Fenomena Radikalisme Gerakan Massa di NT

FENOMENA DAN ANCAMAN RADIKALISME GERAKAN MASSA DI NTB
Oleh Andi Admiral (Pemerhati masalah Sosial-politik)
Fenomena kerusuhan dan kekerasan yang melibatkan gerakan massa akhir-akhir ini
marak terjadi di beberapa daerah di Indonesia, termasuk wilayah NTB. Fenomena ini telah
menarik perhatian publik maupun masyarakat internasional. Lalu, apa yang salah di negeri
ini dan apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan berbagai problem kebangsaan?
Haruskah setiap masalah diselesaikan dengan kekerasan untuk mewujudkan perubahan
atau keadilan sosial?
Frekuensi gerakan massa di NTB sejak Januari s/d Desember 2011 (diloah dari
berbagai sumber), terdapat sebanyak 780 kasus dalam bentuk aksi unjuk rasa dan
pengerahan massa dari berbagai elemen masyarakat, LSM, maupun kelompok pergerakan
mahasiswa. Dari data tersebut, teridentifikasi di Kota Mataram sebagai ibukota Provinsi
sebanyak 212 kasus, Kab. Lombok Barat 64 kasus, Lombok Tengah 83 kasus, Kab.
Lombok Utara 29 kasus, Kab. Lombok Timur 101 kasus, Kab. Sumbawa Barat 52 kasus,
Kab. Sumbawa 55 Kasus, Kab. Dompu 70 Kasus, serta Kabupaten dan Kota Bima 114
kasus. Sementara gerakan massa yang berakhir anarkis atau tindakan kekerasan dan
pengrusakan, maupun bentrok dengan aparat kepolisian pada tahun 2011 teridentifikasi
sebanyak 44 kasus dan 1 kasus (pembakaran Kantor Pemerintahan di Kab. Bima) pada 10
Januari 2012. Daerah tertinggi tingkat anarkisme massa yang terjadi pada tahun 2011,
yakni Kab. Lombok Timur 10 kasus, Kab. Bima 9 kasus, Kab. Sumbawa Barat 8 kasus,
Kab. Lombok Barat 6 kasus, Kab. Lombok Tengah 5 kasus, Kab. Sumbawa dan Kota

Bima masing-masing 2 kasus, serta Kab. Lombok Utara dan Kab. Dompu masing-masing
1 kasus. Maraknya kasus anarkisme massa di wilayah NTB tersebut lebih didominasi oleh
permasalahan konflik pertambangan, seperti yang terjadi di Kab. Lombok Timur
(Penolakan pertambangan pasir besi di Kec. Pringgabaya), Kab. Lombok Barat
(Penolakan Tambang PT ILBB di Kec. Sekotong), Kab. Sumbawa Barat (permasalahan
pertambangan dan rekrutmen tenaga kerja PT NNT), dan Kab. Bima (Penolakan SK
Bupati Bima No. 188.45/357/004/2010 tentang ijin ekplorasi tambang PT Sumber Mineral
Nusantara di Kec. Lambu, Kec. Sape dan Kec. Langgudu). Beberapa tindakan kekerasan
dan anarkisme massa juga dipicu oleh perbedaan aliran atau faham keagamaan yang
dinilai sesat, seperti kasus pengusiran Jamaah Ahmadiyah di Kab. Sumbawa pada 11 dan
12 Juni 2011, kasus pembakaran mushollah milik Jamaah Assunah Salafiyah di Dusun
Lambung Lauk, Desa Pringgasela Selatan, Kab. Lotim pada 6 Mei 2011 dan pembakaran
rumah di Dusun Pecatu, Desa Seruni Mumbul, Kec. Pringgabaya karena diduga rumah
tersebut dijadikan sebagai tempat pengajian aliran sesat, sehingga mengakibatkan rumah
rusak parah dan hangus terbakar. Selain itu, juga disebabkan oleh permasalahan sosial dan
konflik politik, seperti ketidakpuasan para pendukung calon kepala desa dalam Pemilihan
Kepala desa.
Munculnya radikalisme gerakan massa di tengah masyarakat NTB merupakan
fenomena menarik untuk dicermati di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara yang
tengah menapaki masa transisi menuju demokrasi. Fenomena tersebut harus dilihat dari

