SEJARAH BATIK TRADISIONAL IMOGIRI 1935-1942

SEJARAH BATIK TRADISIONAL IMOGIRI 1935-1942

  

SKRIPSI

  Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

  Program Studi Ilmu Sejarah Oleh:

  HAFDA ZURAIDA NIM: 034314007

  

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

HALAMAN PERSEMBAHAN

  Teruntuk

Alm. Bapakku tercinta, terima kasih atas semuanya...

  

Ibuku tercinta, yang tak hentinya mendoakan dan menanyakan

perkembangan skripsiku... Terima kasih atas semuanya, bu...

  Serta tak lupa kepada adik-adikku, Satria Dharmana dan Setyo Bekti

Nugroho, aku sayang kalian...

  Serta,

  

Almamater Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

MOTTO

Penentu keberhasilan adalah kamu sendiri.

Ketika semua sudah berlalu, sesal kemudian tiada guna.

  

ABSTRAK

Hafda Zuraida

  UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA Skripsi yang berjudul “Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935-1942” ini membahas tentang tiga permasalahan. Pertama membahas tentang latar belakang kemunculan batik di Yogyakarta, kedua tentang monopoli kraton terhadap batik dan yang ketiga membahas tentang peran Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di Imogiri pada tahun 1935 sampai 1942.

  Skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan batik yang muncul di Yogyakarta dan menyebar sampai ke daerah Imogiri. Sehingga dari permasalahan diatas akan terlihat proses kemunculan dan perkembangan batik di Yogyakarta.

  Untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan diatas, akan digunakan metode penelitian berupa studi pustaka dan wawancara. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode sejarah yang mencakup: heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosial dan budaya. Skripsi ini ditulis secara deskriptif analitis.

  Dari penulisan ini, dapat dilihat bahwa batik tidak hanya dihasilkan oleh para perempuan dari kraton. Batik juga dihasilkan oleh wanita dari luar kraton. Feodalisme kraton terhadap batik mengakibatkan motif batik tertentu hanya boleh dipakai oleh kalangan keluarga raja. Tetapi setelah sistem feodal kraton mengalami kemerosotan, akhirnya batik bisa dinikmati oleh semua kalangan. Salah satu tokoh yang menyebabkan meluasnya motif dan menyebarnya kesenian batik adalah Djogo Pertiwi. Meskipun pada awalnya membuat motif khusus kraton, beliau juga mengajarkan seni membatik kepada masyarakat Imogiri.

  Kata kunci: Feodalisme, Djogo Pertiwi, Sejarah Batik.

  ABSTRACT Hafda Zuraida

  SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA The title of this thesis is “Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935-1942”. This thesis is focused on three problems: 1. the background of the appearance of Batik in

  Yogyakarta. 2. The kraton’s monopoly the batik. 3. Djogo Pertiwi’s role to expand batik in Imogiri on 1935 to 1942.

  The aim of this thesis is to describe the development of batik that appear in Yogyakarta and spread to Imogiri. From the problems above, it will be seen the process of the appearance and the development of batik in Yogyakarta.

  To get answer of the problem above, it will be used the research method such as the form of book study and interview. The method which is used on this thesis writing is historical method including heuristic, verification, interpretation and historiography. The approach which used is social and culture approach. This thesis is written by descriptive analytive.

  From this thesis, we can see that batik is not only produced by women from Kraton. Batik is also produced by women from outer Kraton. Kraton have feudalism to batik that certain batik motif just can wear by the Royal family. However, after Kraton’s feudal system of batik had experince decline. Finally, batik can enjoy by all people. Djogo Pertiwi is one of the figures who spread motif and art of batik. Beside of making special motif Kraton, she also teaches the art of making batik to Imogiri people.

  Keyword: Feudalism, Djogo Pertiwi, History of Batik

KATA PENGANTAR

  Puncak pencapaian penulisan skripsi ini telah berakhir. Tidak luput, penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan petunjuk kepada penulis dalam setiap lantunan doa yang dipanjatkan. Penulis juga tak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada:

  1. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., selaku dekan beserta staf kerja yang sudah memberikan kesempatan serta ijin untuk menyelesaikan skripsi ini.

  2. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah yang telah memberikan nasehat serta dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

  3. Romo Dr. G. Budi Subanar, SJ selaku dosen pembimbing, dengan penuh kesabaran telah memberikan saran, masukan, pikiran serta meluangkan waktu untuk membimbing dan mengoreksi skripsi ini hingga selesai.

  4. Bapak Drs. Silverio R.L. Aji Sampurno, M. Hum., selaku dosen pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu untuk senantiasa membantu memberi dukungan dan saran pada penulis, sejak awal kuliah sampai menyelesaikan skripsi.

  5. Dosen-dosenku: Bapak Drs. Purwanto, M.A., Bapak (Alm.) Drs. G.

  Moedjanto M. A., Bapak (Alm.) Prof. Dr. P.J. Suwarno, S.H., Bapak Drs.

  Lucia Juningsih, M. Hum., Bapak Dr. Budiawan, Bapak Dr. St. Sunardi, Bapak Dr. Anton Haryono, M.Hum., dan Bapak Drs. Manu Joyoatmojo. Serta dosen-dosen lain yang telah memberikan ilmu bagi penulis selama penulis menempuh studi di Universitas Sanata Dharma.

  6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah.

  7. Segenap staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

  8. Teman-teman Jurusan Ilmu Sejarah, Mbak Upi, Mbak Yus, Ajeng, Mamik, Nana, Ekarama, Hananto, Markus, Daniel, Yuhan, Yossi, Yasser, Halim, Elang, Darwin, Agus, Aloy, Banar, Ifa, Theo, dan semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaan dan semangatnya.

