DIKTE POSITIVISME HUKUM INTEREST KEKUASA
DIKTE POSITIVISME HUKUM ;
INTEREST KEKUASAAN DAN PERUBAHAN SOSIAL
Oleh : Mawardi
A. PENDAHULUAN
“Hukum ibarat sebuah pisau” memberi makna bahwa hukum sangat tajam
bila ditegakkan bagi rakyat kecil, tetapi tumpul bila ditegakkan untuk kaum elite.
Perumpamaan semacam ini menggambarkan bahwa phenomena berhukum telah
bergeser dari upaya memenuhi rasa keadilan menuju memenuhi kepentingan bagi
kelompok tertentu, apalagi term “keadilan” sangatlah abstrak dan sulit diukur
secara pasti dan tepat. Telah banyak definisi dan pemaknaan yang diberikan oleh
para filosuf, pakar hukum, praktisi hukum, penegak hukum bahkan oleh rakyat
kecil namun tetap saja tidak berada dalam ruang dan persepektif generasi yang
berbeda-beda satu sama lain dan saling mendikotomi dalam berbagai aliran dan
mazhab berhukum sehingga mempengaruhi praktek berhukum pada era masingmasing, mulai dari zaman klasik, pertengahan, bahkan sampai era modern saat ini.
Pada zaman klasik, hukum banyak dipengaruhi oleh doktrin-doktrin hukum
alam yang memformulakan konsep dan teorinya pada nilai-nilai universal seperti
hukum yang dilihat sebagai tatanan kebajikan oleh secrates, sarana keadilan oleh
plato, hingga hukum rasa sosial etis oleh aristoleles. Hukum bagi Socrates adalah
tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan hukum, bukan aturan yang
dibuat untuk melanggengkan hawa nafsu dan bukan pula untuk memenuhi naluri
hedonism diri1. Sedangkan bagi Plato secara riil merumuskan bahwa hukum (i)
merupakan tatanan terbaik untuk menangani dunia phenomena yang penuh
ketidakadilan, (ii) aturan hukum yang harus dihimpun dalam satu kitab, supaya
tidak muncul kekacauan hukum, (iii) UU harus didahului oleh motif dan tujuan
UU terseut (iv) tugas hukum adalah membimbing para warga (lewat UU) pada
suatu hidup yang saleh dan sempurna, (v) orang yang melanggar UU harus di
1 Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum ; Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi”, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, h. 30.
1 | m akal ah s o s i o l o gi h u ku m , 2 0 1 2
hukum, tetapi hukumannya bukan balas dendam 2. Sedangkan Aristoteles
berpendapat bahwa hukum berada dalam konteks individu sebagai warga negara
(polis) yang kemudian mengarahkannya pada nilai-nilai moral yang rasional,
maka hukum itu harus adil.3
Teori dan praktek berhukumpun terus berkembang seiring dengan
perkembangan zaman dan realitas sosial masyarakatnya, setiap zaman terus
mencari makna berhukum yang ideal untuk memenuhi rasa keadilan itu. Pada
zaman pertengahan sampai abad ke-19 teori dan praktek berhukum harus
berhadapan dengan fakta-fakta sosial yang sangat problematis.Thomas Aquinas
berteori tentang hukum sebagai tatanan nilai ilahi yaitu sebuah teori yang
mengkonfigurasikan tata hukum dari lex aterna (hukum dan kehendak tuhan), lex
naturalis (prinsip umum hukum alam), lex devina (hukum tuhan dalam kitab
suci), dan lex humane ( hukum buatan manusia yang sesuai dengan hukum alam).
Jadi, menurutnya, hukum (lex humane) tidak menjadi benar jika mengabaikan
kebaikan masyarakat, mengabdi pada nafsu dan kesombongan pembuatnya,
berasal dari kekuasaan yang sewenang-wenang, diskriminatif terhadap rakyat
apalagi jika bertentangan dengan nilai moral hukum alam dan Tuhan.4
Kuatnya pengaruh fakta-fakta sosial lah yang memberikan dan melahirkan
berbagai teori hukum dan mengkritik hukum dan implementasinya. Di abad ke19, kritik radikal atas hukum pada masa itu hadir dari muaknya para filosof akan
realitas hukum pada masa itu, mulai kritik Karl Marx yang menjustifikasi bahwa
hukum itu adalah kepentingan orang berpunya karena realitas sosial telah
memotret hukum hanya untuk kepentingan kapitalis/kekuatan ekonomi, atau
refleksi oleh Savigny atas realitas hukum yang harus kembali melihat dimensidimensi jiwa rakyat sebagai karakter dalam berhukum untuk melawan upaya
kodifikasi hukum jerman yang akan mendikte rakyat dan cenderung berefek
negative dan diskriminatif, atau bahkan Emile Durkhaim yang menguatkan moral
2 Ibid. h. 40
3 Ibid.h. 44
4 Ibid. h. 52
2 | m akal ah s o s i o l o gi h u ku m , 2 0 1 2
sosial sebagai pijakan dalam interpretasi dan implementasi hukum sebagai
ekspresi solidaritas sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat.
Uraian
di
atas
“keadilan”diorientasikan
pada
mengisyaratkan
prinsip-prinsip
dan
mejelaskan
kebijaksanaan,
bahwa
kebahagiaan,
kesesuaian dengan moral, nilai-nilai-nilai ilahi, dan bahkan ada dan tumbuh
dalam kesadaran sosial masyarakat. Hukum tidak akan memberikan keadilan jika
tidak berorientasi pada prinsip-prinsip di atas, sehingga makna keadilan pun
menjadi beragam dan sangatlah absurd. Makna keadilan akan terus berbeda pada
setiap konteks dan realitas zaman dan ia sangatlah beragam bentuk dan sifatnya.
Untuk itu, hukum harus terbebas dari sikap diskriminatif, menindas, eksploitatif
dan sebagainya dan ia harus selaras dengan nilai-nilai yang terserak dalam ragam
realitas sosial masyarakat.
Jika, pada zaman klasik, pertengahan dan abad ke-19, dominasi nilai-nilai
dan fakta sosial mempengaruh perubahan-perubahan hukum pada masa itu, maka
berbeda halnya dengan abad ke-20 yang diinspirasi oleh Imanuel Kant dan
diteruskan oleh Neo Kantian seperti Austin, Ernst Bierling, Rudolf Stamler, Hans
Kelsen, Gustav Radburch dan sebagainya telah memberi warna yang berbeda
dengan abad sebelumya. Pada era ini, hukum memulai babak barunya dalam
trend positivism hukum yang sampai saat ini masih tetap mendominasi dan
bahkan menjadi kekuatan penguasa/negara untuk mengatur dan menertibkan
kehidupan manusia. Melihat hukum secara normative, hukum secara murni dan
realitas sosial adalah persoalan yang berbeda, dengan kekuatan undang-undang
sebagai pijakan dalam implementasi berhukum adalah corak khas dari positivism
hukum ini.
