Pelanggaran Berat HAM oleh Korporasi
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Diterbitkan oleh: KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA ©2013
JURNAL HAM
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Dewan Penasihat
: Semua Komisioner & Sekretaris Jenderal Komnas HAM
Penanggungjawab
: Siti Noor Laila
Dewan Penyunting
: Dianto Bachriadi; M. Imdadun Rahmat, Sandrayati Moniaga; Roichatul Aswidah; Nur Kholis;Ansori Sinungan; Natalius Pigai; Manager Nasution; Siane Indriani; Otto Nur Abdullah; Muhammad Nurkhoiron, Hafid Abbas,
Penyunting Penyelia
Sastra Manjani, SH, MM, : Rusman Widodo, S.Sos
Penyunting Pelaksana
: Adoniati Meyria Widaningtias, SH; Eva Nila Sari, SE; Nurjaman, SH; Administrasi dan Keuangan : Ratnawati Tobing, SH (Koordinator); Eka Christiningsih Tanlain, S.Sos; Arief Suryadi, Kamaluddin Nur, Didong Deni Anugrah
Produksi (Desain Grafis)
: Banu Abdillah, S.iP; Didi Supandi, A.Md; Hari Reswanto, SS.
Distribusi
Sri Hartanto Kurniawan, A.Md, Iman Supandi :
Penerbit
: Komnas HAM
Alamat Redaksi
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Jalan Latuharhary No. 4B Menteng, Jakarta Pusat 10310 Telepon (021) 392 5230, Faksimili (021) 391 2026
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan ISBN: 978-979-26-1438-1
Jurnal HAM Komnas HAM
Jakarta: Jurnal HAM Komnas HAM, 2013, xvi + 210 Hal; 210 mm x 297 mm Penerbitan ini dibagikan secara gratis, tidak diperjualbelikan. Penggandaan penerbitan ini untuk
kepentingan penyebarluasan nilai-nilai HAM harus mendapat persetujuan tertulis dari Komnas HAM.
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi jurnal ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Kutipan Pasal 72, Ayat 1 dan 2, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana di maksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal
49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan
atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pi- dana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
PELANGGARAN BERAT HAM OLEH KORPORASI
Bosman Batubara
Abstrak
Artikel ini menyanggah keputusan Komnas HAM pada 2012 yang menyatakan bahwa Lumpur Lapindo bukan pelanggaran berat HAM. Berdasarkan dua kontra- argumentasi, makalah ini menyatakan sebaliknya. Kasus ini dapat dikenakan pasal kejahatan terhadap kemanusiaan, seterusnya diproses secara pidana. Pengadilan kejahatan HAM berat oleh korporasi sangat mendesak dalam konteks Indonesia karena luas dan beragamnya konflik agraria pasca-reformasi. UU Nomor 26/2000, seperti halnya Alien Tort Claims Act (ATCA) dan Torture Victim Protection Act (TVPA) di Amerika Serikat dan Canada’s Crimes Against Humanity and War Crime Act (CAHWCA) di Kanada, seharusnya mengisi celah impunitas yang disisakan oleh Statuta Roma.
Kata-kata kunci: Lumpur Lapindo, pelanggaran berat HAM, kejahatan terhadap kemanusiaan, pidana, dan konflik agraria.
Sejarah artikel
Versi lebih sederhana tulisan ini muncul di: Batubara, B. 2013. Pelanggaran berat HAM Kasus Lumpur Lapindo , dapat diunduh di: http://indoprogress. com/pelanggaran-ham-berat- kasus-lumpur-lapindo/; dan dalam: Batubara, B., 2013. Umweltzerstörung oder͒schwere
Menschenrechts
verletzungen Der Fall der Lapindo Schlammkatastrophe .
Asienhaus
Magazine. 2: 34-7, diterjemahkan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Jerman oleh Anett Keller.
Tentang penulis
Bosman Batubara adalah alumnus Jurusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada dan Interuniversity Programme in Water Resources Engineering , KU Leuven dan VU Brussels, Belgia. Pada 2009-10 terlibat dalam advokasi korban Lumpur Lapindo; 2013 terlibat sebagai salah seorang inisiator Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam .
Keputusan Komnas HAM atas
tentang Pengadilan HAM (selanjutnya
Kasus Lumpur Lapindo
dalam tulisan ini akan disebut UU 26/2000). Salah seorang komisioner
ada Agustus tahun 2012, Komnas HAM yang terlibat dalam
Komisi Nasional (Komnas) pemungutan suara yang disampaikan
Hak Asasi Manusia (HAM) di atas, M. Ridha Saleh, menyatakan
mengeluarkan
putusan
bahwa mereka memasukkan kasus bahwa bencana Lumpur Lapindo
Lumpur Lapindo ke dalam kategori bukan pelanggaran berat HAM.
lingkungan atau Keputusan Komnas HAM ini diambil
pemusnahan
ekosida dan menilai bahwa kejahatan berdasarkan pemungutan suara di
ini termasuk kejahatan berat dan kalangan komisionernya. Dari 11
berdampak sangat luas bagi kehidupan orang komisioner, 5 orang (Syafruddin
manusia, tetapi mereka tidak bisa Ngulma Simeulue, Kabul Supriyadhie,
menggunakan argumen pelanggaran Nur Khalis, Munir Mulkhan dan
dalam UU 26/2000 di mana hanya ada Saharudin Daming) sepakat bahwa
dua kategori yang masuk pelanggaran Lumpur Lapindo adalah kejahatan
berat HAM yaitu kejahatan terhadap berat HAM , sementara 6 orang yang
kemanusiaan dan genosida. Karena lain (Ifdhal Kasim, Yosep Adi Prasetyo,
itu, kasus Lumpur Lapindo tidak bisa Johny Nelson Simanjuntak, M. Ridha
diperlakukan sebagai pelanggaran Saleh, Hesti Armiwulan, dan Ahmad
berat HAM meskipun ada sebanyak Baso) berpendapat bahwa Lumpur
15 poin pelanggaran HAM dalam Lapindo bukan pelanggaran berat HAM
kasus ini. Komnas HAM juga mengaku (Nugroho, 2012). Dengan mengambil kesulitan memasukkan kasus Lumpur contoh kasus Lumpur Lapindo, tulisan ini Lapindo ke dalam pelanggaran berat
akan membahas persoalan pelanggaran HAM karena selama ini pelanggaran
berat HAM oleh korporasi. berat HAM dilakukan oleh negara,
Apa argumentasi di balik keputusan bukan korporasi. Tetapi Komnas HAM ini? Sependek yang dapat penulis ikuti,
sepakat bahwa kasus ini bukan bencana sampai saat ini ada dua alasan mengapa
alam. Sebagai rekomendasi, Komnas dalam kasus seperti Lumpur Lapindo,
HAM memasukkan klausul ekosida di mana pelakunya adalah korporasi,
dalam draf amandemen UU 26/2000 tidak dapat dijadikan sebagai kasus
(Desiyani, 2012).
