BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1. Pengertian Keharmonisan Keluarga - PELATIHAN MANAJEMEN KONFLIK ANTARA SUAMI-ISTRI UNTUK PENINGKATAN KEHARMONISAN KELUARGA - UMBY repository

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga

1. Pengertian Keharmonisan Keluarga

  Keharmonisan, secara terminologi berasal dari kata harmonis yang berarti serasi dan selaras (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012). Menurut Walgito (1991) keharmonisan keluarga adalah berkumpulnya unsur fisik dan psikis yang berbeda antara pria dan wanita sebagai pasangan suami istri, dilandasi oleh berbagai unsur persamaan; seperti saling dapat memberi dan menerima cinta kasih tulus dan memiliki nilai-nilai serupa dalam perbedaan.

  Hawari (1996) menyatakan bahwa keharmonisan keluarga sesungguhnya terletak pada erat-tidaknya hubungan antar anggota keluarga, misalnya hubungan antara ayah dengan ibu, hubungan antara orangtua dengan anak, dan hubungan antar anak. Masing-masing anggota keluarga memiliki peran dalam menjaga keharmonisan hubungan satu sama lain. Gunarsa (2004) berpendapat bahwa keharmonisan keluarga ialah bilamana seluruh anggota keluarga merasa bahagia, ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi dan aktualisasi diri), meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial.

  Menurut Sahli (Rachmawati, 2010), keharmonisan keluarga adalah hidup bahagia dalam ikatan cinta kasih suami istri, didasari oleh kerelaan dan karena suami istri tersebut merasa cukup dan puas atas segala sesuatu yang ada dan telah dicapai ke dalam ataupun ke luar keluarga, menyangkut nafkah, seksual, dan pergaulan dengan masyarakat. Keharmonisan keluarga juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan pada keluarga, dimana masing-masing unsur dalam keluarga tersebut dapat berfungsi dan berperan sebagaimana mestinya serta tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama (Anggraeni, 2015).

  Surya (2001), menyatakan bahwa keharmonisan merupakan kondisi hubungan interpersonal yang melandasi keluarga bahagia. Keharmonisan keluarga dibuktikan dengan adanya tanggung jawab dalam membina suatu keluarga didasari oleh saling menghormati, saling menerima, menghargai, saling memercayai, dan saling mencintai (Purba, 2012).

  Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keharmonisan keluarga adalah keadaan keluarga yang dapat berfungsi dan berperan sebagai mana mestinya dilandasi berbagai unsur persamaan, kerelaan dan keselarasan hidup bersama sehingga tercipta keeratan hubungan antar anggota keluarga.

2. Aspek-aspek Keharmonisan Keluarga

  Stinnet & DeFrain (Hawari, 1996) mengemukakan enam kriteria keluarga harmonis, yaitu: a.

  Menciptakan kehidupan beragama dalam keluarga.

  Sebuah keluarga harmonis ditandai dengan terciptanya kehidupan beragama dalam rumah tersebut. Hal ini penting karena dalam agama penelitian ditemukan bahwa keluarga tidak religius yang penanaman komitmennya rendah atau tanpa nilai agama sama sekali cenderung terjadi konflik dan percekcokan dalam keluarga.

  b.

  Memiliki waktu bersama keluarga Keluarga harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama keluarganya, baik itu hanya sekedar berkumpul, makan bersama, menemani anak bermain dan mendengarkan masalah dan keluhan-keluhan anak, dalam kebersamaan ini anak akan merasa dirinya dibutuhkan dan diperhatikan oleh orangtuanya, sehingga anak akan betah tinggal di rumah.

  c.

  Ada komunikasi yang baik antar anggota keluarga.

  Komunikasi merupakan dasar bagi terciptanya keharmonisan dalam keluarga. Anak akan merasa aman apabila orangtuanya tampak rukun, karena kerukunan tersebut akan memberikan rasa aman dan ketenangan bagi anak, komunikasi yang baik dalam keluarga juga akan dapat membantu anak untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya di luar rumah, dalam hal ini selain berperan sebagai orangtua, ibu dan ayah juga harus berperan sebagai teman, agar anak lebih leluasa dan terbuka dalam menyampaikan semua permasalahannya.

  d.

  Saling menghargai antar sesama anggota keluarga.

  Keluarga harmonis adalah keluarga yang memberikan tempat bagi setiap anggota keluarga menghargai perubahan yang terjadi dan mengajarkan ketrampilan berinteraksi sedini mungkin pada anak dengan lingkungan e.

  Kualitas dan kuantitas konflik yang minim.

  Jika dalam keluarga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran maka suasana dalam keluarga tidak lagi menyenangkan. Dalam keluarga harmonis setiap anggota keluarga berusaha menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan mencari penyelesaian terbaik dari setiap permasalahan.

  f.

  Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga.

  Hubungan yang erat antar anggota keluarga juga menentukan harmonisnya sebuah keluarga, apabila dalam suatu keluarga tidak memiliki hubungan erat, maka antar anggota keluarga tidak ada lagi rasa saling memiliki dan rasa kebersamaan akan kurang. Hubungan yang erat antar anggota keluarga ini dapat diwujudkan dengan adanya kebersamaan, komunikasi yang baik antar anggota keluarga dan saling menghargai.

  Kovikondala dkk. (2015) juga mengemukakan lima dimensi keharmonisan keluarga yaitu: a.

  Komunikasi efektif, komunikasi yang tercipta dengan baik di antara anggota keluarga ketika peran dalam keluarga berfungsi secara optimal, sehingga setiap anggota keluarga dapat saling berbicara dengan bebas, saling mendengarkan, peduli, dan mampu mengekspresikan kasih sayang.

  b.

  Resolusi konflik, yakni sebuah kondisi dimana keluarga dapat menyelesaikan masalah dengan konstruktif, saling menghargai dan mau menerima perbedaan pendapat serta tetap menjalankan perannya dengan c.

