Reaksi Negara Islam di Timur Tengah Terh

REAKSI NEGARA ISLAM TIMUR TENGAH
TERHADAP ISU LGBT DI EROPA
Disusun untuk memenuhi tugas essay mata kuliah
Hubungan Internasional di Eropa

Oleh
Inggrid Ayu Rahmaningtyas (170210110080)

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN 2012

REAKSI NEGARA ISLAM TIMUR TENGAH
TERHADAP ISU LGBT DI EROPA
“As men and women of conscience, we reject discrimination in general, and in particular
discrimination based on sexual orientation or gender identity.”- Ban Ki Moon.
LGBT adalah singkatan dari Lesbian, Gay, Bisexual and Transgendered. Semenjak
diresmikan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa, banyak Organisasi Internasional yang telah
membahas isu LGBT, terutama saat Belanda dan Perancis yang didukung oleh Uni Eropa mulai
mengajukan isu ini ke Majelis Umum. Sejak saat itu, PBB, khususnya United Nation Human
Right Council, terus membahas isu tersebut.

Warga Dunia diminta untuk tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan orientasi
seksual ataupun jenis kelaminnya. Untuk itu, UNHRC memberi perhatian khusus terhadap isu
ini, terutama terhadap aksi diskriminatif atau bahkan penerapan hukuman mati untuk pihak yang
terlibat dalam kasus LGBT. Dalam beberapa kasus yang dijatuhi hukuman mati, pemerintah
menghukum terdakwa dengan berbagai macam kejahatan seksual, seperti, sodomi, perzinahan
atau perkosaan (Whitaker, 2010)
Jika dihubungkan dengan teori Feminisme, adanya kasus LGBT selaras dengan kajian
Feminisme gelombang kedua yang membahas tentang perkembangan berbagai orientasi seksual
seorang laki –laki yang dianggap telah menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku di
masyarakat (Enloe 2000:178). Tetapi hukuman mati yang diterapkan beberapa negara, terutama
Timur Tengah untuk kasus LGBT bertentangan dengan Liberalisme yang menempatkan
kebebasan serta kebutuhan individu sebagai prioritas paling utama, seperti yang banyak
diterapkan oleh negara Barat.
Homoseksual merupakan sebuah tindakan illegal di 76 negara di seluruh dunia, 5
diantaranya yaitu, Mauritania, Sudan, Saudi Arabia, Yaman and Iran menerapkan hukuman mati
(Punishment for female to female relationship, 2012). Aksi perlawanan terhadap kebijakan
hukuman mati dari pemerintah inilah yang telah banyak diajukan dalam Majelis Umum PBB
karena dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Untuk menanggapi hal tersebut, PBB sendiri
telah menghimbau anggotanya untuk menghapuskan kebijakan hukuman mati, tetapi hingga saat
ini masih banyak negara yang masih menerapkannya.

Dengan berlakunya hukuman tersebut, LGBT dianggap sebagai sebuah kejahatan dan
pelakunya harus menerima hukuman. Secara tidak langsung, hal ini menyatakan bahwa
merupakan suatu kesalahan jika anda menjadi seorang gay. Di lain pihak, negara yang membela
Hak Asasi Manusia terhadap komunitas LGBT percaya bahwa menjadi seorang gay bukanlah
sebuah kejahatan melainkan sebagai bagian dari hak dasar utuk hidup. Perdebatan ini merupakan
hambatan besar bagi UNHRC untuk menemukan solusi guna menyelesaikan isu tersebut.
Sebanyak 194 negara anggota PBB tidak bisa menemukan jalan keluar yang tepat untuk
permasalahan ini karena masih bertahan dengan agumennya masing-masing. Jika saja negara-

negara mencoba untuk lebih bersikap netral dalam menanggapi isu LGBT, tanpa mengaitkannya
dengan isu kebudayaan atau keagamaan.
Satu-satunya alasan untuk meyakinkan negara-negara yang masih saja tidak menyetujui
hal ini adalah dengan menggunakan penjelasan ilmiah. Dokter dan ilmuwan telah melakukan
penelitian dan memiliki banyak bukti yang menunjukkan bahwa kasus LGBT bisa saja terjadi
karena adanya faktor genetik atau alasan ilmiah lainnya (Wolf, 2009:19-21). Disamping itu,
meskipun beberapa negara Afrika dan negara Islam lain berpendapat bahwa LGBT dapat
merusak kelangsungan hidup manusia, tetap saja LGBT tidak dapat disamakan hukumannya
dengan kasus pembunuhan.
Legalisasi hukuman mati oleh negara juga menyebabkan ketidakpatuhan warga untuk
ikut dalam program pencegahan HIV AIDS. Mereka takut untuk melakukan test bebas HIV

