Melawan Positivisme hukum interest keluasa
Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak
Volume III, Edisi No. 70, Tanggal 22 Maret 2009
Oleh: Giyanto
Melawan Positivisme
From science comes prevision, from prevision comes actions.
(Auguste Comte, The Positive Philosophy)
One of the fundamental conditions of man’s existence and action is the fact that he does
not know what will happen in the future
(Ludwig von Mises, Theory and History)
Apabila dilihat secara jeli, ada kesan bahwa ilmu pengetahuan sosial telah
menuju pada kematian.
Dalam banyak seminar dan diskusi, kadang terdengar keluhan bahwa ilmu
pengetahuan sosial telah tersub-ordinatkan oleh pengetahuan alam. Hal ini
memang disayangkan dan, bahkan, menurut saya, tidak terjadi secara
kebetulan. Keluhan tersebut sering timbul sebagai reaksi terhadap berbagai
kebijakan-kebijakan politik pendidikan ataupun kebijakan lain yang terkait
dengan kepentingan kebutuhan-kebutuhan praktis (misalnya dalam
“mencetak” tenaga-tenaga teknis terdidik).
Apakah benar landasan pemikiran di
balik kebijakan-kebijakan semacam
itu? Sejauh mana pengaruh ilmu
pengetahuan alam telah menyilaukan
para pakar ilmu sosial? Dan siapakah
yang
bertanggungjawab
atas
keyakinan
filosofis
dari
penyimpangan yang terjadi sekarang
ini?
Adalah Auguste Comte pihak yang
bertanggungjawab di sini. Comte
memberi kita visi tentang idealitas
keilmuwan; tentang ilusi keagungan
penerapan
prosedur
eksperimen
dalam penyelidikan sosial; tentang
mte)
pentingnya “memajukan” masyarakat untuk lepas dari belenggu pemikiran
teologis serta metafisis menuju masyarakat positif yang “ilmiah”.
Ironisnya, pandangan ini sekarang telah menjadi satu-satunya norma ilmiah–
sebuah norma yang tanpa pernah dipertanyakan, telah menjadi tradisi untuk
mengklaim diri paling ilmiah dan yang lain sebagai tidak ilmiah. Atas visi
yang keblalasan tersebut, cabang ilmu yang pada awalnya murni logika,
misalnya ekonomi dan ilmu sosial, telah ikut-ikutan mengadopsi visi
filosofis Auguste Comte. Setiap pernyataan atau proposisi, menurut klaim
positivis, tidak akan pernah dapat dibuktikan kebenarannya apabila tidak
melalui prosedur eksperimen yang empiris.
Monopoli terhadap klaim bahwa prosedur kaum positivistik sebagai satusatunya prosedur yang paling ilmiah merupakan satu bentuk kebebalan
akademik. Positivisme dalam ranah epistemologi mensyaratkan bahwa ilmu
tindakan manusia harus menerapkan prosedur yang sama seperti yang
dilakukan dalam ilmu alam.
Dalam ranah aliran psikologi, kaum positivis terjelma dalam aliran
behaviorisme, atau sering disebut neopositivisme. Dalam bidang budaya dia
muncul dalam kritik sastra serta kritik seni. Dalam bidang politik dia tampil
dengan pemberlakuan hukum positif dsb. Karena keterbatasan ruang serta
kemampuan, di sini saya akan menunjukkan beberapa kesalahan dari sudut
pandang epistemologi ilmu pengetahuan terhadap keyakinan-keyakinan
filosofis kaum positivis.
“Teori” Positivisme
Dalam The Positive Philosophy, tujuan utama Comte adalah menelaah
sejarah perkembangan ilmu serta menciptakan teori tentang tiga tahap
perkembangan masyarakat. Ia membagi perkembangan masyarakat ilmiah
menjadi tiga: tahap teologis, tahap metafisik dan tahap ‘ilmiah’ atau positif.
Dalam penafsirannya, penemuan ajaran Bacon, konsep Descrates dan
pandangan Galileo ialah salah satu bentuk semangat perkembangan
masyarakat positif dalam melawan sistem skolastik. Untuk itu Comte
mengajukan sebuah cabang ilmu yang, menurut dia, seharusnya memiliki
keteraturan yang sama seperti ilmu alam, ia menyebutnya fisika sosial
(Social Physics).
Alih-alih menelaah sifat manusia secara utuh, dalam karyanya Comte malah
lebih banyak mengulas Matematika, Astronomi, Statistik, Geometri, Fisika,
Kimia. Konon, menurut Comte, hal itu dimaksudkan untuk mencari
prasyarat bagi tahap-tahap menuju masyarakat positif. Di sini Comte cukup
“sukses”. Kita sekarang telah dibingungkan oleh ajaran Comte yang sesat.
Bagi Comte, masyarakat positif dikatakan dapat berhasil secara ilmiah
ketika para ilmuwan telah meninggalkan sesuatu yang a priori. Metode yang
paling tepat, menurut Comte, ialah pencarian hukum-hukum ilmu sosial
melalui eksperimen. Baginya hanya metode eksperimenlah yang dapat
mendekatkan kita pada objek observasional.
Prasyarat kedua, menurut Comte, dalam menuju masyarakat positif adalah
dengan menggantikan pendidikan teologi, metafisika dan sastra dengan
pendidikan filsafat positif. Comte mengartikan pendidikan positif sebagai
ajaran yang mendidik masyarakat agar persepsinya dapat sesuai dengan
objek faktual—dengan kata lain gagasan-gagasan abstrak serta fiksi
seharusnya ditiadakan. Dengan demikian ajaran-ajaran teologis, metafisik
dan sastra merupakan ajaran yang tidak sesuai dengan objek faktual. Jadi
keberadaan mereka perlu digantikan dengan ilmu-ilmu alamiah, atau dengan
kata lain hal-hal yang bukan fakta non-metafisis tidak bermakna apa-apa.