  Kesabaran atau menahan diri, setiap anggota keluarga saling memahami dan memiliki kesabaran satu dengan yang lain serta mau menyesuaikan diri untuk berusaha meredakan ketegangan yang mungkin terjadi.

  d.

  Waktu berkualitas bersama keluarga. Anggota keluarga merasakan kepuasan dan nyaman berada di tengah keluarga, setiap anggota keluarga merasa dekat satu dengan yang lain dan saling merawat.

  e.

  Identitas sebagai keluarga yang berarti bangga dan mengakui sebagai anggota keluarga serta mau menjadi bagian dari cita-cita keluarga.

  Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan terdapat beberapa kriteria keluarga harmonis yakni kehidupan beragama dalam keluarga, komunikasi yang baik, resolusi konflik, waktu bersama dalam keluarga, hubungan yang erat dan saling menghargai. Dalam penelitian ini aspek keluarga harmonis mengacu pada teori Kovikondala dkk. (2015) yang mengemukakan lima dimensi keharmonisan dikarenakan kemutakhiran penelitian dan kesesuaian dengan tema penelitian ini.

3. Faktor-faktor Determinan dalam Keharmonisan Keluarga

  Menurut Sarwono (1982), dalam menentukan ukuran kebahagiaan keluarga perlu diperhatikan faktor-faktor berikut: a.

  Faktor kesejahteraan jiwa Rendahnya frekuensi pertengkaran atau percekcokan di rumah, saling mengasihi dan saling membutuhkan serta saling tolong-menolong antara sesama anggota keluarga, kepuasan dalam pekerjaan dan pelajaran masing-masing, menjadi indikator-indikator jiwa yang bahagia, sejahtera dan sehat.

  b.

  Faktor kesehatan fisik Faktor ini tidak kalah penting dari faktor pertama karena jika anggota keluarga sering sakit maka akan berakibat banyaknya pengeluaran untuk dokter, obat-obatan dan rumah sakit, hal tersebut tentu akan mengurangi dan menghambat tercapainya kesejahteraan keluarga.

  c.

  Faktor perimbangan antara pengeluaran uang dan penghasilan keluarga Tidak semua keluarga beruntung dapat memeroleh penghasilan mencukupi. Masalahnya tidak lain adalah kurang mampunya keluarga- keluarga bersangkutan merencanakan hidupnya, sehingga pengeluaran- pengeluaran pun menjadi tidak terencana.

  Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga (Dewi & Sudhana, 2012; Purba, 2012; Nancy, dkk., 2014; Rachmawati, 2010) adalah: a.

  Komunikasi interpersonal Komunikasi interpersonal adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau kelompok kecil dengan feed back, baik secara langsung maupun tidak langsung (Dewi & Sudhana, 2012). Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal (Mulyana, 2008). berinteraksi pada pasangan suami istri adalah yang bersifat diadik yaitu melalui komunikasi dalam situasi lebih intim, lebih dalam dan personal.

  Komunikasi interpersonal yang terjalin antar suami istri berperan penting untuk menjaga kelangsungan berumah tangga. Apabila pasangan suami istri saling menunjukkan sikap yang positif terhadap pasangannya maka komunikasi interpersonal dapat berjalan secara efektif. Terciptanya komunikasi efektif yang ditandai dengan adanya sikap terbuka, empati, saling mendukung, sikap positif, dan kesetaraan, antara pasangan suami istri membuat hubungan interpersonal menjadi baik sehingga dapat terwujud keharmonisan dalam pernikahan yang ditandai adanya saling mengerti, saling menerima, saling menghargai, saling percaya, dan saling mencintai (Dewi & Sudhana, 2012).

  b.

  Kecerdasan spiritual Kecerdasan spritual adalah kemampuan seseorang untuk menghadapi dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan nilai, batin, kejiwaan dan kemampuan potensial untuk menentukan makna, nilai, moral serta cinta terhadap kekuatan yang lebih besar dalam sesama mahluk hidup. Kecerdasan ini terutama berkaitan dengan abstraksi pada suatu hal di luar kekuatan manusia yaitu kekuatan penggerak kehidupan dan semesta dan dapat menempatkan diri dalam kehidupan yang lebih positif dengan penuh kebijaksanaan, kedamaian, dan kebahagiaan hakiki (Purba, 2012).

  Dengan memiliki kecerdasan spiritual, pasangan suami istri mampu menempatkan perilakunya dengan lebih bermakna. Untuk menciptakan keluarga harmonis diperlukan eksistensi dan peran dari masing-masing anggota keluarga serta tanggung jawab terhadap fungsi dalam keluarga. Untuk menumbuhkan kesadaran akan peran dan tanggung jawab dalam keluarga, diperlukan pemahaman dan kecerdasan spiritual (Purba, 2012).

  c.

  Nilai dalam pernikahan Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh pasangan mengenai apa yang baik, berharga, disukai, patut diusahakan, patut diperjuangkan dan dipertahankan dalam perkawinan. Melvile (Nancy, dkk., 2014) menyatakan, nilai-nilai dalam perkawinan adalah bagian-bagian yang dianut dalam kehidupan perkawinan. Nilai dalam perkawinan dapat dipandang berbeda oleh setiap orang. Redd (Nancy, dkk., 2014) menyatakan bahwa jika nilai dalam perkawinan rendah, perkawinan menjadi kurang sehat. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pasangan yang memandang perkawinan sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, sesuatu yang bermakna akan berusaha untuk memelihara kesatuan rumah tangga dengan memandang pasangan sebagai mitra sehingga tidak terdapat kesenjangan peran antara suami dan istri sehingga terwujud perkawinan yang egaliter, otonom, dan serasi. Gambaran nilai dalam perkawinan yang otonomi, egaliter dan serasi akan menciptakan perkawinan yang harmonis dan akan berdampak pada kondisi keluarga yang harmonis (Nancy, dkk., 2014). d.

  Pemaafan Pemaafan adalah suatu solusi dari risiko logis antar pribadi.

