Partisipasi Masyarakat dalam Aspek Pembi

Partisipasi Masyarakat dalam Aspek Pembiayaan Sektor Publik
Sebagai Perwujudan Hak dan Kewajibannya dalam Penyediaan Barang
dan Jasa Publik
Oleh:
Kodrat Wibowo, SE, Ph.D
Abstract
One consequence of Indonesian fscaa decentraaization and regionaa
autonomy is that aocaa governments now have more responsibiaity to
provide pubaic goods and services, especiaaay in fnancing aspect.
Fostering citizen participation is very important to provide a better
access for aocaa pubaic goods and services. This paper anaayzes some
basic strategies of how pubaic, both citizen and private may abae to
participate in pubaic goods and services. One important strategy
proposed is voluntary contribution mechanism combined with seaective
incentive: reward and punishment. Since the stronger-need participation of
citizen in public goods and services may put local government in problem of free rider,
determination of the reward and punishment does need an appropriate monitoring
system that will lead to the more financial and political fairness between local
government and its citizen.
Keyword: Pubaic Finance; Decentraaization; Pubaic Participation
I. Latar Belakang

Peran dominan dari salah satu agen perekonomian yaitu “pemerintah” dalam model
sederhana untuk penyediaan barang dan jasa publik sudah tidak dapat diragukan lagi.
Dengan adanya alasan perlunya pemerintah memperbaiki hasil-hasil dari adanya
kegagalan mekanisme pasar (market failure) dalam pencapaian tingkat keseimbangan
setiap kegiatan perekonomian, peran pemerintah sebagai penyedia barang dan jasa publik
termasuk penyediaan infrastruktur telah menjadi satu pokok bahasan tersendiri dalam
ekonomi sektor publik dan keuangan publik.
Indonesia telah mengalami banyak perubahan mendasar dalam sistem antar
pemerintahannya sejak diberlakukannya otonomi daerah dan sistem fiskal yang lebih
terdesentralisasi. Pada bulan Mei 1999, dua buah undang-undang yang sangat penting
tentang otonomi daerah dan desentralisasi telah disetujui oleh DPR, yaitu UU No. 22/

1999 tentang kewenangan pemerintan daerah dan UU No. 25/1999 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Kedua undang-undang ini kemudian
diperbaharui dan telah digantikan oleh UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 dengan
beberapa perubahan yang lebih menjelaskan peranan dan hak serta kewajiban tiap tingkat
pemerintahan yang lebih detail termasuk diantaranya masalah pemilihan kepala daerah.
Pemerintah daerah dengan dua dasar hukum ini sekarang memiliki tanggung jawab yang
lebih besar untuk menyediakan barang dan jasa publik yang sebelumnya lebih banyak
disediakan oleh pemerintah pusat lewat badan dan kementerian. 1 Penyediaan barang dan

jasa publik ini adalah implementasi langsung dari upaya memperbaiki kegagalan
mekanisme pasar yang terjadi pada perekonomian di tingkat daerah baik propinsi maupun
kabupaten/kota. Pendidikan dasar, kesehatan, persediaan air minum, jalan daerah dan
infrastruktur daerah dikebanyakan negara disediakan oleh pemerintah daerah (Sen, 1985).
Penyediaan barang dan jasa publik dan khusunya kegiatan kepemerintahan sendiri
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kewenangan pemerintah daerah untuk menggali
pendapatannya sendiri lewat PAD telah banyak dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh
beberapa daerah, namun tetap saja tidak dapat dipungkiri bahwa peranan dana transfer
dari pemerintah pusat (DAU dan DAK) serta penerimaan bagi hasil terhadap total
penerimaan daerah masih sangat dominan. Tidak mengherankan bila kemudian dapat
dilihat bahwa masalah defisit anggaran di tingkat pemerintah daerah bukan merupakan
suatu strategi yang memang disengaja oleh pengambil kebijakan pembangunan
perekonomian di daerah, namun lebih merupakan fenomena umum bahwa jumlah belanja
pemerintah daerah lebih besar dibandingkan penerimaan pemerintah itu sendiri dengan
kata lain “lebih besar pasak daripada tiang”. Istilah adanya anggaran berimbang dinamis
diperiode sebelum tahun 2004 lebih memperlihatkan bahwa pemerintah daerah tetap
tidak dapat lepas dari ketergantungan hutang berupa pinjaman terhadap pemerintah pusat
atau pihak lain sebagai salah satu bentuk penerimaan. 2 Namun seiring dengan bergulirnya
reformasi, struktur neraca belanja di Indonesia telah memisahkan aspek pembiayaan dari
1