Konsepsi positivisme hukum ini menempatkan nilai keadilan yang sangat
berbeda dengan era sebelumnya. Keadilan bermakna legalitas, ia menjelaskan diri
pada suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia benar-benar diterapkan kepada
semua kasus yang menurut isinya, peraturan ini harus diterapkan. Dan, suatu
peraturan umum adalah tidak “adil” jika diterapkan pada satu kasus dan tidak
3 | m akal ah s o s i o l o gi h u ku m , 2 0 1 2
diterapkan pada kasus lain yang serupa. Keadilan dalam makna legalitas harus
sesuai dengan, dan diharuskan oleh, setiap hukum positif, baik itu tatanan hukum
kapitalistik maupun komunistik, demokratik maupun otokratik. 5 Jadi, keadilan ini
merupakan pemeliharaan atas tatanan hukum positif melalui penerapannya yang
benar-benar sesuai dengan jiwa dari tatanan hukum positif tersebut dan keadilan
itu adalah keadilan berdasarkan hukum positif yang terserak dalam logika dan
interpretasi ragam undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkodifikasi.
Dikte positivism hukum atas keadilan pun masih berkeliaran dalam
prakteknya sekarang ini, hukum menjadi buta akan fakta-fakta sosial yang ada
dalam masyarakat, hukum tidak lagi mengedepankan subtsansi hukumnya, tetapi
lebih pada kesahihan logika dan nalar undang-undang yang sangat proseduralis
dan jika boleh dikatakan “sangat refresif”. Di Indonesia, implementasi hukum
positif seringkali mendapat perlawanan dari berbagai kekuatan-kekuatan sosial
yang ada, karena keadilannya bersifat diskriminatif, eksploitatif dan menindas
kaum lemah, tetapi sebaliknya, menyokong kepentingan penguasa/negara,
kapitalisme, kolonialisme dan sejinisnya sehingga memaksa kehidupan sosial
berubah atas keinginan hukumnya.
Pergulatan paradigma di atas, antara positivism hukum dengan hukum
dalam realitas sosial terus saling mempengaruhi yang berunjung pada orientasi
dan kepentingan perubahan yang diinginkan. Satu sisi menginginkan perubahan
pentingnya keadilan diukur dari nilai dan prinsip yang ada dalam realitas sosial,
dan sisi lainnya menginginkan perubahan keadilan yang diukur secara ketat dan
tegas oleh positivism hukum. Atau bahkan keduanya saling mempengaruhi
perubahan hukum dan perubahan sosial. Berkaitan dengan itu, maka tulisan ini
ingin menguak secara mendalam pada focus persoalan dikte positivism hukum
sebagai hukum yang memihak kepada interest kekuasaan, dan responnya atas
5 Hans Kelsen, Teori umum tentang hukum dan negara, diterjemahkan dari
buku Hans Kelsen “General Theory of law and State”, Bandung, Nusa Media,
2009, h. 17
4 | m akal ah s o s i o l o gi h u ku m , 2 0 1 2
perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam prilaku hukum masyarakat
khususnya di Indonesia.
B. PERMASALAHAN
Dalam tulisan “Dikte Positivisme Hukum ; Interest kekuasaan dan
perubahan sosial” ini mefokuskan pembahasannya pada 3 (tiga) pokok persoalan
yaitu : pertama, Apa substansi konsep positivism hukum, kekuasaan dan
perubahan sosial dalam berhukum ?., Kedua, Kenapa positivism hukum dan
kekuasaan saling berkepentingan ?., dan Ketiga, Bagaimana positivism hukum
menfasilitasi dan mengakomodir perubahan-perubahan sosial ?.
Ketiga persoalan ini, ingin digambarkan secara sistematis mulai dari
konsepsi,, korelasi dan implementasi serta refleksi atas kiprah postivisme hukum
dalam hubungannya dengan kekuasaan dan perubahan sosial sehingga didapatkan
uraian yang memadai dalam memahami positivism hukum, khususnya di
Indonesia.
C. PEMBAHASAN
a. Positivisme Hukum, Kekuasaan, dan Perubahan Sosial
Positivisme Hukum
Secara etimologis, kata positivisme dalam bahasa inggris “positivism”
berasal dari bahasa latin : ponerre – posui – positus yang berarti meletakkan.6
Istilah positivism lahir dari pengembaraan filsafat dalam merasionalisasikan
berbagai pemikiran-pemikiran keilmuan yang oleh Auguste Comte (17981857) merupakan akhir dari bentuk pengembaraan pemikiran teologi,
metafisika dan filsafat. Istilah positif oleh comte didefinisikan dalam beberapa
pengertian, yaitu :
6 Loren bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2002,
cet. 3, h. 858.
5 | m akal ah s o s i o l o gi h u ku m , 2 0 1 2
1) Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bersifat khayal, maka
pengertian “positif” pertama-tama diartikan sebagai pensifatan sesuatu
yang nyata;.
2) Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang tidak bermanfaat, maka
pengertian “positif” sebagai penafsiran sesuatu yang bermanfaat;
3) Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang meragukan, maka pengertian
“positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti;
4) Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang kabur, maka pengertian
“positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang jelas atau tepat.
5) Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang negative, maka pengertian
“positif” dipergunakan untuk menunjukkan sifat-sifat pandangan
filsafatnya yang selalu menuju ke arah penataan dan penertiban.7
Konsepsi “positif” merambah segala bidang pemikiran keilmuan
termasuk ilmu hukum yang selanjutnya dikenal dengan istilah Positivisme
hukum, yang oleh Immanuel Kant menyebutnya “hukum produk akal praktis”,
Austin menyebutnya “tata hukum”, Ernst Bierling menyebutnya “Aturan
positif”,
Stammler
menyebutnya
“Kehendak
Yuridis”,
dan
Kalsen
menyebutnya “hukum murni”. H.L.A. Hart telah mengidentifikasi cirri-ciri
yang merupakan esensi dari positivisme dalam ilmu hukum sebagai berikut :
1. Hukum adalah perintah;
2. Tidak ada suatu kebutuhan untuk mengaitkan atau menghubungkan antara
hukum dengan moral atau hukum sebagaimana adanya (law as it is)
dengan hukum sebagaimana seharusnya (law as ought to be);
3. Analisis atau studi tentang makna konsep-konsep hukum adalah suatu
studi yang penting, (analisis atau studi tadi) harus dibedakan dari studi
sejarah, studi sosiologis, dan penilaian kritis dalam makna moral, tujuantujuan sosial, dan fungsi-fungsi sosial;
4. Sistem hukum adalah suatu system tertutup yang logis, yang merupakan
putusan-putusan yang tepat serta dapat dideduksikan dari aturan-aturan
yan ada sebelumnya; dan
5. Pertimbangan secara moral tidak dapat dipertahankan, kecuali dengan
argument rasional, fakta-fakta atau bukti.8
7 F. Budi Hardiman, “Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche ”,
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004, h. 204 – 205.
