HUBUNGAN ANTARA QUALITY OF WORK LIFE (QWL) DENGAN ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) PADA KARYAWAN KONTRAK DI PAMERAN MODE MALL X YOGYAKARTA - UMBY repository

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Organizational Citizenship Behavior (OCB) 1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior pada Karyawan Kontrak Organ (2006) mendefinisikan organizational citizenship behavior (OCB)

  sebagai perilaku individu yang bebas, tidak berkaitan secara langsung atau eksplisit dengan sistem reward (hadiah) dan bisa meningkatkan fungsi efektif organisasi. OCB adalah bentuk perilaku yang merupakan pilihan dan inisiatif individual, tidak berkaitan dengan sistem penghargaan formal organisasi tetapi secara agregat meningkatkan efektivitas organisasi. Hal ini berarti, perilaku tersebut tidak termasuk ke dalam persyaratan kerja atau deskripsi kerja karyawan sehingga jika tidak ditampilkan pun tidak diberikan hukuman.

  Menurut Organ, Podsakoff, dan Mackenzie (2006) OCB merupakan wujud dari extra-role behavior yang meningkatkan pengaruh ikatan di antara anggota organisasi. Ikatan antara setiap anggota akan muncul dari emosi positif, kemudian emosi positif dapat menghasilkan anggota serikat untuk persetujuan umum dari pada konflik. Persetujuan anggota dalam organisasi membuat konflik dapat teratasi dengan baik. OCB juga merupakan perilaku yang dipilih secara bebas oleh individu. Artinya individu secara tidak secara langsung atau eksplisit diakui oleh sistem imbalan formal dan secara agregat meningkatkan kegunaan dan fungsi organisasi.

  Newstrom (2007) menyatakan bahwa OCB merupakan tindakan yang dipilih karyawan secara bebas dan melebihi panggilan tugas yang meningkatkan kesuksesan organisasi. OCB Sering ditandai dengan spontanitas, bersifat sukarela, berdampak pada hasil yang membangun, tak terduga berguna untuk orang lain, dan kenyataannya boleh memilih. Menurut Robbins dan Judge (2008) OCB adalah suatu perilaku kerja karyawan di dalam organisasi yang dilakukan sukarela diluar deskripsi kerja yang telah ditetapkan untuk meningkatkan kemajuan kinerja organisasi. Lebih lanjut, OCB merupakan bentuk dari ekspresi kecintaan, loyalitas dan rasa memiliki yang tinggi dari anggota organisasi terhadap perusahaannya.

  OCB dapat dimiliki oleh siapa saja, salah satunya dimiliki oleh karyawan

  

kontrak yang bekerja di pameran mode Mall X Yogyakarta. Menurut Smilet (2017)

  dalam kondisi tertentu perusahaan seringkali membutuhkan karyawan kontrak, di mana arus pekerjaan begitu padat maupun bersifat sementara. International Labour Organization (2010) menyatakan bahwa karyawan kontrak hanya dilibatkan untuk bekerja dalam jangka waktu terbatas, termasuk kontrak dalam jangka waktu tertentu, proyek atau tugas, pekerjaan musiman, termasuk kerja harian. Kesempatan kerja sebagai karyawan kontrak memungkinkan seseorang bekerja dalam waktu yang relatif singkat sekitar 2 bulan atau 3 bulan atau bahkan bisa beberapa hari saja. Fehr (2018) menyatakan bahwa karyawan kontrak jarang menerima tunjangan atau jaminan pekerjaan. Penugasan sementara dapat berakhir kapan saja tergantung pada kebutuhan pemberi kerja, namun diperlakukan seperti karyawan biasa seperti

  Menurut Agja (2016) karyawan kontrak yang bekerja di pameran memiliki tugas-tugas pekerjaan yaitu melakukan display (penempatan) barang sesuai dengan pengelompokkan yang disesuaikan ukuran dan warna (grouping), memasang label harga (price tag), menjaga kerapihan dan kebersihan barang. Karyawan juga harus mampu melakukan monitoring (pencatatan) terhadap kesedian stok produk kemudian dilaporkan kepada supervisor. Selain itu, karyawan dituntut siap sedia untuk melayani konsumen dengan bersikap ramah agar konsumen menjadi loyal pada stan tempatnya bekerja. International Labour Organization (2010) menyatakan bahwa hadirnya karyawan kontrak dalam lingkup perusahan dapat membawa tantangan tersendiri bagi perusahaan, karena karyawan kontrak bersifat sementara maka membuat karyawan kurang diberikan inovasi sehingga produktivitasnya lebih rendah. Menurut Cascio (2006) tantangan-tantangan yang dihadapi oleh perusahaan dapat teratasi dengan berbai strategi, salah satunya melalui OCB. Lebih lanjut, adanya OCB dapat membuat karyawan memberikan loyalitasnya dan menunjukan kinerja melebihi apa yang diharapkan perusahaan. OCB akan membawa karyawan secara sukarela melakukan segala hal untuk mewujudkan tujuan pe rusahaan (As’ad, 2004).

  Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa OCB pada karyawan kontrak merupakan perilaku karyawan kontrak di luar dari tugas-tugas yang ditentukan perusahaan, dimana karyawan secara sukarela memberikan upaya kerja yang melebihi target dan harapan organisasinya.

2. Aspek-aspek Organizational Citizenship Behavior (OCB)

  Organ (2006) menyatakan bahwa OCB terbagi dalam lima aspek, di antaranya adalah : a.

  Sikap menolong (altruism) Sikap menolong (altruism), merupakan perilaku membantu meringankan pekerjaan yang ditujukan kepada karyawan terhadap rekan kerjanya dalam organisasi. Perilaku tersebut ditunjukan untuk membantu karyawan lain tanpa ada paksaan pada tugas-tugas yang berkaitan erat dengan kegiatan organisasi dan pertolongan tersebut bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya. Artinya karyawan akan menolong rekan kerjanya walaupun tidak ada di dalam tugas- tugasnya.

  b.

  Sikap toleransi (sportsmanship) Sikap toleransi (sportsmanship) yaitu toleransi pada situasi yang kurang ideal di tempat kerja tanpa mengajukan keberatan-keberatan atas kondisi yang kurang mendukung tersebut. Sikap toelransi ini akan meningkatkan iklim yang positif di antara setiap karyawan dalam menjalani tugasnya dalam organisasi. Perilaku yang mengindikasikan adanya keinginan untuk mentolerir atau bertoleransi atas keadaan yang kurang ideal. Karyawan akan bersikap sportif, dimana karyawan tersebut melihat setiap tugas dengan positif walaupun ada ganggung-gangguan atau keadaan yang kurang ideal saat mengerjakan tugasnya dan mengerjakannya tanpa mengeluh atau mengkomplain atas setiap kejadian yang mengganggu c.

  Sikap sukarela (conscientiousness) Sikap sukarela (conscientiousness) merupakan perilaku yang ditunjukkan karyawan dengan usahanya dalam melakukan setiap kewajibannya melebihi persyaratan yang ada di perusahaan atau berusaha melebihi apa yang diharapkan oleh perusahaan. Perilaku sukarela bukan merupakan kewajiban atau tugas karyawan. Hal tersebut berisi tentang kinerja dari prasyarat peran yang melebihi standar minimum yang diharapkan organisasi. Karyawan akan bersukarela menjalankan dan mengerjakan setiap pekerjaan yang bukan merupakan kewajibannya.

  d.

  Sikap hormat (courtesy) Sikap hormat (courtesy) merupakan perilaku baik dan hormat karaywan yang menunjuk pada tindakan pengajaran kepada orang lain sebelum karaywan mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pekerjaannya. Karyawan akan menseleksi terlebih dahulu keputusan apa saja yang tepat untuk menunjukan perilaku dalam lingkungan organisasinya. Perilaku tersebut menunjukkan adanya penghargaan seseorang terhadap hak-hak orang lain yang bertujuan untuk mencegah munculnya masalah-masalah pekerjaan yang berkaitan dengan karyawan lainnya. Seseorang akan sennatiasa membantu rekan kerja, agar dapat mencegah timbulnya masalah sehubungan dengan lingkup pekerjaannya dengan cara memberi konsultasi dan informasi. Pemberian konsultasi dan informasi dapat menunjukan bahwa karyawan dapat menghargai e.

  Sikap tanggungjawab (civic virtue) Sikap tanggungjawab (civic virtue) merupakan perilaku yang mengindikasi tanggung jawab karyawan pada kehidupan organisasi. Perilaku tanggungjawab ini berhubungan dengan partisipasi aktif karyawan dalam hubungan keorganisasian, seperti tanggung jawab pada kehidupan organisasi, mengikuti mengikuti perubahan dalam organisasi, selalu mengikuti informasi-informasi terbaru tentang perubahan yang terjadi pada perusahaannya, dapat mengambil inisiatif untuk merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur organisasi dapat diperbaiki dan melindungi sumber-sumber yang dimiliki organisasi. Perilaku yang menunjukkan partisipasi sukarela dan dukungan terhadap fungsi-fungsi organisasi baik secara profesional maupun sosial alamiah. Seseorang akan menunjukan bahwa dirinya peduli dengan setiap hal yang berhubungan dengan organisasinya dan senantiasa memberikan ide-idenya untuk kesuksesan organisasi.

  Aspek-aspek OCB selanjutnya dikemukakan oleh Podsakoff, Bachrach, dan Bendoly (2001), yaitu : a.