Sekali lagi, di sini Comte mengalami kesuksesan. Dan sekarang sistem
pendidikan kita melaksanakan dengan konsisten usulan ajaib dari Auguste
Comte!
Ketiga, bagi Comte, masyarakat ilmiah dalam menelaah ilmu sedapat
mungkin harus mampu mengombinasikan beberapa sudut pandang cabang
ilmu. Baginya, kombinasi dalam berperspektif sangatlah penting. Ia
mencontohkan bahwa kimia seharusnya dipadukan dengan fisiologi—seperti
kebodohan kita dalam mengubah manusia menjadi sekedar ilmu statistik
atau melihat trend-trend saat ini munculnya kajian ekonomi perilaku,
ekonomi fisika dsb. Kesalahan Comte di sini sangat fatal. Ia tidak menyadari
bahwa setiap cabang ilmu itu terkait cara berfikir. Setiap disiplin ilmu
memiliki logika formalnya sendiri-sendiri. Ada perbedaan antara yang ada
dalam pikiran dengan kenyataan luar.
Terakhir, masih menurut Comte, untuk mengatasi krisis masyarakat, hanya
pandangan filsafat positivisme-lah yang mampu mengatasi krisis sosial.
Dengan filsafat positif anarkisme intelektual, yang biasanya melewati jalan
rumit untuk diperdebatkan dalam mencari kebenaran, harus dilenyapkan.
Pandangan ini jelas-jelas memberi jalan panjang bagi kematian karya-karya
klasik. Bagi Comte, ide-ide masa lalu yang mengarah pada anarkis adalah
musuh keteraturan masyarakat. Anggapan tersebut jelas keliru. Musuh
keteraturan bukanlah anarkisme intelektual tetapi imoralitas perilaku.
Permasalahan Epistemologi Positivisme
Kesalahan Comte yang paling mendasar adalah memperlakukan setiap
fenomena seperti hukum ilmu alam—yaitu memiliki sifat yang tak berubah
serta beroperasi melalui sebab-sebab konstan. Dia menganalogikan setiap
fenomena harus mengikuti jalan yang sama bagi penemuan teori ilmu alam,
khususnya ilmu fisika. Ini kebodohan tingkat tinggi. Comte mengatakan:
The first characteristic of the Positive Philosophy is that it regards
all phenomena as subjected to invariable natural Laws. Our
business is,—seeing how vain is any research into what are called
cause, whether first or final,—to pursue an accurate discovery of
these Laws, with a view to reducing them to the smallest possible
number. By speculating upon cause, we could solve no difficulty
about origin and purpose. Our real business is to analyze
accurately the circumstance of phenomena, and to connect them by
natural relations of succession and resemblance. The best
illustration of this is in the case of the doctrine of Gravitation.[1]
Tujuan utama ilmuwan yang berpandangan positivis ialah mencari
keteraturan dari sebuah fenomena. Senjata pamungkasnya: statistik.
Alasannya, hanya statistiklah yang dapat menguji fenomena sosial layaknya
pengujian ilmu alam. Bagi kaum positivis, sebuah teori yang tidak dapat
diverifikasi atau difalsifikasi oleh pengalaman empiris—yang biasanya
melalui data statistik—tidak akan dapat dianggap sahih. Bahkan sebuah
pernyataan tanpa dukungan analisa statistik tidak bisa disebut “ilmiah”.
Dapat dipahami tentang penekanan penggunaan statistik dalam ilmu sosial
disebabkan oleh kesilauan ahli ilmu sosial terhadap prosedur induktif yang
digunakan dalam ilmu alam. Dengan prosedur induktif, para ahli ilmu sosial
berharap akan menemukan hukum-hukum sosial seperti layaknya hukum
fisika; sehingga penggunaan prosedur yang kaku, dengan berbagai varian
metodologi kuantitatifnya, telah berhasil membuat sebagian besar akademisi
kita sudah merasa “paling ilmiah”.
Doktrin tersebut, tidak dapat dipungkiri, menyiratkan pandangan yang
kacau. Statistik tidak menggambarkan keteraturan. Dia hanya sebuah
kumpulan kejadian-kejadian yang beragam, yang kemudian direduksikan
menjadi angka-angka. Dengan demikian, kejadian-kejadian tersebut
bukanlah sebuah variabel yang dapat dipastikan akan mempengaruhi
kejadian di masa depan. Fenomena yang telah direduksi ke dalam angka
statistik pastilah fenomena masa lalu. Dia merupakan sejarah masa lalu;
sehingga sangat musykil untuk membangun teori dari data statistik.
Sekarang ini ilmu sosial seolah-olah telah menjadi cabang dari ilmu
matematika ataupun statistik. Kita hampir tidak pernah diberikan telaah
tentang problem epistemologi. Dalam hal prosedur penelitian, hampir semua
kurikulum perguruan tinggi telah mengajarkan filsafat ilmu—bukannya
epistemologi ilmu. Sebagai akibatnya, telah menjadi keyakinan umum
bahwa tanpa prosedur metodologis, sebuah temuan yang ‘hanya’ berdasar
reflektif tidak akan pernah dianggap sahih.
Dampak lebih jauh dari pandangan tersebut ialah matinya sensitifitas serta
kemampuan refleksi filosofis para ahli ilmu sosial. Mahasiswa dan calon
sarjana ilmu sosial, atau secara umum bidang manusia, telah benar-benar
menjadi positif. Mereka hampir-hampir tidak memiliki kemampuan analisis
logis yang mumpuni terhadap problem sosial. Sarjana-sarjana kita telah
menjadi robot-robot akademik yang mudah untuk ditakut-takuti oleh wajah
seram metodologi ilmu.