  9. Teman-teman angkatan 2003 Sundari, Reni, Mariati, Anggi, Yoga, Domi, Dedy, Ruperno, terima kasih atas dorongannya. Kalian akan selalu menjadi teman-teman yang akan selalu ku-ingat. Keep contact ya...

  10. Inneke dan Irena, terima kasih atas semuanya, baik kala suka dan duka persahabatan kita selama ini. Keep contact ya...

  11. Keluarga besar Ibuku di Magelang dan Yogyakarta. Pakde-Budhe, Oom- Tante, sepupuku Iing dan suami, Mas Isa, Mbak Ayu, dan Angga, terima kasih atas semangat dan doanya.

  12. Keluarga besar Bapakku di Purworejo, Magelang, Bandung, Jakarta, dan Serang. Pakde-Budhe, Oom-Tante, sepupuku Andre, ‘teh Ranti, Indah, Sari,

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL....................................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ...................................................................... iii HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO............................................................. iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................................................... v ABSTRAK ..................................................................................................................... vi ABSTRACT ................................................................................................................... vii LEMBAR PUBLIKASI ILMIAH .................................................................................. viii KATA PENGANTAR ................................................................................................... ix DAFTAR ISI................................................................................................................... xii BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................................

  1 A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................

  1 B. Batasan Masalah ..............................................................................................

  7 C. Rumusan Masalah ............................................................................................

  8 D. Tujuan Penelitian .............................................................................................

  8 E. Manfaat Penelitian ...........................................................................................

  9 F. Landasan Teori .................................................................................................

  10 G. Kajian Pustaka .................................................................................................

  13 H. Metode Penelitian ............................................................................................

  15 I. Sistematika Penulisan ........................................................................................

  16 BAB II. SEJARAH BATIK DI YOGYAKARTA .........................................................

  18 A. Keadaan Masyarakat Yogyakarta Pada Saat Kemunculan Batik ....................

  19 B. Batik Sebagai Warisan dari Kerajaan Mataram ...............................................

  23 C. Motif atau Pola Batik yang Bersifat Adiluhung ..............................................

  29 D. Pembatasan Pemakaian Kain Batik .................................................................

  34 BAB III. DINAMIKA BATIK GAYA YOGYAKARTA .............................................

  40

  B. Penerapan Feodalisme Dalam Kehidupan di Kraton .......................................

  43 C. Kemerosotan Feodalisme Dalam Kehidupan Kerajaan ...................................

  51 BAB IV. PERAN DAN FUNGSI DJOGO PERTIWI DALAM PENGEMBANGAN SENI MEMBATIK 1935-1942 .......................................................................

  54 A. Keadaan Geografis Wilayah Penelitian ...........................................................

  55 B. Perkembangan Batik di Imogiri .......................................................................

  56 C. Proses Pembelajaran Djogo Pertiwi Dalam Membatik ....................................

  60 D. Proses Penyebaran Seni Batik di Dusun Pajimatan .........................................

  65 E. Proses Sosial Perkembangan Batik Dusun Pajimatan Tahun 1935-1942 ........

  73 F. Unsur-Unsur Kebaruan yang Diciptakan Oleh Djogo Pertiwi .........................

  82 BAB V. PENUTUP ........................................................................................................

  87 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................

  91 LAMPIRAN ...................................................................................................................

  95

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai bermacam-macam suku

  yang tersebar di berbagai wilayah di Nusantara. Setiap suku di Indonesia memiliki ciri khas keseniannya masing-masing. Salah satu kesenian yang terkenal adalah batik.

  Brandes mengatakan bahwa batik sudah dikenal sejak jaman prasejarah, bahkan menjadi salah satu kemampuan asli manusia Indonesia sebelum masuknya budaya asing. Batik merupakan suatu bentuk dari kesenian yang dalam pembuatannya mempunyai nilai tersendiri. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan memiliki tujuh unsur yaitu, bahasa, teknologi, ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Seni batik tulis termasuk dalam unsur-unsur kebudayaan dan menjadi salah satu ciri khas suatu wilayah tertentu.

  Membatik adalah sebuah seni yang mengungkapkan ekspresi untuk menorehkan canthing yang berisi malam ke dalam sebuah kain putih. Tentunya tidak sembarangan orang bisa membuat kain batik. Dalam membuat batik, seseorang harus memiliki kemampuan atau skill khusus untuk menumpahkan segala curahan ekspresi seninya dalam kain itu. Tidak hanya skill atau kemampuan saja yang dibutuhkan oleh pembatik tetapi juga imajinasi setiap pembatik diperlukan agar bisa membantu mereka dalam menorehkan berbagai bentuk motif lewat canthing tersebut.

  Proses pembuatan pola atau motif yang rumit, membuat seorang pembatik harus lebih sabar dan telaten demi menghasilkan sebuah karya seni. Kemudian dalam wilayah teknologi, batik mampu memadukan nilai seninya. Dalam sebuah kain batik, setiap garis yang digambarkan untuk membuat corak atau motif diperhitungkan sehingga bisa tergambar rapi dan teratur. Menurut Kartini Parmono, keindahan bentuk tercipta karena perpaduan yang harmonis dari variasi susunan bentuk, garis, titik-titik, dan warna yang terpadu secara harmonis yang ditangkap dengan

  1 penglihatan atau panca indra.