  Perilaku menolong (helping behavior) Perilaku menolong (helping behavior) merupakan bentuk perilaku sukarela yang ditunjukan individu untuk menolong individu lainnya atau membantu dalam mencegah terjadinya suatu permasalahan yang timbul dalam pekerjaan (work

  related problem ). Pencegahan masalah dapat melalui bantuan yang diberikan

  seseorang kepada orang lain yang membutuhkannya sehingga terjalinlah iklim b.

  Sportsmanship

  Sportsmanship dapat diartikan sebagai kemauan atau keinginan individu untuk

  menerima (toleransi) terhadap ketidaknyamanan yang ada di tempat kerjanya atau di perusahaanm individu akan menerima keadaan perusahaan apa adanya dengan sukarela bekerja untuk kemajuan perusahaan.

  c.

  Organizational loyalty

  Organizational loyalty merupakan bentuk perilaku loyalitas individu terhadap

  organisasi seperti menampilkan image positif mengenai organisasi tempat karyawan bekerja, membela organisasi dari ancaman yang datang dari luar, mendukung dan membela tujuan organisasi.

  d.

  Organizational compliance

  Organizational compliance merupakan bentuk perilaku individu yang gitunjukan

  individu dalam mematuhi segala peraturan dan prosedur yang berlaku, serta regulasi organisasi meskipun tidak ada pihak yang mengawasinya dalam menjalankan pekerjaan.

  e.

  Individual initiative

  Individual initiative merupakan bentuk motivasi diri individu dalam

  melaksanakan setiap tugas-tugas secara lebih baik atau melebihi standar yang telah ditetapkan oleh organisasi. Individu juga akan memberikan upaya-upaya terbaiknya yang dapat memajukan organisasi. Oleh karena itu, individu akan menunjukan performa terbesarnya untuk memberikan hasil terbaik bagi

  Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, tedapat lima aspek OCB yaitu altruism meliputi pemberian bantuan kepada orang lain diluar dari tugasnya, sportsmanship meliputi sikap mentolerir dalam kejadian di tempat kerja,

  

conscientiousness meliputi perilaku melebihi tugasnya, courtesy meliputi sikap

  menghargai dalam organisasi, civic virtue meliputi perilaku menjaga aset organisasi, selain itu OCB juga mencangkup lima aspek lainnya yaitu helping behavior merupakan perilaku sukarela dalam menolong, sportsmanship merupakan sikap menerima toleransi dalam organisasi, organizational loyalty merupakan sikap loyalitas yang ditunjukan seseorang dalam bekerja, organizational compliance merupakan sikap mematuhi peraturan, dan individual initiative merupakan dorongan melakukan tugas yang melebihi standar organisasi.

  Dari beberapa aspek-aspek OCB yang telah dijabarkan, maka peneliti memilih untuk menggunakan aspek yang dikemukakan oleh Organ (2006) , yaitu sikap menolong (altruism), sikap toleransi (sportsmanship), sikap sukarela (conscientiousness), sikap hormat (courtesy), dan sikap tanggung jawab (civic virtue).

  Aspek tersebut dipilih oleh peneliti karena sebagai acuan yang digunakan untuk mengukur OCB pada karyawan kontrak yang bekerja di sektor wirausaha mandiri Daerah Istimewa Yogyakarta. Peneliti memiliki pertimbangan dalam memilih aspek tersebut yaitu sejalan dengan variabel penelitian, penjabarannya lebih konkrit, didukung berdasarkan hasil dari wawancara dengan subjek (karyawan kontrak), dan dilihat dari kodisi tempat akan dijadikan tempat penelitian, dan kedua aspek tersebut

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior

  Bacrach, dkk. (2000) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi OCB, yaitu : a.

  Karakteristik individu Karakteristik individu adalah karakter yang dimiliki dalam diri individu untuk menunjukan performa kerja dalam organisasinya yang dapat mempengaruhi terbentuknya OCB dengan sikap terhadap pekerjaan, meliputi kepuasan kerja, komitmen organisasi, dukungan kepemimpinan, serta persepsi akan keadilan., kepatuhan, keseimbangan, sensifitas, dan kecenderungan untuk menyatakan sikap setuju atau tidak setuju mengenai apa yang terjadi dalam suatu organisasi.

  b.

  Karakteristik pekerjaan Karakteristik pekerjaan adalah karakter yang melibatkan diri karyawan secara aktif dalam organisasinya. Karakteristik pekerjaan cenderung menjadi anteseden OCB dibandingkan karakteristik pekerjaan yang rutin dan kurang mandiri karena pekerjaan yang rutin menyebabkan karyawan merasa bosan dan tidak bisa mengembangkan kreativitasnya.

  c.

  Karakteristik organisasi Karakteristik organisasi adalah karakter yang mendukung keberadaan dan pengembangan diri karyawan secara positif melalui budaya organisasi, iklim organisasi dan reward system (sistem hadiah) yang sesuai, dimana karyawan akan menunjukkan OCB sebagai bentuk timbal balik atas apa yang diberikan keberadaan dan pengembangan diri karyawan dapat melalui quality of work life (QWL) yang merupakan proses kebijakan yang diputuskan oleh perusahaan sebagai sebuah respon atas apa yang menjadi keinginan dan harapan pegawainya.

