Zina Menurut Pandangan Islam Dan

Tugas Kelompok

Zina dan Status Anak Zina
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalat
Dosen :
H. Zulkifli, M.Pd

Oleh :
Helena Aprianti
Sella Lusiana
Rinentis Pranasmara
Muhammad Wahyu Fajr

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
2015

Kata Pengantar
Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah atas semua rahmat dan karunia–Nya,

sehingga kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah ini demi kelangsungan untuk
menambah ilmu yang berguna.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk melengkapi salah satu nilai tugas dalam
menempuh Mata Kuliah Fiqih Muamalat Universitas Muhammadiyah Tangerang. Judul
penulisan ini adalah “Zina dan Status Anak Zina”. Dalam penyusunan penulisan ini, kami
mendapatkan dorongan yang penuh dari berbagai pihak.
Kami menyadari bahwa masih banyak ketidaksempurnaan yang terdapat dalam penulisan
makalah ini. Oleh karena itu, agar kami dapat menulis dengan lebih baik dan bermanfaat bagi
kita semua, maka dengan kerendahan hati, kami mengharapkan masukkan, kritik dan saran dari
pembaca.

Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarraktuh

Tangerang, Maret 2015

Penyusun

i

Daftar Isi


Kata Pengantar................................................................................................................. i
Daftar Isi....................................................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan.......................................................................................................... 1
1.1

Latar belakang.................................................................................................... 1

1.2

Rumusan Masalah............................................................................................... 2

1.3

Tujuan Rumusan Masalah...................................................................................... 2

BAB II Pembahasan......................................................................................................... 3
2.1

Sumber Hukum Zina............................................................................................ 3

2.1.1

Al-Qur’an............................................................................................... 3

2.1.2

Hadits.................................................................................................... 4

2.1.3

Sumber hukum lain................................................................................... 5

2.2

Hukum Zina Dalam Perspektif Islam......................................................................13

2.3

Macam-Macam Zina.......................................................................................... 14


2.4

2.3.1

Zina al-lamam........................................................................................ 14

2.3.2

Zina Luar Al-Lamam (Zina Yang Sebenarnya)...............................................16

Status Anak Zina Dalam Perspektif Islam................................................................16
1.2.1

Hukum anak zina.................................................................................... 18

2.5

Hukuman yang didapat untuk para pezina................................................................18

2.5


Syarat-syarat pezina mendapatkan hukuman.............................................................19

2.6

Solusi dalam permasalahan moral (zina)..................................................................19

BAB III PENUTUP........................................................................................................ 21
3.1

Kesimpulan..................................................................................................... 21

3.2

Saran............................................................................................................. 22

ii

iii


BAB I
Pendahuluan
1.1

Latar belakang

Dewasa ini persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat muslim semakin kompleks.
Karena semakin maju (Progress) peradaban manusia, maka masalah-masalah yang
dihadapi ataupun ditanggung oleh manusia semakin pelik. Oleh karenanya kebutuhan
akan berbagai macam referensi untuk menjawab seluruh persoalan juga semakin tak
terelakkan.
Dengan demikian mungkin saya sangat sependapat dengan apa yang dikatan oleh
Suhadi (2006;196) bahwa ijtihad kolektif pada saat ini memang sangat dibutuhkan karena
demi memenuhi tuntutan akan mendapatkan jawaban dari persoalan-persoalan
kemanusiaan yang ada hubungannya dengan masail-fiqhiyah tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Mungkin dengan cara seperti itu ketika dihadapkan dengan problem insaniyah yang
memang ada kaitannya dengan urusan keagamaan seseoarang, bisa terjawab.
Agama dalam kehidupan manusia adalah fitrah atau hak qadrati yang dimiliki oleh
masing-masing personal yang memiliki ajaran-ajaran yang berkaitan dengan anjuran dan
larangan yang mengikat pemeluknya. Islam dalam hal ini sebagai agama juga

mengajarkan kepada umatnya tentang tatacara (Rule) bergaul dan berinteraksi dengan
sesama manusia. Yaitu bagaimana seorang manusia menghormati hak-hak yang dimiliki
oleh orang lain, dalam hal ini kalau dikaitkan dengan keberadaan perempuan, maka
banyak hal-hal yang dimiliki olehnya untuk dijaga, salah satunya adalah kehormatan.
Seks, misalnya apabila tidak didudukkan dengan sebanar-benarnya, maka akan menjadi
suatu hal yang terlarang yang dalam term agama disebut dengan zina.
Zina adalah salah satu perbuatan yang sangat dilarang oleh Tuhan karena memiliki
dampak yang sangat besar dalam keberlangsungan kehidupan manusia. Salah satu ekses
yang diakibatkan oleh zina adalah tidak jelasnya status anak yang dihasilkan.
1

Terkait dengan persoalan manusia yang semakain kompleks, maka dalam makalah
ini akan dicoba untuk menguraikan dan menjelaskan tentang hukum zina, status anak
zina, dan hukumnya mengadopsi anak demi memberikan sedikit pengetahuan yang
berhubungan dengan itu semua.
1.2

Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah hukum zina dalam perspektif Islam?
2. Bagaimanakah status anak zina dalam perspektif Islam?

3. Bagaimanakah status hukum anak zina dalam perspektif Islam?

1.3

Tujuan Rumusan Masalah
Agar kita mengetahui bagaimanakah hukum zina dalam Islam?
2. Agar kita mengetahui bagaimanakah status anak zina dalam Islam?
3. Agar kita mengetahui satatus hukum anak zina dalam Islam?
1.

