelenggaraan kekuasaan negara dalam kerangka etika politik Islam. Bukan
saja cakupan materi kitab tersebut yang komprehensif, tetapi juga disusun secara
sistematis, dan menggunakan metode ilmiah yang sulit diragukan.
Maka tidak mengherankan jika kitab tersebut dinilai sebagai karya
monumental, literatur penting tentang prinsip-prinsip kekuasaan dalam Islam, dan
memiliki pengaruh yang dominan terhadap pemikiran politik Islam.12 ’Al-Ahkâm
al-Sulthâniyyah merupakan masterpiece karya al-Mâwardiy yang menjadi rujukan
11
Catatan tahun wafat para cendekiawan Muslim tersebut mengacu kepada ‘Umar Ridhâ Kihâlah,
Mu‘jamu al-Mu’allifîn, Beirut, Dâru ’Ihyâ’i al-Turâtsi al-‘Arabiy, tt.
12
Lihat Ann K. S. Lambton, State and Government in Medieval Islam, Oxford: Oxford University
Press, 1981, h. 83.
7
terpenting pemikiran politik Suni pada abad-abad setelahnya hingga sekarang. Di
Indonesia, pengaruh al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah tampak seperti dalam tradisi
intelektual yang berlaku di dunia pesantren, di mana kitab ini dianggap sebagai
literatur yang paling muktabar mengenai pemikiran politik Islam. Selain itu,
pengaruh al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah juga tampak di dalam pemikiran
organisasi/gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), seperti tertuang di dalam edisiedisi buletinnya: "Al-Islam", yang fokus pada perjuangan menegakkan
"khilafah".13
Namun dari sudut pandang sejarah terlihat, bahwa al-’Ahkâm alSulthâniyyah ditulis oleh al-Mâwardiy dalam konteks ketegangan pertentangan
politik antar dinasti dan golongan yang terus bersaing untuk meraih kekuasaan
dan menanamkan pengaruhnya. Sejak pertengahan abad ke-9 M, kekuasaan
khalifah dari dinasti ‘Abbâsiyyah yang berkedudukan di Bagdad mulai melemah.
Khalifah dinasti ‘Abbâsiyyah tidak lagi memiliki kekuasaan yang eksklusif dan
penuh. Otoritas khalifah mulai terganggu dengan munculnya penguasa-penguasa
lokal yang tidak selalu menaruh respek terhadap eksistensi pemerintahan pusat.
Kekuasaan dinasti Thâhir di Persia, dinasti Thûlûn di Mesir, dan berbagai
pemberontakan telah ikut serta memperlemah posisi khalifah. Apa yang dapat
dipertahankan khalifah pada saat itu adalah sebatas otoritas simbolik sebagai
13
Hizbut Tahrir memang tidak pernah menyebutkan bahwa gagasan "khilafah"-nya merujuk
secara spesifik kepada al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy. Tetapi bagi siapapun yang
mengusung gagasan itu dalam konteks politik sekarang, atau siapapun yang ingin mendalami teori
politik Islam, ia tidak dapat mengabaikan posisi al-Mâwardiy dengan teorinya di dalam al-’Ahkâm
al-Shulthâniyyah.
8
penguasa tunggal dunia Islam.14 Kemudian, pada tahun 944 M, dinasti Buwaihiy
yang merupakan para petinggi militer yang memiliki kecenderungan Syî’ah yang
kuat berhasil masuk dan menguasai pusat kekuasaan Khalifah ‘Abbâsiyyah di
Bagdad. Faksi Syî’ah yang semula lebih merupakan gerakan bawah tanah, dengan
kehadiran dinasti Buwaihiy di pusat kekuasaan, menjadi lebih leluasa berkembang
dan membangun jaringan komunitasnya. Sehingga, dalam waktu yang relatif
singkat Bagdad, Ray, Isfahan, Qazwin, Syiraz, dan Thabaristan telah berkembang
menjadi pusat-pusat dinamika Syî’ah. Di bawah pengaruh perlindungan para
’amîr dan sultan15 dari dinasti Buwaihiy berbagai perayaan keagamaan yang
bersandar pada doktrin Syî’ah berlangsung secara semarak. Gerakan intelektual
juga berkembang dengan pesat. Beberapa ilmuwan terkenal seperti ’Ibn
Bâbawaih, al-Mufîd, ‘Allâm al-Hudâ, dan al-Thûsiy hidup pada masa tersebut dan
berhasil mengembangkan doktrin-doktrin Syî’ah lebih jauh.16
Perkembangan situasi sosial dan politik tersebut jelas mengundang reaksi
dari kelompok lawan untuk mengadakan gerakan tandingan. Suni (Ahli Sunah)
sebagai faksi politik yang terbesar, terutama melalui sayap mazhab Hambali
merespon perkembangan situasi tersebut secara fundamental, yakni mengadakan
14
M. Nafis, dkk., “Konfigurasi Keagamaan dalam Islam: Studi tentang Sekte dan Mazhab Abad
XI di Daerah Bagdad dan Khurasan”, Semarang: Balai Penelitian IAIN Walisongo, 1996, h. 18,
tidak diterbitkan.
