Islam Pluralis Sebagai Teori Resolutif a

Islam Pluralis Sebagai Teori Resolutif atas Konflik Golongan Keagamaan Islam di
Indonesia
BismiLlahirrahmānirrahīm
Pendahuluan
Zaman sekarang, suatu hal yang tidak mudah dijawab –sensitif- oleh setiap individu bila
dipertanyakan kepadanya bagaimana perihal keagamaannya, keimanannya dan seterusnya yang
menyangkut paham dirinya akan ketuhanannya (teologis) -seluruh aspek eksistensialnya-.
Dampak dari ketidakmudahan itu mengesankan bahwa ini merupakan persoalan imanen-urusan
diri pribadi-, namun agaknya berbalik, beberapa fenomena terartikulasikan dalam pengembangan
teologis khususnya di kalangan penganut agama Islam Indonesia, baik yang tersalurkan melalui
kelembagaan maupun gerakan-gerakan strategis yang bersifat kolosal dan beragam.
Uniknya di Indonesia keragaman paham pemikiran teologis itu muncul akibat
pembaharuan dalam Islam, salah satu yang mencolok “konservatisme-fundamentalisme Islam”.
Terlebih lagi, pasca tergulingnya pemerintahan Orde Baru, kehadiran paham Islam yang agak
kaku dan keras serta fundamentalistik itu meluber di berbagai sudut hingga memengaruhi
laboratorium pemerintahan (Dep. Agama); ketegangan kubu di NU-Muhammadiyah bahkan
pada tingkat pendidikan pun terkurikulumkan. Paham Islam yang konservatif-fundamentalistik
ini menjadi headline di mata beberapa cendikia yang perlu direspon agar terhindar dari konflik.1
Kali ini sengaja dittulis mengenai benturan golongan yang separatis dengan
pemahamannya-teologis- yang melatarbelakangi konflik umat muslim khususnya, untuk itu
penulis menawarkan “gagasan” Perspektif Islam Pluralis, paling tidak sebagai buah resolusi

terminimalisirnya konflik tersebut, selebihnya dapat memperteguh kembali Keislaman Indonesia
yang sesuai dari rahimnya yakni Islam terbuka, harmonis/ gotong-royong dan rahmatan
lil’alamin.2
1

Beberapa riset mengenai pergeseran paham ke arah konservatisme islam, lihat Martin Van
Bruinessen (ed), Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme
(Bandung: Mizan, 2014). Dalam buku tersebut diungkap betapa wajah Islam Indonesia yang
dulunya “Islam yang murah senyum” belakangan dianggap mulai bergeser kepada wajah
yang mudah naik tikam –darah tinggi-. Beberapa kasuistik disinggung terkhusus pasca Orde
Baru. respon buku ini pun hadir, dalam pengantarnya Zainal Abidin Bagir melihat bahwa
conservative turn ini sulitlah didukung, karena “Wajah Islam Indonesia” memang banyak
dimensi, lih, h. 18-19.
2
Secara tekstual untuk kembali kepada Islam yang murni ialah benar kepada Qur’an dan
Hadist serta keluarga dan sahabat beliau. Salah satu ayat dalam Qur’an yang

1

Akar Konflik Golongan Keagamaan Islam di Indonesia

Islam dalam perkembangannya sangatlah kental dengan perbedaan, itu nampak dari
pandangan keagamaannya, contohnya saja Fiqih (kajian pemahaman dalam hukum Islam),
Kalam yang sejak semula telah berbeda-beragam, ini menunjukkan Islam memiliki ruang
keterbukaan secara intelektual, tak heran bila Islam melahirkan banyak mazhab darinya.
Menariknya di Indonesia, secara historis hampir diketahui banyaknya komunitas, partai,
golongan, kelas, paham keislaman yang terklasifikasikan itu merupakan gerak pertumbuhan yang
wajar dan konteks; pada mulanya Islam hadir melalui jejaring Ulama Nusantara hingga melewati
masa pra kemerdekaan-pasca kemerdekaan, lalu menembus atmosfir pembaharuan dan
pembangunan Indonesia baik periode Orde Lama, Orde baru, Reformasi hingga sekarang dari
berbagai aspeknya itu merupakan jahitan-sulaman yang tak bisa dinafikan sebagai
perkembangannya yang nampaknya masih relative muda. Tak pula dilupakan, bahwa tanah air
ini pun mulanya telah menampung beragam kelestarian ajaran dan khasanah tradisi intelektual di
dalamnya.
Semestinya selain kesuburan alam, Indonesia sebagai Negara-bangsa besar, setidaknya
subur pula dalam pemikiran-falsafah karena segala yang datang padanya mudah masuk, dengan
begitu operasi pengontrolannya yang dikondisikan seetis mungkin, karena rentan bisa saja
terjadinya perbedaan yang diterima hingga dianut oleh penerimanya secara saklek hingga
memungkinkan terjadinya percekcokan-pertentangan dan akhirnya konflik bermunculan. Peran
Negara-Pemerintahan dan seluruh Staffnya yang bertugas mestilah memerhatikan situasi ini,
karena memang mereka yang memiliki tugas akan hal itu. logis hal ini dipertanyakan oleh