2

BAB II
Pembahasan
2.1

Sumber Hukum Zina
2.1.1

Al-Qur’an


Surat An Nur ayat 2 :

ُ‫اجلِدُوا لوال َزانِيال َزانِيلة‬
ْ ‫اح ٍد لو ُك َل فل‬
ِ ‫ِدينِفِي لر ْأفلةٌبِ ِه لما تلأْ ُخ ْذ ُك ْم لو لل لج ْل لد ٍة ِمائلةل ِم ْن ُه لما‬
َ ْ‫ون تُ ْؤ ُك ْنتُ ْم إِن‬
َ ِ‫ش له ْد ْال ِخ ِر لوا ْليل ْو ِم ب‬
ْ ‫او ْليل‬
‫الِ ِمنُ ل‬
‫ا ْل ُم ْؤ ِمنِ ل‬
ِ‫ا‬
‫ين ِم لن طلائِفلةٌ لع لذابل ُه لم ل‬
“ Perempuan yang berzina dan laki – laki yang berzina, maka deralah tiap – tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk ( menjalankan ) agama Allah.” Selain itu pula,
Allah SWT mengajarkan agar menjaga “kemaluan “. Kemaluan dalam dan arti
luas, termasuk dalam arti “kemaluan” adalah organ sex
Surat A’raf ayat 81 :


ۡ‫ّم ۡس ِرفُ ۡونَقَ ۡو ٌم اَ ۡنـتُمۡ بَ ۡلالنّ َسء ِٓ ُد ۡو ِن ّم ۡن َشه َوةً ال ّر َجالَلَـتَ ۡاتُ ۡو َن اِنّ ُكم‬
“ Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada
mereka ), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kamu yang melampaui
batas.”
Surat An Nahl ayat 58:

‫ْال ُم ْن َذ ِرينَ َمطَ ُرفَ َسا َٓ ۖ َمطَرًا َعلَ ْي ِه ْـم َوأَ ْمطَرْ نَا‬
“ Dan kami turunkan atas mereka ( hujan batu), maka amat beratkah hujan yang
ditimpakan atas orang – orang yang diberi peringatan itu.” Jelaslah secara yuridis
3

bahwa pandangan Islam, terang – terangan mengutuk perbuatan zinah,
berhubungan sex diluar perkawinan dan homo seksual.
Jadi bisa dikatakan bahwa zina merupakan perbuatan yang menimbulkan
kerusakan besar dilihat secara ilmiah. Zina adalah salah satu diantara sebab-sebab
dominan yang mengakibatkan kerusakan dan kehancuran peradaban, menularkan
penyakit yang sangat berbahaya, misalnya AIDS, dan lain-lain. Mendorong orang
untuk terus menerus hidup membujang serta praktek hidup bersama tanpa nikah.
Berdasarkan hukum Islam, perzinaan termasuk salah satu dosa besar.
Dalam agama Islam, aktivitas-aktivitas seksual oleh lelaki/perempuan yang telah

menikah dengan lelaki/perempuan yang bukan suami/istri sahnya, termasuk
perzinaan. Dalam Al-Quran, dikatakan bahwa semua orang Muslim percaya
bahwa berzina adalah dosa besar dan dilarang oleh Allah.
2.1.2

Hadits
Sebuah hadits Dari Abu Hurairah r.a. Bahwa Rasulullah saw telah
bersabda yang artinya:
1. “Kedua mata itu bisa melakukan zina, kedua tangan itu (bisa) melakukan
zina, kedua

kaki itu (bisa) melakukan zina. Dan kesemuanya itu akan

dibenarkan atau diingkari oleh alat kelamin.” (Hadis sahih diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah).
2. “Tercatat atas anak Adam nasibnya dari perzinaan dan dia pasti
mengalaminya. Kedua mata zinanya melihat, kedua telinga zinanya
mendengar, lidah zinanya bicara, tangan zinanya memaksa (memegang
dengan keras), kaki zinanya melangkah (berjalan) dan hati yang berhazrat
dan berharap. Semua itu dibenarkan (direalisasi) oleh kelamin atau
digagalkannya.” (HR Bukhari).

4

2.1.3

Sumber hukum lain
2.1.3.1 .

Zina

Zina menurut Al – Zurani, ialah :

‫ُش ْبهَ ٍة َو ِم ْل ٍك ع َْن ٍل خَا قُب ٍُل فِ ْي ْطا ُٓاَ ْل َو اَ ْل َو‬
“ Memasukkan penis ( zakar, bahas arab )kedalam vagina ( farj
bahasa Arab ) bukan miliknya (bukan istrinya) dan tidak ada unsur
syubhat (keserupaan atau kekeliruan).”
Dari definisi zina diatas , maka suatu perbuatan dapat dikatakan zina,
apabila sudah memenuhi dua unsur, ialah :
1. Adanya persetubuhan ( sexual intercourse ) antara dua orang yang
berbeda jenis kelaminnya (heterosex ); dan
2. Tidak adanya keserupaan atau kekeliruan (syubhat) dalam
perbuatan sex (sex act).
Dengan unsur pertama, maka jika dua orang yang berbeda kelaminnya
baru bermesraan, misalnya berciuman atau berpelukan, belum dapat
dikatakan berbuat zina, yang dapat dijatuhi hukuman had, berupa dera
bagi yang belum pernah kawin atau rajam bagi yang sudah pernah
kawin; tetapi mereka bisa dihukum yang bersifat edukatif.
Demikian pula, melakukan inseminasi buatan dengan sperma atau
ovum donor untuk memperoleh keturunan, maka menurut rumusan
definisi Al – Jurjani tentang zina diatas, juga tidak bisa disebut zina,
sebab jadi tidak terjadi sexual intercourse (persetubuhan) dalam
inseminasi buatan. Namun menurut Mahmud Syaltut, inseminasi
buatan itu menurut hukum termasuk zina, sebab hal itu mengakibatkan
pencemaran kelamin dan pencampuran nasab padahal Islam sangat
menjaga kesucian/ kehormatan kelamin dan kemurnia nasab.
5

