BAB II KAJIAN TEORI - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Pendidikan Karakter Di SMP Negeri 1 Limbangan Kabupaten Kendal
BAB II
KAJIAN TEORI
Sesuai dengan variabel yang hendak diteliti maka berikut
akan disajikan kajian tentang:
2.1 Manajemen Pendidikan Karakter
2.1.1 Konsep Pendidikan Karakter
“Pendidikan
merupakan
upaya
terencana
dalam
mengembangkan potensi peserta didik sehingga mereka
memiliki sistem berpikir, nilai, moral dan keyakinan yang
diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan
tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini
dan masa mendatang” (Hasan, 2010: 3).
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian
seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai
kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai
landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan
bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral dan
norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan
hormat pada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang
lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter
bangsa (Hasan, 2010: 3).
Suyanto (2014) menyatakan bahwa: Pendidikan karakter
adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan
aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan
tindakan (action). Dengan pendidikan karakter yang
diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang
anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini
adalah
bekal
penting
dalam
mempersiapkan
anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan
lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam
tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil
secara akademis. (www.pendidikankarakter.org. Diunduh
Senin, 2 Juni 2014)
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang terencana
dalam membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik
dengan
menginternalisasi
berbagai
kebajikan
sehingga
menghasilkan pribadi yang cerdas emosinya, bermoral sesuai
dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah
pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang
melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbolsimbol yang dipraktikkan oleh seluruh warga sekolah, dan
masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri
khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata
masyarakat luas.
2.1.2 Metodologi Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter
memerlukan
metodologi
yang
efektif, aplikatif dan produktif untuk mempermudah dalam
mencapai tujuannya. Menurut Doni Koesoemo A dalam
Asmani (2011: 67-70), metodologi pendidikan karakter adalah
sebagai berikut:
a) Pengajaran
Mengajarkan
pendidikan
karakter
dalam
rangka
memperkenalkan pengetahuan teoritis tentang konsep-konsep
nilai. Anak-anak akan banyak belajar dari pemahaman dan
pengertian tentang nilai-nilai yang dipahami olah para pendidik
dalam setiap perjumpaan mereka.
b) Keteladanan
Keteladanan menjadi salah satu hal klasik bagi berhasilnya
sebuah tujuan pendidikan karakter. Tumpuan pendidikan
karakter ada pada pundak pendidik. Karakter pendidik
(meskipun tidak selalu) menentukan warna kepribadian peserta
didik.
c) Menentukan Prioritas
Lembaga pendidikan memiliki prioritas dan tuntutan dasar atas
karakter yang ingin ditetapkan di lingkungan mereka.
Pendidikan karakter menghimpun banyak kumpulan nilai yang
dianggap penting bagi pelaksanaan dan realisasi atas visi
lembaga pendidikan.
d) Praksis Prioritas
Unsur lain yang sangat penting bagi pendidikan karakter adalah
bukti dilaksanakannya prioritas nilai pendidikan karakter
tersebut. Berkaitan dengan tuntutan lembaga pendidikan atas
prioritas nilai yang menjadi visi kinerja pendidikannya, lembaga
pendidikan mesti mampu membuat verifikasi sejauh mana visi
sekolah telah dapat direalisasikan.
e) Refleksi
Karakter yang ingin dibentuk oleh lembaga pendidikan melalui
berbagai macam program dan kebijakan senantiasa perlu
dievaluasi dan direfleksikan secara berkesinambungan dan
kritis. Jadi, setelah diadakan dan praksis pendidikan karakter
itu terjadi, perlulah diadakan semacam pendalaman dan refleksi
untuk melihat sejauh mana lembaga pendidikan telah berhasil
atau gagal dalam melaksanakan pendidikan karakter.
Berdasarkan Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter
yang
dikembangkan
Kemendiknas
(2011:
9),
“Proses
pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang
mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif,
psikomotorik) dan fungsi totalitas sosio-kultural pada konteks
interaksi
dalam
keluarga,
satuan
pendidikan
serta
masyarakat”.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses
psikologis dan sosio-kultural tersebut dapat dikelompokkan
dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah
Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik
(Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan
Karsa (Affective and Creativity development) yang secara
diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut (Kemdiknas,
2011: 9):
Gambar 2.1
Konfigurasi Pendidikan Karakter
Menurut Ki Hadjar Dewantara dalam Haryanto (2010),
“pembentukan karakter seseorang dapat dilakukan melalui
Tripusat Pendidikan yaitu: 1) Pendidikan di lingkungan
keluarga, 2) Pendidikan di lingkunan perguruan, dan 3)
Pendidikan
di
lingkungan
kemasyarakatan
atau
alam
pemuda”.
Berdasar
paparan
di
atas
tentang
pandangan
pembentukan karakter seseorang perlu melibatkan keluarga,
sekolah dan masyarakat. Pengembangan karakter peserta
didik perlu memperhatikan konteks totalitas psikologis dan
sosio-kultural
yang
meliputi
pengetahuan,
sikap
dan
keterampilan, melalui olah hati, olah pikir, olah raga dan
kinestetik serta olah rasa dan karsa. Kesemunya itu dapat
diusahakan
dalam
bentuk
pengajaran
dan
pendidikan,
keteladanan, penentuan skala prioritas serta refleksi dan
evaluasi.
2.1.3 Strategi Pendidikan Karakter
Pendekatan yang digunakan Kementerian Pendidikan
Nasional
(2011:
11)
dalam
pengembangan
pendidikan
karakter, yaitu: “pertama melalui stream top down; kedua
melalui
stream
bottom
up;
dan
ketiga
melalui
stream
revitalisasi program”. Ketiga alur tersebut digambarkan dalam
diagram yang berikut:
Gambar 2.2
Strategi Kebijakan Pendidikan Karakter
Strategi yang dimaksud secara rinci dapat dijelaskan
sebagai berikut: (Kemdiknas, 2011: 11-12)
1. Intervensi melalui kebijakan (Top - Down)
Jalur/aliran pertama inisiatif lebih banyak diambil oleh
Pemerintah/Kementerian Pendidikan Nasional dan didukung
secara sinergis oleh Pemerintah daerah dalam hal ini Dinas
pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam strategi ini
pemerintah menggunakan lima strategi yang dilakukan secara
koheren, yaitu:
a. Sosialisasi
Kegiatan ini bertujuan untuk membangun kesadaran
kolektif tentang pentingnya pendidikan karakter pada
lingkup/tingkat nasional, melakukan gerakan kolektif
dan pencanangan pendidikan karakter untuk semua.
b. Pengembangan regulasi
Untuk
terus
Gerakan
mengakselerasikan
Nasional
Pendikan
dan
membumikan
Karakter,
Kementerian
Pendidikan Nasional bergerak mengkonsolidasi diri di
tingkat
internal
dengan
melakukan
upaya-upaya
pengembangan regulasi untuk memberikan payung
hukum yang kuat bagi pelaksanaan kebijakan, program
dan kegiatan pendidikan karakter.
