Tugas Konflik Sosial Pjj Papua

KONFLIK PAPUA
Konflik Papua adalah konflik di Provinsi Papua di Indonesia. diawali pada tahun 1961,
muncul keinginan Belanda untuk membentuk negara Papua Barat terlepas dari
Indonesia,[4] Langkah Belanda ini dilawan Presiden Soekarno dengan mendekatkan diri
pada negara komunis terutama Uni Soviet. [5] Sikap Soekarno ini membuat takut
Belanda dan Presiden Amerika Serikat John F Kennedy. Sebab jika itu dibiarkan maka
Indonesia sangat mungkin menjadi negara komunis terbesar di Asia Tenggara. [6][7]
Ketakutan itu lalu membuat Belanda mengambil sikap untuk menyerahkan masalah
Papua ke PBB. Dari dan melalui PBB, Belanda mengambil sikap untuk keluar dari
papua dan tidak jadi mengambil, merebut dan menjajah Papua lalu Papua diserahkan
"kembali" ke Indonesia dengan syarat memberi kesempatan pada rakyat Papua untuk
menentukan sikap sendiri atau referendum (Penentuan Pendapat Rakyat/PERPERA).
Lewat PERPERA tahun 1969, rakyat Papua memilih "tetap" dalam lingkungan Republik
Indonesia.
Daftar isi
 1 Ikhtisar
 2 Rangkuman
o 2.1 Era administrasi sementara PBB (1962-1969)
o 2.2 Era Orde Baru
 2.2.1 1969 - 1980
 2.2.2 1980 - 1998

o 2.3 Era Reformasi
 2.3.1 1998 - 2010
 2.3.2 2010-an
 3 Referensi
 4 Rujukan
 5 Pranala luar
Ikhtisar
Organisasi Papua Merdeka (disingkat OPM) adalah sebuah organisasi adat didirikan
pada tahun 1965 untuk mempromosikan penentuan nasib sendiri dan pemisahan diri
Papua dari Republik Indonesia.
Gerakan ini dilarang di Indonesia, dan mengibarkan Bendera Bintang Kejora dan
berbicara dalam mendukung tujuan OPM adalah dilarang kegiatan di Indonesia, yang
dapat dikenakan biaya dari "Makar" (pengkhianatan) [8]. Sejak awal berdirinya OPM telah
mencoba dialog diplomatik, melakukan upacara bendera (ilegal menurut hukum
Indonesia), dan tindakan militan dilakukan sebagai bagian dari Konflik Papua.
Pendukung secara rutin menampilkan Bendera Bintang Kejora dan simbol lainnya
Kesatuan Papua yang telah diadopsi pada periode 1961 sampai pemerintahan
Indonesia dimulai pada bulan Mei 1963 dengan Perjanjian New York.
Para pendukung organisasi menuduh orang-orang Papua tidak memiliki hubungan
etnis, budaya atau geografis dengan Indonesia, bahwa mereka adalah orang-orang

kolonial di bawah Resolusi PBB 1541 dan bahwa mereka berhak ketentuan Resolusi
PBB 1514. Menurut pendukung OPM, pemerintah Indonesia di Papua adalah
pendudukan militer.
Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa wilayah tersebut memilih untuk dimasukkan
ke dalam Republik Indonesia dengan referendum yang dikenal sebagai Tindakan

Pemilihan Bebas pada tahun 1969. Pernyataan ini ditolak oleh para pendukung
organisasi yang menuduh Tindakan Pemilihan Bebas tidak sukarela dan tidak mewakili
populasi.
Rangkuman Kejadian
Era administrasi sementara PBB (1962-1969)
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Otoritas Eksekutif Sementara PBB
 15 Agustus 1962: Perjanjian New York oleh Kerajaan Belanda, Republik
Indonesia dan PBB. Wilayah Papua Barat diserahkan oleh Kerajaan Belanda
pada administrasi Otoritas Eksekutif Sementara PBB, diikuti dengan
pertempuran sporadis antara milisi / tentara pro-Indonesia dan pro-Belanda
hingga 1969.
 1966 - 1967: pengeboman udara Pegunungan Arfak
 Januari - Maret 1967: pengeboman udara wilayah Ayamaru dan Teminabuan
 1967: Operasi Tumpas, 1.500 diduga tewas di Ayamaru, Teminabuan dan

Inanuatan.
 April 1969: pengeboman udara Danau Wissel (daerah Paniai dan Enarotali);
14.000 selamat melarikan diri ke hutan.
Era Orde Baru
1969 - 1980
 Juli -Agustus 1969: Penentuan Pendapat Rakyat menentukan bahwa wilayah
Papua Barat adalah wilayah kedaulatan Republik Indonesia.
 Juni 1971: Henk de Mari melaporkan 55 pria dari dua desa di Biak Utara tewas.
Berita diterbitkan harian Belanda De Telegraaf, Oktober 1974.
 Tanpa sumber: 500 mayat ditemukan di hutan Kecamatan Lereh, barat daya
Bandara Sentani, Jayapura.
 1974: Di Biak Utara, 45 orang tewas.
 1975: Di Biak, setidaknya 41 orang dari desa Arwam dan Rumbin tewas.
 1977: pengeboman udara Akimuga (tambang Freeport McMoRan Inc.).
 1977 - 1978: pengeboman udara Lembah Baliem.
 April 1978: Enam mayat yang tidak dapat diidentifikasikan ditemukan di
kecamatan Dosai, Jayapura.
 Mei 1978: Lima pemimpin OPM tewas dan 125 penduduk desa ditembak karena
dicurigai simpatisan OPM.
 June 1978: 14 mayat korban tembak ditemukan di Barat Bandara Sentani,

Jayapura.
 Tanpa sumber: Biak Utara, 12 orang tertembak.
1980 - 1998
 1981: 10 tewas, 58 menghilang di daerah Paniai.
 Juni - Agustus 1981: Operasi Sapu bersih, populasi Ampas Waris dan desa
Batte-Arso menjadi korban.
 September-Desember 1981: 13.000 diduga tewas di dataran tinggi tengah.
 Juli 1984: Angkatan Laut, Udara, dan Darat menyerbu Desa Nagasawa / Ormo
Kecil, 200 orang tewas.

