BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kedisiplinan - PENINGKATAN KEDISIPLINAN DAN PRESTASI BELAJAR IPA MATERI PERUBAHAN WUJUD BENDA MELALUI METODE EKSPERIMEN DI KELAS IV SD NEGERI 2 KEMANGKON - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kedisiplinan

  a. Pengertian Kedisiplinan Mustari (2011: 42) berpendapat bahwa disiplin merujuk pada instruksi sistematis yang diberikan kepada murid (disciple). Untuk mendisiplinkan berarti menginstruksikan orang untuk mengikuti tatanan melalui aturan-aturan tertentu. Sikap disiplin adalah kesiapan yang kompleks dari seseorang individu untuk memperlakukan suatu obyek. Rachmad Natawijaya (dalam Suharjono, 2005: 3).

  Kedisiplinan menurut Mulyasa (2006: 21) bertujuan untuk membantu menemukan diri, mengatasi, dan mencegah timbulnya problem-problem disiplin, serta berusaha menciptakan situasi yang menyenangkan bagi peserta didik dalam kegiatan pembelajaran, sehingga mereka mentaati segala peraturan yang telah ditetapkan. Untuk menerapkan kedisiplinan pada peserta didik perlu dimulai dengan prinsip yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yakni sikap demokratis; sehingga peraturan disiplin perlu berpedoman pada hal-hal berikut, yakni dari, oleh dan untuk peserta didik, sedangkan untuk guru adalah tut wuri handayani.

  8 b. Strategi Untuk Menerapkan Kedisiplinan Ada sembilan strategi untuk menerapkan kedisiplinan pada peserta didik menurut pendapat Reisman dan Payne (dalam Mulyasa,

  2006: 21), antara lain: 1) Konsep diri (self-concept); strategi ini menekankan bahwa konsep- konsep diri masing-masing individu merupakan factor penting dari setiap perilaku. Untuk menumbuhkan konsep diri, guru disarankan bersikap empatik, menerima, hangat, dan terbuka, sehingga peserta didik dapat mengeksplorasikan pikiran dan perasaanya dalam memecahkan masalah.

  2) Ketrampilan berkomunikasi (communication skill); guru harus memiliki ketrampilan komunikasi yang efaktif agar guru mampu menerima semua perasaan, dan mendorong timbulnya kepatuhan peserta didik.

  3) Konsekuensi-konsekuensi logis dan alami (natural and logical ); perilaku-perilaku yang salah terjadi karena peserta

  consequences

  didik telah mengembangkan kepercayaan yang salah terhadap dirinya. Hal ini mendorong munculnya perilaku-perilaku salah.

  Untuk itu guru disarankan: a) menunjukan secara tepat tujuan perilaku yang salah, sehingga membantu peserta didik dalam mengatasi perilakunya, dan b) menamfaatkan akibat-akibat logis dan alami dari perilaku yang salah.

  4) Klasifikasi nilai (values clarification); strategi ini digunakan untuk membantu peserta didik dalam menjawab pertanyaannya sendiri tentang nilai-nilai dan membentuk system nilainya sendiri. 5) Analisis transaksional (transactional analysis); disarankan agar guru berperan sebagai orang dewasa, terutama apabila berhadapan dengan peserta didik yang menghadapi masalah. 6) Terapi realitas (reality therapy); sekolah harus berupaya mengurangi kegagalan dan meningkatkan keterlibatan. Dalam hal ini guru harus bersikap positif dan bertanggung jawab. 7) Disiplin yang terintegrasi (assertive discipline); metode ini menekankan pengendalian penuh oleh guru untuk mengembangkan dan mempertahankan peraturan. Prinsip-prinsip modifikasi yang sistematis diimplementasikan di dalam kelas, termasuk pemanfaatan papan tulis untuk menulis nama-nama pesrta didik yang berperilaku menyimpang.

  8) Modifikasi perilaku (behavior modification); perilaku salah disebabkan oleh lingkungan, sebagai tindakan remidiasi.

  Sehubungan dengan hal tersebut, dalam pembelajaran perlu diciptakan lingkungan yang kondusif.

  9) Tantangan bagi disiplin (dare to discipline); guru diharapkan cekatan, sangat terorganisasi, dan dalam pengendalian yang tegas.

  Pendekatan ini mengasumsikan bahwa peserta didik akan menghadapi berbagai keterbatasan pada hari-hari pertama di sekolah, dan guru perlu membiarkan mereka untuk mengetahui siapa yang berada dalam posisi sebagai pemimpin.

  Reisman dan Payne (dalam Mulyasa, 2006: 22) berpendapat bahwa, untuk menerapkan kedisiplinan pada peserta didik dengan strategi tersebut, harus mempertimbangkan berbagai situasi, dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu guru harus melakukan hal-hal berikut:

  a) Mempelajari pengalaman peserta didik disekolah melaui kartu catatan kumulatif; b) Mempelajari nama-nama peserta didik secara langsung, misalnya melalui daftar hadir di kelas; c) Mempertimbangkan lingkungan pembelajaran dan lingkungan peserta didik; d) Memberikan tugas yang jelas, dapat dipahami, sederhana dan tidak bertela-tela; e) Menyiapkan kegiatan sehari-hari agar apa yang dilakukan dalam pembelajaran sesuai dengan yang direncanakan, tidak terjadi banyak penyimpangan;

  f) Bergairah dan semangat dalam melakukan pembelajaran, agar dijadikan sebagai tauladan bagi peserta didik; g) Berbuat sesuatu yang berbeda dan bervariasi, jangan monoton; sehingga membantu disiplin dan gairah belajar peserta didik; h) Menyesuaikan argumentasi demngan kemampuan peserta didik, jangan memaksakan peserta didik sesuai dengan pemahaman guru, atau mengukur kemampuan peserta didik dari kemampuan gurunya; dan i) Membuat peraturan yang jelas dan tegas agar dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh peserta didik dan lingkungannya.

  c. Cara Membentuk Karakter Disiplin Aunillah (2011: 56) berpendapat ada sepuluh hal yang perlu dilakukan oleh guru untuk membentuk karakter disiplin dada diri peserta didik, diantaranya adalah: 1) Konsisten

  Dalam hal ini, guru harus membuat kesepakatan-kesepakatan dengan peserta didik selama ia berada di dalam lingkungan sekolah, seperti kesepakatan untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat, tidak membuat gaduh, masuk tepat waktu, dan mematuhi berbagai peraturan yang telah ditetapkan. Setelah kesepakatan antara guru dan peserta didik tercipta, guru harus berusaha bersikap konsisten dengan cara tidak mengubah kesepakatan itu, apalagi demi kepentingannya. Bersikap konsisten dalam mematuhi peraturan dapat menumbuhkan sikap disiplin dalam diri pesrerta didik.

