Peran Partai Politik Lokal sebagai Pengu

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebebasan berfikir, berpendapat, berserikat sebagai warga negara Indonesia sudah
dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28. Cara mengutarakan pendapat dan beraspirasi dalam
negara demokrasi layaknya Indonesia adalah dengan menggunakan partai politik
sebagai kendaraan politik untuk mencapai tujuan negara yang demokratis dalam
mengeluarkan aspirasi rakyat Indonesia. Partai Politik adalah sarana untuk menyalurkan
aspirasi masyarakat dan untuk mendapatkan posisi/kedudukan yang di inginkan. Hal ini
sejalan dengan pendapat Rudianto dan Sudjijono (2003:7) yang secara umum
mendefinisikan bahwa partai politik adalah suatu institusi (kelembagaan) sosial yang
terorganisasi, tempat keberadaan orang-orang atau golongan-golongan yang
sepandangan (sealiran) politik, berusaha untuk memperoleh serta menggunakan dan
mempertahankan kekuasaan politik supaya dapat mempengaruhi kebijakan umum
(mengikat masyarakat) dalam kehidupan kenegaraan. Tatanan politik lokal sudah
sejatinya digunakan sebagai alat demokrasi di Indonesia dalam upaya pembelajaran,
pendewasaan dan pendidikan politik dalam beraspirasi yang bertujuan untuk
mewujudkan cita-cita bangsa.
Demokrasi yang telah lama ada di Indonesia dalam kenyataannya tidak dapat
dirasakan oleh masyarakat Aceh. Hal tersebut dikarenakan adanya eksploitasi terhadap
sumber daya alam Aceh yang dilakukan pada rezim Orde Baru yang tidak berkeadilan

dan tanpa memperhatikan keseimbangan pertumbuhan ekonomi antara pusat dan daerah
hal tersebut yang menyebabkan terjadinya konflik antara Pemerintah Indonesia dengan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam menyelesaikan konflik ini maka disepakati
Penandatangan MoU (Memorendum of Understanding) antara pemerintahan Indonesia
dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki. Memorendum of
Understanding (MoU) Helsinki antara pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan
Pemerintah Republik Indonesia (RI) memberikan jalan baru menuju terbukanya gerbang
demokratisasi politik. Implementasi MoU Helsinki yang melahirkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah Nomor 20
Tahun 2007 Tentang Partai Politik Lokal. Hal ini yang kemudian menjadi landasan awal
terbentuknya Partai Politik Lokal di Aceh.
Keberadaan partai politik lokal merupakan bagian dari aspirasi daerah untuk
menggiring partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik serta menjadi bukti
perkembangan demokrasi di Indonesia. Partisipasi politik merupakan kegiatan
seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik,
antara lain dengan jalan memilih pemimpin negara dan sevara langsung atau tidak
langsung memengaruhi kebijakan pemerintah (Budiarjo, 2009:367). Saat ini partisipasi
politik masyarakat (rakyat) dalam partai politik telah menurun hal itu dikarenakan
kurangnya rekrutmen politik yakni proses penerimaan anggota baru yang dilakukan
oleh partai politik pada saat ini, belum lagi kurangnya pendidikan politik yang diberikan

partai politik kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak terlalu terlibat dan
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan partai politik bahkan masyarakat enggan terlibat
sebagai pengurus partai politik, apalagi pada saat ini partai politik hanya bisa
memberikan janji-janji kepada masyarakat dan itu membuat sebagian anggota
masyarakat tidak akan mau terlibat dalam partai politik yang pada akhirnya mereka
harus ikut membohongi masyarakat bersama partai politiknya.
Pembentukan Partai Politik Lokal sebagai Penguat Demokrasi Lokal di Aceh| 1

Oleh karena itu, dengan terbentuknya Partai Politik Lokal di Aceh diharapkan
mampu mengembangkan partisipasi masyarakat Aceh. Partai Lokal Aceh merupakan
bentuk representasi atau perwakilan dari masyarakat Aceh yang bertujuan meningkatkan
partisipasi politik masyarakat Aceh dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah
dan memperjuangkan cita-cita partai politik lokal dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara sesuai kekhususan dan keistimewaan Aceh. Selain itu, dengan
terbentuknya partai politik lokal dapat menciptakan demokrasi lokal sehingga
masyarakat di daerah juga memiliki hak-hak sipil dan politik. Partai politik lokal
mampu menjadi sarana untuk penyampaian aspirasi politik masyarakat karena lebih
leluasa dalam menunjukkan sikap politiknya. Masyarakat Aceh meyakini bahwa apa
yang menjadi keinginan mereka akan lebih di dengar dengan adanya partai politik lokal
Aceh, hal itu dikarenakan partai politik lokal lebih dekat dengan masyarakat serta

pihak-pihak yang berada didalam partai politik Aceh adalah masyarakat Aceh sendiri
sehingga mereka akan lebih memahami kebutuhan masyarakat Aceh.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas dan menelaah lebih
jauh mengenai partai politik local Aceh dengan mengangkat judul makalah
“Pembentukan Partai Politik Lokal sebagai Penguat Demokrasi Lokal di Aceh”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya dapat ditarik
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pembentukan partai politik lokal di Aceh?
2. Bagaimana bentuk penguatan demokrasi lokal dengan adanya pembentukan partai
politik lokal di Aceh?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah “Pembentukan Partai Politik Lokal sebagai
Penguat Demokrasi Lokal di Aceh” adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pembentukan partai politik lokal di Aceh
2. Untuk mengetahui bentuk penguatan demokrasi lokal dengan adanya pembentukan
partai politik lokal di Aceh