 Tanpa sumber: Bombardir dari laut di Taronta, Takar, dan desa pesisir MasiMasi; yang selamat melarikan diri ke arah Jayapura; pada 1950 dikuasai
Belanda dan masing-masing desa berpopulasi 1500-2000.
 24 Juni 1985: 2.500 tewas di wilayah Kabupaten Paniai, Danau Wissel, termasuk
115 dari desa-desa Iwandoga dan Kugapa.
 1986 - 1987: 34 tertembak di Paniai / Wissel Lake District.
 8 Januari 1996: Krisis sandera Mapenduma, militan OPM yang dipimpin Kelly
Kwalik menyandera 26 orang di Irian Jaya [5], memicu Operasi pembebasan
sandera Mapenduma (dua sandera tewas) dan Insiden Penembakan Timika
1996 (16 orang tewas).
 9 Mei 1996: Krisis sandera Mapenduma, berakhir dengan serbuan Kopassus ke

Desa Geselama, di Mimika.
Era Reformasi
1998 - 2010

Warga berdemonstrasi di Den Haag, 2009.
 6 Oktober 2000: polisi merazia upacara pengibaran bendera di Wamena, massa
mengumpul dan dua warga non-Papua tewas dalam sebab tidak jelas. Massa
memulai kerusuhan ke lingkungan migran dari daerah lain di Indonesia,
membakar dan menjarah toko-toko. 7 warga Papua tertembak dan 24 warga
non-Papua tewas.[9]
 11 November 2001: ketua Presidium Dewan Papua, Theys Eluay, ditemukan
tewas di mobilnya di luar Jayapura setelah hilang diculik. [10]
 31 Agustus 2002: pemberontak menyerang sekelompok profesor Amerika. 3
tewas dan 12 lainnya luka-luka. Polisi menduga OPM yang bertanggung jawab.
[11]

 1 Desember 2003: Sekelompok 500 orang mengibarkan bendera separatis, 42
orang ditangkap.
 15 Oktober 2004: pemberontak menewaskan enam warga sipil dalam serangan
di Puncak Jaya.[12]

 16 Maret 2006: Tiga polisi dan seorang pilot tewas dan 24 orang lainnya cedera
dalam bentrokan dengan warga papua dan mahasiswa yang telah menuntut
penutupan tambang Grasberg Freeport di Provinsi Papua.[13]

 Pada tanggal 9 Agustus 2008: Di Wamena, satu orang, Opinus Tabuni (kerabat
Buchtar Tabuni), tewas tertembak peluru kepolisian Indonesia yang dipicu
pengibaran bendera Bintang Kejora oleh aktivis di sebuah demostrasi besar
yang diorganisir oleh DAP (Dewan Adat Papua) dalam Hari Internasional
Masyarakat Adat Dunia.[14]
 4 Desember 2008: 4 warga Papua terluka oleh tembakan dari polisi dalam
demonstrasi menuntut kemerdekaan Papua.[15]
 29 Januari 2009: Sedikitnya 5 orang Papua terluka karena tembakan oleh polisi
saat demonstrasi.[15]
 14 Maret 2009: Satu personel TNI tewas dalam serangan terhadap pos tentara di
Tingginambut. OPM diduga bertanggungjawab. [16]
 Pada tanggal 8 April 2009: Beberapa bom meledak di sebuah jembatan dan
sebuah kilang di pulau Biak. Satu orang tewas.[15]
 9 April 2009: Sebuah serangan bom di Jayapura menewaskan 5 orang dan
menciderai beberapa orang.[17] Sementara itu 500 militan menyerang pos polisi
dengan busur dan panah dan bom bensin. Satu orang tewas tertembak polisi. [18]

 11-12 April 2009: Pertempuran antara tentara dan militan Papua menewaskan
11 orang termasuk 6 anggota tentara. Pada saat yang sama, sebuah bom
dijinakkan di kantor polisi di Biak.[15]
 Pada tanggal 15 April 2009: Sebuah serangan terhadap sebuah konvoi polisi di
Tingginambut menewaskan satu orang dan melukai enam. OPM diduga
bertanggungjawab.[15]
 11 Juli 2009: Seorang karyawan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc warga
Indonesia tewas ditembak dalam serangan di luar perusahaan tambang itu di
Papua.[19]
 Juli 2009: insiden pengibaran bendera Papua Barat oleh OPM di desa Jugum,
kemudian lebih dari 30 rumah dibakar dalam sebuah operasi TNI. [20]
 12 Agustus 2009: Sebuah konvoi 16 bis karyawan Freeport-McMoRan Copper
disergap. Dua orang tewas dan 5 luka-luka.[21]
 Pada tanggal 16 Desember 2009: pimpinan Organisasi Papua Merdeka (OPM)
Kelly Kwalik tewas ditembak oleh kepolisian Indonesia saat operasi penyerbuan
di Timika.[22]
2010-an
 24 Januari 2010: Pemberontak menyergap sebuah konvoi karyawan perusahaan
tambang PT Freeport McMoran. 9 orang terluka, OPM menyangkal bertanggung
Jawab.[23]

 1 Maret 2010: Asosiasi Papua Barat Australia di Sydney mengatakan bahwa
situasi di Papua Barat memburuk. Sejak Juli tahun lalu telah terjadi 14 insiden
penembakan di sekitar tambang Grasberg, tambang emas dan tembaga milik
Freeport, dan serangan ini telah menewaskan sedikitnya 3 dan melukai 13
orang.[24]
 23 Maret 2010: Pemberontak menyerang sebuah konvoi tentara Indonesia.
melukai beberapa tentara.[25]

 Mei 2010: OPM diduga menewaskan 3 pekerja di sebuah lokasi konstruksi,
memicu sebuah operasi militer oleh TNI yang menyerbu sebuah desa, 2 tewas
dan seorang wanita diperkosa sementara rumah di 3 desa dibakar oleh militer. [26]
 17 Mei 2010: TNI menyerang markas militan OPM, menewaskan satu tersangka
militan.[26].
 21 Mei 2010: Militan menyerang anggota TNI di dekat Yambi, 75 km dari Mulia.
Tidak ada korban.[26]
 15 Juni 2010: Seorang perwira polisi Indonesia tewas tertembak saat patroli, 8
senjata api dicuri oleh pemberontak.[27]
 Juli 2010: 12 rumah dan dua gereja rusak dan seorang wanita diperkosa saat
operasi TNI untuk menangkap Goliath Tabuni.[28]
 23 Juni 2011: Seorang perwira polisi dari Jayapura ditembak oleh anggota yang

diduga dari OPM.[29]
 6 Juli 2011:. Tiga tentara ditembak saat bentrokan dengan penyerang tak dikenal
di Desa Kalome, Tingginambut.[30]
 20 Juli 2011: Seorang perwira TNI tewas dalam penyergapan terhadap pasukan
keamanan di distrik Puncak Jaya di Papua oleh pemberontak. [30]
 31 Juli 2011:. Pemberontak menyerang sebuah mobil di Papua dengan senjata,
kapak dan pisau menewaskan seorang tentara dan tiga warga sipil dan melukai
tujuh orang, OPM menyangkal bertanggung jawab. [31][32]
 1 Agustus 2011: Polri menyatakan bahwa anggota OPM menewaskan empat
warga sipil di dekat Tanjakan Gunung Merah, Paniai.[33]
 2 Agustus 2011: Seorang personel TNI yang menjaga sebuah pos militer di
Tingginambut tewas tertembak. Di kota Mulia dua penembakan terhadap target
polisi dan militer melukai seorang tentara.[34]
 3 Agustus 2011: Pemberontak menembak sebuah helikopter militer saat
mengevakuasi tubuh seorang prajurit yang diduga juga dibunuh oleh mereka. [34]
 22 Oktober 2011: Al Jazeera menerbitkan rekaman dari sebuah pertemuan
kemerdekaan yang diserang oleh pasukan keamanan Indonesia. Setidaknya
lima orang tewas.[35][36]
 2 Desember 2011: Seorang perwira kepolisian Jayapura ditemukan tewas di
samping sungai pada hari Kamis setelah ia diduga dibunuh oleh kelompok orang

yang bersenjata panah dan belati. OPM diduga bertanggung jawab. [37]
 5 Desember 2011:. Dua perwira kepolisian tewas di Puncak Jaya selama
tembak-menembak dengan tersangka anggota OPM. [38]
 12 Desember 2011: kepolisian menyergap markas grup lokal OPM. Polisi
menyita senjata api, amunisi, pisau, perlengkapan perang, dokumen, bendera
Bintang Kejora dan menewaskan 14 militan.[39]
 Juni 2012, Koordinator Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Mako Tabuni
meninggal di rumah sakit setelah mengalami luka tembak dalam operasi
penangkapan oleh kepolisian Jayapura. [40]
 22 Februari 2013, sebuah helikopter TNI rusak akibat tembakan dari darat ketika
mencoba untuk mengevakuasi mayat personel yang tewas melawan OPM
sebelumnya. Setidaknya 3 anggota kru terluka. 8 personel TNI tewas dalam
tembak-menembak sebelumnya.[41]