c. Pengembangan kapasitas
Kementerian Pendidikan Nasional secara komprehensif
dan
massif
pengembangan
akan
melakukan
kapasitas
sumber
upaya-upaya
daya
pendidikan
karakter. Perlu disiapkan satu sistem pelatihan bagi
para pemangku kepentingan pendidikan karakter yang
akan menjadi pelaku terdepan dalam mengembangkan
dan mensosialisikan nilai-nilai karakter.
d. Implementasi dan kerjasama
Kementerian
berbagai
hal
Pendidikan
yang
Nasional
terkait
dengan
mensinergikan
pelaksanaan
pendidikan karakter di lingkup tugas pokok, fungsi, dan
sasaran unit utama.
e. Monitoring dan evaluasi
Secara komprehensif Kementerian Pendidikan Nasional
akan melakukan monitoring dan evaluasi terfokus pada
tugas, pokok, dan fungsi serta sasaran masing-masing
unit kerja baik di Unit Utama maupun Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota,
serta
pemangku
kepentingan
pendidikan lainnya. Monitoring dan evaluasi sangat
berperan
dalam
mengontrol
dan
mengendalikan
pelaksanaan pendidikan karakter di setiap unit kerja.
2. Pengalaman Praktisi (Bottom - Up)
Pembangunan pada jalur/tingkat ini diharapkan dari
inisiatif yang datang dari satuan pendidikan. Pemerintah
memberikan bantuan teknis kepada sekolah-sekolah yang
telah
mengembangkan
dan
melaksanakan
pendidikan
karakter sesuai dengan ciri khas di lingkungan sekolah
tersebut.
3. Revitalisasi Program
Pada
jalur/tingkat
ketiga,
merevitalisasi
kembali
program-program kegiatan pendidikan karakter di mana pada
umumnya banyak terdapat pada kegiatan ekstrakurikuler
yang sudah ada dan sarat dengan nilai-nilai karakter.
2.2 Evaluasi Program dan Model-modelnya
2.2.1 Evaluasi Program
Evaluasi merupakan suatu aktivitas pengendalian yang
memungkinkan
intervensi yang positif. Evaluasi
memeriksa arah yang diambil dan mengevaluasi hasil atau
penyimpangannya dari perencanaan sebelumnya. Evaluasi
harus bersifat komprehensif dan terbuka terhadap berbagai
kritikan (Sa’ud dan Makmun ,2009: 228).
“Evaluasi
informasi
adalah
tentang
kegiatan
bekerjanya
untuk
sesuatu,
mengumpulkan
yang
selanjutnya
informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif
yang tepat dalam mengambil keputusan” (Arikunto dan
Jabar, 2014: 2).
“Evaluasi
program
adalah
suatu
kegiatan
yang
dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan
program” (Arikunto, 2002: 290).
Menurut Ralph Tyler dalam Arikunto dan Jabar (2014:
5) mengatakan bahwa “evaluasi program adalah proses untuk
mengetahui
apakah
tujuan
pendidikan
sudah
dapat
terealisasikan”.
Berdasarkan paparan tersebut maka pengertian evaluasi
program adalah suatu kegiatan yang berupa proses mengukur
dan menilai suatu program dengan tujuan untuk mengetahui
tingkat keberhasilan program, apakah di atas standar, sama
dengan standar ataukah di bawah standar.
Evaluasi merupakan penerapan prosedur ilmiah yang
sistematis
untuk
mengukur
dan
menilai
perencanaan,
implementasi dan keberhasilan suatu program. Hasil evaluasi
digunakan untuk penyempurnaan program dan implementasi
suatu program secara keseluruhan
2.2.2 Tujuan Evaluasi Program
Tujuan evaluasi program diarahkan dan dirumuskan
bertitik tolak pada tujuan program untuk dapat diperoleh
rekomendasi, setelah evaluasi program dilaksanakan.
“Evaluasi
program
biasanya
dilakukan
untuk
kepentingan pengambil kebijaksanaan untuk menentukan
kebijaksanaan selanjutnya” (Arikunto, 2002: 292). “Evaluasi
program sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan karena
dengan
masukan
hasil
evaluasi
program
itulah
para
pengambil keputusan akan menentukan tindak lanjut dari
program yang sedang atau telah dilaksanakan”. (Arikunto,
2014: 29).
“Evaluasi
memeriksa
arah
yang
diambil
dan
mengevaluasi hasil atau penyimpangan dari perencanaan
sebelumnya”. (Sa’ud dan Makmun, 2009: 228).
Berdasarkan
paparan
tersebut
disimpulkan
bahwa
tujuan evalusi program adalah tindakan yang dirumuskan
dan diarahkan untuk mengevaluasi tujuan program yang telah
direncanakan sebelumnya, apakah hasilnya sesuai dengan
perencanaan
ataukah
terdapat
penyimpangan
sebagai
masukan kepada pengambil keputusan dari program tersebut
dalam bentuk rekomendasi.
Evaluasi
pencapaian
program
tujuan
bertujuan
program
yang
untuk
telah
mengetahui
dilaksanakan.
Selanjutnya, hasil evaluasi program digunakan sebagai dasar
untuk melaksanakan kegiatan tindak lanjut atau untuk
melakukan pengambilan keputusan berikutnya.
2.2.3 Model-model Evaluasi Program
Menurut Kaufan dan Thomas dalam Arikunto dan Jabar
(2014: 40-41) membedakan model evaluasi program menjadi
delapan, yaitu:
a) Goal Oriented Eavaluation Model, dikembangkan oleh
Tyler. Objek pengamatan model ini adalah tujuan dari
program. Evaluasi
terus-menerus
dilaksanakan
untuk
pelaksanaan program.
berkesinambungan,
mengetahui
ketercapaian
b) Goal Free
Scriven.
Eavaluation
Dalam
Model,
dikembangkan
melaksanakan
evaluasi
oleh
tidak
memperhatikan tujuan khusus program, melainkan
bagaimana terlaksananya program dan mencatat hal-hal
yang positif maupun negatif.
c) Formatif Summatif Evaluation Model, dikembangkan
oleh Michael Scriven. Model evaluasi ini dilaksanakan
ketika program masih berjalan (evaluasi formatif) dan
ketika program sudah selesai (evaluasi sumatif).
d) Countenance Evaluation Model, dikembangkan oleh
Stake.