persepektif sosial, politik, dan ekonomi, yang mungkin bisa dimaknai ganda, “positif dan
negatif”. Secara positif gerakan tersebut dipandang sebagai wujud kebangkitan daya kritis
masyarakat ditengah proses konsolidasi demokrasi di Indonesia untuk membangunan
sebuah tatanan perubahan dan keadilan sosial secara radikal. Secara negatif, bisa dimaknai

sebagai ancaman bagi tegaknya demokrasi di Indonesia, melumpuhkan kekuatan
supremasi hukum di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap aparat penegak
hukum. Meskipun seringkali fenomena tersebut hanya selalu dipandang sebagai fenomena
konflik vertikal ataupun horizontal tanpa menemukan akar permasalahannya.
Radikalisme Gerakan Massa ; Ideologi dan Strategi
Dalam terminologi ilmu sosial, radikalisme merupakan suatu paham atau aliran
dalam gerakan sosial politik yang ingin membangun suatu dunia atau tatanan sosial politik
yang lebih baik dengan cara menghancurkan akar kejahatan sosial, menghilangkan
institusi-institusi yang dianggap menjadi penghalang bagi tegaknya demokrasi, dengan
program membangun sistem politik ekonomi yang demokratis dan bervisi kerakyatan.
Radikalisme juga merupakan suatu paham yang menghendaki adanya perubahan,
pergantian, penjebolan terhadap suatu sistem di masyarakat sampai ke akarnya bila perlu
menggunakan cara-cara kekerasan, menginginkan adanya perubahan total terhadap suatu
kondisi atau semua aspek kehidupan masyarakat. Jika radikalisme dimaknai sebagai
faham atau aliran dalam gerakan sosial politik, tentu mempengaruhi cara pandang, sikap,

dan perilaku setiap gerakan yang muncul dari individu maupun kelompok atau komunitas
yang mengorganisir dirinya dalam sebuah kelompok pergerakan. Pertanyaannya, apakah
fenomena gerakan massa radikal di NTB menganut ideologi radikalisme ataukah hanya
sebuah strategi dan taktik gerakan yang dengan sengaja diorganisir atau mengorganisir
gerakannya oleh aktor (tokoh gerakan) dalam membangun tatanan sosial politik ekonomi
yang demokratis atau bervisi kerakyatan, serta mewujudkan perubahan dan keadilan
sosial? Atau boleh jadi fenomena tersebut adalah perpaduan yang dilandasi oleh sebuah
ideologi gerakan dengan menggunakan strategi-strategi dan taktik gerakan dengan
menggunakan instrumen kekerasan untuk menghancurkan akar kejahatan sosial dan
menghilangkan institusi-institusi yang dianggap menjadi penghalang terhadap pencapaian
tujuannya dalam menentang kemapanan keuasaan yang tidak populis atau istilah “pro
rakyat”.
Secara teoritis, berbagai tesis maupun antitesa dalam menjawab fenomena tersebut.
Salah satu pendapat Pengamat Sosial dari Universitas Sriwijaya (Unsri), Dr. Ardian
Saptawan MSi, bahwa “terjadinya reaksi massa yang berlebihan bisa diakibatkan rasa
frustasi dan kekecewaan. Sehingga kerusuhan massa yang didasari perebutan kembali
hak sosial dan ekonomi merupakan muara terakhir rasa frustasi tekanan psikologis.
Kondisi seperti itu tidak boleh langsung disalahkan begitu saja. Harus ada pengkajian
secara komprehensif mengapa masyarakat atau sekelompok orang dapat melakukan
tindakan anarkis”. Pendapat ini memandang bahwa munculnya gerakan massa sebagai

reaksi terhadap kebijakan pemerintah. Beberapa pakar ilmu sosial di Indonesia juga
mengungkapkan 5 penyebab kekerasan massa di Indonesia, yakni ; “Pertama,
menumpuknya keresahan dan ketidakpuasan masyarakat atas situasi sosial, ekonomi dan
politik yang dirasakan dalam kesehariannya; Kedua, tersumbatnya aspirasi masyarakat
dalam format pembangunan politik (istilah penulis- lemahnya fungsi legislatif dalam
menangkap dan menyalurkan aspirasi konstituen atau rakyat) atau terdapatnya
ketimpangan antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan politik dan hukum;
Ketiga, gejala kemiskinan dan tajamnya ketimpangan dalam struktur masyarakat bawah
antara si kaya dan si miskin; Keempat, meningkatnya fenomena praktek kolusi, korupsi