Dengan unsur kedua (syubhat), maka sexual intercourse yang
dilakukan oleh orang karena kekeliruan, misalnya dikira “ istrinya”
juga tidak dapat disebut zina.
Kalau kita perbandingkan antara KUHP Indonesia dengan Hukum
Pidana Islam mengenai kasus zina ini, maka kita dapat melihat banyak
perbedaan pandangan, antara lain sebagai berikut:
1. Menurut KUHP, tidak semua pelaku zina diancam dengan
hukuman pidana. Misalnya pasal 284 (1) dan (2) KUHP
menetapkan ancaman pidana penjara paling lama 9 bulan bagi pria
dan wanita yang melakukan zina, padahal salah seorang atau kedua
– duanya telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya. Ini berarti
bahwa pria dan wanita yang melakukan zina itu belum / kawin
tidaklah kena sanksi hukuman tersebut diatas, asal kedua – duanya
telah dewas dan suka sama suka (tidak ada unsure perkosaan).
Baru kalau ada unsur perkosaan atau wanitanya belum dewasa,
dapat dikenakan sanksi hukuman (vide pasal 285 dan 287 (1).
Sedangkan menurut Hukum Pidana Islam, semua pelaku zina pria
dan wanita dapat diancam hukuman had. Hanya dibedakan
hukumannya yakni bagi pelaku yang belum kawin diancam dengan
dera (flogging) dengan pukulan tongkat, tangan atau dengan sepatu
( praktek Nabi dan Khalifah – Khalifah sesudahnya ). Dera dengan
cara apapun tidak boleh berakibat fatal bagi yang didera.
Sedangkan bagi pelaku yang telah kawin diancam dengan
hukuman rajam (sloning to death) berdasarkan Sunah Nabi. Ada
pula yang berpendapat, bahwa pelaku zina yang telah kawin
mendapat hukuman rangkap: dera dahulu kemudian dirajam.
Mazhab Dzahiri termasuk pendukung pendapat ini berdasarkan
Hadis Nabi :

ُ‫ب بِا اَلثّيْب‬
ِ ّ‫جْ ُم َوال ّر ئَ ٍة ِما َج ْل ُد لثّي‬
6

Pelaku zina yang telah atau pernah kawin
.didera 100 kali dan dirajam
Dan juga berdasarkan pelaksanaan hukum dera dan rajam yang
dilakukan oleh Khalifah Ali terhadap Syarahah al – Hamdaniyah
kemudian Ali menegaskan:
ِ‫ب اِ َو َر َج ْمتُهَا بِ ُسنّ ِة َرسُوْ ِل ا‬
ِ ‫َجلَ ْد تُهَا بِ َكتَا‬
Aku mendera dia ( Syaharah berdasarkan Kitab Allah (Surat Al –
nur ayat 2) dan merajamnya dengan Sunah Rasul.
Mengenai wanita yang di perkosa di luar perkawinan tidak di
kenakan hukuman, tetapi bagi wanita di bawah umur (kurang dari
15 tahun, vide pasal 287 KUHP) yang bersetubuh dengan pria
tanpa unsur paksaan, dapat diancam dengan hukuman menurut
Hukuman Pidana Islam.
2. Menurut KUHP, perbuatan zina hanya dapat dituntut atas
pengaduan (suami / istri yang tercemar (vide pasal 284 (2)
KUHP); sedangkan Islam tidak memandang zina hanya sebagai
klacht

delict

(hanya

bisa

dituntut

atas

pengaduan

yang

bersangkutan); tetapi dipandangnya sebagai perbuatan dosa besar
yang harus ditindak tanpa menunggu pengaduan dari yang
bersangkutan. Sebab zina mengandung bahaya besar bagi
pelakunya sendiri dan juga bagi masyarakat, antara lain sebagai
berikut:
1. Pencemaran kelamin dan pencampuran nasab, padahal Islam
sangat menjaga kesucian/ kehormatan kelamin dan kemurnian
nasab. Dan itulah sebabnya Islam membolehkan seorang suami
menolak mengakui seorang anak yang dilahirkan oleh istrinya
7

setelah terjadi li’an dan terbukti anak tersebut hasil hubungan
gelap istri dengan pria lain.
2. Penularan penyakit kelamin (veneral disease) yang sangat
membahayakan kesehatan suami istri dan dapat mengancam
keselamatan anak yang lahir. Penularan penyakit AIDS yang
sangat berbahaya itu juga bisa disebabkan oleh zina dan free
sex;
3. Keretakan keluarga yang bisa berakibat perceraian karena
suami atau istri yang berbuat serong (zina) akan menimbulkan
konflik besar dalam rumah tangga;
4. Teraniayanya anak – anak yang tidak berdosa sebagai akibat
ulah orang – orang yang tidak bertanggung jawab (para pelaku
zina), karena mereka terpaksa menyandang sebutan anak zina/
jadah;
5. Pembebanan pada masyarakat dan Negara untuk mengasuh dan
mendidik anak – anak teraniaya yang tidak berdosa itu, sebab
kalau masyarakat dan Negara tidak mau menyantuni mereka,
mereka

bisa

mengganggu

keamanan

dan

ketertiban

masyarakat.
6. Menurut KUHP, pelaku zina diancam dengan hukuman penjara
yang lamanya berbeda (vide pasal 284 (1) dan (2); pasal 285;
286; dan 287 (1); sedangkan menurut Islam, pelaku zina
diancam dengan hukuman dera, jika ia belum kawin; dan
diancam dengan hukuman rajam jika ia telah kawin.
Menurut penulis, hukuman 100 kali relative lebih ringan
dibandingkan dengan hukuman penjara seperti tersebut dalam
KUHP, sebab pelaksanaan dera tidak boleh sampai berakibat
fatal bagi orang yang didera. Karena itu, disarankan agar
sasaran pukulan/ dera tidak hanya pada satu bagian tubuh,