  Harapan yang sesuai dengan keinginan karyawan akan menimbulkan OCB sebagai bentuk timbal balik atas apa yang diberikan organisasi kepada karyawan (Bacrach, dkk., 2000).

  d.

  Karakteristik kepemimpinan organisasi Karakteristik pemimpin dalam organisasi yang dapat menjadi anteseden OCB dengan karakteristik kepemimpinan transaksional melalui proses transaksi yang telah disepakati antara dirinya dengan karyawan. Selanjutnya, karakteristik kepemimpinan transformasional merupakan proses memotivasi pengembangan diri karyawan yang akan menunjukan OCB-nya karena merasa diperhatikan dan termotivasi oleh pemimpinnya.

  Selanjutnya, menurut Jahangir, dkk. (2004) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi OCB,yaitu : a.

  Kepuasan kerja dan komitmen organisasional Faktor kepuasan kerja, komitmen organisasional yang bersifat afektif menunjukkan adanya hubungan dengan kinerja individu dan OCB.

  b.

  Persepsi peran Persepsi peran menggambarkan persepsi individu bahwa organisasi dapat memenuhi kebutuhan dan harapannya yang dapat menimbulkan sikap positif c.

  Kepemimpinan Gaya kepemimpinan yang ditunjukkan oleh pemimpin organisasi terbukti dapat meningkatkan OCB karyawan, dimana akan munculnya kepuasan kerja maupun komitmen organisasi yang merupakan anteseden OCB.

  d.

  Persepsi keadilan Persepsi akan keadilan organisasi merupakan persepsi individu bahwa organisasi dapat memberika keadilan untuknya yang dapat memicu munculnya OCB.

  e.

  Disposisi individu Individu yang termasuk dalam skill kerja, seperti inisiatif diri, sikap positif, kedisiplinan, rasa empati dan aktivitas individu terbukti dapat meningkatkan OCB.

  Berdasarkan uraian faktor-faktor yang sudah dipaparkan sebelumnya, terdapat empat faktor yang dapat mempengaruhi OCB yaitu faktor karakteristik individu mrupakan berbagai macam karakter yang dimiliki individu dalam organisasi, karakteristik pekerjaan merupakan berbagai macam karakter yang dimiliki pekerjaan dalam organisasi, karakteristik organisasi merupakan berbagai macam karakter kebijiakan yang diberikan organisasi, dan faktor karakteristik kepemimpinan organisasi merupakan berbagai karakter pimpinan dalam memimpin sebuat organisasi, selain itu OCB juga mencangkup lima faktor lainnya yaitu kepuasan kerja dan komitmen organisasional merupakan penilaian seseorang dalam memandang organisasinya, kepemimpinan merupakan gaya setiap pemimpin dalam organisasi, persepsi keadilan merupakan persepsi individu bahwa organisasi dapat memberikan keadilan untuknya, disposisi individu merupakan kemampuan atau bakat individu dalam bekerja.

  Dari uraian yang telah dikemukakan, peneliti akan menggunakan faktor yang mempengaruhi OCB dari Bacrach, dkk. (2000), yaitu faktor karakteristik organisasi.

  Menurut Kaswan (2017) karakter organisasi yang mendukung keberadaan dan pengembangan diri karyawan dapat melalui QWL yang merupakan proses kebijakan yang diputuskan oleh perusahaan sebagai sebuah respon atas apa yang menjadi keinginan dan harapan pegawainya. Harapan yang sesuai dengan keinginan karyawan akan menimbulkan OCB sebagai bentuk timbal balik atas apa yang diberikan organisasi kepadanya (Bacrach, dkk., 2000). Hal tersebut, didukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2017) yang mengungkapkan bahwa QWL dapat mempegaruhi OCB. Selain itu, hasil penelitian dari Aini, dkk., (2013) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara kualitas interaksi atasan-bawahan (LMX) dan QWL dengan OCB pada karyawan, hal tersebut menunjukan bahwa LMX memberikan sumbangan efektif sebesar 46.518 % dan QWL sebesar 53.395 %.

  Artinya QWL dapat memberikan sumbangan yang lebih besar dibandingkan variabel lainya. Hal tersebut juga didukung berdasarkan hasil wawancara yang menunjukan bahwa QWL dapat tumbuh dalam diri karyawan kontrak yang bekerja di Yogyakarta karena adanya peran penting dari QWL. Oleh karena itu, QWL akan menjadi satu

B. Quality Of Work Life (QWL) 1. Pengertian Quality Of Work Life (QWL)

  Konsep kualitas kehidupan kerja mengungkapkan pentingnya penghargaan terhadap manusia dalam lingkungan kerjanya. Sebuah kualitas kehidupan kerja yang baik adalah hal yang sangat penting dan mendasar di dalam perusahaan untuk menarik dan mempertahankan para karyawan atau pekerjanya (Wibowo, 2017).