Model
ini
juga
disebut
model
evaluasi
pertimbangan. Evaluator mempertimbangkan program
dengan membandingkan kondisi hasil evaluasi program
dengan yang terjadi di program lain, dengan objek
sasaran yang sama dan membandingkan kondisi hasil
pelaksanaan program dengan standar yang ditentukan
oleh program tersebut.
e) Responsisive Evaluation Model, dikembangkan oleh
Stake. Dalam model evaluasi ini Stake mendefinisikan
evaluasi sebagai suatu nilai pengamatan dibandingkan
dengan keahlian. Model ini berdasarkan pada apa yang
biasa individu lakukan untuk menilai suatu perkara.
f) CSE-UCLA
Evaluation
Model,
menekankan
pada
“kapan” evaluasi dilakukan. Model ini meliputi empat
tahap, yaitu:
Needs assessment, memusatkan pada penentuan
masalah hal-hal yang perlu dipetimbangkan dalam
program,
kebutuhan
uang
dibutuhkan
oleh
program, dan tujuan yang dapat dicapai.
Program
planning,
perencanaan
program
dievaluasi untuk mengetahui program disusun
sesuai analisis kebutuhan atau tidak.
Formative evaluation, evaluasi dilakukan pada
saat program berjalan.
Summative program, evaluasi untuk mengetahui
hasil
dan
dampak
dari
program
serta
untuk
mengetahui ketercapaian program.
g) CIPP Evaluation Model (Context Input Process Product),
yang dikembangkan oleh Stufflebeam. Masing-masing
istilah menurut
Arikunto dan
Jabar (2014: 46-47)
dijelaskan sebagai berikut:
Context evaluation (Evaluasi terhadap Konteks).
Evaluasi konteks adalah
upaya untuk
menggambarkan terhadap kebutuhan, tujuan
pernenuhan dan karakteristik individu yang
menangani. Seorang evaluator harus sanggup
menentukan prioritas kebutuhan dan memilih
tujuan yang paling menunjang kesuksesan
proyek/program.
Input evaluation (Evaluasi terhadap Masukan).
Evaluasi
masukan
mempertimbangkan
kemampuan awal atau kondisi awal yang dimiliki
oleh institusi untuk melaksanakan sebuah
program.
Process evaluation (Evaluasi terhadap Proses).
Evaluasi proses menunjuk pada apa, siapa dan
kapan serta diarahkan pada sejauh mana
program dilakukan dan sudah terlaksana sesuai
dengan rencana.
Product evaluation (Evaluasi terhadap Hasil). Ini
merupakan tahap akhir dari serangkaian evaluasi
program dan akan diketahui ketercapaian tujuan,
kesesuaian proses dengan pencapaian tujuan,
dan ketepatan tindakan yang diberikan, serta
dampak dari program.
h) Discrepancy Model, yang dikembangkan oleh Malcolm
Provus.
Model
kesenjangan
ini
yang
ditekankan
terjadi
pada
untuk
setiap
mengetahui
komponen
program. Evaluasi kesenjangan dimaksudkan untuk
mengetahui tingkat kesesuaian antara standar yang
sudah ditentukan dalam program dengan penampilan
aktual dari program tersebut.
2.2.4 Model Evaluasi Program yang akan Digunakan
Evaluasi merupakan proses mengumpulkan informasi
sehingga evaluasi harus mempunyai komponen-komponen,
tahapan serta teknik/strategi yang akan digunakan. Model
evaluasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
model evaluasi CIPP (context, input, process, product).
Peneliti mencari data dan informasi dari informan yang
terdiri dari manajemen sekolah SMP Negeri 1 Limbangan (TIM
Pengembang
Sekolah
I/
II)
dari
unsur
konteks
untuk
mengetahui latar belakang kebijakan program pendidikan
karakter, apakah program pendidikan karakter merupakan
kebutuhan yang mendesak/utama/pokok.
Peneliti mencari data dan informasi dari informan yang
terdiri dari manajemen sekolah SMP Negeri 1 Limbangan (Tim
Pengembang Sekolah I/II) dari unsur input untuk mengetahui
kondisi awal yang dimiliki (kesiapan Sumber Daya Manusia,
komitmen pimpinan, sarpras, RKAS).
Peneliti mencari data dan informasi dari informan yang
terdiri dari manajemen sekolah SMP Negeri 1 Limbangan (Tim
Pengembang
Sekolah
I/II)
dari
unsur
proses
untuk
mengetahui apa, siapa dan kapan serta sejauh mana program
telah dilaksanakan dan hambatan apa yang dijumpai selama
pelaksanaan program dan bagaimanakah solusinya.
Karena
menggunakan
evaluasi
dalam
penelitian
evaluasi
formatif
yakni
ini,
peneliti
program
masih
berlangsung, maka cakupan model evaluasi CIPP hanya
meliputi: context, input, process (Konteks, Input, dan Proses).
Argumentasi pemilihan model evaluasi CIPP adalah
sebagai berikut:
Untuk
mengetahui
gambaran
kebutuhan
terhadap
program pendidikan karakter, gambaran tenaga dan
sarana
pendukung
terhadap
program
pendidikan
karakter serta gambaran proses pelaksanaan program
pendidikan karakter.
Untuk mengetahui ada tidaknya kendala/hambatan
terhadap
program
pendidikan
karakter
dan
bagaimanakah upaya-upaya untuk mengatasinya.
Untuk
memberikan
informasi
sebagai
rekomendasi
kepada kepala sekolah sehingga dapat menentukan
tindak lanjut dari program pendidikan karakter.
2.3 Penelitian yang Relevan
Penelitian
ini
mengacu
pada
penelitian-penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan pendidikan karakter baik
yang
terjadi
di
lingkungan
Pendidikan
Dasar
(SD
dan
SMP/MTs), Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi.
Hasil penelitian terdahulu baik dalam bentuk tesis maupun
yang
dimuat
di
Jurnal
menunjukkan
pentingnya
pembentukan karakter peserta didik, seperti di SMA Negeri 3
Semarang
yang
Pendidikan
diintegrasikan
Agama
Islam
dalam
secara
mata
pelajaran
Intrakurikuler
dan
Ekstrakurikuler. Bahkan dalam jurnal pendidikan disebutkan
bahwa “generasi 2045 disebut berkarakter generasi emas”
(Manullang, 2013: 1).
Hasil penelitian Nugroho (Tesis: 2012) yang berjudul:
Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Agama
Islam di SMA N 3 Semarang, menyatakan bahwa Implementasi
Pendidikan
Karakter
dalam
PAI
di
SMA
3
Semarang
dilaksanakan dengan dua cara, yakni: intrakurikuler dan
ekstrakurikuler. Dalam implementasinya, Pendidikan Karakter
dalam PAI tidak jauh berbeda dengan sebelum adanya
pendidikan
karakter.
Perbedaannya
dalam
perencanaan
pembelajaran ditambah dengan kolom pendidikan karakter.