Entah berapa banyak lagi buku-buku metodologi penelitian sosial yang
sekarang terserak di toko-toko buku mengasumsikan hal yang sama. Asumsi
filosofis yang sejak zaman Locke, Hume serta Berkley hingga memuncak
menjadi filsafat Positivis Auguste Comte, menganggap akal manusia
hanyalah ‘tabula rasa’, yang hanya tunduk pada rangsangan inderawi.
Mereka tidak mempercayai bahwa manusia memiliki benak yang aktif.
Anehnya, determinisme filosofis yang semakin berlarut-larut saat ini tidak
pernah dipertanyakan ataupun diresahkan oleh kalangan akademis kita.
Dengan demikian apabila ditelusuri secara logis, determinisme filosofis akan
mengarah ke empirisme, dan apabila ditambah dengan prasyarat perlunya
verikasi dan falsifikasi dia akan menjelma menjadi keyakinan positivis.
Dengan kata lain, positivisme merupakan bentuk ekstrim empirisme serta
bagian besar dari pandangan determinis. Determinisme adalah kakek
positivisme. Begitu juga empirisme; dia anak determinisme, serta bapak dari
positivisme.
Artinya, ketiga pandangan tersebut adalah keluarga besar yang menyamakan
manusia seperti batu. Bagi determinisme, manusia adalah hasil endapan
serta bentukan dari budaya, sejarah ataupun pengaruh perubahan iklim,
seperti bebatuan yang berasal dari sedimen yang tererosi oleh iklim di
luarnya (dalam derajat tertentu pandangan ini memang dapat diterima).
Sementara, para empiris tidak cukup yakin bahwa yang dihadapi adalah
batu, maka mereka belum puas apabila belum “meng-indera-I” sang batu.
Positivisme jauh ingin lebih meyakinkan, dengan membawa sang batu ke
laboratorium untuk mendapatkan pengujian hingga benar-benar dibuktikan
bahwa yang ditelitinya adalah batu yang lapuk karena tererosi oleh
perubahan iklim.
Satu hal yang dilupakan bagi kaum determinist empirist positivistic adalah
bahwa manusia sesungguhnya mampu belajar. Mereka bukan sekumpulan
bebatuan, atom-atom, molekul-molekul, serta agregat-agregat angka yang
dengan sederhana dapat dirumuskan menjadi teori melalui kalimat; jika Y,
maka X. Tapi sebaliknya, manusia adalah makhluk yang bertindak, berpikir,
menilai dan memilih. Kehendak bebasnya merupakan sarana untuk
mengatasi keterbatasan-keterbatasan hidup yang telah menjadi kodrat
kehidupan. Manusia akan dapat belajar baik dari pengalamannya sendiri
maupun pengalaman orang lain untuk mencapai tujuan-tujuan bagi kepuasan
serta eksistensinya. Singkatnya manusia bukanlah materi fisikal yang tak
bertindak, sekali lagi, dia adalah makhluk yang bertindak.
Jadi, jika mayoritas kalangan akademik sekarang masih berkutat melalui
asumsi-asumsi positivistik yang keliru, maka tidak ada cara lain kecuali
mengkaji ulang asumsi-asumsi tersebut. permasalahan tentang apakah suatu
bidang ilmu bisa dikatakan ilmiah atau tidak ilmiah bukanlah terletak pada
penggunaan model matematis dan analisis statistik yang canggih maupun
yang tidak canggih. Tapi pada kesesuaian asumsi-asumsi dalam
epistemologisnya dalam melihat objek material ilmu tersebut—yang
tentunya dalam ilmu-ilmu sosial berbeda jauh dengan asumsi epistemologis
ilmu alam.
Kembali pada Logika Tindakan
Untuk melawan positivisme salah satu jawaban alternatifnya ialah kembali
kepada kajian logika, logika tindakan (praksiologi) atau membuka kembali
keran perdebatan metafisis. Teori ilmu sosial tidak akan dapat dihasilkan
melalui prosedur eksperimen. Alasannya: manusia bukanlah batu, atom,
molekul, planet bahkan tikus ataupun anjing. Setiap eksperimen yang
dilakukan oleh peneliti sosial tidak akan dapat menjamin munculnya
tanggapan yang sama pada masing-masing manusia.
Sebaliknya, Manusia adalah makhluk yang bertindak. Artinya, manusia akan
selalu bertindak berdasarkan penilaian subyektifnya. Tindakan tersebut akan
selalu berbentuk cara-cara yang terbatas serta berbeda-beda bagi setiap
individu. Atas dasar itulah basis tindakan manusia dapat dipahami.
Oleh karena itu pemahaman terhadap basis ‘nilai’ manusia menjadi sangat
penting. Sebuah penilaian manusia tidak dapat direduksi ke dalam sesuatu
yang cardinal. Penilaian manusia akan selalu berbentuk ordinal. Sebuah nilai
tidak akan dapat direduksi ke dalam agregrat-agregat melalui bahasa
matematis dan juga statistik. Tetapi sebaliknya, nilai adalah sebuah
prioritas. Dia tidak dapat menjadi A sekaligus dalam waktu yang sama
menjadi B. Manusia akan selalu dibatasi untuk memilih—melalui
penilaiannya—prioritas antara A atau B, ataupun memprioritaskan B
daripada A.
Akan tetapi, kaum positivis barangkali akan tetap menolak dengan
mengatakan bahwa logika, dan juga logika tindakan, tidak dapat disebut
sebagai pengetahuan tentang realitas. Alasan mereka adalah karena
pernyataan-pernyataan logika maupun praksiologi tidak dapat dibuktikan
secara empiris. Dengan demikian, menurut anggapan yang berpandangan
positivis, logika dan praksiologi hanya bersifat analitis dan bukan sintetis.
