Kerusuhan Bernuansa Sara di Ranah Papua

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kerukunan

umat beragama merupakan nilai luhur pengalaman hidup

Pancasila yang tentu saja merupakan cita-cita masyarakat Indonesia. Pancasila
sebagai dasar negara, serta sebagai satu-satunya asas dalam berbangsa dan
bernegara merupakan titik pijak yang kukuh dan mendasar dalam rangka
membina kerukunan1. Terjaminnya rasa aman dan tentram dalam hidup
bersosial salah satunya dipengaruhi oleh kerukunan umat beragama, dimana
seluruh masyarakat Indonesia mengakui keanekaragaman agama di Indonesia
serta saling menghormati antar-sesama. Sesuai dengan kaidah ajaran leluhur
bangsa yaitu Bhineka Tunggal Ika2.
Sejalan dengan pemahaman tadi, Presiden Soeharto memberikan arahan
yang sangat arif dan mendasar tentang bagaimana pejabat pemerintah harus
bertindak adil dalam melayani umat beragama. Pada rapat kerja Departemen
Agama3 di Jakarta tanggal 17 Februari 1983, Presiden Soeharto antara lain
mengatakan : “…akhirnya saya meminta perhatian Saudara-Saudara sebagai
pejabat Departemen Agama, Saudara-Saudara dapat berpandangan, bersikap

dan bertindak adil dan objektif terhadap semua pemeluk agama yang ada di
dalam negara Pancasila ini. Tugas Departemen Agama adalah melayani
semua umat beragama agar mereka dapat menjalankan agama dengan lebih
baik dan lebih mudah tanpa mencampuri faham keagamaan, cara-cara
peribadatan, dan bentuk-bentuk kelembagaan agama itu sendiri…”
Haidir Bagir, seorang pengusaha Indonesia, filantropis, penulis, dosen,
dan Presiden Direktur Mizan Grup berkata bahwa Negara Indonesia adalah
negara kepulauan, bangsa yang begitu beragam, dimana ada sekitar 700
bahasa dan lebih dari 200 suku di Indonesia, yang masing-masing (sedikit
banyak) mewakili kelompok budaya yang berbeda. Keanekaragaman yang
termasuk pula mengenai kepercayaan beragama. Keanekaragaman ini sudah
barang tentu merupakan harta kekayaan melimpah yang dimiliki negeri ini.
1
2

Berbagai Dimensi Kerukunan Hidup Beragama, (Weinata Sairin, 2006)
Berbeda-beda tapi tetap satu jua, berasal dari Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular

3


Telah diubah menjadi Kementerian Agama (Kemenag) sesuai Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2010 tentang Perubahan
Penyebutan Departemen Agama Menjadi Kementerian Agama

1

… Sebuah musala dibakar dan dilempari warga setempat Tolikara.
Peristiwa bermula ketika umat Islam tengah melaksanakan salat Id di
halaman Koramil 1702/JWY.
Ketika imam mengucapkan kalimat takbir pertama, jemaah secara tibatiba didekati oleh beberapa orang. Teriakan orang-orang tersebut
membuat jemaah bubar dan menyelamatkan diri ke markas Koramil.
Selang satu jam kemudian, orang-orang itu melempari Musala Baitul
Mustaqin yang berada di sekitar lokasi kejadian. Para penyerang itu lantas
membakar rumah ibadah itu.
Selain Musala Baitul Mustaqin, enam rumah dan sebelas kios pun menjadi
sasaran amukan orang-orang itu. Kabid Humas Polda Papua Komisaris
Besar Patrige Renwarin mengatakan tidak ada korban jiwa dalam
keruusuhan tersebut. "Tidak ada korban jiwa dari kelompok masyarakat
yang Salat Id,” tuturnya. …
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150717143914-20-66909/jk-kerusuhan-antaragama-di-tolikaradisebabkan-speaker/