1.Latar Belakang
LATAR BELAKANG KONFLIK PAPUA Ketika Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia
Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda
menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda, sama
dengan daerah-daerah lainnya. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan

untuk menjadikan Papuanegara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an.
Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang
diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam
beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja
Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan
mengenai Papua Barat, namun setuju bahwa hal ini akandibicarakan kembali dalam
jangka waktu satu tahun. Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua
Barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73ePiagam PBB. Karena Indonesia
mengklaim Papua Barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke
Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak.
Setelah Indonesia beberapa kali menyerang Papua Barat, Belanda mempercepat
program pendidikan di Papua Barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain
adalah sebuah akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada
1957. Sebagai kelanjutan, pada 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat
dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Halmahera, dengan
gubernurpertamanya, Zainal Abidin Syah. Pada tanggal 6Maret 1959, harianNew York
Times melaporkan penemuan emas olehpemerintah Belanda di dekatlaut Arafura. Pada
tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan
Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun
tidakmenyebut kandungan emas ataupun tembaga.
BenderaPapua’Barat,sekarangdigunakansebagaibenderaOrganisasiPapuaMerdeka
Karenausaha pendidikan Belanda, pada tahun 1959 Papua memiliki perawat, dokter
gigi, arsitek, teknisi telepon, teknisi radio, teknisi listrik, polisi, pegawai kehutanan, dan
pegawai meteorologi. Kemajuan ini dilaporkan kepada PBB dari tahun 1950 sampai
1961. Selain itu juga diadakan berbagai pemilihan umum untuk memilih perwakilan
rakyat Papua dalam pemerintahan, mulai dari tanggal 9 Januari 1961 di 15 distrik.
Hasilnya adalah 26 wakil, 16 di antaranya dipilih, 23 orang Papua, dan 1 wanita. Dewan
Papua ini dilantik oleh gubernur Platteel pada tanggal 1 April 1961, dan mulai menjabat
pada 5 April 1961. Pelantikan ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Australia, Britania Raya,
Perancis, Belanda dan Selandia Baru. Amerika Serikat diundang tapi menolak. Dewan
Papua bertemu pada tanggal 19 Oktober 1961 untuk memilih sebuah komisi nasional
untuk kemerdekaan, bendera Papua, lambang negara, lagu kebangsaan ("Hai
Tanahkoe Papua"), dan nama Papua. Pada tanggal 31 Oktober 1961, bendera Papua
dikibarkan untuk pertama kali dan manifesto kemerdekaan diserahkan kepada gubernur
Platteel. Belanda mengakui bendera dan lagu kebangsaan Papua pada tanggal 18
November 1961, dan peraturan-peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember
1961. Pada 19Desember1961,Soekarnomenanggapi’pembentukan DewanPapuaini
denganmenyatakanTrikora di Yogyakarta, yang isinya adalah: Gagalkan pembentukan
negara boneka Papua buatan kolonial Belanda. Kibarkan Sang Saka Merah Putih di

seluruh Irian Barat Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan
dan kesatuan tanah air bangsa.
Selengkapnya
:
http://www.kompasiana.com/rimun.solowat/latar-belakang-konflikpapua_55289030f17e61ba628b45c2
2.
Sejarah
Selama Perang Dunia II, Hindia Belanda (kelak menjadi Indonesia) dipandu oleh
Soekarno untuk menyuplai minyak demi upaya perang Jepang dan langsung
menyatakan merdeka dengan nama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Nugini
Belanda (Nugini Barat) dan Australia yang menjalankan pemerintahan di teritori Papua
dan Nugini Britania menolak penjajahan Jepang dan menjadi sekutu pasukan Amerika
Serikat dan Australia sepanjang Perang Pasifik.
Hubungan Belanda dan Nugini Belanda sebelum perang berakhir dengan diangkatnya
warga sipil Papua ke pemerintahan [3] sampai pemerintahan Indonesia diaktifkan tahun
1963. Meski sudah ada perjanjian antara Australia dan Belanda tahun 1957 bahwa
teritori milik mereka lebih baik bersatu dan merdeka, ketiadaan pembangunan di teritori
Australia dan kepentingan Amerika Serikat membuat dua wilayah ini berpisah. OPM
didirikan bulan Desember 1963 dengan pengumuman, "Kami tidak mau kehidupan
modern! Kami menolak pembangunan apapun: rombongan pemuka agama, lembaga
kemanusiaan, dan organisasi pemerintahan. Tinggalkan kami sendiri! [sic]"[4]
Nugini Belanda mengadakan pemilu pada Januari 1961 dan Dewan Nugini dilantik pada
April 1961. Akan tetapi, di Washington, D.C., Penasihat Keamanan Nasional McGeorge
Bundy melobi Presiden A.S. John F. Kennedy untuk menegosiasikan transfer
pemerintahan Nugini Barat ke Indonesia. [5] Perjanjian New York dirancang oleh Robert
Kennedy dan ditandatangani oleh Belanda, Indonesia, dan Perserikatan BangsaBangsa pada bulan Agustus 1962.
Walaupun Belanda menuntut agar rakyat Nugini Barat boleh menentukan nasib sendiri
sesuai piagam PBB dan Resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB dengan nama "Act of
Free Choice", Perjanjian New York memberikan jeda tujuh tahun dan menghapuskan
wewenang PBB untuk mengawasi pelaksanaan Akta tersebut. [6] Kelompok separatis
mengibarkan bendera Bintang Kejora Papua Barat pada tanggal 1 Desember setiap
tahunnya. Tanggal tersebut mereka anggap sebagai hari kemerdekaan Papua.
Kepolisian Indonesia berspekulasi bahwa orang-orang yang melakukan tindakan seperti
ini bisa dijerat dengan tuduhan pengkhianatan yang hukumannya berupa kurungan
penjara selama 7 sampai 20 tahun di Indonesia. [7]
Pada bulan Oktober 1968, Nicolaas Jouwe, anggota Dewan dan Komite Nasional
Nugini yang dipilih Dewan pada tahun 1962, melobi PBB dan mengklaim 30.000 tentara
Indonesia dan ribuan PNS Indonesia menindas penduduk Papua. [8] Menurut Duta Besar
Amerika Serikat Francis Joseph Galbraith, Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik
juga meyakini bahwa militer Indonesia adalah penyebab munculnya masalah di teritori
ini dan jumlah personelnya harus dikurangi sampai separuhnya. Galbraith menjelaskan
bahwa OPM "mewakili orang-orang sentimen yang anti-Indonesia" dan "kemungkinan
85-90 persen [penduduk Papua] mendukung OPM atau setidaknya sangat tidak
menyukai orang Indonesia".[9]