pelanggaran berat HAM. Kedua , meskipun tidak secara
Pertama , keterbatasan Undang- langsung berkaitan dengan kasus Undang Nomor 26 Tahun 2000
Lumpur Lapindo, akan tetapi ada satu Lumpur Lapindo, akan tetapi ada satu
menghancurkan atau memusnahkan berat HAM. Masih berkaitan dengan
seluruh atau sebagian kelompok keterbatasan UU 26/2000 di atas, yang
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok tidak secara jelas menyatakan korporasi
agama, dengan cara: a)membunuh sebagai subjek delik, maka kemungkinan
anggota kelompok; b)mengakibatkan lain adalah dengan membawanya ke
penderitaan fisik atau mental yang ranah pidana. Akan tetapi hal terakhir
anggota-anggota pun bermasalah karena sistem hukum
berat
terhadap
kelompok; c)menciptakan kondisi pidana di Indonesia masih mengacu
kehidupan kelompok yang akan subjek delik berupa manusia (naturlijke
mengakibatkan kemusnahan secara persoon ). Artinya, perumusan tindak
fisik baik seluruh atau sebagiannya; pidana, pertanggungjawaban pidana,
tindakan-tindakan dan sanksi pidana lebih dominan
d)memaksakan
yang bertujuan mencegah kelahiran di mengarah pada subjek manusia (Ali,
dalam kelompok; atau e)memindahkan 2011). Beberapa tahun sebelumnya,
secara paksa anak-anak dan kelompok dengan studi kasus Exxon Mobil
tertentu ke kelompok lain.” di Aceh, Putri (2007) menyatakan
Sementara, Pasal 9 UU 26/2000 bahwa Indonesia belum memiliki
bahwa “kejahatan perangkat hukum untuk menangani
dinyatakan
terhadap kemanusiaan adalah salah pelanggaran berat HAM oleh korporasi
satu perbuatan yang dilakukan sebagai (rechtpersoon/legal person).
bagian dan serangan yang meluas
Pelanggaran berat HAM
atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
Apa itu “pelanggaran berat HAM”? secara langsung terhadap penduduk Pasal 7 UU 26/2000 menjelaskan
sipil, berupa: a)pembunuhan; b) bahwa ada dua macam pelanggaran
c)perbudakan; d) berat HAM, yaitu genosida dan
pemusnahan;
atau pemindahan kejahatan terhadap kemanusiaan.
pengusiran
penduduk secara paksa; e)perampasan Definisi-definisi yang ada dalam UU
atau perampasan 26/2000 sendiri diadopsi dari Rome
kemerdekaan
kebebasan fisik lain secara sewenang- Statute of International Criminal Court wenang yang melanggar (asas-asas)
(Statuta Roma) (Wiratraman, 2008). ketentuan pokok hukum intemasional; f)penyiksaan; g)perkosaan, perbudakan
Dalam Pasal 8 UU 26/2000, seksual, pelacuran secara paksa,
dijelaskan bahwa ‘kejahatan genosida’ pemaksaan kehamilan, pemandulan
adalah “setiap perbuatan yang atau sterilisasi secara paksa atau bentuk- adalah “setiap perbuatan yang atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-
sudah menjadi pelengkap belaka kelompok tertentu atau perkumpulan
dalam sistem ekonomi—terjemahan yang didasari persamaan paham politik,
oleh Bosman] (Polanyi, 2001; 79). ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,
Ini menggeser paham lama bahwa jenis kelamin atau alasan lain yang telah
seharusnya yang diperlukan adalah diakui secara universal sebagai hal yang
sebaliknya, sistem ekonomi yang dilarang menurut hukum internasional;
menjadi pendukung dari kehidupan i)penghilangan orang secara paksa;
manusia. Menguatnya ekonomi pasar atau; j)kejahatan apartheid.”
yang sangat mempercayai bahwa pasar memiliki kemampuan mengatur dirinya
Kejahatan negara dan koporasi
sendiri (self-regulating market) tanpa intervensi dari negara (interventionism)
(Polanyi, 2001; 71) ditandai dengan kontemporer, pelanggaran HAM yang
Dalam konteks
Indonesia
pengurangan peran negara di berbagai dilakukan oleh korporasi menjadi
sektor, seperti pendidikan, pelayanan sangat relevan dibicarakan setidaknya
kesehatan, dan tata kelola sumber daya karena dua alasan. Pertama, ekonomi
alam.
neoliberal telah mendorong semakin kuatnya peran pasar, dalam beberapa
Neoliberalisme, menurut Harvey kasus mendikte negara. Kedua ,
(2005), adalah teori ekonomi politik banyaknya jumlah konflik yang disertai
yang berpandangan bahwa kehidupan dengan pelanggaran HAM karena
manusia yang lebih baik dapat dicapai aktivitas korporasi.
dengan memberikan kebebasan bagi individu dalam kerangka hak privat yang
Runtuhnya Orde Baru telah ketat, pasar, dan perdagangan bebas. menguatkan
ekonomi
neoliberal
Secara historis, neoliberalisme muncul di Indonesia. Sejatinya penguatan
karena depresi hebat di tahun 1930-an ekonomi pasar telah dimulai jauh
yang menghantam sistem kapitalisme. sebelumnya pada tahun 1967 ketika Di saat itu, argumen yang memimpin tiga undang-undang pro pasar, yaitu adalah bahwa, baik kapitalisme
Undang-Undang Penanaman Modal maupun sosialisme, gagal membawa
Asing, Undang-Undang Kehutanan, dan Undang-Undang Pertambangan
peradaban ke arah yang lebih baik. Para disyahkan. Studi Polanyi dengan kasus
pengkampanye Neoliberalisme seperti sekitar Perang Dunia I di negara-negara
Friedrich von Hayek, Ludvig von Mises, Eropa memperlihatkan bahwa “human
dan Milton Friedman menekankan society had become an accessory of the
pengurangan peran negara di bidang pengurangan peran negara di bidang
HAM karena aktivitas korporasi. Meski pasar tidak berfungsi dalam sektor
bukan sebuah angka yang proporsional, seperti air, pendidikan, kesehatan, dan
karena tidak menampilkan jumlah tanah, maka ia perlu diciptakan dengan
kasus yang dipicu oleh korporasi, tetapi bantuan negara (Harvey, 2005; 1-38).
dari angka berikut kita bisa mengetahui konteks Orde Baru. Pada tahun 1994,
Keruntuhan Orde Baru hanyalah Komnas HAM menangani 101 kasus permukaan dari gunung es semakin
tanah dan 165 kasus pada tahun 1995 efektifnya ekonomi pasar di Indonesia.
(Lopa, 1996).
