BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well Being 1. Pengertian Subjective Well Being - PENGARUH KEBERSYUKURAN TERHADAP SUBJECTIVE WELL BEING ORANG TUA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH LUAR BIASA YAYASAN KESEJAHTERAAN USAHA TAMA (SLB YAKUT) PURWOKERTO - r

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well Being 1. Pengertian Subjective Well Being Ryan dan Deci (2001) menyebutkan bahwa dalam menjelaskan

  subjective well-being dapat dilihat dari dua pendekatan yaitu pendekatan eudaimonic dan pendekatan hedonic. Aliran eudaimonic yang merupakan

  aliran yang menekankan pada kesejahteraan diri yang melibatkan pemenuhan atau pengidentifikasian diri individu yang sebenarnya. Di sisi lain, aliran

  hedonic menjelaskan kesejahteraan diri yang melibatkan kebahagiaan secara

  subjektif. Aliran tersebut juga memperhatikan pengalaman menyenangkan versus tidak menyenangkan yang didapatkan dari penilaian baik buruknya hal-hal yang ada dalam kehidupan individu.

  Konsep yang banyak dipakai pada penelitian dengan pandangan

  hedonic adalah subjective well being, sedangkan konsep psychological well being dipakai untuk penelitian dengan pandangan eudaimonic. Subjective well being lebih menekankan bahwa individu dinilai sejahtera apabila ia

  menggunakan potensi yang ada dalam dirinya. Subjective well being dikatakan oleh Diener (dalam Ahmad, 2012) lebih unggul dalam menjelaskan hal apa yang membuat kehidupan individu lebih baik.

  Definisi subjective well-being menurut Compton (2005), adalah proses kognitif individu mengenai penilaian yang global tentang penerimaan hidup individu. Sedangkan Diener dan Lucas (1999), adalah evaluasi individu tentang kehidupan, termasuk penilaian kognitif terhadap kepuasan hidup serta evaluasi afektif dari mood dan emosi-emosi. Snyder dan Lopez (2002) mendefinisikan subjective well being sebagai sebuah konsep luas yang mencakup emosi menyenangkan mengalami, rendahnya tingkat suasana hati negatif, dan kepuasan hidup yang tinggi.

  Stock menyebutkan bahwa subjective well being didefinisikan sebagai suatu evaluasi positif mengenai kehidupan individu yang diasosiasikan dengan diperolehnya perasaan menyenangkan (Pinquart & Sorenson, 2000). Diener (2007) menambahkan, individu yang merasakan subjective well being yang melimpah dan hanya sedikit perasaan tidak nyaman, ketika terlibat dalam kegiatan yang menarik dan ketika individu merasakan banyak kesenangan dan sedikit rasa sakit, dan ketika individu puas dengan hidup.

  Ed Diener, et al (1997) menyebutkan bahwa subjective well-being mengacu pada bagaimana individu mengevaluasi hidup. Di dalamnya meliputi variabel-variabel seperti kepuasan dalam hidup dan kepuasan pernikahan, tidak adanya depresi dan kecemasan, serta adanya suasana hati (mood) dan emosi yang positif. Lebih lanjut disimpulkan oleh Compton (2005), bahwa secara garis besar, indeks subjective well-being individu dilihat dari skor dua variabel utama, yaitu kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup.

  McGilivray dan Clarke (dalam Coceao & Bandura, 2007) menjelaskan bahwa subjective well being melibatkan evaluasi multidimensional kehidupan, termasuk penilaian kognitif dari kepuasan hidup dan evaluasi afektif emosi dan suasana hati. Area subjective well being terdiri dari analisis ilmiah tentang bagaimana individu mengevaluasi kehidupan individu, baik di saat ini dan telah lalu. Evaluasi ini termasuk emosional individu tentang suatu peristiwa, suasana hati, penilaian mereka tentang bentuk kepuasan hidup, pemenuhan kebutuhan kepuasan pada domain seperti pernikahan dan pekerjaan. Dengan demikian, subjective well being merupakan studi yang mana individu awam menyebutnya sebagai kebahagiaan dan kepuasan.

  Perasaan tiap individu, emosi, dan evaluasi diri dinyatakan fluktuatif dari waktu ke waktu dimana membicarakan tentang tingkat perbedaan yang ada antara individu dan masyarakat (Diener, dkk, 2002).

  Beberapa ahli teori berpendapat bahwa penyebab subjective well being secara fundamental sama untuk semua individu. Ryff dan Singer (dalam Diener, 2007) mengemukakan bahwa tujuan hidup, hubungan kualitas, menganggap diri, dan rasa penguasaan adalah fitur universal kesejahteraan.

  Penentuan nasib sendiri teori mempertahankan bahwa dasar subjective well

  

being pada pemenuhan kebutuhan psikologis bawaan seperti otonomi,

  kompetensi dan keterkaitan. Jika sumber subjective well being bersifat universal, individu memberikan dimensi sepanjang yang kita dapat membandingkan masyarakat.

  Penelitian yang memeriksa secara psikometri perilaku subjective well

  

being telah menunjukan bahwa skala self-report cenderung dapat diandalkan

  dan valid. Sebagai contoh, tindakan multi-item kepuasan hidup, kepuasan domain, dan skala positif dan negatif mempengaruhi semua menunjukan reiabilitas tinggi, terlepas dari apakah reliabilitas dinilai dengan menggunakan korelasi inter-item atau tes-ulang korelasi jangka pendek (Diener, et al, 1999).

  Berdasarkan teori yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa

  

subjective well being adalah suatu bentuk pengukuran kualitas hidup individu

  mengenai kepuasan dan kebahagiaan dalam hidupnya yang membuat individu sering kali merasakan emosi yang positif dan jarang sekali mengalami emosi yang negatif. Individu yang merasakan subjective well being akan merasakan kebahagiaan dan kepuasan hidup.