Brigadir Jenderal Sarwo Edhie mengawasi perancangan dan pelaksanaan Act of Free
Choice pada 14 Juli sampai 2 Agustus 1969. Perwakilan PBB Oritiz Sanz tiba pada 22
Agustus 1968 dan berulang-ulang meminta agar Brigjen Sarwo Edhie mengizinkan
sistem satu orang, satu suara (proses yang dikenal dengan nama referendum atau
plebisit), namun permintaannya ditolak atas alasan bahwa aktivitas semacam itu tidak
tercantum dalam Perjanjian New York 1962. [10] 1.025 tetua adat Papua dipilih dan
diberitahu mengenai prosedur yang tercantum dalam Perjanjian New York. Hasilnya
adalah kesepakatan integrasi dengan Indonesia.
Deklarasi Republik Papua Barat

Protes "Bebaskan Papua Barat" di Melbourne, Australia, Agustus 2012
Menanggapi hal tersebut, Nicolaas Jouwe dan dua komandan OPM, Seth Jafeth
Roemkorem dan Jacob Hendrik Prai, berencana mendeklarasikan kemerdekaan Papua
pada tahun 1971. Tanggal 1 Juli 1971, Roemkorem dan Prai mendeklarasikan Republik
Papua Barat dan segera merancang konstitusinya.
Konflik strategi antara Roemkorem dan Prai berujung pada perpecahan OPM menjadi
dua faksi: PEMKA yang dipimpin Prai dan TPN yang dipimpin Roemkorem. Perpecahan
ini sangat memengaruhi kemampuan OPM sebagai suatu pasukan tempur yang
terpusat.
Sejak 1976, para pejabat perusahaan pertambangan Freeport Indonesia sering
menerima surat dari OPM yang mengancam perusahaan dan meminta bantuan dalam
rencana pemberontakan musim semi. Perusahaan menolak bekerja sama dengan
OPM. Mulai 23 Juli sampai 7 September 1977, milisi OPM melaksanakan ancaman
mereka terhadap Freeport dan memotong jalur pipa slurry dan bahan bakar, memutus
kabel telepon dan listrik, membakar sebuah gudang, dan meledakkan bom di sejumlah
fasilitas perusahaan. Freeport memperkirakan kerugiannya mencapai $123.871,23. [1]
Tahun 1982, Dewan Revolusi OPM (OPMRC) didirikan dan di bawah kepemimpinan
Moses Werror, OPMRC berusaha meraih kemerdekaan melalui kampanye diplomasi
internasional. OPMRC bertujuan mendapatkan pengakuan internasional untuk
kemerdekaan Papua Barat melalui forum-forum internasional seperti PBB, Gerakan
Non-Blok, Forum Pasifik Selatan, dan ASEAN.
Tahun 1984, OPM melancarkan serangan di Jayapura, ibu kota provinsi dan kota yang
didominasi orang Indonesia non-Melanesia. Serangan ini langsung diredam militer
Indonesia dengan aksi kontra-pemberontakan yang lebih besar. Kegagalan ini
menciptakan eksodus pengungsi Papua yang diduga dibantu OPM ke kamp-kamp di
Papua Nugini.
Tanggal 14 Februari 1986, Freeport Indonesia mendapatkan informasi bahwa OPM
kembali aktif di daerah mereka dan sejumlah karyawan Freeport adalah anggota atau

simpatisan OPM. Tanggal 18 Februari, sebuah surat yang ditandatangani "Jenderal
Pemberontak" memperingatkan bahwa "Pada hari Rabu, 19 Februari, akan turun hujan
di Tembagapura". Sekitar pukul 22:00 WIT, sejumlah orang tak dikenal memotong jalur
pipa slurry dan bahan bakar dengan gergaji, sehingga "banyak slurry, bijih tembaga,
perak, emas, dan bahan bakar diesel yang terbuang." Selain itu, mereka membakar
pagar jalur pipa dan menembak polisi yang mencoba mendekati lokasi kejadian.
Tanggal 14 April 1986, milisi OPM kembali memotong jalur pipa, memutus kabel listrik,
merusak sistem sanitasi, dan membakar ban. Kru teknisi diserang OPM saat mendekati
lokasi kejadian, sehingga Freeport terpaksa meminta bantuan polisi dan militer. [1]
Dalam insiden terpisah pada bulan Januari dan Agustus 1996, OPM menawan
sejumlah orang Eropa dan Indonesia; pertama dari grup peneliti, kemudian dari kamp
hutan. Dua sandera dari grup pertama dibunuh dan sisanya dibebaskan.
Bulan Juli 1998, OPM mengibarkan bendera mereka di menara air kota Biak di pulau
Biak. Mereka menetap di sana selama beberapa hari sebelum militer Indonesia
membubarkan mereka. Filep Karma termasuk di antara orang-orang yang ditangkap.[11]
Tanggal 24 Oktober 2011, Dominggus Oktavianus Awes, kepala polisi Mulia, ditembak
oleh orang tak dikenal di Bandara Mulia, Puncak Jaya. Kepolisian Indonesia menduga
sang penembak adalah anggota OPM. Rangkaian serangan terhadap polisi Indonesia
memaksa mereka menerjunkan lebih banyak personel di Papua. [12]
Pada tanggal 21 Januari 2012, orang-orang bersenjata yang diduga anggota OPM
menembak mati seorang warga sipil yang sedang menjaga warung. Ia adalah
transmigran asal Sumatera Barat.[13]
Tanggal 8 Januari 2012, OPM melancarkan serangan ke bus umum yang
mengakibatkan kematian 3 warga sipil dan 1 anggota TNI. 4 lainnya juga cedera. [14]
Tanggal 31 Januari 2012, seorang anggota OPM tertangkap membawa 1 kilogram
obat-obatan terlarang di perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Obat-obatan tersebut
diduga akan dijual di Jayapura.[15]
Tanggal 8 April 2012, OPM menyerang sebuah pesawat sipil Trigana Air setelah
mendarat yang akan parkir di Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua. Lima militan
bersenjata OPM tiba-tiba melepaskan tembakan ke pesawat, sehingga pesawat
kehilangan kendali dan menabrak sebuah bangunan. Satu orang tewas, yaitu Leiron
Kogoya, seorang jurnalis Papua Pos yang mengalami luka tembak di leher. Pilot Beby
Astek dan Kopilot Willy Resubun terluka akibat pecahan peluru. Yanti Korwa, seorang
ibu rumah tangga, terluka di lengan kanannya dan anaknya yang berusia 4 tahun, Pako
Korwa, terluka di tangan kirinya. Pasca-serangan, para militan mundur ke hutan sekitar
bandara. Semua korban adalah warga sipil.[16]
Tanggal 1 Juli 2012, patroli keamanan rutin yang diserang OPM mengakibatkan
seorang warga sipil tewas. Korban adalah presiden desa setempat yang ditembak di
bagian kepala dan perut. Seorang anggota TNI terluka oleh pecahan kaca. [17]
Tanggal 9 Juli 2012, tiga orang diserang dan tewas di Paniai, Papua. Salah satu korban
adalah anggota TNI. Dua lainnya adalah warga sipil, termasuk bocah berusia 8 tahun.
Bocah tersebut ditemukan dengan luka tusuk di bagian dada. [18]
Hirarki organisasi dan otoritas pemerintahan
Organisasi internal OPM sulit untuk ditentukan. Pada tahun 1996 'Panglima Tertinggi'
OPM adalah Mathias Wenda.[19] Juru bicara OPM di Sydney, John Otto Ondawame,
mengatakan telah lebih atau kurang dari sembilan titah kemerdekaan. [19] Jurnalis lepas