Pada tahun 1997, Presiden Soeharto
pembanding pasca menandatangani Letter of Intent (LoI)
Sebagai
Reformasi 1998 (Widiyanto, 2013), dengan International Monetary Fund
Konflik SDA dan agraria di Indonesia (IMF) di mana diatur pemberlakuan secara garis besar disebabkan oleh Structural Adjustment Programmes ketimpangan penguasaan atas tanah. (SAPs) di Indonesia. Dalam kasus Term agraria di sini mengacu ke UU negara-negara di Sub-Sahara, studi yang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 sangat bagus dari Rita Abrhamsen telah
mendefinisikan cakupannya menunjukkan bahwa pada dasarnya sebagai “Seluruh bumi, air dan ruang SAPs hanyalah sebuah teknologi angkasa, termasuk kekayaan alam yang pengetahuan yang melaluinya lembaga- terkandung di dalamnya ”. Negara dan lembaga keuangan dunia mendesakkan korporasi memiliki porsi penguasaan teknologi pengaturan ke negara-negara
yang
atas tanah yang sangat dominan, di Sub-Sahara (Abrahamsen, 2004).
dibandingkan dengan penguasaan oleh Dari situ sangat mudah dipahami
mayoritas masyarakat di sekitar area bagaimana konfigurasi klasik (negara,
yang berkonflik. Pada 2012, 64,2 juta masyarakat, dan pasar) sebenarnya
hektar tanah (33% dari keseluruhan sudah berubah menjadi (negara+pasar
daratan Indonesia) telah diberikan berhadapan
kepada perusahaan-perusahaan ke- (Batubara, 2013; Savitri, 2011).
dengan
masyarakat)
hutanan, pertambangan gas, mineral, Konfigurasi yang sedang menjadi ini
dan batubara berupa izin konsesi. terlihat nyata dalam berbagai kasus
Pada 2013 di Indonesia konflik konflik agraria di tanah air, misalnya, berlangsung di 98 kota/kabupaten di di Porong, Pati, dan Kebumen. Hal ini
22 provinsi dengan luas area konflik akan dijelaskan pada bagian lain tulisan
mencapai 2.043.287 hektar atau ini.
setara dengan setengah luas provinsi Kedua , banyaknya jumlah konflik
Sumatera Barat. Urutan daerah dengan Sumatera Barat. Urutan daerah dengan
Table 1: Daerah konflik berdasarkan jumlah dan luas area yang terlibat
No Provinsi
Jumlah kasus
Luas lahan [hektar]
1 Kalimantan Tengah
2 Jawa Tengah
3 Sumatera Utara
5 Jawa Barat
6 Kalimantan Barat
Sumber: Widiyanto, 2013. perkebunan. Di bidang pertambangan, Ditinjau dari sektor konflik, secara
konflik meletus karena komunitas umum dapat dibagi menjadi 5 sektor
mempertahankan seperti yang ada dalam tabel 2. Konflik
lokal
sangat
wilayah kelolanya yang dirampas kehutanan pada umumnya berakar
oleh perusahaan melalui izin konsesi pada hak penguasaan sepihak pada
tambang, tanpa ada pertimbangan tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai
persetujuan dengan dasar informasi oleh komunitas lokal secara komunal.
tanpa paksaan. Sementara konflik Di bidang perkebunan akar konflik
agraria adalah konflik tanah di kawasan pada umumnya adalah konversi hutan
non-hutan dan non-kebun yang yang dikelola oleh masyarakat menjadi
berakar pada penguasaan tanah.
Table 2: Konflik berdasarkan sektornya.
No Sektor
Jumlah
Luas lahan [hektar]
Sumber: Widiyanto, 2013.
Dari sisi aktor ada sembilan pihak yang Grafik jumlah konflik agraria di atas terlibat dalam konflik SDA, yaitu: 1]
memperjelas posisi korporasi dalam Masyarakat Adat; 2]Komunitas Lokal;
konflik agraria yang terjadi di Indonesia 3]Kelompok Petani; 4]Taman Nasional/
pasca reformasi. “Perselingkuhan” Kementerian Kehutanan; 5]Perhutani;
antara negara dan pasar hadir dalam 6]PT Perkebunan Nusantara (PN); 7]
berbagai bentuk, baik non-militer Perusahaan/korporasi; 8]Perusahaan
maupun militer. Aktor non-militer Daerah; dan 9]instansi lain. Tiga yang
negara hadir dalam bentuk regulasi, pertama adalah korban dalam konflik
sementara aktor militer terlibat baik SDA yang terjadi di Indonesia. Sehingga,
sebagai “anjing penjaga” maupun dari kalau ditinjau dari aktor yang menjadi
peran langsung mereka dalam konflik penyebab konflik SDA, maka intensitas
berbasis agraria.
konflik seperti yang ada dalam grafik Malih rupa negara Orde Baru
jumlah konflik agraria berikut. birokratik-militeristik menjadi pendukung jumlah konflik agraria berikut. birokratik-militeristik menjadi pendukung
kepentingan ekspansi PT SG ke PKU Daerah (Polda) Jawa Timur (Jatim)
di Kabupaten Pati (Batubara, dkk. mengeluarkan
2010). Adapun contoh ketiga adalah penghentian penyelidikan perkara
surat
perintah
kemenangan korporasi dalam kasus (SP3) yang membuat penyelidikan
uji materiil kasus Lumpur Lapindo dan terhadap kasus Lumpur Lapindo tidak
Sorikmas Mining di Mahkamah Agung bisa diproses lebih lanjut di pengadilan
(Batubara, 2012).
(Batubara, 2011). Keluarnya SP3 ini Keterlibatan aktor militer terlihat
menafikan analisis yang menyatakan dalam peranan militer sebagai “anjing
bahwa bencana Lumpur Lapindo terjadi penjaga” dalam kepentingan korporasi
karena selubung pengeboran di sumur seperti yang terjadi di Bojonergoro,
Banjar Panji-1 (BJP-1) dipasang lebih Boven Digul, dan Poso. Pada ketiga
pendek dari yang direncanakan (Tingay kasus ini militer bukanlah pemodal yang
et al . 2008; Batubara dan Utomo, berinvestasi, tetapi menumpang pada
2012; Batubara 2013), sehingga investasi multinasional sebagai tenaga
dengan demikian, kasus Lapindo pengaman membeking aktivitas bisnis
adalah sebuah bencana industri, alias (Azca, dkk. 2004). Pola ini berubah di
kejahatan korporasi. Di titik ini, sangat Urutsewu, Kebumen, Jateng, di mana
jelas hukum lebih memihak korporasi Angkatan Darat (AD) ikut menjadi
tinimbang kepentingan korban Lumpur pemain dalam bisnis pertambangan
Lapindo.
pasir besi.