Pembentukan Partai Politik Lokal sebagai Penguat Demokrasi Lokal di Aceh| 2


BAB II
DESKRIPSI KASUS
Aceh merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia dengan sumber daya
alam yang dimilikinya namun juga memiliki sejarah panjang konflik vertikal dengan
pemerintah pusat RI. Eksploitasi terhadap sumber daya alam Aceh yang dilakukan pada
rezim Orde Baru yang tidak berkeadilan dan tanpa memperhatikan keseimbangan
pertumbuhan ekonomi antara pusat dan daerah menjadi penyebab utama konflik yang
berlangsung hampir selama 30 tahun tersebut. Akibat dari ketidakadilan pemerintah
pusat tersebut, konflik tidak hanya mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang jauh
lebih rendah dari rata-rata nasional, akan tetapi juga menghambat capaian-capaian
pembangunan, seperti pelayanan pendidikan dan kesehatan yang sangat terbatas.
Bahkan dengan kekayaan sumber daya yang dimiliki, produksi minyak bumi pada tahun
1970-1980 mencapai 1.3 miliar dolar Amerika tidak mampu mengangkat derita
masyarakat Aceh sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia (Pane, 2001). Itulah
yang menyebabkan muncul Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang merupakan gerakan
separatis.
MoU Helsinki merupakan tonggak sejarah resolusi konflik Aceh.
Penandatanganan nota kesepahaman perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
dan Pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005 memberikan harapan baru bagi
masyarakat Aceh yang sejahtera dalam perdamaian. Salah satu mandat dari nota

kesepahaman ini adalah pembentukan partai politik lokal yang melahirkan Undang
Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA) dan Peraturan
Pemerintah Nomor 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh yang
memberikan kesempatan lebih luas bagi masyarakat Aceh dalam mengelola
pemerintahan sendiri, pengelolaan sumber daya alam, ekonomi dan politik.
Pembentukan partai lokal merupakan wujud dari kesempatan luas bagi Aceh
dalam mengelola pemerintahannya sendiri. Wujud positif nyata dari adanya partai
politik lokal di Aceh bisa dilihat dari Laporan Badan Perencanaan dan Pembangunan
Nasional (dalam SICD:2010) yang menyebutkan bahwa kondisi politik, keamananan,
dan perdamaian di Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) menunjukkan keadaan yang
semakin baik. Sejak terselenggaranya pilkada di Provinsi NAD pada akhir 2006. Dunia
internasional pun tidak memiliki keluhan-keluhan yang berarti mengenai cara-cara
pemerintah menangani persoalan Aceh pasca menandatanganan MoU antara pemerintah
dan gerakan separatis Aceh pada tanggal 15 Agustus 2005 lalu. Selain meningkatnya
kesejaheraan masyarakat pasca penandatanganan MoU Helsinki tersebut, tingkat
demokrasi di Aceh juga meningkat. Hal itu bisa dilihat dari meningkatnya partisipasi
politik masyarakatya setelah dibentuk partai politik lokal. Keberadaan partai politik
lokal merupakan salah satu bukti berjalannya demokrasi lokal di Aceh.

Pembentukan Partai Politik Lokal sebagai Penguat Demokrasi Lokal di Aceh| 3


BAB III
KAJIAN TEORI
A. Partai Politik
Partai politik sebagai wujud dari partisipasi politik merupakan pilar yang
sangat penting untuk memperkuat derajat pelembagaan, dan memainkan perannya
sebagai penghubung antara proses pemerintahan dan warga negaranya. Schattscheider
(dalam Asshiddiqie, 2010:403) mengemukakan bahwa political parties created
democracy, partai politik menentukan demokrasi.
Menurut Budiharjo (1998) partai politik adalah suatu kelompok yang
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai, dan cita-cita yang
sama. Sedangkan Carl J. Friedrich (dalam Haryanto, 1984) mendefinisikan partai politik
sebagai kelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan
berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan bersifat
idiil maupun material.
UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik pada Pasal 1 Ayat (1)
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Partai Politik adalah organisasi yang bersifat
nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas
dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela

kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara
keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
1. Teori Asal-usul Pembentukan Partai Politik
Menurut Ramlan Surbakti dalam buku Memahami Ilmu Politik (2010:144146), mengemukakan bahwasannya ada tiga teori tentang asal-usul pembentukan
suatu partai politik, yaitu:
a. Teori Kelembagaan
Teori ini mengatakan bahwa partai politik ada karena di bentuk oleh kalangan
legislatif (dan atau eksekutif) karena kedua anggota lembaga tersebut ingin
mengadakan kontak dengan masyarakat sehubung dengan pengangkatannya,
agar tercipta hubungan dan memperoleh dukungan dari masyarakat maka
terbentuklah partai politik. Ketika partai politik bentukan pemerintah dianggap
tidak bisa menampung lagi aspirasi masyarakat, maka pemimpin kecil
masyarakat berusaha membentuk partai-partai lain.
b. Teori Situasi Historis
Teori ini menjelaskan tentang krisis situasi historis yang terjadi manakala suatu
sistem politik mengalami masa transisi karena perubahan masyarakat dari
struktur masyarakat tradisional kearah struktur masyarakat modern. Pada situasi
ini terjadi berbagai perubahan yang menimbulkan tiga macam krisis, yakni
legitimasi, integrasi dan partisipasi. Partai politik lahir sebagai upaya dari sistem

politik mengatasi krisis yang terjadi. Partai politik diharapkan dapat berakar kuat
dalam masyarakat untuk dapat mengendalikan pemerintahan sehingga terbentuk
pola hubungan yang berlegitimasi antara pemerintah dan masyarakat.
Terbukanya partai bagi setiap anggota masyarakat dari berbagai golongan

Pembentukan Partai Politik Lokal sebagai Penguat Demokrasi Lokal di Aceh| 4

mengharapkan partai politik dapat menjadi alat integrasi bangsa. Dengan adanya
partai politik juga masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum.
c. Teori Pembangunan
Menurut teori ini partai politik lahir sebagai akibat dari adanya proses
modernisasi sosial-ekonomi, seperti pembangunan teknologi komunikasi berupa
media massa dan transportasi, perluasan dan peningkatan pendidikan,
industrialisasi, urbanisasi, perluasan kekuasaan negara seperti birokratisasi,
pembentukan berbagai kelompok kepentingan dan organisasi profesi, dan
peningkatan kemampuan individu yang mempengaruhi lingkungan, melahirkan
suatu kebutuhan akan suatu organisasi politik yang mampu memadukan dan
memperjuangkan berbagai aspirasi tersebut. Maka lahirlah partai politik, dengan
harapan agar organisasi politik tersebut mampu memadukan dan
memperjuangkan berbagai aspirasi yang ada.