2. Teori Subjective Well Being

  Subjective well being dapat dimaknai melalui teori dari beberapa ahli

  yang berkorelasi dengan hasil penelitian yang dilakukan. Teori yang dikemukakan para ahli yang dikutip dalam Diener (1987), antara lain : a. Telic theory

  Telic theory menjelaskan bahwa subjective well being terdiri dari

  kebahagiaan yang diperoleh dari beberapa keadaan seperti tujuan atau kebutuhan yang telah tercapai. Salah satu postulat teoritis yang ditawarkan Wilson (1960) adalah bahwa “pemenuhan kebutuhan menyebabkan kebahagiaan dan sebaliknya, kebutuhan yang tidak terpenuhi menyebabkan ketidakbahagiaan”. Banyak penelitian mengenai

  

subjective well being tampaknya didasari pada implicit model yang

berkaitan dengan kebutuhan dan tujuan.

  b. Activity Theory

  Activity theory memandang kebahagiaan sebagai hasil samping

  dari aktivitas individu. Individu memiliki kemampuan tertentu dan kebahagiaan akan datang ketika kemampuan tersebut ditunjukan dengan cara yang sangat baik. Salah satu tema yang dalam teori ini yang sering muncul adalah kesadaran diri akan mempengaruhi kebahagiaan dan ada beberapa penjelasan empiris untuk ini (Csikszentmihalyi & Figurski, 1982).

  c. Bottom Up vs Top Down Theories Diener (Compton, 2005) mengemukakan bahwa kepuasan dalam hidup dan kebahagiaan dapat dijelaskan dengan menggunakan dua pendekatan umum, yaitu bottom up theory dan top down theory :

  Bottom up theory memandang bahwa kebahagiaan dan kepuasan

  hidup yang dirasakan dan dialami individu tergantung dari banyaknya kebahagiaan kecil serta kumpulan peristiwa-peristiwa bahagia. Secara khusus, kesejahteraan subjektif merupakan penjumlahan dari pengalaman-pengalaman positif yang terjadi dalam kehidupan individu. Semakin banyaknya peristiwa menyenangkan yang terjadi, maka semakin bahagia dan puas individu tersebut. Untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif, teori ini beranggapan perlunya mengubah lingkungan dan situasi yang akan mempengaruhi pengalaman individu, misalnya: pekerjaan yang memadai, lingkungan rumah yang aman, pendapatan/gaji yang layak.

  Top down theory melihat subjective well being yang dialami

  individu tergantung dari cara individu tersebut mengevaluasi dan menginterpretasi suatu peristiwa/kejadian dalam sudut pandang yang positif. Perspektif teori ini menganggap individu yang menentukan atau memegang peranan apakah peristiwa yang dialaminya akan menciptakan kesejahteraan psikologis bagi dirinya. Pendekatan ini mempertimbangkan jenis kepribadian, sikap, dan cara-cara yang digunakan untuk menginterpretasi suatu peristiwa. Sehingga untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif diperlukan usaha yang berfokus pada mengubah persepsi, keyakinan dan sifat kepribadian individu.

  d. Association Theory Salah satu pendekatan kognitif terhadap kebahagiaan mempunyai keterkaitan dengan jaringan dalam memori. Bower (1981), menunjukan bahwa individu akan mengingat kenangan yang sesuai dengan kondisi emosional yang mereka alami. Penelitian mengenai jaringan memori menunjukan bahwa individu dapat mengembangkan banyak jaringan memori yang positif, dan terbatas, serta terisolasi dari yang negatif. Pada individu tersebut, banyak peristiwa dapat memicu afeksi dan pemikiran positif. Sehingga individu dengan suatu jaringan yang dominan positif akan cenderung bereaksi terhadap peristiwa dengan cara yang lebih positif.

  Berdasarkan penjabaran teori-teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori subjective well being meliputi dipandang terdiri telic theory, activity

  

theory, bottom up vs uop down theories, association theory. Subjective well

being dapat diraih dari kebahagiaan yang diperoleh dengan tercapainya

  tujuan atau kebutuhan individu. Aktivitas individu juga dapat mempengaruhi

  

subjective well being ketika individu mampu menunjukan kemampuannya

  dengan sangat baik. Menurut bottom up theories, subjective well being dapat dirasakan tergantung dari kumpulan peristiwa bahagia, sedangkan perspektif

  

top down theories memandang subjective well being tergantung individu

  menginterpretasi suatu peristiwa dalam sudut pandang positif. Sedangkan dalam pendekatan kognitif, ketika individu dengan jaringan memori yang positif akan cenderung bereaksi terhadap peristiwa dengan cara yang lebih positif.

3. Aspek-aspek Subjective Well Being

  Menurut Diener et al, (1999), aspek yang menimbulkan subjective

  

well being dapat dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi kognitif (penilaian atau

  

judgement ) yang terdiri dari kepuasan hidup dan kepuasan domain, serta

  afektif (emosional) yang terdiri dari afeksi positif dan afeksi negatif. Aspek- aspek yang saling berhubungan tersebut adalah: a. Kepuasan Hidup

  Kepuasan hidup adalah kondisi subjektif dari keadaan pribadi individu sehubungan rasa senang atau tidak senang sebagai akibat dari adanya dorongan atau kebutuhan yang ada dari dalam dirinya dan dihubungkan dengan kenyataan yang dirasakan (Caplin, 1999).

  b. Kepuasan Domain Kepuasan domain adalah penilaian individu dalam membuat evaluasi dalam ranah kehidupannya, biasanya meliputi kesehatan fisik dan mental, pekerjaan, santai, hubungan sosial, dan keluarga.

  c. Afeksi Positif Individu dapat dikatakan memiliki subjective well being yang tinggi jika individu sering kali merasakan emosi yang positif (Diener dan

  Larsen, 1984) memiliki prediktor: penuh perhatian, tertarik, waspada, bersemangat, antusias, terinspirasi, bangga, ditentukan, kuat dan aktif d. Afeksi Negatif

  Individu dapat dikatakan memiliki Subjective Well-Being yang tinggi jika individu jarang sekali mengalami emosi yang negatif (Diener dan Larsen, 1984) memiliki prediktor: sedih, bermusuhan, mudah marah- marah, takut, malu, bersalah, dan gelisah.