Penelitian Hidayat (Jurnal Inovasi dan Kewirausahaan,
2012) yang berjudul Manajemen Sekolah Berbasis Karakter,
menghasilkan
kajian
sebagai
implementasi
manajemen
berikut
sekolah
:
(1)
berbasis
Strategi
karakter
mencakup strategi aspek : Efisiensi Input; Efektivitas Process;)
Produktivitas Output; Relevansi Outcome; (2) Hal penting
dalam
upaya
peningkatan
Indikator
mempersiapkan
kompetensi
keberhasilan
spiritual
potensi
karakter
implementasi
SDM
adalah
personal;
manajemen
(3)
sekolah
berbasis karakter ini yang mencakup keberhasilan proses dan
hasil pada semua aspek komponen manajemen; (4) Desain
harus disesuiakan dengan kondisi, target dan tujuan; (5)
Strategi evaluasi, dilakukan dua tahapan, yakni tahapan
evalusi diri dan tindak lanjut perbaikan; (6) Hambatan
terbesar adalah lemahnya komitmen dan potensi karakter
pada
personal;
(7)
Komponen-komponen
penting
pada
rumusan kebijakan.
Rianse (Rektor Universitas Haluoleo, 2013) dengan
artikelnya yang berjudul: Praktik Pendidikan Karakter di
Universitas
HALUOLEO,
mengemukakana
bahwa:
Model
pendidikan berkarakter Mengelola Hidup Merencanakan Masa
Depan (MHMMD). Model pendidikan ini tidak hanya berlaku
untuk mahasiswa saja, tetapi juga mencakup semua yang
terlibat di lembaga pendidikan kampus. Banyak hal positif
yang dihasilkan oleh model pendidikan berkarakter ini.
Hampir semua aspek di dalam kampus bisa dikembangkan
dengan maksimal. Mulai dari asrama kampus, training
kepribadian,
kewirausahaan,
kesenian,
olahraga,
dan
kebersihan lingkungan.
Manullang (Jurnal Pendidikan Karakter, 2013) dengan
artikelnya yang dimuat dalam Grand Desain Pendidikan
Karakter Generasi Emas 2045, menyebutkan bahwa: Generasi
2045 disebut “berkarakter generasi emas” haruslah memiliki
sikap positif, pola pikir esensial, komitmen normatif dan
kompetensiabilitas,
dan
berlandasan
IESQ
(kecerdasan
intelektual-IQ, emosional-EQ, dan spiritual-SQ). Sikap positif
adalah representasi perilaku tentang nilai Pancasila dan nilai
kemanusiaan. Pola pikir esensial adalah perilaku tidak hanya
berlandaskan pertimbangan rasional dan pembuktian empirik,
melainkan juga suprarasional. Komitmen normatif adalah
kesetiaan atau loyalitas berbasis spirit internal. Kompetensi
abilitas adalah profesionalitas pada tingkat seni. Landasan
IESQ (kecerdasan intelektual-IQ, emosional-EQ, dan spiritualSQ) adalah fokus pendidikan pada kecerdasan komprehensif.
Karakter Generasi Emas 2045 adalah kekuatan utama
membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar,
maju, jaya dan bermartabat.
Glenn (European Journal for Education Law and
Policy,1999) in “Character-building and freedom in education”:
Educators, parents, and policy-makers in the United States, as
in other countries, are concerned about the apparent inability of
many schools to contribute to the development of character and
civic virtue in their pupils. Schools which exhibit a distinctive
character based upon a shared understanding of the goals of
education are effective not only in teaching academics but also
in developing positive character traits in their pupils. Pendidik,
orang tua, dan pembuat kebijakan di Amerika Serikat, seperti
di Negara-negara lain, prihatin tentang ketidakmampuan
banyak sekolah untuk berkontribusi pada pengembangan
karakter dan kebajikan sipil murid mereka. Sekolah yang
menunjukkan
karakter
khas
yang
didasarkan
pada
pemahaman bersama tentang tujuan-tujuan pendidikan tidak
efektif hanya dalam mengajar akademik tetapi juga dalam
mengembangkan ciri-ciri karakter positif dalam murid-murid
mereka.
Aslan (International Journal of Instruction, 2011) in
“Handbook of Moral And Character Education”: The purpose of
this handbook is to move beyond discourse to bring together a
collection of chapters by the top researchers and scholars in the
field that reflects the state of the art in moral and character
education. Buku ini bertujuan untuk bergerak melampaui
wacana bersama-sama mengoleksi atas bab peneliti yang ahli
di bidang seni dan moral yang mencerminkan keadaan
pendidikan karakter.
2.4
Kerangka Berpikir
Karakteristik
obyek
penelitian
unik
dan
berbeda
dibandingkan dengan sekolah lain se Kabupaten Kendal,
terutama
karakter
religius
dan
seni
budaya
(karakter
kebangsaan) dimana sholat berjama’ah di SMPN 1 Limbangan
wajib dilaksanakan seluruh warga sekolah yang mayoritas
muslim setiap hari secara rutin, sementara di sekolah lain
pelaksanaannya dijadwal secara bergiliran. Oleh karena itu
kemudian yang religius menjadi salah satu program best
practice. Selain karakter religius, seni budaya (karakter
kebangsaan) Karakter Peduli Lingkungan juga mempunyai
keunikan dengan program Jum’at bersih dan
gaya hidup
sehat/Senam Kesegaran Jasmani (SKJ) yang dilaksanakan
setiap Jum’at dan diikuti seluruh warga sekolah. Seluruh
peserta
didik,
pendidik
dan
tenaga
kependidikan
mendapatkan kapling yang kebersihannya manjadi tanggung
jawabnya.
bargantian
Setiap
kelas
bertugas
di
dibagi
dua
kelompok,
kaplingnya/kelas
dan
secara
Senam
Kesegaran
Jasmani/SKJ.
Demikian
juga
karakter
Nasionalis/Cinta Tanah Air/Kebangsaan juga berbeda dengan
sekolah lain yakni Seni Budaya Tari, Keroncong, Karawitan
dan Wayang Kulit.
Untuk mengetahui bagaimanakah unsur konteks, input
dan proses program perlu diadakan evaluasi dengan tujuan
agar sekolah/organisasi tidak mengulang kesalahan yang
pernah terjadi, karena tanpa evaluasi tidak dapat mengetahui
konteks
program,
input
program,
proses
program,
implementasi program dan kendala-kendala yang ada. Untuk
itu dilaksanakanlah evaluasi dengan model evaluasi CIPP
(context, input, process, product).
Dalam penelitian ini penggunaan CIPP tidak secara
lengkap, karena evaluasi program yang digunakan peneliti
evaluasi formatif yakni program masih berlangsung, maka
cakupan model evaluasi CIPP hanya meliputi: context, input,
process (Konteks, Input, dan Proses).
Gambaran
kerangka
berpikir
jika
bentuk bagan tampak seperti yang berikut:
disajikan
dalam
Gambar 2.3
Evaluasi Program Pendidikan Karakter dengan Model CIP
Konteks :
Latar belakang,
kebutuhan , kebijakan
manajemen sekolah,
mencapai visi dan misi
sekolah
Input :
Kesiapan SDM,
komitmen pimpinan,
sarpras, program,
,anggaran/ dana, strategi
Program
Pendidikan Karakter
Feed Back / Rekomendasi
Proses:
Sosialisasi, jadwal,
motivasi, evaluasi,
hambatan dan
solusi
Feed Back / Rekomendasi
KAJIAN TEORI
Sesuai dengan variabel yang hendak diteliti maka berikut
akan disajikan kajian tentang:
2.1 Manajemen Pendidikan Karakter
2.1.1 Konsep Pendidikan Karakter
“Pendidikan
merupakan
upaya
terencana
dalam
mengembangkan potensi peserta didik sehingga mereka
memiliki sistem berpikir, nilai, moral dan keyakinan yang
diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan
tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini
dan masa mendatang” (Hasan, 2010: 3).