15
Pada masa kepemimpinan ’Abû Bakr hingga ’Aly, pemimpin Islam disebut ’amîru al-mu’minîn.
Perkembangan kemudian, umat Islam juga mengenal sebutan "khalifah", "Imam", "malik", "amir",
dan "sultan" bagi penguasa-penguasa mereka. Dalam tataran praktis maupun teoretis politik Islam
yang terus berkembang seiring dinamika politik dan perluasan wilayah kekuasaan Islam ,
penguasa tertinggi Islam (penguasa pusat) disebut "khalifah", atau "Imam", atau ’amîru almu’minîn yang menyimbolkan kesatuan kekuasaan Islam; sedangkan "malik", "amir", dan "sultan"
adalah penguasa-penguasa daerah otonom. Fenomena ini terus berlangsung hingga dihapuskannya
lembaga khilafah terakhir yang berpusat di Turki oleh Mustafa Kamal pada pertengahan abad ke19 M.
16
M. Nafis, Ibid., h. 20.
9
polemik serta perlawanan terhadap gerakan Syî’ah. Pertengkaran antara dua
kelompok inipun seringkali terjadi.
Pada sisi lain, semangat faksi Suni dalam melakukan gerakan tandingan
dimanfaatkan Khalifah al-Qâdir Billâh (berkuasa: 991-1031 M) untuk
memperkuat posisinya dan mengembalikan otoritas kekuasaan kekhalifahan yang
selama hampir dua abad dipegang oleh para "amir" dan sultan yang
membangkang. Untuk tujuan tersebut, Khalifah al-Qâdir Billâh menetapkan
kebijakan politik berupa “Dekrit Qadiriah”, yaitu pemberlakuan sistem teologi
Suni sebagai mazhab resmi negara sekaligus penguatan otoritas institusi khalifah
sebagai penguasa tunggal negara Islam (al-Dawlat al-Islâmiyyah). Koalisi antara
pihak khalifah dengan faksi Suni ini di kalangan sarjana Barat dikenal sebagai
“the Suni Revival and Restoration”.17 Khalifah yang menggantikan al-Qâdir
Billâh, yaitu al-Qâ’im Billâh (berkuasa: 1031-1075 M), melanjutkan kebijakan
tersebut dengan membentuk panitia khusus yang bertugas mempersiapkan segala
sesuatu yang berhubungan dengan pengembalian otoritas khalifah. Usaha restorasi
ini tidak hanya ditujukan kepada kekuasaan dinasti Buwaihiy, tetapi juga
ditujukan kepada seluruh dinasti yang berkuasa di beberapa daerah Islam, seperti
dinasti Hamdâniy, dinasti Saljûq, dan dinasti Fâthimiyyah.18
Koalisi antara pihak Khalifah ‘Abbâsiyyah dengan kekuatan faksi Suni
yang mayoritas memiliki makna yang strategis bagi kedua belah pihak, terbukti
dengan semakin menguatnya posisi dan otoritas khalifah atas dinasti-dinasti
pesaingnya dan diberlakukannya mazhab Suni sebagai mazhab resmi negara, serta
17
Lihat G. Makdisi, “The Suni Revival”, dalam D. S. Richard (ed.), Islamic Civilization 950-1150,
Oxford: Bruno Cassier, 1973, h. 68-155.