  2) Bersifat Jelas Sikap kedisiplinan harus ditanamkan kepada peserta didik dengan membuat peraturan yang jelas. Peraturan yang jelas dan sederhana dapat mempermudah peserta didik untuk melakukannya. Sebaliknya, peraturan yang kurang jelas dan cenderung berbelit- belit dapat menjadikan peserta didik merasa enggan untuk mematuhi peraturan tersebut sehingga ia akan melakukan pemberontakan dengan cara melanggarnya.

  3) Mempertahankan Harga Diri Jika ada peserta didik yang melakukan pelanggaran kedisiplinan, sebaiknya guru jangan menegur di depan orang banyak. Cara seperti itu dapat membuatnya merasa malu dan cenderung berusaha mempertahankan sikapnya. Alangkah lebih baik jika guru memberikan nasihat secara personal sehingga dengan cara seperti ini membuatnya merasa dihargai.

  4) Sebuah Alasan yang Bisa Dipahami Jika guru hendak memberikan peraturan kepada peserta didik, sebaiknya disertai dengan alasan-alasan yang mudah dipahami tentang peraturan tersebut. Jangan biarkan peserta didik menerima peraturan itu tanpa pemahaman yang memadai tentangnya. Sebaliknya, dengan memberikan alasan yang mudah dipahami, peserta didik akan mentaati peraturan tersebut dengan penuh kesadaran hati.

  5) Menghadiahkan Pujian Tidak ada salahnya jika guru memberikan apresiasi berupa pujian kepada peserta didik apabila ia telah mematuhi aturan dan tata tertib kedisiplinan yang ada di sekolah. Sebuah pujian yang dikatakan secara jujur dan terbuka oleh seorang guru akan membuat peserta didik merasa dihargai sehingga ia tidak merasa tertekan dengan adanya peraturan tersebut.

  6) Memberikan Hukuman Hukuman hendaknya tidak sampai menyakiti fisik dan psikologis peserta didik. Guru harus memberikan hukuman yang mendidik, seperti membersihkan kelas dan lain sebagainya. 7) Bersikap Luwes Guru harus bersikap luwes dalam menegakan disiplin.

  Hindari sikap kaku terhadap peserta didik dalam menegakan peraturan supaya ia tidak merasa tertekan. Sebaliknya, peraturan dan hukuman harus disesuaikan dengan situasi peserta didik. 8) Melibatkan Peserta Didik

  Dalam membuat peraturan, peserta didik seharusnya ikut terlibat didalamnya. Jangan sampai peraturan dibuat secara sepihak karena hal itu dapat menimbulkan pertentangan pada dirinya. Dengan melibatkan peserta didik, setidaknya guru mengerti sesuatu yang diinginkan oleh peserta didik terhadap lingkungan sekolahnya.

  9) Bersikap Tegas Bersikap tegas bukan berarti bersikap kasar. Ketegasan dalam hal ini lebih berarti sebagai keseriusan guru dalam menerapkan peraturan kedisiplinan itu. Sehingga, dengan sendirinya guru juga berusaha mentaatinya.

  10) Jangan Emosional Guru harus menghindari emosi yang berlebihan dalam menghukum peserta didik. Karena hal itu dapat membuat guru tidak objektif dalam menghukum peserta didik.

  d. Indikator Keberhasilan Karakter Disiplin Hasan (dalam Fitri, 2012: 39) mengemukakan ada dua jenis indikator yang dikembangkan dalam pendidikan karakter ini. Pertama, indikator untuk kelas dan untuk sekolah. Kedua, indikator untuk mata pelajaran. Indikator sekolah dan guru kelas adalah penanda yang digunakan oleh kepala sekolah dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi sekolah sebagai lembaga pelaksana pendidikan budaya dan karakter bangsa. Indikator ini juga brkenaan dengan program dan kegiatan sekolah sehari-hari. Indikator mata pelajaran menggambarkan perilaku seorang peserta didik dengan mata pelajaran tertentu, salah satunya adalah IPA.

  Indikator Kedisiplinan yang dapat diterapkan didalam kelas antara lain: 1) Guru dan peserta didik datang tepat waktu.

  2) Menegakaan prinsip dengan memberikan punishment bagi yang melanggar dan reward bagi yang berprestasi.

  3) Menjalankan tata tertib sekolah.

  Indikator pendidikan karakter mata pelajaran IPA berhubungan dengan kedisiplinan dapat dilakukan dengan: 1) Penanaman ketelitian dan sistematisasi dalam melakukan percobaan.

  2) Pembinaan tanggung jawab melalui pengembalian alat-alat yang dipakai untuk percobaan ke tempat semula dalam keadaan rapi, bersih dan aman. 3) Pembinaan kejujuran melalui pembuatan laporan sesuai dengan hasil percobaan.

  e. Tujuan Penarapan Karakter Disiplin Brown dan Bown (dalam Gunawan, 2012: 269) mengemukakan tentang pentingnya disiplin dalam proses pendidikan dan pembelajaran untuk mengajarkan hal-hal berikut: 1) Rasa hormat terhadap otoritas/kewenangan; disiplin akan menyedarkan setiap siswa tentang kedudukannya, baik didalam kelas maupun diluar kelas, misalnya kedudukannya sebagai siswa yang harus hormat terhadap guru dan kepala sekolah.

  2) Upaya untuk menanamkan kerja sama; disiplin dalam proses belajar mengajar dapat dijadikan sebagai upaya untuk menanamkan kerjasama, baik antara siswa, siswa dengan guru, maupun siswa dengan lingkungannya.