  Ketidakmampuan untuk memaafkan atau dimaafkan akan menjadi sumber hancurnya suatu relasi, tak terlepas dari hubungan suami-istri yang tentunya akan mengarah kepada keretakan keluarga (Subiyanto, 2011). Pasangan suami-istri yang memiliki sikap pemaaf kemungkinan besar akan memertahankan keutuhan keluarganya. Mereka menyadari bahwa manusia mudah melakukan kesalahan. Apabila diketahui bahwa salah satu pasangan melakukan kesalahan, maka pihak lain dengan usaha sangat kuat akan memaafkan pihak yang berbuat salah. Pemaafan adalah suatu perjalanan sangat kompleks, termasuk kemampuan untuk mengubah sistem afektif, kognitif dan tingkah laku (Nancy, dkk., 2014).

  Pemaafan memiliki implikasi yang substansial untuk relasi jangka panjang sebagai interaksi dari sebuah hubungan. Pemaafan merupakan modalitas yang secara signifikan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan dan memperbaiki hubungan interpersonal. Hubungan interpersonal yang terjalin baik antara suami istri akan berpengaruh terhadap kebahagiaan dan kepuasan hubungan sehingga dapat terwujud keharmonisan dalam keluarga (Nancy, dkk., 2014).

  e.

  Penyesuaian perkawinan Penyesuaian perkawinan adalah perubahan yang terjadi selama masa pernikahan antara suami istri untuk dapat memenuhi kebutuhan, masalah yang ada, sehingga kedua belah pihak merasakan kepuasan. Munandar (Rachmawati, 2010) menyatakan bahwa penyesuaian perkawinan berarti adanya saling pengertian antara suami-istri dalam menyatakan perbedaan-perbedaan di antara suami-istri dengan melakukan hal-hal yang dapat menambah kepuasan supaya tercapai hubungan keluarga yang harmonis.

  Laswell & Laswell (Rachmawati, 2010) menyatakan bahwa konsep penyesuaian perkawinan secara tidak langsung menunjukkan adanya dua individu yang saling belajar untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapannya dengan kebutuhan, keinginan dan harapan dari pasangannya.

  Berdasarkan uraian mengenai faktor-faktor dalam keharmonisan keluarga yang sudah dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan determinan dalam keharmonisan keluarga terdiri dari komunikasi interpersonal, kecerdasan spiritual, nilai dalam pernikahan, pemaafan, penyesuaian perkawinan, fisik, dan ekonomi. Manajemen konflik adalah upaya untuk menemukan resolusi konflik konstruktif dalam keluarga termasuk dalam faktor penyesuaian perkawinan. Penyesuaian yang berhasil ditandai oleh sikap dan cara yang konstruktif dalam melakukan resolusi konflik. Manajemen konflik merupakan usaha mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapan yang berbeda dari pasangan suami istri. Manajemen konflik dalam keluarga juga merupakan sebuah bentuk komunikasi interpersonal antara suami dan istri untuk menggantikan disfungsional dengan persetujuan yang produktif.

B. Pelatihan Manajemen Konflik

1. Pengertian Pelatihan Manajemen Konflik

  Menurut Agochiya (Rosdiana, 2009), pelatihan merupakan suatu proses terdiri dari serangkaian aktivitas yang bertujuan untuk memerluas pengetahuan individu, sehingga mengakibatkan perubahan perilaku sesuai dengan situasi dalam hidupnya. Pelatihan membantu pesertanya mengeksplorasi dan menyadari potensi serta bakat yang dimiliki. Melalui pelatihan pula, peserta terfasilitasi dalam mengidentifikasi kekurangan serta kelebihan dalam mencapai standar yang ditetapkan. Pelatihan merupakan cara efektif untuk memanfaatkan pengetahuan dan kompetensi yang telah ada untuk memaksimalkan hasil usaha seseorang. Prinsip-prinsip belajar dalam pelatihan merupakan prinsip adult learning yang berhubungan dengan pelatihan dan pendidikan.

  Agochiya (Rosdiana 2009) mengungkapkan bahwa penggunaan teknik dan metode pelatihan dimaksudkan untuk memasilitasi proses pembelajaran selama program pelatihan dilaksanakan dengan cara meningkatkan partisipasi dan mendorong adanya interaksi di antara peserta pelatihan. Pemilihan teknik dan metode pelatihan memertimbangkan hasil pembelajaran yang diinginkan, keahlian trainer mengoptimalkan penggunaan suatu metode, serta fasilitas yang tersedia selama pelatihan. Beberapa metode bermain peran. Diskusi kelompok dibagi menjadi diskusi terstuktur, diskusi terbuka, dan diskusi panel.

  Dalam penelitian ini intervensi yang diberikan adalah pelatihan manajemen konflik. Manajemen konflik menurut Wirawan (2010) ialah proses yang dilakukan dua pihak terlibat atau pihak ketiga dalam menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan. Pruitt & Rubin (2004) mendefinisikan manajemen konflik sebagai berbagai macam usaha yang dilakukan untuk menemukan solusi bagi kontroversi yang terjadi yang dapat diterima oleh semua pihak.

  Konflik perkawinan menurut Esere (2003) adalah perbedaan persepsi dan harapan-harapan di antara pasangan suami-istri tentang masalah pernikahan. Masalah-masalah itu antara lain tentang latar belakang pengalaman yang berbeda, kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang mereka anut sebelum memutuskan untuk menjalin ikatan perkawinan. Konflik dalam perkawinan berjalan ke arah positif atau negatif bergantung pada ada atau tidaknya proses yang mengarah pada saling pengertian dalam hubungan. Keterikatan antar pasangan berada dalam tingkat tertinggi dalam hal kelekatan, afeksi, komitmen, maupun intensitas. Ketika masalah muncul dalam sifat hubungan demikian, perasaan positif yang selama ini dibangun secara mendalam dapat berubah menjadi perasaan negatif yang mendalam juga. Walaupun demikian, banyak keluarga sering mengalami konflik, penting yang tetap membuat keluarga dapat berfungsi ialah karena konflik tersebut diselesaikan, tidak dibiarkan atau dianggap hilang seiring waktu.

