TRI ASTUTI BAB II

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevan Penelitian tentang implikatur masih dapat diadakan lebih lanjut, baik penelitian

  yang bersifat melengkapi dengan menggunakan hasil-hasil yang sudah ada atau penelitian yang bersifat baru. Penelitian mengenai implikatur dalam wacana komik pernah dilakukan oleh Nurlaela (2008), dan Ruswati (2008) sedangkan wacana cerkak oleh Yunita Tresnasari (2009).

  Penelitian dalam wacana komik dilakukan oleh Nurlaela yang berjudul

  

Implikatur dalam Wacana Komik pada Majalah “Bobo” dengan menggunakan

  metode deskriptif kualitatif. Datanya berupa tuturan dalam wacana komik pada majalah Bobo yang berjumlah 99 tuturan yang mengandung implikatur. Sedangkan sumber datanya adalah tuturan yang terdapat dalam majalah Bobo yang terbit pada Februari-Maret 2008 dan juli 2008. Edisi 7 Februari 2008, 21 Februari 2008, 28 Februari, 6 Maret 2008, 20 Maret 2008, 10 Juli 2008, 17 Juli 2008, dan 24 Juli 2008.

  Tujuan penelitian tersebut, yaitu: (1) mendeskripsikan implikatur yang terdapat dalam wacana komik pada majalah Bobo, dan (2) mendeskripsikan tuturan dalam wacana komik pada majalah Bobo diwujudkan melalui prinsip kerjasama, prinsip kesopanan, konteks tuturan dan skemata.

  Penelitian serupa juga dilakukan oleh Ruswati berjudul Implikatur dalam

  

Wacana Komik Mombi pada Majalah “Album Cerita dan Pengetahuan Mombi SD”

  dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data pada penelitian tersebut adalah tuturan berupa balon kata yang memiliki implikatur yang berjumlah 26 tuturan yang terdapat dalam wacana komik Mombi. Sumber data penelitian ini adalah wacana komik Mombi Vol. 31-2007, Vol. 32-2007, Vol. 34-2008, Vol. 35-2008, Vol. 37- 2008, Vol. 39-2008 yang merupakan salah satu wacana komik dalam majalah Album

  

Cerita dan Pengetahuan Mombi SD. Penelitian tersebut bertujuan untuk

  mendeskripsikan implikatur dalam wacana komik Mombi pada majalah Album Cerita dan Pengetahuan Mombi SD.

  Selain penelitian pada wacana komik juga terdapat penelitian tentang implikatur pada wacana cerkak (cerita cekak). Penelitian dalam wacana cerkak (cerita

  

cekak ) dilakukan oleh Yunita Tresnasari. Penelitian tersebut berjudul Implikatur

dalam Wacana Cerkak (Cerita Pendek Berbahasa Jawa) pada Majalah “Panjebar

Semangat” dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Jawa di SMP dengan

  menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sedangkan datanya berupa kalimat-kalimat yang berbentuk monolog dan dialog yang mengandung implikatur. Sumber data dalam penelitian tersebut adalah sumber data tulis yaitu wacana cerkak pada majalah

  

Panjebar Semangat . Tujuan penelitian tersebut yaitu: (1) mendeskripsikan bentuk

  implikatur dalam wacana cerkak pada majalah Panjebar Semangat, dan (2) mendeskripsikan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa jawa di SMP.

  Dari ketiga penelitian tersebut belum ada yang melakukan penelitian mengenai implikatur dalam wacana komik pada majalah Donal Bebek. Maka dari itu, penulis tertarik untuk meneliti hal tersebut.

  Dari penelitian tersebut penelitian ini memiliki perbedaan. Adapun perbedaannya terdapat pada sumber data dan tujuan penelitian. Pada penelitian Nurlaela sumber data penelitiannya adalah wacana komik pada majalah Bobo, Ruswati sumber data penelitiannya adalah wacana komik pada majalah Album Cerita

  

dan penegetahuan Mombi SD dan Yunita Tresnasari dalam wacana cerkak (cerita

cekak ) berbahasa jawa pada majalah Panjebar Semangat. Sedangkan pada penelitian

  ini sumber data penelitiannya adalah wacana komik pada majalah Donal Bebek. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini ada tambahan tujuan ketiga yaitu “mendeskripsikan tuturan dalam wacana komik pada majalah

  Donal Bebek melalui inferensi”.

B. Hakikat Bahasa

  Chaer dan Leonie Agustina (1995:15) memberikan definisi bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sebagai sebuah sistem, bahasa selain bersifat sistematis juga bersifat sistemis. Dengan sistematis maksudnya, bahasa itu tersusun menurut suatu pola tertentu, tidak tersusun secara acak atau sembarangan. Sedangkan sistemis, artinya, sistem bahasa itu bukan merupakan sebuah sistem tunggal, melainkan terdiri dari sejumlah subsistem, yakni subsistem fonologi, subsistem morfologi, subsistem sintaksis, dan subsistem leksikon. Setiap bahasa biasanya memiliki sistem yang berbeda dari bahasa lainnya.

  Sistem bahasa yang dibicarakan adalah berupa lambang-lambang dalam bentuk bunyi. Artinya, lambang-lambang itu berbentuk bunyi, yang lazim disebut bunyi ujar atau bunyi bahasa. Setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep (Chaer dan Leonie Agustina, 1995: 15).

  Lambang bunyi bahasa itu bersifat arbitrer. Artinya, hubungan antara lambang dengan yang dilambangkan tidak bersifat wajib, bisa berubah, dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang tersebut mengonsepsi makna tertentu. Kata arbitrer bisa diartikan sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka (Chaer, 2007: 45).

  Konsep bahwa bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti, alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan. Dalam proses berkomunikasi pikiran hanyalah satu bagian dari sekian banyak informasi yang disampaikan. Wardhaugh ( dalam Chaer dan Leonie Agustina, 1995: 19) juga mengatakan bahwa fungsi bahasa adalah alat komunikasi manusia, baik tertulis maupun lisan.

  Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah sebuah sistem yang bersifat sistematis dan sistemis yang berupa lambang bunyi bahasa yang berfungsi sebagai alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan baik tertulis maupun lisan.

C. Wacana 1. Pengertian Wacana

  Douglas (dalam Mulyana, 2005: 3) menjelaskan istilah ‘wacana’ berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya ‘berkata’ atau ‘berucap’. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan atau perkembangan menjadi wacana. Bentuk ana yang muncul di belakang adalah sufiks (akhiran), yang berfungsi membedakan (nominalisasi). Jadi, kata wacana dapat diartikan sebagai ‘perkataan’ atau ‘tuturan’.

  Webster (dalam Mulyana, 2005:4) memperluas makna discourse sebagai berikut: (a) komunikasi kata-kata, (b) ekspresi gagasan-gagasan, (c) percakapan, dan (d) risalah tulisan: makna pidato, ceramah, dan sebagainya. Jadi discourse atau

  

wacana berkaitan dengan kata, kalimat, atau ungkapan komunikatif, baik secara lisan

maupun tulis.

  Menurut Mulyana (2005: 21) wacana adalah wujud atau bentuk yang bersifat komunikatif, interpretatif, dan kontekstual. Artinya, pemakaian bahasa ini selalu mengandaikan terjadi secara dialogis, perlu adanya kemampuan menginterpretasikan, dan memahami konteks terjadinya wacana.

  Rani, dkk.(2006:3) dalam buku yang berjudul Analisis Wacana menyatakan bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar yang digunakan dalam komunikasi. Satuan bahasa dibawahnya secara berturut-turut adalah kalimat, frase, kata, dan bunyi. Secara berurutan, rangkaian bunyi membentuk kata. Rangkaian kata membentuk frase dan rangkaian frase membentuk kalimat. Akhirnya, rangkaian kalimat membentuk wacana. Semuanya itu bisa lisan atau tulis.

  Berdasarkan definisi dan pendapat-pendapat di atas, maka wacana dapat dirumuskan sebagai berikut: (a) ucapan, perkataan, tuturan, (b) keseluruhan tuturan yang merupakan suatu kesatuan, dan (c) satuan bahasa terlengkap, yang realisasinya tampak pada bentuk karangan yang utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato, khotbah, dan lain sebagainya yang berupa tulisan ataupun lisan.

2. Klasifikasi Wacana

  Klasifikasi diperlukan untuk memahami, mengurai, dan menganalisis wacana secara tepat. Ketika analisis diperlukan, perlu diketahui terlebih dahulu jenis wacana yang dihadapi. Pemahaman ini sangat penting agar proses pengkajian, pendekatan, dan teknik-teknik analisis wacana yang digunakan tidak keliru (Mulyana, 2005: 47)

  Pembagian wacana dapat dipilah atas dasar beberapa segi, yaitu (a) berdasarkan bentuk, (b) berdasarkan media penyampaian, (c) berdasarkan jumlah penutur, (d) berdasarkan sifat, (e) berdasarkan isi, dan (f) berdasarkan gaya dan tujuan. Pemilahan atas dasar segi yang lain jelas masih sangat terbuka. Itulah artinya, bahwa wacana akan terus mengalami perkembangan di dalam masyarakat bahasa (Mulyana, 2005: 47-66). Di sini penulis membatasi klasifikasi wacana karena sumber yang penulis teliti yaitu majalah Donal Bebek, berdasarkan bentuknya merupakan wacana naratif, berdasarkan media penyampaiannya termasuk wacana tulis, berdasarkan jumlah penutur termasuk wacana monolog, dan wacana dialog, dan berdasarkan isi termasuk wacana sosial sehingga penulis memaparkan empat klasifikasi wacana tersebut.

a. Berdasarkan Bentuk

  Dengan mendasarkan pada bentuknya, Robert E. Longacre (dalam Mulyana, 2005: 47) membagi wacana menjadi 6 (enam) jenis, yaitu: wacana naratif, wacana prosedural, ekspositori, hortatori, epistoleri, dan wacana dramatik.

  1) Wacana Naratif

  Wacana naratif adalah bentuk wacana yang banyak dipergunakan untuk menceritakan suatu kisah. Uraiannya cenderung ringkas. Bagian-bagian yang dianggap penting sering diberi tekanan atau diulang. Bentuk wacana naratif umumnya dimulai dengan alinea pembuka, isi, dan diakhiri oleh alinea penutup. Contoh bentuk naratif adalah siaran Pembinaan Bahasa Indonesia yang disiarkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI). Berikut ini adalah contoh wacana naratif.

  (1) Masyarakat Indonesia sebagai pemakai bahasa Indonesia dianjurkan untuk menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Baik artinya sesuai dengan konteksnya. Orang harus selalu berpikir, bagaimana sebaiknya menggunakan bahasa secara tepat sesuai situasi dam kondisinya. Selain tepat, juga harus benar. Artinya, bahasa yang kita ucapkan sebaiknya disampaikan atau ditulis dengan pola dan urutan yang benar sesuai dengan gramtika bahasa.

  2) Wacana Prosedural

  Wacana prosedural dimanfaatkan untuk memberikan petunjuk atau keterangan bagaimana sesuatu harus dilaksanakan. Oleh karena itu, kalimat-kalimatnya berisi persyaratan atau aturan tertentu agar tujuan kegiatan tertentu berhasil dengan baik. Contoh wacana ini adalah resep makanan, aturan pengolahan tanah persawahan, dan sebagainnya. Berikut kutipan wacana prosedural tentang resep makanan.