  3) Kebutuhan untuk berorganisasi; disiplin dapat dijadikan sebagai upaya untuk menanamkan dalam diri setiap siswa mengenai kebutuhan berorganisasi. 4) Rasa hormat kepada orang lain; dengan ada dan dijunjungnya disiplin dalam proses belajar mengajar, setiap siswa akan tahu dan memahami hak dan kewajibannya, serta akan menghormati dan menghargai hak dan kewajiban orang lain.

  5) Kebutuhan untuk melakukan hal yang menyenangkan; dalam kehidupan selau dijumpai hal yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan. Melalui disiplin siswa dipersiapkan untuk mampu menghadapi hal-hal yang kurang atau tidak menyenangkan dalam kehidupan pada umumnya dan dalam proses belajar mengajarpada khususnya.

  6) Memperkenalkan contoh perilaku tidak disiplin; dengan memberikan contoh perilaku yang tidak disiplin diharapkan siswa dapat menghindari dirinya atau dapat membedakan mana perilaku disiplin dan tidak disiplin.

  Kedisiplinan merupakan hal yang utama dan pertama dalam menanamkan dan membiasakan peserta didik dalam belajar, karena dengan sikap disiplin tentu saja proses pendidikan akan berlangsung secara maksimal. Kedisiplinan merupakan salah satu hal yang ditekankan dalam membangun karakter anak di dalam pembelajaran, karena dengan disiplian anak akan terbiasa tepat waktu dalam melakuakan kegiatan sehari-hari, tidak hanya disekolah saja akan tetapi di rumah maupun di lingkungan masyarakat. Selain itu, kedisiplinan bertujuan membangun karakter pada peserta didik untuk mematuhi peraturan yang telah ditetapkan di dalam lingkungan belajar. Hal ini berkaitan dengan proses pembalajaran, jika peserta didik disiplin dalam mengikuti proses belajar, maka pembelajaran yang berlangsung akan menyenangkan bagi peserta didik.

  a. Hakikat Belajar 1) Pengertian Belajar

  Belajar memiliki pengertian yang beragam di dalam dunia pendidikan. Belajar menurut Djamarah (2002: 12) adalah suatu kata yang sudah akrab dengan semua masyarakat. Bagi para pelajar atau mahasiswa kata “belajar” merupakan kata yang tidak asing, bahkan sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua kegiatan mereka dalam menuntut ilmu di pendidikan formal.

  Kegiatan belajar mereka lakukan setiap waktu sesuai dengan keinginan. Entah malam hari, sore hari bahkan malam hari, karena kebiasaan belajar setiap anak berbeda-beda.

  Hamdani (2011: 17) mengemukakan sesungguhnya belajar adalah ciri khas manusia sehingga manusia dapat dibedakan dengan binatang. Belajar dilakukan manusia seumur hidup, kapan saja, dan dimana saja, baik di sekolah, kelas, jalanan dan dalam waktu yang tidak ditentukan sebelumnya. Belajar dilakukan manusia untuk tujuan tertentu. Belajar terjadi ketika ada interaksi antara individu dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.

  2) Ciri-Ciri Perubahan Tingkah Laku dalam Belajar Perubahan yang terjadi dalam diri seseorang banyak sekali baik sifat maupun jenisnya, oleh karena itu tidak semua perubahan yang terjadi pada diri seseorang merupakan perubahan dalam arti belajar. Dari hal diatas terdapat ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam belajar menurut pendapat (Slameto, 2010: 3), diantaranya:

  a) Perubahan terjadi secara sadar. Ini berarti bahwa seseorang yang belajar akan menyadari perubahan itu atau sekurang- kurangnya ia merasakan telah terjadi suatu perubahan pada dirinya; b) Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional.

  Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri seseorang barlangsung secara kesinambungan, tidak statis. Satu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses belajar berikutnya; c) Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif. Dalam perubahan belajar, perubahan-perubahan tersebut senantiasa bertambah dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian makin banyak usaha belajar itu dilakukan, makin banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh. Perubahan yang bersifat aktif artinya perubahan tersebut tidak terjadi dengan sendirinya melainkankarena usaha individu itu sendiri; d) Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara. Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat menetap atau permanen. Ini berarti tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap; e) Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah. Ini berarti perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai. Perubahan belajar terarah kepada perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari; f) Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku. Jika seorang belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap, ketrampilan, pengetahuan, dan sebagainya.

  3) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar Keberhasilan belajar dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, adapun faktor-faktor yang mempengaruhi belajar menurut Hanifah dan Suhana (2010: 8), antara lain:

  a) Peserta didik dengan sejumlah latar belakangnya, yang mencakup: tingkat kecerdasan, bakat, sikap, minat, motivasi, keyakinan, kesadaran, kedisiplinan dan tanggung jawab.

  b) Pengajar professional yang memiliki: kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi personal, kompetensi professional, kualifikasi pendidikan yang memadai dan kesejahteraan yang memadai.

  c) Atmosfir pembelajaran partisipasif dan interaktif yang dimanifestasikan dengan adanya komunikasi timbal balik dan multi arah (multiple comunication) secara aktif, kreatif, efektif, inovatif dan menyenangkan, yaitu: komunikasi antara guru dengan peserta didik, komunikasi antara peserta didik dengan peserta didik dan komunikasi kontekstual dengan integratif anatara guru, peserta didik dan lingkungannya.

  d) Sarana dan prasarana yang menunjang proses pembelajaran, sehingga peserta didik merasa betah dan bergairah untuk belajar, mencakup: lahan tanah, bangunan dan perlengkapan sekolah. e) Kurikulum sebagai kerangka dasar atau arah, khusus mengenai perubahan tingkah laku (behavior change) peserta didik secara integral, baik yang berkaitan dengan aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.

  f) Lingkungan agama, social, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi serta lingkungan alam sekitar, yang mendukung terlaksananya proses pembelajaran secara aktif, kreatif, efektif, inovatif dan menyenangkan.

  g) Atmosfir kepemimpinan pembelajaran yang sehat partisipatif, demokratis, dan situasional yang dapat membangun kebahagiaan intelektual, kebahagiaan emosional, kebahagiaan dalam merekayasa ancaman menjadi peluang, dan kebahagiaan spiritual.

  h) Pembiayaan yang memadai, baik biaya rutin maupun biaya pembangunan yang datangnya dari pihak pemerintah, orang tua, maupun stakeholder yang lainnya sehingga sekolah mampu melangkah maju dari sebagai pengguna dana menjadi penggali dana. 4) Prinsip-prinsip Belajar