  Seperti diungkapkan Rueter & Conger (Lestari 2012), keluarga yang memiliki interaksi hangat akan menghasilkan pemecahan masalah yang konstruktif, adapun keluarga dengan interaksi bermusuhan cenderung menggunakan pemecahan masalah yang destruktif.

  Menurut Walgito (2002), kemampuan mengelola konflik dalam perkawinan adalah kecakapan dan kesanggupan suami istri dalam mengendalikan dan mencari cara penyelesaian masalah dalam perkawinannya. Konflik akan berdampak negatif bila tidak terkelola dengan baik, untuk itu diperlukan kemampuan memanajemen konflik.

  Kemampuan pasangan dalam mengelola dan menyelesaikan konflik merupakan prediktor utama di dalam sebuah hubungan perkawinan (Byadgi, 2011). Oleh karena itu, pasangan yang menjalani perkawinan perlu mengetahui bagaimana mengelola konflik dengan baik. Manajemen konflik merupakan salah satu faktor signifikan yang dapat membantu pasangan perkawinan mengelola konflik. Manajemen konflik merupakan proses pihak yang terlibat konflik dalam menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan penyelesaian konflik yang diinginkan (Gunawan, 2011).

  Byadgi (2011) menjelaskan bahwa manajemen konflik merupakan proses untuk mendapatkan kesesuaian pada individu yang mengalami macam strategi. Sebelum memutuskan untuk memilih strategi manajemen konflik yang akan diambil, seseorang harus memikirkan segala resiko dan konsekuensi yang akan didapat. Seseorang akan menjalankan strategi yang benar jika ia telah memersiapkan diri, mengikuti alur konflik dengan baik, mengerti dampak dari pemilihan strategi manajemen konflik, dan mengaplikasikan tahapan-tahapan di dalam manajemen konflik. Oleh karena itu, pelatihan manajemen konflik dapat menjadi salah satu sumber pengetahuan bagi pasangan suami istri untuk dapat mengelola konflik dengan lebih baik.

  Menurut Supraktiknya (1995), pengelolaan konflik yang baik akan berdampak pada perkawinan yang harmonis dan akan mendewasakan masing-masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk mempertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan.

  Berdasarkan uraian mengenai definisi di atas, dalam penelitian ini teori yang digunakan sebagai acuan ialah definisi pelatihan dari Agochiya (Rosdiana, 2009) serta definisi manajemen konflik dari Wirawan (2010) dan Pruitt & Rubin (2004). Pelatihan manajemen konflik dapat dipahami sebagai serangkaian aktivitas yang bertujuan untuk memerluas pengetahuan individu dalam kapasitasnya sebagai suami atau istri dalam menyusun strategi untuk mengendalikan perbedaan persepsi dan harapan tentang masalah perkawinan agar dihasilkan resolusi konstruktif yang diinginkan oleh pasangan suami istri. Pengetahuan tersebut diharapkan akan mempengaruhi perubahan

2. Gaya Manajemen Konflik

  Keberadaan konflik tidak otomatis berdampak negatif terhadap hubungan maupun individu yang terlibat dalam hubungan. Konflik baru akan berdampak negatif jika tidak dikelola dengan baik. Thomas & Kilmann (Byadgi, 2011) memaparkan lima model manajemen konflik perkawinan yaitu: a.

  Competitive (kompetitif) Kompetitif merupakan perilaku dengan tingkat asertif tinggi dan tidak kooperatif yang terwujud dari adanya unsur persaingan antar individu.

  Dalam model kompetitif, individu cenderung agresif, memaksakan kehendak dan berusaha untuk menang tanpa ada keinginan untuk menyesuaikan tujuan dan keinginannya terhadap orang lain. Individu saling melawan dengan memerlihatkan keunggulan masing-masing.

  b.

  Collaboration (kerjasama) Kerjasama merupakan sikap bekerjasama dengan tujuan mencari alternatif solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi, sehingga memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik. Gaya pengelolaan konflik dengan menggunakan kerjasama memiliki tingkat keasertifan (ketegasan) dan kerjasama yang tinggi dengan tujuan untuk mencari alternatif, dasar bersama, dan sepenuhnya memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik. c.

  Compromising (kompromi) Kompromi merupakan gaya mengelola konflik tingkat menengah, dimana gaya ini berada di antara gaya kompetisi dan gaya kolaborasi.

  Kompromi dapat berarti saling mengurangi tuntutan masing-masing pihak, serta saling berkoordinasi untuk menyelesaikan konflik dengan cara membuka pikiran untuk berbicara, berunding, memberikan informasi tentang situasi kepada pihak bersangkutan dan mencari model penyelesaian konflik yang baik di antara kedua belah pihak.

  d.

  Avoiding (menghindar) Menghindar memiliki tingkat keasertifan dan kerja sama yang rendah.

  Kedua belah pihak terlibat konflik berusaha menghindari konflik. Bentuk penghindaran tersebut berupa menjauhkan diri dari pokok permasalahan, menunda pokok masalah hingga waktu yang tepat, atau menarik diri dari konflik yang mengancam dam merugikan.

  e.

  Accommodation (akomodasi).

  Akomodasi merupakan sikap cenderung mengesampingkan keinginan pribadi dan berusaha untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan orang lain. Gaya ini juga disebut dengan obliging style, dimana seseorang yang menggunakan gaya manajemen konflik ini akan berusaha untuk mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri.

  Kelima gaya manajemen konflik yang dipaparkan di atas dapat

  

collaborate dan compromise, serta gaya manajemen konflik destruktif yang

  terdiri dari competition, accomodate, dan avoidance (Thomas & Kilmann, 2004; Lestari, 2012).

