Perbandingan Penerapan Pendidikan Inklus (1)
Judul : Perbandingan Penerapan Pendidikan Inklusif di
Indonesia dari masa orde baru sampai Reformasi (1989 –
2004)
Semua manusia dilahirkan ke dunia mempunyai hak yang sama, kita telah
diciptakan sederajat walaupun berbeda – beda apapun jenis kelamin, penampilan,
kesehatan, atau kemampuan berfungsi, kita telah diciptakan ke dalam satu
masyarakat, penting untuk diakui bahwa sebuah masyarakat normal ditandai oleh
keragaman dan keserbaragaman bukan oleh keseragaman akan tetapi pada
kenyataannya anak – anak dan orang dewasa yang berbeda dalam kebutuhannya
dari kebutuhan kebanyakan orang telah dipisahkan dengan alasan yang beragam
untuk waktu yang cukup lama semua alasan tersebut tidak adil. Pendidikan juga
merupakan hak bagi semua warga negara (Sunanto, 2010:21).
Hak pendidikan adalah bagian dari Hak Ekosob (Ekonomi, Sosial,
Budaya). Negara mempunyai kewajiban (state obligation) untuk memenuhi
(fulfill), menghormati (to respect), dan melindungi (to protect) setiap hak
pendidikan yang dimiliki oleh setiap warga negaranya. Termasuk hak pendidikan
untuk penyandang cacat.
Pada pasal 28 C Undang-undang Dasar 1945 pun
dikatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, sehingga jelas disini kewajiban
generic negara dalam pemenuhan hak pendidikan adalah memfasilitasi (to
facilitate), memajukan (to promote), menyediakan (to provide) (Sunanto,
2010:22).
Jika berbicara tentang hak penting digarisbawahi bahwa orang penyandang
cacat juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap orang lain dan
masyarakat seperti layaknya orang lain pada umumnya. Tujuan akhirnya adalah
bahwa setiap orang merasa berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
memberikan apa yang dapat diberikannya dan pada saat yang bersamaan
mempunyai hak untuk menerima apa yang dibutuhkannya. Seperti yang tercantum
dalam Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal. 32 ayat 1 yang
berbunyi”setiap warga negara negara berhak mendapat pendidikan”, dan ayat 2
yang berbunyi “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya”. UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, khususnya Pasal. 5 ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. UU
No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal. 51 yang berbunyi
“anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang
sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar
biasa.
Meskipun secara de jure telah diundangkan, namun kenyataannya dalam
praktek pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus seringkali tidak tersentuh atau
ditinggalkan eksistensinya (Efendi, 2010:32). Kemudian dari hal itu munculnya
pemikiran lahirnya pendidikan inklusif sebagai upaya bahwa mendapatkan
pendidikan merupakan Hak Asasi Manusia yang paling mendasar (Deklarasi
Internasional tentang Hak Asasi Manusia 1948 dan konvensi internasional tentang
Hak Anak, 1989). Dari deklarasi tersebut banyak negara – negara di dunia yang
terdorong untuk melaksanakan pendidikan bagi seluruh warga negaranya,
termasuk di Indonesia. Di Indonesia khususnya selama beberapa dekade yang lalu
telah mengalami banyak perubahan dalam pendidikan bagi anak penyandang
cacat, perubahan – perubahan ini tidak hanya relevan bagi kepentingan dan
pengayaan anak penyandang cacat, tetapi juga bagi semua yang terlibat
didalamnya : anak –anak ( dengan atau tanpa kecacatan ), keluarganya, guruguru, kepala sekolah, komunitas sekolahnya dan mungkin masyarakat secara
keseluruhan.
Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya
diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia,
Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy
mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk
mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata
cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act.
1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai
adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari
segregatif ke integratif (Achyar, 2008:30).
Indonesia adalah salah satu anggota dari PBB yang juga memiliki
kewajiban meningkatkan pendidikan baik secara Nasional maupun Internasional.
Pada Undang-Undang Dasar 1945 (1945) tercantum cita-cita bangsa, salah
satunya adalah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan UUD 1945 pasal 31 ayat
1 menyatakan “Tiap warga negara berhak mendapat pengajaram”. Undang –
Undang nomor 4 tahun 1997 pasal 5 menyebutkan “setiap penyandang cacat
mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam aspek kehidupan dan
penghidupan” (Mochamad C.Z, 2012:2)
Berangkat dari hal tersebut peneliti menggunakan tahun awal yaitu tahun
1989 dilatar belakangi pada tahun 1989 terjadi konvensi internasional tentang hak
anak (Sunanto, 2010:22). Kemudian pada tahun tersebut pula pemerintah
Indonesia mengeluarkan kebijakan bahwa pendidikan bagi penyandang cacat
diatur oleh Kementrian Olahraga dan Kementrian Tenaga Kerja. Hal itulah yang
menarik perhatian peneliti untuk meneliti yang menurut peneliti hal tersebut tidak
relevan karena Kementrian Olahraga seharusnya hanya mengatur masalah
olahraga dan Kementrian Tenaga Kerja seharusnya mengatur tentang pekerjaan.