  Batik dianggap sebagai sebuah karya seni yang memiliki nilai tinggi. Keindahan dari setiap garis yang ditorehkan canting ke dalam kain memiliki makna dan simbol. Pastinya seorang pembatik dalam membuat kain batik memiliki alasan, mengapa dia membuat corak yang seperti itu. Menurut Kartini Parmono, seni batik tradisional merupakan sistem simbol. Simbol-simbol tersebut diciptakan karena adanya hasrat untuk menyampaikan pesan-pesan serta amanat untuk diwariskan ke

  2

  generasi penerus sebagai pembentuk watak dan kepribadian. Setiap corak yang dilukiskan bisa dianggap sebagai simbol untuk memberikan arti yang bermakna bagi setiap individu yang melihat maupun yang memakainya.

1 Kartini Parmono,

  “Simbolisme Batik Tradisional”, Jurnal Filsafat, No. 23, November, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1995, hlm 30.

  2

  Menurut motif dan warnanya, batik dibedakan menjadi dua macam yaitu batik

  3

  pedalaman (juga disebut sebagai batik kraton) dan batik pesisiran. Batik pedalaman adalah batik yang tumbuh dan berkembang di lingkungan kraton dengan dasar-dasar filsafat kebudayaan Jawa yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang serasi, tertib

  4

  dan seimbang. Motif yang digunakan adalah motif-motif yang diciptakan dari hasil pengamatan alam sekitar dan warna yang digunakan adalah warna coklat, biru, hitam, dan putih. Sedangkan batik pesisiran adalah batik berkembang di luar kraton dan tidak terikat pada alam pikiran Jawa. Para pembatik bebas untuk mengungkapkan

  5 ekspresi dalam karyanya.

  Di Jawa, perkembangan batik kraton (pedalaman) lebih dikenal di Yogyakarta dan Solo. Selama ini dua daerah tersebut menjadi pusat kebudayaan di mana sistem pemerintahan kerajaannya masih bertahan. Di dalam istana atau kraton sendiri, para penguasa, keluarga dekat beserta para abdi dalemnya masih memegang teguh adat dan tradisinya. Tradisi itu telah disampaikan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka. Dari kebiasaan yang turun temurun itulah, batik yang menjadi salah satu unsur budaya kraton, masih tetap eksis.

  3 Ibid., hlm 29.

  4 Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, 1997, hlm. 5.

  5

  Yogyakarta merupakan salah satu wilayah yang menjadi salah satu tempat penyebaran batik. Batik yang berasal dari wilayah ini disebut dengan batik kraton.

  Kraton menjadi salah satu pusat kebudayaan di Yogyakarta. Kesenian batik merupakan suatu bentuk kerajinan tangan yang berasal dari lingkungan kraton dan dalam pemakaiannya tidak bisa sembarangan orang bisa mengenakannya. Sehingga ketika seseorang mengenakan kain batik kraton maka mereka mempunyai hak istimewa yang dapat mengangkat kedudukannya.

  Pada awal mulanya, batik merupakan sebuah kesenian tulis tradisional yang hanya dibuat oleh perempuan-perempuan dari kraton. Batik dihasilkan dari tangan- tangan perempuan di lingkungan kraton yang memiliki keahlian khusus dalam menorehkan canting. Dari tangan-tangan mereka yang menghasilkan karya batik ini, batik menjadi busana keprabon (busana kebesaran) para raja-raja di Kraton. Keahlian mereka telah diwariskan oleh para pendahulu secara turun temurun. Pekerjaan membatik dilakukan sebagai suatu kerja sambilan ketika para perempuan kraton itu mempunyai waktu luang.

  Motif atau corak yang diajarkan dalam ketrampilan membatik sangat bermacam-macam. Masing-masing motif yang dihasilkan juga mempunyai makna yang sangat mendalam. Hal itu disebabkan karena batik diciptakan agar pemakainya

  6

  dapat membawa kebaikan dan kebahagiaan. Batik muncul dari konsep estetika seni Jawa yang adiluhung sehingga mencerminkan nilai-nilai ketradisian dan dinamika

  6

  7

  masyarakat pendukungnya. Orang-orang kraton mempunyai kekhasan tersendiri dalam membuat karya batik tulis. Mereka mengamalkan hal-hal yang menurut mereka masih dianggap sebagai tradisi nenek moyang.

  Motif-motif batik yang sudah dibuat tidak bisa dipakai oleh sembarangan orang. Hanya beberapa kalangan saja yang bisa memakai motif-motif tertentu itu.

  Contoh motif-motif larangan, biasa untuk menyebut kain batik yang hanya dipakai oleh kalangan tertentu, misalnya seperti parang rusak, kawung, sidomukti, udan liris, semen rama, dan sawat. Batik dengan motif-motif tersebut hanya boleh dipakai oleh raja dan keluarga dekatnya saja.

  Raja memerintah rakyatnya dengan kekuasaan feodal. Salah satu bentuk feodalisme suatu kerajaan dapat dilihat dari pemakaian batik ini. Dari gambar motif sebuah kain batik tersebut, bisa diketahui kedudukan sosialnya. Dengan kata lain, jika seorang raja memakai suatu motif batik yang menunjukkan kebesarannya maka rakyat harus menghormatinya. Kekuasaan feodal seorang raja membuat rakyat akan selalu patuh dan tidak melawan penguasa yang saat itu sedang memerintah, sehingga penguasa bisa melakukan kontrol terhadap rakyat di wilayah kekuasaannya. Kekuasaan feodal raja semakin lama semakin berkurang sehingga terjadilah proses defeodalisasi.

  Proses pembatikan kemudian mengalami perkembangan, yang semula dikerjakan oleh perempuan-perempuan di lingkungan kraton dan berkembang

  7 menjadi dikerjakan oleh perempuan di luar kraton. Motif-motif kebesaran raja tidak hanya dibuat oleh kalangan terbatas saja. Motif-motif larangan, seperti parang rusak, sawat, dan semen, sudah bisa dibuat dan dipakai oleh masyarakat luas.