8 Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum; Studi tentang Perkembangan
Pemikiran Hukum di Indonesia 1945 – 1990, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010,
h. 68
6 | m akal ah s o s i o l o gi h u ku m , 2 0 1 2
Teorisasi positivisme hukum ini menegaskan dirinya sebagai salah satu
mazhab yang berorietasikan pada kemurnian hukum dalam undang-undang
dan menolak berbagai bentuk pengaruh dan intervensi moral, realitas sosial,
dan bahkan tuntutan perubahan-perubahan sosial pun di tolak. Akibatnya,
undang-undang dan keseluruhan peraturan-peraturan dipikirkan sebagai
sesuatu yang memuat hukum secara lengkap sehingga tugas hakim tinggal
menerapkan ketentuan undang-undang secara mekanis dan linear untuk
menyelesaikan permasalahan masyarakat sesuai bunyi undang-undang.
Dalam perkembangannya, mazhab positivisme mempengaruhi negaranegara system kodifikasi dengan undang-udang sebagai satu-satunya sumber
yang pasti. Di Indonesia, menurut Widodo, bahwa psotivis hukum Indonesia
dipengaruhi oleh ajaran legisme9 yang dikembangkan di Hindia Belanda yang
dapat dibaca dalam pasal 15 Algemene Bapelingen van Wetgeving yang antara
lain berbunyi
“Terkecuali penyimpangan-penyimpangan yang ditemukan
bagi orang-orang Indonesia dan mereka dipersamakan dengan orang-orang
Indonesia, maka kebiasaan bukanlah hukum, kecuali menghendakinya”.
Bahkan pengaruh legisme ini terasa dalam lapangan hukum pidana Indonesia
dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
berbunyi :”Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar peraturan
berkekuatan undang-undang yang terlebih dahulu ada dari perbuatan
tersebut.”.
Hukum pada setiap pasal dalam undang-undang dimaknakan secara
“tekstual”. Sebagai teks, hukum ditafsirkan maknanya secara semantik dan
diyakini maknanya dapat mengantarkan manusia kepada keadilan yang
dibawa oleh hukum. Positivisme hukum hanya menafsirkan hukum sebagai
9 Aliran legisme berkeyakinan bahwa undang-undang merupakan obat
mujarab yang mampu menyelesaikan segala persoalan sosial. Cara pandang
ajaran legisme mirip dengan positivisme hukum..lihat Widodo Dwi Putro,” Kritik
terhadap Paradigma Positivisme Hukum”, Yogyakarta, Genta Publishing, 2011, h.
26 – 27.
7 | m akal ah s o s i o l o gi h u ku m , 2 0 1 2
teks yang terdiri dari serangkaian huruf dan kalimat, melihat teks secara
diskursif sebagai sebuah symbol, terlebih symbol cultural tidak menjadi
bahasan yang serius, hukum hanya dilihat sebagai sebuah teks harfiah yang
ditafsirkan “semata-mata” dengan type penafsiran gramatikal.10
Dalam konteks positivise hukum, hukum tidak dipandang secara
ideologis apalagi melihat hukum dalam perspektif sosiologis, atau ragam
hukum yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, jika
dalam undang-undang “dilarang mencuri”, maka hukum tidak melihat aspek
dosa dalam mencuri, mencuri dapat merusak moral public dan keadilan,
mencuri itu mengurangi hak orang lain, tetapi ia lebih dimaknakan sebagai
sebuah larangan untuk mengambil barang orang lain dan dapat dipidana
seperti yang termaktub dalam teks KUHP pasal 362 “Barang siapa mengambil
suatu barang, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan
maksud memilikinya secara melawan hukum diancam karena pencurian
dengan pidana paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak
Sembilan ratus ribu rupiah”.11
Jadi, positivisme hukum ini menegaskan dirinya sebagai salah satu
mazhab yang berorietasikan pada kemurnian hukum dalam undang-undang
dan menolak berbagai bentuk pengaruh dan intervensi moral, realitas sosial,
dan bahkan tuntutan perubahan-perubahan sosial pun di tolak, dimensi sejarah
dilupakan, aspek ekonomi diabaikan dan peran politik pun ditolak.
Kekuasaan
10 Lihat Antonius Cahyadi “Hukum sebagai teks ; penanda yang kosong”
dalam “Sosiologi Hukum dalam Perubahan”, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,
2009, h. 293
11 Solahuddin, SH., kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana &
Perdata, di lengkapi dengan UU no. 27 tahun 1999 tentang Perubahan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap
Negara”, Jakarta Selatan, Visimedia, 2010, h. 86.
8 | m akal ah s o s i o l o gi h u ku m , 2 0 1 2
Term kekuasaan menjadi factor dominan dan penentu tegaknya hukum,,
tanpanya hukum tidak bermakna apa-apa, ia menyentuh segala aspek dan
dimensi kehidupan manusia baik dalam persepktif sosiologis maupun
positivis. Bahkan tidak jarang, kekuasaan diperebutkan oleh banyak kekuatankekuatan, baik secara individual maupun kelompok. Wikipedia menjelaskan
bahwa kekuasaan dimaknakan sebagai kewenangan yang didapatkan oleh
seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai
dengan kewenangan yang diberikan.12 Makna kekuasaan sangatlah beragam
dengan pola dan metode perolehannya yang berbeda-beda, sehingga siring
didengar bahwa “raja” adalah symbol kekuasaan bagi negara monarki,
presiden adalah symbol kekuasaan bagi negara republik, perdana menteri,
senator, pejabat, adalah symbol-simbol kekuasan dalam satu negara dan
kekusaan adalah negara.