  (2)

NASI KUNING

  BAHAN: beras 375 g, beras ketan 2 sdm, santan kental 500ml, garam secukupnya, lengkuas 5 cm, serai 2 batang, daun salam 2 lembar, kunyit 7 cm parut dan peras airnya, air jeruk nipis ½ sdm. PENDAMPING: ayam panggang bumbu rujak, perkedel kentang, telur rebus, mentimun, tempe kering, seledri, dan cabai merah besar. CARA MEMBUAT: campur beras dengan beras ketan, cuci bersih dan tiriskan. Rebus santan, tambahkan bumbu-bumbu lainnya. Masak hingga mendidih. Kukus beras hingga setengah matang. Angkat dan masak dalam air rebusan santan. Ratakan, kukus kembali hingga matang. Sajikan nasi kuning bersama pendampingnya. (Nyata, No. 1748, Desember 2004)

  3) Wacana Ekspositori

  Wacana ekspositori bersifat menjelaskan sesuatu secara informasi. Bahasa yang digunakan cenderung denotatif dan rasional. Termasuk dalam wacana ini adalah ceramah ilmiah, artikel di media massa. Berikut ini adalah contoh wacana ekspositori yang diambil darai salah satu kutipan artikel pada suatu media massa bertopik telekomunikasi.

  (3) CDMA merupakan salah satu teknologi yang digunakan dalam sistem telekomunikasi. Beberapa operator seluler sebelumnya pernah muncul, menggunakan teknologi AMPS, misalnya Metrosel. Lahir pula operator GSM seperti Telkomsel dan Indosat. Kini ada operator yang memanfaatkan teknologi CDMA. Ketiganya sama-sama teknologi yang diimplementasikan dalam penyediaan layanan komunikasi.

  4) Wacana Hortatori

  Wacana hortatori digunakan untuk mempengaruhi pendengar atau pembaca agar tertarik terhadap pendapat yang dikemukakan. Sifatnya persuasif. Tujuannya ialah mencari pengikut/penganut agar bersedia melakukan, atau paling tidak menyetujui hal yang disampaikan dalam wacana tersebut. Contoh wacana semacam ini adalah pidato politik, iklan atau sejenisnya. Berikut ini adalah contoh wacana hortatori yang bernada persuasif.

  (4) Saya menangis melihat jalannya pemerintahan. Banyak pejabat yang tidak bisa dijadikan teladan. Bahkan, mereka dengan terang-terangan berani memakan uang rakyat. Sudah saatnya kita menjemput semangat baru bernama demokrasi. Saudara-saudara sekalian, kalian tidak perlu takut, cemas, atau khawatir. Bersama saya, kita maju membuka lembaran baru. Bekerja keras membangun Indonesia baru! Setuju?

  5) Wacana Dramatik Wacana dramatik adalah bentuk wacana yang berisi percakapan antar penutur.

  Sedapat mungkin menghindari atau meminimalkan sifat narasi di dalamnya. Contoh teks dramatik adalah skenario film/sinetron, pentas wayang orang, ketoprak, dan sandiwara, dan sejenisnya. Berikut kutipan singkat wacana dramatik.

  (5) : “Anakku, kamu sudah dewasa. Apalagi sekarang ini ibu sudah Ibu tua.”

  Anak : “Maksud Ibu?” Ibu : “Ibu ingin segera punya cucu. Ibu ingin sekali menjadi nenek.

  Kamu harus segera cari istri.” Anak : “Saya kan belum punya pekerjaan tetap, Bu! Bagaimana nanti saya menghidupi istri dan anak-anak saya.” Ibu : “Tidak usah khawatir. Ibu ada tabungan yang cukup buat kamu buka usaha. Tapi kamu harus pandai cari tambahan modal. Terima ini.”

  Anak : “Terima kasih, Bu.”

  6) Wacana Epistoleri

  Wacana epistoleri digunakan dalam surat-menyurat. Pada umumnya memiliki bentuk dan sistem tertentu yang sudah menjadi kebiasaan atau aturan. Secara keseluruhan, bagian wacana diawali oleh alinea pembuka, dilanjutkan bagian isi, dan diakhiri alinea penutup. Contoh kutipan sebuah surat pribadi berikut.

  (6) Kepada istriku tercinta Retno Evi Widiastuti di rumah. Seperti biasanya suamimu langsung kangen begitu menginjakkan kaki di negeri orang.

  Tapi aku sehat dan selamat sampai tujuan. Oya, semester ini aku mungkin tidak bisa pulang ke Indonesia. Penelitianku makin sulit. Promotor terus mendorong supaya aku cepat selesai. Sebenarnya badan dan pikiranku agak lelah juga. Tapi aku sudah bertekad tahun ini harus lulus! Istriku, doakan suamimu dari jauh.

  Terakhir, salam dan cintaku untuk anak-anak kita, Vio dan Vinsa. Bimbing mereka. Semoga Allah menyayangi kita semua.

b. Berdasarkan Media Penyampaian

  Berdasarkan media penyampaian, wacana dapat dipilah menjadi dua, yaitu wacana tulis dan wacana lisan.

  1) Wacana Tulis

  Wacana tulis adalah jenis wacana yang disampaikan melalui tulisan. Berbagai bentuk wacana sebenarnya dapat dipresentasikan atau direalisasikan melalui tulisan.

  Sampai saat ini, tulisan masih merupakan media yang sangat efektif dan efisien untuk menyampaikan berbagai gagasan, wawasan, ilmu pengetahuan, atau apapun yang dapat mewakili kreativitas manusia. Wacana tulis sering dipertukarkan maknanya dengan teks atau naskah. Namun, untuk kepentingan bidang kajian wacana yang tampaknya terus berusaha menjadi disiplin ilmu mandiri, kedua istilah teresebut kurang mendapat tempat dalam kajian wacana. Apalagi istilah teks atau naskah tampaknya hanya berorientasi pada huruf (graf), sedangkan gambar tidak termasuk di dalamnya.

  2) Wacana Lisan

  Wacana lisan adalah jenis wacana yang disampaikan secara lisan atau langsung dengan bahasa verbal. Jenis wacana ini sering disebut sebagai tuturan (speech) atau ujaran (utterance). Adanya kenyataan bahwa pada dasarnya bahasa kali pertama lahir melalui mulut/lisan. Oleh karena itu, wacana yang utama, primer, dan sebenarnya adalah wacana lisan. Kajian yang sungguh-sungguh terhadap wacanapun seharusnya menjadikan wacana lisan sebagai sasaran penelitian. Tentunya, dalam posisi ini wacana tulis dianggap sebagai bentuk turunan (duplikasi) semata.

c. Berdasarkan Jumlah Penutur

  1) Wacana Monolog Wacana monolog adalah jenis wacana yang dituturkan oleh satu orang.