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian
seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai
kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai
landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan
bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral dan
norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan
hormat pada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang
lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter
bangsa (Hasan, 2010: 3).
Suyanto (2014) menyatakan bahwa: Pendidikan karakter
adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan
aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan
tindakan (action). Dengan pendidikan karakter yang
diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang
anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini
adalah
bekal
penting
dalam
mempersiapkan
anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan
lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam
tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil
secara akademis. (www.pendidikankarakter.org. Diunduh
Senin, 2 Juni 2014)
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang terencana
dalam membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik
dengan
menginternalisasi
berbagai
kebajikan
sehingga
menghasilkan pribadi yang cerdas emosinya, bermoral sesuai
dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah
pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang
melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbolsimbol yang dipraktikkan oleh seluruh warga sekolah, dan
masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri
khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata
masyarakat luas.
2.1.2 Metodologi Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter
memerlukan
metodologi
yang
efektif, aplikatif dan produktif untuk mempermudah dalam
mencapai tujuannya. Menurut Doni Koesoemo A dalam
Asmani (2011: 67-70), metodologi pendidikan karakter adalah
sebagai berikut:
a) Pengajaran
Mengajarkan
pendidikan
karakter
dalam
rangka
memperkenalkan pengetahuan teoritis tentang konsep-konsep
nilai. Anak-anak akan banyak belajar dari pemahaman dan
pengertian tentang nilai-nilai yang dipahami olah para pendidik
dalam setiap perjumpaan mereka.
b) Keteladanan
Keteladanan menjadi salah satu hal klasik bagi berhasilnya
sebuah tujuan pendidikan karakter. Tumpuan pendidikan
karakter ada pada pundak pendidik. Karakter pendidik
(meskipun tidak selalu) menentukan warna kepribadian peserta
didik.
c) Menentukan Prioritas
Lembaga pendidikan memiliki prioritas dan tuntutan dasar atas
karakter yang ingin ditetapkan di lingkungan mereka.
Pendidikan karakter menghimpun banyak kumpulan nilai yang
dianggap penting bagi pelaksanaan dan realisasi atas visi
lembaga pendidikan.
d) Praksis Prioritas
Unsur lain yang sangat penting bagi pendidikan karakter adalah
bukti dilaksanakannya prioritas nilai pendidikan karakter
tersebut. Berkaitan dengan tuntutan lembaga pendidikan atas
prioritas nilai yang menjadi visi kinerja pendidikannya, lembaga
pendidikan mesti mampu membuat verifikasi sejauh mana visi
sekolah telah dapat direalisasikan.
e) Refleksi
Karakter yang ingin dibentuk oleh lembaga pendidikan melalui
berbagai macam program dan kebijakan senantiasa perlu
dievaluasi dan direfleksikan secara berkesinambungan dan
kritis. Jadi, setelah diadakan dan praksis pendidikan karakter
itu terjadi, perlulah diadakan semacam pendalaman dan refleksi
untuk melihat sejauh mana lembaga pendidikan telah berhasil
atau gagal dalam melaksanakan pendidikan karakter.
Berdasarkan Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter
yang
dikembangkan
Kemendiknas
(2011:
9),
“Proses
pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang
mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif,
psikomotorik) dan fungsi totalitas sosio-kultural pada konteks
interaksi
dalam
keluarga,
satuan
pendidikan
serta
masyarakat”.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses
psikologis dan sosio-kultural tersebut dapat dikelompokkan
dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah
Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik
(Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan
Karsa (Affective and Creativity development) yang secara
diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut (Kemdiknas,
2011: 9):
Gambar 2.1
Konfigurasi Pendidikan Karakter
Menurut Ki Hadjar Dewantara dalam Haryanto (2010),
“pembentukan karakter seseorang dapat dilakukan melalui
Tripusat Pendidikan yaitu: 1) Pendidikan di lingkungan
keluarga, 2) Pendidikan di lingkunan perguruan, dan 3)
Pendidikan
di
lingkungan
kemasyarakatan
atau
alam
pemuda”.
Berdasar
paparan
di
atas
tentang
pandangan
pembentukan karakter seseorang perlu melibatkan keluarga,
sekolah dan masyarakat. Pengembangan karakter peserta
didik perlu memperhatikan konteks totalitas psikologis dan
sosio-kultural
yang
meliputi
pengetahuan,
sikap
dan
keterampilan, melalui olah hati, olah pikir, olah raga dan
kinestetik serta olah rasa dan karsa. Kesemunya itu dapat
diusahakan
dalam
bentuk
pengajaran
dan
pendidikan,
keteladanan, penentuan skala prioritas serta refleksi dan
evaluasi.
2.1.3 Strategi Pendidikan Karakter
Pendekatan yang digunakan Kementerian Pendidikan
Nasional
(2011:
11)
dalam
pengembangan
pendidikan
karakter, yaitu: “pertama melalui stream top down; kedua
melalui
stream
bottom
up;
dan
ketiga
melalui
stream
revitalisasi program”. Ketiga alur tersebut digambarkan dalam
diagram yang berikut:
Gambar 2.2
Strategi Kebijakan Pendidikan Karakter
Strategi yang dimaksud secara rinci dapat dijelaskan
sebagai berikut: (Kemdiknas, 2011: 11-12)
1. Intervensi melalui kebijakan (Top - Down)
Jalur/aliran pertama inisiatif lebih banyak diambil oleh
Pemerintah/Kementerian Pendidikan Nasional dan didukung
secara sinergis oleh Pemerintah daerah dalam hal ini Dinas
pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam strategi ini
pemerintah menggunakan lima strategi yang dilakukan secara
koheren, yaitu:
a. Sosialisasi
Kegiatan ini bertujuan untuk membangun kesadaran
kolektif tentang pentingnya pendidikan karakter pada
lingkup/tingkat nasional, melakukan gerakan kolektif
dan pencanangan pendidikan karakter untuk semua.
b. Pengembangan regulasi
Untuk
terus
Gerakan
mengakselerasikan
Nasional
Pendikan
dan
membumikan
Karakter,
Kementerian
Pendidikan Nasional bergerak mengkonsolidasi diri di
tingkat
internal
dengan
melakukan
upaya-upaya
pengembangan regulasi untuk memberikan payung
hukum yang kuat bagi pelaksanaan kebijakan, program
dan kegiatan pendidikan karakter.