18
Usman Abu Bakar, Op. Cit., h. 20-21.
10
diangkatnya ulama Suni menjadi pejabat-pejabat penting negara, antara lain
sebagai penasehat khalifah atau hakim. Hal-hal inilah yang mempengaruhi kondisi
struktur politik dan formasi keagamaan.19
Gambaran umum situasi dan kondisi sosial dan politik seperti tersebut di
atas menjadi pengalaman hidup al-Mâwardiy, bahkan sebagai salah satu tokoh
terkemuka dari mazhab Suni dia terlibat langsung dalam struktur pemerintahan
dengan menjadi hakim agung (’aqdh al-qudhât).
Terkait dengan kehadiran al-Mâwardiy sebagai salah satu pemikir
terkemuka mazhab Suni, dan bahkan dia terlibat langsung dalam praktek politik
pemerintahan dengan menjadi hakim agung, patut diduga bahwa seluruh situasi
yang menjadi konteks dan melingkupi kehidupannya itu memiliki pengaruh yang
kuat terhadap karya pemikirannya, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah.
Diasumsikan bahwa al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah bukanlah datang secara
sekonyong-konyong: hampa sejarah (a-historis), atau tidak terkait dengan
kerangka epistemik (metodologis dan ideologis) yang berkembang pada masa itu.
al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai hasil pemikiran merupakan sebagian simbol
dari realitas: pergulatan antar-kepentingan sosial, politik, ekonomi, dan budaya
pada zamannya. Atau dengan perkataan lain, tentu ada kekuatan-kekuatan sosial,
politik, dan budaya (khususnya ilmu pengetahuan dan ideologi) yang mendorong
dan atau melahirkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, mengoperasikannya pada
zamannya, bahkan mengkanonkannya pada zaman sesudahnya sehingga sekarang.
19
M. Nafis, Op. Cit., h. 4.
11
Dengan demikian ada gejala-gejala sejarah, epistemologi, dan ideologi
yang perlu diungkap terkait dengan kelahiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, dan
gejala-gejala itu sulit didekati dengan perspektif teologis-substansialis. Oleh
karena itu, gejala-gejala yang terkait dengan kelahiran al-’Ahkâm alShulthâniyyah perlu dilihat dari sudut pandang teori kritis dan menempatkannya
dalam wilayah kajian budaya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini mengambil tema “fenomena
historis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy”. Tema penelitian ini
dimaksudkan untuk menjawab masalah utama: kekuatan-kekuatan sejarah yang
melahirkan dan membentuk gagasan etika politik Islam al-Mâwardiy dalam al’Ahkâm al-Shulthâniyyah”. Garis besar masalah ini dapat diuraikan menjadi tiga
persoalan spesifik sebagai berikut:
1. Kondisi sosial, politik, dan budaya macam apa yang menentukan kelahiran
al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy?
2. Apa metodologi yang dipakai al-Mâwardiy untuk menyusun al-’Ahkâm alShulthâniyyah?
3. Bagaimana implikasi dari keduanya secara ideologis?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan persoalan tersebut di atas,
penelitian ini dilakukan untuk beberapa tujuan, yaitu:
12
1. Mengungkap dan menggambarkan kondisi-kondisi sosial-historis yang
menentukan kelahiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy.
Pengungkapan kondisi sosial-historis ini penting untuk menunjukkan
bahwa al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai sebuah gagasan bukan
merupakan kreasi mental al-Mâwardiy yang transenden dan terlepas dari
aspek-aspek kesejarahan. Sebaliknya, pengungkapan kondisi sosialhistoris itu akan memperlihatkan kelahiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah
sebagai fenomena yang bersifat budaya dan manusiawi, dan dengan
demikian ia sangat terikat dengan aspek-aspek kesejarahan.
2. Mengungkap dan menggambarkan metodologi atau sistem pemikiran yang
diapakai untuk merumuskan pandangan-pandangannya tentang etika
politik Islam dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Penjelasan mengenai
sistem
pemikiran
al-Mâwardiy
ini
penting,
karena
pandangan-
pandangannya tentang etika politik Islam pastilah berada di dalam sistem
budaya pemikiran tertentu dan dirumuskannya melalui teknik-teknik
pemikiran yang ada di dalam sistem itu. Pengungkapan aspek metodologi
ini merupakan salah satu konsekuensi teoretis dari perspektif penelitian
yang menempatkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai fenomena
budaya.