8

kecuali bagian yang sangat rawan / berbahaya dan bagian yang
sangat pribadi (terhormat).
Mengenai hukuman rajam (stoning to death), yang berarti
hukuman bagi pelaku zina yang telah kawin, karena si pelaku
zina itu bisa seharusnya (wajib) menjaga loyalitas dan nama
baik keluarga, dan lagi perbuatan zina itu mengandung bahaya
– bahaya yang besar bagi keluarganya, masyarakat, dan
Negara. Sedangkan hukuman dera yang relatif ringan bagi
pelaku zina yang belum kawin, karena si pelaku masih hijau,
belum berpengalaman, maka dengan hukuman dera itu
diharapkan bisa member kesadaran kepadanya, sehingga ia
tidak mau mengulang perbuatannya yang tercela.
Adapun tujuan hukuman menurut Hukuman Pidana Islam, ialah
sebagai berikut:
1. Untuk preventif, artinya untuk mencegah semua orang agar tidak
melanggar larangan agama dan melalaikan kewajiban agama dan
melalaikan kewajiban agama dengan adanya sanksi – sanksi
hukumannya yang jelas.
2. Untuk repressif, artinya untuk menindak dengan tegas siapa saja
yang melanggar hukuman tanpa diskriminasi, demi menegakkan
hukuman (law enforcement);
3. Untuk kuratif dan edukatif, artinya untuk menyembuhkan
penyakit mental/ psychis dan memperbaiki akhlak pelaku
pelanggaran/kejahatan, agar insaf dan tidak mengulang lagi
perbuatannya yang jelek/jahat;
4. Untuk

melindungi

keamanan

masyarakat/

memelihara ketertiban dalam masyarakat.

9

Negara,

dan

2.1.3.2 Status Anak Zina

Adapun anak zina, ialah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah;
sedangkan perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing –
masing agamanya dan kepercayaan, dan dicatat menurut peraturan
perundang – undangan yang berlaku (vide pasal 2(1) dan (2) UU. No.
1/ 1974). Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat dari
KUA untuk mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
hukum Islam; sedangkan untuk mereka yang melangsungkan
perkawinannya dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada
Kantor Catatan Sipil ( vide pasal 2 (1) dan (2) PP. No. 9/ 1975 tentang
pelaksanaan UU. No. 1/ 1974 tentang perkawinan.
Berdasarkan ketentuan pasal – pasal dan ayat – ayat tersebut diatas,
maka perkawinan penduduk di Indonesia yang dilakukan menurut
hukum Islam misalnya, tetapi tidak dicatat oleh pegawai pencatat dari
KUA, atau perkawinan yang dicatat oeh pegawai pencatat dari Kantor
Catatan Sipil, tetapi perkawinan tersebut tidak dilakukan menurut
hukuman agamanya dan kepercayaannya; maka perkawinan yang sah
itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya (vide pasal 43 (1) PP. No. 9/1975.
Menurut Hukum Perdata Islam, anak zina/ jadah itu suci dari segala
dosa orang yang menyebabkan eksistensinya di dunia ini, sesuai
dengan Hadis Nabi Muhammad:

‫ب يَ ْعـ ُر َحتّى ِة‬
َ ُ‫نِ ِه يُ َمجّ َسا وْ اَ نِ ِه ايُنَصّ َر وْ اَ نِ ِه ا َد يُهَ ّو ها ُ بَـ َو فَـا َ انُـهُ لِ َسـا َع ْنـه‬
ْ ِ‫ْالف‬
ّ‫ط َر َعلَى لَ ُديُوْ ٍد َموْ لُوْ ُكل‬
Semua anak dilahirkan atas kesucian/ kebersihan (dari segala
dosa/noda) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga ia jelas
bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anaknya

10

menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi. (Hhadis riwayat Abu
Ya’la, Al – Thabrani, dan Al – Baihaqi, dari Al – Aswad bin Sari’.
Dan berdasarkan firman Allah dalam surat Al – Najm ayat 38:
‫ٲلَ ت َِز ُر َوا ِز َرةٌ ّو ْز َراُ ْخ َرى‬
Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain.
Karena itu, anak zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi
pendidikan, pengajaran, dan ketrampilan yang berguna untuk bekal
hidupnya dimasyarakat nanti. Yang bertanggung jawab untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya, materiil dan spiritual adalah terutama
ibunya yang melahirkannya dan keluarga ibunya yang melahirkannya
dan keluarga ibunya. Sebab anak zina hanya mempunyai hubungan
nasab atau perdata dengan ibunya.
Apabila ibunya yang melahirkan tidak bertanggung jawab, bahkan
sampai hati membuangnya untuk menutup malu/ aib keluarga, maka
siapa pun yang menemukan anak (bayi) zina tersebut wajib
mengambilnya untuk menyelamatkan jiwanya. Keluarga yang
menemukan bayi terlantar akibatdari pada hubungan gelap orang –
orang yang tidak bertanggung jawab, wajib mengasuhnya dan
mendidik baik – baik, dan untuk mencukupi kebutuhan hidup anak
tersebut, bisa atau harta pribadi keluarga tersebut dan bisa juga atas
bantuan Baitul Mal. Dan bisa juga anak tersebut diserahkan oleh
keluarga tersebut kepada Panti Asuhan Anak Yatim. Hanya perlu
dicatat tidak baik cara mengasuh dan mendidiknya, atau tidak dpat
dipercaya dalam penggunaan bantuan keuangan dari Baitul Mal dan
dari masyarakat Islam, maka wajib dicabut hak perwaliannya atas anak
itu, dan pemerintah wajib mengurusi, mengawasi, dan mencukupi
kebutuhan hidupnya.
11