Kodrat Wibowo, “Lessons from Previous Taxes’ Studies to Indonesian Lokal and Regional Geovernment
after Fiskal Decentralization”, Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan, Vol. III No. I, 2004
2
UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 membolehkan adanya upaya memperoleh pinjaman luar negeri selain
pinjaman dalam negeri. Namun kewenangan meminjam dari sumber luar negeri ini diputuskan untuk
dilarang lewat revisi kedua UU itu menjadi UU No 33 dan 34 Tahun 2004.

komponen

penerimaan

dan

pengeluaran

dalam

anggaran


belanja-nya,

guna

memungkinkan adanya suatu pola anggaran yang memang defisit atau bahkan surplus
sekalipun sebagai strategi perekonomian negara dan daerah. Selanjutnya juga sebagai
implementasi dari desentralisasi fiskal dan otonomi daerah yang lebih teratur, wacana
pinjaman daerah yang berasal dari sumber non pemerintah pusat dengan kata lain yang
berasal dari partsipasi pihak masyarakat atau swasta telah dibuka selebar-lebarnya.
Kebutuhan dana pembiayaan oleh pemerintah daerah terutama dari pinjaman daerah
memang secara undang-undang masih belum jelas peraturan-peraturan pelengkapnya.
Namun sudah jelas bahwa terdapat sedikitnya empat saluran dimana akses pemerintah
daerah terhadap pembiayaan via pinjaman dapat dilakukan:
1. Pinjaman langsung oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
2. Pinjaman lewat perantara publik, dalam hal ini lembaga keuangan milik negara
atau daerah
3. Pinjaman langsung dari Pasar Modal, dan
4. Melalui Desentralisasi Pasar bila dimungkinkan.
Makalah ini akan lebih banyak membahas tentang saluran ke empat yaitu akses
pembiayaan melalui desentralisasi pasar dari layanan publik. Saluran ini dirasakan paling

memungkinkan karena kelemahan-kelemahan dari saluran 1 sampai dengan 3 yaitu
misalnya pinjaman langsung dari pemerintah pusat dengan kapasitas fiskal yang terbatas
hanya akan memaksa pemerintah pusat untuk mencari dana pinjaman lewat
pinjaman/hutang luar negeri (on-lending to subnational tiers), jelas hal yang dihindari
akhir-akhir ini. Pinjaman lewat perantara publik dalam hal lembaga keuangan milik
negara atau daerah harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat mengakibatkan konflik
dan kompetisi antara investasi publik dan investasi swasta. Terakhir, pinjaman langsung
dari pasar modal juga terasa kurang nyaman dilakukan karena akses pasar modal yang
masih terbatas di daerah-daerah luar pulau Jawa terutama Indonesia bagian timur.
II. Partisipasi Sektor Swasta

Desentralisasi pasar merupakan saluran pembiayan yang melibatkan partisisipasi
masyarakat dalam hal ini terutama sektor swasta dalam hal pembiayaan hingga
penyampaian barang dan jasa publik yang biasanya dilakukan pemerintah kepada
masyarakat umum. Dalam saluran ini, ide utama adalah bahwa pemerintah seharusnya
secara luas mempromosikan partisipasi sektor swasta dalam jasa publik tradisional yang
ditenggarai tidak memiliki “market failure”. Walaupun misalnya tejadi market failure,
pemerintah tetap harus mempromosikan partisipasi sektor swasta ini dengan
pertimbangan-pertimbangan seperti biaya dan kualitas. Selain masalah pembiayaan,
upaya desentralisasi pasar ini juga didorong oleh adanya keraguan bahwa pemerintah

memiliki kemampuan produksi yang efisien seperti halnya sektor swasta dan juga realita
bahwa masalah “free rider” dalam pemanfaatan dan konsumsi barang dan jasa publik
tidak dapat diselesakan lewat penyediaan oleh pemerintah.
Studi empiris secara historis memperlihatkan banyak potensi bagi sektor swasta untuk
berpartisipasi dalam penyediaan berbagai barang publik: Coase (1974) mempelajari
kemampuan swasta dalam penyediaan mercusuar; Ellig & High (1988) menggunakan
penyediaan jasa pendidikan; riset pertanian (Majewsky, 1989) dan komoditas lainnya
(lihat Cowen, 1988 dan Wooldridge, 1970).
Idealnya pemerintah dalam promosi partisipasi sektor swasta ini harus pula menjamin
bahwa sisi equity, neutrality, continuity, dan stability tetap terjamin oleh aturan-aturan
yang secara jelas harus memisahkan peranan swasta dan publik dalam penyediaan barang
dan jasa publik. Terdapat sedikitnya tiga jenis desentralisasi pasar yang sudah umum
diberlakukan diberbagai negara, baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah:
1. Privatisasi: Badan usaha milik pemerintah yang memproduksi penyediaan barang
dan jasa publik secara kepemilikan akan dialihkan kepada sektor swasta.
2. Transfer of Operations: Kepemilikan badan usaha penyedia barang dan jasa
publik tetap ditangan pemerintah namun operasional sehari-hari ditransfer kepada
pihak swasta.