c. Pengembangan kapasitas
Kementerian Pendidikan Nasional secara komprehensif
dan
massif
pengembangan
akan
melakukan
kapasitas
sumber
upaya-upaya
daya
pendidikan
karakter. Perlu disiapkan satu sistem pelatihan bagi
para pemangku kepentingan pendidikan karakter yang
akan menjadi pelaku terdepan dalam mengembangkan
dan mensosialisikan nilai-nilai karakter.
d. Implementasi dan kerjasama
Kementerian
berbagai
hal
Pendidikan
yang
Nasional
terkait
dengan
mensinergikan
pelaksanaan
pendidikan karakter di lingkup tugas pokok, fungsi, dan
sasaran unit utama.
e. Monitoring dan evaluasi
Secara komprehensif Kementerian Pendidikan Nasional
akan melakukan monitoring dan evaluasi terfokus pada
tugas, pokok, dan fungsi serta sasaran masing-masing
unit kerja baik di Unit Utama maupun Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota,
serta
pemangku
kepentingan
pendidikan lainnya. Monitoring dan evaluasi sangat
berperan
dalam
mengontrol
dan
mengendalikan
pelaksanaan pendidikan karakter di setiap unit kerja.
2. Pengalaman Praktisi (Bottom - Up)
Pembangunan pada jalur/tingkat ini diharapkan dari
inisiatif yang datang dari satuan pendidikan. Pemerintah
memberikan bantuan teknis kepada sekolah-sekolah yang
telah
mengembangkan
dan
melaksanakan
pendidikan
karakter sesuai dengan ciri khas di lingkungan sekolah
tersebut.
3. Revitalisasi Program
Pada
jalur/tingkat
ketiga,
merevitalisasi
kembali
program-program kegiatan pendidikan karakter di mana pada
umumnya banyak terdapat pada kegiatan ekstrakurikuler
yang sudah ada dan sarat dengan nilai-nilai karakter.
2.2 Evaluasi Program dan Model-modelnya
2.2.1 Evaluasi Program
Evaluasi merupakan suatu aktivitas pengendalian yang
memungkinkan
intervensi yang positif. Evaluasi
memeriksa arah yang diambil dan mengevaluasi hasil atau
penyimpangannya dari perencanaan sebelumnya. Evaluasi
harus bersifat komprehensif dan terbuka terhadap berbagai
kritikan (Sa’ud dan Makmun ,2009: 228).
“Evaluasi
informasi
adalah
tentang
kegiatan
bekerjanya
untuk
sesuatu,
mengumpulkan
yang
selanjutnya
informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif
yang tepat dalam mengambil keputusan” (Arikunto dan
Jabar, 2014: 2).
“Evaluasi
program
adalah
suatu
kegiatan
yang
dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan
program” (Arikunto, 2002: 290).
Menurut Ralph Tyler dalam Arikunto dan Jabar (2014:
5) mengatakan bahwa “evaluasi program adalah proses untuk
mengetahui
apakah
tujuan
pendidikan
sudah
dapat
terealisasikan”.
Berdasarkan paparan tersebut maka pengertian evaluasi
program adalah suatu kegiatan yang berupa proses mengukur
dan menilai suatu program dengan tujuan untuk mengetahui
tingkat keberhasilan program, apakah di atas standar, sama
dengan standar ataukah di bawah standar.
Evaluasi merupakan penerapan prosedur ilmiah yang
sistematis
untuk
mengukur
dan
menilai
perencanaan,
implementasi dan keberhasilan suatu program. Hasil evaluasi
digunakan untuk penyempurnaan program dan implementasi
suatu program secara keseluruhan
2.2.2 Tujuan Evaluasi Program
Tujuan evaluasi program diarahkan dan dirumuskan
bertitik tolak pada tujuan program untuk dapat diperoleh
rekomendasi, setelah evaluasi program dilaksanakan.
“Evaluasi
program
biasanya
dilakukan
untuk
kepentingan pengambil kebijaksanaan untuk menentukan
kebijaksanaan selanjutnya” (Arikunto, 2002: 292). “Evaluasi
program sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan karena
dengan
masukan
hasil
evaluasi
program
itulah
para
pengambil keputusan akan menentukan tindak lanjut dari
program yang sedang atau telah dilaksanakan”. (Arikunto,
2014: 29).
“Evaluasi
memeriksa
arah
yang
diambil
dan
mengevaluasi hasil atau penyimpangan dari perencanaan
sebelumnya”. (Sa’ud dan Makmun, 2009: 228).
Berdasarkan
paparan
tersebut
disimpulkan
bahwa
tujuan evalusi program adalah tindakan yang dirumuskan
dan diarahkan untuk mengevaluasi tujuan program yang telah
direncanakan sebelumnya, apakah hasilnya sesuai dengan
perencanaan
ataukah
terdapat
penyimpangan
sebagai
masukan kepada pengambil keputusan dari program tersebut
dalam bentuk rekomendasi.
Evaluasi
pencapaian
program
tujuan
bertujuan
program
yang
untuk
telah
mengetahui
dilaksanakan.
Selanjutnya, hasil evaluasi program digunakan sebagai dasar
untuk melaksanakan kegiatan tindak lanjut atau untuk
melakukan pengambilan keputusan berikutnya.
2.2.3 Model-model Evaluasi Program
Menurut Kaufan dan Thomas dalam Arikunto dan Jabar
(2014: 40-41) membedakan model evaluasi program menjadi
delapan, yaitu:
a) Goal Oriented Eavaluation Model, dikembangkan oleh
Tyler. Objek pengamatan model ini adalah tujuan dari
program. Evaluasi
terus-menerus
dilaksanakan
untuk
pelaksanaan program.
berkesinambungan,
mengetahui
ketercapaian
b) Goal Free
Scriven.
Eavaluation
Dalam
Model,
dikembangkan
melaksanakan
evaluasi
oleh
tidak
memperhatikan tujuan khusus program, melainkan
bagaimana terlaksananya program dan mencatat hal-hal
yang positif maupun negatif.
c) Formatif Summatif Evaluation Model, dikembangkan
oleh Michael Scriven. Model evaluasi ini dilaksanakan
ketika program masih berjalan (evaluasi formatif) dan
ketika program sudah selesai (evaluasi sumatif).
d) Countenance Evaluation Model, dikembangkan oleh
Stake.
Model
ini
juga
disebut
model
evaluasi
pertimbangan. Evaluator mempertimbangkan program
dengan membandingkan kondisi hasil evaluasi program
dengan yang terjadi di program lain, dengan objek
sasaran yang sama dan membandingkan kondisi hasil
pelaksanaan program dengan standar yang ditentukan
oleh program tersebut.
e) Responsisive Evaluation Model, dikembangkan oleh
Stake. Dalam model evaluasi ini Stake mendefinisikan
evaluasi sebagai suatu nilai pengamatan dibandingkan
dengan keahlian. Model ini berdasarkan pada apa yang
biasa individu lakukan untuk menilai suatu perkara.
f) CSE-UCLA
Evaluation
Model,
menekankan
pada
“kapan” evaluasi dilakukan. Model ini meliputi empat
tahap, yaitu:
Needs assessment, memusatkan pada penentuan
masalah hal-hal yang perlu dipetimbangkan dalam
program,
kebutuhan
uang
dibutuhkan
oleh
program, dan tujuan yang dapat dicapai.