Bukti kedua kedua datang dari Konflik di Urutsewu hadir dalam dua
kasus ekspansi PT Semen Gresik (SG) lapis. Pertama Tentara Nasional Indonesia
ke Pegunungan Kendeng Utara (PKU) (TNI) AD versus warga. Kedua, warga
di Kabupaten Pati, Jawa Tengah versus perusahaan tambang pasir besi (Jateng), di mana Rencana Tata yang sedang melakukan eksplorasi, PT Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Mintra Niagatama Cemerlang (MNC) Pati dicoba disesuaikan dengan
yang didukung oleh TNI AD. Konflik di kepentingan ekspansi PT SG. Kawasan
PKU yang dalam RTRW 1993-2012 Urutsewu adalah konflik yang panjang. Kabupaten Pati, masuk dalam kawasan
Pertama kali tanah pasir pada sepanjang pertanian dan pariwisata, mau diubah
pantai Selatan Jawa di Kebumen ini peruntukannya
dipakai sebagai tempat latihan militer industri dan pertambangan dalam RTRW
menjadi
kawasan
pada tahun 1937, ketika itu masih Provinsi Jawa Tengah 2009-2029.
dengan nama Koninklijk Nederlands Di sini kita melihat bahwa dokumen
Indisch Leger (KNIL ; Tentara Kerajaan
Belanda di Hindia Belanda). Militer Rakyat Daerah (DPRD) dengan meminjam tanah dari para pemimpin
kekuatan sekitar 10.000 massa untuk masyarakat. Sejak itulah baku-okupasi
menuntut penghapusan tambang. sepertinya terjadi antara penduduk dan
Pada 2012, kembali warga menolak TNI AD.
pengesahan Perda RTRW. Hasilnya, untuk sementara perizinan belum
Petani Urutsewu berkonflik dengan dicabut di perda, tetapi TNI AD sudah
TNI AD dalam hal kepemilikan terhadap menyabut penguasaan yang mereka
tanah di mana petani memiliki sertifikat. berikan terhadap PT MNC. Sepanjang
TNI AD mengklaim kepemilikan tanah perjuangan, sebagai pukulan balik
seluas 22 km persegi di tiga kecamatan terhadap perlawanan petani, berbagai
yang dipakai sebagai tempat latihan macam reaksi datang baik dari pihak TNI
bagi prajurit TNI AD. Area ini menjadi AD maupun pemerintah. Warga pernah
tempat uji coba senjata, dan beberapa ditembak ketika melakukan ziarah,
kali masyarakat menjadi sasaran salah- menjadi korban ujicoba senjata TNI
bidik latihan militer. Kiai Marzuki, salah AD, kriminalisasi, munculnya organisasi
satu kiai rakyat yang tanahnya diklaim tandingan yang dibentuk oleh tentara,
oleh TNI AD, pernah ditembak oleh menggeser konflik lahan menjadi konflik
aparat TNI AD. horizontal, serta digelontorkannya uang Pasca reformasi, seiring dengan
untuk menyukseskan pertambangan naiknya kebutuhan ekstraksi terhadap
(FNKSDA, 2013).
pasir besi, TNI memberikan izin usaha Keterlibatan militer yang lebih
pertambangan pasir besi terhadap PT panjang dan dalam hadir pada
Mitra Niagatama Cemerlang (MNC), pertarungan sumberdaya di Papua.
sebuah perusahaan ekstraksi dengan Begitu geolog Shell Oil, Jean-Jacques
modal dari Australia. Di dalam jajaran Dozy, mengungkap sumberdaya alam
direksi PT MNC, ada beberapa oknum Papua pada 1936-1939, sejak itu pulalah
TNI AD, Badan Intelijen Negara (BIN), Papua menjadi ajang pembantaian.
dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pemerintah Indonesia dan kelompok- Kawasan
kelompok asing berusaha terus menjaga pertambangan pasir besi melalui RTRW.
akses mereka ke sumber daya tersebut. Hal inilah yang kemudian menyulut
Pada 1976, Pemerintah Indonesia bara perlawanan di Urutsewu. Tahun
berupaya mengamankan Papua untuk 2007, Perda RTRW ditunda karena
memastikan Pemilu Mei 1977 lancar mendapatkan resistensi dari warga.
mendukung Orde Baru. Pemerintah Warga pernah mengepung kantor
Indonesia mengerahkan militer dalam Bupati Kebumen dan Dewan Perwakilan
jumlah ekstra ke Papua. Hasilnya jumlah ekstra ke Papua. Hasilnya
civilian population, with knowledge Kasus ini adalah sebuah upaya genosida
of the attack ”. Dari resital yang ada yang sampai sekarang terus-menerus
di dalam Statuta Roma, maka kita disembunyikan (AHRC, 2013).
dapat melihat bahwa UU 26/2000 adalah hasil adopsi dari Statuta Roma,
Kejahatan terhadap kemanusiaan
karena poin yang sama hadir di dalam Ada dua argumentasi dalam kasus
UU a quo dengan bunyi “kejahatan Lumpur Lapindo yang disebutkan di
terhadap kemanusiaan adalah salah awal tulisan ini. Bahwa kasus Lumpur
satu perbuatan yang dilakukan sebagai Lapindo tidak bisa digolongkan menjadi
bagian dan serangan yang meluas atau ‘genosida’ dan ‘kejahatan terhadap
sistematik yang diketahuinya bahwa kemanusiaan’. Tetapi ia adalah ekosida,
serangan tersebut ditujukan secara dan dengan demikian tidak dapat
langsung terhadap penduduk sipil ”. dikenakaan UU 26/2000. Akan tetapi,
Dengan demikian, sangat beralasan sebelum masuk ke sana, perlu dijelaskan
untuk melihat konteks kelahiran poin mengenai konsepsi ‘kejahatan terhadap
ini di tingkat internasional. Terminologi kemanusiaan’.
‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ awalnya diintrodusir dalam Piagam
Dalam konteks Lumpur Lapindo, Nuremberg (Nuremberg Charter) pada
bangunan argumentasi
yang
8 Agustus 1945 (Ambos and Wirth, ditampilkan oleh Komnas HAM di atas
2002). Konteks yang melatarbelakangi kurang canggih. Karena sebenarnya
ketika Term ini diintrodusir di Piagam bisa dibangun argumentasi bahwa
Nuremberg adalah perang. Konteks kasus Lumpur Lapindo adalah sebuah
ini sudah berubah ketika Statuta Roma kejahatan berat HAM yang dapat
diperkenalkan pada 17 Juli 1998, dikenakan pasal ‘kejahatan terhadap
apalagi ketika UU 26/2000, yang kemanusiaan’. Kalau ditelaah lebih
merupakan bentuk ratifikasi terhadap jauh, ada dua prasyarat agar sebuah
Statuta Roma, disyahkan. peristiwa dapat disebut sebagai
Pasal 9 dalam UU 26/2000 tentang kejahatan terhadap kemanusiaan.
terhadap kemanusiaan Dalam Statuta Roma, resital ini hadir
kejahatan
mengikuti pengertian dalam Article dalam Article 7 di bawah tajuk crimes
7 Statuta Roma, di mana yang against humanity yang didefinisikan
terakhir mengikuti Article 6(c) dalam sebagai “any of the following acts when
Nuremberg Charter. Karena itu, dua committed as part of a widespread or
aturan pertama mengambil asumsi aturan pertama mengambil asumsi
perbuatan yang dilakukan terhadap menimbulkan korban di kalangan sipil.
penduduk sipil sebagai kelanjutan Hal ini sangat mudah dipahami karena,
kebijakan penguasa atau kebijakan The Martens Clause, yang secara umum
yang berhubungan dengan organisasi’. disebut sebagai dokumen pertama
Tampaknya hal ini merupakan saduran yang memunculkan konsep ‘kejahatan
dari Statuta Roma, Article 7(2)a, terhadap kemanusiaan’ adalah sebuah
yang menyebutkan “’Attack directed perangkat hukum untuk kondisi perang.