Perlu ditambahkan, bahwa anak yang lahir sebelum 6 bulan dari
peerkawinan, maka “sang ayah” berhak menolak keabsahan anak itu
menjadi anaknya, sebab masa hamil yang paling sedikit berdasarkan
Al – Qur’an surat Al – Baqarah ayat 233 dan surat Al- Ahqaf ayat 15
adalah 6 bulan. Sedangkan masa hamil yang terlama dari seorang
wanita tiada nash yang jelas dalam Al – Qur’an dan Sunah. Pendapat
fuqaha tentang masalah ini berbeda – beda mulai dari 9 bulan menurut
mazhab Dzahiri, setahun menurut Muhammad bin Abdul hakam al –
Maliki, dua tahun menurut mazhab hanafi, emapt tahun menurut
mazhab Syafi’I, dan lima tahun menurut mazhab Maliki. Perbedaan
pendapat tersebut disebabkan karena hanya didasarkan atas informasi
dari sebagian wanita yang dijadikan responden, yang belum tentu
mengerti ilmu kesehatan, khusunya tentang ilmu kandungan. Maka
karena itu di Mesir berdasarkan UU. No. 25 Tahun 1929 pasal 15
menetapkan masa hamil paling lama satu tahun syamsiyah (365
hari)setelah mendengarkan pertimbangan dari para dokter yang juga
ahli hukum dengarkan pertimbangan dari para dokter yang juga ahli
hukum Islam. Menurut hemat penulis, pendapat Dzahiri adalah yang
paling mendekati kebiasaan/ pengalaman wanita hamil (berdasarkan
realitas dan empirik), sedangkan hukum positif di Mesir (1 tahun)
adalah untuk bersikap hati – hati atas kemungkinan adanya kehamilan
yang cukup lama sekalipun langka. Kiranya sekedar untuk bersikap
hati – hati, cukuplah kiranya masa hamil menurut mazhab Dzahiri itu
diatambah sebulan menjadi 10 bulan tahun syamsiyah, demi menjaga
kepastian hukum. Sebab norma hukum itu hanya mengatur dan
menetapkan hal – hal yang umum, bukan kejadian – kejadian yang
jarang / langka adanya.

12

2.2

Hukum Zina Dalam Perspektif Islam
Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia, zina adalah perbuatan asusila yang
dilakukan seorang pria dan wanita di luar ikatan pernikahan yang sah. Sedangkan
menurut Al-Jurjani, bisa dikatakan zina apabila telah memenuhi dua unsur yaitu:
1.

Adanya persetubuhan (sexual intercourse) antara dua orang yang berbeda jenis
kelaminnya (heterosex); dan

2.

Tidak adanya keserupaan atau kekeliruan (syubhat) dalam perbuatan seks (sex act).
Dengan unsur pertama, maka jika dua orang yang berbeda kelaminnya baru

bermesraan, misalnya berciuman atau berpelukan, belum dapat dikatakan berbuat zina,
yang dapat dijatuhi hukuman had, berupa dera bagi yang belum pernah kawin atau rajam
bagi yang sudah pernah kawin; tetapi mereka bisa dihukum ta’zir yang bersifat edukatif.
Bagaimana dengan inseminasi buatan dengan mentransfer sperma pada ovum donor
untuk memperoleh keturunan? Bila dikaitkan dengan definisi zina dan klasifikasinya
yang telah dijelaskan oleh Jurzanim maka tidak dianggap sebagai perbuatan zina, sebab
tidak terjadi sexual intercourse (persetubuhan).
Sebagian ulama’ mendefinisikan zina dengan perhiasan, maka berzina berarti
merampas perhiasan. Bagi wanita yang paling utama sebagai perhiasannya adalah
kehormatannya, maka merampas kehormatan ini berarti menghilangkan modal dari
wanita itu. Wanita yang melakukan perzinaan ini berarti menyerahkan perhiasannya
kepada orang lain. Perhiasan wanita mempunyai nilai dan harga hanya untuk pemakaian
pertama kali belaka. Jika kegadisan wanita/selaput dara itu hilang, maka hilang pulalah
kehormatannya.
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta mengatakan
“Zina adalah perbuatan besetubuh yang tidak sah (seperti bersundal, bermukah,
bergendak dan sebagainya)”.
Dari berbagai macam definisi tentang zina diatas maka dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa zina adalah perbuatan bersetubuh (memasukkan penis kedalam
vagina) diluar ikatan nikah yang sah dan berbeda jenis kelaminnya, yang dapat merusak
kehormatan/perhiasan perempuan (pecahnya selaput darah dalam vagina).
13

Tidak heran kalau seluruh agama Samawi mengharamkan dan juga berupaya untuk
memberantasnya karena dampak yang timbul dari perbuatan zina sangat besar, yaitu si
perempuan akan kehilangan sesuatu yang menjadi perhiasannya, mengkaburkan status
anak yang dilahirkan, merusak keturunan, menghancurka rumah tangga, meretakkan
perhubungan, meluasnya penyakit sepilis (veneral disease) dan AIDS , kejahatan nafsu
dan merosotnya akhlak disamping itu reputasinya akan tercoreng di lingkungan
masyarakat. Islam sebagai agama Rahmatan lil alamin (Universal) dengan keras
melarang perzinaan serta memberikan ultimatum yang sangat tajam.