banyak orang tentang “apa kerja pemerintah-Negara, kok masih saja sering terjadi konflik,
khususnya kalangan intern beragama? Untuk apa Dep. Ag dan MUI kalau begitu?”, ini mesti
mereka jawab.
mengisyaratkan pluralisme itu antara lain, Q.S al-Baqarah: 2-6, 213, 285, bahkan ada surat
al-kafirun, dan seterusnya pada ayat-ayat dan surat lainnya. Dalam sejarah pun diakui dunia
adanya Piagam Madinah oleh Nabi Muhammad s.a.ww merupakan konstituante pertama
yang membuka ruang pluralism keberagamaan. Lih, H. Zainal Abidin Ahmad, Piagam
Madinah: Konstitusi Tertulis Pertama di Dunia (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014). Maka,
dengan melihat kondisi siklus ketegangan keberagamaan tersebut perlu kembali
menghidupkan dan melestarikan pemahaman yang sentral, setidaknya di Indonesia memiliki
wajah yang murni sesuai alamnya, yakni Islam Pluralis. Paham Islam Pluralis ini penulis
merujuk karya Buddy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman
(Jakarta: Paramadina, 2001)

2

Perbedaan yang nampak pada masa orde baru dan pasca orde baru (meski penulis tidak
mengenyam masa orde baru bagaimana realitasnya itu), dikabarkan bahwa paham keagamaan
dan kebijakan pemerintah saling sinkron pada masa orde baru,


3

sedangkan pasca orde baru

khususnya kalangan paham konservatif rupanya telah bertelur mengembrio hingga merangkak
untuk dipersiapkannya berjalan pasca orde baru berakhir –tentu kedua masa itu tidak lepas dari
geopolitiknya-, beberapa fenomena pasa orde baru misalnya yang mendominasi konservatisme,
antara lain; konflik antar agama di beberapa daerah, aksi teror menjelang Natal di beberapa
gereja, teror bom Bali (I dan II) yang menewaskan ratusan jiwa, upaya memasukkan Piagam
Jakarta ke dalam tubuh Konstitusi, pemberlakuan perda syari’ah di daerah-daerah, konflik
internal antara kubu puritan dan kubu progresif di tubuh organisasi Islam arus utama (NU dan
Muhammadiyah), gejala konservatisme MUI yang independen dari pemerintahan (fatwa
kesesatan Ahmadiyah dan paham sekulerisme, pluralisme, dan liberalism-yang keliru
menginterpretasikan paham tersebut-, dst), menguatnya jaringan Islam konservatif lintas-negara,
terutama melalui poros pendidikan Indonesia-Timur Tengah; terbentuknya Komite Persiapan
Pelaksanaan Syari’ah Islam (KPPSI), munculnya upaya menghidupkan lagi cita-cita pendirian
Negara Islam Indonesia (NII).4
Beberapa gejala itu berjalan begitu cepatnya namun tak surut pula gerakan pemerintah
dalam merespon demi kemaslahatan besar warga, seperti aksi jihadis-teroris, perda syari’ah.
Namun, paham konservatif ini masih ada segelintir yang memunculkan gerakan islam

transnasionalnya dan akhirnya mengendon di organisasi mapan (Muhammadiyah dan NU),
gerakan itu yang paling menonjol diantaranya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan afiliasinya,
yang merupakan versi Indonesia dari Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan
kelompok non-politik seperti Jama’ah Tabligh dan gerakan salafi, maka ketegangan di organisasi
mapan itu akhirnya condong ke arah tersebut.5 Tanpa disadari beberapa organisasi yang
3