3. Menganalisis implikasi-implikasi ideologis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah,
baik yang terkait dengan aspek historis, metodologis, maupun substansi.
Karena penelitian ini menempatkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai
fenomena budaya, maka ideologi merupakan sebagian aspek lain yang
13
juga perlu diperhitungkan. Bahkan, jika aspek ini diabaikan dalam
mengkaji al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, selain akan berakibat mengurangi
arti bobot kajian dengan perspektif kritik sejarah, lebih-lebih hal itu juga
akan mengakibatkan perolehan pemahaman mengenai al-’Ahkâm alShulthâniyyah yang lebih kuat nuansa teologisnya. Padahal pemahaman
yang lebih berorientasi teologis sangat kecil kemungkinannya dapat
menghindar dari "perangkap" ideologi yang ada pada dirinya sendiri,
maupun kemungkinan untuk dapat menangkap keberadaan ideologi dalam
al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai sebuah wacana keagamaan yang
otoritatif.
D. Relevansi Penelitian
Islam memiliki makna yang historis, tetapi, pada saat yang sama, fenomena ini
sering diabaikan dalam pemahaman dan kajian terhadap Islam, atau pemahaman
yang ada tentang fenomena ini sangat kurang memadai.
Menurut Mohammed Arkoun, telah lama wacana Islam dimonopoli oleh
kalangan yang disebut sebagai revivalis (salafiy: secara literal berarti pengikut
kaum terdahulu yang saleh) dan terkungkung oleh postulat-postulat modernisme.
Sejak permulaan Nahdhah (kebangkitan Islam) pada abad ke-19 M hingga saat
ini, wacana Islam terjebak dalam konfrontasi antara dua sikap dogmatis: klaimklaim teologis dari kaum reformis salafiy yang menempuh jalan pemikiran
14
’ishlâhiy,20 dan postulat-postulat ideologis dari rasionalisme positivis kaum
modernis.21 Wacana Islam konfrontatif ini terangkum dalam semua diskusi
skolastik tentang Orientalisme. Islam, dalam diskusi-diskusi ini, diasumsikan
sebagai sebuah kesatuan sistem pemikiran, kepercayaan, non-kepercayaan yang
spesifik, esensial, dan tak dapat diubah, yang superior atau inferior (menurut umat
Islam atau non-Islam) terhadap sistem Barat (Kristen). Pendekatan historis
terhadap Islam dalam kedua tradisi tersebut tidak lebih dari sebagai sandaran
ideologis dan perhitungan naratif terhadap fakta-fakta. Sejarah hanya dilihat
secara antikuarian, di mana masa lampau terlalu diagung-agungkan dan diangkat
sebagai hakim dan menjadi legitimasi atas masa kini.22 Menurut Arkoun, "inilah
saatnya menghentikan konfrontasi tidak relevan antara dua sikap dogmatis ini."23
Ada fenomena lain sebagai akibat dari wacana konfrontatif di atas. Semua
polemik yang belakangan ini ditujukan terhadap Orientalisme memperlihatkan
20
Sikap reformis (’ishlâhiy), menurut Mohammed Arkoun, merupakan ciri utama pemikiran Islam
sejak Nabi Muhammad wafat (632 M). Dalam pandangan model pemikiran ini, nilai perilaku
manusia dan, secara lebih umum, nilai perkembangan suatu masyarakat sejak saat itu, dianggap
semata-mata bergantung pada keselarasan dengan teks-sumber-model atau dengan contoh-contoh
dan warisan-warisan dari figur-figur yang diidealkan, yaitu Nabi, para Sahabat dan Imam (’imâm).