2.3

Macam-Macam Zina
Adapun macam-macam zina yang akan kita pelajari, diantara :
2.3.1

Zina al-lamam

a. Zina ain (zina mata) yaitu memandang lawan jenis dengan perasaan
senang.Di dalam Islam ada jenis maksiat yang disebut dengan ‘zina mata’
(lahadhat atau zina ain). Lahadhat itu, pandangan kepada hal-hal, yang
menuju kemaksiatan. Lahadhat bukan hanya sekadar memandang, tetapi
diikuti dengan pandangan selanjutnya. Pandangan mata adalah sumber itijah
(orientasi) kemuliaan, juga sekaligus duta nafsu syahwat. Seseorang yang
menjaga pandangan berarti ia menjaga kemaluan. Barangsiapa yang
mengumbar pandangannya, maka manusia itu akan masuk kepada hal-hal
yang membinasakannya. Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, pernah
menasihati Ali :
“Jangan kamu ikuti pandangan pertamamu dengan pandangan kedua dan
selanjutnya. Milik kamu adalah pandangan yang pertama, tapi yang kedua
bukan”.
Dalam musnad Ahmad, disebutkan, Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam,
bersabda
“Pandangan adalah panah beracun dari panah-pandah Iblis. Barangsiapa yang
menundukkan pandangannya dari keelokkan wanita yang cantik karena
Allah, maka Allah akan mewariskan dalam hatinya manisnya iman sampai
hari kiamat”
14

Yang tergolong “zina mata” (berzina dengan mata) adalah melihat dengan
syahwat. Misalnya: memandangi foto porno, mengintip cewek mandi, dsb.
b. Zina qolbi (zina hati) yaitu memikirkan atau menghayalkan lawan jenis
dengan perasaan senang kepadanya. “Zina hati” adalah “mengharap-harap
kesempatan untuk berzina” atau “memelihara hasrat untuk berzina”. Dari
kata-kata ukhti, saya tidak melihat adanya zina hati pada diri ukhti. Ataukah
ukhti mengira bahwa “kecondongan hati” terhadap si dia merupakan “zina
hati”? Ketahuilah bahwa kecondongan hati itu merupakan rasa cinta,
sedangkan rasa cinta itu halal dan bukan tergolong “zina hati”. Dengan
demikian pula, merindukan si dia atau pun merasakan getaran di hati ketika
memikirkan si dia bukanlah tergolong “zina hati”. Pengertian “zina hati”
(berzina dalam hati) adalah mengharap dan menginginkan pemenuhan nafsu
birahi. Contohnya: berpikiran mesum, “Kapan-kapan aku akan ke tempat
kostnya saat sepi tiada orang lain. Siapa tahu dia mau kuajak ‘begituan’.”
c. Zina lisan (zina ucapan) yaitu membincangkan lawan jenis dengan perasaan
senang kepadanya. Selain itu, menyampaikan kata-kata mesra kepada sang
pacar bukanlah tergolong zina lisan.Yang tergolong “zina lisan” adalah yang
disertai dengan nafsu birahi. Contohnya: ucapan mesum kepada pacar, “Aku
ingin sekali meletakkan mulutku ke mulutmu berpagutan dalam ciuman.”
d. Zina yadin (zina tangan) yaitu memegang tuuh lawan jenis dengan perasaan
senang kepadanya. Tangan dianggap telah melakukan zina dengan
melakukan perbuatan yang tidak baik, melakukan masturbasi atau onani
untuk memperoleh kepuasan seksual dll. Jadi kalau ditilik dari kaca mata
tasawuf, maka masturbasi atau onani dikategorikan sebagai bentuk zina
tangan.
Sementara itu, orang yang telah melakukan masturbasi atau onani, apabila
sampai mengeluarkan sperma, maka baginya berlaku hukum mandi besar
(junub). Hal itu berdasarkan hadis Nabi saw yang mengatakan ”Air (mandi
itu wajib) dari (keluarnya) air (sperma). (HR Muslim). Apabila tidak sampai
keluar sperma, maka tidak wajib mandi besar. Untuk itu Nabi saw dalam
salah satu hadisnya menganjurkan ”Wahai para pemuda, barang siapa yang
15

sudah sanggup kawin, maka kawinlah, karena hal itu (kawin) akan menjaga
pandangan dan melindungi (kehormatan) kemaluan, dan jika tidak mampu,
maka hendaklah ia berpuasa, karena Hal itu (puasa) akan mengekang hawa
nafsu.” (HR Bukhari).
2.3.2

Zina Luar Al-Lamam (Zina Yang Sebenarnya)

a. zina muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah bersuami
istri, hukumannya adalah dirajam sampai mati.
b. Zina gairu muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum
bersuami istri, hukumannya adalah didera sebanyak 100X dengan
menggunakan rotan.Perbuatan zina adalah perbuatan dosa besar yang
berakibat akan mendapatkan sangsi yang berat bagi pelaku, oleh karena
itu untuk menentukan bahwa seseorang telah berbuat zina dapat
dilakukan dengan 4 cara sbagaimana telah digariskan oleh rasulullah saw,
yaitu : ada 4 orang saksi yang adil, laki-laki, memberikan yang sama
mengenai:

tempat,

waktu,

pelaku,

dan

cara

melakukannya.

Pengakuan dari pelaku dengan syarat pelaku sudah baligh dan berakal.
Menurut imam syafi’i dan imam malik pengakuan cukup diucapkan oleh
pelaku satu kali, namun menurut imam abu hanifah dan imam ahmad
pengakuan harus diulang-ulang sampai empat kali, setelah itu baru
dijatuhi hukuman.
2.4

Status Anak Zina Dalam Perspektif Islam
Anak zina adalah anak yang timbul dari perkawinan yang tidak sah, Karena anak itu
hasil persetubuhan (sexual intercourse) atau bergaul antara wanita dan pria yang tidak
menurut ajaran Islam. Hal ini berarti, bahwa pergaulan itu dapat terjadi antara siapa saja
baik antara adik-kakak, ayah-anak, ibu-anak maupun dengan yang lain. Karena perzinaan
adalah suatu perbuatan yang tercela dan melanggar aturan-aturan Tuhan (Rule of God)
serta salah satu pelanggaran terhadap ketentuan perkawinan yang legal.
Sebenarnya dalam Islam tidak ada istilahnya dengan anak zina, sebab setiap yang
baru lahir dalam kaca mata Islam adalah suci dan tidak memikul beban dosa orang
tuanya. Anak yang dihasilkan dari perbuatan zina tetap tidak bersalah, tidak berdosa dan
16