  Istilah Quality of Work Life (QWL) atau kualitas kehidupan kerja pertama kali diperkenalkan pada Konferensi Buruh Internasional pada tahun 1972, tetapi baru mendapatkan perhatian setelah United Auto Workers dan General Motor berinisiatif mengadopsi praktek QWL untuk mengubah sistem kerja. Program QWL mula-mula dipusatkan pada kebutuhan para pekerja wanita dan kemudian diperluas kepada semua karyawan. QWL merumuskan bahwa setiap proses kebijakan yang diputuskan oleh perusahaan merupakan sebuah respon atas apa yang menjadi keinginan dan harapan pegawainya. Hal itu diwujudkan dengan berbagi persoalan dan menyatukan pandangan karyawan (organisasi dan pegawai). (Kaswan, 2017).

  Cascio (2006) menyatakan bahwa ada dua cara dalam menjelaskan QWL. Pertama, QWL dipandang sebagai sekumpulan persepsi karyawan mengenai rasa aman dalam bekerja, kepuasan kerja dan kondisi untuk dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia. Kedua, QWL dipandang sebagai sekumpulan sasaran yang ingin dicapai melalui kebijakan organisasi seperti: kondisi kerja yang aman, keterlibatan kerja, kebijakan pengembangan karir, kompensasi yang adil dan lain-

  Menurut Kaswan (2017) QWL merupakan istilah longgar yang menjelaskan pendekatan umum terhadap manajemen dan organisasi yang mencangkup setiap aspek pekerja. QWL berupaya mengidentifikasi perubahan-perubahan yang akan menambah pada makna interinsik pekerjaan dan meningkatkan kualitas kehidupan kerja karyawan. QWL juga didefinisikan sebagai proses di mana oragnisasi berusaha mengembangkan potensi kraywannya dengan melibatkan karyawan dalam keputusan- keputusan yang mempengaruhi kehidupan kerjanya. Permana, Hamid, dan Iqbal (2015) menyatakan bahwa QWL adalah upaya yang dilakukan manajemen terhadap peningkatan mutu karyawan dengan menghargai dan memerhatikan segala faktor kondisi kerja, agar tercipta keselarasan antara pekerjaan dengan berbagai faktor yang memengaruhi pekerjaan tersebut. Nanjundeswaraswamy dan Swami (2013) mendefinisikan QWL sebagai kualitas hubungan antara karyawan dengan lingkungan kerja, dimana karyawan akan menyatu dengan lingkungannya sehingga merasakan kepuasan dan kebahagian dalam menjalani pekerjannya. QWL juga adalah suatu cara berpikir tentang orang-orang, pekerjaan, dan organisasi yang memusatkan perhatian pada dampak pekerjaan terhadap pekerja dan efektivitas organisasional, disamping memberikan gagasan-gagasan partisipatif dalam memecahkan masalah-masalah organisasional dan pembuatan keputusan (Anatan dan Ellitan, 2007).

  Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa QWL merupakan kualitas kehidupan kerja yang diberikan perusahaan kepada karyawannya sehingga karyawan merasa bahwa kehidupan dalam

2. Aspek-aspek Quality Of Work Life (QWL)

  Menurut Wibowo (2017) QWL terdiri atas beberapa dimensi yang kembangkan dengan pendekatan validitas isi, yaitu : a.

  Partisipasi Partisipasi berhubungan dengan keterbukaan penyampaian gagasan dan keterlibatan pegawai dalam proses pembuatan kebijakan organisasi. Dimensi Partisipasi meliputi pimpinan yang selalu memperhatikan pendapat atau saran dari karyawannya, atasan terbuka pada gagasan-gagasan yang disampaikan oleh karyawan, dan karyawan sering dilibatkan dalam proses-proses pembuatan keputusan di kantor.

  b.

  Restrukturisasi kerja Restrukturisasi kerja berhubungan dengan kesempatan pegawai dalam mengembangkan diri dalam meningkatkan kemampuan dalam penyelesaian pekerjaan dengan program pelatiahan, karir dan ketersediaan pendukung buku referensi. Restrukturisasi kerja meliputi pimpinan sering memberi kesempatan kepada karyawan untuk mengembangkan inisiatif dan kreatifitas dalam menyelesaikan pekerjaan, Karyawan diberi kesempatan memecahkan persoalan dalam bidang masing-masing, Kenaikan karir di kantor terkait dengan latar belakang pendidikan karyawan, Pimpinan memberi kesempatan karyawan mengembangkan diri melalui program-program pelatihan, Pimpinan selalu memperhatikan jenjang kepangkatan seluruh karyawan, tempat kerja c.