Sebuah informasi pemberitaan yang dikutip penulis pada laman
cnnindonesia.com yang menulis tentang kerusuhan yang baru-baru ini terjadi
di Ranah Papua. Berawal saat hari Jumat tanggal 17 Juli 2015 lalu, tepatnya
hari itu adalah Hari Raya Idul Firi 1436 H, hari dimana seluruh umat muslim di
seluruh dunia merayakan hari besar kemenangan umat Islam. Berawal dari
umat muslim setempat yang kala itu hendak melaksanakan Shalat Ied, ketika
Imam mengumandangkan takbir pertama, sekelompok orang yang diduga
berasal dari jamaat GIDI4.
Jelas tragedi diatas merupakan tamparan keras bagi kerukunan umat
beragama sebagaimana menjadi nilai luhur Pancasila. Kerusuhan berbau
SARA5 ini jelas menjadi sumber perpecahan antar umat beragama yang
berakibat pada keretakan persatuan dan kesatuan bangsa. Berbagai spekulasi
dan tanda tanya pun timbul pasca kerusuhan tadi. Bagaimana hal tersebut
dapat terjadi? Apakah upaya deteksi dini tidak dapat dilakukan oleh petugas
untuk mencegahnya?
Segenap bangsa Indonesia mengutuk peristiwa kerusuhan yang berbau
SARA tersebut terjadi di Tolokara, Papua. Selain itu ketidakcermatan Intelijen
dalam ‘membaca’ situasi juga menjadi sorotan masyarakat terkait kerusuhan
yang terjadi di Tolikara. Atas dasar alasan yang cukup menarik ini lah penulis
mencoba membuat tulisan berjudul RUSUH TOLIKARA SEBAGAI TITIK

BALIK OPTIMALISASI PERAN AGEN INTELIJEN DALAM MENCEGAH
KONFLIK SARA SERTA ISU PELANGGARAN HAM DI INDONESIA.
4
5

GIDI singkatan dari Gereja Injili di Indonesia, atau The Evangelical Church of Indonesia
SARA merupakan terminologi singkat dari kesepahaman tentang Suku, Agama, RAS dan Aliran

2

1.2 Permasalahan
Beberapa hari menjelang Idul Fitri, sebuah surat dilayangkan oleh jemaat
GIDI Tolikara kepada Bupati, Ketua DPRD, Kapolres, serta Danramil di
Kabupaten Tolikara, Papua. Dalam surat tersebut secara jelas melarang
pelaksanaan sholat Idul Fitri diwilayah kabupaten Tolikara Papua, dengan
alasan bahwa pada tanggal 13-19 Juli 2015 ada kegiatan Seminar dan KKR
Pemuda GIDI tingkat Internasional. Larangan lainya adalah ditujukan kepada
para muslimah yang melarang berpakaian hijab.

Ketidakpekaan atas penyampaian aspirasi dari kelompok tertentu tersebut

‘berbuah manis’ atas pecahnya aksi kerusuhan yang terjadi di lokasi Shalat Ied.
Pagi hari Jumat, tanggal 17 Juli 2015, ketika sejumlah umat muslim hendak
3

melaksanakan Shalat Idul Fitri, sejumlah massa mendatangi lokasi solat dan
meminta umat muslim untuk menghentikan aktivitasnya. Kapolres yang berada
di lokasi sempat melakukan negosiasi dengan massa. Akan tetapi, karena
jumlahnya

semakin

bertambah

dan

mulai

memanas,

Polisi


terpaksa

menembakkan peluru ke atas untuk meredam situasi. Situasi semakin
memanas dan Polisi terpaksa menembak beberapa ‘biang keladi’ kerusuhan.
Massa yang mengamuk membakar masjid, beberapa toko, serta rumah-rumah
warga yang berada di dekat lokasi kejadian.
1.3 Persoalan
Dari perumusan masalah tersebut, pokok-pokok permasalahan yang akan
penulis bahas adalah :
a.

Bagaimana upaya Pimpinan Polri setempat dalam menanggapi surat yang
dikirimkan oleh jemaat GIDI atas larangan beragama terhadap umat
muslim di Tolikara?

b.

Bagaimana peran Agen Intelijen dalam mengamati situasi di Tolikara
sebelum kejadian, serta dalam ‘membaca’ potensi konflik SARA tersebut?


4

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Analisa Teori SWOT
Kegiatan yang paling penting dalam proses analisis SWOT adalah
memahami seluruh informasi dalam suatu kasus, menganalisis situasi
untuk mengetahui isu apa yang sedang terjadi dan memutuskan tindakan
apa yang harus segera dilakukan utuk memecahkan masalah (Freddy
Rangkuti, 2001:14). SWOT sendiri merupakan sebuah kependekan dari
terminologi

asing

weaknesses

yang


terdiri

atas strengths (kekuatan-kekuatan),

(kelemahan-kelemahan),

peluang) dan

threats (ancaman-ancaman).