dan manipulasi; dan Kelima, ketimpangan distribusi aset ekonomi yang cenderung
dirasakan masyarakat”.
Selain itu, beberapa teori-teori gerakan sosial, juga dapat digunakan untuk
membedah atau melacak munculnya akar radikalisme gerakan sosial di Indonesia,
hususnya di wilayah NTB, antara lain teori kritis dari Mazhab Frankfurt yang diwakili
oleh Jurgen Habermas dan Antoni Giddens (karyanya banyak berkembang di
Indonesia) dan teori konflik dari Lewis A Coser yang mengembangkan perspektif konflik
karya ahli sosiologi Jerman George Simmel atau terori konflik dari Ralf Dahrendorf
(Sosiolog Jerman). Teori lain yang menarik digunakan untuk menganilisis fenomena
tersebut melalui pendekatan teori Social Movement yang dikembangkan oleh Neil J.

Smelser yang melihat hubungan sebab-sebab tumbuhnya gerakan massa. Menurutnya ada
6 penyebab timbulnya gerakan massa, yakni 1) kondusifitas struktural, 2) ketegangan
struktural, 3) tersebarnya kerpercayaan umum (ideology yang dianut), 4) faktor-faktor
yang mempercepat, 5) mobilisasi partisipan untuk melakukan aksi, dan 6) pelaksanaan
kontrol sosial. Smelser juga membagi 6 penyebab tersebut dalam tiga tahap munculnya
gerakan massa, yakni tahap inkubasi (penyebab dari point 1-4), tahap aksi (point 5), dan
tahap adaptasi atau institusionalisasi (point 6).
Dalam konteks ideologi dan strategi, gerakan massa juga muncul sebagai gerakan
perlawanan terhadap anti neoliberalisme global, seperti yang diwacanakan oleh Coen
Husain Pontoh dalam bukunya “Gerakan Massa Menghadang Imperialisme Global”. Ia
memandang bahwa salah satu ciri khas gerakan anti-neoliberalisme adalah kesadaran
mereka untuk memaksimalkan jaringan internasional, sebab dampak neoliberalisme sudah
demikian mengglobal sehingga relatif mudah bagi mereka untuk mengidentifikasi masalah
dan kesamaan dalam agenda perlawanan mereka. Menurut Pontoh, ada lima karakter yang
dimiliki oleh gerakan massa yang sukses, yakni perlawanan terhadap neoliberalisme,
perjuangan politik, berbasis massa, demokrasi partisipatoris, dan program yang konkret.
Kelima faktor ini telah hadir di gerakan massa di Brasil, Venezuela, Argentina, dan Korea.
Berdasarkan kerangka teoritis tersebut, kecenderungan peningkatan intensitas
radikalisme gerakan massa dalam kotenks wilayah NTB menurut hemat penulis telah
dilandasi oleh sebuah pilihan ideologis dan strategi gerakan yang beberapa diantaranya

cukup terkonsolidir dengan kuat. Untuk menganalisa apakah gerakan massa tersebut
memiliki landasan ideologis atau tidak, terdapat beberapa variabel yang dapat digunakan,
dintaranya latarbelakang dan motivasi keterlibatan aktor penggerak massa, wadah
perjuangan (kelompok) yang digunakan dalam mengorganisir massa, isu ataupun sloganslogan dalam melakukan aksi, serta sponsor yang terlibat atau mendukung aksi tersebut.
Sponsor yang dimaksud adalah pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam gerakan
tersebut yang saling memanfaatkan antara kelompok gerakan dengan kepentingan yang
ingin dicapainya. Hal ini dapat diamati dari beberapa kasus gerakan massa yang menonjol
di wilayah NTB, hususnya gerakan radikalisme massa yang melahirkan tindakan-tindakan
kekerasan, pengrusakan (anarkisme), maupun bentrok dengan aparat keamanan. Dalam
gerakan massa tersebut juga menggunakan strategi dan taktik dalam memobilisasi massa
di tengah masyarakat untuk memperjuangkan aspirasinya menuntut perubahan, bahkan
mengkritisi atau “melawan” kebijakan pemeritah yang dinilai tidak pro terhadap rakyat.
Dari sisi substansi atau isu yang diusung, gerakan massa di NTB juga cenderung
dilakukan sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap berbagai permasalahan sosial, politik
dan ekonomi, lemahnya supremasi penegakan hukum, lemahnya fungsi legislatif dalam

menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyat, menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap sikap dan perilaku aparat penegak hukum, hilangnya kewibawaan pemerintah
daerah di tengah masyarakat, pudarnya kharisma tokoh masyarakat/tokoh agama, dan
diperparah dengan rendahnya SDM dan kesadaran hukum di tengah masyarakat. Hal ini

juga tidak terlepas dari pengaruh berkembangnya pemahaman hak-hak sipil dan politik
masyarakat tentang kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan menyampaikan
pendapat, maupun kebebasan mendapatkan hak-hak politik dan ekonomi yang didukung
oleh undang-undang.
Keterlibatan para aktor dan tokoh-tokoh penggerak yang terlibat dalam gerakan
massa (terkonsolidir dengan baik dan kuat), baik dari LSM maupun kelompok pergerakan
mahasiswa, sangat mempengaruhi kekuatan pola dan strategi mobilisasi massa.
Kecenderungan gerakan ini digunakan oleh kelompok pergerakan yang berbasis ideologis
“Sosialis Kiri Baru” (dalam istilah ideologi gerakan disebut sebagai “New Left Socialis”
yang telah berkembang di negara-negara berkembang, khususnya Amerika Latin yang
mengandalkan pada kekuatan aktor mengkonsolidr massa, sebagai simbol perlawanan
terhadap hegemoni neo liberalisme dan kapitalisme. Pola gerakan ini juga cenderung
memanfaatkan masyarakat yang dinilai menjadi korban pembangunan atau kebijakan
pemerintah dengan melakukan propaganda-propaganda di tengah masyarakat yang
dimulai dengan kegiatan advokasi dan pendampingan, kemudian melakukan aksi-aksi
protes secara berkelanjutan dengan mambangun isu-isu yang merugikan masyarakat dan
lingkungan, membentuk front-front perjuangan dengan membangun koalisi gerakan
dengan kelompok lainnya yang melibatkan aktivis gerakan, tokoh-tokoh pemuda dan
tokoh masyarakat lokal untuk memobilisasi massa melalui kongres atau rapat akbar, yang
pada akhirnya menyusun strategi gerakan perlawanan yang dapat menarik simpatik dan

dukungan massa. Jika posisi kekuatan massa dalam kelompok gerakan lebih kuat dari
kelompok status quo, maka jalan yang akan ditempuh adalah komprontasi atau
perlawanan dengan kekerasan, seperti menduduki tempat-tempat vital pemerintahan,
fasilitas umum, maupun pemblokiran terhadap infrastruktur yang dapat memancing emosi
massa untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan agar tujuan dan aspirasinya
terpenuhi. Namun jika posisi kelompok “status quo” lebih besar dari kekuatan massa
gerakan, maka jalan yang ditempuh adalah konsensus atau negosiasi.
Selain itu, kelompok gerakan tersebut cenderung memanfaatkan konflik dan kemelut
politik yang terjadi didaerah setempat dengan melakukan pendekatan kepada elit-elit
politik yang memiliki unsur kekecewaan atau ketidakpuasan yang dijiadikan sebagai
sponsor gerakan baik lokal maupun nasional yang juga memiliki nuansa politik. Oleh
karena itu, beberapa kejadian radikalisme gerakan massa di NTB disinyalir tidak terlepas
dari kolaborasi kepentingan kelompok gerakan massa dengan kepentingan elit politik
untuk mencapai tujuannya masing-masing dengan menjadikan masyarakat atau rakyat
sebagai objek (korban) alat gerakan atas nama “perubahan dan keadilan sosial”.
Jika dilihat dari lokus dan sasaran mobilisasi massa, maka dalam perkembangan
radikalisme gerakan massa di wilayah NTB saat ini telah masuk ke wilayah-wilayah
pedesaan dengan mengusung isu-isu lingkungan, pertambangan, konflik agraria,
permasalahan yang dihadapi oleh petani, kaum buruh, dan kaum miskin untuk bersamasama memperjuangkan peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial maupun melawan
kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, tetapi dinilai lebih berpihak kepada