tidak bernoda, sebab seluruh kesalahan yang berlaku adalah dari dua manusia yang
melakukan kesalahan itu. Dua manusia inilah yang berdosa, bersalah dan bernoda serta
merekalah yang bertanggung jawab dan menerima ganjaran atas dosa-dosa zina yang
telah diperbuatnya, jadi, bukan si anak.
Dengan demikian menurut hukum perdata Islam anak zina/jadah itu suci dari segala
dosa orang yang menyebabkan eksistensinya di dunia ini, sesuai dengan hadis nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la, Al-Thabrani, dan Al-Baihaqi dari
Al-Aswad bin Sar’i:
“Semua anak dilahirkan dalam keadaan suci/bersih (dari segala dosa/noda) dan
pembawaan beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah
yang menyebabkan anaknya manjadi Yahudi, atau Nasrani atau Majusi”.
Berkaitan dengan beban dosa yang harus ditanggung oleh pelaku zina sendiri,
berdasarkan

firman

Allah

dalam

Surat

Al-Najm

ayat

38

“(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” Anak
yang dilahirkan dari hasil zina ialah sama sebagai manusia biasa, ia tetap harus
diberlakukan secara manusiawi, karena ia statusnya sebagai manusia normal yang berhak
untuk mendapatka pendidikan, pengajaran, dan keterampilan untuk bekal hidup di
masyarakat nanti. Ia memiliki hak hidup dan hak asasi yang sama dengan manusia
lainnya. Ibu sebagai orang yang melahirkan anak tersebut bertanggung jawab untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya-materiil dan spiritual. Sebab anak itu (anak zina) dari
hasil hubungan di luar nikah hanya mempunyai hubungan nasab atau perdata dengan
ibunya.
Dengan demikian dalam hal warisan anak tersebut hanya mempunyai hak waris dari
ibunya. Sedangkan dari ayahnya ia tidak berhak untuk mendapatkan warisan, sebab
bapak yang telah menghamili ibunya (diluar nikah) lalu kemudian lahirlah anak itu
statusnya tidak sah karena tidak ada legalisasi, baik dari hukum perdata Islam maupun
dalam hal catatan sipil (hukum perdata di Indonesia). Meskipun ia memiliki hubungan
darah secara lahiriah dengan bapaknya, akan tetapi dalam hubungan jiwa, perasaan dan
jiwa tidak didapatkannya. Oleh karena itu hal inilah (status anak), yang harus dijadikan
pertimbangan oleh setiap manusia ketika akan melakukan hubungan sek (sexual
intercourse) diluar pernikahan yang sah.
17

1.2.1

Hukum anak zina

Jika seorang suami menuduh isterinya melakukan perzinaan tetapi tidak
dapat dibuktikan, maka anak yang lahir dalam waktu sang isteri masih dibawah
tangan Sang suami, anak itu adalah anak dari sang suami yang sah. Rasulullah
S.a.w. bersabda: “Anak itu adalah bagi ranjang (yakni bagi suami yang
mempunyai ranjang itu) sedangkan sang isteri yang melacur itu dirajam.”
(Bukhari)
Bila seorang pria atau wanita dipaksa melakukan zina, maka ia tidak berdosa.
Kalau setelah itu ia melakukan perkawinan dengan wanita tersebut secara
sah,maka tidak terdapat persoalan apapun dalam soal anak ini. Anak yang
dilahirkan adalah anak yang sah, sebab perzinaan yang dilakukan itu tidak
membawa satu kesalahan di dalam hukum Islam berarti kedua pelaku perzinaan
paksaan itu tidak didera atau dirajam. Konsepsi itu sangat relevan dengan kaidah
hukum Islam, yaitu: “Keadaan darurat (terpaksa) itu membolehkan hal-hal yang
terlarang.”
2.5

Hukuman yang didapat untuk para pezina
Hukumnya menurut agama Islam untuk para penzina adalah sebagai berikut:
1. Jika pelakunya muhshan, mukallaf (sudah baligh dan berakal), suka rela (tidak
dipaksa, tidak diperkosa), maka dicambuk 100 kali, kemudian dirajam, berdasarkan
perbuatan Ali bin Abi Thalib atau cukup dirajam, tanpa didera dan ini lebih baik,
sebagaimana dilakukan oleh Muhammad, Abu Bakar ash-Shiddiq, dan Umar bin
Khatthab.
2. Jika pelakunya belum menikah, maka dia didera (dicambuk) 100 kali. Kemudian
diasingkan selama setahun.
Sebagai konsekuensi atau larangan zina allah berfirman dalam surah an-Nurr (24)
ayat 4 dan 5 sebagai berikut:
Artinya: orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama18

lamanya. Dan mereka itulah orang-orang fasik. Kecuali orang-orang yang berdaulat
sesudah itu dan mmemperbaiki (dirinya) maka sesungguhnya allah maha pengampun lagi
maha penyayang.
Jadi ketika perempuan atau laki-laki berbuat zina maka dihukum dengan hukuman,
yang pertama yaitu jilid, dan kedua adalah pengasingan.
1. Hukuman jilid, ketika gadis/perawan berzina maka dihukum jilid 100 kali jilidan
berdasarkan. Hukuman jilid adalah dihad, yaitu hukuman yang ditetapkan, dan tidak
boleh bagi hakim (qodli) mengurangi atau menambahnya karena beberapa sebab.
2. Pengasingan, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, menurut Imam Syafii dan
Imam Ahmad adalah pengasingan dari daerah yang dijadikan untuk zina ke daerah
lain. Sedangkan menurut Imam Malik dan Abu Hanifah tahgrib adalah menahan.
2.5

Syarat-syarat pezina mendapatkan hukuman
Hukuman yang ditetapkan atas diri seseorang yang berzina dapat dilaksanakan dengan
syaarat-syarat sebagai berikut:
1. Orang yang berzina itu berakal/waras.
2. Orang yang berzina sudah cukup umur (baligh).
3. Zina dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa, tetapi atas kemauannya sendiri.
4. Orang yang berzina tahu bahwa zina itu diharamkan.
Jadi hukuman tidak dapat dijatuhkan dan dilaksanakan terhadap anak kecil, orang gila
dan orang yang dipaksa untuk melakukan zina.