Pada dekade tahun 1970-1980an nampak maraknya kajian teologis keagamaan yang
dapat menyesuaikan bahkan menyokong pembangunan bangsa-negara Indonesia, dari situ
hujan seminar dan riset menampung tawaran-tawaran yang dikedepankan para ahli di
dalamnya, diantara yang terdokumentasikan seminar itu antara lain: M. Masyhur Amin (ed),
Teologi Pembangunan; Paradigma Baru Pemikiran Islam (Yogyakarta: LKPSM-NU, 1989).
Berbagai pandangan teologis diungkap di sana seraya bursa pemikiran yang futuristic.
4
Martin Van Bruinessen, Perkembangan Kontemporer Islam Indonesia dan “Conservative
Turn” Awal Abad ke-21 dalam Martin Van Bruinessen (ed), Op.Cit, h. 24-48
5
Ibid, h. 27. Mengenai HTI dikritik habis oleh Sirajuddin M, karena ideology politik hukum HTI
sangat utopis dan tidak realistis diterapkan di Indonesia dari paradigm ijtihad kontemporer,
sifatnya diskriminatif dan hanya akan melahirkan konfik-konfik ideologis, konfik sik dan

mengancam keutuhan NKRI. Lih, Sirajuddin M, Resolusi Konfik Ideologi (Menimbang Politik

3

nampaknya terlihat islami namun di sisi lain justru malah menimbulkan ketegangan dan
keterasingan dengan wajah aslinya, di sinilah sepertinya image arabisasi menjadi negative karena
fitrah jiwa lokal disirnakan, seperti kealamian Islam Nusantara.
Lebih bahayanya lagi bila kontrol Negara dan pemerintah tidak begitu ketat akan arus
globalisasi-informasi yang memiliki potensi dalam aktualisasi penyebaran virus paham
konservative-fundamentalisme-radikalisme. Sensitivitas terjadinya konflik-terorisme seperti ISIS
(Islamic State of Irak and Suriah) misalnya saja telah menyebar di wilayah tanah air tercinta kita
yang mempunyai jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Fenomena itu diselidiki
bermangsakan kebanyakan para kalangan muda-mudi yang euphoria terhadap keagamaan
padahal belum “tegak” visi mentalnya, dari situ mereka dididik untuk meneror (seperti beberapa
situs bersejarah; candi Borobudur hendak dibom, tempat kuburan-keramat dan bangunanbangunan suci diratakan–sikap ini sejalur ideologi wahhabisme); berperang-bagi mereka sebuah
jihad-; hingga dididik pemboman bunuh diri. Dari realita itu beberapa kalangan tokoh agama
beserta ormas dan pemerintah bertindak turba (turun ke bawah) untuk menolak kehadiran ISIS
menginjak kakinya atau menghirup udara di Indonesia.6
Terbukti bahwa sebuah fenomena-fenomena bisa memengaruhi gerak kesadaran
masyarakat, namun itu hanyalah sebuah gerakan yang tidak mengakar yang akan terus bisa hadir

kembali, analisa Kiram melihat akar itu semua terbangun dari sebuah ideology, maka ideology
dari gerakan radikal seperti –ISIS- yang telah menjangkiti beberapa korban jiwa pemuda
Indonesia itu haruslah dihapuskan diperlawankan dengan ideology tandingannya, dan Indonesia
sudah memilikinya, yakni Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dst.7
Diperkuat oleh Haidar baqir, bahwa, Gerak konservatisme dapat pula terlacak jauh di
periode kekhalifahan Ali k.w yang secara historis pada masa itu telah banyak aliran islam,
diantaranya ialah Khawariji yang menganggap bahwa selain dari pandangan golongannya adalah
Kafir. Takfiri pun terus berlangsung yang bermetamorfosa abad ke abad hingga yang terlalu
radikal-keras-dan conservative. Beberapa Negara di semenanjung Arab menjadi kasus
Hukum Hizbut Tahrir Indonesia dalam Paradigma Ijtihad Kontemporer), dalam Journal
Analisis: Jurnal Studi keislaman, (IAIN Raden Intan Bandar Lampung: Vol XII, No. 2, 2012), h.
363-367
6
Fenomena dan realita yang cukup objektif digambarkan mengenai ISIS ini baik ditulis oleh
Ikhwanul Kiram Mashuri, ISIS: Jihad atau Petualangan (Jakarta: Republika, 2014), h. 91-100
7
Ibid, 103-104.