  Sistem imbalan Sistem imbalan berhubungan dengan kejelasan dan keadilan dalam hal pemberian tambahan kompensasi, dan termasuk fasilitas kesehatan. Sistem imbalan yang diberikan perusahaan jelas dan adil kepada setiap karyawan, Perusahaan memberikan sejumlah tambahan berupa bonus dan insentif yang menarik, Perusahaan dapat memberikan fasilitas kesehatan yang memadai, Perusahaan memberikan fasilitas bonus atau THR yang sesuai dengan keinginan dan harapan karyawan.

  d.

  Lingkungan kerja Lingkungan kerja berhubungan dengan kenyamanan bekerja dalam organisasi, jaminan keselamatan bekerja, dan kondisi ruang bekerja pegawai yang nyaman.

  Selain itu, fasilitasi serta penerangan di ruang kerja telah memberikan rasa nyaman.

  Aspek-aspek QWL selanjutnya dikemukakan oleh Lau dan May (dalam Marlinda & Turnip, 2015), yaitu : a.

  Gaji dan kesejahteraan Gaji dan kesejahteraan merupakan sejumlah kompensasi yang diterima karyawan dari perusahan tempatnya bekerja sebagai imbalan dari hasil kerjanya. Imbalan yang di dapatkan oelh karaywan sesuai dengan pangkat, jabatan dan lamanya masa bekerja. b.

  Kesempatan untuk mengembangkan diri Kesempatan untuk mengembangkan diri merupakan kemampuan organisasi untuk memberikan peningkatan karier yang sama bagi setiap karyawan mengikuti penataran untuk pembaharuan pendidikan.

  c.

  Keamanan kerja adalah jaminan akan kelangsungan pekerjaan Keamanan kerja adalah jaminan akan kelangsungan pekerjaan merupakan karyawan yang tidak akan di mutasikan ketempat kerja lain yang tidak sesuai keinginan dan kemampuannya serta jaminan akan tetap mendapatkan gaji setelah tugasnya terselesaikan.

  d.

  Kebanggaan pada pekerjaan dan perusahaan Kebanggaan pada pekerjaan dan perusahaan merupakan peran dari karyawan dalam memajukan perusahaannya, perasaan bangga akan prestasi yang diperoleh, dan penghargaan yang diberikan perusahaan kepada setiap karyawan yang berprestasi.

  e.

  Keterbukaan dan keadilan bagi seorang karyawan Keterbukaan dan keadilan bagi seorang karyawan merupakan keterbukaan dari pimpinan organisasi dalam menerima saran, kritik, dan keluhan dari para karyawan, maupun permasalahan yang dihadapi karyawan.

  f.

  Kepercayaan dan keramahan Kepercayaan dan keramahan merupakan kerjasama yang solid di antara pimpinan organisasi dengan karyawannya, sehingga akan terjalin sebuah kebersamaan serta

  Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, tedapat empat aspek QWL yaitu partisipasi merupakan kesempatan memberikan pendapat, restrukturisasi kerja merupakan kesempatan mengembangkan diri, sistem imbalan merupakan upah yang sesuai harapan, dan lingkungan kerja merupakan kondisi lingkungan yang memadai, selain itu QWL juga mencangkup enam aspek lainnya yaitu gaji dan kesejahteraan merupakan imbalan yang memadai, kesempatan mengembangkan diri merupakan kesempatan untuk memajukan organisasi, keamanan kerja merupakan jaminan kelangsungan keselamatan, kebanggaan pada pekerjaan dan perusahaan merupakan kebermaknaan memandang pekerjaan dan perusahaan, keterbukaan dan keadilan merupakan sikap terbuka dan adil yang diberikan organisasi, kepercayaan dan keramahan merupakan kerjasama yang baik antara karyawan dan organisasi.

  Dari beberapa aspek-aspek QWL yang telah dijabarkan, maka peneliti memilih untuk menggunakan aspek yang dikemukakan oleh Wibowo (2017) yaitu partisipasi, restrukturisasi kerja, sistem Imbalan, dan lingkungan kerja. Aspek tersebut dipilih oleh peneliti karena sebagai acuan yang digunakan untuk mengukur QWL pada karyawan kontrak yang bekerja di sector wirausaha mandiri Daerah Istimewa Yogyakarta. Peneliti memiliki pertimbangan dalam memilih aspek tersebut yaitu sejalan dengan variabel penelitian, penjabarannya lebih konkrit, didukung berdasarkan hasil dari wawancara dengan subjek (karyawan kontrak), dan dilihat dari kodisi tempat akan dijadikan tempat penelitian, dan kedua aspek tersebut mampu

C. Hubungan antara QWL dengan OCB pada Karyawan Kontrak di Pameran Mode Mall X Yogyakarta

  International Labour Organization (2010) menyatakan bahwa hadirnya karyawan kontrak dapat membawa tantangan bagi perusahaan, karena bersifat sementara membuat karyawan kurang diberikan inovasi sehingga produktivitasnya lebih rendah. Tantangan-tantangan bagi perusahaan dalam menghadapi karyawan

  bentuk

  kontrak berdampak pada emosi negatif dari karyawan dengan menunjukan

  

ekspresi ketidakcintaan atas pekerjaan sehingga kinerjanya memburuk ( Robbins & Judge,

  2008). Karyawan akan mengabaikan peraturan, prosedur, melalaikan tugas jika tidak diawasi, dan tidak berusaha mencapai hasil yang baik (Podsakoff, ddk., 2001).