Setiap langkah penyimpangan dari model-model ini dirasa dan dipikir sebagai degenarsi pribadi
dan dekadensi komunal. Akibatnya ulama dari setiap mazhab, hingga saat ini, mendakwahkan
kembali kepada pola yang benar dari eksistensi manusia yang serba asli. Diskusi yang lengkap
mengenai hal ini lihat, Mohammed Arkoun, Pemikiran Arab, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996,
h. 21. Di tempat lain Arkoun mendefinisikan pemikiran ’ishlâhiy sebagai pemikiran pembaruan
yang muncul sejak abad ke-19 oleh mazhab salaf [kaum revivalis]. Lihat Mohammed Arkoun,
"Rethinking Islam", dalam Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam
Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta, Paramadina, 2001, h. 336.
21
Suasana intelektual Barat abad ke-19 M menekankan manusia sebagai makhluk yang dikenal
sangat rasional dan menaruh harapan besar dalam pemikiran (akal) sebagai satu-satunya sarana
untuk mengerti dan menyelesaikan setiap masalah sosial. Paham ini merasuk dalam lingkungan
intelektual Muslim, salah satu nama yang memiliki pengaruh besar hingga saat ini adalah
Muhammad ‘Abduh (Mesir: 1849-1905 M). Di Indonesia hingga sekarang, pemikiran-pemikiran
pembaruan ‘Abduh masih berpengaruh sangat dominan di lingkungan intelektual Muslim yang
mengklaim sebagai kelompok "pembaru" [modernis].
22
Ungkapan “sejarah antikuarian” meminjam istilah yang dipakai St. Sunardi, lihat tulisannya,
“Kajian Budaya: Pada Mulanya Adalah Perlawanan ….”, dalam RETORIK, Vol. 2, No. 4, Oktober
2003, h. 12.
23
Mohammed Arkoun, “Rethinking Islam”, h. 337.
15
dengan jelas bahwa apa yang dikenal sebagai kelompok Islam "fundamentalis"
bersikeras menegakkan simbol-simbol ajaran Islam sebagai sebuah institusi
formal (seperti konsep "khilafah" [khilâfah] atau "imamah" [’imâmah]), yang tak
lebih hanya sebagai sebuah alat ideologis untuk mencapai kepentingankepentingan politiknya. Pada tataran praktis, Islam diposisikan dalam kerangka
strategi yang tidak menyentuh realitas sosial, bahkan seringkali menimbulkan
kekerasan.
Demikian juga, karena terperangkap dalam wacana Orientalisme,
kesarjanaan modern tetap jauh dari proyek epistemologis apapun yang dapat
membebaskan Islam dari postulat-postulat esensialis dan substansialis tentang
metafisika klasik.24 Studi Islam, khususnya, dihambat oleh warisan definisi dan
metode yang kaku dari teologi dan metafisika klasik.25 Kelemahan ini, bahkan
tampak lebih jelas tergambar melalui literatur-literatur pemikiran Islam modern
yang miskin, konformis, dan seringkali polemis. Kebanyakan literatur justru
menunjukkan kecenderungan ke arah jalan pemikiran ’ishlâhiy yang membabibuta.26 Selain itu, karena dikuasai oleh postulat-postulat rasionalisme positivistik,
24
Mohammed Arkoun, Loc. Cit.
Contoh yang paling nyata adalah postulat mengenai Alquran. Sejak kekalahan doktrin
Muktazilah tentang kemakhlukan Alquran, "Islam resmi" sampai sekarang berpegang pada
keyakinan yang baku bahwa Alquran bukan makhluk dan bersifat azali. Oleh karena itu, hingga
saat ini masih tidak mungkin, umpamanya, menggunakan ekspresi "problem Tuhan" dalam studi
Islam, menggabungkan Tuhan dan musykil (problem); Tuhan tidak dapat dianggap sebagai
problematik. Ia diketahui dengan baik, ditampilkan dengan baik dalam Alquran; manusia hanya
diharuskan untuk merenungkan, meresapi, dan memuja apa yang Tuhan wahyukan tentang DiriNya dalam Kata-kata-Nya sendiri. Contoh lainnya adalah definisi yang dibakukan mengenai
kelompok sosial mu’minûn di satu sisi, dan kâfirûn, munâfiqûn, serta musyrikûn di sisi yang lain.
Definisi-definisi tersebut beserta konsep-konsep turunannya terpelihara secara masif dalam
literatur Islam dan nya