  DeGenova (2008) membagi metode menghadapi konflik dalam pernikahan menjadi tiga macam, yakni: a.

  Avoidance Metode pertama ini merupakan metode ketika pasangan menghadapi konflik dengan cara menghindar. Pasangan mencoba mencegah konflik dengan menghindari orang bersangkutan, situasinya dan atau hal-hal yang berhubungan dengan pemicu terjadinya konflik. Dengan menghindari penyebab masalah untuk sementara keadaan memang cukup tenang tetapi permasalahannya tidak akan selesai, masalah akan berlarut- larut dan dapat merusak hubungan.

  Pasangan yang melakukan usaha untuk menghindari pertentangan, secara berkala akan menarik diri satu sama lainnya secara perlahan dan pengasingan diri terjadi ketika pasangan berhenti berkomunikasi dan memberi perhatian satu sama lain. Sebagai hasilnya akan terjadi peningkatan dalam kesendirian, hilangnya intimasi dan berdampak pada hal lainnya.

  b.

  Ventilation and catharsis Metode menghadapi konflik yang kedua ini merupakan kebalikan dari avoidance, yaitu individu tidak menghindari konflik melainkan mengekspresikan emosi dan perasaan negatif. Sama halnya dengan

  catharsis dimana individu yang sedang dalam masalah akan menyalurkan

  emosi dan perasaan negatif yang dirasakannya, seperti berteriak, bernyanyi sekeras-kerasnya, dan yang lainnya. Diharapkan setelah proses ini dilakukan, seluruh emosi dan perasaan negatif yang ada akan keluar dan diganti dengan emosi dan perasaan yang lebih positif.

  c.

  Constructive and destructive Metode konstruktif yaitu pasangan menghadapi masalah pernikahannya dengan lebih memahami dan berkompromi atau menerima solusi yang ditawarkan untuk dipertimbangkan. Hal ini lebih kepada meminimalisasi emosi negatif, menaruh hormat dan percaya kepada pasangan serta dapat menyebabkan hubungan menjadi lebih dekat.

  Metode destruktif berbentuk menyerang orang yang dianggap bermasalah dengan individu. Mereka mencoba untuk mempermalukan pasangannya, mengucilkan atau menghukum orang yang menjadi lawan konfliknya dengan menghina dan menjelek-jelekkan.

  Menurut Rubin (Lestari, 2012), pengelolaan konflik sosial dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: a.

  Bersifat konstruktif, 1)

  Negotiation atau tawar-menawar, ketika pihak-pihak berkonflik saling bertukar gagasan dan melakukan tawar-menawar untuk menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan masing-masing pihak,

  2) Campur tangan pihak ketiga, ketika ada pihak yang tidak terlibat konflik menjadi penengah untuk menghasilkan persetujuan pada pihak-pihak yang berkonflik.

  b.

  Bersifat destruktif 1)

  Penguasaan/domination, ketika salah satu pihak berupaya memaksakan kehendak, baik dilakukan secara fisik maupun psikis, 2)

  Penyerahan/capitulation, ketika salah satu pihak, secara sepihak menyerahkan kemenangan kepada pihak lain, 3)

  Pengacuhan/inaction, ketika salah satu pihak tidak melakukan apa-apa sehingga cenderung membiarkan terjadinya konflik, 4)

  Penarikan diri/withdrawal, ketika salah satu pihak menarik diri dari keterlibatan dengan konflik.

  Dari berbagai penelitian dan sesi konseling keluarga, para peneliti dan terapis mengenali adanya gaya resolusi konflik yang digunakan individu dalam mengelola konflik. Lerner (Olson & Olson, 2000) membedakan cara individu menyelesaikan konflik menjadi lima macam, yaitu: a. Pemburu/pursuer, adalah individu yang berusaha membangun ikatan lebih dekat. Individu dengan ciri ini akan berusaha untuk meningkatkan kualitas relasinya dengan orang-orang terdekatnya. Ketika terjadi konflik dalam interaksi, mereka akan dengan sadar menghadapi konflik tersebut, berusaha mencari pokok masalah, berdiskusi untuk memahami perspektif masing-masing kemudian bernegosiasi untuk mencapai kompromi yang saling menguntungkan. Dalam hal ini konflik dimaknai secara positif dan dikelola secara konstruktif.

  b. Penghindar/distancer, adalah individu yang cenderung mengambil jarak secara emosi. Individu tipe ini akan memilih menarik diri dari kancah konflik, tidak memiliki kesediaan untuk berunding dan biasanya cenderung memilih untuk membiarkan waktu yang menyelesaikan masalah. Cara pengelolaan demikian membiarkan konflik terpendam yang beresiko menimbulkan gejala depresi.

  c. Pecundang/underfunctioner adalah individu yang gagal menunjukkan aspirasi atau kompetensinya. Dalam upaya menghindari pertengkaran, individu dengan ciri pecundang akan memilih untuk selalu mengalah dan menuruti apa yang menjadi kemauan pihak lain. Dalam taraf tertentu, cara ini dapat memertahankan hubungan dari situasi yang buruk namun hanya bersifat stagnan dan tidak mampu meningkatkan kualitas hubungan.

  d. Penakluk/overfunctioner, adalah individu yang cenderung mengambil alih dan merasa lebih tahu yang terbaik bagi pihak lain. Individu dengan ciri penakluk akan menghadapi konflik dengan unjuk kekuasaan, berupaya mendominasi dan mengedepankan egonya. Tipe penakluk akan menghadapi konflik dengan pertikaian dan pertengkaran yang beresiko memunculkan perilaku agresi.

  e.

  Pengutuk/blamer, adala individu yang selalu menyalahkan orang lain sebagai ajang pertengkaran, mengumbar amarah, bahkan seringkali mengungkit masalah lain yang tidak relevan dengan pokok masalah yang menjadi sebab perselisihan. Individu demikian cenderung tidak mau mengakui kesalahan, selalu membela diri, dan menimpakan kesalahan pada pihak lain atau keadaan. Perilaku demikian beresiko memunculkan agresi.