Untuk melawan argumen ini kita boleh saja mempertanyakan kesasihan
kesimpulan non empiris dari 2 + 2 = 4. Apakah untuk menyimpulkannya
kita memerlukan pengujian empiris? Jawabnya jelas tidak. Tapi kemudian
pertanyaannya adalah, justifikasi apakah yang menyebabkan kesimpulan
tersebut sahih baik secara empiris maupun logis? Yang pasti melalui
hukum-hukum epistemologis dengan menyelidiki cara kerja akal, tentang
refleksi melalui hukum non-kotrakdiksi, kausalitas, hukum identitas, dsb.
Dalam ranah ini maka sangat penting bagi setiap ahli ilmu sosial untuk
mempelajari epistemologi ilmu.
Namun cara kerja epistemologi bidang kajian ilmu manusia berbeda dari
matematika. Dia beroperasi berdasarkan hukum-hukum logika tindakan.
Walaupun preposisi apriori matematis berbeda dengan preposisi apriori
dalam logika tindakan, keduanya mengkarakteristikan hal yang sama, bahwa
kedua proposisi apriorinya tidak mungkin lagi dianalisis menjadi lebih kecil
lagi. Artinya, dia menjadi batas akal/rasio dalam bekerja. Proposisi apriori
matematis seperti; +, -, /, x adalah kaidah-kaidah yang membatasi hukumhukum berfikir tentang realitas (yang dalam hal ini bukan ranah tindakan),
yang apabila diuji secara empiris akan membawa pada kesimpulan yang
sahih—dengan syarat tidak terjadi kesalahan logis dalam pendeduksiannya.
Dengan demikian, dia sahih baik secara apriori maupun riil.
Begitu juga dalam logika tindakan. Kaidah-kaidah tentang identitas dan
kontradiksi ialah kaidah yang membatasi dalam memandang realitas.
Kategori-kategori logika seperti “ada”, “semua” serta implikasi-implikasinya
seperti “dan”, “tidak”, “atau”, “jika-maka” merupakan batas-batas yang
tidak dapat dianalisis lebih lanjut. Dia akan begitu dan tetap seperti itu, baik
secara logis maupun riil.
Walaupun karakter apriori logika tindakan serta karakter apriori matematis
memiliki karakteristik yang sama, akan sangat keliru bagi kaum positivistik,
yang menekankan fungsi prediktif, dengan cara menggunakan perhitungkan
matematis dalam menggambarkan realitas tindakan. Alasannya, kerena
proses pendeduksian matematis tidak dapat ditarik dari aksioma tindakan.
Dalam perspektfi ini, maka sebenarnya positivisme tidak memiliki basis
epistemologi apapun.
Di sinilah pentingnya kajian praksiologi atau logika tindakan. Pencarian
kebenaran dalam logika tindakan tidak dilakukan dengan cara mengukur;
dia hanya dapat ditelaah melalui identifikasi reflektif. Identifikasi tersebut
mengisyaratkan bahwa setiap tindakan manusia sepenuhnya subyektif. Jadi
memprediksikan sebuah tindakan adalah sesuatu yang muskil, karena ketika
kemarin saya bangun jam 6 pagi, hal tersebut tidak akan menjamin bahwa
saya besok akan bangun pada jam yang sama seperti kemarin; secanggih
apapun metode statistik yang Anda gunakan, Anda tidak akan mampu
memprediksikan jam berapa besok saya akan bangun. Karena sebab-sebab
konstan dalam sebuah tindakan tidak akan pernah ada sama sekali.
Kemudian kaum positivis mungkin akan bertanya-tanya, untuk apakah
science jika tidak memiliki fungsi prediktif? Yang jelas tanpa memiliki
fungsi prediktif suatu ilmu tetap akan dapat memberi petunjuk bagi manusia
untuk memahami dunianya. Dengan tujuan yang lebih sederhana, tugas ilmu
pengetahuan adalah menguak realitas-realitas yang masih terhalang. Sains
tentang manusia tidak dapat membangun ide-ide apapun; dia hanya dapat
menguak realitas—-setidaknya agar kita tidak selalu dibohongi oleh ahli
propanda serta menjaga peradaban dalam menciptakan individu-individu
yang bebas, bermoral, kritis, kreatif serta inovatif.
Hanya melalui strategi perubahan cara pandang—atau setidaknya kembali
mengkaji—epistemologi-lah krisis kemanusiaan dapat diperbaiki. Tanpa ada
usaha perubahan tersebut maka kita akan selalu dihadapkan pada problemproblem sosial yang disebabkan oleh kesalahan kita dalam memahami
fenomena realitas manusia. Entah sampai kapan kita meyakini anggapan
bahwa alat tukar/uang ialah hasil ciptaan pemerintah, atau bahwa harga
barang seharusnya dapat dikontrol oleh politisi, atau menganggab hasil
belajar pesertadidik harus dievaluasi serentak melalui Ujian “Nasional”.
Tanpa disadari, dengan klaim jubah ilmiah oleh kalangan akademis, kita
telah menciptakan bencana kemanusiaan yang berasal dari kesalahan
pemahaman atas ilmu-ilmu tentang manusia itu sendiri!
REMOKENDASI
Hoppe, Hans-Hermann. 2008. Ilmu Ekonomi dan Metode Austria. Terj. Sukasah
Syahdan. Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak (Http://akaldankehendak.com)
John J. Toohey, S.J., 1952. Notes on Epistemology. Washington, D.C.: Georgetown
University Press
Mises, Ludwig von. 1957. Theory and History: An Intrepertation of Social and Economic
Evolution. Washington, D.C.: Ludwig von Mises Institute
Rothbard, Murray N. 1960, “The Mantle of Science,” Princeton, N.J.: D. Van Nostrand
Spencer, Herbert. 1864. Reasons for Dissenting from the Philosophy of M. Comte
Wutscher, Robert. 2005. Foundations in economic methodologies: The use of
mathematics by mainstream economics and its methodology by Austrian
economics. Economics Honours Long Paper, 5 September 2005. Department of
Economics. University of Cape Town
[1] Lihat dalam pendahuluan karya Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste
Comte, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harriet Martineau (London George
Bell & Son, 1986), hal. 31.