  Djamarah (2008: 20) menyebutkan bahwa di dalam Teori Gestalt terdapat beberapa prinsip-prinsip belajar, diantaranya: a) Belajar berdasarkan keseluruhan Bahan pelajaran tidak dianggap terpisah, akan tetapi merupakan satu keseluruhan. Bahan pelajaran yang telah lama tersimpan di otak dihubung-hubungkan dengan bahan pelajaran yang baru saja dikuasai, sehingga tidak terpisah dan berdiri sendiri.

  b) Belajar adalah suatu proses perkembangan Anak-anak baru dapat mempalajari dan merencanakan bila ia telah matang untuk menarima bahan pelajaran itu. Manusia sebagai suatu organisme yang berkembang, kesediaanya mempelajari sesuatu tidak hanya ditentukan oleh kematangan jiwa batiniah, tetapi juga perkembangan anak karena lingkungan dan pengalaman.

  c) Peserta didik sebagai organisme keseluruhan Peserta didik tidak hanya intelektualnya saja, tetapi juga emosional dan jasmaniahnya. Dalam pengajaran moderen, selain mengajar guru juga mendidik untuk membentuk pribadi peserta didik.

  d) Terjadi transfer Belajar pada pokoknya yang terpenting penyesuaian pertama, yaitu memperoleh tanggapan yang tepat. Mudah atau sukarnya problem itu terutama adalah masalah pengamatan.

  Bila dalam suatu kemampuan telah dikuasai betul-betul, maka dapat dipindahkan untuk menguasai kemampuan yang lainya.

  e) Belajar adalah reorganisasi pengalaman Pengalaman adalah hasil dari suatu interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya. Misalnya, peserta didik terkena api, kejadian ini menjadi pengalaman bagi peserta didik. Karena api tersebut menyentuh kulitnya, ia merasa peanas dan kulitnya mengelupas. Dari pengalamannya itu peserta didik tidak akan mengulangi untuk bermain api. Dengan demikian, belajar itu baru timbul apabila seseorang menemukan suatu situasi/persoalan baru dalam kehidupannya. Dalam menanggapi hal tersebut ia akan menggunakan semua pengalaman yang telah dimilikinya, dengan kata lain peserta didik mengadakan analisis reorganisasi pengalamannya.

  f) Belajar harus dengan insight Insight adalah suatu saat dalam proses belajar dan seseorang melihat pengertian tentang sangkut paut dan hubungan-hubungan tertentu dalam unsur yang mengandung suatu problem.

  g) Belajar lebih berhasil bila berhubungan langsung dengan minat, keinginan dan tujuan.

  Hal itu terjadi bila banyak hubungan dengan apa yang diperlukan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Disekolah progresif, peserta didik diajak membicarakan tentang proyek/unit agar mengetahui tujuan yang akan dicapai dan yakian akan manfaatnya.

  h) Belajar berlangsung terus menerus Belajar tidak hanya berlangsung disekolah, tetapi juga diluar sekolah. Oleh karena itu, dalam rangka untuk memperoleh ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya, peserta didik harus banyak belaja, tidak hanya di sekolah saja, akan tetapi belajar diluar sekolah. Peserta didik dapat memperoleh pengetahuan atau pengalaman sendiri-sendiri dirumah atau dimasyarakat.

  b. Hakikat Prestasi Belajar 1) Pengertian Prestasi

  Prestasi menurut Arifin (2011: 12) berasal dari bahasa Belanda yang artinya prestatie. Kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi prestasi yang berarti hasil usaha yang dicapai, dalam hal ini yang dimaksud dengan kegiatan tersebut adalah belajar. Prestasi belajar pada umumnya berkenaan dengan aspek pengetahuan, sedangkan sapek belajar meliputi pembentukan watak peserta didik melalui belajar. Belajar pada dasarnya merupakan proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

  Prestasi menurut Suharjono (2005: 3) adalah hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya) belajar, penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya, ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru. 2) Indikator Prestasi Belajar

  Syah (2011: 216) berpendapat bahwa pada prinsipnya pengungkapan prestasi belajar ideal meliputi seganap ranah psikologis yang berubah sebagai akibat pangalaman dan proses belajar siswa. Namun, dalam mengungkapkan ranah tersebut sangat sulit. Hal ini disebabkan perubahan hasil belajar itu ada yang bersifat intangible (tidak dapat diraba). Oleh karena itu, yang dapat dilakukan guru dalam hal ini adalah hanya mengambil cuplikan perubahan tingkah laku yang dianggap penting dan diharapkan dapat mencerminkan perubahan yang terjadi sebagai hasil belajar siswa, baik yang berdimensi cipta dan rasa maupun yang berdiemensi karsa. 3) Prinsip-prinsip Pengukuran Prestasi Belajar

  Gronlund (dalam Azwar, 2011: 18) merumuskan beberapa prinsip dasar dalam pengukuran prestasi sebagai berikut: a) Tes prestasi harus mengukur hasil belajar yang telah dibatasi secara jelas sesuai dengan tujuan instruksioner. b) Tes prestasi harus mengukur suatu sample yang representative dari hasil belajat dan dari materi yang dicakup oleh program instruksioner atau pengajaran.

  c) Tes prestasi harus berisi item-item dengan tipe yang paling cocok guna mengukur hasil belajar yang diinginkan.

  d) Tes prestasi harus dirancang sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaan hasilnya.

  e) Reliabilitas tes prestasi harus disesuaikan setinggi mungkin dan hasil ukurnya harus ditefsirkan dengan hati-hati.

  f) Tes prestasi harus bisa digunakan untuk meningkatkan belajar peserta didik.

  4) Pendekatan Evaluasi Prestasi Belajar Tardif (dalam Syah, 2007: 216) mengemukakan bahwa ada dua macam pendekatan yang amat populer dalam mengevaluasi dan menilai tingkat keberhasilan atau prestasi belajar, yakni: 1) atau Norm refrenced assasment; dan 2)

  Norm referencing

Criterion referencing atau Criterian Referenced assessment. Di

  Indonesia, pendekatan-pendekatan ini lazim disebut Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan Patokan (PAP).