  Senada dengan Lerner, Kurdek (Lestari, 2012) mengajukan empat macam gaya resolusi konflik, yaitu penyelesaian masalah secara positif (positive problem solving; misalnya melakukan negosiasi dan perundingan), pertikaian (conflict engagement; misalnya melakukan kekerasan, marah, selalu membela diri, menyerang, dan lepas kontrol), penarikan diri (withdrawal; misalnya mendiamkan, menutup diri, menolak berunding, dan menjaga jarak dari konflik), dan tunduk (compliance; misalnya selalu mengalah).

  Berdasarkan uraian mengenai macam-macam metode manajemen konflik, dapat disimpulkan bahwa manajemen konflik terdiri dari dua macam gaya resolusi yakni manajemen konflik konstruktif dan manajemen konflik destruktif. Manajemen konflik konstruktif meliputi cara-cara kerjasama/kolaborasi, negosiasi, kompromi, pihak ketiga serta ventilation

  ; sedangkan manajemen konflik destruktif meliputi metode

  and catharsis

  kompetitif, withdrawal, akomodasi, pecundang, dan pengutuk. Dalam penelitian ini teori yang digunakan sebagai acuan ialah gaya manajemen meliputi gaya manajemen konflik konstruktif yaitu collaborate dan

  compromise , serta gaya manajemen konflik destruktif yang terdiri dari competition , accomodate, dan avoidance.

3. Tahapan Pelatihan Manajemen Konflik

  Pelatihan manajemen konflik dalam penelitian ini disusun oleh peneliti dengan mengacu pada langkah manajemen konflik yang dikemukakan oleh Pruitt & Rubin (2004), dipadu dengan gaya manajemen konflik yang dikemukakan oleh Thomas & Kilmann (Byadgi, 2011).

  Pelatihan ini akan dilaksanakan selama 2 hari dan terdiri dari 6 sesi yang masing-masing sesi berlangsung selama 15-50 menit.

  Metode pelatihan yang dianut dalam penelitian ini ialah active

  learning method (metode belajar aktif). Metode belajar aktif ialah suatu

  proses kegiatan belajar melibatkan peserta secara intelektual dan emosional sehingga peserta berpartisipasi aktif dalam melakukan kegiatan belajar (Suranto, 2012). Active learning bersifat partisipatif interaktif dan bertujuan mengubah cara pandang, sikap dan tingkah laku peserta menjadi lebih efektif (Dimyanti, 1999). Pada metode active learning, proses memeroleh pemahaman dilakukan melalui berbagai kegiatan seperti mengalami, kegiatan dan memahami melalui proses (learning by process) (Ali, 1996). memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut

  Active learning

  (Dimyanti, 1999): 1.

  Pembelajaran yang dilakukan lebih terpusat pada peserta belajar.

  Pengalaman peserta menjadi penting dalam penerapan metode active learning. Peserta perlu memiliki keinginan dan keberanian dalam menampilkan kebutuhan, permasalahan, dan partisipasi dalam proses belajar.

  2. Fasilitator adalah pembimbing dalam memeroleh pengalaman.

  Fasilitator merupakan salah satu sumber informasi yang harus memberikan peluang bagi peserta agar dapat memeroleh pengetahuan atau keterampilan melalui usaha peserta sendiri.

  3. Tujuan kegiatan belajar ditekankan pada pengembangan kemampuan peserta secara utuh dan seimbang. Tujuan kegiatan disesuaikan dengan kebutuhan, minat, dan kemampuan peserta didik. Kegiatan yang dilaksanakan juga memiliki program yang jelas dan dapat dimengerti peserta.

  4. Pengelolaan kegiatan pembelajaran ditekankan pada kreativitas peserta dan memerhatikan kemajuan peserta dalam menguasai konsep yang dipelajari. Perlu diperhatikan pula fleksibilitas waktu belajar dan penggunaan berbagai macam media pengajaran untuk mendukung tercapainya keberhasilan proses belajar.

  5. Penilaian dilaksanakan untuk megukur kemajuan peserta dalam berbagai keterampilan yang dipelajari.

  Dalam pelatihan akan disampaikan langkah-langkah manajemen konflik konstruktif yang digunakan dalam pelatihan dijabarkan sebagai a.

  Memastikan adanya konflik dengan melihat dan menyadari bahwa konflik sedang terjadi antara pihak satu dengan pihak lain. Pasangan suami istri dilatih untuk bersedia mengakui dan menyatakan mempunyai masalah yang nyata dengan tujuan bekerja sama untuk mengatasi masalah tersebut. Sebab-sebab munculnya konflik perlu dipahami pasangan termasuk berbagai hal yang terkait dengan konflik. Terkadang sebab konflik yang nampak bukanlah sebab sebenarnya. Masing-masing pihak perlu memahami adanya kemungkinan kesalahpahaman terhadap pendapat atau kepentingan pasangan. Kesalahpahaman dapat menimbulkan konflik tidak nyata /ilusory. Kesalahpahaman mungkin terjadi jika salah satu pihak mempunyai kesan yang salah mengenai niat pihak lain, salah satu pihak berpikir bahwa tindakan pihak lain akan menimbulkan pengorbanan tertentu, dan atau salah satu pihak menganggap pihak lain sewenang-wenang.

  Misalnya, seorang istri marah kepada suaminya karena pulang terlambat dan kemudian mereka bertengkar. Sekilas, penyebab pertengkaran ialah karena suami pulang terlambat, jadi upaya pemecahannya ialah dengan permintaan maaf dari suami dan berjanji tidak telat lagi. Akan tetapi dibalik alasan marah karena suami pulang terlambat, mungkin ada penyebab lain. Istri marah karena mungkin beranggapan suaminya berselingkuh sehingga tepat waktu karena ingin memberi kejutan sehingga ketika suaminya pulang terlambat, rencana tersebut terhambat. Kesediaan mengakui adanya konflik di antara suami dan istri memerlukan sikap terbuka dan kemauan berkomunikasi kedua belah pihak. Langkah awal dalam manajemen konflik ini akan diberikan dalam pelatihan pada pertemuan hari pertama sesi ketiga.

  b.