Menurut J. Kristiadi(2005), timbulnya partai politik lokal setidaknya berkaitan
erat dengan dua alasan yaitu pertama, masyarakat Indonesia yang beragam dengan
wilayah yang amat luas harus mempunyai instrumen politik yang benar-benar dapat
menampung seluruh aspirasi masyarakat daerah. Partai politik berskala nasional
tidak akan dapat menampung dan mengagregasikan kepentingan masyarakat di
daerah yang beragam. Kedua, dengan diselenggarakannya pemilihan kepala daerah
langsung, seharusnya masyarakat di daerah diberi kesempatan membentuk partai
lokal agar calon-calon kepala daerah benar-benar kandidat yang mereka kehendaki,
dan dianggap merupakan sosok yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat
daerah.
2. Partai Politik Lokal
Di Indonesia sejak terjadinya MoU Helsinki antara GAM dengan
Pemerintah RI muncul partai lokal yang keberadaannya hanya terbatas di daerah
saja. Ahmad Farhan Hamid(2006), yang dimaksud dengan partai lokal adalah partai
yang jaringannya terbatas pada suatu daerah (provinsi/negara bagian)atau
beberapadaerah, tetapi tidak mencakup semua provinsi(nasional). Menurut J.
Kristiadi, ada 2 alasan pokok munculnya partai politik lokal di Indonesia yaitu
pertama, masyarakat Indonesia yang beragam dengan wilayah yang amat luas harus
mempunyai instrumen politik yang benar-benar dapat menampung seluruh aspirasi
masyarakat daerah. Partai politik berskala nasional tidak akan dapat menampung dan

mengagregasikan kepentingan masyarakat di daerah yang beragam. Kedua, dengan
diselenggarakannya pemilihan kepala daerah langsung, seharusnya masyarakat di
daerah diberi kesempatan membentuk partai lokal agar calon-calon kepala daerah
benar-benar kandidat yang mereka kehendaki, dan dianggap merupakan sosok yang
tanggap terhadap kebutuhan masyarakat daerah.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 20 Tahun 2007
Tentang Partai Politik Lokal di Aceh, yang dimaksud dengan Partai politik lokal
adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia
yang berdomisili di Aceh secara sukarela atas persamaan kehendak dan citacita untuk
memperjuangkan kepentingan, anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) / Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupten/Kota (DPRK), Gubernur dan wakil Gubernur, serta Bupati dan Wakil
Bupati / Walikota dan Wakil Walikota). Menurut Jeo Garecht, partai lokal yang hanya
berkonsentrasi pada kepentingan lokal sudah tentu tidak berharap aspirasinya
Pembentukan Partai Politik Lokal sebagai Penguat Demokrasi Lokal di Aceh| 5

diterima dalam lingkup nasional. Artinya partai lokal telah siap dengan konsekuensi
bahwa ruang lingkup partainya hanya ada pada wilayah lokal.

Pembentukan Partai Politik Lokal sebagai Penguat Demokrasi Lokal di Aceh| 6


B. Landasan Yuridis Pembentukan Partai Politik Lokal di Aceh
Pentingnya peranan partai politik sudah selayaknya jika diperlukan sebuah
peraturan perundang-undangan mengenai partai politik. Peraturan perundang-undangan
ini diharapkan mampu menjamin pertumbuhan partai politik yang baik, sehat, efektif
dan fungsional. Hal itu berlaku dalam pendirian partai politik lokal yang ada di Aceh.
Secara konstitusi dulunya memang tidak ada yang mengatur secara resmi pembentukan
partai politik lokal. Namun dengan adanya MoU Helsinki yang menjadi langkah awal
terbentuknya partai lokal di Aceh, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 11
tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun
2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Hal itu bisa dilihat dalam UU Nomor 11
tahun 2006 pasal 75 ayat (1) yang berbunyi Penduduk di Aceh dapat membentuk partai
politik lokal. Dan dalam ayat (2) dijelaskan pula bahwa partai politik lokal didirikan dan
dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 orang Warga Negara Republik Indonesia yang
telah berusia 21 tahun dan telah berdomisili tetap di Aceh dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Pembentukan partai politik lokal di Aceh memiliki tujuan umum dan tujuan
khusus. Adapun tujuan umum dari dibentuknya partai lokal yang tertuang dalam UU 11
tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 78 ayat (1) yaitu:
a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
c. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Aceh.
Sedangkan tujuan khusus pembentukan partai politik lokal yang tertuang dalam
ayat (2) yaitu:
a. meningkatkan partisipasi politik masyarakat Aceh dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah; dan
b. memperjuangkan cita-cita partai politik lokal dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara sesuai kekhususan dan keistimewaan Aceh.
Pembentukan partai politik lokal di Aceh diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 20 tahun 2007 pasal 2 yaitu:
Ayat (1)
Partai politik lokal di Aceh yang telah memenuhi persyaratan pendirian dan
pembentukan harus didaftarkan pada dan disahkan sebagai badan hukum oleh
Kepala Kantor Wilayah Departemen di Aceh.
Ayat (2)
Partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan berkas
yang dipersyaratkan untuk pendaftaran partai politik dan pengesahan badan
hukum dengan surat pengantar dari pimpinan partai politik lokal kepada Kepala
Kantor Wilayah Departemen di Aceh dengan menyertakan:
a. akta notaris pendirian partai politik lokal yang memuat anggaran dasar,
anggaran rumah tangga, dan susunan kepengurusannya;
b. nama, lambang, dan tanda gambar; dan
c. alamat kantor tetap partai politik lokal.
Ayat (3)
Partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
kepengurusan paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota
Pembentukan Partai Politik Lokal sebagai Penguat Demokrasi Lokal di Aceh| 7