  Pencapaian hasil yang baik bisa didapatkan perusahaan melalui QWL sebagai proses di mana oragnisasi berusaha mengembangkan potensi karyawannya dengan melibatkan karyawan dalam keputusan-keputusan yang mempengaruhi kehidupan kerjanya, sehingga karyawan akan menunjukan hasil kerjanya yang melebihi harapan perusahaan (Kaswan, 2017).

  Permana, dkk. (2015) menyatakan bahwa QWL adalah upaya yang dilakukan manajemen terhadap peningkatan mutu karyawan dengan menghargai dan memerhatikan segala faktor kondisi kerja, agar tercipta keselarasan antara pekerjaan dengan berbagai faktor yang memengaruhi pekerjaan tersebut. Keselarasan dalam organisasi membuat karyawan akan bekerja secara optimal dan menunjukan komitmennya dalam bekerja. Menurut Wibowo (2017) QWL harus memenuhi dimensi tersebut di antaranya adalah partisipasi, restrukturisasi kerja, sistem imbalan, dan lingkungan kerja.

  Dimensi partisipasi merupakan keterbukaan penyampaian gagasan dan keterlibatan pegawai dalam proses pembuatan kebijakan organisasi. Partisipasi dalam perusahaan membuat atasan terbuka pada gagasan yang disampaikan karyawan dan karyawan merasa dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan (Wibowo, 2017).

  Karyawan yang dilibatkan oleh perusahaan akan menunjukan OCB dengan sikap tanggungjawab yang dimilikinya seperti mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur, dan melindungi sumber-sumber yang dimiliki organisasi (Organ, 2006). Disisi lain, partisipasi yang tidak diterapkan dalam perusahaan membuat karyawan sulit mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri seperti kurangnya peningkatan karier dalam mengikuti penataran untuk pembaharuan pendidikan dan karyawan merasa pendapat serta sarannya kurang diperhatikan oleh atasan maupun perusahaan (Lau & May dalam Marlinda & Turnip, 2015). Perhatian yang kurang didapatkan membuat karyawan kurang bertanggungjawab, dengan begitu karyawan akan pasif dalam hubungan keorganisasian dan kurang inisiatif untuk merekomendasi bagaimana operasi atau prosedur-prosedur organisasi yang dapat diperbaiki (Organ, 2006).

  Sistem operasi dalam perusahaan tentuya tidak terlepas dari unsur restrukturisasi kerja yang merupakan kesempatan pegawai dalam mengembangkan karyawan merasa pimpinan sering memberi kesempatan untuk mengembangkan inisiatif dan kreatifitas dalam menyelesaikan pekerjaan, serta karyawan diberi kesempatan memecahkan persoalan dalam bidang masing-masing dengan fasilitas yang diberikan perusahaan berupa buku maupun literatur dalam bidang kerjanya (Wibowo, 2017). Pemberian fasilitas dari perusahaan membuat karyawan menunjukan OCB-nya dengan loyalitas atau kesetiaannya pada organisasi sehingga karyawan dapat memajukan serta membela organisasi. Selain itu, karyawan juga akan menunjukan kinerja melebihi persyaratan yang ada di perusahaan atau berusaha melebihi apa yang diharapkan perusahaan (Graham dalam Marlinda & Turnip, 2015). Sebaliknya, restrukturisasi kerja yang tidak dirasakan karyawan dapat mempengarughi QWL pada tingkat ketidakbahagiaan atau ketidakpuasan seseorang terhadap karirnya yang dampak pada ketidakefektivitas organisasi dan juga karyawan tidak berusaha memberikan ide dalam memecahkan masalah dan keputusan organisasi (Taleghani, dkk., dalam Nurbiyati, 2014). Hal tersebut akan menimbulkan OCB yang rendah dengan emosi negatif pada diri karyawan. Emosi negatif membuat konflik dalam oranisasi sulit teratasi dengan baik dan kurang adanya ikatan antara setiasp angota (Organ, dkk., 2006)