  Umumnya, wacana monolog tidak menghendaki dan tidak menyediakan alokasi waktu terhadap respon pendengar atau pembacanya. Penuturannya bersifat satu arah, yaitu dari pihak penutur. Beberapa bentuk wacana monolog, antara lain, adalah pidato, pembacaan puisi, khotbah jumat, pembacaan berita, dan sebagainya. Pada kenyataannya, dalam suatu orasi, ceramah, atau pidato tertentu, penutur secara improvisasi kadang-kadang justru mencoba berinteraksi dengan pendengarnya.

  2) Wacana Dialog Wacana dialog adalah jenis wacana yang dituturkan oleh dua orang atau lebih.

  Jenis wacana ini bisa berbentuk tulis ataupun lisan. Wacana dialog tulis, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, memiliki bentuk yang sama dengan wacana drama (dialog skenario, dialog ketoprak, lawakan, dan sebagainya).

  1 Dalam kajian wacana, istilah penutur (addreser) atau orang pertama (O ),

  terkadang disebut pula sebagai penyapa, pembicara, penulis (wacana tulis). Sedangkan

  2

  penutur (addressee) atau orang kedua (O ), sering disamakan dengan sebutan pesapa, mitra bicara, lawan bicara, pasangan bicara, pendengar, pembaca (wacana tulis).

  Berikut ini merupakan contoh wacana dialog.

  1

  (7) : “Nggak masuk kuliah?” O

  2 O : “Nggak.”

  1 O : “Kenapa? Lagi malas?”

  O

  2 : “Nggak juga. Sebenarnya aku sudah rampung teori. Jadi, ya aku

  konsentrasi ke skripsi saja.”

  1 O : “Aku jalan dulu, ya.”

  2 O : “OK!” d.

   Berdasarkan Isi

  Klasifikasi wacana berdasarkan isi, relatif mudah dikenali. Hal ini disebabkan antara lain, oleh tersedianya ruang (space) dalam berbagai media yang secara khusus langsung mengelompokkan jenis-jenis wacana atas dasar isinya. Isi wacana sebenarnya lebih bermakna sebagai ‘nuansa’ atau ‘muatan’ tentang yang ditulis, disebutkan, diberitakan, atau diperbincangkan oleh pemakai bahasa (wacana).

  Berdasarkan keadaan dan kompleksitas kehidupan manusia, nuansa persoalan yang satu dengan persoalan lainnya menjadi sulit dipisahkan. Antara wacana sosial dan politik misalnya, barangkali tidak dapat dipisahkan dengan mudah. Berdasarkan isinya, wacana dapat dipilah menjadi: wacana politik, wacana sosial, wacana ekonomi, wacana budaya, wacana militer, wacana hukum, dan wacana kriminalitas.

  1) Wacana Politik

  Sebagian orang memandang dunia politik sebagai dunia siasat, penuh strategi, dan mungkin kelicikan. Lingkungan politik yang demikian itu pada gilirannya melahirkan istilah-istilah tertentu yang maknanya sangat terbatas. Contoh wacana politik.

  (8) Ketika dunia reformasi (pembangunan kembali segala aspek kehidupan bangsa) dirasakan berhenti, banyak pihak kembali berteriak dan berkeluh.Dari sinilah lahir misalnya wacana Reformasi mati suri.

  Maknanya, hal yang diperjuangkan dalam gerakan reformasi tidak lagi bergerak, alis mati suri. Akibatnya, penyakit bangsa seperti KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) kembali merajalela.Harga-harga bahan pokok (sembako) tetap liar, tidak terkontrol. Kesengsaraan pun tetap menjadi hidangan sehari-hari rakyat kecil. 2)

  Wacana Sosial Wacana sosial berkaitan dengan kehidupan sosial dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Memang cukup sulit untuk mengatakan apa persoalan yang bukan merupakan persoalan sehari-hari. Masalah makan, pangan, rumah, tabah, pernikahan, kematian, dan sebagainya hanyalah sejumlah kecil masalah sosial tersebut.

  Berikut ini adalah contoh wacana sosial.

  (9) Perubahan status tanah dipersoalkan anggota DPRD.

  Masalah tanah adalah satu dari sejuta masalah hidup manusia yang amat vital dan sensitif. Artinya, sangat mudah menimbulkan konflik sosial. Sebagaimana contoh di atas, persoalan tanah pun melibatkan lembaga wakil rakyat (DPRD). Sebagaimana diketahui, secara hukum formal pertanahan, status tanah dibagi dalam beberapa jenis, seperti (

  1 ) HP=Hak

  2

  3 Pakai, ( ) HGB=Hak Guna Bangunan, ( ) HM=Hak Milik. Bahkan,

  beberapa pendemo tanah di televisi (akhir-akhir ini) juga merentangkan tulisan untuk menuntut status tanah mereka, diantaranya berbunyi: HM=Hak Menetap, TR=Tanah Rakyat, TWT=Tanah Warisan Tuhan, HTSH=Hak Tinggal Sepanjang Hidup, dan seterusnya. Wacana seperti, Bencana terus-menerus mendera Indonesia, Dimana

  hutanku kini? , Kasus bayi kembar siam hebohkan warga Surabaya, dan seterusnya bisa juga dimasukkan sebagai wacana sosial.

  3) Wacana Ekonomi

  Wacana ekonomi berkaitan dengan persoalan ekonomi. Dalam wacana ekonomi, ada beberapa register yang hanya dikenal di dunia bisnis dan ekonomi.

  Ungkapan-ungkapan seperti persaingan pasar, biaya produksi tinggi, langkanya

  

sembako, konsumen dirugikan, inflasi, devaluasi, harga saham gabungan, dan mata

uang merupakan contoh-contoh register ekonomi. Bila dikaitkan dengan wacana,

  beberapa istilah khusus ekonomi akan muncul dan bermakna khusus pula. Berikut ini merupakan contoh wacana ekonomi.