di Aceh dan 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap
kabupaten/kota yang bersangkutan, dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen).
Dan untuk kepengurusan partai politik lokal dalam PP tentang Partai Politik
Lokal di Aceh pasal 7 ayat (1) dijelaskan bahwa kepengurusan partai politik lokal
berkedudukan di Ibukota Provinsi Aceh. Dan untuk kepengurusan partai politik lokal
dalam ayat (3) dijelaskan bahwa kepengurusan di setiap tingkatan dipilih secara
demokratis melalui forum musyawarah partai politik lokal sesuai dengan anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga.
C. Konsep Demokrasi Lokal
1. Pengertian
Demokrasi ialah sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari
Bahasa Inggris democracy yang diserap dari dua kata bahasa Yunani demos dan
kratos atau kratein. Demos berarti rakyat sedangkan kratos berarti kekuasaan.
Budiharjo (1992:50) mendefinisikan demokrasi rakyat berkuasa atau ‘rule by the
people”. Sedangkan menurt Hornby (1992) demokrasi adalah negara yang
mempunyai prinsip pemerintahan yang ditandai oleh adanya partisipasi warga
negara yang sudah dewasa dalam memilih wakil rakyat. Negara menjamin
kemerdekaan berbicara, beragama, berpendapat, berserikat dan menegakkan rule
of law.
Dengan berkembangnya jaman pengertian demokrasi tidaklah terlalu sempit
yang mana hanya mengacu pada adanya partisipasi dari masyarakat. Namun kini
muncul perkembangan demokrasi, salah satunya adalah demokrasi lokal. Gellner
& Hachhethu (dalam Sisk, 2002:14) memaparkan demokrasi lokal sebagai sebuah
proses dan sekaligus sebuah nilai dalam kehidupan sosial masyarakat. Gambaran
demokrasi sebagai sebuah proses dan nilai ini sebenarnya bisa dilihat dalam
kepemerintahan (governance) yang tidak hanya terkait dengan negara, tetapi juga
kewujudan masyarakat lokal.
Menurut Sisk (2002:14) hal terpenting yang memaknai terselenggaranya
pemerintahan lokal yang demokratis adalah konsep pemerintahan yang otonom
(self-government) serta pemerintahan yang paling menyentuh masyarakat
Gagasan terpentingnya adalah penduduk suatu wilayah harus mendapatkan hak
dan tanggung jawab untuk membuat keputusan menyangkut isu-isu yang langsung
mempengaruhi kehidupan mereka dan yang untuk itu mereka mampu mengambil
keputusan. Dengan demikian, akan terjalinlah hubungan yang kuat antara
demokrasi lokal dengan pemerintahan lokal. Praktik demokrasi lokal akan
memperkuat penyelenggaraan pemerintahan lokal yang efektif, efisien dan
responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
2. Indikator Demokrasi Lokal
Menurut Sisk dalam bukunya yang berjudul Demokrasi di Tingkat Lokal
(2002:15-16) terdapat empat indikator terciptanya suatu demokrasi lokal, yaitu:
a) Kewarganegaraan dan masyarakat. Peran serta masyarakat lokal
sesungguhnya adalah fondasi utama dalam gagasan modern mengenai
kewarganegaraan, sebab lembaga-lembaga masyarakat yang ada beserta
segala proses pengambilan keputusannya memungkinkan terwujudnya praktik
demokrasi yang lebih langsung, yang di dalamnya suara individu dapat
didengar dengan lebih mudah.
Pembentukan Partai Politik Lokal sebagai Penguat Demokrasi Lokal di Aceh| 8

b) Musyawarah. Demokrasi bukanlah semata berarti pemilu. Di dalamnya
terkandung unsur-unsur penting seperti dialog, debat, dan diskusi yang
bermakna, yang muaranya adalah mencari solusi bagi segala masalah yang
timbul di dalam masyarakat. Perundingan atau musyawarah juga bukan
sekadar mendengar dan menampung keluhan warga. Demokrasi berdasar
musyawarah pasti melibatkan dialog yang bersifat saling memberi dan
menerima antarkelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat tentang
keputusan-keputusan terpenting dan tindakan-tindakan yang mereka hadapi
dan tanggung bersama-sama.
c) Pendidikan politik. Demokrasi lokal akan memberi fasilitas bagi proses
.pendidikan politik. Maksudnya, peran serta warga masyarakat
memungkinkan setiap individu memperoleh informasi mengenai semua
urusan dan masalah di masyarakat, yang, jika tidak, hanya diketahui oleh
pejabat terpilih atau para profesional pemerintahan di kantor walikota.
Penduduk yang terdidik dan memiliki informasi akan membuat demokrasi .
yang berarti pengambilan keputusan oleh rakyat . semakin mungkin dan
efektif. Peran serta masyarakat berarti mengurangi jurang pemisah antara para
elite politik dan anggota masyarakat.
d) Pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial. John Stuart Mill dan para
pendukung paham demokrasi partisipatoris di tingkat lokal berpendapat
bahwa membuka keran bagi kebijakan dan kecerdasan masyarakat akan
mendukung terciptanya pemerintahan yang baik serta mendukung tercapainya
kesejahteraan sosial. Artinya, demokrasi cenderung meningkatkan hubungan
yang baik antarwarga, membangun masyarakat yang mandiri dan memiliki
semangat sosial.
Pembahasan mengenai makna demokrasi lokal juga harus
mempertimbangkan pula pengaruh-pengaruh kebudayaan terhadap cara orang
berpikir tentang demokrasi. Ada budaya yang memiliki tradisi berperan sertanya
warga masyarakatnya dalam proses politik, sementara ada pula yang
masyarakatnya acuh tidak acuh apakah pejabat suatu wilayah ditunjuk atau
dipilih.