  Pendekatan-pendekatan ini sering digunakan dalam dunia pendidikan, baik dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) bahkan sampai Perguruan Tinggi.

  Table 2.1 Jenis, Indikator dan Cara Evaluasi Prestasi

  3. Observasi

  3. Dapat menggeneralisasi- kan (membuat prinsip umum).

  1. Tes lisan;

  2. Tes tertulis;

  3. Observasi;

  1. Tes lisan;

  2. Tes tertulis;

  1. Tes lisan;

  1. Dapat menghubungkan materi-materi, sehingga menjadi kesatuan baru;

  2. Tes tertulis;

  1. Tes lisan;

  2. Pemberian tugas;

  3. Observasi;

  1. Tes lisan;

  2. Pemberian tugas;

  1. Tes lisan;

  2. Dapat menyimpulkan;

  2. Dapat mengklasifikasikan Atau memilah-milih.

  Ranah/ Jenis Prestasi Indikator Cara Evaluasi

  6. Sintesis (membuat paduan Baru dan utuh)

  A. Ranah Cipta (Kognitif)

  1. Pengamatan

  2. Ingatan

  3. Pemahaman

  4. Aplikasi/ Penerapan

  5. Analisis (pemeriksaan dan pemilihan secara teliti).

  1. Dapat menunjukan;

  1. Dapat menguaraikan;

  2. Dapat membandingkan; 3. Dapat menghubungkan.

  1. Dapat menyebutkan;

  2. Dapat menunjukan Kembali.

  1. Dapat menjelaskan;

  2. Dapat mendefinisikan dengan lisan sendiri.

  1. Dapat memberikan contoh;

  2. Dapat menggunakan secara tepat.

  2. Pemberian tugas; B. Ranah Rasa (Afektif)

  1. Penerimaan

  1. Menunjukan sikap

  1. Tes tertulis; menerima;

  2. Tes skala

  2. Menunjukan sikap sikap; menolak.

  3. Observasi.

  2. Sambutan

  1. Kesediaan

  1. Tes skala berpartisipasi/ sikap; terlibat;

  2. Pemberian

  2. Kesediaan tugas memanfaatkan.

  3. Observasi.

  3. Apresisi

  1. Menganggap penting

  1. Tes skala pe- (sikap dan bermanfaat; nilaian sikap; menghargai)

  2. Menganggap indah dan

  2. Pemberian harmonis; tugas;

  3. Mengagumi.

  3. Observasi.

  4. Interrnalisasi

  1. Mengakui dan meyakini;

  1. Tes skala (pendalaman)

  2. Mengingkari. sikap;

  2. Pemberian tu- gas ekspensif (yang menya- takan sikap) dan tugas proyektif (yang menya- takan perki- raan atau ramalan).

  5. Karakteristik

  1. Melambangkan atau

  1. Pemberian Menjadikan; tugas

  2. Menjelmakan dalam ekspensif dan pribadi dan perilaku proyektif; sehari-hari.

  2. Observasi.

  C. Rasa Karsa (Psikomotor)

  1. Ketrampilan Kecakapan

  1. Observasi; bergerak dan mengkoordinasikan gerak

  2. Tes tindakan. bertindak mata, tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya.

  2. Kecakapan

  1. Kefasihan melafalkan/

  1. Tes lisan; ekspresi mengucapkan;

  2. Observasi; verbal dan non

  2. Kecakapan membuat 3. Tes tindakan. verbal mimik dan gerakan jasmani

  a. Pengertian IPA

  IPA adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala melalui serangkaian proses yang dikenal dengan proses ilmiah yang dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai produk ilmiah yang tersusun atas tiga komponen terpenting berupa konsep, prinsip, dan teori yang berlaku secara universal. Trianto (2011: 141). Sedangkan Aly dan Rahma (2010: 18) berpendapat bahwa IPA adalah suatu pengetahuan teoritis yang diperoleh atau disusun dengan cara yang khusus, yaitu melakukan observasi eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori, eksperimentasi, observasi dan demikian seterusnya kait-mengait antara cara yang satu dengan yang lainnya.

  b. Dimensi IPA Sulistyorini (2007: 9) mengemukakan, pada hakikatnya IPA dipandang dari segi produk, proses dan segi pengembangan sikap.

  Artinya, belajar IPA memiliki dimensi proses, dimensi hasil (proses) dan dimensi pengambangan sikap ilmiah. Ketiga dimensi tersebut saling terkait. Ini berarti proses pembelajaran IPA seharusnya mengandung ketiga dimensi IPA tersebut. Dimensi-dimensi tersebut diantaranya:

  1) IPA Sebagai Produk

  IPA sebagai produk merupakan akumulasi hasil upaya para perintis IPA terdahulu dan umumnya telah tersusun secara lengkap dan sistematis dalam bentuk buku teks. Buku teks IPA merupakan

  

body of knowledge dari IPA. Buku teks memang penting, tetapi ada

  sisi lain IPA yang tidak kalah penting yaitu dimensi “proses”, maksudnya proses mendapatkan ilmu itu sendiri. Dalam pengajaran IPA seorang guru dituntut untuk dapat mengajak peserta didiknya memanfaatkan alam sekitar sebagai sumber belajar. Alam sekitar merupakan summber belajar yang paling otentik dan tidak akan habis digunakan.

  2) IPA Sebagai Proses Proses yang dimaksud disini adalah proses mendapatkan IPA.

  Seperti yang kita ketahui IPA disusun dan diperoleh melalui metode ilmiah. Jadi yang dimaksud proses IPA tidak lain adalah metode ilmiah. Untuk anak SD, metode ilmiah dikembangkan secara bertahap dan berkesinambungan, dengan harapan pada akhirnya akan terbentuk paduan yang lebih utuh sehingga anak dapat melakukan penelitian sederhana. Disamping itu, tahap pengembangannya disesuaikan dengan tahapan dari suatu proses penelitian atau eksperimen, yakni meliputi: 1) observasi; 2) klasifikasi; 3) interpretasi; 4) prediksi; 5) hipotesis; 6) mengendalikan variable; 7) merencanakan dan melaksanakan penelitian; 8) inferensi; 9) aplikasi; dan 10) komunikasi.