  Perluasan kemampuan membatik ini salah satunya dipelopori oleh Djogo Pertiwi. Seni pembuatan batik tidak hanya berada di kraton saja tetapi juga menyebar di beberapa wilayah di Yogyakarta. Salah satu wilayah yang masih bertahan untuk memproduksi batik adalah Imogiri. Imogiri terletak di sebelah selatan Kota Yogyakarta, tepatnya di dusun Pajimatan, kelurahan Girirejo. Di dusun Pajimatan itu juga terdapat suatu pemakaman raja-raja Mataram terdahulu. Penyebaran seni membatik ini terjadi ketika seseorang dari luar kraton bekerja menjadi abdi dalem kraton. Mereka mempunyai istri dari kalangan orang kraton yang mempunyai keahlian membatik. Dari istri-istri mereka, kesenian membatik kemudian menyebar luas ke wilayah-wilayah lain saat suaminya ditugaskan untuk menjaga dan merawat makam raja-raja Mataram.

  Di Imogiri, Djogo Pertiwi adalah seorang pembatik yang dianggap sebagai perintis batik. Pada mulanya Djogo Pertiwi adalah seorang perempuan yang berasal dari luar kraton, kemudian menikah dengan seorang abdi dalem kraton yang bekerja sebagai juru kunci makam Imogiri. Sejak kecil sudah tertarik dengan batik dan mulai belajar membatik. Selain dianggap sebagai perintis batik, Djogo Pertiwi dianggap sebagai pelestari kesenian batik tulis tradisional. Sejak sekitar tahun 1930, Djogo Pertiwi mengajarkan tentang bagaimana cara membatik kepada masyarakat sekitar Imogiri. Atas usaha dan kerja kerasnya untuk melestarikan batik, Djogo Pertiwi mendapatkan penghargaan Upakarti dari Presiden Suharto pada tahun 1994.

B. Batasan Masalah

  Batik merupakan salah satu hasil kerajinan yang adiluhung (bernilai tinggi) sehingga tidak sembarang orang bisa memakainya. Pihak kraton telah membuat batik menjadi suatu bentuk monopolinya. Tetapi hal ini tidak bisa berlangsung lama, karena kemunculan Djogo Pertiwi yang kemudian menyebarkan keahlian membatik kepada masyarakat sekitar wilayah Imogiri. Batik yang awalnya hanya dimonopoli oleh kraton, mulai lepas dari monopoli kraton ketika di Imogiri muncul seorang tokoh bernama Djogo Pertiwi.

  Dia adalah seorang istri abdi dalem kraton yang mulai berkarya sejak tahun 1935. Skill atau kemampuan membatik dan imajinasi yang dimiliki oleh Djogo Pertiwi mampu mengubah kehidupan masyarakat di sekitar Imogiri. Pada sekitar tahun 1930-an terjadi krisis ekonomi yang melanda seluruh dunia. Negara Indonesia- pun tidak luput dari pengaruh krisis tersebut. Salah satunya berimbas pada industri batik di Yogyakarta yang mengalami kelesuan selama beberapa tahun. Pada tahun 1939, muncul beberapa badan koperasi yang membantu pembatik dalam menghadapi krisis ekonomi akibat serangan produk impor dari luar negeri seperti Jepang dan Belanda. Industri batik di wilayah Yogyakarta dan juga wilayah pembatikan yang lain mulai bangkit kembali. Kemudian, ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, industri batik mengalami kelesuan kembali. Bahan baku untuk pembuatan batik sangat sulit untuk didapatkan.

  C. Rumusan Masalah

  Dalam menjelaskan judul skripsi ”Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935-

  1942 ”, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1.

  Bagaimana latar belakang kemunculan motif batik gaya Yogyakarta ? 2. Bagaimana dinamika perkembangan batik gaya Yogyakarta? 3. Bagaimana peran dan fungsi Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di

  Imogiri tahun 1935-1942?

  D. Tujuan Penelitian

  Batik merupakan kesenian asli dari Indonesia meskipun banyak juga yang berpendapat bahwa batik berasal dari luar Indonesia. Terlepas dari pendapat-pendapat itu, batik mengalami proses yang sangat panjang baik dalam sejarah maupun dalam proses pembuatannya.

  Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang melatar belakangi kemunculan motif batik gaya Yogyakarta. Kemudian mengetahui dinamika batik gaya Yogyakarta, dan mengetahui sejauh mana peran dan fungsi Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di Dusun Pajimatan, Imogiri.

E. Manfaat Penelitian

  Penulisan ini merupakan salah satu bagian dari latihan kerja ilmiah. Pada pokok ini, ditempuh dengan cara, mulai dari pemilihan tema, perumusan masalah, pengumpulan bahan, sampai dengan pengolahannya sesuai dengan cara kerja ilmu sejarah. Penulisan ini difokuskan pada tema seperti tersebut diatas. Diolah melalui tahap-tahap yang akan diurai pada bagian selanjutnya sampai dengan tahap penulisannya.

  Hasil penelitian yang disusun dalam skripsi ini diharapkan agar masyarakat bisa membuka pengetahuan baru dalam wacana kesejarahan mengenai sejarah batik terutama tentang proses sosial yang terjadi dalam perkembangan batik di Imogiri. Pengetahuan tentang batik sebagian besar hanya ditinjau dari proses pembuatannya, dan diharapkan dengan adanya tulisan ini masyarakat tahu akan sejarah kemunculan batik gaya Yogyakarta, dinamika batik gaya Yogyakarta, dan juga peran dan fungsi Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di Imogiri tahun 1935 sampai 1942.

  Penulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber sejarah sosial mengenai perkembangan batik di Imogiri.