  Berbagai penelitian telah menemukan beberapa aspek yang berkaitan dengan kebahagiaan dan kepuasan hidup. Berbagai tinjauan dan literatur secara menyeluruh oleh para ahli menghasilkan kesepakatan mengenai prediktor terkuat subjective well being (Compton, 2005). Aspek-aspek

  subjective well being adalah sebagai berikut :

  a. Harga Diri Positif Campbell (dalam Compton, 2005) menyatakan bahwa harga diri merupakan prediktor yang menentukan kesejahteraan subjektif. Harga diri yang tinggi membuat individu memiliki beberapa kelebihan termasuk pemahaman mengenai arti dan nilai hidup. Harga diri yang tinggi akan menyebabkan individu memiliki kontrol yang baik terhadap rasa marah, jarang melakukan pelanggaran, mempunyai hubungan yang baik dengan individu lain, perhatian terhadap individu lain, serta mempunyai kapasitas produktif dalam pekerjaan.

  b. Pengendalian Diri Perasaan untuk memiliki pengendalian personal dapat diartikan sebagai kepercayaan bahwa individu memiliki beberapa tolak ukur pengendalian atas kejadian-kejadian dalam hidup yang penting bagi dirinya. Sebagai tambahan, tanpa adanya rasa ini, hidup akan dipenuhi oleh kejadian-kejadian yang kacau balau, dimana sebagian besar individu akan menjadi tertekan karenanya. Kebutuhan akan pengendalian yang dapat diterima mungkin menjadi kebutuhan sejak dini (Ryan & Deci, dalam Compton, 2005). Kontrol diri yaitu termasuk proses emosi, motivasi, perilaku dan aktifitas fisik. Dengan kata lain, kontrol diri akan melibatkan proses pengambilan keputusan, memahami konsekuensi dari keputusan yang telah diambil serta mencari pemaknaan atas peristiwa tersebut.

  c. Keterbukaan Individu dengan kepribadian ekstravert akan tertarik pada hal-hal yang terjadi di luar dirinya, seperti lingkungan fisik dan sosialnya.

  Penelitian Diener dkk. (dalam Compton, 2005) mendapatkan bahwa kepribadian ekstavert secara signifikan akan memprediksi terjadinya kesejahteraan individual. Individu-individu dengan kepribadian ekstravert biasanya memiliki teman dan relasi sosial yang lebih banyak, merekapun memiliki sensitivitas yang lebih besar mengenai penghargaan positif pada individu lain (Compton, 2005).

  d. Optimisme Secara umum, individu yang optimis mengenai masa depan merasa lebih bahagia dan puas dengan kehidupannya. Individu yang mengevaluasi dirinya dalam cara yang positif, akan memiliki kontrol yang baik terhadap hidupnya, sehingga melihat masa depan dengan harapan yang positif. Sandra Scheneider (dalam Compton, 2005) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis akan tercipta bila sikap optimis yang dimiliki oleh individu bersifat realistis.

  e. Hubungan Positif Salah satu ciri individu sebagai makhluk sosial adalah adanya kebutuhan interaksi sosial agar menjadi individu seutuhnya. Relasi sosial positif dalam meraih subjective well being dapat dilihat melalui kepuasan dalam keluarga dan teman, serta adanya dukungan sosial.

  f. Nilai Makna dan Tujuan Hidup Sejumlah studi telah menemukan bahwa individu-individu dengan iman terhadap agama yang lebih kuat, yang lebih memandang penting agama dalam hidupnya dan yang lebih sering mengikuti ibadah keagamaan dilaporkan memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.

  Tentu saja, salah satu alasan dari penemuan ini adalah karena agama memberikan arti pada tiap individu.

  g. Penyelesaian Konflik Diri Individu yang memiliki subjective well being yang tinggi secara nyata mempunyai lebih sedikit konflik psikologi. Kepribadian yang terintegrasi menandakan koordinasi yang baik antara aspek dari diri, dan berhubungan pula dengan toleransi yang baik mengenai aspek-aspek yang berbeda pada individu. Individu mampu menyelesaikan konflik dalam dirinya, mampu bekerja keras dalam mencapai tujuan, dan mempunyai resiliensi yang baik.

  Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan aspek yang

  

subjective well being yaitu kepuasan hidup, kepuasan domain, afeksi positif,

  dan afeksi negatif. Semua aspek tersebut harus memiliki nilai yang positif, yaitu memiliki kepuasan hidup, memiliki kepuasan domain, sering merasakan emosi positif, dan jarang mengalami emosi negatif. Selain itu aspek lain

  

subjective well being adalah harga diri positif, pengendalian diri,

  keterbukaan, optimis, hubungan positif, nilai makna dan tujuan hidup, serta penyelesaian konflik diri.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Well Being

  Menurut Diener (2007), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

  subjective well being antara lain :

  a. Faktor Genetik Diener dkk (2005) menjelaskan bahwa walaupun peristiwa di dalam kehidupan mempengaruhi subjective well being, individu dapat beradaptasi dengan perubahan tersebut dan kembali kepada „set point’ atau „level adaptasiā€Ÿ yang ditentukan secara biologis. Adanya stabilitas dan konsistensi di dalam subjective well being terjadi karena ada peran yang besar dari komponen genetis, jadi ada sebagian individu yang memang lahir dengan kecenderungan untuk bahagia dan ada juga yang tidak. Faktor genetik tampaknya mempengaruhi respon emosional individu pada kondisi kehidupan tertentu.