Pembentukan Partai Politik Lokal sebagai Penguat Demokrasi Lokal di Aceh| 9

BAB IV
ANALISIS
A. Latar Belakang Pembentukan Partai Politik Lokal di Aceh
Pembentukan partai lokal di Aceh tidak lepas dari sejarah panjang penuh
konflik yang dimulai sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno hingga Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Mengutip dari buku Kedudukan Partai Politik Lokal
di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam karya driyartana (2010), konflik ini
bermula ketika pasca kemerdekaan Indonesia Pemerintah Pusat melakukan
peleburan terhadap Provinsi Aceh kedalam Provinsi Sumatera Utara yang
menyebabkan kekecewaan masyarakat Aceh yang pada akhirnya muncul gerakan
Darul Islam (DI/TII) pimpinan Tengku Daud Beureuh pada 1953. Gerakan tersebut
mendorong para tokoh masyarakat Aceh untuk bereaksi keras terhadap kebijakan
pusat sehingga muncul pemberontakan untuk memisahkan diri NKRI. Namun
konflik tersebut tidak berlangsung lama sehbungan dengan diberikannya status
istimewa dengan Keputusan Pemerintah SK No.1/Missi/1958 dengan otonomi luas
dalam bidang agama, adat dan pendidikan pada 1959.
Kedamaian di Aceh ternyata hanya berlangsung sementara karena pada
1977 kembali terjadi konflik dengan Pemerintah Pusat. Hal itu bermula saat
Presiden Soeharto mengeksploitasi Sumber Daya Alam Aceh dengan memberikan
kesepatan pada perusahaan multi nasional dari Amerika Serikat untuk membuka
industri besar di Aceh tepatnya di Arun pada 1970. Namun meskipun sumber daya
alam di Aceh dieksplor demikian besarnya, terjadi kesenjangan sosial.
Meningkatnya tigkat produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh pada 1970 an
hinggan 1980-an dengan nilai 1,3 miliar dolar Amerika tidak mampu memperbaiki
kehidupan sosial masyarakat Aceh. Hal itu dikarenakan hanya 1% Anggaran
Pendapatan Nasional yang didistribusikan kembali ke Aceh dari 14% kontribusi
Aceh terhadap GDP nasional (Pane, 2001). Sebab lainnya adalah kebijakan
pemerintah orde baru yang menerapkan sentralisme dan penyerahaman di struktur
pemerintahan lokal. Akibatnya semua daerah di Indonesia termasuk Aceh berstrutur
seperti pemerintahan lokal di Jawa dan kehilangan identitas mereka. Artinya
pemberian keistimewaan yang diberikan kepada Aceh adalah janji kosong belaka.
Dari beberapa konflik tersebutlah Hasan Tiro akhirnya mendirikan sebuah gerakan
separatis yang menginginkan Aceh keluar dari NKRI. Gerakan tersebut diberi nama
Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
GAM yang notabene anggoatanya pernah mengikuti latihan militer di Libya
melakukan gerilya di hutan-hutan dan melakukan serangkaian penyerangan
terhadap pos polisi dan militer di Pidie untuk merampas amunisi dan lusinan
senjata otomatis. Pelaksanaan DOM yang melibatkan puluhan batalion pasukan elit
untuk menangkap sekitar 5000 anggota GAM merupakan kampanye kontra
pemberontakan terbesar pada 1960. Perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh
GAM ini menjadi perhatian publik di tengah krisis multidimensi yang terjadi sejak
1977 merisaukan pemerintah lokal dan pemerintah pusat. Apalagi pertumbuhan
GAM ini cukup pesat dilihat dari jumlah anggota ataupun dari kepemimpinannya.
Berbagai penyelesaian telah coba dilakukan sejak pemerintahan transisi
masa BJ Habibie, Abdurrahman Wahid hingga Megawati Soekarnoputri namun
Pembentukan Partai Politik Lokal sebagai Penguat Demokrasi Lokal di Aceh| 10

