BAB II TINJAUAN PUSTAKA - BAB II TRI SULIATIN FARMASI'17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori

1. Tetrahidrokurkumin

  Kurkumin merupakan senyawa polifenol yang diekstrak dari rimpang kunyit (Curcuma longa Linn.). Kurkumin dilaporkan memiliki efek farmakologi sebagai anti oksidatif, anti inflamasi, anti karsinogenik dan efek gastroprotektif. Tethrahidrocurcumin (THC) adalah salah satu hasil metabolit kurkumin yang memiliki sifat fisiologis dan farmakologis sama dengan kurkumin. Dalam bentuk sebuk THC memiliki warna putih,

  o

  berat molekul 372,41 Da dan titik leleh 85-100

  C. THC tidak larut dalam air dan larut dalam alkohol, aseton, serta asam asetat glasial. Karena sifat kelarutan tersebut efek farmakologinya menjadi terhambat. Selain itu THC memiliki waktu pengosongan lambung relatif singkat yang mengakibatkan pelepasan THC dari sediaan tidak baik sehingga berpengaruh terhadap penyerapan dan berkurangnya efektifitas dosis (Setthaceewakul, 2011). THC sangat stabil di 0,1 M buffer fosfat pada berbagai pH dan lebih stabil dari kurkumin dalam 0,1 M dapar fosfat pH

  o

  7,2 (37 C) (Aggarwal et al, 2015).

Gambar 2.1. Struktur kimia kurkumin (a) dan tetrahidrokurkumin (b)

  Berdasarkan strukturnya THC mirip dengan kurkumin hanya terdapat perbedaan pada ikatan karbon, dimana THC memiliki ikatan karbon

  α,β-karbonil jenuh sedangkan pada kurkumin memiliki ikatan

  karbon α,β-karbonil tidak jenuh. Hal tersebut berpengaruh terhadap warna senyawa, dimana kurkumin berwarna kuning dan tetrahidrokurkumin berwarna putih.

2. Self-Nano Emulsifying Drug Delifery System (SNEDDS)

  Perkembangan sistem nanoemulsi untuk tujuan pemakaian oral melalui saluran gastrointestinal adalah teknologi auto-emulsifikasi (Self-

  

Nano Emulsifying Drug Delevery Sysyem/ SNEDDS ). SNEDDS

  merupakan teknologi yang mencampurkan antara minyak, surfaktan, dan kosurfaktan yang mengandung obat. Sistem ini selanjutnya akan masuk ke saluran cerna dan bercampur dengan cairan tubuh yang mengandung air. Pada saat sistem SNEDDS bercampur dengan cairan tubuh maka pada saat itu juga akan terjadi emulsifikasi dengan ukuran nanometer (Martien, 2012).

  SNEDDS telah menunjukan banyak keuntungan seperti memperbaiki sifat fisik dan stabilitas kimia dalam penyimpanan jangka panjang, dapat diisikan ke dalam cangkang kapsul gelatin keras atau lunak, sampai meningkatkan penerimaan pasien (Zhao, 2015).

  SNEDDS memiliki komponen utama berupa minyak sebagai pembawa obat, surfaktan sebagai pengemulsi minyak ke dalam air melalui pembentukan lapisan film antarmuka dan menjaga stabilitas, dan kosurfaktan untuk meningkatkan penggabungan obat nanoemulsifikasi dalam SNEDDS. SNEDDS terbukti meningkatkan bioavailabilitas obat lipofilik melalui pemberian oral. Perkembangan teknologi memungkinkan SNEDDS memecahkan masalah terkait penghantaran obat dengan kelarutan dalam air yang buruk (Makadia et al, 2013).

  Formulasi SNEDDS yang optimal dipengaruhi oleh sifat fisika kimia dan konsentrasi minyak, surfaktan, kosurfaktan yang digunakan, serta rasio masing-masing komponen, pH dan suhu emulsifikasi ( Date et al., 2010). a.