against any civilian population’ Alasan lain mengapa kondisi perang
means a course of conduct involving dibutuhkan untuk memberlakukan
the multiple commission of acts pasal ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’
referred to in paragraph 1 against any adalah ketakutan bahwa konsep ini
civilian population, pursuant to or in akan melanggar prinsip nir-intervensi.
furtherance of a State or organizational Dengan demikian, kondisi perang
policy to commit such attack ”. dijadikan sebagai elemen internasional
Dalam konteks di atas, maka entitas di mana konsep ‘kejahatan terhadap
yang berada di belakang kebijakan kemanusiaan’ dapat diberlakukan.
termaksud tidaklah mesti negara, karena Meskipun sebenarnya konsiderasi
adanya frase “kebijakan penguasa atau ini sudah dibantah bahwa kondisi
kebijakan yang berhubungan dengan perang bagi Nuremberg Charter
organisasi ” dalam UU 26/2000 atau hanyalah sebuah pra-kondisi bagi
“pursuant to or in furtherance of a state ditegakkannya
aturan
‘kejahatan
or organizational policiy to commit atas kemanusiaan” di dalam sidang
such attack ”. Entitas di belakang International Military Tribunal (IMT;
kebijakan ini adalah pemilik kekuasaan Mahkamah Militer Internasional),
de facto di sebuah daerah yang menjadi bukanlah elemen material satu-satunya
tempat terjadinya kejahatan terhadap bagi diberlakukannya pasal ‘kejahatan
kemanusiaan. Artinya, asumsi pelaku terhadap kemanusiaan’ (Ambos and
Wirth, 2002). pelanggaran berat HAM (hanyalah) negara, dengan demikian gugur dengan
Poin berikutnya adalah ‘ditujukan
sendirinya.
secara langsung terhadap penduduk sipil’. Bagian ini dieksplorasi lebih lanjut
UU 26/2000 melakukan blunder pada bagian ‘Penjelasan’ Pasal 9 UU
dengan tidak menjelaskan secara ketat 26/2000. Dalam konteks ini, ‘yang
apa yang dimaksud dengan ‘meluas dimaksud dengan “serangan yang
atau sistematik’. Hal ini mendukung ditujukan secara langsung terhadap
gurauan bahwa dalam sistem penjelasan gurauan bahwa dalam sistem penjelasan
berbagai jenis tindakan kriminal seperti tidak memahami permasalahan, maka
pembunuhan dan pemerkosaan. Dan tidak akan dijelaskan di dalam bagian
terakhir , sebuah serangan tidaklah penjelasan, atau secara sebaliknya
mesti dilakukan oleh militer. Contoh malah justru akan dijelaskan dengan
untuk poin terakhir adalah serangan frase “cukup jelas”. Perlu digarisbawahi
11 September di Amerika (Ambos and di sini, bahwa kata hubung yang
Wirth, 2002).
digunakan dalam resital a quo adalah
usaha mendefinisikan “atau”, bukan “dan”. Dengan
Dalam
‘serangan meluas’ banyak keputusan demikian, apabila poin “meluas” saja,
atau “sistematik” saja terpenuhi, maka yang memberikan penekanan terhadap otomatis, di tahap ini, sebuah kasus
skala serangan atau, dan hal ini memenuhi prasyarat kejahatan berat
sebenarnya equivalen, jumlah korban HAM
yang jatuh (Ambos and Wirth, 2002). Namun dalam kasus pengadilan
Konsep ‘serangan’ adalah bagian terhadap Jean-Paul Akayesu, walikota tak terpisahkan dari konsep ‘meluas
Taba, Rwanda yang diajukan ke atau sistematik’. Ada tiga pengertian
International Criminal Tribunal for tentang ‘konsep serangan’. Pertama,
Rwanda (ICTR) karena kasus genosida ia dapat diartikan sebagai tindakan
dan kejahatan terhadap kemanusiaan melawan hukum seperti pembunuhan,
di Rwanda, ‘serangan meluas’ diartikan pemusnahan, dan perbudakan. Sebuah
sebagai “masif, tidak hanya sekali, serangan dapat juga bersifat nir-
aksi dalam skala yang luas, dilakukan kekerasan, misalnya, memberlakukan
kolektif dengan tingkat keseriusan yang sebuah sistem apartheid, yang sudah
parah dan ditujukan terhadap beragam dinyatakan sebagai sebuah ‘kejahatan
korban ” (ICTR, 1998). terhadap kemanusiaan’. Dan untuk
dapat dikategorikan sebagai sebuah ‘Serangan sistematis’ dapat diartikan ‘serangan’, maka sebuah serangan
sebagai sebuah serangan dengan individual haruslah menjadi bagian
pola atau perencanaan yang metodis. dari sebuah upaya yang luas yang
Sebagai contoh, dalam pengadilan diorkestrasi dalam skala masif dan
terhadap Jean-Paul Akayesu, para sistematis. Kedua, serangan juga bisa
pengadil mendefinisikan ‘serangan menjadi sebuah kejadian di mana
sebagai “serangan tindakan-tindakan kriminal menjadi
sistematis’
terorganisir yang diikuti dengan pola penyusunnya. Artinya, dalam sebuah
teratur dengan dasar kebijakan umum teratur dengan dasar kebijakan umum
pelanggaran berat HAM, yang tentu saja akan mengacu ke Statuta Roma,
Dari dalam negeri, adalah Mahkamah Nuremberg Charter, dan putusan-
Konstitusi (MK) yang berusaha keras putusan pengadilan seperti yang terjadi
untuk mendefinisikan sistematis dalam terhadap Jean-Paul Akayesu.
terminologi, ‘sistematis, terstruktur, dan masif’ yang dia introdusir dalam
Contoh instrumen HAM terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi
korporasi
pada pemilihan langsung kepala Korporasi adalah makhluk yang
daerah (pilkada). MK mendefinisikan kebal. Secara praktis, korporasi
‘sistematis’ sebagai
“dilakukan
telah lama imun terhadap hukum dengan perencanaan dan langkah-
internasional di bidang kejahatan langkah struktural yang dengan nyata
terhadap kemanusiaan (crimes against dimaksudkan untuk memenangkan
humanity ). Pasca Konferensi Roma Pasangan Calon tertentu ” (Junaidi,
pada 1998, yang kemudian mendorong 2013; 111). Sementara, ‘masif’, yang
lahirnya Statuta Roma, korporasi berada secara substansial sangat mungkin
pada wilayah yang sangat aman. Meski diartikan juga ‘meluas’, diartikan
tidak bisa diadili dalam pengadilan sebagai “mempengaruhi sejumlah
sebenarnya sangat besar pemilih atau komunitas yang
internasional,
memungkinkan pengadilan nasional tidak dapat dihitung jumlahnya satu-
mengadili korporasi dengan landasan- per satu ” (Junaidi, 2013; 111).
landasan argumentasi pelanggaran Dari definisi yang dibangun oleh MK
berat HAM seperti yang ada dalam di atas dalam konteks pilkada, maka
Statuta Roma. Dua kasus berikut adalah kata kunci untuk term sistematis adalah
contoh bagaimana hukum nasional ‘perencanaan’. Sementara kata kunci
menjadi tempat mengadili kejahatan untuk terminologi masif adalah ‘jumlah
berat HAM oleh korporasi. besar’. Dengan demikian, terminologi
Kasus UNOCAL Myanmar adalah yang ada di tingkatan internasional
salah satu kasus yang lumayan seperti kasus Jean-Paul Akayesu dan
legendaris bagaimana korporasi diadili terminologi yang ada di tingkat nasional,
di pengadilan Kanada. Pada 1990-an, seperti yang diintrodusir oleh MK,
Unocal, Total, dan Junta yang berkuasa pada dasarnya memiliki susbtansi yang
di Myanmar menandatangani sebuah sama dalam hal definisi ‘sistematis’ dan
proyek pembangunan pipa gas dari ‘meluas/masif’. Karena pada dasarnya,
Laut Andaman ke Thailand, melewati MK mendapatkan term sistematis
daerah Tenasserim di Myanmar.