Kekuasan dalam negara telah lama diperdebatkan dan telah melahirkan
konsep-konsep kekuasaan negara dengan segala bentuk dan variannya. Zaman
klasik ditunjukkan dengan kekuasaan para raja dan aristokrat, abad
pertengahan kekuasaan ditunjukkan oleh dominasi agama, abad 19 kekuasaan
ditunjukkan oleh totaliterianisme, kapitalisme dan sosialisme, dan abad ke-20
hingga abad modern ini, kekuasaan ditunjukkan oleh demokrasi sehingga
banyak melahirkan konsep-konsep negara, seperti negara hukum, negara
kesejahteraan (walfere state) dan lain sebagainya. Semua konsep negara diatas
dilegitimasi oleh kekuasaan. Konsep kekuasaan tersebut yang oleh Max
Weber menyebutnya sebagai “prestise kekuasaan” yang dalam praktiknya
berarti kejayaan kekuasaan atas komunitas-komunitas lain, berdasarkan
kekuasaan ini para anggota bisa berpretensi pada suatu “prestise” khusus dan
pretense mereka mungkin mempengaruhi tingkah laku eksternal struktur
12 Id.wikipedia.org.
9 | m akal ah s o s i o l o gi h u ku m , 2 0 1 2
kekuasaan. Pengalaman mengajarkan bahwa klaim atas “prestise” selalu
menjadi penyebab pecahya perang.13
Menurut teori konstitusi, terdapat dua macam pendistribusian kekuasaan
dalam suatu negara, yaitu kekuasaan vertical dan kekuasaan yang horizontal.14
Negara dianggap sebagai kumpulan individu, rakyat, yang hidup dalam suatu
bagian permukaan bumi tertentu dan tunduk pada kekuasaan tertentu dengan
kedaulatan sebagai cirri definitive dari kekuasaan.15 Kekuasaan yang didapat
oleh negara, yang oleh Montesquieu dalam trias politica ini harus diberikan
kepada pihak yang berbeda-beda, terutama untuk menjaga agar hak-hak
rakyat tidak dilanggar, menumpuknya tiga kekuasaan ini pada satu tangan
adalah sangat berbahaya dan dapat menyebabkan inefesiensi, korupsi dan
kesewenang-wenangan. Berbeda dengan Montesquieu, Van Volenhoven
justeru medsitribusikan kekuasaan pada empat pilar penting dalam negara,
yaitu 1) regeling (legislative), 2) bestuur (eksekutif), 3) rechtspraak
(yudikatif), dan 4) politie, yaitu sebuah badan yang bertugas menjaga tata
tertib untuk mengawasi agar semua cabang pemerintahan dapat menjalankan
fungsinya dengan baik.16
Distribusi kekuasaan di atas merupakan salah satu cirri dari konsep
negara hukum (rechtsaat) yang kini banyak dianut oleh negara-negara
demokrasi saat ini. Negara hukum menjadi batasan dari sebuah kekuasaan. Ide
pembatasan ini dianggap mutlak harus ada , karena sebelumnya semua fungsi
kekuasaan negara terpusat dan terkonsentrasi di tangan satu orang, yaitu
ditangan raja atau ratu yang memimpin negara secara turun temurun.
13 Max Weber, “Sosiologi”, diterjemahkan dalam “Essays in Sosiology”
oleh Noorkholish dkk, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009, h. 192.
14 Distribusi kekuasaan vertical mengajarkan tentang pembagian
kekuasaan antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sedangkan distribusi
kekuasaan horizontal adalah pembagian kekuasaan yang ada di tingkat pusat
maupun yang ada ditingkat daerah, yang pembagiannya sering disebut sebagai
Trias Politica yang berisi distribusi kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif.
Lihat Munir Fuaidy, Teori Negara Modern…op.cit. h. 103.
15 Hans Kelsen, Teori Umum..op.cit. h.360
16 Munir Fuaidy, Teori negara..op.cit. h. 105
10 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
Bagaimana mungkin kekuasaan negara itu dikelola sepenuhnya tergantung
kepada kehendak pribadi sang raja atau ratu tersebut tanpa adanya control
yang jelas agar kekuasaan itu tidak menindas atau meniadakan hak-hak dan
kebebas rakyat.17
Harus di akui, bahwa kekuasaan dengan system monarki telah berabadabad terhapus dalam konteks kekuasaan saat ini, dan kini tinggal sisa-sisa
yang tidak memberikan pengaruh yang cukup signifikans dalam mengatur dan
mengelola kehidupan bermasyarakat, toh, jika pun masih ada, tatanan
hukumnya pun sudah mengalami perubahan yang mendasar. Di Indonesia,
kekuasaan oleh raja kini sudah terhapus semenjak kolonialisme belanda
sampai pada era sekarang ini, namun posisi dan strata raja dan ratu di
Indonesia masih dihormati sebagai khas dan penyangga budaya bangsa.
Bahkan, di Inggris yang memiliki raja pun tetap mengenal system distribusi
kekuasaan walaupun tidak setegas negara demokrasi. Namun, kebijakan dan
praktek hukumnya telah ada dalam konstitusi. Aristoteles pun pernah
berpendapat bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh satu orang bukan
merupakan pemerintahan yang konstitusional.
Jadi, Kekuasaan adalah bagian penting dalam upaya penegakan hukum,
tanpanya hukum tidak akan mampu berbuat apa-apa. Semua golongan dan
kelompok membutuhkan kekuasaan untuk menguasai dan mempengaruhi
kelompok lain. Namun, dalam negara modern saat ini, kekuasan bukan berarti
kekuasaan yang bebas untuk menindas dan memperlakukan hukum, akan
tetapi kekuasaan tersebut memiliki batasan-batasan yang seimbang dengan
kekuasaan lainnya agar satu sama lainnya dapat saling mengawasi dan
mengontrol sehingga penindasan, eksploitasi dan sebagainya dapat dihindari.
Perubahan Sosial
17 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2010, h. 282
11 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
Jika, positivisme menganggap bahwa ia merupakan akhir dari
segalanya, karena kemajuan abad ke-19 telah menemui puncaknya sehingga
tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi dalam berbagai realitas perubahan
sosial. Maka, justeru sebaliknya, bahwa kemajuan yang dicapai pada era
positivisme ini bukanlah akhir dari segalanya, masyarakat terus bergerak dan
berinteraksi dalam problematikanya yang sangat kompleks dan dipengaruhi
oleh berbagai kekuatan-kekuatan yang tumbuh dan ada di dalam suatu
masyarakat.