  Melakukan analisis konflik yang sedang terjadi dengan berusaha mengoreksi dan introspeksi diri. Kebanyakan masalah bisa diselesaikan melalui beragam cara sehingga untuk pemecahan masalah ada baiknya tidak terpaku pada satu cara saja. Pasangan perlu saling mengingatkan bahwa tujuan mengelola konflik adalah mengatasi keluhan yang ada dan tidak meningkatkan konflik, sehingga masing-masing perlu mawas diri untuk tidak menuduh atau membuat diri menjadi defensif. Analisis konflik dilakukan dengan membicarakan kepentingan atau tujuan dari masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik. Hambatan yang mungkin muncul dalam langkah kedua ini yaitu terkadang orang tidak paham mengenai alasan yang mendasari preferensi mereka atau adanya ketidakpercayaan antara kedua belah pihak. Misalnya, keluarga yang boros dalam membelanjakan uang dan sering berhutang. Saling menyalahkan antara suami dan istri mengenai siapa yang lebih boros atau pemasukan siapa yang lebih solusi yang konstruktif. Akan lebih baik jika pasangan mulai menganalisis bersama alokasi pengeluaran yang kurang penting, mencatat pengeluaran dan pemasukan keuangan keluarga, menabung di awal waktu menerima gaji, atau menentukan skala prioritas. Semua alternatif pemecahan masalah yang disepakati bersama perlu dijalankan secara konsisten dan saling mengingatkan.

  Langkah kedua dalam manajemen konflik ini akan dilatihkan pada pertemuan hari pertama sesi ketiga setelah langkah awal diberikan.

  c.

  Mencari cara untuk merekonsiliasi aspirasi kedua belah pihak (kompromi). Cara ini dilakukan melalui koordinasi antara pihak yang terlibat untuk menyelesaikan konflik. Pasangan suami istri perlu saling memahami dan bersedia mencari jalan tengah dalam menjalani tahap ini. Saran yang diajukan masing-masing pihak untuk rekonsiliasi perlu dikaitkan dengan nilai bersama, kepentingan bersama, dan hambatan bersama. Misalnya, saat menonton tayangan tv pada waktu yang sama, suami ingin menonton acara olahraga sementara istri ingin menonton episode terakhir acara drama favorit. Jika keduanya enggan mengalah maka akan terjadi konflik. Langkah penyelesaian menggunakan kompromi yang mungkin ditempuh ialah menonton tv secara bergantian agar tayangan olahraga dan drama dapat dinikmati bersama. Kompromi melibatkan pengurangan tuntutan atau merupakan usaha pemenuhan keinginan kedua pihak walaupun mungkin terdapat pengurangan kepuasan, misalnya pada contoh acara tv, walaupun suami dan istri sama-sama dapat menikmati acara tv olahraga dan drama dengan berkompromi namun mungkin siaran tersebut tidak dapat dinikmati dengan utuh seperti saat menonton sendiri. Jika salah satu pihak berkeras pada tuntutannya maka kompromi tidak akan tercapai dan konflik terus terjadi. Langkah ketiga dalam manajemen konflik ini akan disampaikan dalam pelatihan hari kedua sesi keenam.

  d.

  Menurunkan aspirasi dan mencari beberapa aspirasi lagi (bernegosiasi). Satu pihak menurunkan aspirasi atau pendapatnya dengan cara mengalah atau mengabaikan kepentingan yang prioritasnya rendah, begitu pula sebaliknya. Namun tidak berarti salah satu pihak kalah atau berpura-pura setuju pada pendapat pasangannya. Pasangan yang menyepakati beberapa aspirasi penyelesaian masalah walaupun mungkin tidak seluruhnya, menciptakan dasar yang sama mengenai solusi yang hendak dicapai. Apabila pasangan memutuskan untuk menerima solusi yang telah disepakati maka pasangan harus memiliki komitmen untuk melaksanakan alternatif solusi tersebut sehingga tercapai pemecahan masalah.

  Proses negosiasi biasanya memerlukan waktu yang cukup lama karena kedua belah pihak perlu mengakomodir kepentingan masing- masing dan menentukan alternatif yang menguntungkan keduanya. Misalnya, sepasang suami istri yang sama-sama bekerja dan baru memiliki anak memertimbangkan kemungkinan istri untuk berhenti bekerja dan mengurus buah hati mereka, atau memekerjakan seorang baby sitter. Untuk mengambil keputusan terbaik, pasangan ini perlu menyusun pilihan-pilihan lebih dahulu, memertimbangkan hambatan yang mungkin timbul seperti keuangan yang berkurang, perubahan kebiasaan pada istri yang sebelumnya wanita karir dengan berbagai atributnya menjadi ibu rumah tangga yang sepanjang hari mengurus bayi, atau kekurangan dan kelebihan jika pasangan ini memekerjakan baby sitter. Kepentingan dari masing- masing pihak perlu dikemukakan dengan jujur dan menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan. Masing-masing pihak juga perlu menilai dengan jujur dan tidak terburu-buru pada setiap alternatif solusi yang mungkin dapat dilakukan oleh pasangan.

  Langkah terakhir dalam manajemen konflik ini merupakan materi pelatihan hari kedua sesi keenam yang diberikan seusai langkah ketiga. Pelatihan manajemen konflik dapat meningkatkan kerja sama diantara pasangan suami istri, menambah pemahaman mengenai pribadi Komunikasi interpersonal yang terjalin antar suami istri berperan penting untuk menjaga kelangsungan berumah tangga (Dewi & Sudhana, 2012).

  Selain itu, manajemen konflik merupakan usaha mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapan yang berbeda dari pasangan suami istri.