opportunities (peluangPengertian-pengertian

kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam analsis SWOTadalah
sebagai berikut :
1 Kekuatan (strengths).
Kekuatan adalah sumber daya, keterampilan atau keunggulan lain baik
yang kita punya, maupun yang dimiliki oleh lawan.
2 Kelemahan (weaknesses).
Kelemahan adalah keterbatasan/kekurangan dalam sumber daya alam,
keterampilan dankemampuan yang secara serius menghalangi kinerja

organisasi kita, maupun kelompok lawan.
3 Peluang (opportunities).
Peluang adalah situasi/kecenderungan utama yang menguntungkan
bagi kita.
4 Ancaman (threats).
Ancaman

adalah

situasi/kecenderungan

utama

yang

tidak

menguntungkan dalam organisasi yang kita pimpin. (Amin W.T,
1994:74).
2.2.1 Analisa Teori ‘Tulang Ikan’

Kegiatan berikut merupakan analisa intelijen yang dapat digunakan
oleh para Agen Intelijen guna mebaca situasi yang berkembang dalam
upaya mencegah potensi konflik yang terjadi ditengah-tengah masyarakat.

5

Faktor
Kurangnya
Pengamana
n

Faktor
Kurangnya
Deteksi
Dini Fungsi
Intel

Kurangnya Upaya
Pencegahan pada
saat awal

terjadinya Perang

Kurangnya
Informasi Yang
Jelas tentang
Penyebab
Konfik Awal

Perbedaan
Suku dan
Budaya
Yang
Sangat
Komplek

Perebutan
Sumber Daya
Ekonomi

Adanya Kecemburuan
Ekonomi
Adanya
Pengelompo
kan Suku
Tertentu
Sejak Usia
Dini

Kesenjangan
Ekonomi Antara
Pendatang dan
Penduduk Asli

Faktor
Ekonom
i

Lunturnya
Falsafah
Kerukunan
Umat
Beragama

Adanya berita
di media
masa yang
justru
memprovokas
i warga

Kurangnya
infromasi
mengenai
Waktu
terjadinya
perang

Ketidaktanggapa
n Aparat
Kemanan dalam
melakukan
pengamanan

Berita
Provokasi
Media
Masa

Faktor
Budaya

Efek
Globalisasi

Media
Hanya
Mencari
Keuntunga
n Dari
adanya
Konfik

Nilai-nilai
lama tentang
kerukunan
sudah tidak
dihiraukan

Konflik
Perang Antar
Kampung

Adanya
Pengelompo
kan
Kelompok
Pendatang
dan
Kelompok
Pribumi
Adanya
Kecemburuan
Sosial dan
dendam lama

Harga Diri
Kelompok
Pribumii Yang
Tinggi

Tidak Adanya
Perda Yang
Mengatur
Pembagian
Sumber Daya
Ekonomi Secara
Adill

Kurang
Seriusnya
Pemerintah
Daerah Dalam
Menyelesaikan
Konfik

Faktor
Sosial

Fishbone diagram (diagram tulang

Ketidak
tanggapan
Pemerintah
Daerah
ikan
— karena

bentuknya seperti

tulang ikan) sering juga disebut Cause-and-Effect Diagram atau Ishikawa
Diagram diperkenalkan oleh Dr. Kaoru Ishikawa, seorang ahli pengendalian
kualitas dari Jepang, sebagai satu dari tujuh alat kualitas dasar (7 basic quality
tools). Fishbone

diagram digunakan

ketika

kita

ingin

mengidentifikasi

kemungkinan penyebab masalah.

BAB III
PENUTUP

6

3.1 Kesimpulan
a.

Bahwa Pimpinan setempat kurang peka terhadap terbitnya surat yang
diterbitkan oleh jemaat GIDI Tolikara Papua, dimana surat tersebut berisi
permintaan terhadap larangan pelaksanaan kegiatan agama bagi umat
muslim setempat.

b.

Bahwa Peran Agen Intelijen dalam membaca situasi dan kondisi
dilapangan kurang efektif. Serta ketidak-akuratan Agen Intelijen setempat
dalam membaca situasi yang berkembang sebelum kerusuhan, sehingga
tidak dapat memberikan saran dan masukan strategis bagi pimpinan
dalam mengambil kebijakan.

3.2 Saran
a.

Bahwa Pimpinan Polri setempat dalam hal ini diharapkan peka terhadap
segala isyarat yang timbul di wilayah setempat yang memiliki potensi
gangguang terhadap stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat.
Pimpinan pun diminta mampu untuk terjun pro-aktif secara langsung demi
mencapai kepuasan berbagai pihak yang rawan bertikai demi stabilitas
keamanan dimaksud.

b.

Agen Intelijen diharapkan mampu menjadi mata dan telinga pimpinan
dalam membaca perkembangan situasi dilapangan, serta harus mampu
memprediksisikan kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul dari
adanya suatu aksi yang dapat berakibat pada ketidakteraturan sosial.

7