Australia, Ben Bohane, mengatakan telah ada tujuh titah kemerdekaan. [19] Tentara
Nasional Indonesia mengatakan OPM memiliki dua sayap utama, 'Markas Besar
Victoria' dan 'Pembela Kebenaran'. Mantan yang lebih kecil, dan dipimpin oleh ML
Prawar sampai ia ditembak mati pada tahun 1991. Terakhir ini jauh lebih besar dan
beroperasi di seluruh Papua Barat. [19]
Organisasi yang lebih besar, atau Pembela Kebenaran (selanjutnya PEMKA), yang
diketuai oleh Jacob Prai, dan Seth Roemkorem adalah pemimpin Fraksi Victoria.
Selama pembunuhan Prawar, Roemkorem adalah komandannya.
Sebelum pemisahan ini, TPN/OPM adalah satu, di bawah kepemimpinan Seth
Roemkorem sebagai Komandan OPM, kemudian menjadi Presiden Pemerintahan
Sementara Papua Barat, sementara Jacob Prai menjabat sebagai Ketua Senat. OPM
mencapai puncaknya dalam organisasi dan manajemen (dalam istilah modern) karena
sebagai struktural terorganisasi. Selama ini, Pemerintah Senegal mengakui keberadaan
OPM dan memungkinkan OPM untuk membuka Kedutaan di Dakhar, dengan
Tanggahma sebagai Duta Besar.
Karena persaingan, Roemkorem meninggalkan markasnya dan pergi ke Belanda.
Selama ini, Prai mengambil alih kepemimpinan. John Otto Ondawame (waktu itu ia
meninggalkan sekolah hukum di Jayapura karena diikuti dan diancam untuk dibunuh
oleh ABRI Indonesia siang dan malam) menjadi tangan kanan dari Jacob Prai. Itu
inisiatif Prai untuk mendirikan Komandan Regional OPM. Dia menunjuk dan
memerintahkan sembilan Komandan Regional. Sebagian besar dari mereka adalah
anggota pasukannya sendiri di kantor pusat PEMKA, perbatasan Skotiau, VanimoPapua Barat.
Komandan regional dari mereka , Mathias Wenda adalah komandan untuk wilayah II
(Jayapura - Wamena), Kelly Kwalik untuk Nemangkawi (Kabupaten Fakfak), Tadeus
Yogi (Kabupaten Paniai), Bernardus Mawen untuk wilayah Maroke dan lain-lain.
Komandan ini telah aktif sejak itu. Kelly Kwalik ditembak dan dibunuh pada 16
Desember 2009.[20]
Pada tahun 2009, sebuah kelompok perintah OPM yang dipimpin oleh Jenderal Goliat
Tabuni (Kabupaten Puncak Jaya) sebagai fitur pada laporan menyamar tentang
gerakan kemerdekaan Papua Barat.[21]
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat

Logo TPNPB
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), adalah sayap militer dari
Organisasi Papua Merdeka (OPM). TPNPB dibentuk pada 26 Maret 1973, setelah
Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat 1 Juli 1971 di Markas Victoria. Pembentukan
TPNPB adalah Tentara Papua Barat berdasarkan Konstitusi Sementara Republik
Papua Barat yang ditetapkan 1971 pada Bab V bagian Pertahanan dan Keamanan.
Sejak 2012 melalui reformasih TPN, Jenderal. Goliath Tabuni diangkat menjadi
Panglima Tinggi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.

2.

Contoh Makalah
Makalah Tentang Konflik Sosial Papua
BAB I
PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG
Papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah
Pulau Papua atau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya
merupakan negara Papua Nugini atau East New Guinea. Provinsi Papua dulu
mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, namun sejak tahun 2003 dibagi
menjadi dua provinsi di mana bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan
bagian baratnya memakai nama Papua Barat. Papua memiliki luas 808.105 KM persegi
dan termasuk pulau terbesar kedua di dunia dan pulau terbesar pertama di
Indonesia[1].
Pulau Papua memiliki luas sekitar 421.981 km2, pulau Papua berada di ujung
timur dari wilayah Indonesia, dengan potensi sumber daya alam yang bernilai ekonomis
dan strategis, dan telah mendorong bangsa – bangsa asing untuk menguasai pulau
Papua. Kabupaten Puncak Jaya merupakan kota tertinggi di pulau Papua, sedangkan
kota yang terendah adalah kota Merauke. Sebagai daerah tropis dan wilayah
kepulauan, pulau Papua memiliki kelembaban udara relative lebih tinggi berkisar antara
80-89% kondisi geografis yang bervariasi ini mempengaruhi kondisi penyebaran
penduduk yang tidak merata. Pada tahun 1990 penduduk di pulau Papua berjumlah
1.648.708 jiwa dan meningkat menjadi sekitar 2,8 juta jiwa pada tahun 2006[2].
Belakang Sudah lama Tanah Papua menjadi tanah konflik. Selain konflik
horizontal antar warga sipil,konflik vertikal yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan
orang asli Papua telah mengorbankan banyak orang. Konflik ini hingga kini belum
diatasi secara tuntas. Masih adanya konflik ini secara jelas diperlihatkan oleh adanya
tuntutan Merdeka dan Referendum, serta terjadinya pengibaran bendera bintang kejora,
dan berlangsungnya aksi pengembalian Undang-undang No. 21 Tahun 2001 Tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Konflik yang belum diselesaikan ini sangat
mempengaruhi kadar relasi diantara orang asli Papua, orang Papua dengan penduduk
lainnya, antara orang asli Papua dan Pemerintah RI. Disatu pihak, orang Papua
dicurigai sebagai anggota atau pendukung gerakan separatis. Adanya stigma separatis
membenarkan hal ini. Di pihak lain, orang Papua juga tidak mempercayai Pemerintah.
Dalam suasana kecurigaan dan ketidakpercayaan satu sama lain ini, dialog konstruktif
tidak pernah akan terjadi antara Pemerintah dan orang Papua. Apabila berbagai
masalah yang melatar belakangi konflik ini tidak dicarikan solusinya, maka Papua tetap
menjadi tanah konflik. Korban akan terus berjatuhan. Hal ini pada gilirannya akan
menghambat proses pembangunan yang dilaksanakan di Tanah Papua. Dari tengah