kepentingan asing dan kapitalisme pemilik modal, melalui kegiatan advokasi dan

pendampingan, meksipun lebih cenderung provokatif dari pada “pemberdayaan” atau
pencerahan masyarakat.
Potensi Ancaman dan Solusinya
Meningkatnya intensitas radikalisme gerakan massa di wilayah NTB menimbulkan
kecenderungan dan potensi ancaman, bukan hanya terhadap stabilitas keamanan dan
menghambat konsolidasi demokrasi di Indonesia, tetapi juga menghambat pembangunan
di daerah dalam berbagai sektor. Selain itu, potensi ancaman dan kerawanan kemungkinan
muncul di tengah meningkatnya gelombang aksi-aksi protes, tindakan anarkis dan
kekerasan masyarakat sebagai wujud dari radikalisme gerakan massa di NTB, antara lain :
Pertama, melemahnya kekuatan supremasi hukum di tengah masyarakat sebagai
salah satu alat penyelesaian masalah di tengah masyarakat, akibat dari ketidakmampuan
aparat penegak hukum untuk menindak tegas para pelaku anarkisme massa. Kedua,
berkolaborasinya kepentingan kelompok pergerakan dengan kepentingan elit-elit politik
dalam rangka mencapai tujuan politiknya dengan memanfaatkan rakyat sebagai basis dan
alat perjuangan yang mengusung slogan “perubahan” yang cederung mengorbankan
rakyat itu sendiri, mengingat situasi politik nasional maupun lokal akhir-akhir ini semakin
memanas ditandai dengan pertarungan kepentingan politik menjelang Pemilu 2014,
bahkan secara lokal menjelang Pemilukada secara serentak pada 13 Mei 2013, yakni

Pemilukada Gubernur NTB, Pemilukada Kab. Lombok Timur, dan Pemilukada Kota
Bima. Beberapa kasus menonjol di wilayah NTB saat ini sangat menarik dijadikan sebagai
isu politik menjelang momentum tersebut untuk dijadikan strategi pengumpulan basis
massa oleh Partai Politik maupun elit-elit berkepentingan lainnya. Ketiga, radikalisme
gerakan massa tersebut juga berpotensi terjadi dan berkembang luas dalam konteks relasi
Suku, Agama, dan Ras akibat kegagalan akulutrasi budaya dan adanya keteganganketengan struktural (Sosial, politik dan ekonomi) yang dipicu oleh instrumen SARA
sehingga mengancam terjadinya disintegrasi sosial.
Berdasarkan pola, strategi, isu dan permasalahan, serta kepentingan aktor dan
jaringan penggeraknya, fenomena radikalisme gerakan massa akan terus memicu letupanletupan yang bersifat “Bom Waktu” di tengah masyarakat, baik dalam menyelesaikan
setiap permasalahan maupun menjadikan alat perjuangan untuk memperjuangkan hak-hak
masyarakat. Fenomena ini juga diperkirakan masih berkembang dan berlanjut sepanjang
tahun 2012, mengingat beberapa permasalahan yang terjadi selama tahun 2011 hingga saat
ini belum terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan kecerdasan dan
kecermatan, serta tanggung jawab dari berbagai komponen masyarakat, pemerintah dan
legislatif, serta aparat keamanan untuk membangun komunikasi yang efektif dan
responsif, serta peka terhadap berbagai gejolak dan aksi-aksi protes yang berkembang di
tengah masyarakat dengan sigap dan tangkas menyelesaikan akar permasalahan yang ada,
bukan hanya penyelesaian secara formalitas, birokratis dan normatif dipermukaan, tetapi
juga penyelesaian melalui pendekatan-pendekatan kultural dengan merangkul dan
memberikan perhatian penuh kepada kepentingan masyarakat.

Wallahua’lam bissawab.
Mataram, 17 Pebruari 2012