Total dan Unocal mengontrak militer Contoh lain datang dari Amerika Myanmar untuk menyediakan jaminan
Serikat melalui kasus Exxon Mobil Aceh. keamanan bagi proyek pemipaan
Aceh adalah daerah yang sangat volatil, mereka, pembangunan jalan, dan
di mana Exxon Mobil beroperasi pada landasan helikopter sepanjang pipa
salah satu lapangan minyak dan gas tersebut. Kedua perusahaan ini tidak
yang lumayan produktif di dunia. Aceh memedulikan reputasi buruk Junta
memiliki sejarah panjang perlawanan Myanmar sebagai pelanggar berat HAM
jauh sebelum kemerdekaan Indonesia kelas berat kakap. Sepanjang proyek
melawan Belanda, pada zaman pembangunan pipa ini juga terdapat
Indonesia Gerakan Aceh Merdeka berbagai pelanggaran berat HAM yang
(GAM) berjuang untuk kemerdekaan meliputi pemaksaan, pembunuhan,
mereka, dan akhirnya pada 2000, ketika pemerkosaan, dan penyiksaan yang
GAM mengarahkan perhatian mereka dilakukan oleh militer (Wanless, 2009).
kepada Exxon Mobil. Berbagai serangan kemudian diarahkan kepada Exxon
Menurut Canada’s
Crimes
Mobil sebagai upaya agar perusahaan Against Humanity and War Crime
tersebut menutup operasinya. Act (CAHWCA;
Undang-Undang
dengan serangan Kemanusiaan dan Kejahatan Perang
Mengenai Kejahatan
Terhadap
Bersamaan
gerilya, Exxon Mobil menyandarkan Kanada) jaksa penuntut harus mampu
urusan keamanan aset dan pekerjanya membuktikan
terhadap militer Indonesia. Pemerintah elemen untuk menyatakan Unocal
setidaknya
empat
Indonesia, dimotivasi oleh penghasilan dan Total sebagai pelaku pelanggaran
yang melebihi 1 milyar dolar AS (USD) berat HAM: 1)bahwa perwakilan
dari operasi Exxon Mobil, mengirim Unocal menyetujui perbudakan sebagai
militer secara ekstensif ke Aceh. bagian dari serangan yang sistematik
Warga dan aktivis HAM menduga dan meluas terhadap populasi sipil; 2)
bahwa militer melakukan berbagai petinggi Unocal mengetahui tentang
macam pelanggaran berat HAM pelanggaran ini: 3)adanya perbudakan
seperti pembunuhan, penyiksaan, dan mendatangkan
penculikan (Free, 2003). perusahaan; dan 4)para petinggi
keuntungan
bagi
Sebelas orang warga kemudian Unocal yang mengetahui adanya
mendaftarkan gugatan di Pengadilan perbudakan tidak melakukan tindakan
Washington D.C terhadap Exxon Mobil untuk menghentikannya. Secara logis,
dan counterpart-nya dengan tuduhan keempat hal di atas dapat dibuktikan
genosida, pembunuhan, penyiksaan, dengan baik oleh para jaksa penuntut
kejahatan terhadap kemanusiaan, dan (Wanless, 2009).
berbagai pelanggaran HAM lainnya. serangan sistematik dan tidak melakukan Para warga desa ini mendaftarkan
tindakan untuk menghentikannya. gugatan dengan dasar hukum Alien
pertama, “apakah Tort Claims Act (ATCA) dan Torture
Pertanyaan
kasus Lumpur Lapindo adalah sebuah Victim Protection Act (TVPA). Sayang
kebijakan pemerintah yang menyangkut sekali, Departemen Dalam Negeri AS
organisasi” dengan mudah dilewati. mengintervensi pengadilan karena
Kasus Lumpur Lapindo jelas ‘kebijakan kasus ini mengganggu kepentingan
penguasa’ berupa pemberian izin luar negeri AS (Free, 2003).
pemboran eksplorasi di sumur Banjar
Kontra-argumentasi: Kasus pelanggar
Panji-1 (BJP-1), milik PT. Lapindo
berat HAM Lumpur Lapindo
Brantas Inc. (LBI). Ini berarti, tulisan ini sudah mengambil posisi bahwa
Dalam kasus Lumpur Lapindo, ada penyebab terjadinya bencana Lumpur
dua kontra-argumentasi yang akan Lapindo adalah aktivitas pemboran di
dibangun oleh tulisan ini. Yang pertama, sumur BJP-1. Untuk itu, perlu diulas
menyangkut argumentasi
sudut
sedikit mengenai permasalahan ini. pandang yang diambil oleh Komnas
HAM yang kurang canggih. Di sini akan Seperti yang sudah saya sampaikan dilakukan beberapa tahap pengujian
dalam berbagai kesempatan (Batubara, logis: 1]Lumpur Lapindo adalah hasil
2009a; Batubara, 2011; Batubara dan dari sebuah kebijakan pemerintah yang
Utomo, 2010 dan 2012) bahwa secara menyangkut organisasi; 2]peristiwa
umum ada dua kelompok pendapat di ini memenuhi kriteria ‘meluas’; dan
kalangan geosaintis tentang penyebab 3] memenuhi kategori Pasal 9 UU
Lumpur Lapindo. Kelompok pertama 26/2000 ayat “d) pengusiran atau
adalah yang berpendapat bahwa pemindahan penduduk secara paksa”.