Program
planning,
perencanaan
program
dievaluasi untuk mengetahui program disusun
sesuai analisis kebutuhan atau tidak.
Formative evaluation, evaluasi dilakukan pada
saat program berjalan.
Summative program, evaluasi untuk mengetahui
hasil
dan
dampak
dari
program
serta
untuk
mengetahui ketercapaian program.
g) CIPP Evaluation Model (Context Input Process Product),
yang dikembangkan oleh Stufflebeam. Masing-masing
istilah menurut
Arikunto dan
Jabar (2014: 46-47)
dijelaskan sebagai berikut:
Context evaluation (Evaluasi terhadap Konteks).
Evaluasi konteks adalah
upaya untuk
menggambarkan terhadap kebutuhan, tujuan
pernenuhan dan karakteristik individu yang
menangani. Seorang evaluator harus sanggup
menentukan prioritas kebutuhan dan memilih
tujuan yang paling menunjang kesuksesan
proyek/program.
Input evaluation (Evaluasi terhadap Masukan).
Evaluasi
masukan
mempertimbangkan
kemampuan awal atau kondisi awal yang dimiliki
oleh institusi untuk melaksanakan sebuah
program.
Process evaluation (Evaluasi terhadap Proses).
Evaluasi proses menunjuk pada apa, siapa dan
kapan serta diarahkan pada sejauh mana
program dilakukan dan sudah terlaksana sesuai
dengan rencana.
Product evaluation (Evaluasi terhadap Hasil). Ini
merupakan tahap akhir dari serangkaian evaluasi
program dan akan diketahui ketercapaian tujuan,
kesesuaian proses dengan pencapaian tujuan,
dan ketepatan tindakan yang diberikan, serta
dampak dari program.
h) Discrepancy Model, yang dikembangkan oleh Malcolm
Provus.
Model
kesenjangan
ini
yang
ditekankan
terjadi
pada
untuk
setiap
mengetahui
komponen
program. Evaluasi kesenjangan dimaksudkan untuk
mengetahui tingkat kesesuaian antara standar yang
sudah ditentukan dalam program dengan penampilan
aktual dari program tersebut.
2.2.4 Model Evaluasi Program yang akan Digunakan
Evaluasi merupakan proses mengumpulkan informasi
sehingga evaluasi harus mempunyai komponen-komponen,
tahapan serta teknik/strategi yang akan digunakan. Model
evaluasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
model evaluasi CIPP (context, input, process, product).
Peneliti mencari data dan informasi dari informan yang
terdiri dari manajemen sekolah SMP Negeri 1 Limbangan (TIM
Pengembang
Sekolah
I/
II)
dari
unsur
konteks
untuk
mengetahui latar belakang kebijakan program pendidikan
karakter, apakah program pendidikan karakter merupakan
kebutuhan yang mendesak/utama/pokok.
Peneliti mencari data dan informasi dari informan yang
terdiri dari manajemen sekolah SMP Negeri 1 Limbangan (Tim
Pengembang Sekolah I/II) dari unsur input untuk mengetahui
kondisi awal yang dimiliki (kesiapan Sumber Daya Manusia,
komitmen pimpinan, sarpras, RKAS).
Peneliti mencari data dan informasi dari informan yang
terdiri dari manajemen sekolah SMP Negeri 1 Limbangan (Tim
Pengembang
Sekolah
I/II)
dari
unsur
proses
untuk
mengetahui apa, siapa dan kapan serta sejauh mana program
telah dilaksanakan dan hambatan apa yang dijumpai selama
pelaksanaan program dan bagaimanakah solusinya.
Karena
menggunakan
evaluasi
dalam
penelitian
evaluasi
formatif
yakni
ini,
peneliti
program
masih
berlangsung, maka cakupan model evaluasi CIPP hanya
meliputi: context, input, process (Konteks, Input, dan Proses).
Argumentasi pemilihan model evaluasi CIPP adalah
sebagai berikut:
Untuk
mengetahui
gambaran
kebutuhan
terhadap
program pendidikan karakter, gambaran tenaga dan
sarana
pendukung
terhadap
program
pendidikan
karakter serta gambaran proses pelaksanaan program
pendidikan karakter.
Untuk mengetahui ada tidaknya kendala/hambatan
terhadap
program
pendidikan
karakter
dan
bagaimanakah upaya-upaya untuk mengatasinya.
Untuk
memberikan
informasi
sebagai
rekomendasi
kepada kepala sekolah sehingga dapat menentukan
tindak lanjut dari program pendidikan karakter.
2.3 Penelitian yang Relevan
Penelitian
ini
mengacu
pada
penelitian-penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan pendidikan karakter baik
yang
terjadi
di
lingkungan
Pendidikan
Dasar
(SD
dan
SMP/MTs), Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi.
Hasil penelitian terdahulu baik dalam bentuk tesis maupun
yang
dimuat
di
Jurnal
menunjukkan
pentingnya
pembentukan karakter peserta didik, seperti di SMA Negeri 3
Semarang
yang
Pendidikan
diintegrasikan
Agama
Islam
dalam
secara
mata
pelajaran
Intrakurikuler
dan
Ekstrakurikuler. Bahkan dalam jurnal pendidikan disebutkan
bahwa “generasi 2045 disebut berkarakter generasi emas”
(Manullang, 2013: 1).
Hasil penelitian Nugroho (Tesis: 2012) yang berjudul:
Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Agama
Islam di SMA N 3 Semarang, menyatakan bahwa Implementasi
Pendidikan
Karakter
dalam
PAI
di
SMA
3
Semarang
dilaksanakan dengan dua cara, yakni: intrakurikuler dan
ekstrakurikuler. Dalam implementasinya, Pendidikan Karakter
dalam PAI tidak jauh berbeda dengan sebelum adanya
pendidikan
karakter.
Perbedaannya
dalam
perencanaan
pembelajaran ditambah dengan kolom pendidikan karakter.