untuk menjauhkan mereka dari dugaan LGBT. Dengan demikian, untuk mencegah semakin
banyaknya masalah yang timbul sehubungan dengan isu ini, pada tahun 2006 dilaksanakanlah
sebuah konferensi di Yogyakarta yang khusus membahas tentang Hak Asasi Manusia yang
berkaitan langsung dengan sexual orientation dan gender identity (Yogyakarta Principles, 2006).
Tetapi hasil dari konferensi ini yang dikenal dengan “Yogyakarta Principles” dinilai terlalu
memihak negara Barat, terutama Eropa yang menyatakan bahwa orientasi seksual merupakan
bagian dari Hak Asasi. Konferensi ini pun pada akhirnya merujuk kepada rencana pembentukan
dewan internasional yang khusus menangani kasus kekerasan yang dilakukan negara terhadap
komunitas LGBT di negaranya.
Keberpihakan konferensi ini menyebabkan tidak ditemukannya penyelesaian terhadap
permasalahan tersebut. Sampai detik ini pun, negara di Timur Tengah dengan tegas masih
menentang adanya komunitas LGBT di negara mereka. Hal ini dipertegas oleh pernyataan
Ahmadinejad saat berkunjung ke New York yang menyatakan bahwa lesbian, gay, biseksual dan
transgender adalah kumunitas yang tidak nyata di Timur Tengah (Whitaker, 2010).
Kasus yang menggemparkan terjadi di Iran saat dua orang remaja homoseksual, masingmasing berumur 16 dan 18 tahun, melakukan tindakan asusila kepada seorang anak laki-laki
berumur 13 tahun. Mereka berdua dikenakan hukuman mati oleh pemerintah, bukan karena
perilaku asusila, melainkan karena mereka adalah kaum homoseksual. Hal ini langsung
mendapat perhatian dunia karena berdasarkan Convention on the Right of the Child, warga
negara yang berstatus masih dibawah umur tidak dapat dikenakan hukuman mati (MacIntosh dan
Bryson, 2007). Begitu juga Sudan dan Nigeria yang memberlakukan hukum rajam dan cambuk

untuk perilaku homoseksual. Pada tahun 2005, laki-laki berumur 50 tahun warga Nigeria
dihukum rajam hingga mati karena mengaku ia seorang homoseksual (Joanne, n. d.). Hukum
pernikahan di Afganistan menyatakan bahwa pernikahan selain yang telah dilegalkan
pemerintah, yaitu pernikahan antara dua orang Muslim dewasa yang berlainan jenis, akan
dikenakan hukuman mati atau 15 tahun penjara. Senada dengan Saudi Arabia yang menerapkan
peraturan menentang perilaku homoseksual dengan sangat tegas. Mereka menganggap
homoseksual merupakan perilaku yang tidak bermoral dan harus dihukum rajam hingga mati.
Dalam pandangan saya, memang negara Timur Tengah sampai kapanpun tidak akan
menyetujui legalisasi LGBT di negara mereka. Legalisasi disini dalam artian komunitas LGBT

mendapat perlindungan dari negara. Karena memang pada hakikatnya, negara Timur Tengah
merupakan negara dengan orientasi agama Islam yang dalam ajarannya sangat menentang
adanya komunitas LGBT. Masalah ini terlepas dari pandangan bahwa anggota PBB harus
bersikap netral tanpa adanya intervensi agama, karena Timur Tengah dan agama Islam
merupakan suatu unit yang tidak dapat dipisahkan.
“Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang atas ke bawah (Kami balikkan), dan
Kami hujani mereka dengan (batu belerang) tanah yang terbakar secara bertubi-tubi.”
(QS Huud 82-83)

Masalah ini diperparah dengan bentuk negara Timur Tengah yang kebanyakan masih

menerapkan sistem monarki dan memiliki pemimpin diktator, sehingga penerapan peraturan
terlampau ketat dan mindset warganya kurang mengalami perkembangan.
Sebagai solusi untuk masalah ini, negara Timur Tengah bisa saja tetap tidak mengakui
adanya kaum LGBT di negara mereka. Tetapi, demi menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia,
hukum yang mengatur tentang penyimpangan komunitas LGBT harus direvisi guna meringankan
hukuman bagi para terdakwa atau dengan kata lain, dengan tidak membunuh atau menyiksa
mereka dengan kejam.

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Buku
Enloe, Cynthia 2000. Bananas, Beaches and Bases, e-book, diakses pada 6 November 2012 di
books.google.com
Wolf, Sherry 2009. Sexuality and Socialism, e-book, diakses pada 6 november 2012 di
books.google.com
Daftar Artikel Ilmiah
MacIntosh, Lori dan Mary Bryson 2007. Journal of LGBT Youth Vol. 5(1), tersedia di
Daftar Artikel Berita
Joanne n. d., 7 Worst Capital Punishments for Being (Illegally) Gay, Ranker, diakses pada 8
November 2012,

Whitaker, Brian 2010, From discrimination to death–for being gay in Iran, 15 Desember,
diakses pada 6 November 2012 http://guardian.co.uk/commentisfree/2010/dec/15/gayiran-mahmoud-ahmadinejad
Sumber Internet
Yogyakarta Principles Web Services 2006, Yogyakarta Principles, diakses pada 8 November
2012,
International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex Association Web Services 2012, ILGA,
diakses pada 8 November 2012,