Volume III, Edisi No. 70, Tanggal 22 Maret 2009
Oleh: Giyanto
Melawan Positivisme
From science comes prevision, from prevision comes actions.
(Auguste Comte, The Positive Philosophy)
One of the fundamental conditions of man’s existence and action is the fact that he does
not know what will happen in the future
(Ludwig von Mises, Theory and History)
Apabila dilihat secara jeli, ada kesan bahwa ilmu pengetahuan sosial telah
menuju pada kematian.
Dalam banyak seminar dan diskusi, kadang terdengar keluhan bahwa ilmu
pengetahuan sosial telah tersub-ordinatkan oleh pengetahuan alam. Hal ini
memang disayangkan dan, bahkan, menurut saya, tidak terjadi secara
kebetulan. Keluhan tersebut sering timbul sebagai reaksi terhadap berbagai
kebijakan-kebijakan politik pendidikan ataupun kebijakan lain yang terkait
dengan kepentingan kebutuhan-kebutuhan praktis (misalnya dalam
“mencetak” tenaga-tenaga teknis terdidik).
Apakah benar landasan pemikiran di
balik kebijakan-kebijakan semacam
itu? Sejauh mana pengaruh ilmu
pengetahuan alam telah menyilaukan
para pakar ilmu sosial? Dan siapakah
yang
bertanggungjawab
atas
keyakinan
filosofis
dari
penyimpangan yang terjadi sekarang
ini?
Adalah Auguste Comte pihak yang
bertanggungjawab di sini. Comte
memberi kita visi tentang idealitas
keilmuwan; tentang ilusi keagungan
penerapan
prosedur
eksperimen
dalam penyelidikan sosial; tentang
mte)
pentingnya “memajukan” masyarakat untuk lepas dari belenggu pemikiran
teologis serta metafisis menuju masyarakat positif yang “ilmiah”.
Ironisnya, pandangan ini sekarang telah menjadi satu-satunya norma ilmiah–
sebuah norma yang tanpa pernah dipertanyakan, telah menjadi tradisi untuk
mengklaim diri paling ilmiah dan yang lain sebagai tidak ilmiah. Atas visi
yang keblalasan tersebut, cabang ilmu yang pada awalnya murni logika,
misalnya ekonomi dan ilmu sosial, telah ikut-ikutan mengadopsi visi
filosofis Auguste Comte. Setiap pernyataan atau proposisi, menurut klaim
positivis, tidak akan pernah dapat dibuktikan kebenarannya apabila tidak
melalui prosedur eksperimen yang empiris.
Monopoli terhadap klaim bahwa prosedur kaum positivistik sebagai satusatunya prosedur yang paling ilmiah merupakan satu bentuk kebebalan
akademik. Positivisme dalam ranah epistemologi mensyaratkan bahwa ilmu
tindakan manusia harus menerapkan prosedur yang sama seperti yang
dilakukan dalam ilmu alam.
Dalam ranah aliran psikologi, kaum positivis terjelma dalam aliran
behaviorisme, atau sering disebut neopositivisme. Dalam bidang budaya dia
muncul dalam kritik sastra serta kritik seni. Dalam bidang politik dia tampil
dengan pemberlakuan hukum positif dsb. Karena keterbatasan ruang serta
kemampuan, di sini saya akan menunjukkan beberapa kesalahan dari sudut
pandang epistemologi ilmu pengetahuan terhadap keyakinan-keyakinan
filosofis kaum positivis.
“Teori” Positivisme
Dalam The Positive Philosophy, tujuan utama Comte adalah menelaah
sejarah perkembangan ilmu serta menciptakan teori tentang tiga tahap
perkembangan masyarakat. Ia membagi perkembangan masyarakat ilmiah
menjadi tiga: tahap teologis, tahap metafisik dan tahap ‘ilmiah’ atau positif.
Dalam penafsirannya, penemuan ajaran Bacon, konsep Descrates dan
pandangan Galileo ialah salah satu bentuk semangat perkembangan
masyarakat positif dalam melawan sistem skolastik. Untuk itu Comte
mengajukan sebuah cabang ilmu yang, menurut dia, seharusnya memiliki
keteraturan yang sama seperti ilmu alam, ia menyebutnya fisika sosial
(Social Physics).
Alih-alih menelaah sifat manusia secara utuh, dalam karyanya Comte malah
lebih banyak mengulas Matematika, Astronomi, Statistik, Geometri, Fisika,
Kimia. Konon, menurut Comte, hal itu dimaksudkan untuk mencari
prasyarat bagi tahap-tahap menuju masyarakat positif. Di sini Comte cukup
“sukses”. Kita sekarang telah dibingungkan oleh ajaran Comte yang sesat.
Bagi Comte, masyarakat positif dikatakan dapat berhasil secara ilmiah
ketika para ilmuwan telah meninggalkan sesuatu yang a priori. Metode yang
paling tepat, menurut Comte, ialah pencarian hukum-hukum ilmu sosial
melalui eksperimen. Baginya hanya metode eksperimenlah yang dapat
mendekatkan kita pada objek observasional.
Prasyarat kedua, menurut Comte, dalam menuju masyarakat positif adalah
dengan menggantikan pendidikan teologi, metafisika dan sastra dengan
pendidikan filsafat positif. Comte mengartikan pendidikan positif sebagai
ajaran yang mendidik masyarakat agar persepsinya dapat sesuai dengan
objek faktual—dengan kata lain gagasan-gagasan abstrak serta fiksi
seharusnya ditiadakan. Dengan demikian ajaran-ajaran teologis, metafisik
dan sastra merupakan ajaran yang tidak sesuai dengan objek faktual. Jadi
keberadaan mereka perlu digantikan dengan ilmu-ilmu alamiah, atau dengan
kata lain hal-hal yang bukan fakta non-metafisis tidak bermakna apa-apa.