  Penulis berharap bahwa tulisan ini mampu membuka pengetahuan masyarakat luas mengenai peran kraton yang mendominasi seluruh lapisan rakyat, khususnya di Yogyakarta, dengan sistem feodalnya. Kekuasaan feodal yang diterapkan oleh kraton terhadap batik sedikit demi sedikit bisa bergeser dan batik mulai bisa dipakai oleh semua kalangan masyarakat luas. Manfaat penulisan ini bagi masyarakat luas adalah Djogo Pertiwi yang mengembangkan batik di Imogiri dan dianggap sebagai perintis batik. Penulisan ini diharapkan bisa bermanfaat bagi masyarakat luas sehingga tidak hanya bermanfaat bagi kalangan akademisi saja.

F. Landasan Teori

  Untuk menguraikan pertanyaaan-pertanyaan diatas, beberapa teori yang digunakan adalah sebagai berikut.

  Dalam buku Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Sartono Kartodirdjo mengemukakan bahwa

  Proses akulturasi, artinya proses yang mencakup usaha masyarakat menghadapi pengaruh kultural dari luar dengan mencari bentuk penyesuaian terhadap komoditi, nilai, atau ideologi baru, suatu penyesuaian berdasarkan kondisi, disposisi, dan referensi kulturalnya, yang kesemuanya merupakan

  8 faktor-faktor kultural yang menentukan sikap terhadap pengaruh baru.

  Masyarakat Imogiri yang awalnya mempunyai suatu budaya sendiri, kemudian mendapat pengaruh dari kraton akibat masuknya budaya kraton, salah satunya adalah batik. Dalam perkembangannya, tradisi membatik menyebar luas ke masyarakat di wilayah Imogiri. Batik dari kraton masih sesuai dengan pakemnya, tetapi setelah masuk ke masyarakat Imogiri batik kraton mendapat pengaruh kultural dari budaya setempat sehingga mengakibatkan munculnya jenis atau motif batik yang baru.

8 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah,

  Kemudian A.L. Kroeber membuat teori difusi/penyebaran unsur budaya. Teori ini berbicara mengenai perubahan dalam masyarakat dengan cara mencari asal/aslinya dalam masyarakat lain. Difusi adalah suatu proses yang biasanya tetapi tak seharusnya perlahan apabila unsur-unsur atau sistem-sistem budaya itu disebarkan. Apabila suatu penemuan yang baru diadopsi di suatu tempat maka adopsi berlangsung pula di daerah tetangga sehingga dalam berbagai kasus pengadopsian tersebut berjalan terus. Kemudian tersebar dalam lingkup waktu tertentu sehingga

  9

  tempo penyebaran lewat ruang ditentukan oleh waktu. Batik merupakan suatu ekspresi seni yang awalnya dibuat hanya oleh wanita-wanita di lingkungan kraton.

  Kemudian hal ini menyebar melalui proses penyebaran ke daerah lainnya, seperti ke Imogiri dalam waktu tertentu.

  Dalam buku Teori-Teori Perubahan Sosial, Astrid Susanto menyebutkan bahwa Proses penyebaran unsur-unsur budaya adalah merujuk pada

  10 pengembangan/growth dan tradisi sebagai suatu proses merujuk pada pemeliharaan.

  Batik yang merupakan salah satu wujud dari unsur kesenian, disebarkan kepada masyarakat luas agar bisa mengalami perkembangan. Motif atau coraknya dapat berganti-ganti sesuai dengan perkembangan batik. Batik juga merupakan tradisi dari nenek moyang yang diturunkan baik kepada anak-cucunya maupun kepada masyarakat demi terpeliharanya kesenian membatik. Pemeliharaan kesenian batik

9 Judistira K. Garna, Teori-Teori Perubahan Sosial, Bandung: Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran, 1992, hlm. 73-74.

  10 bisa dengan cara mewariskannya secara turun temurun. Begitu juga batik di Yogyakarta yang diwariskan ketrampilannya secara turun temurun kemudian akan senantiasa berkembang.

  Menurut Astrid Susanto lagi dalam buku Teori-Teori Perubahan Sosial, perubahan sosial diberi arti sebagai development/perkembangan yang merupakan perubahan tertuju kepada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, sehingga akan dinikmati pula oleh individu.

11 Perkembangan batik kemudian menyebar ke

  wilayah Imogiri. Di Imogiri, batik membuat perubahan pada kehidupan masyarakatnya. Keahlian membatik yang dikuasai oleh Djogo Pertiwi membuat masyarakatnya tertarik untuk mempelajari seni batik. Masyarakat yang diberi pelajaran tentang membatik itu mengakibatkan terjadinya perkembangan batik di Imogiri dan menyebabkan perubahan yang membawa mereka ke arah kemajuan.

  Sartono juga mengemukakan tentang teori perubahan sosial yaitu sebagai berikut Perubahan sosial adalah gejala yang inheren dalam setiap perkembangan dan pertumbuhan (development). Teori developmentalisme menggambarkan bahwa masyarakat mengalami pertumbuhan atau perkembangan, suatu proses yang analog dengan proses organis; tidak hanya ada tambahan besarnya entitas, tetapi juga meningkatnya kemampuan serta kapasitas untuk mempertahankan eksistensi, adaptasi terhadap lingkungan, serta lebih efektif mencapai tujuannya.