Lumpur Lapindo disebabkan oleh Selanjutnya, kasus ini akan dites dengan
aktivitas pemboran di sumur BJP-1. empat pertanyaan yang diadopsi dari
Kelompok kedua berpendapat bahwa kasus Unocal dan Total di Kanada: 1)
Lumpur Lapindo dipicu oleh reaktivasi bahwa perwakilan Lapindo menyetujui
patahan Watukosek akibat adanya serangan yang sistematik dan meluas
gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006 terhadap populasi sipil; 2)apakah
(dua hari sebelum seburan Lumpur petinggi Lapindo mengetahui tentang
Lapindo). Saya berada di kelompok pelanggaran ini: 3)apakah persitiwa
pertama. Perlu saya tegaskan di sini, ini mendatangkan keuntungan bagi
ada dua argumen kunci yang saya Lapindo; dan 4)apakah para petinggi
pegang sehingga saya memilih posisi Lapindo
mengetahui
terjadinya
ini. Pertama, saya mengacu ke Manga
(2007) yang berdasarkan data gempa 2010). Masalah kedua terletak pada bumi menyatakan bahwa gempa bumi
informasi yang disampaikan oleh pihak Yogyakarta 27 Mei 2006 terlalu jauh
perusahaan kepada warga bahwa tanah jaraknya dan terlalu kecil magnitude-
lokasi sumur BJP-1 dibeli bukan untuk nya untuk memicu semburan lumpur di
pengeboran, tetapi untuk kandang daerah Porong. Kedua saya mengacu ke
ayam (Batubara dan Utomo, 2010). Tingay et al. (2008) yang menampilkan
Melangkah ke poin berikutnya, data bahwa selubung pemboran
apakah kriteria ‘meluas’ terpenuhi? (casing) di sumur BJP-1 dipasang
Tulisan ini memakai definisi ‘serangan lebih pendek dari yang direncanakan.
meluas’ yang digunakan di Rwanda Menurut saya, inilah jantung dalam
(ICTR, 1998), sebagai “masif, tidak perdebatan penyebab Lumpur Lapindo.
hanya sekali, aksi dalam skala yang Dan sampai saat ini, sependek yang
luas, dilakukan kolektif dengan tingkat dapat saya ikuti, dua fakta kunci ini
keseriusan yang parah dan ditujukan belum pernah terbantahkan. Secara
terhadap beragam korban”. logika, melalui studi yang sangat bagus
terhadap kasus-kasus pengadilan Kategori “masif” jelas terpenuhi bencana industri di seluruh dunia,
dalam kasus Lumpur Lapindo. Hal Wibisana (2011) menunjukkan bahwa
ini dapat kita lihat dari jumlah korban keputusan Pengadilan Negeri (PN)
yang sangat banyak. Menurut Peta Jakarta Selatan (Jaksel) yang menerima
Klasifikasi Lahan Area Terdampak dan argumen pihak Lapindo bahwa Lumpur
Realisasi Hasil Verifikasi Ganti Rugi Lapindo disebabkan oleh gempa bumi
Lahan Terdampak (BPLS, 2008) pada Yogyakarta, mengandung cacat.
Februari 2008 tercatat jumlah korban di area terdampak (waktu itu) sebanyak
Ditambah lagi, proses pengeboran 37.850 jiwa. Dan sejak itu jumlah
sumur BJP-1
tersebut terus bertambah. Pada 2013, kehadirannya sudah mengandung
dalam
sejarah
media memberitakan bahwa jumlah dua masalah. Pertama, masalah letak.
korban sudah mencapai 66 ribu jiwa Posisi sumur BJP-1 tidak sesuai dengan
(Informasi Sidoarjo, 2013). Kesemua RTRW Kabupaten Sidoarjo (Perda
korban yang disebutkan di atas Nomor 16 Tahun 2003, yang waktu
mengalami perpindahan secara terpaksa itu belum diubah). RTRW Sidoarjo
dan hal ini memberikan dampak yang termaksud menyatakan bahwa lokasi
sangat mendalam terhadap kehidupan sumur BJP-1 tersebut adalah untuk
ekonomi (Batubara, 2009b), budaya, kegiatan industri non-kawasan, bukan
relasi gender, relasi intergenerasi untuk
pertambangan
(Subagyo,
(Fauzan dan Batubara, 2010), bahkan (Fauzan dan Batubara, 2010), bahkan
pada 13 Desember di tahun yang sama. 26/2000 ayat “d) pengusiran atau
RW-2 yang menelan biaya 17 juta pemindahan penduduk secara paksa”.
USD AS ini dihentikan dengan alasan keselamatan karena lokasi sudah mulai
Serangan sistematik sejatinya datang dibanjiri lumpur (MESDM, 2007).
lewat beberapa generasi perpres yang muncul. Di titik ini mungkin
Akan tetapi, dalam sebuah film akan timbul pertanyaan, mengapa
dokumenter berjudul Waiting for perpres dianggap sebagai serangan?
Nothing , Rudi Rubiandini, mantan ketua Bukankah justru, sebaliknya, dia adalah
Tim Penghentian Semburan Lumpur serangkaian kebijakan pemerintah
Sidoarjo, menyatakan bahwa RW-1 untuk menyelamatkan korban?
masih berjarak sekitar 50 m dari lubang asli BJP-1, sedangkan RW-2 masih jauh
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dari lubang asli BJP-1. Berdasarkan
perlu melihat salah satu upaya yang analisis Rudi Rubiandini, kedua relief
ditempuh untuk menutup semburan wells tersebut dihentikan karena PT
Lumpur Lapindo. Untuk pembahasan LBI tidak mau kondisi lubang yang
semua metode penutupan yang sebenarnya diketahui publik. Karena,
ditempuh, dapat dilihat di Batubara kalau kondisi lubang asli diketahui atau
dan Utomo (2012; 155-7). Relief terdeteksi oleh relief well, hal itu bisa
Well Method , atau penyuntikkan menjadi bukti baru bahwa pengeboran
cairan penyumbat dari samping adalah di BJP-1 adalah penyebab terjadinya
salah satu metode yang dipakai untuk
semburan lumpur.
menutup semburan Lumpur Lapindo. Ada dua buah relief wells yang
Dari analisis soal relief well di atas, dilakukan antara Juni 2006 dan Januari
satu hal yang dapat disimpulkan 2007. Relief Well 1 (RW-1), dengan
adalah, bahwa sebenarnya upaya biaya total 31,3 juta USD dimulai
semburan lumpur pada 19 Juli dengan pemasangan Rig
penutupan
tidak dilakukan dengan sungguh- Century-24 di lokasi. Pada akhirnya Rig
sungguh, tetapi terkontaminasi oleh Century-24 hanya mampu mencapai
kepentingan ekonomi politik. Karena kedalaman 3.594 kaki karena selubung
apabila disimpulkan bahwa penyebab bor yang digunakan putus. Padahal
semburan adalah pengeboran di target awal RW-1 adalah sedalam
sumur BJP-1, akan menyebabkan 7.000 kaki.. Akhirnya, pada tanggal
pertanggungjawaban ada di pihak
24 Januari 2007 sumur RW-1 resmi PT LBI. Di mana yang terakhir akan ditutup. Sementara itu, RW-2 dimulai
menggerus citra figur kunci di raksasa menggerus citra figur kunci di raksasa
contoh kasus di atas, juga satu-per satu sangat gencar beriklan di media massa
dapat dijawab dengan meyakinkan. untuk kepentingan pencalonannya
Apakah perwakilan Lapindo menyetujui sebagai Presiden Indonesia. Dengan
‘serangan sistematik’ ini? Kalau titik pandang seperti ini, maka rangkaian
mengikuti perdebatan di seputar Perpres yang dikeluarkan sehubungan
Lumpur Lapindo, sangat jelas bahwa dengan kasus Lumpur Lapindo,
pihak manajemen PT LBI sangat alih-alih sebagai penyelamat, justru
menyadarinya. Hal ini misalnya adalah instrumen untuk menggusur
diawali dari pengeboran di daerah masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi
yang memiliki tekanan tinggi ini sudah ini secara bertahap.
diketahui oleh hampir semua geolog yang bekerja di sana. Fakta ini muncul
Generasi perpres secara bertahap kembali dalam berbagai publikasi
‘meluaskan serangan’ terhadap warga setelahnya, sebut saja misalnya dalam
Porong. Pertama adalah Perpres Davies et al. (2007; 2008; dan 2009)
14/2007 yang memasukkan daerah dan Mazzini et al. (2007; dan 2009).