tetap mengalami jalan buntu. Berbagai penyelesaian yang mengalami jalan buntu
membuat Presiden Megawati menggunakan kekuatan militer secara besar-besaran
dengan mengeluarkan Keppres Nomor 18 tahun 2003 pada 19 Mei 2003 yang
menyatakan bahwa Aceh berstatus Darurat Militer.
Pada tahun 2005 konflik antara GAM dengan Pemerintah Pusat sedikit
menemui titik terang. Presiden Susilo Bambang Yudhyono melakukan pendekatan
diplomasi dengan cara pembicara informal dengan pihak GAM yang difasilitasi
oleh Crisis Management Initiative (CMI) pada Januari hingga Agustus 2005.
Rangkaian pembicaraan yang dilakukan antara delegasi GAM dan Pemerintahan RI
yang dilakukan di Helsinki, Finladia a melahiran Nota Kesepahaman atau
Memorandum of Understanding (MoU) pada 15 Agustus 2005. Penandatangan
MoU Helsinki tersebut menjadi penanda berakhirnya konflik berkepanjangan di
Aceh antara Pemerintahan RI dengan GAM. Pasca penandatangan MoU tersebut
Aceh diberikan wewenang untuk dapat hidup mandiri, baik itu dibidang ekonomi
maupun politik dan hukum. Secara politik Aceh diberikan wewenang untuk
mendirikan partai politik lokal yang tercantum (dalam Nota Kesepahaman Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, 2005: 11-12) yakni :
Poin 1.2.1 Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak
penandatanganan nota kesepahaman ini, pemerintah RI
menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai
politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan
nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai
politik lokal, pemerintah RI dalam tempo satu tahun, atau paling
lambat 18 bulan sejak penandatangan nota kesepahaman ini,
akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian
partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan DPR.
Pelaksanaan kesepahaman ini yang tepat akan memberi
sumbangan positif bagi maksud tersebut.
Poin 1.2.2 Dengan penandatangan nota kesepahaman ini, rakyat Aceh akan
memiliki hak menentukan calon-calon untuk semua posisi pejabat
yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan april
2006 dan selanjutnya.
Poin 1.2.3 Pemilihan lokal yang bebas dan adil akan diselenggarakan
dibawah Undang-undang baru tenteng penyeleggaraan
pemerintahaan di Aceh untuk memiliki kepala pemerintahan Aceh
dan pejabat terpilih lainnya pada bulan April 2006 serta untuk
memilih anggota legeslatif pada tahun 2009.
MoU Helsinki memberikan jalan baru menuju terbukanya gerbang
demokratisasi politik implementasi MoU yang melahirkan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah Nomor 20
Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh, telah merubah kondisi Aceh.
Transisi politik terjadi dalam sistem politik pemerintahan yaitu munculnya
kompetisi antara partai politik nasional dan lokal serta elit politik dalam
mengkonstruksi masa depan Aceh selanjutnya yang lebih damai, aman dan
makmur. Hal ini yang kemudian menjadi landasan awal terbentuknya partai politik
lokal di Aceh. Partai Politik di Indonesia saat ini dapat dibagi dua yaitu partai
politik nasional dan partai politik lokal Aceh. Pada Pemilu tahun 2009 terdapat 6
parpol lokal Aceh yang ikut pemilihan yaitu Partai Aceh Aman Seujahtera (PAAS),
Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai
Rakyat Aceh (PRA), Partai Aceh, Partai Bersatu Aceh (PBA). Sedangkan pada
Pemilu tahun 2014 hanya terdapat 3 parpol lokal yang lolos untuk ikut pemilihan
Pembentukan Partai Politik Lokal sebagai Penguat Demokrasi Lokal di Aceh| 11

umum yaitu Partai Aceh (PA), Partai Nasional Aceh (PNA), dan Partai Damai Aceh
(PDA).
1. Analisis Pembentukan Partai Politik Lokal di Aceh
Kehadiran partai politik lokal di Aceh merupakan merupakan jawaban dari
konflik berkepanjangan yang terjadi antara GAM dengan Pemerintah Indonesia
yang diselesaikan melalui penandatanganan MoU Helsinki. Jika dilihat dari
pendapat Ramlan Surbakti (2010:144-146), pembentukan partai politik lokal di
Provinsi Aceh dilatarbelakangi oleh situasi historis. Dalam teori tersebut dijelaskan
bahwasannya terjadinya krisis legitimasi, integrasi dan partisipasi dapat
menyebabkan munculnya suatu partai politik lokal. Dan hadirnya partai lokal
tersebut sebagai upaya penyelesaian dari terjadinya krisis politik tersebut.
Gerakan separatis yang diusung oleh GAM akibat dari ketidakadilan yang
dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap masyarakat Aceh menimbulkan
disintegrasi. GAM menuntut untuk keluar dari wilayah NKRI dan ingin
memerdekakan daerahnya. Alasan utama dari tuntutan kemerdekaan itu adalah
bahwa meski Aceh itu sudah puluhan tahun menjadi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia, mereka bukan saja merasa nasibnya terabaikan, tetapi
mengalami penindasan oleh pemegang kekuasaan di pusat dengan adanya
eksplorasi SDA. Penggunaan senjata dan cara-cara militer yang digunakan oleh
GAM membuat Aceh tidak aman lagi karena hampir setiap hari terjadi aksi
bersenjata antara GAM dengan tentara Indonesia. Konflik berkepanjangan tersebut
akhirnya mampu dihentikan dengan adanya penandatanganan Mou Helsinki yang
mana dalam perjanjian tersebut diperoleh kesepakatan pembentukan partai politik
lokal di Aceh sebagai penampung aspirasi masyarakatnya. Dengan adanya partai
lokal tersebut konflik GAM dan pemerintah pusat yang memunculkan gerakan
separatis mampu diredam.
Pembentukan partai lokal di Aceh merupakan bentuk dispensasi hukum
karena pada dasarnya belum ada peraturan pemerintah atau undang-undang yang
memperbolehkan suatu daerah untuk membuat partai lokal. Dalam Pasal 3 Ayat (2)
UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol dijelaskan bahwa kepengurusan paling
sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh
perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan
25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota
pada daerah yang bersangkutan. Hal itulah yang tidak memungkinkannya
berdirinya partai lokal. Namun meskipun demikian bukan berarti pendirian partai
politik lokal di Aceh saat ini tidak memiliki dasar hukum. Ketentuan UUD 1945
Pasal 28E ayat (3), dapat dipahami sebagai suatu bentuk jaminan konstitusional
terhadap setiap warga negara untuk mewujudkan hak kebebasan berserikat dan
berkumpul, yang salah satunya adalah dengan membentuk partai politik. Di satu
sisi, dengan membaca ketentuan yang terdapat dalam Pasal 28E ayat (3), maka
tidak cukup kuat alasan untuk mengatakan bahwa UUD 1945 menutup
kemungkinan bagi kehadiran partai politik lokal. Namun di sisi lain, perlu diingat
bahwa Pasal 28 UUD 1945 juga mencantumkan kalimat “… ditetapkan dengan
undang-undang”.
Hasil dari MoU Helsinki yang menyatakan bahwa Pemerintah RI
memperbolehkan pembentukan partai politik lokal di Aceh dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pembahasan
Pembentukan Partai Politik Lokal sebagai Penguat Demokrasi Lokal di Aceh| 12