Pelaksanaan pendidikan inklusif di Indonesia belum memenuhi harapan
semua pihak terutama pada sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif oleh
karena itu peneliti menggunakan tahun akhir yaitu tahun 2004 dimana pada tahun
tersebut di Indonesia diadakannya pertemuan internasional yang menghasilkan
Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusi
(Achyar, 2008:31). Hal itu menarik untuk diteliti dimana dalam hal ini peniliti
akan mencoba membandingkan penerapan pendidikan inklusif di Indonesi dalam
dua masa pemerintahan yang berbeda yaitu masa orde baru dan era reformasi.
Pendidikan Kebutuhan Khusus (Berit H. Johnsen)
Buku ini merupakan sebuah bunga rampai pengantar yang
difokuskan pada beberapa aspek inklusi. Buku ini tidak dimaksudkan
untuk mencakup semua aspek inklusi. Buku ini menawarkan berbagai
perspektif tentang dukungan yang berorientasi sumber dan strategi
pemberdayaan di dalam komunitas lokal untuk semua, yang didasarkan
atas hasil penelitian dan pengalaman di bidang pendidikan kebutuhan
khusus. Buku ini meyoroti peningkatan berbagai macam sumber dan
peluang yang ada dan difokuskan pada bermacam-macam kebutuhan akan
dukungan dalam konteks keluarga, sekolah reguler yang inklusif, dan
dalam komunitas lokal. Buku ini menelaah hambatan-hambatan untuk
memperoleh dukungan yang relevan, hambatan belajar dan perkembangan
yang terjadi di dalam masyarakat setempat di sekolah dan kelas, pada anak
remaja dan orang dewasa.
Manajemen
akuntabilitas
penyelenggaraan
pendidikan
inklusif
(Achyar, Lina Kurniati dan Agus Irawan Sensus)
Dalam buku ini dijelaskan mengenai sejarah perkembangan
pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari
negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Tuntutan
penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama
sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan
konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang
menghasilkan deklarasi “education for all”. Sejalan dengan kecenderungan
tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada
tahun 2004 menyelenggaraka konvensi nasional dengan menghasilkan
Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan
inklusif. Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inlusif dunia
tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000
mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan
kelanjutan program terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di
Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang dan
baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti
kecenderungan dunia menggunakan konsep pendidikan inklusif.
Pendidikan Inklusif dan Implementasinya di Indonesia (Endis
Firdaus)Tersedia:http://repository.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_09082
71_chapter1.pdf.
Dalam jurnal tersebut dijelaskan mengenai penyelenggaraan
pendidikan inklusif di Indonesia dan proses menuju pendidikan inklusif
oleh karena itu penliti merasa perlu menggunakan jurnal tersebut dalam
mengkaji perbandingan penerapan pendidikan inklusif di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Achyar, Lina. K & Agus I.S.(2008). Manajemen Akuntabilitas Penyelenggaraan
Pendidikan Inklusif : Studi Evaluasi Penyelenggaran Pendidikan
Inklusi di SDN Puteraco Indah dan
Tunas Harapan Kota
Bandung. Jakarta: Depdiknas
Agustin, Mubiar (2011). Permasalahan Belajar dan Inovasi Pembelajaran.
Bandung: Reflika Aditama.
Efendi, M. (2010). “Implementasi Pendidikan Inklusif Sebagai Alternatif
Pendidikan anak berkebutuhan khusus”. Dalam proceeding
seminar nasional pendidikan luar biasa 2010. Malang : Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.
Fidaus, Endis. (2010). Pendidikan Inklusif dan Implementasinya di Indonesia.
[Online]tersedia:http://repository.upi.edu/operator/upload/
t_pkkh_0908271_chapter1.pdf.
Johnsen, Berit H & Skjorten, Miriam D (2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus.
Bandung: Unipub Forlag
Mochamad, C.Z. (2012). Peran guru pembimbimg khusus dalam pembinaan
perilaku
adaftif
sekolah
inklusi.
[Online]
Tersedia:
http://repository.upi.edu
Sjamsudin, Helius. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Ombak
Sunanto, Juang, dkk (2010). Proceedings first annual inclusive education
practeces conference. Bandung: Rizqi Press.