3. Consignment of Operations: secara komprehensif atau sebagian dari operasional

Badan usaha penyedia barang dan jasa publik di re-legasikan kepada sektor
swasta.
Ketiga jenis desentralisasi pasar ini memperlihatkan dengan jelas bagaimana perbedaan
tingkat partisipasi masyarakat dalam hal ini sektor usaha swasta yang dimungkinkan
dalam penyediaan batang dan jasa publik yang biasanya dilakukan oleh pihak sektor
publik atau pemerintah. Pembahasan lebih lanjut dari partisipasi sektor swasta sebagai
bagian dari masyarakat ini akan dilakukan lebih detail oleh makalah lainnya, karena
terdapat anggota masyarakat lainnya yang tidak termasuk pengusaha sektor swasta,
dalam hal ini penduduk biasa yang juga mempunyai hak dan kewajiban sebagai
masyarakat dalam hak dan kewajibannya dalam penyediaan barang dan jasa publik.
III. Partisipasi Masyarakat Umum
III.1. Partisipasi Pembiayaan
Secara mendasar, keikutsertaan masyarakat dalam arti individu-individu terhadap
penyediaan barang dan jasa publik dapat diterangkan sebagai upaya dari menekan
timbulnya gejala umum free rider yang jelas akan mengurangi keberhasilan upaya
pemerintah daerah dalam penyediaan barang dan jasa publik. Banyak studi literatur yang
berupaya mengidentifikasi karakteristik masyarakat yang dapat membantu menekan atau
semaksimal mungkin meniadakan gejala masalah free rider. Olson (1965) dan Hardin
(1982) berpendapat bahwa obyek dari penyediaan barang dan jasa publik dalam
kelompok masyarakat yang lebih kecil dapat lebih sukses dibandingkan kelompok

masyarakat dengan jumlah besar.
Cara lain dalam menekan adanya masalah free rider dalam penyediaan barang dan jasa
publik adalah pemberlakuan selective incentive, mengkompensasi masyarakat untuk
kontribusi sukarela (voluntary contribution) mereka, beberapa cara diantaranya dengan
reward berbentuk non-moneter, atau bahkan dengan memberlakukan penalti sampai
dengan punishment terhadap mereka yang tidak berkontribusi. Dalam hal ini tentunya
faktor butuh tidaknya anggota masyarakat sangat menentukan karena secara asas

manfaat, hanya anggota masyarakat yang butuh manfaatlah yang lebih sukarela
berkontribusi.
Kontribusi sukarela ini (kontribusi berbentuk sumbangan uang maupun sumbangan inkind) bila digabungkan dengan kontribusi yang non-sukarela dengan kata lain dipaksakan
(pajak dan retribusi), secara jumlah moneter tentunya akan dapat mendorong pada
peningkatan kuantitas sekaligus kualitas dari penyediaan barang dan jasa publik dalam
suatu daerah. Walaupun di daerah-daerah dengan tingkat keragaman etnis dan
ketimpangan ekonomi yang tinggi, terdapat bukti empiris bahwa kualitas dan kuantitas
produksi barang dan jasa publik yang mendasarkan pada voluntary contribution
mechanism akan lebih buruk (Alesina et al, 1999; Easterly & Levine, 1997; Nugent and
Swaminathan, 2004).3
Penjelasan lain dari partisipasi masyarakat dapat dijelaskan dengan bahasan pendekatan
perilaku strategi manusia secara ekonomi (behavioural economics) dan ketergantungan