  Minyak Fase minyak memiliki peranan penting dalam sediaan formulasi nanoemulsi karena sifat fisika kimianya seperti volume molekul, polaritas dan viskositas. Sifat fisikokimia tersebut dapat meningkatkan proses nanoemulsifikasi, ukuran tetesan, dan kelarutan obat. Minyak yang digunakan adalah jenis minyak yang mampu melarutkan obat secara maksimal dan menghasilkan ukuran tetesan yang diharapkan (Makadia et al, 2013).

  Obat yang memiliki sifat lipofilik sebaiknya dilarutkan dalam sistem nanoemulsi tipe O/W sedangkan sifat hidrofilik dibuat sistem nanoemulsi tipe W/O. Pembuatan preformulasi merupakan faktor penting dalam proses pengembangan obat sistem nanoemulsi yang sukar larut, atau obat dengan kelarutan tergantung dengan berbagai komponen formulasi. Pemilihan minyak dalam formulasi nanoemulsi untuk menjaga tetap terjaga dalam bentuk terlarut harus memperhatikan kelarutan obat tersebut dalam fase minyak (Azeem et al., 2009).

  b.

  Surfaktan Pemilihan jenis surfaktan dipengaruhi oleh sifat dari masing- masing jenis tersebut. Surfaktan nonionik umum digunakan karena relatif tidak beracun dibandingkan dengan surfaktan ionik yang relatif toksik. Surfaktan nonionik tidak terpengaruh oleh pH dan perubahan kekuatan ion, serta aman dan biokompatibel. Surfaktan nonionik pada sistem nanoemulsi O/W baik dalam pemakaian oral maupun parenteral memiliki sifat yang baik secara in vivo (Azeem et al., 2009).

  Keefektifan penggunaan suatu surfaktan tergantung dari kesetimbangan dari nilai Hydrophylic-Lipophylic Balance (HLB) dan

  

oil phase . Nilai HLB berkisaran antara 0-20, semakin tinggi nilai

  HLB dari surfaktan maka sifatnya semakin hidrofilik dan sangat larut dalam air atau disebut fase O/W. Sedangkan semakin rendah nilai

  HLB maka menunjukan sistem tersebut adalah fase W/O (Sukriya, 2011).

  c.

  Kosurfaktan Penambahan kosurfaktan pada formulasi sediaan nanoemulsi adalah untuk meningkatkan drug loading serta mengatur ukuran tetesan (Makadia et al, 2013). Kosurfaktan ditambahkan pada sistem nanoemulsi dengan konsentrasi surfaktan yang rendah. Beberapa penambahan surfaktan tidak cukup mampu mengurangi tegangan antarmuka maka harus ditambah dengan kosurfaktan. Penambahan kosurfaktan akan mengurangi tegangan antar muka dan meningkatkan fluiditas antarmuka (Azeem et al., 2009). Kosurfaktan berperan dalam membantu kelarutan dalam medium dispers dengan meningkatkan fleksibilitas lapisan di sekitar area droplet dan menurunkan energi bebas permukaan sehingga stabilitas lebih dapat dipertahankan (Azeem et al., 2009).

3. Monografi Bahan a.

  Minyak 1)

  Asam oleat Asam oleat (cis-9 oktadecenoid acid, oleinic acid) adalah asam lemak tak jenuh yang memiliki warna kekuningan hingga coklat

  3 o

  terang. Memiliki berat jenis 0,895 g/cm , titik leleh 13-14 C dan

  

o

  viskositas 26 pada suhu 25

  C. Asam oleat merupakan asam yang memiliki rantai panjang yang tersusun dari 18 rantai karbon dengan satu ikatan rangkap diantara atom ke-9 dan ke-10. (Rowe

  et al, 2006) b.

  Surfaktan 1)

  Labrasol Nama kimia dari labrasol adalah Caprylocaproyl

  Macrogolglycerides yang merupakan campuran dari monoester,

  diester dan triester yang diperoleh dari alkoholisis parsial trigliserida. Labrasol memiliki bentuk cairan berminyak warna kuning pucat yang larut dalam air panas serat mudah larut dalam metilen. Zat ini memiliki berat massa molekul relatif antara 200 dan 400 (Komisi Farmakope Eropa, 2013).

  c.