2.6

Solusi dalam permasalahan moral (zina)
Islam adalah agama fitrah yang mengakui keberadaan naluri seksual. Di dalam Islam,
pernikahan merupakan bentuk penyaluran naluri seks yang dapat membentengi seorang
muslim dari jurang kenistaan. Maka, dalam masalah ini nikah adalah solusi jitu yang
ditawarkan oleh Rasulullah saw sejak 14 abad yang lampau bagi gadis/perjaka.
Selain itu, penerapan syariat Islam merupakan solusi terhadap berbagai problematika
moral ini dan penyakit sosial lainnya. Karena seandainya syariat ini diterapkan secara
kaffah (menyeluruh dalam segala aspek kehidupan manusia) dan sungguh-sungguh, maka
19

sudah dapat dipastikan tingkat maksiat khalwat, zina, pemerkosaan dan kriminal lainnya
akan berkurang drastic.
Orang tua pun sangat berperan dalam pembentukan moral anaknya dengan memberi
pemahaman dan pendidikan islami terhadap mereka. Orang tua hendaknya menutup
peluang dan ruang gerak untuk maksiat ini dengan menyuruh anak gadisnya untuk
berpakaian syar’i (tidak ketat, tipis, nampak aurat dan menyerupai lawan jenis). Memberi
pemahaman akan bahaya pacaran dan pergaulan bebas. Dalam konteks kehidupan
masyarakat, tokoh masyarakat dapat memberikan sanksi tegas terhadap pelaku zina
sebagai preventif (pencegahan). Jangan terlalu cepat menempuh jalur damai “nikah”,
sebelum ada sanksi secara adat, seperti menggiring pelaku zina ke seluruh kampung
untuk dipertontonkan dan sebagainya. Selain itu, majelis ta’lim dan ceramah pula sangat
berperan dalam mendidik moral masyarakat dan membimbing mereka.
Begitu pula sekolah, dayah dan kampus sebagai tempat pendidikan secara formal dan
informal mempunyai peran dalam pembentukan moral pelajar/mahasiwa. Dengan
diajarkan mata pelajaran Tauhid, Al-Quran, Hadits dan Akhlak secara komprehensif dan
berkesinambungan, maka para pelajar/mahasiswa diharapkan tidak hanya menjadi
seorang muslim yang cerdas intelektualnya, namun juga cerdas moralnya (akhlaknya).
Peran Pemerintah dalam amal ma’ruf nahi munkar mesti dilakukan. Pemerintah
diharapkan mengawasi dan menertibkan warnet-warnet, salon-salon, kafe-kafe dan
pasangan non-muhrim yang berboncengan. Karena, bisa memberi celah dan ruang untuk
maksiat ini. Mesti ada tindak pemblokiran situs-situs porno sebagaimana yang diterapkan
di Negara Islam lainnya seperti Arab Saudi, Iran, Malaysia dan sebagainya.

20

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
Pelaku zina dalam perspektif Islam diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu Zina Muhsan
dan Zina Ghairu Muhsan, dari masing-masing kategori tersebut dalam masalah hukuman
(Panishment) juga ada perbedaan. Untuk zina Muhsan si pelaku mendapat hukuman ganda,

21

disamping didera juga di rajam dan ada yang mengatakan dirajam saja. Sedangkan untuk zina
ghairu muhsan si pelaku zina hanya di kasih hukuman dengan dera (cambuk) sebanyak 100 kali.
Perbuatan zina yang dilakukan oleh pria/wanita berdampak besar pada perkembangan dan
status si anak. Karena dalam hal urusan pewarisan dan perwalian, anak hasil zina tidak
mendapatka hak, walaupun sebagian ulama’ berpendapat, bahwa statusnya sama dengan anak
hasil hubungan legal akan tetapi ulama’ secara umum berkonsepsi sebaliknya.
Dalam locus (wilayah) sosial, anak zina tetap sebagai manusia biasa yang patut untuk
diperhatikan dan diberlakukan secara manusiawi. Ia berhak mendapat pendidikan dan pengajaran
serta hak hidup yang sama dengan anak-anak yang lain. Untuk warisan ia hanya dapat dari pihak
ibu dan keluarganya sedangkan dari pihak ayah terputus, meskipun secara biologis (hubungan
darah) dengan pihak ayah bersambung, akan tetapi secara jiwa dan perasaan ia tidak punya.
Disamping itu, terkait dengan status anak angkat (adopsi) kalangan ulama’ juga berbeda
pendapat. Ada yang berpendapat bahwa status anak adopsi sama dengan anak kandung, yaitu
dalam hal pewarisan dan perwalian sama kedudukannya layaknya anak kandung. Tapi, Jumhurul
Ulama’ menetapkan, jika status anak adopsi tidak bisa disamakan dengan anak kandung. Oleh
karenanya, dalam masalah hukum Islam memang banyak terjadi kontroversi pendapat akan tetapi
itu adalah sebagai dinamika pemikiran dalam dunia islam yang dapat memperkaya pengatahuan
dan produk pemikiran ulama’ fiqh (Baca: Pemikiran Ulama’ Fiqh).

3.2

Saran
Saran dari penulis untuk para pembaca, berhati-hatilah dalam bergaul, jangan sampai
kita ataupun anak-anak kita melakukan hal tidak diinginkan yaitu melakukan seks diluar
nikah. Karena penyesalan akan datang belakangan.

22