4


percontohan yang melibatkan pula relasi geopolitical-ekonomikal dengan Negara-negara
superpower (Amerika-Eropa) dan malah melanggengkan gejala konservatisme tersebut, maka
darinya lahir konflik-konflik sectarian. 8 Dari beberapa fenomena dan pandangan yang para ahli
kemukakan di atas, nampaknya kami –penulis- sepakat bahwa akar konflik antar golongan itu
bersumber di gerak ideologis. Karena lapangannya abstraksi mental, maka tindak-tanduk mental
manusianya –warganegaranya- mestilah dibenahi-koordinasikan dengan baik lagi, jadi tepatlah
Presiden RI –Jokowi- sekarang memilih gerak “Revolusi Mental”.
Di sini pula setidaknya menawarkan pandangan-pemikiran- yang dapat menetralisir dan
menghidupkan kembali jiwa keagamaan khususnya keislaman Nusantara yang rahmatan
lil’alamin, yakni Islam Pluralis.
Proses Islam Pluralis Sebagai Denyut Nadi Bangsa-Negara Yang Berketuhanan Yang
Maha Esa
Dalam pengantarnya di buku Conserative Turn, Zainal Abidin Baqir memberi pertanyaan
seperti: “sejauh mana kaum Muslim toleran-terbuka, yang tidak terlalu banyak diteliti dalam
buku ini, mampu menjawab tantangan itu dalam situasi politik yang lebih demokratis, dengan
segala konsekuensinya yang tak terlalu sedikit menguntungkan mereka?”. 9 Pertanyaan sekaligus
pernyataan ini mengindikasikan perlunya paham keislaman yang dapat menampung berbagai
persoalan hingga dapat disikapi dengan bijak, arif dan dewasa. Dari titik ini pula, penulis
berkesempatan menguatkan kembali perspektif Islam Pluralis yang telah digaungkan oleh
beberapa kaum cendikia yang disebutnya neo-modernis dan uniknya epistemologi bentuk

pemikiran sosial-keislaman yang mereka istilahkan itu sebagai “Islam Rasional”, “Islam
Peradaban” dan “Islam Transformatif”, beberapa elit itu dapat diperkenalkan di sini, antara lain:
Nurcholish Madjid (sebagai “penarik gerbong”nya), Utomo Dananjaya, Usep Fathuddin, Djohan
Effendi, Ahmad Wahib, M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, berikutnya Harun Nasution,
Abdurrahman Wahid, Jalaluddin Rakhmat, Syafi’I Ma’arif, H.M Amien Rais, Kuntowijoyo, dan
para generasi muda berikutnya.10
8

Haidar Baqir, Pengantar: Asal-Usul Masalah Konservatisme Islam, dalam Martin Van
Bruinessen, Op.Cit, h. 4-7
9
Zainal Abidin Baqir, Pengantar: Membaca Beragam Wajah Islam Indonesia, dalam Martin
Van Bruinessen, Op. Cit, h. 23
10
Buddy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 271-274

5

Benturannya memang pada wilayah filosofis, karena beberapa filsafat yang berkembang

pada masa modern yang dimulai di barat (Descartes hingga ke Wittgenstein) secara ringkas
dinyatakan filsafat profane sebab telah menghapus hubungan dengan Tuhan -Sakral-, peranan
agama pun menjadi tersingkirkan, maka kecenderungan manusia individualistis sangatlah
menggumpal, tak heran dari kenyataan ini banyak krisis yang hadir, Atheisme pun dijagokan.
Fenomena itu nyaris membuat gelisah kalangan intelektual murni, dengan demikian turut pula
para ahli Falsafah Tradisional-Perennial merespon gejala tersebut untuk bisa menjaga nilai-nilai
transcendental dari tiap agama yang mana kesuciannya mesti dilangsungkan hingga mampu
mengambil peranan atas kemanusiaan.
memungkinkan