Desa Jatirejo, Siring, Kedungbendo Dan yang paling fatal adalah bahwa
dan Renokenongo ke dalam peta manajemen PT LBI juga mengetahui
area terdampak. Diikuti oleh Perpres bahwa selubung pengeboran dipasang
48/2008 yang menambahkan Desa lebih pendek dari yang direncanakan
Besuki, Pejarakan dan Kedungcangkring (Tingay et al. 2008). Pembahasan lebih
ke dalam area terdampak. Selanjutnya detil soal permasalahan ini dapat dilihat
adalah Perpres
yang
di Batubara dan Utomo (2012; 67-96). menambahkan RT 1, RT 2, RT 3, d a n
Dan dengan demikian, secara otomatis RT 12 Rukun Warga (RW) 12 Desa Siring
pertanyaan kedua, “apakah petinggi Barat; RT 1 dan RT 2 RW 1 Desa Jatirejo
PT LBI mengetahui pelanggaran ini” dan RT 10, RT 13, dan RT 15 RW 2
terjawab dengan sendirinya. Desa Mindi. Keempat, Perpres 37/2012
Pertanyaan ketiga “apakah persitiwa yang menambahkan beberapa RT ini mendatangkan keuntungan bagi dan hamparan sawah di Desa Besuki,
Lapindo”, secara sangat meyakinkan Kelurahan Mindi, Desa Pamotan,
dapat dijawab. Ada dua jenis jawaban. Kelurahan Gedang, Desa Ketapang,
Pertama , selubung pengeboran yang Desa Gempolsari, Desa Kalitengah, dan
tidak dipasang sesuai yang direncanakan Desa Wunut ke dalam area terdampak.
telah menghemat pengeluaran operasi Pertanyaan-pertanyaan seperti yang
karena kedalaman diajukan di Kanada dalam kasus Unocal
pengeboran,
sumur tanpa selubung melebihi 1.000 sumur tanpa selubung melebihi 1.000
kejahatan terhadap kemanusiaan. dana kompensasi korban dari opini awal
Dalam UU 26/2000 pasal 10 yang menguat bahwa itu seharusnya
dinyatakan bahwa “Dalam hal tidak menjadi tanggung jawab PT LBI seperti
ditentukan lain dalam Undang- yang terdapat dalam Perpres 14/2007
undang ini, hukum acara atas perkara menjadi tanggung jawab negara seperti
pelanggaran hak asasi manusia yang dalam perpres-perpres setelahnya,
berat dilakukan berdasarkan ketentuan mendatangkan “keuntungan relatif”
hukum acara pidana .” Hukum Indonesia yang sangat besar bagi perusahaan,
pun bukan tidak memiliki instrumen dibandingkan andai saja dia harus
untuk memperlakukan korporasi sebagai membayar semuanya (Batubara dan
subjek hukum pidana. Dapat dikatakan Utomo, 2010). Sementara, untuk
sejak 1951 hukum Indonesia sudah pertanyaan
keempat,
“apakah
menerima korporasi sebagai subjek para petinggi Lapindo mengetahui
hukum pidana, yang artinya dapat terjadinya serangan sistematik dan
pula dimintai pertanggungjawaban tidak melakukan tindakan untuk
pidana. Meski pada sekitar 1991 ada menghentikannya,” justru fakta-fakta
pertanyaan apakah kalangan aparat yang ada memperlihatkan hal sebaliknya.
penegak hukum Indonesia sudah siap Mengikuti alur pikiran Rudi Rubiandini
menerima korporasi sebagai tersangka yang disampaikan di atas, para petinggi
dan terdakwa. Pertanyaan ini muncul PT LBI justru melakukan usaha sistematis
karena sejak diakuinya korporasi untuk lari dari tanggungjawabnya, bukan
sebagai subjek hukum pidana, hingga hanya membiarkan (tidak melakukan
2010 hanya ditemukan satu kasus yang tindakan untuk menghentikannya).
menjerat korporasi sebagai tersangka dan terdakwa, yaitu Perkara No. 284/
Kontra-argumentasi yang kedua Pid.B/2005/PN.Mdo dengan terdakwa
menyangkut sistem hukum pidana PT. Newmont Minahasa Raya (Hiariej,
di Indonesia masih mengacu subjek 2013). Memang benar subjek delik
delik berupa manusia dan Indonesia hukum pidana di Indonesia masih belum memiliki perangkat hukum
berupa manusia, tetapi itu tidak berarti untuk menangani pelanggaran berat
tidak ada perangkat hukum untuk HAM oleh korporasi. Poin ini tidak
korporasi.
muncul dalam rangkaian kasus Lumpur Lapindo, tetapi, seperti yang sudah
Rekomendasi
disampaikan di awal, muncul dalam Dari berbagai rangkaian argumentasi di konteks pelanggaran berat HAM oleh
atas, maka sangat tepat kiranya apabila
Komnas HAM membuka kembali kasus Lumpur Lapindo dan menjerat PT LBI dengan pasal pelanggaran berat HAM oleh korporasi, dalam hal ini kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa. Memang benar bahwa Statuta Roma tidak ditujukan untuk subjek hukum korporasi, tetapi justru sebaliknya, seperti yang dilakukan di Amerika Serikat melalui Alien Tort Claims Act (ATCA) dan Torture Victim Protection Act (TVPA) dan Kanada dengan Canada’s Crimes Against Humanity and War Crime Act (CAHWCA), seharusnya Komnas HAM dengan UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, justru mendorong apa yang tidak dicakup oleh Statuta Roma. Ini adalah tugas mendesak yang harus ditanggungjawabi oleh hukum nasional: mengisi celah impunitas.
Referensi
Lumpur,” dalam: H. Prasetia dan B. Batubara, (editor), 2010.
Abrahamsen, R., 2004. Sudut Gelap Bencana Industri: Relasi Negara, Kemajuan . Lafadl Pustaka,
Perusahaan dan Masyarakat Yogyakarta.
Sipil. Lafadl Initiative, Yayasan AHRC/Asian Human Right Commision,
dan Indonesia 2013. The neglected genocide:
Desantara
Energy and Human rights abuses against
Sustainable
Environment, Depok. Papuans
Batubara, B. dan Utomo, P.W., 2012. Highlands, 1977-1978 . AHCR,
Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Hong Kong.