  (10) Pemerintah buy back SUN Rp 1 trilyun.

  Istilah buy back SUN sama sekali tidak berarti ‘membeli kembali matahari’. SUN adalah kepanjangan Surat Utang Negara. Pada setiap jatuh tempo SUN, pemerintahan berusaha melakukan pembelian kembali SUN. Langkah ini perlu dilakukan pemerintah untuk mengurangi beban pembayaran pokok utang pada tahun-tahun yang memiliki jatuh tempo besar (misalnya tahun 2004-2009). 4)

  Wacana Budaya Wacana budaya berkaitan dengan aktivitas kebudayaan. Meskipun sampai saat ini makna ‘kebudayaan’ masih terus diperdebatkan, namun pada wilayah kewacanaan ini, kebudayaan lebih dimaknai sebagai wilayah ‘kebiasaan atau tradisi, adat, sikap hidup, dan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari’. Wilayah tersebut kemudian menghasilkan bentuk-bentuk kebahasaan sebagai representasi aktivitasnya, yang kemudian sebagai wacana budaya.

  Representasi aktivitas budaya umumnya lebih dekat kepada hal-hal yang bersifat kedaerahan. Hal ini bisa dimaklumi mengingat bahasa daaerah merupakan sarana asli dan pertama yang digunakan masyarakat untuk mengekspresikan hasil- hasil kebudayaan. Ungkapan budaya seperti mitung ndinani (memperingati ke-tujuh harinya) adalah salah satu wacana budaya yang hidup dan dikenal oleh masyarakat Jawa, yaitu aktivitas budaya yang hidup dan dikenal oleh masyarakat jawa, yaitu aktivitas budaya berupa kenduri dan doa bersama yang dilakukan masyarakat Jawa untuk memperingati meninggalnya seseorang pada hari ke tujuh. 5)

  Wacana Militer Wacana jenis ini hanya dipakai, dikembangkan di dunia militer. Instansi militer dikenal sangat suka menciptakan istilah-istilah khusus yang hanya dikenal oleh kalangan militer. Istilah tersebut umumnya dibentuk dengan cara disingkat dan diakronimkan (secara alfabetis)

  Istilah seperti operasi militer, desersi, intelijen, apel pagi, sumpah prajurit,

  

dan veteran menjadi istilah yang biasa di dunia militer. Hal-hal tersebut umumnya

  hanya dilakukan oleh kalangan militer. Kata operasi dalam operasi militer, misalnya maknanya berbeda jauh dengan operasi yang dilakukan oleh dokter di rumah sakit.

  6) Wacana Hukum dan Kriminalitas

  Persoalan hukum dan kriminalitas, sekalipun bisa dipisahkan, namun keduanya bagaikan dua sisi dari mata uang: berbeda tetapi menjadi satu kesatuan. Kriminalitas menyangkut hukum, dan hukum mengelilingi kriminalitas. Berikut adalah beberapa contoh tentang wacana hukum dan kriminalitas.

  (11) Tersangka DPT bertambah

  (12) Tim pembela berharap kasasi dikabulkan MA

  (13) Vonis hakim lebih ringan

  Seperti halnya jenis wacana lainnya, cirri wacana hukum dan kriminalitas dapat dikenali dari pemilihan kata (diksi) yang digunakan. Pada contoh (11), terdapat kata tersangka (orang yang dikenai status sangkaan perbuatan melawan hukum). Pada contoh (12), muncul bentuk-bentuk tim pembela (beberapa orang dengan profesi pembela, bergelar sarjana hokum bergabung untuk membela klien); kasasi (upaya mencari keadilan pada tingkat pengadilan tertinggi di Indonesia); dan MA (Mahkamah Agung). Dan pada contoh (13) digunakan diksi vonis (kata putusan akhir sebuah prosesi pengadilan, eksekusi), dan hakim (profesi penegak hukum, berwenang memutuskan vonis di pengadilan).

  7) Wacana Olahraga dan Kesehatan

  Sebagaimana halnya wacana hukum dan kriminalitas, dunia olahraga dan kesehatan juga bisa dibedakan, meski sebenarnya tetap berkaitan secara padu dan bersifat timbal balik. Dalam hal ini, pilihan kata atau istilah khusus dan bermakna tertentu baru dapat ditafsirkan dengan benar sepanjang terlebih dahulu diketahui konteks terjadinya wacana tersebut. Berkaitan dengan masalah kesehatan, berikut ini adalah contoh wacana olahraga dan kesehatan.

  (14) ‘Sempat jogging 10 menit, didiagnosis jantung ringan’. Istilah jogging adalah aktivitas olahraga ringan yang berkaitan dengan kesehatan. Oleh karena itu, munculnya istilah ‘jantung ringan’ pada bagian berikutnya sama sekali bukan berarti berat jantung yang ringan (tidak berat), tetapi jenis sakit jantung pada stadium awal (masih belum mengkhawatirkan).

  Dari beberapa pendapat para ahli mengenai jenis wacana dapat diperoleh kesimpulan bahwa wacana komik dalam majalah Donal Bebek termasuk jenis wacana naratif karena wacana yang banyak dipergunakan untuk menceritakan kisah. Wacana komik pada majalah Donal Bebek merupakan wacana tulis karena disampaikan secara tertulis. Berdasarkan jumlah penutur termasuk wacana monolog dan dialog karena dapat tuturkan oleh satu orang, dua orang atau lebih. Sementara itu, wacana komik pada majalah Donal Bebek termasuk wacana sosial karena berkaitan dengan kehidupan sosial dan kehidupan sehari-hari masyarakat.

3. Wacana Komik

  Komik dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk kartun yang mengungkapkan karakter dan memerankan suatu cerita dalam urutan yang erat hubungannya dengan gambar dan dirancang untuk memberikan hiburan kepada para pembaca (Sudjana dan Ahmad Rivai, 2010: 64).