  Jadi, pada hakikatnya dalam proses mendapatkan IPA diperlukan 10 ketrampilan dasar. Oleh karena itu, jenis-jenis ketrampilan dasar yang diperlukan dalam proses mendapatkan IPA disebut juga “ketrampilan proses”. Untuk memahami suatu konsep, peserta didik tidak diberi tahu oleh guru, akan tetapi guru memberi peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan ketrampilan dasar melalui percobaan dan membuat kesimpulan. Mengapa penemuan begitu penting bagi proses belajar siswa?. J. Bruner (dalam Sulistyorini, S. 2007: 10) memberikan empat alasan, yaitu:

  a) Dapat mengembangkan kemampuan intelektual peserta didik;

  b) Mendapatkan motivasi intrinsik;

  c) Menghayati bagaimana ilmu itu diperoleh; d) Memperoleh daya ingat yang lebih lama retensinya.

  3) IPA Sebagai Pemupukan Sikap

Sikap pada pengajaran IPA di SD/MI di batasi pengertiannya pada “sikap ilmiah pada alam sekitar”. Menurut Wynne Harlend

  dan Hendro Darmojo (dalam Sulistyorini, 2007: 10), ada sembilan aspek dari ilmiah yang dapat dikembangkan pada anak usia SD/MI, yaitu:

  a) Sikap ingin tahu;

  b) Sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru; c) Sikap kerja sama;

  d) Sikap kerja sama;

  e) Sikap tidak berprasangka;

  f) Sikap mawas diri;

  g) Sikap bertanggung jawab;

  h) Sikap berpikir bebas, dan i) Sikap kedisiplinan diri.

  Sikap ilmiah ini bisa dikembangkan ketika siswa melakukan diskusi, percobaan, simulasi, atau kegiatan dilapangan. Dalam hal ini, maksud dari sikap ingin tahu sebagai bagian sikap ilmiah adalah suatu sikap yang selalu ingin mendapatkan jawaban yang benar dari objek yang diamati. Anak usia SD/MI mengungkapkan rasa ingin tahunya dengan jalan bertanya: kepada gurunya, temannya, atau kepada diri sendiri. Melalui kerja kelompok, maka “tembok ketidaktahuan” dapat dikuak untuk memperoleh pengetahuan. Di sini, berlangsungnya kerja sama dimaksudkan untuk memperoleh pengetahuan lebih banyak. Melalui kerja sama, anak didik akan belajar bersifat kooperatif dan menyadari bahwa pengetahuan yang dimiliki orang lain lebih banyak dan lebih sempurna daripada yang dimilikinya. Oleh karena itu, untuk meningkatkan pengetahuannya, peserta didik merasa membutuhkan kerjasama dengan orang lain. c. Nilai-nilai IPA Trianto (2011: 138) berpendapat, sebagian besar ilmuan mengatakan bahwa IPA tidak menjangkau nilai-nilai moral atau etika, juga tidak membahas keindahan (estetika), tetapi IPA mengandung nilai-nilai tertentu yang berguna bagi masyarakat. Yang dimaksud nilai disini adalah sesuatu yang dianggap berharga yang terdapat dalam IPA dan menjadi tujuab yang akan dicapai. Nilai-nilai yang terkandung dalam IPA bukanlah niali-nilai nonkebendaan, diantaranya: 1) Nilai Praktis

  Penerapan dari penemuan-penemuan IPA telah melahirkan teknologi yang secara langsung dapat dimanfaatkan masyarakat.

  Kemudian dengan teknologi tersebut membantu pula mengembangkan penemuan-penemuan baru yang secara tidak langsung juga bermanfaat bagi kehidupan. Dengan demikian, sains mempunyai nilai praktis, yaitu sesuatu yang bermanfaat dan berharga dalam kehidupan sehari-hari. 2) Nilai intelektual

  Metode ilmiah yang digunakan dalam IPA banyak dimanfaatkan manusia untuk memecahkan masalah. Tidak saja masalah-masalah alamiah, tetapi juga masalah-masalah sosial, ekonomi dan sebagainya. Metode ilmiah telah melatih ketrampilan, ketekunan, melatih mengambil keputusan dengan pertimbangan yang rasional dan menuntut sikap-sikap ilmiah bagi penggunanya. Keberhasilan memecahkan masalah tersebut akan memberikan kepuasan intelaktual.

  3) Nilai sosial, budaya, ekonomi dan politik

  IPA mempunyai nilai-nilai sosial-ekonomi-politik berarti kemajuan IPA dan teknologi suatu bangsa, menyebabkan bangsa tersebut memperoleh kedudukan yang kuat dalam peraturan sosial- ekonomi-politik internasional.

  4) Nilai kependidikan Berkembangnya IPA dan teknologi serta diterapkannya psikologi belajar pada pelajaran IPA, maka IPA diakui bukan hanya sebagai suatu mata pelajaran melainkan sebagai alat pendidikan. Artinya pelajaran IPA dan pelajaran lainnyamerupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Nilai-nilai tersebut antara lain: a) Kecakapan bekerja dan berpikir secara teratur dan sistematis menurut metode ilmiah.

  b) Ketrampilan dan kecakapan dalam mengadakan pengamatan, dan mempergunakan peralatan untuk memecahkan masalah.

  c) Memiliki sikap ilmiah yang diperlukan dalam memecahkan masalah.

  5) Nilai keagamaan Mempelajari IPA meningkatkan kepercayaan kepada Tuhan.

  Karena secara empiris orang yang mempelajari IPA, akan semakin sadar dengan adanya hukum-hukum alam, sadar akan adanya keterkaitan di alam raya ini dengan Maha Pengaturnya. Walau bagaimanapun manusia membaca, mempelajari dan menerjemahkan alam, manusia akan semakin sadar akan keterbatasan ilmunya.

  d. Fungsi dan tujuan IPA Secara khusus fungsi dan tujuan IPA berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi Depdiknas (dalam Trianto 2011: 138) adalah sebagai berikut: 1) Menanamkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

  2) Mengembangkan ketrampilan, sikap dan nilai ilmiah. 3) Mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang melek sains dan teknologi.