  Usaha mengakomodasi kepentingan yang berbeda merupakan konsep penyesuaian perkawinan untuk mencapai keharmonisan keluarga (Rachmawati, 2010). Berdasarkan tahapan pelatihan manajemen konflik terdapat empat langkah dalam mengelola konflik secara konstruktif yakni (1) memastikan adanya konflik;

  (2) melakukan analisis konflik; (3) mencari cara untuk merekonsiliasi; dan (4) menurunkan ego dan bernegosiasi.

C. Pengaruh Pelatihan Manajemen Konflik untuk Peningkatan Keharmonisan Keluarga pada Pasangan Suami Istri

  Pelatihan manajemen konflik ialah serangkaian aktivitas yang bertujuan untuk memerluas pengetahuan individu dalam kapasitasnya sebagai suami atau istri dalam menyusun strategi untuk mengendalikan perbedaan persepsi dan harapan agar dihasilkan resolusi konstruktif yang diinginkan oleh pasangan suami istri.

  Pengetahuan tersebut diharapkan akan memengaruhi perubahan perilaku sesuai situasi konflik yang dihadapi pasangan suami istri. Komunikasi yang terjalin di antara pasangan suami istri dalam menangani konflik dapat memupuk keeratan hubungan dalam keluarga. Proses yang dijalani pasangan dalam mengelola konflik menghargai dan saling memercayai yang pada akhirnya akan memengaruhi keharmonisan keluarga.

  Pemahaman mengenai pengelolaan konflik dalam rumah tangga merupakan pengetahuan dan teknik ketrampilan yang diperlukan oleh pasangan suami istri.

  Pengetahuan dan ketrampilan tersebut dapat dipelajari melalui pendidikan atau pelatihan. Pelatihan adalah sebuah proses yang direncanakan untuk mengubah sikap, pengetahuan atau keterampilan perilaku melalui pengalaman belajar untuk mencapai kinerja yang efektif dalam berbagai kegiatan atau kegiatan tertentu yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan individu dan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan masa depan. Byadgi (2011) menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses untuk mendapatkan kesesuaian pada individu yang mengalami konflik.

  Bagaimana pasangan yang memiliki konflik mengatasi konfliknya memengaruhi perkembangan pribadi mereka. Keberadaan konflik tidak otomatis berdampak negatif terhadap hubungan maupun individu yang terlibat dalam hubungan. Konflik baru akan berdampak negatif jika tidak dikelola dengan baik.

  Menurut Supraktiknya (1995) pengelolaan konflik yang baik akan membawa pada perkawinan yang harmonis dan dari proses tersebut akan mendewasakan masing- masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk memertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan.

  Dalam manajemen konflik, seseorang dapat memilih bermacam-macam strategi. Sebelum memutuskan untuk memilih strategi manajemen konlik yang akan didapat. Seseorang akan menjalankan strategi yang benar jika ia telah memersiapkan diri, mengikuti alur konflik dengan baik, mengerti dampak dari pemilihan strategi manajemen konflik, dan mengaplikasikan tahapan-tahapan di dalam manajemen konflik.

  Pelatihan manajemen konflik mengacu pada gaya manajemen konflik dari Thomas & Kilmann (2004); yakni competitive, collaboration, compromising,

  

avoiding , dan accomodation. Dari kelima gaya tersebut, gaya manajemen konflik

collaborate dan compromising merupakan gaya manajemen konflik konstruktif.

  Dalam gaya collaborate (kolaborasi) pasangan suami istri berusaha menciptakan situasi yang memungkinkan tujuan kedua belah pihak tercapai dengan tetap memerhatikan keberlangsungan hubungan. Suami istri bersikap kooperatif dengan bersedia saling terbuka dalam mengkomunikasikan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dan tidak mengesampingkan sudut pandang dan tujuan pasangan. Gaya kolaborasi memiliki tingkat keasertifan (ketegasan) dan kerjasama yang tinggi dengan tujuan untuk mencari alternatif, bersama, dan sepenuhnya memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik.

  Selanjutnya gaya manajemen konflik konstruktif compromising (kompromi). Di dalam gaya kompromi, pasangan suami istri berusaha berunding dengan mengurangi tuntutan masing-masing untuk menemukan jalan tengah bagi masing-masing kepentingan sebagai penyelesaian masalah. Pada gaya manajemen konflik ini, tercapainya tujuan bersama dan keberlangsungan hubungan memiliki nilai yang sama pentingnya walaupun tujuan yang dicapai tidak maksimal. Gaya gaya kolaborasi tidak dapat dijalankan karena adanya keterbatasan. Gaya kompromi akan menghasilkan jalan keluar yang efektif terutama jika pasangan harus sesegera mungkin memutuskan suatu penyelesaian. Penerapan gaya kolaborasi dan gaya kompromi memerlukan ketrampilan komunikasi yang baik diantaranya kesediaan mendengar, keterbukaan, empati, dan bersikap positif terhadap opini pasangan sehingga tercapai resolusi konflik integratif.

  Langkah manajemen konflik mengacu pada pendapat yang dikemukakan Pruitt & Rubin (2004) yaitu memastikan adanya konflik dengan cara memahami kemungkinan terdapat konflik tidak nyata akibat kesalahpahaman, melakukan analisis konflik dengan membicarakan kepentingan pihak yang terlibat, mencari cara untuk merekonsiliasi, dan menurunkan ego dan bernegosiasi. Di dalam mengelola konflik komunikasi interpersonal yang efektif, bekerja sama, dan saling menahan diri antara pasangan suami istri dilatihkan, sehingga konflik dihadapi dengan kepala dingin dan terdapat komitmen untuk melaksanakan resolusi konflik yang telah diputuskan bersama. Komunikasi efektif, kesabaran, dan resolusi konflik merupakan aspek-aspek yang membentuk keluarga harmonis menurut Kovikondala dkk. (2015), sehingga keterampilan mengelola konflik yang dikuasai oleh pasangan suami istri akan menunjang peningkatan keharmonisan keluarga.