  b. Kepribadian

  Kepribadian dianggap berpengaruh terhadap kebahagiaan. Sejumlah penelitian telah dilakukan dam beberapa tahun terakhir yang meneliti pengaruh kepribadian terhadap subjective well being. Karena studi ini biasanya dilakukan dengan skala sedikit lebih luas dan sampel representatif daripada penelitian yang meneliti faktor-faktor demografi, dengan kesimpulan harus diberikan kepercayaan jika hasilnya tidak direplikasi di sejumlah penelitian dengan berbagai jenis sampel. Ketika individu menerima kriteria ini, beberapa variabel kepribadian menunjukkan hubungan yang konsisten untuk subjective well being.

  c. Umur dan jenis kelamin Umur dan jenis kelamin berhubungan dengan subjective well being, namun efek tersebut juga kecil, dan tergantung kepada komponen mana dari subjective well being yang diukur. Penelitian yang ada mengenai hubungan jenis kelamin dan subjective well being menunjukan bahwa perempuan sama bahagianya dengan laki-laki, bahkan mungkin lebih bahagia daripada laki-laki.

  d. Menikah dan Keluarga Beberapa studi skala besar menunjukan bahwa individu yang menikah dilaporkan memiliki subjective well being yang lebih besar daripada individu yang belum menikah (Andrews et al, dalam Diener, 2007). Glenn melaporkan bahwa meskipun sudah menikah wanita mengalami gejala stres yang lebih besar, tetapi mereka juga mengalami kepuasan yang lebih besar.

  e. Pendidikan Campbell (dalam Diener 2007) memberikan data bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap subjective well being di AS selama kurun waktu 1957-1978. Namun, efek dari pendidikan tidak muncul menjadi signifikan (Palmore; Palmore & Luikart, dalam Diener 2007). Korelasi pendidikan dengan subjective well being umumnya kecil. Pendidikan berhubungan dengan subjective well being apabila ditengahi oleh status dalam pekerjaannya. Apabila pendapatan yang dikonstankan, maka pendidikan mempunyai efek yang negatif, karena pendidikan memberi ekspetasi akan didapatkannya pendapatan yang lebih besar.

  f. Agama Karena religiusitas telah dioperasionalkan dengan cara yang berbeda, maka tidak mengherankan bahwa penemuan tersebut digabung.

  Keyakinan agama, pentingnya agama, tradisionalisme agama umumnya berhubungan positif dengan subjective well being (Cameron et al; dalam Diener, 2007)

  g. Pekerjaan Campbell, dkk (dalam Diener, 2007) menemukan bahwa individu yang pengangguran adalah kelompok individu yang tidak sejahtera dan bahagia, bahkan ketika adanya perbedaan pendapatan yang dimiliki. Hal ini menunjukan bahwa pengangguran memiliki dampak buruk pada

  subjective well being, untuk kebanyakan individu individu adanya kesulitan keuangan yang mereka alami.

  h. Hubungan Sosial Wilson (Diener, 2007) menyimpulkan bahwa individu ekstrovert lebih bahagia, dan bukti-bukti sejak saat itu telah menguatkan kesimpulan ini, walaupun perbedaan dengan introvert mungkin kecil. Namun, ini tidak berarti bahwa kontak sosial dapat meningkatkan

  subjective well being. Bisa jadi, bahwa individu ekstrovert yang bersosialisasi lebih bahagia dari individu tanpa ada kegiatan sosial.

  Penelitian lain yang dilakukan secara luas, menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well being individu termasuk faktor demografis dan faktor lingkungan (Eddington & Shuman, 2005):

  a. Jenis Kelamin Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih mudah menerima perasaan negatif, sedangkan laki-laki menolak serupa. Oleh karena itu, pengalaman masing-masing antara laki-laki dan perempuan berada di level afek negatif dan depresi yang hampir sama.

  b. Usia Usia diketahui mempunyai hubungan dengan keadaan sekitar dengan subjective well being yang dimediasi oleh harapan-harapan.

  Meskipun demikian, beberapa studi sepakat bahwa usia hanya sedikit mempengaruhi dalam kepuasan hidup.

  c. Pendidikan Hubungan antara pendidikan dan subjective well being merupakan hasil dari korelasi antara pendidikan dengan status pekerjaan dan pendapatan. Namun, pengaruh antara pendidikan dan subjective well being adalah kecil meskipun signifikan.

  d. Pendapatan Pendapatan dengan standar pendapatan nasional dan strata individu, menunjukkan sangat sedikit pengaruh terhadap subjective well

  

being. Beberapa teori mencoba menjelaskan mengapa materi merupakan

  prediktor negatif subjective well being, dalam pencapaian materi terkadang menjadi tidak produktif karena mengganggu tindakan pro-sosial dan aktualisasi diri.

  e. Perkawinan Individu yang menikah memiliki subjective well being lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang tidak pernah menikah, bercerai, berpisah, atau janda. Pada beberapa negara, pasangan yang hidup bersama (kohabitasi) secara signifikan lebih bahagia dibandingkan dengan individu yang tinggal individu diri (Kurdek, Mastekaasa dalam Eddington & Shu- man, 2005). f. Kepuasan Kerja Individu yang bekerja akan mempunyai subjective well being dibandingkan dengan individu yang tidak bekerja. Individu yang tidak bekerja mempunyai tingkat stress yang lebih tinggi, kepuasan hidup yang lebih rendah dan kemungkinan bunuh diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang bekerja.