antar individu, karenanya banyak didekati analisanya lewat pendekatan game theory.
Hipotesis utama pendekatan perilaku ini adalah perilaku manusia lebih bersifat
boundedly selfish dengan kata lain tidak secara murni mementingkan diri sendiri tapi
lebih mementingkan kepentingan kelompoknya secara terbatas. Terdapat dua alasan
mengapa voluntary contribution untuk pembiayaan hingga penyampaian barang dan jasa
publik dapat terjadi: (i) konsumsi utilitas atau manfaat secara langsung dari keikutsertaan
dalam kegiatan sosial dan (ii) Potensi dari keuntungan komersil di waktu yang akan
datang dari network yang terbangun selama aktif berpartisipasi. Kedua alasan ini memang
dapat dimengerti karena seringnya ditampilkan para pejabat, artis, pengusaha dan pejabat
dalam kegiatan-kegiatan penyediaan barang dan jasa publik ini. Contoh yang paling
mudah di Indonesia dalam hal ini adalah penyediaan barang publik berupa fasilitas
kesehatan dasar di tingkat kecamatan hingga desa/kelurahan yaitu pos pelayanan
kesehatan terpadu (posyandu) yang secara statistik terbukti telah menjadi kunci
keberhasilan Indonesia di masa orde baru dalam upaya strategi kesehatan masyarakat
3

Khusus untuk daerah-daerah perkotaan terutama daerah ibukota negara dan propinsi, dengan jumlah
massive dari penduduk serta keragaman etnis yang tinggi, upaya meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam penyediaan barang dan jasa publik terutama dikaitkan dengan aspek pembiayaannya menjadi
tantangan tersendiri dibandingkan dengan daerah propinsi lain.


menuju tingkat indikator kualitas manusia Indonesia yang lebih baik. Pembiayaan
posyandu sangat beragam dimulai dari sumbangan tiap pribadi anggota masyarakat
hingga anggaran desa dan sumbangan lain, namun secara keuangan publik, posyandu
adalah murni partisipasi masyarakat. Pada setiap kegiatan posyandu (minimal 1 kali
dalam sebulan) akan hadir para pejabat pemerintahan lokal beserta pejabat dinas dan
instansi terkait yang sebetulnya secara implisit merupakan faktor penjual dari kegiatan
penyediaan jasa publik berupa kesehatan ini.4 Menggejalanya berbagai wabah penyakit di
Indonesia seperti demam berdarah, polio, campak, diare dan lain-lain merupakan indikasi
makin menurunnya peran dari posyandu di daerah pemukiman dalam mengkomplementasi penyediaan jasa kesehatan publik oleh pemerintah pusat dan daerah.
Tentunya mekanisme voluntary contribution yang telah dipraktekkan dalam bidang
kesehatan ini dapat pula diterapkan pada berbagai barang dan jasa publik lain seperti
pendidikan dasar, pertamanan, keamanan, sanitasi, dan ketertiban serta lainnya, yang
tentunya harus tetap berbentuk informal seperti posyandu atau satuan pengamanan
(satpam) di komplek perumahan dibandingkan dengan yang berbentuk formal dan jelasjelas dibiayai oleh pemerintah pusat maupun daerah seperti puskemas, rumah sakit umum
pusat dan daerah, Satpol Pamong Praja, dan Kepolisian RI.
Pola selective incentive dengan reward untuk yang berpartisipasi atau punishment bagi
yang menolak berpartisipasi dapat dimodifikasi dengan pola selective incentive yang
mengadopsi sedikit dari pola pembiayaan pembangunan melalui penerimaan undian/lotre,
yaitu dengan memberlakukan suatu reward berdasarkan undian bagi para anggota

masyarakat yang bersedia berpartisipasi dalam pembiayaan baik secara moneter maupun
in-kind dalam penyediaan barang dan jasa publik. Landry et.al (2005) menyatakan bahwa
secara experiment di lapangan telah terbukti bahwa mekanisme voluntary contribution
secara selective incentive dilihat dari kinerja hasil masih kalah jauh oleh kinerja pola
voluntary contribution dengan pendekatan rewards dengan sistem insentif lotre. Memang
4

Indonesia memperoleh penghargaan dari UNICEF dan WHO untuk kegiatan posyandu ini. Walaupun
terbukti setelah krisis moneter 1997-1998, jumlah establishment dan partisipasi masyarakat menurun ratarata 15% di seluruh posyandu yang pernah mencapai lebih dari 200.000 buah. Disisi lain justru yang
meningkat setelah krisis moneter adalah tingkat kunjungan dari keluarga dengan tanggungan Balita. Salah
satu indikasi peningkatan kebutuhan yang tinggi akan pelayanan kesehatan dari kelompok masyarakat.