  Kosurfatan 1)

  PEG 400

  Gambar. 2.2 struktur PEG 400 (Rowe et al, 2009)

  Propilenglikol merupakan cairan kental, tidak berwarna dan mempunyai konsistensi kental. Nilai HLB dari PEG 400 adalah sebesar 11,6 dan dikatagorikan secara umum sebagai bahan yang relatif tidak beracun (Rowe et al., 2006.). PEG 400 merupakan salah satu jenis bahan pembawa yang sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam formulasi untuk meningkatkan kelarutan obat (Sinko, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Talegaonkar et

  al (2011) menunjukkan bahwa PEG 400 yang digunakan sebagai

  kosurfaktan dengan konsentrasi 10-20% dapat menghasilkan nanoemulsi yang jernih dan stabil serta ukuran droplet < 100 nm. 2)

  Transcutol Transcutol atau diethylene glycol monoethyl ether merupakan cairan higroskopis tidak berwarna larut dalam air, aseton dan alkohol, namun tidak larut dalam minyak mineral serta sedikit larut dalam minyak nabati. Transcutol memiliki berat molekul 134,2 dengan rumus kimia C

  

6 H

  14 O 13 (Komisi Farmakope Eropa, 2013).

  d.

  Aqua Destilata Aqua destilata atau air suling merupakan air suling yang dibuat dengan menyuling air yang dapat diminum. Aqua destilata memiliki pemerian cairan jernih, tidak berwarna tidak, tidak berbau, tidak mempunyai rasa (Departemen Kesehatan RI, 1979). Aqua destilata memiliki inkompatibilitas dengan bahan yang mudah terhidrolisis, dapat bereaksi dengan garam-garam anhidrat, serta material-material organik dan kalsium koloidal, selain itu dapat lebih mudah terurai dengan adanya udara dari luar. Aqua destilata memiliki berat molekul

  3 o

  18,02, bobot jenis 1,00 gr/cm , titik didih 100

  C, dan pH larutan 7 (Rowe et al., 2009).

4. D-Optimal

  Optimasi merupakan suatu cara untuk menghasilkan hasil terbaik sesuai dengan batasan yang diberikan. Optimasi bertujuan untuk meminimalkan usaha yang diperlukan atau biaya operasional dan memaksimalkan hasil yang diinginkan.

  Design expert adalah software yang dirancang untuk membantu

  mendesain dan menginterpretasikan beberapa faktor percobaan. Software ini ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk optimasi seperti

  

Simplex lattice design, Factorial design dan D-Optimum (Buxton. 2007).

  Pada penelitian ini digunakan D-Optimum.

  D-Optimal digunakan untuk meminimalkan variasi dari koefisien regresi yang diperkirakan. Algoritma D-optimal digunakan untuk memperkirakan model matematis hubungan antara respon (Y) dengan variabel bebas (faktor

  • – faktor). Model optimasi D-Optimal ditentukan dari faktor utama dengan nama yang terdiri dari satu atau beberapa huruf, seperti A B C. Penentuan interaksi menggunakan tanda bintang (*), seperti A * B (NCSS).

B. Kerangka Konsep

Gambar 2.3 Kerangka konsep penelitian

  Studi awal 1.

  Studi kelarutan THC 2. Uji kompatibilitas minyak, surfaktan dan kosurfaktan.

  Optimasi formula SNEDDS menggunakan sistem design expert 7.0.0. metode D-Optimal Formula optimum SNEDDS THC menggunakan desain D-Optimal

  

Tetrahydrocurcumin (THC)

  Lipofilik

  Self Nano-emulsifying Drug Delivery System (SNEDDS)

3. Pembuatan diagram pseudoterner

  Optimasi formula SNEDDS THC 1. % transmitan 2.

  Waktu emulsifikasi 3. Pelepasaan THC dari SNEDDS pada menit ke15 (DE 15)

C. Hipotesis 1.

  Metode D-Optimum dapat menghasilkan nilai respon perkiraan.

  2. Metode D-Optimum dapat menghasilkan formulasi optimum SNEDDS.

  3. Respon perkiraan software menggunakan D-Optimal design tidak berbeda secara bermakna dengan respon hasil percobaan yang dibuat pada kondisi optimum.

  4. Metode D-Optimum mengasilkan persamaan dan model yang valid .