situasi konflik inilah, para pemimpinan agama Kristen, Katolik, Islam, Hindudan Budha
Provinsi Papua melancarkan kampanye perdamaian. Kampanye ini dilakukandengan
dengan moto: Papua Tanah Damai (PTD).
Dalam perkembangan selanjutnya, para pimpinan agama menjadikan Papua
Tanah Damai sebagai suatu visi bersama dari masa depan Tanah Papua yang perlu
diperjuangkan secara bersama oleh setiap orang yang hidup di Tanah Papua.
Sekalipun diakui oleh banyak orang bahwa damai merupakan hasrat terdalam dari
setiap orang, termasuk semua orang yang hidup di Tanah Papua, kenyataan
memperlihatkan bahwa banyak orang belum merasa penting untuk melibatkan diri
dalam upaya menciptakan perdamaian di Tanah Papua. Orang asli Papua, baik yang
tinggal di kota maupun di kampung-kampung, belum terlibat secara penuh dalam
kampanye perdamaian ini. Pada hal mereka sebagai pemilik negeri ini sudah
semestinya memimpin atau minimal terlibat dalam berbagai upaya untuk mewujudkan
perdamaian di tanah leluhurnya. Kini orang Papua bangkit dan bertekad untuk
berpartisipasi secara aktif dalam upaya menciptakan perdamaian di Papua. Mereka
ingin memperbaharui tanah leluhurnya menjadi tanah damai, dimana setiap orang yang
hidup diatasnya menikmat suatu kehidupan yang penuh kedamaian[3].
B.
1.
2.
3.

RUMUSAN MASALAH
Bagaimana sejarah konflik sosial Papua?
Apakah penyebab konflik sosial di Papua?
Bagaimana solusi konflik papua?

C.
1.
2.

TUJUAN
Untuk mengetahui bagaimana dinamika masyarakat Papua.
Untuk mengetahui apa penyebab konflik sosial di Papua.
BAB II
PEMBAHASAN

A.

PENYEBAB KONFLIK SOSIAL PAPUA
Menurut tim Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membagi
sumber konflik Papua ke dalam empat isu Utama:
Pertama, sejarah integrasi dan status identitas politik. Pada problem ini konflik
papua di dasarkan pada adanya perbedaan cara pandang antara nasionalis Indonesia
dan nasionalis Papua atas sejarah peralihan papua kekuasaan papua dari Belanda ke
Indonesia. Nasionalis Indonesia memandang polemik penyerahan kekuasaan dan
status politik Papua telah selesai dengan adanya PEPERA 1969 dan di terimanya hasil
penentuan tersebut oleh majelis umum sidang PBB. Sementara, nasionalis Papua
berpandangan PEPERA 1969 itu sendiri terjadi banyak kecurangan yang di lakukan
oleh pemerintah Indonesia, kalah itu termasuk dalam 1.025 perwakilan warga.Terlebih
nasionalis papua berpegang pada insiden 1 desmber 1961.
Kedua, problem kekerasan politik dan pelanggaran HAM. Lipi mencatat problem
ini muncul sebagai ekses dari pandangan dari keutuhan NKRI adalah harga mati dan
gagasan memisahkan diri merupakan tindakan melawan hukum yang di kemudian di
identifikasikan secara militeristik sehingga upaya tersebut di artikan dengan
menggunakan pendekatan keamanan sebagai solusi untuk mengakhiri perbedaan.

Hasilnya rakyat Papua mengalami kekerasan politik dan terlanggar hak asasinya akibat
pelaksanaan tugas memerangi organisasi Papua Merdeka (OPM). Negara seharusnya
hadir sebagai institusi yang mensejahterahkan justru muncul sebagai sosok yang
berwajah sangar.
Ketiga, adalah problem kegagalan pembangunan. Topik pembangunan di
jadikan salah satu isu utama yang menjadi akar konflik di Papua di karenahkan adanya
ketimpangan yang terjadi. Gap ekonomi dan pembangunan, jika di bandingkan dengan
daerah lain, lalu diskriminasi kebijakan pusat ke daerah dan eksploitasi besar-besaran
yang di lakukan terhadap kekayaan alam Papua adalah beberapa hal yang
menjadikan pemerintah gagal melakukan pembangunan di Papua. Ironisnya, data
menunjukan pembangunan ekonomi justru lebih banyak di lakukan di erah sebelum
dari pada setelah pelaksanaan otsus.kondisi ini di perparah dengan adanya tingkat
kecemburuan sosial yang tinggi antara penduduk asli dan pendatang atas penguasaan
sektor perekonomian.
Terakhir, persoalan marginalisasi orang papua dan inkonsistensi kebijakan
otsus. Seperti juga telah di singgung Amich Alhumami,praktek marginalisaidapat jelas
terlihat di Papua. Tim lipi menjelaskan marginalisasi dapat di lihat pada asprk
demografi, sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya, seringkali di identikan
dengan kegiatan separatisme. Sedangkan dari bidang politik terutama di erah orde
baru, orang Papua tercatat beberapa kali menduduki jabatan gubernur[4].
B.

SEJARAH KONFLIK PAPUA
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945,
Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau
Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah
satu provinsi Kerajaan Belanda, sama dengan daerah-daerah lainnya. Pemerintah
Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka
selambat-lambatnya pada tahun 1970-an.
Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang
diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam
beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja
Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai
keputusan mengenai Papua Barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan
kembali dalam jangka waktu satu tahun.
Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua Barat memiliki hak
merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia mengklaim Papua
Barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional
untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia
beberapa kali menyerang Papua Barat, Belanda mempercepat program pendidikan di
Papua Barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah
akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957.
Sebagai kelanjutan, pada 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan
ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Halmahera, dengan gubernur pertamanya,
Zainal Abidin Syah. Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan
penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960,
Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo

Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun tidak menyebut kandungan
emas ataupun tembaga.
Bendera Papua’Barat, sekarang digunakan sebagai bendera Organisasi Papua
Merdeka Karena usaha pendidikan Belanda, pada tahun 1959 Papua memiliki perawat,
dokter gigi, arsitek, teknisi telepon, teknisi radio, teknisi listrik, polisi, pegawai
kehutanan, dan pegawai meteorologi. Kemajuan ini dilaporkan kepada PBB dari tahun
1950 sampai 1961. Selain itu juga diadakan berbagai pemilihan umum untuk memilih
perwakilan rakyat Papua dalam pemerintahan, mulai dari tanggal 9 Januari 1961 di 15
distrik. Hasilnya adalah 26 wakil, 16 di antaranya dipilih, 23 orang Papua, dan 1 wanita.
Dewan Papua ini dilantik oleh gubernur Platteel pada tanggal 1 April 1961, dan mulai
menjabat pada 5 April 1961. Pelantikan ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Australia,
Britania Raya, Perancis, Belanda dan Selandia Baru. Amerika Serikat diundang tapi
menolak.
Dewan Papua bertemu pada tanggal 19 Oktober 1961 untuk memilih sebuah
komisi nasional untuk kemerdekaan, bendera Papua, lambang negara, lagu
kebangsaan (”Hai Tanahkoe Papua”), dan nama Papua. Pada tanggal 31
Oktober 1961, bendera Papua dikibarkan untuk pertama kali dan manifesto
kemerdekaan diserahkan kepada gubernur Platteel. Belanda mengakui bendera dan
lagu kebangsaan Papua pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan-peraturan ini
mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961. Pada 19 Desember 1961, Soekarno
menanggapi’pembentukan Dewan Papua ini dengan menyatakan Trikora di
Yogyakarta, yang isinya adalah:
1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda.
2. Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian Barat
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan
tanah air bangsa[5].
C.