harus dipertimbangkan dengan kuat terhadap adanya resistensi sosial dari penerapan pola
insetif /undian loter ini dikarenakan adanya fakta bahwa segala sesuatu yang berkaitan
dengan “judi” masih dianggap haram secara nilai agama dan budaya masyarakat
Indonesia tanpa melihat tujuan dan aspek korespondensi antara sumber pembiayaan dan
tujuan alokasi pengeluarannya yang jelas secara signifikan bertujuan untuk kesejahteraan
sosial bersama.5
III.2. Partisipasi Masyarakat non Pembiayaan
Sebenarnya partisipasi masyarakat dalam penyediaan barang dan jasa publik lebih banyak
dikaitkan dengan hubungan masyarakat sebagai objek dari mekanisme politik dan public
choice dalam proses pengambilan kebijakan. Partisipasi dalam definisi yang dikeluarkan
oleh World Bank dan Asian Development Bank adalah suatu proses melalui
keterpengaruhan dari dan antar stakeholders serta pembagian fungsi pengawasan
terhadap inisiatif pembangunan, pengambilan keputusan, serta sumber-sumber daya yang
mempengaruhinya. Dalam definisi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), partisipasi
masyarakat ini dijelaskan sebagai upaya mencapai ide bahwa masyarakat adalah pelaku
pembangunan yang dimulai dari tahap perencanaan hingga tahap implementasi dan
pengawasan terhadap program dan proyek pembangunan. Program dan proyek
pembangunan ini termasuk diantaranya program dan proyek untuk pembangunan sosial
dan program dan proyek untuk infrastruktur ekonomi. Beberapa jenis partisipasi
masyarakat dalam program-program pembangunan yang bersifat penyediaan barang dan
jasa publik termasuk infrastruktur ekonomi (Pretty, 1995) dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Information Disclosure, masyarakat berpartisipasi dengan cara diberitahukan
tentang adanya suatu program yang telah diputuskan atau bahkan disahkan. Peran
masyarakat dalam hal ini adalah pasif karena mereka yang berpartisipasi
hanyalah penerima dampak dan manfaat dari program dan proyek. Dalam bentuk
partisipasi ini tidak terdapat sistem umpan balik (feedback) yang sistematis.
5

Di Amerika Serikat seluruh negara bagian yang tidak memiliki sumber penerimaan lotre sebagian
besarnya adalah negara bagian termiskin dan rendah kualitas sumber daya manusianya. Hal ini karena
penerimaan lotre secara korespondensi digunakan untuk membiayai penyediaan pendidikan dasar dan
kesehatan serta infrasturktur daerah.

2. Konsultansi Publik, masyarakat berpartisipasi dengan cara dikonsultasikan. Agen
eksternal (konsultan) mendefinisikan masalah dan pengumpulan informasi dan
mengawasi analisa yang diperoleh. Konsultasi dengan publik ini tidak
mewajibkan agen eksternal untuk memperhitungkan pendapat masyarakat namun
feedback yang diperoleh dimungkinkan responsivitasnya dan akuntabiliti-nya.
Dalam jenis konsultasi ini, hal-hal yang berkaitan dengan masalah opsi dan
resiko dapat pula didiskusikan.
3. Functional Participation, masyarakat didorong untuk berpartisipasi guna
mencapai tujuan dan sasaran program dan proyek pembangunan. Partisipasi ini
diharapkan dapat menurunkan besaran biaya dan patuh pada syarat-syarat
prosedural. Sifat yang terasa pada jenis konsultasi ini adalah dimungkinkannya
suatu negosiasi antara pelaksana program dan proyek dengan pihak masyarakat
yang menerima dampak dan benefit dari program dan proyek.
4. Interactive Participation, masyarakat berpartisipasi lewat kemitraan dengan agen
external pada tahap awal yang strategis dan sepanjang implementasi program
tersebut.
5. Self Mobilization, masyarakat berpartisipasi dengan inisiatif sendiri terutama bila
pemerintah, LSM dan sektor swasta menyediakan kerangka dan sistem yang
memungkinkan partisipasi ini terjadi.
Jenis-jenis partisipasi masyarakat diatas telah banyak diterapkan diberbagai negara
termasuk Indonesia sendiri, dimana sekarang ini prosedur Analisa Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) telah menjadi hal yang diwajibkan untuk setiap proyek atau
program pembangunan disetiap pemerintahan daerah. Namun disadari bahwa efektivitas
prosedur ini lebih banyak dapat dinilai pada proyek dan program yang dilakukan oleh
sektor swasta, sedangkan untuk proyek dan program yang diinisiasi sekaligus
dilaksanakan oleh sektor publik tidak terlalu banyak diperhatikan, mengingat aturan yang
ada masih memiliki paradigma lama yaitu setiap proyek dan program yang dilakukan
sektor publik telah melewati prosedur konsultasi dengan pihak legislatif yang juga
mewakili masyarakat secara fungsinya.