  g. Kesehatan Hubungan yang kuat antara kesehatan dan subjective well being muncul pada pengukuran kesehatan melalui self-report, tidak pada penilaian secara objektif oleh ahli. Maka dapat disimpulkan bahwa persepsi akan kesehatan menjadi lebih penting daripada kesehatan secara objektif dalam mempengaruhi subjective well being.

  h. Agama Banyak survey yang menunjukkan bahwa subjective well being berkorelasi secara signifikan dengan agama, hubungan individu dengan

  Tuhan, pengalaman doa dan partisipasi di dalam aspek keagamaan. i. Waktu luang

  Veenhoven et al (dalam Eddington & Shuman, 2005) menunjukan bahwa kebahagiaan berkorelasi cukup tinggi dengan kepuasan waktu luang dan tingkatan aktivitas di waktu luang. Kegiatan yang dilakukan pada waktu luang dapat meningkatkan subjective well being, seperti aktivitas menyenangkan bersama teman, kegiatan olah raga, dan liburan. Sedangkan kegiatan menonton televisi di waktu luang terutama tontonan yang berat kurang dapat meningkatkan bahagia (Eddington & Shuman, 2005). j. Peristiwa kehidupan

  Intensitas peristiwa positif yang terjadi tidak banyak mempengaruhi subjective well being sebagian karena jarang terjadi (Eddington & Shuman, 2005). k. Kompetensi

  Penelitian menunjukkan bahwa korelasi antara kompetensi inteligensi dan subjective well being sangat kecil tetapi positif. Subjective

  

well being juga berhubungan dengan kerja sama, kepemimpinan dan

  kemampuan heteroseksual (Eddington & Shuman, 2005) Berdasarkan uraian di atas, subjective well being dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari faktor kepribadian maupun faktor demografis.

  Faktor- faktor tersebut antara lain faktor genetik, kepribadian, usia, jenis kelamin, menikah dan keluarga, pendidikan, agama, pekerjaan dan kepuasan kerja, hubungan sosial, pendapatan, kesehatan, waktu luang, peristiwa kehidupan, serta kompetensi. Meskipun demikian, prosentase faktor tersebut dalam mempengaruhi subjective well being bervariasi mulai dari sedikit mempengaruhi hingga sangat mempengaruhi.

B. Kebersyukuran (Gratitude) 1. Pengertian Kebersyukuran

  Sepanjang sejarah pemikiran, kebersyukuran telah didefinisikan dalam banyak cara (McCollough et al, 2004), Adam Smith mendefinisikan kebersyukuran sebagai perasaan yang mendorong / mengarahkan individu dengan segera dan cepat untuk memberikan penghargaan. Demikian pula Weiner dan Graham mendefinisikan kebersyukuran sebagai stimulus untuk membalas kebaikan hati individu lain dengan demikian menjadi seimbang kembali.

  Lazarus dan Lazarus (McCollough et al, 2004), memberikan konsep mengenai kebersyukuran sebagai salah satu “emosi simpati” yang mencerminkan penghargaan atau apresiasi dari pemberian altruistik. Dalam nada yang sama, Emmons dan Clumper menulis, minimal, kebersyukuran adalah respon emosi untuk menanggapi suatu pemberian. Apresiasi ini dirasakan setelah individu menerima tindakan altruistik.

  Emmons dalam kamus bahasa Inggris Oxford, mendefinisikan kebersyukuran sebagai sifat atau kondisi berterimakasih; apresiasi sebuah kecenderungan atau kehendak hati untuk membalas kebaikan. Kebersyukuran dikenal dengan istilah gratitude (Ahmad, 2012). Pruyser (Emmons & McCullough, 2003) menjelaskan bahwa kata gratitude diambil dari akar Latin gratia, yang berarti kelembutan, kebaikan hati, atau berterima kasih dan gratus yang berarti menyenangkan. Semua kata yang terbentuk dari akar Latin ini berkaitan dengan kebaikan, kedermawanan, pemberian, keindahan dari memberi dan menerima, atau mendapatkan sesuatu tanpa tujuan apapun.

  Solomon (Fluhler, 2010) mendefinisikan kebersyukuran sebagai kebaikan, sifat karakter, dan emosi. Definisi kebersyukuran yang seringkali dikutip yaitu,

  “an estimate of gain coupled with the judgement that someone

  else is responsible for that gain . Emmons & McCullough (2003)

  menambahkan kebersyukuran merupakan sebuah bentuk emosi atau perasaan, yang kemudian berkembang menjadi suatu sikap, sifat moral yang baik, kebiasaan, sifat kepribadian, dan akhirnya akan mempengaruhi individu untuk menanggapi/ bereaksi terhadap sesuatu atau situasi. Emmons juga menyebutkan bahwa syukur itu membahagiakan, membuat perasaan nyaman, dan bahkan dapat memacu motivasi.

  Menurut Klein (1957), kebersyukuran sangat penting untuk menjalin hubungan dengan sesuatu yang baik dan mendasari apresiasi kebaikan di dalam diri individu dan individu lain. Kebersyukuran berakar di dalam emosi dan sikap dan terikat erat dengan kemurahan hati. Kekayaan batin yang dimiliki individu berasal setelah individu mempunyai asimilasi dengan objek yang baik sehingga mampu untuk berbagi dengan yang lain.

  Beberapa tokoh psikologi dalam Seligman (2002) mendefinisikan kebersyukuran sebagai suatu perasaan terima kasih dan menyenangkan atas respon penerimaan hadiah, dimana hadiah itu memberikan manfaat dari individu atau suatu kejadian yang memberikan kedamaian. Wood (2009) menyatakan kebersyukuran adalah sebagai bentuk ciri pribadi yang berpikir positif, mempresentasikan hidup lebih positif.