Menurut Satjipto Raharjo, Perubahan-perubahan dalam masyarakat
menampilkan perkembangan baru yang menggugat masa kebebasan abad ke19. Negara semakin mempunyai peran penting dan melakukan campur tangan
yang aktif, struktur politik juga telah mengalami perubahan besar, kaum
pekerja makin memainkan peranan penting dalam politik dan memperluas
demokrasi politik, cara-cara penanganan hukum yang didominasi oleh
kepentingan kaum borjuis digugat oleh kelas pekerja yang sekarang menjadi
konsituen dalam penggung politik.18 Sehingga hukum tidak lagi dapat
mempertahankan lebih lama politik isolasinya dengan menjadikan dirinya
sebagai institusi yang steril dan murni dari pemikiran-pemikiran sosial,
ekonomi, dan politik.
Institusi hukum yang steril dari berbagai kekuatan-kekuatan kultur,
sosial,
ekonomi,
maupun
politik
sangatlah
tidak
dapat
dielakkan,
bagaimanapun kekuatan tersebut tetap saling berinteraksi dan mempengaruhi
dalam struktur sosial masyarakat. Setiap masyarakat memiliki kultur yang
berbeda dengan masyarakat lainnya, sehingga penerimaan atas hukum pun
menjadi berbeda-beda pula, dan jika dipaksakan maka justeru akan
melahirkan Konflik-konflik yang tidak berkesudahan.
18 Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum ; Perkembangan metode dan Pilihan
Masalah”, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, h. 11
12 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
Merespon perubahan sosial ini, Reberto M. Urger menggambarkan
bahwa selama ini, masayarakat terkotak dalam 3 tipelogi masyarakat yaitu 1)
masyarakat kesukuan, 2) masyarakat liberal, dan 3) masyarakat aristokratis.
Ketiga bentuk masyarakat ini berbeda-beda karakter dalam merespon
perubahan yang sesuai dengan kehidupan sosial masing-masing. Namun,
persoalan yang kerap dihadapi adalah pandangan tentang apa yang ideal dan
pengalaman kenyataan yang sesungguhnya.19
Pada masyarakat kesukuan, hanya ada kemungkinan bahwa konsesnsus
komunitas akan bercerai berai dan memungkinkan munculnya kepercayaankepercayaan yang menentang cara-cara yang sudah lazim. Kemungkinan ini
jarang terwujud, namun, kalau toh sempat muncul perubahan, umumnya
cenderung tidak ebertubi-tubi dan tidak disadari. Perubahan structural lebih
pada suatu penyimpangan kebiasaan daripada takdir yang wajar.
Pada masyarakat liberal, selalu ada Konflik nyata antara apa yang
diharapkan manusia dari masyarakat dengan apa yang sesungguhnya yang
mereka dapatkan darinya. Konflik ini memuncak dengan adanya kebutuhan
kuat akan kekuasaan yang mengatur, ditambah dengan ketidakmampuan
untuk meyangga jenis kekuasaan apapun. Dikarenakan ada Konflik dari
banyak segi antara ideal dan kenyataan ini, maka perubahan di masyarakt
liberal berlangsung amat cepat dan luas.
Sedangkan pada masyarakat aristokratis, hubungan antara ideal dan
pengalaman dirasakan lebih akrab. Namun, masih ada gap yang cenderung
tersembunyi. Ambisi golongan-golongan nonaristokratis tidak mungkin
diselaraskan dengan tatanan sosial, visi moral atau religious masyarakat
tampaknya membenarkan sekaligus mengutuk hirarki-hirarki yang sudah
mapan. Dalam masyarakat ini, perubahan bisa berlangsung lebih lambat dan
kurang nyata daripada perubahan dalam masyarakat liberalism.
205
19 Roberto, M. Urger, Teori Hukum Kritis, Bandung, Nusa Media, 2008, h.
13 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
Dari ragam corak masyarakat di atas, maka dapat diamati proses
perubahan sosialnya yang oleh Satjipto Raharjo, dibedakan dalam tiga irama
perubahan, yaitu, 1) perubahan yang beringsut, 2) perubahan yang luas dan
serba meliputi, dan 3) perubahan revolusioner).20 Perubahan yang beringsut
memberikan
tambahan-tambahan
pada
keadan
semula
tetapi
tanpa
mengadakan perubahan dalam substansi maupun strukturnya, selain bentuk
penambahan tersebut bisa juga berupa pengurangan, peniadaan atau
modifikasi terhadap substansi yang ada, namun demikian tetap tidak
menimbulkan perubahan pada keadaan semua.
Perubahan ini tampak pada corak masyarakat kesukuan, dimana
perubahan yang terjadi tidak sampai merubah keadaan yang semua, normanorma yang ada pada masyarakat kesukuan ini dapat dikuragi atau
dimodifikasi substansinya karena normanya tumbuh dan hidup di dalam
masyarakat dan tidak tertulis secara nyata. Sehingga norma-norma yang baru
hadir dihadapan mereka dapat diterima sebagai tambahan atau bahkan dapat
ditolak atau dikurangi jika itu menimbulkan perubahan pada keadaan semula.
Jika, norma – norma hukum positif bertentangan dengan kultur dan budaya
mereka maka mereka cenderung mengabaikannya atau bahkan menolaknya
dan tidak menggunakannya sebagai hukum di dalam masyarakat.
Sedangkan, irama perubahan yang luas dan serba meliputi ini sama
dengan perubahan beringsut tetapi memiliki jangkauan yang lebih luas,
perubahan ini bisa tampak pada masyarakat aristokratis karena masyarakatnya
justeru berada pada gabungan antara masyarakat kesukuan dan masyarakat
liberalism, sehingga dampak perubahannya pun bisa menyentuh masayakat
kesukuan maupun liberalism, walaupun proses perubahannya akan terjadi
secara lambar, karena ada kepentingan yang berbeda di dalam masyarakat
aristokratis namun mereka saling menghormati.
20 Satjipto Raharjo, “Hukum dan Perubahan Sosial; Suatu Tinjauan Teoritis
serta pengalaman-pengalaman di Indonesia”, Yogjakarta, Genta Publishing, 2009,
h. 39
14 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
Terakhir, adalah perubahan revolusioner, yaitu perubahan yang meliputi
penggantian suatu tipe norma secara menyeluruh oleh yang lain dan
merupakan penolakan atas tingkah laku yang sama. Perubahan ini tampak
pada corak masyarakat liberalism, seperti perubahan yang pernah dilakukan
oleh kapitalisme liberal, karena menolak segala bentuk tatanan norma yang
telah lama dan tidak seirama dengan perkembangan zaman baik itu dalam
kompetisi ekonomi, politik dan sebagainya.