Widja, I Gde.(1989).Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah.
Jakarta: Depdikbud
Indonesia dari masa orde baru sampai Reformasi (1989 –
2004)
Semua manusia dilahirkan ke dunia mempunyai hak yang sama, kita telah
diciptakan sederajat walaupun berbeda – beda apapun jenis kelamin, penampilan,
kesehatan, atau kemampuan berfungsi, kita telah diciptakan ke dalam satu
masyarakat, penting untuk diakui bahwa sebuah masyarakat normal ditandai oleh
keragaman dan keserbaragaman bukan oleh keseragaman akan tetapi pada
kenyataannya anak – anak dan orang dewasa yang berbeda dalam kebutuhannya
dari kebutuhan kebanyakan orang telah dipisahkan dengan alasan yang beragam
untuk waktu yang cukup lama semua alasan tersebut tidak adil. Pendidikan juga
merupakan hak bagi semua warga negara (Sunanto, 2010:21).
Hak pendidikan adalah bagian dari Hak Ekosob (Ekonomi, Sosial,
Budaya). Negara mempunyai kewajiban (state obligation) untuk memenuhi
(fulfill), menghormati (to respect), dan melindungi (to protect) setiap hak
pendidikan yang dimiliki oleh setiap warga negaranya. Termasuk hak pendidikan
untuk penyandang cacat.
Pada pasal 28 C Undang-undang Dasar 1945 pun
dikatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, sehingga jelas disini kewajiban
generic negara dalam pemenuhan hak pendidikan adalah memfasilitasi (to
facilitate), memajukan (to promote), menyediakan (to provide) (Sunanto,
2010:22).
Jika berbicara tentang hak penting digarisbawahi bahwa orang penyandang
cacat juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap orang lain dan
masyarakat seperti layaknya orang lain pada umumnya. Tujuan akhirnya adalah
bahwa setiap orang merasa berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
memberikan apa yang dapat diberikannya dan pada saat yang bersamaan
mempunyai hak untuk menerima apa yang dibutuhkannya. Seperti yang tercantum
dalam Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal. 32 ayat 1 yang
berbunyi”setiap warga negara negara berhak mendapat pendidikan”, dan ayat 2
yang berbunyi “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya”. UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, khususnya Pasal. 5 ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. UU
No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal. 51 yang berbunyi
“anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang
sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar
biasa.
Meskipun secara de jure telah diundangkan, namun kenyataannya dalam
praktek pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus seringkali tidak tersentuh atau
ditinggalkan eksistensinya (Efendi, 2010:32). Kemudian dari hal itu munculnya
pemikiran lahirnya pendidikan inklusif sebagai upaya bahwa mendapatkan
pendidikan merupakan Hak Asasi Manusia yang paling mendasar (Deklarasi
Internasional tentang Hak Asasi Manusia 1948 dan konvensi internasional tentang
Hak Anak, 1989). Dari deklarasi tersebut banyak negara – negara di dunia yang
terdorong untuk melaksanakan pendidikan bagi seluruh warga negaranya,
termasuk di Indonesia. Di Indonesia khususnya selama beberapa dekade yang lalu
telah mengalami banyak perubahan dalam pendidikan bagi anak penyandang
cacat, perubahan – perubahan ini tidak hanya relevan bagi kepentingan dan
pengayaan anak penyandang cacat, tetapi juga bagi semua yang terlibat
didalamnya : anak –anak ( dengan atau tanpa kecacatan ), keluarganya, guruguru, kepala sekolah, komunitas sekolahnya dan mungkin masyarakat secara
keseluruhan.
Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya
diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia,
Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy
mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk
mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata
cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act.
1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai
adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari
segregatif ke integratif (Achyar, 2008:30).
Indonesia adalah salah satu anggota dari PBB yang juga memiliki
kewajiban meningkatkan pendidikan baik secara Nasional maupun Internasional.
Pada Undang-Undang Dasar 1945 (1945) tercantum cita-cita bangsa, salah
satunya adalah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan UUD 1945 pasal 31 ayat
1 menyatakan “Tiap warga negara berhak mendapat pengajaram”. Undang –
Undang nomor 4 tahun 1997 pasal 5 menyebutkan “setiap penyandang cacat
mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam aspek kehidupan dan
penghidupan” (Mochamad C.Z, 2012:2)
Berangkat dari hal tersebut peneliti menggunakan tahun awal yaitu tahun
1989 dilatar belakangi pada tahun 1989 terjadi konvensi internasional tentang hak
anak (Sunanto, 2010:22). Kemudian pada tahun tersebut pula pemerintah
Indonesia mengeluarkan kebijakan bahwa pendidikan bagi penyandang cacat
diatur oleh Kementrian Olahraga dan Kementrian Tenaga Kerja. Hal itulah yang
menarik perhatian peneliti untuk meneliti yang menurut peneliti hal tersebut tidak
relevan karena Kementrian Olahraga seharusnya hanya mengatur masalah
olahraga dan Kementrian Tenaga Kerja seharusnya mengatur tentang pekerjaan.