  McCullough, dkk (2001) dalam tulisannya yang berjudul “Is

  

Gratitude a Moral Affect” menyebutkan bahwa kebersyukuran sebagai

  perasaan moral, yaitu sebagai sebuah reaksi afektif untuk menerima pertolongan dari individu lain dan berfungsi sebagai barometer, motif, dan penguat moral. Kebersyukuran merupakan respon emosional untuk tindakan moral individu lain atas kepentingan yang ditolong (beneficiary).

  Kebersyukuran dialami ketika individu menerima sebuah pemberian yang bernilai atau kebaikan yang dengan sengaja telah disediakan oleh individu (benefactor), biasanya beberapa penghargaan untuk individu tersebut.

  Berdasarkan pengertian yang dikemukakan para ahli, maka dapat disimpulkan kebersyukuran dalam konsep barat adalah suatu emosi perasaan bahagia / menyenangkan ketika individu mengakui adanya pihak lain yang turut andil atas bantuan atau pemberian pihak lain, yang kemudian berkembang menjadi suatu sikap, sifat moral yang baik, kebiasaan, sifat kepribadian, dan akhirnya akan mendorong individu untuk memberi ucapan terimakasih atau dalam berbagai bentuk apresiasi sebagai penghargaan kepada pihak yang membantu.

2. Teori Kebersyukuran

  McCullough, dkk (2001) menyebutkan bahwa lebih dari 200 tahun yang lalu, para teoritikus dan ilmuwan telah mempunyai teori mengenai dasar psikologis kebersyukuran. Hasil penelitian dari beberapa ahli mengkonsepkan kebersyukuran dalam berbagai teori, antara lain sebagai berikut :

  a. The theory of moral sentiments Dalam teori ini, Adam Smith mengungkapkan bahwa kebersyukuran menjadi salah satu emosi sosial paling dasar.

  Kebersyukuran adalah salah satu motivator utama perilaku kebaikan. Smith juga mengungkapkan tiga faktor psikologis yang paling berpengaruh bagi individu untuk mengalami dan mengekspresikan kebersyukuran kepada individu lain yang (1) maksud kebaikannya, benar-benar menolong secara sukarela, (2) berulang kali dalam memberi kebaikan, (3) mampu bersimpati dengan perasaan kebersyukuran yang ditolong.

  b.

  

The moral memory of mankind (Refinements to Smith’s formulation)

  Dipelopori oleh Simmel dan Gouldner. Teori ini merupakan perluasan dari teori yang diungkapkan Smith. Simmel dan Gouldner mengkonsepkan kebersyukuran sebagai sebuah kekuatan untuk membantu individu dan menjaga kewajiban timbal bailk mereka. Simmel menyebut kebersyukuran sebagai memori moral umat individu. Karena struktur sosial formal seperti hukum dan kontrak sosial tidak cukup untuk mengatur dan memastikan timbal bailk dalam semua bentuk interaksi yang dilakukan individu.

  Schwartz menganggap kebersyukuran sebagai sebuah kekuatan yang menyebabkan hubungan sosial untuk mempertahankan orientasi prososial. Trives menambahkan bahwa kebersyukuran sebagai sebuah adaptasi revolusioner yang mengatur respon individu-individu untuk bertindak altruistik.

  c. Cognitive-emotion theories of gratitude Konteks teori ini menetapkan bahwa kognisi sebagai penyebab respon emosional individu-individu untuk peristiwa dalam kehidupan sosialnya. Konsisten dengan teori umumnya yang menghubungkan proses kognitif dengan perilaku sosial, Heider berargumen bahwa individu merasa bersyukur ketika mereka menerima sebuah kebaikan dari individu yang diharapkan kebaikannya. Rasa kesukarelaan adalah faktor penting yang menentukan individu bersyukur. Dan bersyukur lahir atas motivasi internal yang akan berefek bagi individu yang ditolong maupun yang menolong.

  Berdasarkan ketiga teori-teori kebersyukuran dari para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa teori kebersyukuran ada tiga yaitu the theory of

  moral sentiments, t he moral memory of mankind (Refinements to Smith’s

formulation), cognitive-emotion theories of gratitude. Teori tersebut

  menyatakan bahwa kebersyukuran merupakan emosi sosial yang paling dasar sehingga dapat menghasilkan motivasi internal bagi individu untuk melakukan kebaikan, kebersyukuran juga merupakan kekuatan untuk membantu sesama dan melakukan timbal balik atas bantuan tersebut dan pada dasarnya disebabkan proses kognitif yang terkait dengan perilaku sosial.

3. Komponen Kebersyukuran

  McCullough, dkk (2002) mengungkapkan empat komponen yang menimbulkan kebersyukuran, yaitu: a. Intensity, the depth of the feeling, from a slight emotional tug to

  overflowing tears. Dapat diartikan sebagai kedalaman perasaan, sebuah

  emosi yang berasal dari yang paling dalam sehingga dapat membuat air mata mengalir.

  b. Frequency, the ease with which grateful feelings are elicited. Individu memiliki kemudahan untuk bersyukur dengan waktu yang sering.

  Individu yang memiliki kecenderungan bersyukur akan merasakan banyak perasaan bersyukur setiap harinya dan syukur bisa menimbulkan dan mendukung tindakan dan kebaikan sederhana atau kesopanan.

  c.