Jadi, perubahan sosial tidak pernah terhenti di dalam masyarakat oleh
karena positivisme hukum, dan perubahan tidak pernah memandang bahwa
positivis adalah akhir dari bentuk kemapanan masyarakat. Banyak perubahanperubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat, karena sesungguhnya
masyarakat sangat beragam dan memiliki karakter dan tipelogi tang berbedabeda dalam merespon berbagai persoalan, termasuk persoalan positivisme
hukum.
b. Positivisme Hukum dan Kekuasaan saling Berkepentingan
Hukum dan kekuasaan dalam percaturan sejarahnya, yang oleh para
filosuf dan pemikir-pemikirnya diposisikan sebagai pranata yang saling
membutuhkan satu sama lainnya, khususnya oleh kaum positivisme hukum.
Kekuasaan yang diberikan kepada negara untuk mengatur tata kehidupan
masyarakat yang tunduk terhadapnya membutuhkan peraturan-peraturan yang
dapat menertibkan dan mencitakan perdamaian bagai masyarakatnya. Untuk
itu,
hukum
sangatlah
membutuhkan
negara,
dan
negara
sangatlah
membutuhkan hukum bahkan penyadingan keduanya dikenal dengan istilah
negara hukum.
Dalam negara hukum, hukum memainkan peranannya yang sangat
penting dan berada di atas kekuasaan dan politik. Di dalam negara-negara
yang memberlakukan common law, maka pemerintahannya didasarkan atas
hukum dan bukan atas kehendak manusia (government by law, not by men)
15 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
atau bukan system pemerintahan yang berdasarkan rule of law bukan rule of
men. Sedangkan, dalam negara-negara yang memberlakukan system hukum
anglo saxon, maka pemerintahannya pun di dasarkan atas hukum sehingga di
kenal dengan itilah rechtstaat, bukan mathstaat atau “negara kekuasaan”.
Dalam bahasa Prancis di sebut “Etat de Droit”, Italia menyebutnya “Stato di
Dirtto” dan Indonesia meyebutnya “negara hukum”.21
Teori negara hukum, menegaskan bahwa hukum memberikan batasanbatasan yang riel atas kekuasaan, yang dalam trias politica Montesquieu
membaginya dalam kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif. Berangkat
dari sinilah, dapat diurai secara lebih rinci bentuk saling berkepentingannya
hukum dengan kekuasaan. Hukum masuk dalam ranah kekuasaan untuk
dirumuskan dan disepakati dalam legislasi, dan dilaksanakan oleh eksekutif
dan dikontrol dan ditegakkan oleh yudikatif. Begitu juga sebaliknya,
kekuasaan masuk dalam ranah hukum untuk melegitimasi kekuasaan dan
kewenangan yang diberikan untuk kemudian dapat dijadikan sebagai pijakan
dan dasar untuk memaksa dan mengikat masyarakat yang tundak terhadap
kekuasaannya.
Dalam uraian positivisme hukum dan kekuasaan, dan telah dijelaskan
bahwa Hans Kelsen memandang bahwa “kekuasaan” dalam arti negara mesti
berupa validitas dan efektifitas tatanan hukum nasional, jika kedaulatan
dipandang sebagai satu kualitas dari kekuasaan itu. Sebab, kedaulatan hanya
bisa menjadi kualitas dari tatanan normative sebagai kekuasaan yang
merupakan sumber hak dan kewajiban. Untuk itu menjelaskan berbagai fungsi
hukum atas kekuasaan menjadi sangat penting untuk dapat mengurai saling
bekepentingannya hukum dengan kekuasaan yang berdasar pada teori
distribusi kekuasaan oleh Montesquieu tersebut, seperti dijelaskan berikut ini :
a. Fungsi eksekutif
21 Lihat Munir Fuaidy, “Teori…”, op.cit. h. 2
16 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
Menurut Hans Kelsen, berbicara mengenai eksekutif yang berarti
pelaksanaan, kita harus bertanya apa yang dilaksanakan. Tidak ada
jawaban lain kecuali pernyataan bahwa yang dilaksanakan itu adalah
norma-norma umum, konstitusi, dan hukum-hukum yang dibuat oleh
legislative. Namun, fungsi eksekutif ini seringkali dibedakan lagi menjadi
dua fungsi yaitu fungsi administrative dan fungsi politik.22
Fungsi politik,biasanya menunjuk pada tindakan-tindakan tertentu yang
bertujuan memberikan arahan bagi pelaksanaan dan dengan demikian
memiliki
makna
politik,
sedangkan
fungsi
administrative
ini
diejawantahkan dalam tindakan-tindakan organ administrasiv dalam
eksekutif seperti kepala negara, menteri, kepala daerah dan sebagainya.
Namun, tidak ada satu kebijakan yang dapat melepaskan suatu tindakan
eksekutif dari karakternya sebagai tindakan pelaksanaan hukum.
Penjelasan ini menegaskan bahwa fungsi-fungsi negara terbukti identik
dengan fungsi-fungsi esensial hukum, karena eksektuif tidak terlepas dari
karakter hukum, dan hukum tidak berjalan tanpa ada eksekutif.
b. Fungsi Legislatif
Fungsi ini memiliki karakter yang berbeda dengan fungsi eksekutif dan
yudikatif dan bergantung pada sisten negara yang dianut. Dalam system
negara hukum, fungsi legislative bertugas untuk membuat undang-undang
yang dirumuskan dari norma-norma umum yang berlaku di dalam
masyarakat, untuk kemudian menjadi pijakan dan pedoman pelaksanaan
kekuasaan oleh eksekutif dan yudikatif. Namun, fungsi ini juga dijalankan
oleh eksekutif dan yudikatif dalam bentuk lebih khusus dan memberi
penjelasan atas undang-undang yang bersifat umum, tetapi berbentuk
peraturan atau ordonansi.23 Jadi, fungsi legistlatif ini juga menegaskan
22 Hans Kelsen, Teori umum…, op.cit. h. 361
23 Ibid.h.362
17 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
bahwa hukum melegitimasi kekuasaan dan hukum memberi ruh pada
kekuasaan.
c. Fungsi yudikatif
Salah satu tugas utama dari fungsi yudikatif adalah membuat normanorma khusus berdasarkan norma-norma umum yang dilahirkan oleh
undang-undang dan kebiasaan, dan menerapkan sanksi-sanksi yang
ditetapkan oleh norma-norma umum dan norma-norma khusus ini.24
Penerapan sanksi merupakan pelaksanaan hukum dalam arti yag lebih
sempit dan terbatas dan diwujudkan dalam melalui lembaga-lembaga
kekuasaan kehakiman. Jadi, hukum melalui fungsi ini ditegakkan dan
kekuasaan melalui fungsi ini dijaga.