mengenai pembentukan partai lokal dalam UU tersebut terdapat pada Pasal 75 ayat
(1) yang berbunyi Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal. Dan
untuk pelaksanaan dari pasal tersebut maka dibentuklah Peraturan Pemerintah
Nomor 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal Aceh. Legitimasi pembentukan
partai politik lokal di Aceh secara yuridis sudah sangat kuat yaitu dengan
pertimbangan UUD 1945 Pasal 28 dan 18. Selain itu juga, pembentukan parpol
lokal tersebut tidak melanggar asas penyusunan peraturan perundang-undangan
yang terdapat dalam UU Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yaitu Lex Supriore derogate Leg Inferiori (hukum yang
kedudukannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan hukum diatasnya) dan
Lex specialis derogate lex general (hukum yang bersifat khusus dapat
menyampingkan hukum yang bersifat umum). Meskipun keberdaan PP No 20
Tahun 2007 itu telah mencederai UU No 2 tahun 2008 Tentang Partai Politik,
namun pembentukan partai politik tersebut juga berlandaskan pada produk hukum
tertinggi yakni UUD 1945 pasal 28 tetang kebebasan berkumpul dan 18B tentang
pengakuan negara terhadap kekhususan suatu Daerah. Dan pada asas yang kedua,
kedudukan UU No 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh bersifat khusus(lex
spesialis) sedangkan UU Nomor 2 tahun 2011 Tentang Partai Politik bersifat
umum.
B. Pembentukan Partai Politik Lokal Sebagi Penguat Demokrasi Lokal di Aceh
Konsep Demokrasi di Indonesia sudah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia.
Demokrasi juga tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar yang menjadi
dasar hukum di Indonesia. Namun dalam penerapannya, demokrasi di Indonesia belum
berjalan secara maksimal, hal itu dibuktikan dengan ketidakadilan yang dirasakan oleh
rakyat Aceh dalam hal ekonomi, pendidikan, dan kesehatan akibat eksploitasi sumber
daya alam Aceh yang dilakukan pada jaman Orde Baru. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya konflik antara pemerintah Indonesia dengan GAM (Gerakan Aceh merdeka).
Dalam menyelesaikan konflik tersebut di sepakati penandatanganan MoU
(Memorendum of Understanding) di Helsenki. Salah satu mandat dari nota
kesepahaman ini adalah pembentukan partai politik lokal.
Dengan adanya partai politik lokal merupakan salah satu bukti berjalannya
demokrasi lokal di Aceh. Istilah demokrasi lokal bermakna banyak, tergantung ruang
dan tempat, dan memang tidak ada satu pun konsep atau model yang bisa dianggap
sebagai perwujudan terbaik dari demokrasi. Namun terdapat pemahaman umum yang
menyatakan bahwa demokrasi mengharuskan adanya penghargaan sekaligus
perlindungan terhadap terhadap hak-hak sipil dan politik dan politik yang paling dasar.
Dengan demikian, jika dikaitkan demokrasi lokal, maka masyarakat di daerah juga
memilki hak-hak sipil dan politik salah satunya adalah dengan pembentukan partai
politik lokal. Adanya pemilukada sebagai bentuk demokrasi lokal sangat mendorong
dinamika dan perubahan kehidupan bermasyarakat yang terbuka di Aceh. Oleh karena
itu, kehadiran partai politik lokal diharapkan dapat menjadikan demokrasi lokal berjalan
dengan semestinya yang implementasinya bertujuan kepada kesejahteraan sosial yang
lebih baik. Sehingga wacana pemerintahan yang efisien dapat terlaksana sesuai dengan
amanat yang terkandung dalam MoU Helsinki.
Peran partai politik lokal dalam mendorong demokrasi di Aceh jika dilihat dari
konsep inti demokrasi lokal (Sisk, 2002: 15-16) adalah pertama, Kewarganegaraan dan
masyarakat. Peran serta masyarakat lokal sesungguhnya adalah fondasi utama dalam
Pembentukan Partai Politik Lokal sebagai Penguat Demokrasi Lokal di Aceh| 13