IV. Kesimpulan
Untuk aspek partisipasi masyarakat lewat peran sektor swasta dan individu masyarakat,
sepertinya peraturan dan perundang-undangan yang telah tersedia cukup memadai untuk
dijadikan dasar pemikiran perlunya suatu Masterplan Pembiayaan Daerah yang meliputi
seluruh komponen masyarakat beserta kepentingan-kepentingannya. Khusus untuk
program dan proyek penyediaan barang dan jasa publik, karena berbeda kaidahnya
dengan program dan proyek yang dilaksanakan oleh sektor swasta, ada baiknya
ditenggarai pentingnya kombinasi SWOT analysis dengan Regulatory Impact
Assesstment (RIA)6, minimal secara parsial guna melengkapi analisa dampak keseluruhan
dari Masterplan Pembiayaan Daerah yang melibatkan konsultasi publik yang lebih
dalam analisa dan bahasannya hingga ke tahap monitoring dan evaluasi dari program dan
proyek tersebut.
Daftar Pustaka
Alesina, A. and R. Perotti (1996). ‘Income Distribution, Political Instability and Growth’.
European Economic Review, 40, 1203-28.
Bardhan, Pranab, Maitreesh Ghatak and Alexander Karaivanov, “Inequality, Market
Imperfections, and the Voluntary Provision of Collective Goods”, University of
Chicago University Press, 2002
Coase, R.H. ’”The Lighthouse in Economics." Journal of Law and Economics, October
1974, 357-376.
Cowen, Tyler, ed. The Theory of Market Failure: A Critical Examination. Fairfax,
Virginia: George Mason University Press, 1988.
Easterly, W. and R. Levine (1997). ‘Africa’s Growth Tragedy: Policies and Ethnic
Divisions’, Quarterly Journal of Economics; 112 (4), 1203-50.
Ellig, Jerome and Jack High. The Private Supply of Education: Some Historical
Evidence." In The Theory of Market Failure: A Critical Examination, edited by
Tyler Cowen. Fairfax, Virginia: Goerge Mason University Press, 1988.

6

Metode ini banyak digunakan di negara-negara anggota OECD untuk penilaian evaluasi terhadap suatu
peraturan dan konsep pembangunan termasuk proyek dan program pembangunan perekonomian khususnya
dan program pembangunan sosial umumnya.

Kodrat Wibowo, “Lessons from Previous Taxes’ Studies to Indonesian Lokal and
Regional Geovernment after Fiskal Decentralization”, Jurnal Ekonomi dan
Kewirausahaan, Vol. III No. I, 2004
Landr, Craig, Andreas Lange, John A. List, Michael K. Price and Nicholas G. Rupp,
Toward An Understanding Of The Economics Of Charity: Evidence From A
Field Experiment, NBER, 2005
Majewski, John. "Farming and the Public Good: Social Incentives and Agricultural
Research in England, 1600-1850." Photocopy, Department of History,
University of California, Los Angeles, 1989.
Pretty, J.N. (1995) ‘Participatory learning for sustainable agriculture’, World
Development 23(8) 1247–63
Wooldridge, William C. Uncle Sam,.the Monopoly Man. New Rochelle, New York:
Arlington House, 1970.

BIODATA PENULIS
Menyelesaikan program Doktoralnya di University of Oklahoma, Amerika Serikat (2003)
Penulis adalah Pengajar tetap Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi, Unpad selain
menjabat Sekretaris Laboratorium Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat dan
Pengkajian Ekonomi (LP3E), Universitas Padjadjaran (2003-sekarang). Penulis juga
adalah Dosen Luar Biasa pada Program Magister Studi Pembangunan, Institut Teknologi
Bandung (MSP ITB), Program Magister Keuangan Daerah, Institut Ilmu Pemerintahan
(MKD-IIP), Jakarta, Dosen Non-organik pada Sekolah Staf dan Komando Angkatan
Darat (SESKOAD), Bandung, selain pernah menjadi Visiting Scholar/Academist di Pusat
Studi Kebijakan/Centre of Policy Studies (COPS), Monash University, Australia (JuniJuli 2006) dan dosen tamu di Pusdik Intelkam Lemdiklat POLRI, Bandung.