12 Setiap kehidupan masyarakat pasti mengalami perkembangan dan

  pertumbuhan akibat pengaruh dari suatu proses kehidupan. Kemampuan yang

11 Ibid., hlm. 7.

  12 dimiliki oleh setiap individu dalam suatu lingkungan masyarakat juga dipengaruhi oleh proses perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi. Seperti halnya Djogo Pertiwi, kemampuan yang dimilikinya meningkat sehingga dia akan terus mempertahankan eksistensinya dalam dunia batik. Perubahan sosial di dalam masyarakat Imogiri juga mengalami perkembangan dan pertumbuhan akibat masuknya ketrampilan membatik. Mereka mampu mempelajarinya dan mempertahankan eksistensinya sebagai pembatik.

G. Kajian Pustaka Pembahasan tentang batik telah banyak dibahas dalam buku atau pustaka.

  Diantaranya adalah buku berjudul Sejarah Batik Yogyakarta, karangan A. N. Suyanto. Buku ini membahas tentang sejarah perkembangan batik di Yogyakarta pada masa pemerintahan sultan-sultan Yogya. Selain itu juga berisi tentang faktor- faktor yang mempengaruhi perubahan dan perkembangan batik, bentuk dan fungsi batik di Yogyakarta. dalam buku ini periode yang dibahas adalah sejak zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII sampai zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X. Pada masa-masa itu dapat dilihat bagaimana perubahan dan perkembangan bentuk, motif maupun fungsi kain batik dari setiap pemerintahan yang berkuasa.

  Kemudian tesis yang berjudul Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri

  

Yogyakarta (Kajian bentuk dan Gaya Seni) yang ditulis oleh Sugiyamin, Program awal mulanya hanya dikerjakan oleh orang-orang kraton sehingga kemudian menyebar sampai Imogiri dengan mengungkapkan peran abdi dalem penjaga makam raja-raja Mataram. Masyarakat Imogiri mendapat ilmu dengan mempelajari seni membatik. Sebuah proses sosial penyebaran ketrampilan membatik dari orang-orang kraton kepada masyarakat Imogiri. Tesis ini juga menyinggung sedikit tentang peranan Djogo Pertiwi dalam melestarikan ketrampilan membatik kepada masyarakat Imogiri.

  Buku Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah Mengenai Latar Belakang Kehidupan Bangsa Indonesia, Adat Istiadat dan Seni Budaya, karangan Biranul Anas dari Yayasan Harapan Kita/BP 3 TMII. Buku ini menerangkan tentang kesenian membatik yang muncul di Jawa pada sekitar akhir abad 18, dan kemudian batik mengalami proses penyebaran. Dari proses tersebut bisa dibedakan antara batik kraton dengan batik pasisiran. Buku ini juga menjelaskan tentang tujuan dan fungsi batik, cara membuat batik, dan hubungan antara batik dengan kraton.

  Terdapat sebuah artikel yang berjudul Pasang Surut Batik Tulis Tadisional

  

Bantul: Studi Kasus batik Tulis Imogiri tahun 1970-1998 ditulis oleh Suhartinah

  Sudjiono, diambil dari Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya

  Patra Widya

  , Vol. 7 No. 3, September 2006. Artikel ini membahas tentang awal mula munculnya batik di Imogiri dan juga menyinggung sedikit tentang Djogo Pertiwi.

  Buku-buku lain yang mengulas tentang batik kebanyakan hanya menjelaskan itu juga menggunakan artikel-artikel yang terdapat pada Jurnal Filsafat, Jurnal

  

Kebudayaan “Selarong”, dan artikel-artikel dalam internet. Dengan bantuan buku-

  buku tersebut, skripsi ini secara khas akan membahas tentang hal-hal yang melatarbelakangi kemunculan batik di Yogyakarta, sistem feodal kraton yang menguasai batik, serta peran seorang Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik.

H. Metode Penelitian

  Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan ini adalah studi pustaka dan studi lapangan. Dalam meneliti melalui studi pustaka, menggunakan sumber tertulis dari buku-buku yang relevan sehingga dapat membantu dalam menganalisis dan mendeskripsikan sejarah penulisan batik ini. Bahan-bahan yang dipakai/digunakan antara lain telah disebutkan dalam tinjauan pustaka. Dokumen-dokumen lain yang digunakan adalah seperti artikel-artikel dalam jurnal, koran, dan juga melalui situs- situs di internet.

  Kemudian proses pengumpulan selanjutnya adalah studi lapangan yang dilakukan melalui metode wawancara. Narasumber yang diwawancarai diantaranya adalah anak menantu Djogo Pertiwi yang menjadi penerus usaha batik Djogo Pertiwi sekaligus muridnya, kemudian ketua Dusun Pajimatan, dan pemerhati batik.

  Narasumber tersebut diharapkan dapat memberikan informasi yang relevan dengan topik dan permasalahan yang akan dibahas oleh penulis.

  Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam metode penulisan karya ilmiah data baik yang primer maupun yang sekunder. Kedua, kritik sumber, yaitu dari sekian banyak sumber tersebut dipilih dan diperbandingkan kembali sumber-sumber yang lebih relevan agar lebih dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya (sumber dapat dipercaya kebenarannya) guna penulisan skripsi ini. Ketiga, interpretasi, yaitu penafsiran atas sumber maupun data yang telah ditemukan. Keempat, adalah historiografi yang merupakan tahap terakhir, yaitu tahap penulisan.

I. Sistematika Penulisan

  Sistematika penulisan skripsi ini akan disusun ke dalam lima bab dengan urut- urutan sebagai berikut:

  Bab I, membahas tentang latar belakang yang menjadi dasar penelitian ini. Bab II, membahas tentang kemunculan motif batik gaya Yogyakarta. Bab ini akan dibagi menjadi sub-sub bab yang meliputi bagaimana keadaan masyarakat Yogyakarta pada saat kemunculan batik, batik sebagai suatu warisan dari kerajaan Mataram, motif atau pola batik yang bersifat adiluhung, dan pembatasan pemakaian kain batik.