  4) Menguasai konsep sains untuk bekal hidup dimasyarakat dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

  Dengan demikian, semakin jelas bahwa proses pebelajaran IPA lebih ditekankan pada pendekatan ketrampilan proses, sehingga siswa dapat menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep, teori-teori dan sikap ilmiah siswa yang dapat mempengaruhi kualitas pendidikan.

  Untuk itu perlu dikembangkan suatu model pembelajaran IPA yang melibatkan siswa untuk berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-idenya, misalnya saja menggunakan model pembelajaran Problem Based Instruction pada pelajaran IPA materi Perubahan Wujud Benda. Pada model pembelajaran ini, siswa ditekankan pada kemampuan menyelesaikan permasalahan melalui pengamatan, kemudian menyajikan laporan hasil pengamatannya untuk dipaparkan, sehingga dari kegiatan pembelajaran tersebut dapat menggali pengetahuan siswa.

   Standar Kompetensi:

  6. Memahami beragam sifat dan perubahan wujud serta berbagai cara penggunaan benda berdasarkan sifatnya.

   Kompetensi Dasar:

  6.1. Menidentifikasi wujud benda padat, cair, dan gas memiliki sifat tertentu.

  6.2. Mendeskripsikan terjadinya perubahan wujud cair padat cair ; cait gas cair ; padat gas.

   Materi Pokok: Perubahan Wujud Benda

  Gas Padat

  Cair

Gambar 2.1 Bagan perubahan wujud benda

  Tabel 2.2 Perubahan Wujud Benda

  Perubahan Perubahan Wujud Faktor yang mempengaruhi perubahan Menghablur Perubahan wujud benda dari gas menjadi padat

  Suhu dan waktu Menyublim Perubahan wujud benda dari padat menjadi cair

  Suhu dan waktu Mengembun Perubahan wujud benda dari gas menjadi cair

  Suhu dan waktu Menguap Perubahan wujud benda dari air menjadi gas

  Suhu dan waktu Mencair Perubahan wujud benda dari padat menjadi cair

  Suhu dan waktu Membeku Perubahan wujud benda dari cair menjadi padat

  Suhu dan waktu Sumber : Sulistyanto dan Edi (2008: 81) 7.

Metode Eksperimen

  a. Pengertian Metode Eksperimen Asmani (2012: 34) berpendapat bahwa metode eksperimen adalah metode pemberian kesempatan kepada anak didik, baik perorangan atau kelompok, untuk dilatih melakukan sesuatu proses atau percobaan”.

  Dengan metode ini, anak didik diharapkan dapat sepenuhnya terlibat dalam perencanaan eksperimen, melakukan, menemukan fakta, mengunpulkan data, mengendalikan variabel, dan memecahkan masalah yang dihadapinya secara nyata, sedangkan menrut Sagala (2009 : 61) berpendapat bahwa metode eksperimen adalah cara penyajian bahan pelajaran peserta didik melakukan percobaan dengan mengalami untuk membuktikan sendiri sesuatu pertanyaan atau hipotesis yang dipelajari.

  Djamarah dan Zain (2010: 84) berpendapat bahwa metode

  

eksperimen (percobaan) adalah penyajian pembelajaran dengan peserta

  didik melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri se suatu yang dipelajari”. Dalam proses pembelajaran dengan metode percobaan ini, peserta didik diberi kesempatan untuk mengalami sendiri atau melakukan sendiri, mengikuti suatu proses, mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan dan menarik kesimpulan sendiri mengenai suatu objek, keadaan, atau proses sesuatu.

  Metode eksperimen merupakan metode yang melibatkan siswa didalam suatu percobaan, mengamati dan membuktikan sendiri kebenaran yang sedang diamatinya. Hal ini diharapkan akan mempermudah siswa dalam memahami suatu materi, karene siswa menglami secara langsung.

  b. Kelebihan Metode Eksperimen Sagala (2010: 220) berpendapat metode eksperimen mempunyai kebaikan sebagai berikut:

  1. Metode ini dapat membuat siswa lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan percobaannya sendiri daripada hanya menerima kata guru atau buku saja.

  2. Dapat mengembangkan sikap untuk mengadakan studi eksploratoris tentang sains dan teknologi, suatu sikap dari seseorang ilmuwan.

  3. Metode ini didukung oleh asas-asas didaktik modern, antara lain: a) siswa belajar dengan mengalami atau mengamati sendiri suatu proses atau kejadian, b) siswa terhindar jauh dari verbalisme, c) memperkaya pengalaman dengan hal-hal yang bersifat objektif dan realistis, d) mengembangkan sikap berpikir ilmiah, dan e) hasil belajar akan tahan lama dan internalisasi.

  Roestiyah (2008: 82) mengemukakan eksperimen sering kali digunakan dalam pembelajaran karena memiliki kelebihan sebagai berikut:

  1. Dengan eksperimen siswa terlatih menggunakan metode ilmiah dalam menghadapi segala masalah, sehingga tidak mudah percaya pada sesuatu yang belum pasti kebenarannya, dan tidak mudah percaya pula kata orang, sebelum ia membuktikan kebenarannya.

  2. Mereka lebih aktif berpikir dan berbuat, hal mana itu sangat dikehendaki oleh kegiatan mengajar belajar yang modern, dimana siswa lebih banyak aktif belajar sendiri dengan bimbingan guru.

  3. Siswa dalam melaksanakan proses eksperimen di samping memperoleh ilmu pengetahuan, juga menemukan pengalaman praktis serta keterampilan dalam menggunakan alat-alat percobaan.

  4. Dengan eksperimen siswa membuktikan sendiri kebenaran sesuatu teori, sehingga akan mengubah sikap mereka yang tahayul, ialah peristiwa-peristiwa yang tidak masuk akal.

  c. Langkah-langkah Metode Eksperimen Jusuf (dalam Sudaryo 1991: 39) berpendapat bahwa langkah- langkah penggunaan metode eksperimen sebagai berikut:

  No Guru Siswa

  1 Menetapkan tujuan percobaan. Mendengarkan petunjuk guru dengan cermat.

  2 Mempersiapkan alat-alat yang digunakan.

  Beberapa siswa membantu guru mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan.

  3 Memperhitungkan banyaknya siswa dikelas itu, agar tidak berdesak-desakan.

  Menyiapkan alat tulis untuk mencatat hasil percobaannya.