SOLUSI KONFLIK PAPUA
Hingga saat ini, konflik itu belumlah usai, malah semakin meruncing. Menurut
Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hassanudin, melihat data tindakan kekerasan yang
terjadi dalam 18 bulan terakhir, korban telah berjatuhan tersebar di hampir semua kota
di wilayah Papua[6]. Menurut Ben Mboi, mantan tentara yang pernah ikut upaya
pembebasan Irian barat, pemerintah belum mengutamakan nation building. Selama ini
pemerintah hanya mengembangkan state building yang hanya sebatas teritorial, bukan
membangun manusianya[7]. Maka dari itu, pengembangan state building erat kaitannya
dengan motif ekonomi. Ketimpangan ekonomi dalam perspektif tersendiri, menjadi
salah satu alasan utama konflik di Papua. Untuk itu, saya ingin menganalogikan konflik
Papua dengan peristiwa Quiet Revolution di Kanada (1960-1966).
1.
Belajar dari Quebec
Quiet Revolution dikenal sebagai periode yang konfliktual sejarah Kanada, dimana
periode ini menandai kebangkitan separatisme Quebec. Namun, salah satu hal menarik
yang bisa dipelajari dari kasus ini adalah, bahwa melalui hubungan yang konfliktual
antara pemerintah federal dengan pemerintah Quebec dan berhasilnya konstruksi
nasionalisme Quebecois tersebutlah, konsep koeksistensi masyarakat keturunan
Inggris dan masyarakat keturunan Perancis mendapatkan tempatnya di Kanada.

Untuk menanggulangi konflik ketidakpuasan politik yang terjadi di Quebec, PM
Kanada kala itu, Pierre Trudeuau memberlakukan Official Languages Act yang secara
resmi membuat Kanada menjadi negara dwibahasa. Diberlakukannya Official Language
Act menunjukkan bahwa pemerintah Kanada tidak lagi mendiskriminasikan,
mengabaikan, atau menutup mata terhadap keluhan warga Quebecois. Kondisi
ekonomi pun semakin membaik karena perdagangan mulai berjalan seimbang dan adil.
Kita dapat memahami dari contoh kasus ini, bahwa di dalam sebuah negara
demokratis yang menolak penggunaan kekuatan militer sebagai jalan cepat
penyelesaian konflik separatisme, negosiasi dan debat konstitusi merupakan jalan yang
paling legal dan akomodatif. Dalam konteks separatisme di Quebec, pemerintah federal
memberikan ruang seluas-luasnya bagi warga Quebec untuk berdebat dan
mempertahankan argumen-argumen mereka sebagai bagian dari upaya mereka
menentukan arah masa depan negara.
2.

Pendekatan Keamanan vs Kesejahteraan
Pemerintah Kanada percaya bahwa kebebasan berwacana tidak perlu dibatasi, dan
bahwa tindakan inkonstitusional seperti separatisme seharusnya dikelola dan dibatasi
oleh jaring konstitusi, melalui upaya-upaya negosiasi. Akan tetapi, pendekatan
kekerasan dan stigma terhadap orang Papua yang diangggap bodoh dan separatis,
yang dipraktekkan pemerintah kita, justru membuat warga merasa tak diterima.
Pendekatan militeristiklah yang membuat orang Papua berpikir untuk merdeka,
setidaknya itu ungkapan Ketua Sinode Kingmi Benny Giay[8].
Penulis menganggap masalah yang timbul di Papua adalah akibat inkonsistensi
pemerintah dalam pelaksanaan otonomi khusus. Kebijakan yang ada tidaklah mampu
mengakomodasi kepentingan warga Papua, bahkan cenderung diskriminatif terhadap
mereka. Pemerintah federal Kanada, yang secara kasar dapat kita sebut representasi
warga keturunan Inggris, telah berhasil menjalankan kewajibannya untuk menjamin
kesetaraan bagi warga keturunan Perancis, sedangkan, pemerintah kita cenderung
mengutamakan pendekatan keamanan daripada pendekatan kesejahteraan.
Fakta berbicara bahwa pemerintah pusat mengalokasikan sebesar 15 persen dari
dana nasional untuk dana alokasi Papua. Ini pun belum termasuk dana tambahan yang
jumlahnya ditetapkan DPR atas usulan dari Gubernur. Ditambah dengan dana Otsus
yang setiap lima tahun mencapai 30 triliun, harusnya pembangunan Papua sudah
sangat terjamin. Dengan dana sebesar itu, kalau memang masih ada konflik berarti ada
salah urus kebijakan di Papua, dan hal itu wajib diselidiki KPK, maupun pihak-pihak
terkait.
Pijakan pembangunan yang terlalu berpihak kepada pendatang dan secara
otomatis menyingkirkan eksistensi orang asli, harus dihilangkan. Semua kalangan
harus mendapat akses ekonomi yang equal. Selain itu, kehadiran aparat memang
penting, akan tetapi harus didampingi oleh orang-orang yang paham metode-metode
penyelesaian konflik. Pembangunan yang dikawal dengan aparat yang represif
berpotensi menimbulkan benih bertumbuhnya nasionalisme Papua. Dan kondisi seperti
ini harus direduksir dari hulu.
Tidak ada salahnya kita belajar dari bagaimana pemerintah Kanada berhasil
meredam separatisme di wilayah mereka. Walau memang, hasilnya belum mampu
menekan secara total kelompok separatisme di Quebec, namun para pendukung