  Komik terdiri atas berbagai situasi cerita bersambung dan komik sifatnya humor. Komik memusatkan perhatian di sekitar rakyat, cerita-ceritanya mengenai diri pribadi sehingga pembaca dapat segera mengidentifikasikan dirinya melalui perasaan serta tindakan dari perwatakan-perwatakan tokoh utamanya. Cerita-ceritanya ringkas dan menarik perhatian, dilengkapi dengan aksi, bahkan dalam lembaran surat kabar dan buku-buku, komik dibuat lebih hidup serta diolah dengan pemakaian warna-warna utama secara bebas. Dalam wacana terdapat pemikiran-pemikiran pengarang yang dituangkan melalui cerita yang ditulisnya. Pemikiran pengarang tersebut memiliki tujuan agar menarik perhatian pembaca, baik melalui bahasa yang digunakan maupun melalui pesan yang disamapaikan melalui cerita. Komik merupakan salah satu bentuk wacana karena di dalamnya terkandung tuturan-tuturan para tokoh yang menjalin cerita.

  Dengan demikian komik merupakan suatu cerita dalam urutan gambar-gambar yang berhubungan erat, dirancang untuk menghibur para pembacanya. Komik telah mencapai popularitas secara luas terutama sebagai medium hiburan, tetapi juga sebagai media pendidikan bagi semua siswa dari berbagai tingkat usia bahkan orang dewasa.

D. Konteks Tuturan

  Mulyana (2005: 21) memberikan definisi konteks adalah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.

  Alwi, dkk. (2003: 421-422) menyatakan bahwa konteks wacana terdiri atas berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana. Tiga unsur yang terakhir, yaitu bentuk amanat, kode, dan sarana perlu mendapat penjelasan. Bentuk amanat dapat berupa surat, esai, iklan, pemberitahuan, pengumuman, dan sebagainya. Kode ialah ragam bahasa yang dipakai, misalnya bahasa Indonesia baku, bahasa Indonesia logat daerah, atau bahasa daerah. Sarana adalah wahana komunikasi yang dapat berwujud pembicaraan bersemuka atau lewat telepon, surat dan televisi.

  Wijana dan Muhammad Rohmadi (2011: 15) mengemukakan bahwa konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau seting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Rahardi (2005: 49) juga mengemukakan bahwa konteks mencakup dua macam hal, yakni konteks yang bersifat sosial (social) dan konteks yang bersifat sosietal (societal). Konteks sosial (social context) adalah konteks yang timbul sebagai akibat dari munculnya interaksi antaranggota masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Sedangkan konteks sosietal (societal context) adalah konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan (rank) anggota masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang ada di dalam masyarakat sosial dan budaya tertentu.

  Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa konteks merupakan situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, amanat, kode, sarana suatu komunikasi. Konteks tuturan dapat mencakup aspek-aspek tuturan yang relevan baik secara fisik maupun nonfisik. Konteks merupakan latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan mitra tutur serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur itu di dalam bertutur.

E. Hubungan Wacana dengan Pragmatik

  Rani, dkk.(2006: 3) dalam buku yang berjudul Analisis Wacana menyatakan bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar yang digunakan dalam komunikasi. Satuan bahasa dibawahnya secara berturut-turut adalah kalimat, frase, kata, dan bunyi. Secara berurutan, rangkaian bunyi membentuk kata. Rangkaian kata membentuk frase dan rangkaian frase membentuk kalimat. Akhirnya, rangkaian kalimat membentuk wacana. Semuanya itu bisa lisan atau tulis.

  Pragmatik berhubungan dengan wacana melalui bahasa dan konteks. Dalam hal ini dapat dibedakan tiga hal yang selalu berhubungan yaitu sintaksis, semantik dan pragmatik. Sintaksis merupakan hubungan antar unsur, semantik adalah makna, baik dari setiap unsur maupun makna antar hubungan (pertimbangan makna leksikal dan gramatikal), dan pragmatik berhubungan dengan hasil ujaran (pembicara dan pendengar atau penulis dan pembaca) (Firdawati, 2011).

  Mulyana (2005: 79) menyatakan pendekatan pragmatik terhadap wacana perlu mempertimbangkan faktor-faktor nonverbal, seperti:

  1. para lingual (intonasi, nada, pelan, dan keras), 2. kinesik (gerak tubuh dalam komunikasi, gerakan mata, tangan kaki, dan sebagainya),

  3. proksemik (jarak yang diambil oleh penutur), 4. krosenik (penggunaan dan strukturisasi waktu dalam interaksi).

  Disamping itu prgamatik juga mencakup empat hal, yaitu: (1) deiksis, (2) tindak ujar, (3) praanggapan, dan (4) implikatur. Penulis membatasi pada penelitian ini akan membahas tentang implikatur.

  F. Pragmatik

  Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca) (Yule, 2006:3). Levinson (dalam Rahardi, 2005:48) menyatakan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya.

  Leech (dalam Wijana dan Muhammad Rohmadi, 2011:5) mendefinisikan pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang mengkaji penggunaan bahasa berintegrasi dengan tatabahasa yang tediri atas fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.

  Dari pengertian beberapa para ahli bahasa dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah studi tentang makna yang mempelajari bahasa dengan konteksnya yang tidak dapat dilepaskan dari stuktur bahasanya. Dengan kata lain pragmatik mempelajari bahasa secara eksternal.

  G. Implikatur

  Echols (dalam Mulyana, 2005: 11) mendefinisikan secara etimologis, implikatur diturunkan dari implicatum. Secara nominal, istilah ini hampir sama dengan kata implication, yang artinya maksud, pengertian, keterlibatan. Dalam lingkup analisis wacana, implikatur berarti sesuatu yang terlibat atau menjadi bahan pembicaraan. Secara struktural, implikatur berfungsi sebagai jembatan/rantai yang menghubungkan antara yang diucapkan dengan yang diimplikasikan. Jadi, suatu dialog yang mengandung implikatur akan selalu melibatkan penafsiran yang tidak langsung.