  

Span, the number of different things for which a person can be grateful

for at the same time. Rentangan dimana individu mensyukuri beberapa

  hal atau sesuatu yang terjadi secara bersamaan/ sekaligus dalam satu waktu.

  d. Density, the number of different people for which a person can be

  

grateful for a single positive outcome. Maksud yang terkandung adalah

  jumlah individu-individu yang merasa bersyukur terhadap sesuatu hal yang positif. Individu yang bersyukur mempunyai lebih banyak nama- nama individu yang dianggap telah membuatnya bersyukur, termasuk orangtua, teman, keluarga, dan mentor (Sulistyarini,2010)

  Wood (2008) mengembangkan kombinasi dari pengukuran kebersyukuran sebelumnya dalam penelitian yang mengungkapkan komponen-komponen kebersyukuran, yaitu :

  a. Penghargaan Orang Lain Kebersyukuran terhadap keberadaan individu lain membuat individu memiliki motivasi instrinsik untuk melakukan berbagai tindakan untuk membangun hubungan yang positif. Salah satu contoh dari tindakan tersebut yang sederhana adalah menghabiskan waktu dengan individu lain. b. Kepemilikan Individu menghargai atas semua yang diterima individu tersebut, baik berwujud maupun tidak berwujud. Individu mengakui kebaikan di dalam kehidupan. Menghargai terhadap apa yang telah diterima individu dapat dilakukan melalui dua cara yaitu melalui tindakan ekspresif dan di dalam batin.

  c. Momen Pemberian Kebersyukuran dapat ditunjukan dengan menghargai segala sesuatu yang timbul dalam kehidupan individu atau pada momen-momen yang dianggap berharga. Individu biasanya merasakan hal yang luar biasa yang membuat individu mengingat momen tersebut.

  d. Ritual Individu melakukan kegiatan yang dilakukan secara rutin untuk mengekspresikan kebersyukuran atas kebaikan-kebaikan yang diterima dalam kehidupan. Individu biasanya fokus sejenak untuk merenungkan kebaikan yang diterimanya.

  e. Rasa akan Kekaguman Sebuah studi menunjukan bahwa kekaguman perasaan dapat membuat seolah-olah individu memiliki lebih banyak waktu. Kekaguman merupakan perasaan yang didapatkan ketika individu menemukan sesuatu yang berarti, atau kompleksitas yang membuat individu dapat memahami kehidupan.

  f. Pembandingan Diri / Sosial Perasaan positif yang dimiliki individu ketika mengevaluasi bagaimana kegagalan atau kesalahan dalam hidup dapat terjadi. Secara internal, individu merasa bahwa dengan menerima maka akan muncul kedamaian yang dirasakan.

  g. Kekhawatiran Eksistensial Individu seringkali dihadapkan pada kekhawatiran-kekhawatiran tertentu yang dapat berupa kerugian, perubahan yang mendadak dan signifikan, dilema, serta kehidupan ambiguitas. Oleh karena itu, individu perlu untuk memahami bahwa tidak ada yang permanen dalam kehidupan.

  h. Perilaku Kebersyukuran Mengekspresikan kebersyukuran secara penuh dan mendalam adalah salah satu jalan yang secara positif mempengaruhi sikap dan perilaku, baik diri sendiri maupun individu lain. individu biasanya melakukan perilaku tertentu untuk menunjukkan penghargaan terhadap apa yang diterima individu tersebut.

  Penjelasan di atas memberikan sebuah kesimpulan bahwa komponen kebersyukuran adalah intensity, frequency, span, density. Selain itu terdapat pula komponen penghargaan orang lain, kepemilikan, momen pemberian, ritual, perasaan akan kekaguman, pembandingan diri / sosial, kekhawatiran eksitensial, perilaku kebersyukuran. Komponen-komponen tersebut menunjukan adanya keberadaan dan gambaran kebersyukuran pada individu.

4. Fungsi Kebersyukuran

  McCullough, dkk (2001) mendeskripsikan bahwa terdapat tiga fungsi kebersyukuran sebagai perasaan moral, yaitu sebagai barometer moral, motif moral, dan penguat (reinforcer) moral (ketika individu mengekspresikan emosi syukur dalam kata atau tindakan).

  a. Kebersyukuran sebagai barometer moral Mengacu pada kebersyukuran sebagai barometer moral, kebersyukuran merupakan pengaruh sensitif yang tampak untuk sebuah fakta perubahan dalam hubungan sosial-ketetapan kebaikan yang dilakukan oleh penerima yang dapat meningkatkan well-being. Pengaruh lain sebagai barometer moral bisa dari perilaku yang tak bermoral. Perilaku ini menjadi kekuatan fungsi barometer moral kebersyukuran.

  b. Kebersyukuran sebagai motif moral Emosi kebersyukuran bisa bernilai motivasi. Rasa syukur individu dapat menjadikannya berkelakuan prososial secara sukarela. Dalam hal ini, kebersyukuran dapat dikatakan menjadi salah satu mekanisme motivasi yang mendasari timbal balik sikap altruistik. Data fakta memperlihatkan bahwa individu-individu yang dibuat bersyukur melalui tindakan penolong secara sukarela akan mengkontribusikan untuk kesejahteraan penolong di masa mendatang. Lebih dari itu, individu yang dibuat bersyukur akan berusaha untuk tidak melukai penolong.

  c. Kebersyukuran sebagai penguat moral Fungsi moral kebersyukuran yang terakhir adalah kebersyukuran sebagai penguat perilaku moral. Ekspresi kebersyukuran pada individu untuk tindakan prososial penolong menghasilkan lebih besar usaha penolong untuk berkelakuan secara moral (tindakan positif) di masa mendatang, dengan demikian kebersyukuran adalah sebuah perasaan dengan penyesuaian tinggi untuk mengekspresikan kebahagiaan.

  Dapat disimpulkan bahwa fungsi kebersyukuran adalah sebagai barometer moral, sebagai motif moral, dan sebagai penguat moral.

  Kebersyukuran dapat mengukur apakah individu mempunyai perilaku yang bermoral atau tidak, dan dapat menjadi motivasi bagi individu untuk berperilaku prososial atau mendasari timbal balik sikap altruistik sekaligus menjadi penguat motivasi perilaku tersebut.