gagasan modern mengenai kewarganegaraan, sebab lembaga-lembaga masyarakat yang
ada beserta segala proses pengambilan keputusannya memungkinkan terwujudnya
praktik demokrasi yang lebih langsung, yang di dalamnya suara individu dapat didengar
dengan lebih mudah. Dalam hal ini, partai politik lokal berperan dalam mewadahi
gagasan-gagasan masyarakat yang kemudian disalurkan demi terpenuhinya kebutuhankebutuhan masyarakat. Kedua, musyawarah. Demokrasi bukanlah semata berarti
pemilu. Di dalamnya terkandung unsur-unsur penting seperti dialog, debat, dan diskusi
yang bermakna, yang muaranya adalah mencari solusi bagi segala masalah yang timbul
di dalam masyarakat. Perundingan atau musyawarah juga bukan sekadar mendengar dan
menampung keluhan warga. Sehingga dibutuhkan peranan partai politik lokal sebagai
fasilitator perundingan antara masyarakat dengan pemerintah, serta diharapkan hasil
musyawarah tersebut tidak hanya sekedar didengar namun juga dapat ditindaklanjuti
oleh pemerintah menjadi sebuah kebijakan-kebijakan yang dapat menjawab masalahmasalah yang terjadi masyarakat. Demokrasi berdasar musyawarah pasti melibatkan
dialog yang bersifat saling memberi dan menerima antar kelompok-kelompok
kepentingan dalam masyarakat tentang keputusan-keputusan terpenting dan tindakantindakan yang mereka hadapi dan ditanggung bersama-sama.
Ketiga, Pendidikan politik. Demokrasi lokal akan memberi fasilitas bagi proses
pendidikan politik. Maksudnya, peran serta warga masyarakat memungkinkan setiap
individu memperoleh informasi mengenai semua urusan dan masalah di masyarakat.
Pendidikan politik merupakan salah satu fungsi dasar partai politik, baik partai politik
lokal maupun partai politik nasional. Partai politik diharuskan dapat memberi
pemahaman kepada msyarakat mengenai isu-isu perkembangan politik di wilayahnya
agar masyarakat mengerti baik buruknya kebijkan yang diambil pemerintah. Pendidikan
politik juga tidak hanya terfokus hanya pada urusan pemerintahan, namun bagaimana
masyarakat disadarkan akan pentingnya kerukunan dan kerjasama dalam tatanan
kehidupan. Peran serta masyarakat memungkinkan setiap individu memperoleh
informasi mengenai semua urusan dan masalah di masyarakat.
Keempat, pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial. Pemerintah yang baik
akan tercipta dengan keberhasilan partai politik dalam menjalankan fungsi rekrutmen
politik. Rekruitmen politik untuk mengisi posisi-posisi strategis di daerah, akan makin
kuat legitimasinya apabila diperoleh dari seleksi yang dilakukan di sejumlah partai
politik lokal, dan hasil dari kontestasi pilkada. Dengan berbasis pada dukungan partai
politik lokal, seleksi kepemimpinan di wilayah yang bersangkutan akan lebih selektif
dan efektif. Hal ini dikarenakan partai politik lokal yang akan menyeleksi calon-calon
diasumsikan lebih tahu karakteristik dan potensi daerahnya. Sehingga dengan adanya
partai politik lokal, saringan terhadap potensi kepemimpinan daerah yang bersangkutan
akan lebih baik lagi. Pemimpin yang berintelektual dan bermoral tinggi, akan
menghasilkan pemerintah yang baik dan akan berdampak pada kesejahteraan sosial
masyarakat yang menjadi penanggung kebijkan yang telah diputuskan.
Partai politik lokal sendiri sebenarnya sudah menjadi jawaban atas segala
permasalahan yang terjadi di Aceh. Jika dilihat lebih lanjut, secara formal maupun
institusional partai politik lokal sudah memberikan gambaran dasar dalam menjalankan
demokrasi lokal di Aceh, hal itu dikarenakan partai politik lokal Aceh dapat
menciptakan hubungan emosional antara para kader dan konstituen yang terjalin lebih
dekat karena orang-orang yang mengisi kedudukan di partai politik lokal adalah rakyat
Aceh yang turut merasakan pahitnya saat terjadi konflik sehingga pemahaman para elit
partai tentang kebutuhan masyarakat dengan mudah akan segera diketahui dan akan
Pembentukan Partai Politik Lokal sebagai Penguat Demokrasi Lokal di Aceh| 14

segera direalisasikan walaupun untuk mencapai itu dibutuhkan waktu dan proses yang
lama agar dapat tercapai secara maksimal.

Pembentukan Partai Politik Lokal sebagai Penguat Demokrasi Lokal di Aceh| 15

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demokrasi adalah alat untuk menjinakkan separatisme. Demokrasi yang
berkembang selama ini di Indonesia adalah demokrasi yang sarat dengan akomodasi
politik. Setiap persoalan politik, semisal masalah disintegrasi dan pemberontakan,
akan menemukan muaranya dalam demokrasi. Seperti halnya dalam kasus konflik
ACEH (dalam hal ini adalah GAM) dengan pemerintah pusat RI. Ketidakadilan yang
disebabkan oleh pemerintah karena mengeksploitasi sumber daya alam Aceh secara
besar-besaran tanpa menghiraukan kesejahteraan masyarakat di Aceh yang pada
akhirnya menimbulkan gerakan separatis dari GAM untuk keluar dari wilayah
kesatuan NKRI. Penyelesaian dari konflik tersebut dimulai dengan penandataganan
MoU Helsinki antara delegasi pihak GAM dengan pemerintah RI. Dari MoU tersebut
diperoleh kesepakatan bahwa Aceh memiliki kewenangan untuk mendirikan partai
politik lokal sebagai penyalur aspirasi masyarakat Aceh yang kini mulai tidak
percaya dengan partai politik nasional.
Pembentukan partai lokal di Aceh pada tahun 2005 ternyata mampu
meningkatkan partisipasi politk masyarakat. Hal itu bisa dilihat dari hasi Pemilu
2009 yang menyatakan bahwa 49% dari kusi parlemen di DPRA dikuasai oleh dua
partai lokal Aceh. Masyarakat menaruh harapannya pada partai lokal untuk
meningkatkan kesejahteraan. Karena partai politik lokal lebih mengangkat isu-isu
lokal daripada partai nasional yang mengangkat isu nasional untuk dibawah ke
daerah. Hal itulah yang membuat kepercayaan masyarakat Aceh lebih cenderung
menjatuhkan pilihannya pada partai politik lokal ketimbang partai nasional.
B. Saran
Kehadiran partai politik lokal di Aceh sebagai suatu pencerahan bagi
kehidupan masyarakat Aceh yang menumbuhkan harapan-harapan baru bagi
masyarakat Aceh. Ada beberapa harapan yang diinginkan masyarakat Aceh yang
ingin diwujudkan melalui partai politik lokal. Diantara salah satu harapan tersebut
yaitu masyarakat Aceh menginginkan pemerintah dapat mewujudkan pemerataan
pembangunan di Indonesia khusunya untuk daerah Aceh. MAka mellaui partai
politik lokal tersebut diharapkan akan muncul pemimpin-pemimpin daerah yang
lebih memperhatikan pembangunan di Aceh baik pembangunan ekonomi, sosial,
politik dan budaya.

Pembentukan Partai Politik Lokal sebagai Penguat Demokrasi Lokal di Aceh| 16