  Di dalam penuturan yang sebenarnya, penutur dan mitra tutur dapat secara lancar berkomunikasi karena mereka berdua memiliki semacam kesamaan latar belakang pengetahuan tentang pengetahuan yang dipertuturkan itu. Grice (1975) di dalam artikelnya yang berjudul Logic and Conversation menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan itu dapat disebut dengan implikatur percakapan (Rahardi, 2005: 42-43).

  Grice (dalam Mulyana, 2005:11) mengemukakan bahwa implikatur ialah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu yang berbeda tersebut adalah maksud pembicaraan yang tidak dikemukakan secara eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.

  Grice (dalam Mulyana, 2005: 12) menyatakan, bahwa ada dua macam implikatur yaitu (1) conventional implicature (implikatur konvensional), dan (2)

  conversation implicature (implikatur percakapan).

1. Implikatur Konvensional (Conventional Implicature)

  Implikatur konvensional ialah pengertian yang bersifat umum dan konvensional (Mulyana, 2005: 12). Semua orang sudah mengetahui tentang maksud atau pengertian sesuatu hal tersebut. Contohnya tampak pada wacana berikut ini.

  (15) Muhammad Ali adalah petarung yang indah. (16) Lestari putri Solo, jadi luwes. Kata petarung pada (15) berarti ‘atlet tinju’. Pemaknaan ini dipastikan benar, Karena secara umum (konvensional), orang sudah mengetahui bahwa Muhammad Ali adalah atlet tinju, yang legendaris. Jadi dalam konteks wacana tersebut, orang tidak akan memahami kata petarung dengan pengertian yang lain. Demikian juga implikasi umum yang dapat diambil antara putrid Solo dengan luwes pada contoh (16). Selama ini, kota Solo selalu mendapat predikat sebagai kota kebudayaan yang penuh dengan kehalusan dan keluwesan putri-putrinya. Implikasi yang muncul adalah, bahwa perempuan atau wanita Solo umumnya dikenal luwes penampilannya (Mulyana, 2005:12).

2. Implikatur Percakapan (Conversation Implicature) Implikatur percakapan memiliki makna dan pengertian yang lebih bervariasi.

  Pasalnya, pemahaman terhadap hal “yang dimaksudkan” sangat tergantung kepada konteks terjadinya percakapan. Implikatur percakapan hanya muncul dalam suatu tindak percakapan (speech act). Oleh karenanya, implikatur tersebut bersifat temporer (terjadi saat berlangsungnya tindak percakapan), dan nonkonvensional (sesuatu yang diimplikasikan tidak mempunyai relasi langsung dengan tuturan yang diucapkan) Levinson (dalam Mulyana, 2005: 13).

  Dalam suatu dialog (percakapan), sering terjadi seorang penutur tidak mengutarakan maksudnya secara langsung. Hal yang hendak diucapkan justru disembunyikan, diucapkan secara tidak langsung, atau yang diucapkan sama sekali berbeda dengan maksud ucapannya.

  Contoh: (17)

  Guru : “Kelasnya panas sekali, ya.” Murid : “Jendelanya dibuka ya, Pak?” Percakapan antara guru dengan murid pada contoh (17) mengandung implikatur yang bermakna: perintah guru untuk melakukan sesuatu agar panas di kelas berkurang. Dalam tuturan itu, tidak ada sama sekali bentuk kalimat perintah. Tuturan yang diucapkan guru hanyalah pemberitahuan bahwa kelasnya panas sekali. Murid yang paham maksud gurunya, segera membuka jendela (Mulyana, 2005:13).

  Jika suatu ucapan mempunyai makna dibalik apa yang dikatakan, maka ucapan itu dapat dikatakan memiliki implikatur. Implikatur percakapan muncul ketika seorang pendengar menilai bahwa pembicara telah melanggar atau menyimpang dari salah satu atau beberapa maksim dari prinsip kerjasama.

  Levinson (dalam Mulyana, 2005: 13-14) menyatakan bahwa keberadaan implikatur dalam suatu percakapan (wacana dialog) diperlukan anatara lain untuk: a. memberi penjelasan fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik struktural, b. menjembatani proses komunikasi antar penutur, c. memberi penjelasan yang tegas dan eksplisit tentang bagaimana kemungkinan pemakai bahasa dapat menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan secara lahiriah berbeda dengan hal yang dimaksud, d. dapat meyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan antarklausa, meskipun klausa-klausa itu dihubungkan dengan kata dan struktur yang sama, e. dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala kebahasaan yang lahiriah tidak berkaitan.

H. Aturan Percakapan

  Allan (dalam Rahardi, 2005: 52) mengemukakan bahwa bertutur adalah kegiatan yang berdimensi sosial. Seperti lazimnya kegiatan-kegiatan sosial lain, kegiatan bertutur dapat berlangsung dengan baik apabila para peserta pertuturan itu semuanya terlibat aktif dalam proses bertutur tersebut. Apabila terdapat satu atau lebih pihak yang tidak terlibat aktif dalam kegiatan bertutur, dapat dipastikan pertuturan itu tidak dapat berjalan lancar.

  Proses komunikasi penutur dan mitra tutur dapat berjalan baik dan lancar, mereka haruslah dapat bekerja sama. Bekerja sama yang baik di dalam proses bertutur itu, salah satunya dapat dilakukan dengan berperilaku sopan kepada pihak lain.

1. Prinsip Kerja Sama

  Allan (dalam Wijana dan Muhammad Rohmadi, 2011: 43-44) mengatakan bahwa berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti halnya aktivitas-aktivitas sosial yang lain, kegiatan berbahasa baru terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, penutur dan lawan tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terdapat tindakan dan ucapan lawan tuturnya.

  Dalam komunikasi yang wajar dapat diasumsikan bahwa seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud mengkomunikasikan sesuatu agar lawan bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu, penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan mudah dipahami, padat dan ringkas, dan selalu mengacu pada persoalan (straight forward), sehingga tidak menghabiskan waktu lawan bicaranya.