Sekali lagi, di sini Comte mengalami kesuksesan. Dan sekarang sistem
pendidikan kita melaksanakan dengan konsisten usulan ajaib dari Auguste
Comte!
Ketiga, bagi Comte, masyarakat ilmiah dalam menelaah ilmu sedapat
mungkin harus mampu mengombinasikan beberapa sudut pandang cabang
ilmu. Baginya, kombinasi dalam berperspektif sangatlah penting. Ia
mencontohkan bahwa kimia seharusnya dipadukan dengan fisiologi—seperti
kebodohan kita dalam mengubah manusia menjadi sekedar ilmu statistik
atau melihat trend-trend saat ini munculnya kajian ekonomi perilaku,
ekonomi fisika dsb. Kesalahan Comte di sini sangat fatal. Ia tidak menyadari
bahwa setiap cabang ilmu itu terkait cara berfikir. Setiap disiplin ilmu
memiliki logika formalnya sendiri-sendiri. Ada perbedaan antara yang ada
dalam pikiran dengan kenyataan luar.
Terakhir, masih menurut Comte, untuk mengatasi krisis masyarakat, hanya
pandangan filsafat positivisme-lah yang mampu mengatasi krisis sosial.
Dengan filsafat positif anarkisme intelektual, yang biasanya melewati jalan
rumit untuk diperdebatkan dalam mencari kebenaran, harus dilenyapkan.
Pandangan ini jelas-jelas memberi jalan panjang bagi kematian karya-karya
klasik. Bagi Comte, ide-ide masa lalu yang mengarah pada anarkis adalah
musuh keteraturan masyarakat. Anggapan tersebut jelas keliru. Musuh
keteraturan bukanlah anarkisme intelektual tetapi imoralitas perilaku.
Permasalahan Epistemologi Positivisme
Kesalahan Comte yang paling mendasar adalah memperlakukan setiap
fenomena seperti hukum ilmu alam—yaitu memiliki sifat yang tak berubah
serta beroperasi melalui sebab-sebab konstan. Dia menganalogikan setiap
fenomena harus mengikuti jalan yang sama bagi penemuan teori ilmu alam,
khususnya ilmu fisika. Ini kebodohan tingkat tinggi. Comte mengatakan:
The first characteristic of the Positive Philosophy is that it regards
all phenomena as subjected to invariable natural Laws. Our
business is,—seeing how vain is any research into what are called
cause, whether first or final,—to pursue an accurate discovery of
these Laws, with a view to reducing them to the smallest possible
number. By speculating upon cause, we could solve no difficulty
about origin and purpose. Our real business is to analyze
accurately the circumstance of phenomena, and to connect them by
natural relations of succession and resemblance. The best
illustration of this is in the case of the doctrine of Gravitation.[1]
Tujuan utama ilmuwan yang berpandangan positivis ialah mencari
keteraturan dari sebuah fenomena. Senjata pamungkasnya: statistik.
Alasannya, hanya statistiklah yang dapat menguji fenomena sosial layaknya
pengujian ilmu alam. Bagi kaum positivis, sebuah teori yang tidak dapat
diverifikasi atau difalsifikasi oleh pengalaman empiris—yang biasanya
melalui data statistik—tidak akan dapat dianggap sahih. Bahkan sebuah
pernyataan tanpa dukungan analisa statistik tidak bisa disebut “ilmiah”.
Dapat dipahami tentang penekanan penggunaan statistik dalam ilmu sosial
disebabkan oleh kesilauan ahli ilmu sosial terhadap prosedur induktif yang
digunakan dalam ilmu alam. Dengan prosedur induktif, para ahli ilmu sosial
berharap akan menemukan hukum-hukum sosial seperti layaknya hukum
fisika; sehingga penggunaan prosedur yang kaku, dengan berbagai varian
metodologi kuantitatifnya, telah berhasil membuat sebagian besar akademisi
kita sudah merasa “paling ilmiah”.
Doktrin tersebut, tidak dapat dipungkiri, menyiratkan pandangan yang
kacau. Statistik tidak menggambarkan keteraturan. Dia hanya sebuah
kumpulan kejadian-kejadian yang beragam, yang kemudian direduksikan
menjadi angka-angka. Dengan demikian, kejadian-kejadian tersebut
bukanlah sebuah variabel yang dapat dipastikan akan mempengaruhi
kejadian di masa depan. Fenomena yang telah direduksi ke dalam angka
statistik pastilah fenomena masa lalu. Dia merupakan sejarah masa lalu;
sehingga sangat musykil untuk membangun teori dari data statistik.
Sekarang ini ilmu sosial seolah-olah telah menjadi cabang dari ilmu
matematika ataupun statistik. Kita hampir tidak pernah diberikan telaah
tentang problem epistemologi. Dalam hal prosedur penelitian, hampir semua
kurikulum perguruan tinggi telah mengajarkan filsafat ilmu—bukannya
epistemologi ilmu. Sebagai akibatnya, telah menjadi keyakinan umum
bahwa tanpa prosedur metodologis, sebuah temuan yang ‘hanya’ berdasar
reflektif tidak akan pernah dianggap sahih.
Dampak lebih jauh dari pandangan tersebut ialah matinya sensitifitas serta
kemampuan refleksi filosofis para ahli ilmu sosial. Mahasiswa dan calon
sarjana ilmu sosial, atau secara umum bidang manusia, telah benar-benar
menjadi positif. Mereka hampir-hampir tidak memiliki kemampuan analisis
logis yang mumpuni terhadap problem sosial. Sarjana-sarjana kita telah
menjadi robot-robot akademik yang mudah untuk ditakut-takuti oleh wajah
seram metodologi ilmu.
Entah berapa banyak lagi buku-buku metodologi penelitian sosial yang
sekarang terserak di toko-toko buku mengasumsikan hal yang sama. Asumsi
filosofis yang sejak zaman Locke, Hume serta Berkley hingga memuncak
menjadi filsafat Positivis Auguste Comte, menganggap akal manusia
hanyalah ‘tabula rasa’, yang hanya tunduk pada rangsangan inderawi.