  Bab III, membahas tentang dinamika batik gaya Yogyakarta. Bab ini akan dibagi menjadi sub-sub bab yang meliputi bagaimana sistem feodal kraton Yogyakarta, kemudian bagaimana penerapan feodalisme dalam kehidupan kraton dan yang terakhir akan dibahas sub bab mengenai kemerosotan feodalisme dalam kehidupan kerajaan.

  Bab IV, membahas tentang peran dan fungsi Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di Imogiri tahun 1935-1942. Dalam bab ini juga akan diuraikan menjadi sub-sub bab yang meliputi keadaan geografis wilayah penelitian, kemudian kemunculan batik di Imogiri, proses pembelajaran Djogo Pertiwi dalam membatik, proses penyebaran seni membatik di dusun Pajimatan, proses sosial dalam mengembangkan batik di dusun Pajimatan pada tahun 1935-1942. Sub bab terakhir membahas unsur-unsur kebaruan yang diciptakan oleh Djogo Pertiwi.

  Bab V, tentang penutup yang meliputi kesimpulan dari bab-bab yang sudah ditulis. Bab terakhir ini antara lain berisi uraian mengenai hasil penelitian sekaligus jawaban atas permasalahan yang telah dikemukakan pada awal bab.

BAB II SEJARAH BATIK DI YOGYAKARTA Banyak kontroversi mengenai kapan munculnya batik di Indonesia. Ada

  beberapa pendapat dari tokoh-tokoh mengenai kemunculan batik. Masih terdapat perdebatan mengenai kapan tepatnya batik mulai ada di Indonesia. Namun ada yang menyebutkan bahwa batik merupakan hasil budaya dari orang Indonesia sendiri. Apapun hal yang menjadi perdebatan mengenai kapan kemunculan batik, batik telah menjadi suatu seni yang telah banyak dipelajari oleh banyak orang di Indonesia, salah satunya di Yogyakarta.

  Provinsi Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang memproduksi kain batik tradisional. Selain itu juga terdapat berbagai macam motif batik yang dihasilkan. Salah satu institusi yang giat dalam memproduksi batik adalah Kraton Yogyakarta. Sejak di bawah pemerintahan Hamengku Buwono I, batik telah menjadi salah satu kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang di lingkungan kraton, khususnya oleh para kaum wanita. Kegiatan membatik oleh para wanita ini diwariskan secara turun temurun. Para abdi dalem yang menguasai kesenian membatik ini kemudian mengajarkannya kepada wanita-wanita di lingkungan itu sebagai salah satu ketrampilan yang harus dimiliki oleh mereka.

A. Keadaan Masyarakat Yogyakarta Pada Saat Kemunculan Batik

  Corak (gaya) batik di Yogyakarta tidak lepas dari perpecahan yang terjadi dalam Kerajaan Mataram. Perpecahan tersebut kemudian berakhir dengan adanya Perjanjian Giyanti. Konflik suksesi atau perebutan kekuasaan mewarnai perpecahan dalam Kerajaan Mataram. Perpecahan tersebut terjadi karena adanya konflik antara Pakubuwono II dengan Pangeran Mangkubumi yang memperebutkan tahta Kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram memang sudah sejak lama mengalami konflik perebutan kekuasaan. Perdebatan mengenai siapa yang pantas menduduki tahta Kerajaan Mataram selalu terjadi. Hal itu tidak lepas juga dari campur tangan dari pihak Pemerintah Belanda antara lain dengan memanas-manasi salah satu pihak keluarga Raja. Pihak Belanda mengambil keuntungan dari terjadinya konflik ini karena mereka bisa dekat dengan pihak kraton sehingga bisa dimanfaatkan, salah satunya untuk memperluas wilayah jajahannya.

  Puncak dari konflik antara Pakubuwono II dengan Pangeran Mangkubumi itu diakhiri dengan ditandatanganinya perjanjian Giyanti pada 13 Mei tahun 1755. Hasil yang dicapai dalam perjanjian Giyanti adalah terbaginya wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kasultanan Yogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwono I dan Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Paku Buwono III karena sebelum terlaksananya Perjanjian Giyanti, Paku Buwono II telah meninggal dunia. Peristiwa yang juga disebut dengan Palihan Nagari ini juga menjadi titik tolak

  1 berdirinya Kraton Yogyakarta.

  Sebelum terjadi perpecahan, Kerajaan Mataram mempunyai wilayah kekuasaan yang sangat luas. Dibawah pemerintahan Sultan Agung, Mataram dibagi menjadi beberapa daerah kekuasaan dengan kraton sebagai pusatnya. Daerah-daerah kekuasaan tersebut diurutkan menjadi sebagai berikut: daerah pertama, di mana Kraton menjadi pusatnya disebut dengan wilayah Kutanegara. Di sinilah didirikan istana kerajaan atau kraton. Raja mengatur segala urusan pemerintahannya di dalam istana. Daerah kedua yang mengitari Kutanegara disebut dengan Negara Agung, kemudian wilayah yang berada diluar Negara Agung disebut dengan Mancanegara, dan yang terakhir wilayah kekuasaan yang paling luar dari Kerajaan Mataram disebut

  2

  dengan Pasisiran. Konflik dengan pihak Kolonial Belanda membuat wilayah kekuasaan kerajaan Mataram menjadi semakin sempit dengan diadakannya Perjanjian Giyanti.

  Batik sebenarnya sudah digunakan pada masa Kerajaan Majapahit dan berkembang sampai pada masa kerajaan-kerajan Jawa seperti Mataram. Seiring dengan terjadinya perpecahan dalam Kerajaan Mataram, batik juga kemudian tetap diproduksi dan digunakan di Kraton Yogyakarta. Hanya saja terdapat motif-motif

  1 A. N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Rumah Penerbitan Merapi, 2002, hlm. 13-15.

  2 Marwati Djoened Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia IV, tertentu dan berbeda yang dipakai oleh orang-orang Kraton dan oleh masyarakat biasa.