.Ketiga fungsi tersebut diatas memberikan gambaran yang jelas bahwa
positivisme hukum merupakan salah satu kekuatan untuk mendukung dan
melegitimasi kekuasaan, dan mensterilkan kekuasaan dari berbagai kritik
sosial dan hukum atasnya, karena hukum telah memberikan jaminan yang
berkekuatan dan menundukkan segala kekuasaan yang bisa saja hadir dari
berbagai individu atau kelompok, dalam satu kekuasaan negara.
Di Indonesia, telah menganut doktrin pemisahan kekuasaan ini secara
nyata, khususnya setelah UUD 1945 mengalami empat kali perubahan.
Namun, pembagian kekuasannya dikelompokkan dalam beberapa lembaga
tinggi negara seperti presiden, DPR, DPD, MK, dan MA. Ada beberapa bukti
yang menunjukkan bahwa Indonesia menganut doktrin distribusi kekuasaan
ini yang satu sama lainnya menunjukkan saling berkepentingan antara hukum
dan kekusaaan tersebut, yaitu :
1) Adanya pergeseran kekuasaan legislative dari tangan presiden ke DPR.
Ketentuan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan dengan pasal 5
ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan menegaskan
bahwa kekuasaan untuk membentuk undang-undang yang sebelumnya
berada pada tangan presiden, sekarang beralih ke DPR;
24 Ibid. h. 364
18 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
2) Diadopsikannya system pengujian konstitusional atas undang-undang
sebagai produk legislative oleh Mahkamah konstitusi. Sebelumnya tidak
dikenal adanya mekanisme semacam itu, karena pada pokoknya undangundang tidak dapat diganggu gugat dimana hakim hanya dapat
menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang;
3) Diakuinya bahwa lembaga pelaku kedaultan rakyat itu tidak hanya sebatas
MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung maupun
tidak langsung merupakan penjelmaan dari kedaulatan rakyat. Semua
lembaga tinggi negara berdaulat atas rakyat;
4) MPR tidak lagi berstatus sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan
merupakan lembaga tinggi negara yang sama derajatnya dengan lembaga
tinggi negara lainnya; dan
5) Hubungan-hubungan antar lembaga tinggi negara itu bersifat saling
mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and
balances.25
Berdasarkan perubahan-perubahan prinsip kekuasaan yang sangat
mendasar di Indonesia ini, memberikan ruang perubahan sosial dalam
realitasnya, jika dulu, hukum positive mengenkang partisipasi masyarakat
dalam lembaga kekuasaan, maka kini, partisipasi masyarakat untuk
menyampaikan aspirasi dan membentuk dan menemukan hukum menjadi
terbuka, masyarakat dapat berpartisipasi melakukan control terhadap
kekuasaan dan kekuasaan tunduk pada kedaulatan rakyat. Namun, dalam
persepektif hukum, positivisasi atasnya telah menutup ruang atas interpretasi
ruang-ruang sosial atas hukum, dan bahkan terlihat kaku dan anti atas
perubahan-perubahan sosial yang muncul. Ia bisa dirubah dan diinterpretasi
jika telah melalui mekanisme yang sesuai dengan hukum yang berlaku dalam
negara.
Jadi, positivisme hukum dan kekuasaan adalah saling berkepentingan
satu sama lainnya, hukum terkodifikasi oleh lembaga legislative, terlaksana
oleh eksekutif dan yudikatif, sedangkan kekuasaan terlegitimasi oleh hukum,
dan dikuatkan oleh norma-normanya yang dapat menundukkan setiap warga
negara atas kekuasaan negara tersebut. Positivisme hukum dan kekuasaan
25 Jimli Assiddiqie, Pengantar…, op.cit. h. 291 -292
19 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
terejawantah dalam fungsi-fungsi kekuasaan yang saling mengikatkan diri dan
menguatkan satu sama lainnya, sehingga hukum bisa dipengaruhi oleh
kepentingan kekuasaan atau bahkan sebaliknya kekuasaan mempengaruhi
kepentingan hukum.
Dalam persepektif sosiologi hukum, maka sesungguhnya hukum dan
kekuasaan memiliki interdependensi antara keduanya. Jika hukum memiliki
input yang lemah maka kekuasaan akan menjadi lebih dominan dan hukum
dalam diabaikan oleh kekuasaan, tetapi sebaliknya jika input huku menguat
atas kekuasaan, maka kekuasaan akan tunduk pada hukum, dan pada
penguatan hukum inilah konsep negara hukum dapat ditegakkan, karena
sesungguhnya perubahan sosial dalam kelangsungan hidup individu,
kelompok atau rakyat banyak bergantung pada kuatnya hukum bukan pada
kuatnya kekuasaan.
c. Perubahan Sosial Kritik atas Positivisme Hukum
Akhir-akhir
ini,
phenomena
dominasi
kekuasaan
atas
hukum
ditunjukkan oleh berbagai fakta-fakta hukum yang menyelimuti setiap
kebijakan pengausa, ada banyak Konflik norma yang terjadi antara undangundang yang satu dengan yang lainnya, norma-normanya dikaburkan untuk
kepentingan penguasa dan kapitalis, banyak norma yang tidak terakomodir
dalam positivisasi hukum bahkan rakyat kecil seringkali ditebas oleh hukum.
Konflik norma, tanpak pada norma HGU, HGB, hak kelola antara
undang-undang UU No. 5 tahun 60 tentang pokok-pokok hukum Agraria
dengan UU. No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing. Pasal 29
UUPA menjelaskan HGU diberikan dalam jangka waktu 25 tahun sementara
pada pasal 22 ayat (1) point a menegaskan HGU diberikan dalam jangka
waktu 95 tahun. Pasal 35 UUPA menegaskas HGB diberikan dalam jangka
waktu 30 tahun, berbeda dengan pasal 35 penanaman modal diberikan dalam
jangka waktu 80 tahun.