untuk

dapat

11

Tampaklah gerakan-gerakan (sosial, dan studi) yang

mengupayakan


jalinan

keagamaan

dengan

hubungan

kemasyarakatan untuk bisa transformatif.12
Sebuah jalan –perspektif- yang mampu mempertemukan kesatuan realitas transcendental
agama-agama itu berada dalam wilayah esoteric –langit ilahi- bukan pada wilayah eksoteris –
atmosfer bumi-. Esoterisme bukanlah sebatas faham, pun eksoterisme. Seperti dalam Islam,
mustahil satu realitas tanpa ada dimensi, maka muncullah Lahir dan Batin. Perbedaan dimensi ini
tentulah menjadi wilayah tersendiri, karena Realitas Universal bertingkat-tingkat yang
menampakkan dirinya dalam tingkatan-tingkatan tanpa mengurangi hakikatnya sebagai “satu”
kesatuan utuh.13
Oleh sebab itu, hanya pada Tuhanlah yang berada di tingkat tertinggi terdapat titik temu
berbagai agama. Kenyataan metafisik ini, secara epistemologis dapat dikatakan bahwa perbedaan
antara agama yang satu dengan agama yang lain juga mengecil dan bersatu di tingkat tertinggi,
sedangkan di tingkat bawahnya berbagai agama itu terpecah belah. 14 Kenyataan ini disiratkan
dalam Q.S Alu-‘Imran: 64, dalam ayatnya yang berbunyi:
          
               
     
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kemarilah semua (naiklah) kepada kalimat yang sama –Tunggal-,
diantara kami dan kamu semua tidaklah kita menyembah kecuali Allah dan tidaklah kita
11

Lihat lebih jelas, Buddy Munawar Rahman, Islam Pluralis, ibid, h. 79-85
Lebih detail lih, Buddy Munawar Rahman, ibid, h. 232-235
13
Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions. Terj, Safroedin bahar, Mencari Titik
Temu Agama-Agama (Jakarta: YOI, 2003), h. 85
14
Huston Smith, Pengantar, ibid, h. 12
12

6

mempersekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian
yang lain sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka:
"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)."
Sebagai ilustratif, bila dikerangkakan dari banyaknya jalan yang terbungkus berbeda itu
namun menuju pada Sumber-Hakikat yang sama, secara metafisis atau transcendental bertemu di
wilayah Esoteris yang beranjak dari Eksoteris, seperti thesis F. Schuon yang diulas oleh Huston
Smith, sebagai berikut15:

Esoterisme
Eksoterisme

A. Hindu

A. Buddha

T. China

A. Yahudi

A. Kristen

A. Islam

Sinkronisasi metafisika dalam perspektif perennial sangatlah tegas dalam hal ini
penglihatannya benar-benar menggunakan perspektif -divinity-ilahiyah. Maka, falsafah perennial
sebagai pintu untuk melihat realitas yang tunggal –satu- yang sering diungkap “sama” dalam
melihat berbagai agama-agama atau realitas-realitas yang berdimensi-berderajat itu, tidaklah pula
menafikan perbedaan-perbedaan yang ada dari tiap realitas yang berderajat-berdimensi itu.
Dengan demikian adalah baik kiranya Pluralisme dalam keberagamaan dapat difahami demikian,
yang masih kebanyakan orang-orang keliru memahaminya, dari pemahaman ini mewujudkan
maksud dan pengertian yang diorientasikan sama tujuan dan basisnya.
Dengan perpektif perennial ini, cukup terang bahwa pluralisme agama bukanlah sekedar
faham yang menerima keragaman bentuk dan hanya terbuka terhadap agama-agama
(inklusivitas), juga bukan pula sinkretik –hanya mengutamakan esensi mengabaikan bentuknamun lebih dari itu ialah sebagai adanya kekuatan yang diagungkan -Supreme Reality- Tuhan
Yang Satu yang menampilkan keragaman realitas berdimensi-berderajat yang niscaya secara
15