Mereka tidak mempercayai bahwa manusia memiliki benak yang aktif.
Anehnya, determinisme filosofis yang semakin berlarut-larut saat ini tidak
pernah dipertanyakan ataupun diresahkan oleh kalangan akademis kita.
Dengan demikian apabila ditelusuri secara logis, determinisme filosofis akan
mengarah ke empirisme, dan apabila ditambah dengan prasyarat perlunya
verikasi dan falsifikasi dia akan menjelma menjadi keyakinan positivis.
Dengan kata lain, positivisme merupakan bentuk ekstrim empirisme serta
bagian besar dari pandangan determinis. Determinisme adalah kakek
positivisme. Begitu juga empirisme; dia anak determinisme, serta bapak dari
positivisme.
Artinya, ketiga pandangan tersebut adalah keluarga besar yang menyamakan
manusia seperti batu. Bagi determinisme, manusia adalah hasil endapan
serta bentukan dari budaya, sejarah ataupun pengaruh perubahan iklim,
seperti bebatuan yang berasal dari sedimen yang tererosi oleh iklim di
luarnya (dalam derajat tertentu pandangan ini memang dapat diterima).
Sementara, para empiris tidak cukup yakin bahwa yang dihadapi adalah
batu, maka mereka belum puas apabila belum “meng-indera-I” sang batu.
Positivisme jauh ingin lebih meyakinkan, dengan membawa sang batu ke
laboratorium untuk mendapatkan pengujian hingga benar-benar dibuktikan
bahwa yang ditelitinya adalah batu yang lapuk karena tererosi oleh
perubahan iklim.
Satu hal yang dilupakan bagi kaum determinist empirist positivistic adalah
bahwa manusia sesungguhnya mampu belajar. Mereka bukan sekumpulan
bebatuan, atom-atom, molekul-molekul, serta agregat-agregat angka yang
dengan sederhana dapat dirumuskan menjadi teori melalui kalimat; jika Y,
maka X. Tapi sebaliknya, manusia adalah makhluk yang bertindak, berpikir,
menilai dan memilih. Kehendak bebasnya merupakan sarana untuk
mengatasi keterbatasan-keterbatasan hidup yang telah menjadi kodrat
kehidupan. Manusia akan dapat belajar baik dari pengalamannya sendiri
maupun pengalaman orang lain untuk mencapai tujuan-tujuan bagi kepuasan
serta eksistensinya. Singkatnya manusia bukanlah materi fisikal yang tak
bertindak, sekali lagi, dia adalah makhluk yang bertindak.
Jadi, jika mayoritas kalangan akademik sekarang masih berkutat melalui
asumsi-asumsi positivistik yang keliru, maka tidak ada cara lain kecuali
mengkaji ulang asumsi-asumsi tersebut. permasalahan tentang apakah suatu
bidang ilmu bisa dikatakan ilmiah atau tidak ilmiah bukanlah terletak pada
penggunaan model matematis dan analisis statistik yang canggih maupun
yang tidak canggih. Tapi pada kesesuaian asumsi-asumsi dalam
epistemologisnya dalam melihat objek material ilmu tersebut—yang
tentunya dalam ilmu-ilmu sosial berbeda jauh dengan asumsi epistemologis
ilmu alam.
Kembali pada Logika Tindakan
Untuk melawan positivisme salah satu jawaban alternatifnya ialah kembali
kepada kajian logika, logika tindakan (praksiologi) atau membuka kembali
keran perdebatan metafisis. Teori ilmu sosial tidak akan dapat dihasilkan
melalui prosedur eksperimen. Alasannya: manusia bukanlah batu, atom,
molekul, planet bahkan tikus ataupun anjing. Setiap eksperimen yang
dilakukan oleh peneliti sosial tidak akan dapat menjamin munculnya
tanggapan yang sama pada masing-masing manusia.
Sebaliknya, Manusia adalah makhluk yang bertindak. Artinya, manusia akan
selalu bertindak berdasarkan penilaian subyektifnya. Tindakan tersebut akan
selalu berbentuk cara-cara yang terbatas serta berbeda-beda bagi setiap
individu. Atas dasar itulah basis tindakan manusia dapat dipahami.
Oleh karena itu pemahaman terhadap basis ‘nilai’ manusia menjadi sangat
penting. Sebuah penilaian manusia tidak dapat direduksi ke dalam sesuatu
yang cardinal. Penilaian manusia akan selalu berbentuk ordinal. Sebuah nilai
tidak akan dapat direduksi ke dalam agregrat-agregat melalui bahasa
matematis dan juga statistik. Tetapi sebaliknya, nilai adalah sebuah
prioritas. Dia tidak dapat menjadi A sekaligus dalam waktu yang sama
menjadi B. Manusia akan selalu dibatasi untuk memilih—melalui
penilaiannya—prioritas antara A atau B, ataupun memprioritaskan B
daripada A.
Akan tetapi, kaum positivis barangkali akan tetap menolak dengan
mengatakan bahwa logika, dan juga logika tindakan, tidak dapat disebut
sebagai pengetahuan tentang realitas. Alasan mereka adalah karena
pernyataan-pernyataan logika maupun praksiologi tidak dapat dibuktikan
secara empiris. Dengan demikian, menurut anggapan yang berpandangan
positivis, logika dan praksiologi hanya bersifat analitis dan bukan sintetis.
Untuk melawan argumen ini kita boleh saja mempertanyakan kesasihan
kesimpulan non empiris dari 2 + 2 = 4. Apakah untuk menyimpulkannya
kita memerlukan pengujian empiris? Jawabnya jelas tidak. Tapi kemudian
pertanyaannya adalah, justifikasi apakah yang menyebabkan kesimpulan
tersebut sahih baik secara empiris maupun logis? Yang pasti melalui
hukum-hukum epistemologis dengan menyelidiki cara kerja akal, tentang
refleksi melalui hukum non-kotrakdiksi, kausalitas, hukum identitas, dsb.