  Koflik yang terjadi dalam organisasi tidak lepas dari sistem imbalan, yang merupakan kejelasan dan keadilan dalam hal pemberian tambahan kompensasi, dan termasuk fasilitas kesehatan. Menurut Handoko (2002) adanya imbalan mendorong karyawan untuk berprestasi lebih baik yang akan menimbulkan imbalan ekonomi menimbulkan OCB dengan menunjukan ketaatan karyawan melalui kemauannya untuk mematuhi peraturan, prosedur maupun instruksi organisasi. Perilaku yang mencerminkan kepatuhan dalam organisasi dapat ditunjukkan dengan ketepatan waktu masuk kerja, ketepatan penyelesaian tugas, dan tindakan karyawan terhadap sumber atau aset organisasi (Graham, dalam Marlinda & Turnip). Lain halnya, karyawan yang merasakan ketidakpuasan terhadap imbalan mengakibatkan keluhan dalam bekerja, adanya pencurian, dan kualitas produk serta pelayanan yang rendah. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Taleghani, dkk. (dalam Nurbiyati, 2014) yang mengatakan bahwa imbalan yang tidak sesuai harapan karyawan menjadikan karyawan kurang bersedia untuk memberikan loyalitas-nya kepada perusahaan, sehingga menjadi penyebab penurunan kinerja, ketidak hadiran, dan pasif dalam organisasi (Lussier dalam Kaswan, 2017).

  Lingkungan kerja juga menentukan OCB karyawan dengan kenyamanan bekerja dalam organisasi, jaminan keselamatan bekerja, dan kondisi ruang bekerja pegawai yang nyaman. Karyawan merasa nyaman bekerja di tempat kerja dengan begitu akan bekerja secara optimal dan lebih produktif (Wibowo, 2017). Kenyamanan yang dirasakan karyawan akan meningkatkan OCB dengan iklim yang positif di antara karyawan. Sikap sportif membuat karyawan melihat setiap tugas dengan positif walaupun ada ganggung-gangguan atau keadaan yang kurang ideal saat mengerjakan tugasnya dan mengerjakannya tanpa mengeluh atau mengkomplain (Organ, 2006) .

  Sebaliknya lingkungan kerja yang tidak memadai membuat karyawan merasa kurang menyelesaikan tugas-tugasnya, sehingga tugas yang dikerjakan kurang optimal dan pasif dalam organisasi (Wibowo, 2017). Hal tersebut akan menimbulkan perilaku OCB yang rendah, dimana karyawan akan menunjukan bentuk ekspresi ketidakcintaan, kinerja yang buruk, dan rasa memiliki yang rendah dari anggota organisasi (Robbins dan Judge, 2008)

  QWL merupakan kualitas hubungan antara karyawan dengan lingkungan kerjanya (Nanjundeswaraswamy, 2013). Menurut Cascio (2006) QWL akan menumbuhkan rasa puas terhadap perlakuan perusahaan sehingga karyawan berkeinginan untuk tetap tinggal dan bertahan di perusahaan. Karyawan yang merasa terpuaskan terhadap organisasi akan menunjukan OCB-nya dengan memberikan loyalitas atau kesetiaannya dan menunjukan kinerja melebihi apa yang diharapkan perusahaan.

  Sebaliknya, QWL yang rendah akan berdampak pada pengambilan keputusan karyawan untuk pergi mencari perusahaan lain (Cascio, 2006). Riggio (dalam Aryansah & Kusumaputri, 2013) mengemukakan bila QWL pada karyawan buruk maka akan menimbulkan dampak negatif bagi perusahaan yaitu karyawan merasa tidak puas, dengan begitu karyawan akan meningkatkatkan absensteeism (kemangkiran) dan terjadinya turnover (perputaran karyawan). Ketidakpuasan karyawan akan menimbulkan OCB yang rendah dan membuat karyawan kurang bertanggungjawab, pasif dalam hubungan keorganisasian dan tidak adanya inisiatif untuk merekomendasi bagaimana operasi atau prosedur-prosedur organisasi dapat pada diri karyawan yang dapat membuat konflik sulit teratasi dengan baik dan kurang adanya ikatan antara setiasp angota (Organ, dkk., 2006). Hal ini di dukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2015) yang mengungkapkan bahwa QWL secara signifikan berhubungan dengan OCB karyawan. Hasil penelitian dari Aini, dkk. (2013) juga menunjukan bahwa terdapat hubungan QWL dengan OCB pada karyawan. Lebih lanjut, hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa karayawan yang mendapatkan kualitas kerja yang sesuai keinginan dan harapannya, maka karyawan akan bekerja melebihi target yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Dilain sisi, karyawan yang tidak mendapatkan kualitas kehidupan kerja yang sesuai harapan, maka karaywan akan bekerja dengan kurang kesungguahan dan kurang berpartisipasi dalam memajukan perusahaannya. Kontribusi tersebut mengindikasikan bahwa variabel QWL memiliki peranan penting dalam membentuk OCB karyawan.

D. Hipotesis

  Berdasarkan kajian teoritis sebelumnya, maka rumusan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara QWL dengan OCB pada karyawan kontrak di pameran mode Mall X Yogyakarta. Semakin tinggi QWL maka semakin tinggi pula OCB. Sebaliknya semakin rendah QWL maka semakin rendah pula OCB.