  Diferensiasi pemakaian batik pada masa itu tidak lepas dari kehidupan sosial masyarakat Jawa yang terbagi dalam kelas-kelas atau yang biasa disebut dengan stratifikasi yang didasarkan pada kedudukan dan status. Masyarakat Jawa sendiri digolongkan menjadi beberapa kelas atau lapisan, yaitu sebagai berikut:

  1. Bagian pertama adalah lapisan atas atau biasa disebut dengan lapisan orang besar (wong agung, priyayi). Kelompok ini masih dibagi lagi menjadi dua golongan, yaitu bangsawan atau ningrat dan abdi dalem. Orang-orang yang termasuk dalam lapisan bangsawan atau ningrat ini didasarkan pada kerabat atau keturunan yang masih sedarah dengan raja. Kemudian orang- orang yang termasuk golongan abdi dalem, mereka sebetulnya priyayi tetapi berasal dari wong cilik.

  2. Bagian kedua adalah lapisan bawah, yang termasuk dalam lapisan ini ialah rakyat biasa atau wong cilik. Mereka kebanyakan bekerja sebagai buruh, perajin, pedagang, dan pegawai rendahan. Di lapisan ini juga masih dibagi lagi penggolongannya berdasarkan pada kepemilikan tanah. Mereka

  3 adalah petani pemilik tanah, petani penggarap, dan buruh tani.

  3

  Penduduk Jawa khususnya pedalaman, menganut sistem pertanian agraris yang berarti bahwa tanah merupakan sumber daya alam yang sangat penting. Tanah telah menjadi sesuatu hal yang sangat berperan penting dalam masa itu. Raja, yang memegang kekuasaan tertinggi, dianggap sebagai pemilik semua tanah yang ada di wilayahnya. Pejabat-pejabat daerah yang diserahi kekuasaan untuk mengatur salah satu wilayah suatu kerajaan akan mendapat gaji berupa tanah untuk digarap. Pejabat tersebut dipilih yang masih mempunyai darah bangsawan dari kerajaan. Para petani cilik yang menduduki lapisan masyarakat paling bawah, nantinya yang akan menggarap tanah itu.

  Sebagian besar masyarakat Indonesia sangat akrab dengan makanan pokoknya yaitu beras. Padi menjadi tanaman yang wajib untuk ditanam oleh masyarakat Jawa.

  Setiap butir padi yang tumbuh, akan diberikan kepada Raja sebagai bagian dari upeti yang diambil dari sawah merupakan salah satu dari sistem feodal yang berlaku

  4

  selama ratusan tahun. Rakyat kecil yang berada di lapisan masyarakat paling bawah mempunyai kewajiban untuk mematuhi apa yang yang diperintahkan oleh pejabat daerah. Hasil-hasil dari tanah garapan itu kemudian akan diserahkan kepada raja dan disebut dengan upeti. Penguasa pusat akan selalu mengawasi pekerjaan peajabat- pejabatnya di daerah sehingga dapat memperkecil terjadinya kecurangan.

4 Inger McCabe Elliot, Batik Fabled Cloth of Java, Singapore: Periplus,

B. Batik Sebagai Warisan dari Kerajaan Mataram

  Kerajaan Mataram, khususnya Kerajaan Mataram Islam, dahulunya mempunyai daerah kekuasaaan yang sangat luas. Hampir seluruh wilayah Pulau Jawa, menjadi daerah kekuasaan kerajaan tersebut. Dari keseluruhan raja yang pernah memerintah Kerajaan Mataram, Sultan Agung yang paling terkenal. Sultan Agung membawa Kerajaan Mataram mengalami masa kejayaannya. Sultan Agung memerintah dari tahun 1613 sampai tahun 1645. Beliau memperluas wilayah Kerajaan Mataram dengan menaklukkan daerah-daerah di Pulau Jawa seperti Tuban, Jepara, Gresik, Cirebon, Madura dan Surabaya. Penaklukan ini mengakibatkan semua

  5 daerah tersebut jatuh dibawah kekuasaan Sultan Agung.

  Ada berbagai pendapat mengenai munculnya batik ke Indonesia. Di wilayah Jawa, seperti yang telah disebutkan pada awal bab, telah diproduksi sejak masa Kerajaan Majapahit. Ada yang menyebutkan bahwa batik dipengaruhi oleh kebudayaan India yang datang bersamaan dengan agama Hindu-Buda. Sehingga, motif-motif batik yang diciptakan ada hubungannya dengan budaya agama Hindu Buda. Percampuran antara budaya Jawa dengan budaya Hindu Buda atau yang juga disebut dengan akulturasi, tidak menyebabkan budaya Jawa asli itu menghilang, tetapi mengalami pertambahan dan memperkaya nilai budaya Jawa asli yang telah mengakar dalam masyarakat.

  5

  Menurut Brandes, bangsa Indonesia mempunyai 10 kepandaian yang menjadi unsur asli kebudayaan Indonesia. 10 unsur itu diantaranya adalah wayang, gamelan, kerajinan batik, kerajinan dari logam, sistem mata uang koin, navigasi, astronomi,

  6

  pertanian irigasi, sistem metrik, dan kehidupan politik (birokrasi). Batik ternyata memang sebuah karya yang sudah menjadi salah satu budaya asli orang Indonesia.

  Meskipun banyak pengaruh yang datang dari luar, batik tetap mempunyai ciri tersendiri.