  Grice (dalam Wijana dan Muhammad Rohmadi, 2011: 44-50) mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kerjasama itu, setiap penutur harus mematuhi 4 (empat) maksim percakapan (conversational maxim) yakni (a) maksim kuantitas (maxim of quantity), (b) maksim kualitas (maxim of quality), (c) maksim relevansi (maxim of relevance), dan (d) maksim pelaksanaan (maxim of manner).

  a. Maksim Kuantitas (Maxim of Quantity)

  Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya.

  Misalnya penutur yang berbicara secara wajar tentu akan memilih (18) dibandingkan dengan (19).

  (18) Tetangga saya hamil. (19) Tetangga saya yang perempuan hamil.

  Ujaran (18) disamping lebih ringkas, juga tidak menyimpangkan nilai kebenaran (truth value). Setiap orang tentu tahu bahwa hanya orang-orang wanitalah yang mungkin hamil. Dengan demikian, elemen yang perempuan dalam tuturan (19) sudah menyarankan tuturan itu. Kehadiran yang perempuan dalam (19) justru menerangkan hal-hal yang sudah jelas. Hal ini bertentangan dengan maksim kuantitas.

  b. Maksim Kualitas (Maxim of Quality)

  Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Misalnya seorang harus mengatakan bahwa ibu kota Indonesia adalah Jakarta bukan kota-kota lain kecuali kalau benar-benar tidak tahu. Akan tetapi, bila terjadi hal yang sebaliknya, tentu ada alasan-alasan mengapa hal demikian bisa terjadi.

  (20) Guru :“Coba kamu Andi, apa ibukota Bali?”

  Andi :“Surabaya, Pak Guru.” Guru: “Bagus, kalau begitu ibukota Jawa Timur Denpasar, ya?”

  Dalam wacana (20) di atas tampak guru memberikan kontribusi yang melanggar maksim kualitas. Guru mengatakan ibukota Jawa Timur adalah Denpasar bukannya Surabaya. Jawaban yang tidak mengindahkan maksim kualitas ini diutarakan sebagai reaksi terhadap jawaban Andi yang salah/dengan jawaban ini sang murid (Andi) sebagai individu yang memiliki kompetensi komunikatif (communicative competence) kemudian secara serta merta mencari jawaban mengapa gurunya membuat pertanyaan yang salah. Mengapa kalimat Bapak guru diutarakan dengan nada yang berbeda. Dengan bukti-buktti yang memadai akhirnya Andi mengetahui bahwa jawaban terhadap pertanyaan gurunya salah. Kata bagus yang diucapkan guru tidak konvensional karena tidak digunakan seperti biasanya untuk memuji, tetapi sebaliknya untuk mengejek.

  c. Maksim Relevansi (Maxim of Relevance)

  Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Untuk lebih jelasnya perhatikan wacana (21) berikut.

  (21) Anak :“Pak, ada tabrakan motor lawan truk di pertigaan depan.”

  Bapak: “Yang menang apa hadiahnya?” Bila sang bapak sebagai peserta percakapan yang kooperatif, tidak selayaknya ia mempersamakan peristiwa kecelakaan yang dilihat anaknya itu dengan sebuah pertandingan atau kejuaraan. Di dalam kecelakaan, tidak ada pemenang dan tidak ada pula pihak yang akan menerima hadiah. Semua pihak akan menderita kerugian, bahkan ada kemungkinan salah satu, atau kedua belah pihak meninggal dunia.

  Agaknya di luar maksud untuk melucu kontribusi bapak dalam (21) sulit dicarikan hubungan implikasionalnya.

  d. Maksim Pelaksanaan (Maxim of Manner)

  Maksim pelaksanaan mengaharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa (ambiguity) dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut.

  Contoh: (22)

  Anak: “Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota.” Ibu: “Itu sudah saya siapkan di laci meja.”

  Dari cuplikan di atas, tampak bahwa tuturan yang dituturkan sang anak, yakni yang berbunyi “Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota.” relatif kabur maksudnya.

  Maksud yang sebenarnya dari tuturan si anak ini, bukannya terutama ingin memberitahu kepada sang Ibu bahwa ia akan segera kembali ke kota, melainkan lebih dari itu, yakni bahwa ia sebenarnya ingin menanyakan apakah sang Ibu sudah siap dengan sejumlah uang yang sudah diminta sebelumnya. Seperti telah disampaikan terdahulu, di dalam masyarakat tutur Jawa, justru kesantunan berbahasa banyak dimarkahi oleh ketidakjelasan, ketidaklangsungan, kekaburan, dan semacamnya.

  Orang yang terlibat di dalam pertuturan diharapkan dapat membaca maksud tersembunyi dari si mitra tutur. Dengan demikian, jelas bahwa dalam komunikasi yang sebenarnya, maksim pelaksanaan pada Prinsip Kerja Sama Grice itu seringkali tidak dipatuhi atau bahkan mungkin harus dilanggar (Rahardi, 2005: 58).

2. Prinsip Kesantunan

  Berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang bersifat tekstual, tetapi sering pula berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal. Bila sebagai retorika tekstual pragmatik membutuhkan prinsip kerja sama, sebagai retorika interpersonal pragmatik membutuhkan prinsip lain, yakni prinsip kesopanan (Wijana dan Muhammad Rohmadi, 2011: 53). Rahardi (2005: 60-66) menjabarkan prinsip-prinsip kesantunan dalam enam maksim, yaitu:(a) maksim kebijaksanaan, (b) maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, (c) maksim penghargaan, (d) maksim kesederhanaan atau kerendahan hati, (e) maksim permufakatan atau kecocokan, dan (f) maksim kesimpatian.

a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)

  Maksim kebijaksanaan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang teguh pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Jika di dalam bertutur berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan menghindarkan diri dari sikap dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap mitra tutur. Contoh:

  (23) Tuan rumah : “Silakan makan saja dulu, nak!

  Tadi kami semua sudah mendahului.” Tamu : “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”

  Konteks tuturan: Dituturkan oleh seorang Ibu kepada anak muda yang sedang bertamu di rumah Ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah Ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda. Di dalam tuturan (23) tersebut tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang dituturkan si Tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang Tamu.