Pelaksanaan pendidikan inklusif di Indonesia belum memenuhi harapan
semua pihak terutama pada sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif oleh
karena itu peneliti menggunakan tahun akhir yaitu tahun 2004 dimana pada tahun
tersebut di Indonesia diadakannya pertemuan internasional yang menghasilkan
Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusi
(Achyar, 2008:31). Hal itu menarik untuk diteliti dimana dalam hal ini peniliti
akan mencoba membandingkan penerapan pendidikan inklusif di Indonesi dalam
dua masa pemerintahan yang berbeda yaitu masa orde baru dan era reformasi.
Pendidikan Kebutuhan Khusus (Berit H. Johnsen)
Buku ini merupakan sebuah bunga rampai pengantar yang
difokuskan pada beberapa aspek inklusi. Buku ini tidak dimaksudkan
untuk mencakup semua aspek inklusi. Buku ini menawarkan berbagai
perspektif tentang dukungan yang berorientasi sumber dan strategi
pemberdayaan di dalam komunitas lokal untuk semua, yang didasarkan
atas hasil penelitian dan pengalaman di bidang pendidikan kebutuhan
khusus. Buku ini meyoroti peningkatan berbagai macam sumber dan
peluang yang ada dan difokuskan pada bermacam-macam kebutuhan akan
dukungan dalam konteks keluarga, sekolah reguler yang inklusif, dan
dalam komunitas lokal. Buku ini menelaah hambatan-hambatan untuk
memperoleh dukungan yang relevan, hambatan belajar dan perkembangan
yang terjadi di dalam masyarakat setempat di sekolah dan kelas, pada anak
remaja dan orang dewasa.
Manajemen
akuntabilitas
penyelenggaraan
pendidikan
inklusif
(Achyar, Lina Kurniati dan Agus Irawan Sensus)
Dalam buku ini dijelaskan mengenai sejarah perkembangan
pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari
negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Tuntutan
penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama
sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan
konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang
menghasilkan deklarasi “education for all”. Sejalan dengan kecenderungan
tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada
tahun 2004 menyelenggaraka konvensi nasional dengan menghasilkan
Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan
inklusif. Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inlusif dunia
tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000
mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan
kelanjutan program terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di
Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang dan
baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti
kecenderungan dunia menggunakan konsep pendidikan inklusif.
Pendidikan Inklusif dan Implementasinya di Indonesia (Endis
Firdaus)Tersedia:http://repository.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_09082
71_chapter1.pdf.
Dalam jurnal tersebut dijelaskan mengenai penyelenggaraan
pendidikan inklusif di Indonesia dan proses menuju pendidikan inklusif
oleh karena itu penliti merasa perlu menggunakan jurnal tersebut dalam
mengkaji perbandingan penerapan pendidikan inklusif di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Achyar, Lina. K & Agus I.S.(2008). Manajemen Akuntabilitas Penyelenggaraan
Pendidikan Inklusif : Studi Evaluasi Penyelenggaran Pendidikan
Inklusi di SDN Puteraco Indah dan
Tunas Harapan Kota
Bandung. Jakarta: Depdiknas
Agustin, Mubiar (2011). Permasalahan Belajar dan Inovasi Pembelajaran.
Bandung: Reflika Aditama.
Efendi, M. (2010). “Implementasi Pendidikan Inklusif Sebagai Alternatif
Pendidikan anak berkebutuhan khusus”. Dalam proceeding
seminar nasional pendidikan luar biasa 2010. Malang : Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.
Fidaus, Endis. (2010). Pendidikan Inklusif dan Implementasinya di Indonesia.
[Online]tersedia:http://repository.upi.edu/operator/upload/
t_pkkh_0908271_chapter1.pdf.
Johnsen, Berit H & Skjorten, Miriam D (2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus.
Bandung: Unipub Forlag
Mochamad, C.Z. (2012). Peran guru pembimbimg khusus dalam pembinaan
perilaku
adaftif
sekolah
inklusi.
[Online]
Tersedia:
http://repository.upi.edu
Sjamsudin, Helius. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Ombak
Sunanto, Juang, dkk (2010). Proceedings first annual inclusive education
practeces conference. Bandung: Rizqi Press.
Widja, I Gde.(1989).Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah.
Jakarta: Depdikbud