Dalam ranah ini maka sangat penting bagi setiap ahli ilmu sosial untuk
mempelajari epistemologi ilmu.
Namun cara kerja epistemologi bidang kajian ilmu manusia berbeda dari
matematika. Dia beroperasi berdasarkan hukum-hukum logika tindakan.
Walaupun preposisi apriori matematis berbeda dengan preposisi apriori
dalam logika tindakan, keduanya mengkarakteristikan hal yang sama, bahwa
kedua proposisi apriorinya tidak mungkin lagi dianalisis menjadi lebih kecil
lagi. Artinya, dia menjadi batas akal/rasio dalam bekerja. Proposisi apriori
matematis seperti; +, -, /, x adalah kaidah-kaidah yang membatasi hukumhukum berfikir tentang realitas (yang dalam hal ini bukan ranah tindakan),
yang apabila diuji secara empiris akan membawa pada kesimpulan yang
sahih—dengan syarat tidak terjadi kesalahan logis dalam pendeduksiannya.
Dengan demikian, dia sahih baik secara apriori maupun riil.
Begitu juga dalam logika tindakan. Kaidah-kaidah tentang identitas dan
kontradiksi ialah kaidah yang membatasi dalam memandang realitas.
Kategori-kategori logika seperti “ada”, “semua” serta implikasi-implikasinya
seperti “dan”, “tidak”, “atau”, “jika-maka” merupakan batas-batas yang
tidak dapat dianalisis lebih lanjut. Dia akan begitu dan tetap seperti itu, baik
secara logis maupun riil.
Walaupun karakter apriori logika tindakan serta karakter apriori matematis
memiliki karakteristik yang sama, akan sangat keliru bagi kaum positivistik,
yang menekankan fungsi prediktif, dengan cara menggunakan perhitungkan
matematis dalam menggambarkan realitas tindakan. Alasannya, kerena
proses pendeduksian matematis tidak dapat ditarik dari aksioma tindakan.
Dalam perspektfi ini, maka sebenarnya positivisme tidak memiliki basis
epistemologi apapun.
Di sinilah pentingnya kajian praksiologi atau logika tindakan. Pencarian
kebenaran dalam logika tindakan tidak dilakukan dengan cara mengukur;
dia hanya dapat ditelaah melalui identifikasi reflektif. Identifikasi tersebut
mengisyaratkan bahwa setiap tindakan manusia sepenuhnya subyektif. Jadi
memprediksikan sebuah tindakan adalah sesuatu yang muskil, karena ketika
kemarin saya bangun jam 6 pagi, hal tersebut tidak akan menjamin bahwa
saya besok akan bangun pada jam yang sama seperti kemarin; secanggih
apapun metode statistik yang Anda gunakan, Anda tidak akan mampu
memprediksikan jam berapa besok saya akan bangun. Karena sebab-sebab
konstan dalam sebuah tindakan tidak akan pernah ada sama sekali.
Kemudian kaum positivis mungkin akan bertanya-tanya, untuk apakah
science jika tidak memiliki fungsi prediktif? Yang jelas tanpa memiliki
fungsi prediktif suatu ilmu tetap akan dapat memberi petunjuk bagi manusia
untuk memahami dunianya. Dengan tujuan yang lebih sederhana, tugas ilmu
pengetahuan adalah menguak realitas-realitas yang masih terhalang. Sains
tentang manusia tidak dapat membangun ide-ide apapun; dia hanya dapat
menguak realitas—-setidaknya agar kita tidak selalu dibohongi oleh ahli
propanda serta menjaga peradaban dalam menciptakan individu-individu
yang bebas, bermoral, kritis, kreatif serta inovatif.
Hanya melalui strategi perubahan cara pandang—atau setidaknya kembali
mengkaji—epistemologi-lah krisis kemanusiaan dapat diperbaiki. Tanpa ada
usaha perubahan tersebut maka kita akan selalu dihadapkan pada problemproblem sosial yang disebabkan oleh kesalahan kita dalam memahami
fenomena realitas manusia. Entah sampai kapan kita meyakini anggapan
bahwa alat tukar/uang ialah hasil ciptaan pemerintah, atau bahwa harga
barang seharusnya dapat dikontrol oleh politisi, atau menganggab hasil
belajar pesertadidik harus dievaluasi serentak melalui Ujian “Nasional”.
Tanpa disadari, dengan klaim jubah ilmiah oleh kalangan akademis, kita
telah menciptakan bencana kemanusiaan yang berasal dari kesalahan
pemahaman atas ilmu-ilmu tentang manusia itu sendiri!
REMOKENDASI
Hoppe, Hans-Hermann. 2008. Ilmu Ekonomi dan Metode Austria. Terj. Sukasah
Syahdan. Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak (Http://akaldankehendak.com)
John J. Toohey, S.J., 1952. Notes on Epistemology. Washington, D.C.: Georgetown
University Press
Mises, Ludwig von. 1957. Theory and History: An Intrepertation of Social and Economic
Evolution. Washington, D.C.: Ludwig von Mises Institute
Rothbard, Murray N. 1960, “The Mantle of Science,” Princeton, N.J.: D. Van Nostrand
Spencer, Herbert. 1864. Reasons for Dissenting from the Philosophy of M. Comte
Wutscher, Robert. 2005. Foundations in economic methodologies: The use of
mathematics by mainstream economics and its methodology by Austrian
economics. Economics Honours Long Paper, 5 September 2005. Department of
Economics. University of Cape Town
[1] Lihat dalam pendahuluan karya Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste
Comte, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harriet Martineau (London George
Bell & Son, 1986), hal. 31.