5. Jenis Kebersyukuran

  Peterson dan Seligman (dalam Nadhiroh, 2012) membedakan bersyukur menjadi dua jenis, yaitu : a. Personal, adalah rasa berterima kasih yang ditujukan kepada individu lain yang khusus yang telah memberikan kebaikan atau sebagai adanya diri mereka. b. Transpersonal, adalah ungkapan terima kasih kepada Tuhan, kepada kekuatan yang lebih tinggi, atau kepada dunianya. Maslow menyatakan bahwa bentuk dasarnya dapat berupa pengalaman puncak (peak

  experience), yaitu sebuah momen pengalaman kebersyukuran yang melimpah.

  Kebersyukuran dapat diartikan sebagai bentuk penghargaan atau apresiasi terhadap bantuan pihak lain yang dapat dikategorikan menjadi kebersyukuran personal kepada sesama dan kebersyukuran transpersonal kepada Tuhan yang berupa pengalaman puncak.

C. Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus 1. Pengertian Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus

  Pengertian orangtua dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa orangtua artinya ayah dan ibu. Sedangkan menurut Miami yang dikutip oleh Kartini Kartono, dikemukakan bahwa orangtua adalah pria dan wanita yang terikat dalam perkawinan dan siap sedia untuk memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu dari anak-anak yang dilahirkannya (Kartono, 1982).

  Orangtua adalah dua individu yang berbeda memasuki hidup bersama dengan membawa pandangan, pendapat dan kebiasaan- kebiasaan sehari-hari (Gunarsa, 2003). Pendapat yang dikemukakan oleh Nasution (1986) bahwa orangtua adalah setiap individu yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau tugas rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari yang disebut sebagai bapak dan ibu.

  Berdasarkan pendapat para ahli yang dikemukakan di atas, orangtua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu dan memiliki tanggung jawab mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya.

2. Peran Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus

  Menurut Gunarsa ( 1995) dalam keluarga yang ideal (lengkap) maka ada dua individu yang memainkan peranan penting yaitu peran ayah dan peran ibu, secara umum peran kedua individu tersebut adalah :

  a. Peran ibu adalah sebagai berikut : 1) Memenuhi kebutuhan biologis dan fisik 2) Merawat dan mengurus keluarga dengan sabar, mesra dan konsisten 3) Mendidik, mengatur dan mengendalikan anak 4) Menjadi contoh dan teladan bagi anak

  b. Peran ayah adalah sebagai berikut : 1) Ayah sebagai pencari nafkah 2) Ayah sebagai suami yang penuh pengertian dan memberi rasa aman 3) Ayah berpartisipasi dalam pendidikan anak 4) Ayah sebagai pelindung atau tokoh yang tegas, bijaksana, mengasihi keluarga

  Berdasarkan pemaparan tersebut dapat terlihat bahwa orangtua yakni ayah dan ibu mempunyai peran masing-masing dalam keluarga. Ibu mempunyai peran untuk merawat dan mengurus keluarga sedangkan ayah sebagai pelindung keluarga.

3. Fungsi Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus

  Menurut Soelaeman (1994) orangtua dalam melaksanakan tanggung jawab dalam keluarga mempunyai delapan fungsi, yaitu : a. Fungsi Edukasi

  Pelaksanaan fungsi edukasi keluarga merupakan realisasi salah satu tanggung jawab yang dipikul orangtua, dengan salah satu momen dari tri pusat pendidikan, keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak dalam kedudukan ini wajar kehidupan keluarga sehari-hari. Pada saat-saat tertentu beralih menjadi situasi kehidupan keluarga yang dihayati si terdidik sebagai iklim pendidikan yang mengundangnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada tujuan pendidikan.

  b. Fungsi Sosialisasi Tugas keluarga dalam mendidik anak tidak saja mencakup perkembangan individu anak agar menjadi pribadi yang mantap, akan tetapi meliputi pula upaya membentuknya mempersiapkannya menjadi anggota masyarakat yang baik.

  Dalam rangka melaksanakan fungsi sosialisasi, keluarga menduduki kedudukan sebagai penghubung anak dalam kehidupan sosial dan norma- norma sosial yang meliputi penerangan dan penafsiran ke dalam bahasa yang dapat dimengerti dan ditangkap maknanya oleh anak, selanjutnya pelaksanaan fungsi sosialisasi anak memerlukan fasilitas, pola komunikasi, serta iklim psikologis yang memadai sesuai dengan tujuannya c. Fungsi Proteksi/ Fungsi Lindungan

  Fungsi ini melindungi anak dari ketidakmampuannya bergaul dengan lingkungan pergaulannya, melindunginya dari pengaruh yang tidak baik yang mungkin mengancamnya dari lingkungan hidupnya.

  d. Fungsi Afeksi Pada saat ini masih kecil afeksi memegang peranan yang sangat penting, secara inisiatif dia bisa merasakan atau mencakup suasana perasaan orangtua saat berkomunikasi. Fungsi afeksi lebih banyak menggunakan suasana kejiwaan dari orangtua.

  e. Fungsi religius Keluarga terutama orangtua berkewajiban memperkenalkan, mengajak, serta memberikan pengertian sedini mungkin terhadap anak dan anggota keluarga lainnya kepada kehidupan beragama. Tujuannya bukan sekedar untuk mengetahui kaidah-kaidah agama, melainkan agar anak memiliki keyakinan yang kuat untuk menjadi insan beragama.

  f. Fungsi Ekonomis

  Dalam kaitannya dengan fungsi ekonomi keluarga memberikan pengertian kesadaran dan sikap anak dan seluruh anggota keluarga terhadap uang dan harta kekayaan pada umumnya yaitu uang dan harta sekedar alat yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan hidup.

  g. Fungsi Rekreasi Fungsi rekreasi diartikan sebagai pemberian rasa aman dan nyaman yaitu suasana yang tenang, damai, jauh dari ketegangan batin, segar dan santai yang dapat dirasakan oleh anggota keluarga.