Penelitian Hidayat (Jurnal Inovasi dan Kewirausahaan,
2012) yang berjudul Manajemen Sekolah Berbasis Karakter,
menghasilkan
kajian
sebagai
implementasi
manajemen
berikut
sekolah
:
(1)
berbasis
Strategi
karakter
mencakup strategi aspek : Efisiensi Input; Efektivitas Process;)
Produktivitas Output; Relevansi Outcome; (2) Hal penting
dalam
upaya
peningkatan
Indikator
mempersiapkan
kompetensi
keberhasilan
spiritual
potensi
karakter
implementasi
SDM
adalah
personal;
manajemen
(3)
sekolah
berbasis karakter ini yang mencakup keberhasilan proses dan
hasil pada semua aspek komponen manajemen; (4) Desain
harus disesuiakan dengan kondisi, target dan tujuan; (5)
Strategi evaluasi, dilakukan dua tahapan, yakni tahapan
evalusi diri dan tindak lanjut perbaikan; (6) Hambatan
terbesar adalah lemahnya komitmen dan potensi karakter
pada
personal;
(7)
Komponen-komponen
penting
pada
rumusan kebijakan.
Rianse (Rektor Universitas Haluoleo, 2013) dengan
artikelnya yang berjudul: Praktik Pendidikan Karakter di
Universitas
HALUOLEO,
mengemukakana
bahwa:
Model
pendidikan berkarakter Mengelola Hidup Merencanakan Masa
Depan (MHMMD). Model pendidikan ini tidak hanya berlaku
untuk mahasiswa saja, tetapi juga mencakup semua yang
terlibat di lembaga pendidikan kampus. Banyak hal positif
yang dihasilkan oleh model pendidikan berkarakter ini.
Hampir semua aspek di dalam kampus bisa dikembangkan
dengan maksimal. Mulai dari asrama kampus, training
kepribadian,
kewirausahaan,
kesenian,
olahraga,
dan
kebersihan lingkungan.
Manullang (Jurnal Pendidikan Karakter, 2013) dengan
artikelnya yang dimuat dalam Grand Desain Pendidikan
Karakter Generasi Emas 2045, menyebutkan bahwa: Generasi
2045 disebut “berkarakter generasi emas” haruslah memiliki
sikap positif, pola pikir esensial, komitmen normatif dan
kompetensiabilitas,
dan
berlandasan
IESQ
(kecerdasan
intelektual-IQ, emosional-EQ, dan spiritual-SQ). Sikap positif
adalah representasi perilaku tentang nilai Pancasila dan nilai
kemanusiaan. Pola pikir esensial adalah perilaku tidak hanya
berlandaskan pertimbangan rasional dan pembuktian empirik,
melainkan juga suprarasional. Komitmen normatif adalah
kesetiaan atau loyalitas berbasis spirit internal. Kompetensi
abilitas adalah profesionalitas pada tingkat seni. Landasan
IESQ (kecerdasan intelektual-IQ, emosional-EQ, dan spiritualSQ) adalah fokus pendidikan pada kecerdasan komprehensif.
Karakter Generasi Emas 2045 adalah kekuatan utama
membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar,
maju, jaya dan bermartabat.
Glenn (European Journal for Education Law and
Policy,1999) in “Character-building and freedom in education”:
Educators, parents, and policy-makers in the United States, as
in other countries, are concerned about the apparent inability of
many schools to contribute to the development of character and
civic virtue in their pupils. Schools which exhibit a distinctive
character based upon a shared understanding of the goals of
education are effective not only in teaching academics but also
in developing positive character traits in their pupils. Pendidik,
orang tua, dan pembuat kebijakan di Amerika Serikat, seperti
di Negara-negara lain, prihatin tentang ketidakmampuan
banyak sekolah untuk berkontribusi pada pengembangan
karakter dan kebajikan sipil murid mereka. Sekolah yang
menunjukkan
karakter
khas
yang
didasarkan
pada
pemahaman bersama tentang tujuan-tujuan pendidikan tidak
efektif hanya dalam mengajar akademik tetapi juga dalam
mengembangkan ciri-ciri karakter positif dalam murid-murid
mereka.
Aslan (International Journal of Instruction, 2011) in
“Handbook of Moral And Character Education”: The purpose of
this handbook is to move beyond discourse to bring together a
collection of chapters by the top researchers and scholars in the
field that reflects the state of the art in moral and character
education. Buku ini bertujuan untuk bergerak melampaui
wacana bersama-sama mengoleksi atas bab peneliti yang ahli
di bidang seni dan moral yang mencerminkan keadaan
pendidikan karakter.
2.4
Kerangka Berpikir
Karakteristik
obyek
penelitian
unik
dan
berbeda
dibandingkan dengan sekolah lain se Kabupaten Kendal,
terutama
karakter
religius
dan
seni
budaya
(karakter
kebangsaan) dimana sholat berjama’ah di SMPN 1 Limbangan
wajib dilaksanakan seluruh warga sekolah yang mayoritas
muslim setiap hari secara rutin, sementara di sekolah lain
pelaksanaannya dijadwal secara bergiliran. Oleh karena itu
kemudian yang religius menjadi salah satu program best
practice. Selain karakter religius, seni budaya (karakter
kebangsaan) Karakter Peduli Lingkungan juga mempunyai
keunikan dengan program Jum’at bersih dan
gaya hidup
sehat/Senam Kesegaran Jasmani (SKJ) yang dilaksanakan
setiap Jum’at dan diikuti seluruh warga sekolah. Seluruh
peserta
didik,
pendidik
dan
tenaga
kependidikan
mendapatkan kapling yang kebersihannya manjadi tanggung
jawabnya.
bargantian
Setiap
kelas
bertugas
di
dibagi
dua
kelompok,
kaplingnya/kelas
dan
secara
Senam
Kesegaran
Jasmani/SKJ.
Demikian
juga
karakter
Nasionalis/Cinta Tanah Air/Kebangsaan juga berbeda dengan
sekolah lain yakni Seni Budaya Tari, Keroncong, Karawitan
dan Wayang Kulit.
Untuk mengetahui bagaimanakah unsur konteks, input
dan proses program perlu diadakan evaluasi dengan tujuan
agar sekolah/organisasi tidak mengulang kesalahan yang
pernah terjadi, karena tanpa evaluasi tidak dapat mengetahui
konteks
program,
input
program,
proses
program,
implementasi program dan kendala-kendala yang ada. Untuk
itu dilaksanakanlah evaluasi dengan model evaluasi CIPP
(context, input, process, product).
Dalam penelitian ini penggunaan CIPP tidak secara
lengkap, karena evaluasi program yang digunakan peneliti
evaluasi formatif yakni program masih berlangsung, maka
cakupan model evaluasi CIPP hanya meliputi: context, input,
process (Konteks, Input, dan Proses).
Gambaran
kerangka
berpikir
jika
bentuk bagan tampak seperti yang berikut:
disajikan
dalam
Gambar 2.3
Evaluasi Program Pendidikan Karakter dengan Model CIP
Konteks :
Latar belakang,
kebutuhan , kebijakan
manajemen sekolah,
mencapai visi dan misi
sekolah
Input :
Kesiapan SDM,
komitmen pimpinan,
sarpras, program,
,anggaran/ dana, strategi
Program
Pendidikan Karakter
Feed Back / Rekomendasi
Proses:
Sosialisasi, jadwal,
motivasi, evaluasi,
hambatan dan
solusi
Feed Back / Rekomendasi