-

gerakan ini semakin berkurang junlahnya di setiap pemilu. Oleh karena itu, manajemen
konflik pemerintah kanada dalam menyelesaikan konflik ini seringkali dipandang dunia
sebagai sebuah model demokrasi konsesional yang paling berhasil dalam kasus
pengelolaan konflik interkultural dalam sebuah negara.
Terakhir, kedamaian dan keadilan di Papua hanya bisa diperoleh melalui dialog.
Dialog tidak akan mengambil nyawa siapapun, malah akan bermuara pada
kesejahteraan. Dialog hanya menakutkan bagi mereka yang selama ini mengambil
keuntungan dari kekacauan, kekerasan, ketidakjelasan, dan status quo. Mereka yang
anti dialog adalah orang-orang yang menjadikan kekerasan dan ketidakadilan sebagai
sumber mata pencaharian dan kekuasaan yang biasanya mengatasnamakan bangsa
dan negara atau mengatasnamakan rakyat Papua, atau bahkan mengatasnamakan
suku atau agama[9]. Dilain pihak, kordinator Jaringan Damai Papua (JDP) berpendapat
bahwa solusi konflik papua yaitu :
Kebijakan Indonesia Tidak Berhasil Meredam konflik Papua
Sejak Papua bergabung dengan Republik Indonesia, 1 Mei 1963, pemerintah telah
mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menyelesaikan konflik Papua Pada masa Orde
Baru, pemerintah berupaya menyelesaikan konflik Papua melalui pendekatan
keamanan dengan mengedepankan militer dan senjata.Memasuki Orde Reformasi,
pemerintah mengutamakan pendekatan kesejahteraan. Selanjutnya, pemerintah
mengeluarkan kebijakan otonomi khusus (otsus) sebagai tanggapan atas tuntutan
Papua merdeka. Kebijakan ini ditetapkan tanggal 21 November 2001 melalui UU Nomor
21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua. Diandaikan bahwa
konflik Papua akan diselesaikan tanpa pertumpahan darah melalui implementasi UU
Otsus secara efektif dan konsisten. Setahun kemudian, pemerintah meluncurkan
kebijakan pemekaran kabupaten. Pada 11 Desember 2002, pemerintah membentuk 14
kabupaten baru di Papua melalui UU Nomor 26 Tahun 2002.
Pada 21 Januari 2003, pemerintah memekarkan Provinsi Irian Jaya Tengah dan
Irian Jaya Barat dari Provinsi Papua melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2003. Kebijakan ini
memicu perang suku di Timika yang membatalkan pembentukan Provinsi Irian Jaya
Tengah. Setelah melakukan pemekaran provinsi dan kabupaten, pemerintah melihat
pentingnya percepatan pembangunan. Pada 16 Mei 2007, pemerintah mengeluarkan
Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan
Papua Barat. Empat tahun kemudian, tepatnya 20 September 2011, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (P4B). Untuk melaksanakan Perpres
ini, pemerintah membentuk satu unit khusus melalui Perpres Nomor 66 Tahun 2011
tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
(UP4B). Masa kerja unit ini akan berakhir tahun 2014.
Pada 17 Oktober 2012, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 84 tahun 2012
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Rangka Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Papua Barat. Dalam Perpres ini, orang asli Papua diberikan
kesempatan dan peranan yang lebih besar dalam pengadaan barang dan jasa
pemerintah di kedua provinsi ini. Seraya mengakui dampak positif yang dialami orang
Papua, kebijakan-kebijakan ini tidak berhasil meredam konflik Papua. Terbukti konflik
Papua masih saja membara dan terus merenggut nyawa, baik warga sipil maupun
personel TNI dan Polri. Korban mungkin akan terus berjatuhan dan bertambah.

Pertanyaan yang patut diajukan adalah sekali pun pemerintah telah
mengedepankan pendekatan kesejahteraan, memberikan status otsus, mengucurkan
dana triliunan rupiah, membagi Papua menjadi dua provinsi, melipatgandakan jumlah
kabupaten, dan mempercepat pembangunan, mengapa semua kebijakan ini belum
berhasil menyelesaikan konflik Papua?
-

Solusi Komprehensif
Penyebab utama dari belum tuntasnya penyelesaian konflik Papua melalui
kebijakan-kebijakan di atas, menurut saya, karena belum ada solusi yang
komprehensif. Konflik Papua lebih sering diidentikkan dengan masalah ekonomi.
Dengan berasumsi konflik Papua akan hilang dengan sendirinya ketika orang Papua
menikmati kesejahteraan ekonomi, pemerintah lebih memperhatikan bidang ketahanan
pangan, pengurangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Perlu disadari bahwa selain masalah ekonomi, konflik Papua mengandung masalah keIndonesiaan. Masih ada orang Papua yang belum mengakui dirinya sebagai orang
Indonesia. Masalah ini merupakan beban politik bagi pemerintah dan setiap Presiden
Indonesia.
Ada juga persoalan benturan budaya antara Melayu versus Melanesia. Ada
perbedaan penafsiran atas sejarah bergabungnya Papua dengan Indonesia. Papua
juga merupakan satu-satunya daerah yang bergabung dengan Indonesia melalui
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan demikian, konflik Papua mempunyai
dimensi ekonomi, politik, budaya, sejarah, keamanan, dan internasional. Oleh karena
itu, solusi parsial tidak akan menyelesaikan konflik Papua. Kompleksitas dan
multidimensionalitas konflik Papua menuntut suatu solusi komprehensif yang
mengakomodasi dan mampu menjawab semua dimensi permasalahan. Pemerintah
tidak boleh memandang dirinya sebagai satu-satunya pihak yang mampu mengatasi
konflik Papua. Hal ini karena pemerintah terbukti tidak berhasil menyelesaikan konflik
Papua melalui berbagai kebijakan yang ditetapkannya tanpa keterlibatan pihak lain.
Apabila konflik Papua mau diselesaikan secara permanen, pemerintah harus
merangkul semua pemangku kepentingan agar secara bersama-sama mencari solusi
yang komprehensif. Perlu ditetapkan mekanisme inklusif yang dapat memungkinkan
keterlibatan semua pihak yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan. Secara
khusus, pemerintah tidak perlu takut melibatkan orang Papua yang bergabung dalam
Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perlu disadari bahwa sebagus apa pun kebijakan
pemerintah, tidak dapat menyelesaikan konflik Papua apabila tidak berkonsultasi
dengan kelompok OPM.
OPM terdiri atas tiga kelompok, yakni orang Papua yang melakukan perlawanan
di kota dan kampung, mereka yang bergerilya di hutan dengan nama Tentara
Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB), dan orang Papua yang hidup di luar
negeri. Ketiga kelompok ini harus dilibatkan semuanya dalam pembahasan solusi yang
komprehensif. Pemerintah perlu mendorong mereka untuk berkumpul, berdiskusi, dan
merumuskan pandangan kolektifnya tentang kebijakan yang komprehensif bagi
penyelesaian konflik Papua.
Dengan demikian, solusi komprehensif untuk Papua dicari dan ditetapkan secara
bersama, serta diterima semua pemangku kepentingan, termasuk kelompok OPM[10].
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas bisa dimengerti bahwa konflik social papua merupakan
peristiwa yang sangat kompleks. Baik dimensi sejarah, penyebab, maupun solusi.
Namun bukan berarti komplesiksisitas konflik social papua harus mengurungkan niat
pemerintah untuk bersikap apatis terhadap konflik yang terjadi di Papua. Diatas telah
dijelaskan pula bagaimana solusi terhadap konflik social papua, yang mana solusisolusi yang ditawarkan bias menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk
mengakhiri konflik papua sehingga masyarakat papua bias merasakan perdamaian di
tanahnya.
[1] Wikipedia, Papua, http://www.wikipedia.com/papua, diakses pada tanggal 23 Oktober
2014.
[2] Wikipedia, Papua..., diakses pada tanggal 23 Oktober 2014.
[3]
Ai
Roudotul
Munawaroh,
dkk,
Konflik
Papua,
http://www.slideshare.net/aiirmc/makalah-konflik-papua, diakses pad