Huston Smith, Pengantar dalam Frithjof Shuon, Transendent Unity, ibid, h. 11

7

ontologis dari Kebenaran Ilahi pada sudut itu mempertemukan agama-agama sebagai kesatuan,
terlebih lagi hanya sebatas pada paham.
Pluralisme sebagai letupan dari hasil olah pandangan perennialis kemungkinan besar
tertuang bagi para pembaca dan aktivis beberapa kalangan intelektual dan cendikia yang telah
mentransformasikan dirinya menjadi “faham”, mudahlah dimaklumi demi mengakomodir
faham-faham yang berlimpahan di masa modern ini; revivalisme, modernisme, neo-revivalisme,
neo-modernisme, ekslusivisme, inklusivisme, sekulerisme, fundamentalisme dan isme-isme
lainnya yang telah dialih fungsikan demi kepentingan-kepentingan tertentu. Apalagi yang disebut
preman berjubah. Maka, menyikapinya pun tidak hanya menerima keragaman, namun menilai
yang benar dari keragaman tersebut untuk dapat kembali kepada ajaran yang seutuhnya adalah
lebih tepat dan baik sehingga terhindar konflik ideologis. Secara ideologis, bisa ditarik falsafah
Pancasila menjadi tafsiran yang reflektif dari konteks yang berlangsung, sehingga falsafah
pancasila itu pun hidup berkembang dan tidak sebatas verbalisasi.
Bahkan lebih jauh lagi, seperti yang diteladani oleh baginda RasuluLlah SholaLlahu
‘alaihi wa sallam, dalam pengertian yang begitu bijak dan arif beliau cantumkan kalimat pertama
pada Piagam Madinah:16
Pasal I: “Sesungguhnya mereka adalah satu bangsa-negara (ummah) bebas dari (pengaruh dan
kekuasaan) manusia lainnya”.
Paparan di atas yang mencoba diupayakan kembali kepada akar Islam Pluralis menjadi
contoh template atau format –bila hendak dimekaniskan- Islam yang sesuai di bumi Nusantara
ini karena di luar agama pun Indonesia secara realitas fenomenal sudah beragam jadi tidak
mungkin diseragamkan. Dengan begitu, upaya-upaya yang dapat diberikan demi terhindarnya
konflik antar golongan keagamaan khususnya Islam, mestilah adanya pemahaman yang utuh
terhadap teks-konteks tentang keislaman baik lahir-bathin, baik historis-filosofis, baik itu pula
noumena-fenomena dan seterusnya, yang membutuhkan waktu dan ruang dialogis antar pihak
yang bersangkutan.
Di sini, sekaligus sebagai penutup dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini, penulis
tetap yakin dan percaya bahwa bahaya pemahaman terhadap Islam yang sepihak hanya memakai
16

H. Zainal Abidin Ahmad, Piagam Madinah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), h. 12

8

“satu mata”, yakni seperti kalangan conservative-fundamentalis mestinya dibuka lagi satu mata
lainnya hingga Islam benar-benar utuh-kāffah- sebagai agama dan rahmat untuk semesta alammanusia. Ekspresi rahmat dan keutuhan itu pula penulis meyakinkan diri terdapat pada paham
Islam Pluralis yang mengedepankan perspektif Ilahi-Perennial. Hal ini tidaklah segampang
memutarbalikkan tangan, namun setidaknya upaya ini kembali meneguhkan Tauhid Islam,
hingga dapat membentur kekeliruan dan membumihanguskan kesalahpahaman dari berbagai
paham yang mengakibatkan peta konflik dan korban jiwa itu.
WaLlāhu a’lam..
Terakhir kalinya kami ucapkan terimakasih dan maaf,
Wassalāmu’alaikum warahmatuLlāhi wabarakātuh.

Pustaka Pilihan
M. Masyhur Amin (ed), Teologi Pembangunan; Paradigma Baru Pemikiran Islam, Yogyakarta:
LKPSM-NU, 1989
Buddy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta:
Paramadina, 2001
Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions. Terj, Safroedin bahar, Mencari Titik
Temu Agama-Agama, Jakarta: YOI, 2003
Sirajuddin M, Resolusi Konflik Ideologi (Menimbang Politik Hukum Hizbut Tahrir Indonesia
dalam Paradigma Ijtihad Kontemporer), dalam Journal Analisis: Jurnal Studi keislaman, IAIN
Raden Intan Bandar Lampung: Vol XII, No. 2, 2012
H. Zainal Abidin Ahmad, Piagam Madinah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014
Ikhwanul Kiram Mashuri, ISIS: Jihad atau Petualangan, Jakarta: Republika, 2014
Martin Van Bruinessen (ed), Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman
Fundamentalisme, Bandung: Mizan, 2014
9