  4 Kalau alat mencukupi setiap anak dapat melakukan percobaan sendiri, kalau alatnya tidak mencukupi maka harus dibentuk kelompok.

  Menerima dan mempersiapkan alat-alat yang akan dipergunakan dalam percobaan.

  5 Memperhatikan faktor keamanan dari percobaan.

  Menangani alat dengan hati- hati.

  6 Menjaga kedisiplinan agar alat tidak dipergunakan untuk main-main.

  Tidak memainkan alat-alat percobaan.

  7 Memberikan penjelasan pada siswa apa yang harus dilakukan, diperhatikan dan

  Memperhatikan penjelasan terakhir agar seluruh proses percobaan dapat berjalan apa yang tidak boleh seperti yang diharapkan. dilakukan.

  8 Mempersiapkan siswa untuk Melakukan percobaan dengan melakukan percobaan. teliti dan mencatat hasilnya.

  9 Selama percobaan guru Jika terjadi kebingungan maka mendampingi siswa siswa dapat menanyakan melakukan percobaan. kepada guru.

  10 Setelah percobaan selesai guru Laporan disiapkan untuk mengumpulkan hasil laporan diserahkan guru. percobaan untuk diperiksa.

  11 Meneliti apakah semua alat Membersihkan semua alat yang sudah bersih dan disimpan telah digunakan. kembali pada tempatnya.

  d. Teknik Penerapan Metode Eksperimen Roestiyah (2008: 81) berpendapat bahwa teknik eksperimen dapat digunakan secara efektif dan efisien, apabila dalam pelaksanaannya memperhatikan hal-hal berikut

  1. Dalam eksperimen setiap siswa harus mengadakan percobaan, maka jumlah alat dan bahan atau materi percobaan harus cukup bagi tiap siswa.

  2. Agar eksperimen itu tidak gagal dan siswa menemukan bukti yang meyakinkan, atau mungkin hasilnya tidak membahayakan, maka kondisi alat dan mutu bahan percobaan yang digunakan harus baik dan bersih.

  3. Kemudian dalam eksperimen siswa perlu teliti dan konsentrasi dalam mengamati proses percobaan, maka perlu adanya waktu yang cukup lama, sehingga mereka menemukan pembuktian kebenaran dari teori yang dipelajari itu.

  4. Siswa dalam eksperimen adalah sedang belajar dan berlatih, maka perlu diberi petunjuk yang jelas, sebab mereka disamping memperoleh pengetahuan, pengalaman serta keterampilan, juga kematangan jiwa dan sikap perlu diperhitungkan oleh guru dalam memilih obyek eksperimen itu.

  5. Perlu dimengerti juga bahwa tidak semua masalah bisa dieksperimenkan, seperti masalah yang mengenai kejiwaan, beberapa segi kehidupan sosial dan keyakinan manusia. Kemungkinan lain karena sangat terbatasnya suatu alat, sehingga masalah itu tidak bisa diadakan percobaan karena alatnya belum ada.

  Bila siswa akan melaksanakan suatu eksperimen perlu memperhatikan prosedur sebagai berikut: a) Perlu dijelaskan kepada siswa tentang tujuan eksperimen, mereka harus memahami masalah yang akan dibuktikan melalui eksperimen.

  b) Kepada siswa perlu diterangkan pula tentang: 1) Alat-alat serta bahan-bahan yang akan digunakan dalam percobaan.

  2) Agar tidak mengalami kegagalan siswa perlu mengetahui variabel-variabel yang harus dikontrol dengan ketat.

  3) Urutan yang akan ditempuh sewaktu eksperimen berlangsung.

  4) Seluruh proses atau hal-hal yang penting saja yang akan dicatat.

  5) Perlu menetapkan bentuk catatan atau laporan berupa uraian, perhitungan, grafik dan sebagainya.

  c) Selama eksperimen berlangsung, guru harus mengawasi pekerjaan siswa. Bila perlu memberi saran atau pertanyaan yang menunjang kesempurnaan jalannya eksperimen.

  d) Setelah eksperimen selesai guru harus mengumpulkan hasil penelitian siswa, mendiskusikan ke kelas, dan mengevaluasi dengan tes atau sekedar tanya jawab.

Dokumen yang terkait

PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA MELALUI METODE DISKUSI KELOMPOK DI KELAS IV SD NEGERI 2 PELITA BANDAR LAMPUNG

0 8 114

PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA MELALUI METODE DISKUSI KELOMPOK DI KELAS IV SD NEGERI 2 PELITA BANDAR LAMPUNG

0 7 30

PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPA MATERI PERUBAHAN WUJUD BENDA DENGAN METODE DEMONSTRASI PADA SISWAKELAS IV SDN 3 KEDONDONG KABUPATEN PESAWARAN TAHUN PELAJARAN 2012 - 2013

0 12 58

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN PRESTASI BELAJAR IPA MELALUI METODE DEMONSTRASI KELAS IV SD NEGERI 2 JATI AGUNG AMBARAWA KABUPATEN PRINGSEWU

0 8 68

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN PRESTASI BELAJAR IPA MELALUI METODE DEMONTRASI PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI 2 PRINGSEWU TIMUR KABUPATEN PRINGSEWU

0 5 48

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MELALUI METODE DISKUSI KELOMPOK KECIL MATERI POKOK BENDA DAN SIFATNYA KELAS IV SD NEGERI 2 KEDAMAIAN BANDAR LAMPUNG

0 7 41

PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR IPA MATERI PERUBAHAN SIFAT BENDA AKIBAT DILETAKKAN DI UDARA TERBUKA MELALUI METODE EKSPERIMEN PADA SISWA KELAS 3 SDN TEGALREJO 02 SALATIGA TAHUN PELAJARAN` 2014 2015 SKRIPSI

0 0 122

PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR MELALUI METODE EKSPERIMEN PADA PEMBELAJARAN IPA MATERI PERUBAHAN WUJUD BENDA PADA SISWA KELAS IV DI MI TEGALWATON KECAMATAN TENGARAN KABUPATEN SEMARANG TAHUN PELAJARAN 20132014 (PTK KOLABORATIF) SKRIPSI Diajukan untuk Memperol

0 0 125

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Belajar - 11 BAB II NEW

0 5 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Lansia - Nanda Puspitasari BAB II

0 0 28