20 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
Sementara itu, konsep hak menguasai negara seringkali dikaburkan
ketika penguasa hendak menguasai atas tanah. Kini UUPA harus ditantang
dengan undang-undang lain seperti UU No, 22 tahun 2001 tentang minyak
dan Gas Bumi, UU No. 41 tentang kehutanan, UU No. 31 tentang Perikanan,
UU No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan. Semua Undang-undang ini,
bermaksud ingin menjelaskan secara lebih rinci akan makna dari UUPA,
tetapi norma-normanya justeru mengaburkan substansi dari UUPA yang begit
populis dan beralih pada kepentingan investasi. Akibatnya, berbagai kasus
eksplorasi tambang sering mendapat penolakan dan protes dari masyarakat,
belum lagi bencana yang harus menimpa masyarakat dan menghilangkan hak
milik masyarakat seperti kasus perlawanan masyarat Bima atas ekspolasi
tambang diwilayahnya, perlawanan masyarakat Mesuji atas perampasan
tanahnya, serta bencana lapindo yang tidak pernah bisa berhenti
menyengsarakan kehidupan masyarakat.
Dalam kasus yang berbeda, protes seorang ayah yang berjalan kaki
untuk mencari keadilan kepada penguasa atas kematian yang menimpa
anaknya yang justeru menjerat dan melibatkan aparat hukum tidak pernah
tuntas diselesaikan karena daluwarsa, sehingga nyaris keadilan tidak
didapatkan secara substanstif tetapi lebih pada ketakutan aparat hukum untuk
menegakkannya karena menyalahi prosedur-prosedur yang berliku-liku dalam
prosesnya. Belum lagi, kakunya hukum dalam menyidangkan kasus-kasus
kecil seperti pencurian sanda bolong, pencurian tuga kakao, dan sebagainya
dimana hukum bertindak tegas atas orang-orang miskin tersebut bagai pisau
yang tajam, sedangkan tumpul untuk memotong berbagai kasus besar yang
dilakukan oleh penguasa maupun kapitalis.
Melihat phenomena di atas, maka sesungghunya positivisme hukum
telah mengarahkan rakyat untuk terjebak dalam aturan-aturan yang kaku dan
buta sehingga banyak nilai dna norma yang tumbuh dalam kehidupan
masyarakt menjadi turut terjerat dan tidak ingin diakomodir oleh kekuasaan
21 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
dan positivisme hukum. Berkaitan dengan itu, Widodo, dalam bukunya
“Kritik atas postivisme hukum” menjelaskan bahwa “paradigm positivisme
hukum klasik yang menempatkan hakim sebgai tawanan undang-undang,
tidak memberikan kesempatan kepada pengadilan untuk menjadi suatu
institusi yang dapat mendorong perkembangan masyarakat. Pada era
reformasi pun, belum bisa mengatakan bahwa putusan-putusan hakim
berkontribusi besar bagi perubahan masyarakat di Indonesia”.26
Sebuah paradigm positivistic yang tidak berorientasi kepada keadilan
telah ditunjukkan oleh keputusan-keputusan hukum yang didedukasikan
secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada, tanpa menunjuk kepada
tujuan-tujuan sosial, kebajikan serta moralitas. Padalah Mahkamah Agung RI
sebagai badan pelaksana tertinggi kekuasaan kehakiman telah menentukan
bahwa putusan hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang berifat
yuridis, filosofis, dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin dicapai,
diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah
keadilan yang beriorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan
moral (moral justice), keadilan masyarakat (sosiac justice).27
Keadilan hukum (Legal Justice) yang dimaksud diatas adalah keadilan
yang berdasarkan hukum dan perundang-undangan. Dalam arti hakim hanya
memutuskan perkara berdasarkan hukum positif dan peraturan perundangundangan. Sedangkan, keadilan moral (Moral Justice) dan keadilan sosial
(social justice) yang dalam penerapannya ditegaskan bahwa “hakim harus
menggali nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat” seperti yang
terdapat dalam vide pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009, yang jika
dimaknai secara mendalam hal ini sudah masuk kedalam perbincangan
tentang moral justice dan social justice yang sejatinya pelaksanaan tugas dan
26 Widodo dwi putro, “Kritik Terhadap Paradigm Positivisme Hukum”
Yogykarta, Genta Publishing, 2001, h. 1
27 Mahkamah Agung RI, “Pedoman Perilaku Hakim (Code of Condact),
Kode Etik Hakim dan Makalah yang berkaitan, Pusdiklat MA RI, Jakarta, 2006, h. 2
22 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
kewenangan seorang hakim dilakukan dalam kerangka menegakkan
kebenaran dan berkeadilan dengan berpegang kepada hukum, undang-undang,
dan nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat.28
Mencari keadilan inilah yang kemudian terus menjadi pertaruhan dalam
penegakan hukum, termasuk oleh hasrat dan cita-cita dari positivisme hukum.
Namun, alih-alih memberikan keadilan secara praktis, dalam dimensi teoritis
saja positivisme telah mengekang dan menganggap dirinya sebagai satusatunya mazhab yang paling benar dan akhir dari pengembaraan ilmu
pengetahuan maupun pengembaraan hukum mencari keadilan. Untuk itu,
untuk menggapai perubahan hukum yang berkeadilan, dan perubahan sosial
yang tunduk atas hukum, maka sinergi hukum dengan nilai-nilai lainnya yang
tumbuh dalam masyarakat harus dikombinasikan agar tidak saling
menimpangkan dan menindas satu sama lainnya.
Menyikapi persoalan ini, widodo menjelaskan bahwa ada beberapa alasa
penting positivisme hukum di Indonesia harus dikritik agar dapat memberi
perubahan-perubahan sosial dalam teori dan prakteknya. Alasan-alasan
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Di Indonesia, penelitian terhadap paradigma hukum secara filosofis belum
dilakukan secara sungguh-sungguh, bahkan boleh dikatakan belum
dimulai sama sekali. Ini sangat diperlukan, karena selama ini hakim hanya
mengedepankan uniformitas khususnya dalam hal penafsiran monolitik
terhadap makana norma-norma itu sendiri, sehingga bersifat gramatikal
dan cenderung tektual dan leksikal. Padahal penemuan hukum
(rechtsvinding) juga dapat dilakukan dengan metode-metode lain seperti
kostruksi atau argumentasi.
2. Ajaran positivisme hukum menempatkan hakim hanya sebagai corong
undang-undang, tidak memberi ruang kepada hakim sebagai subyek
kreatif. Pikiran positivisme hukum biasanya tepat dan mampu bertahan
dalam keadaan masyarakat stabil, namun pada msa krisis dimana hukum
disiapkan menata proses interaksi dalam masyarakat telah gagal
menjalankan fungsinya.
28 Ahmad Rifai,”Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum
Progresif”, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, h. 127
23 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
3. Hukum oleh ajaran positivisme hukum digambarkan sebagai wilayah
steril, terpisah dari moral. Bahkan doktrin kelsenian menampik
keberadaan ilmu hukum yang terkontaminasi dari anasir-anasir sosiologis,
politis, ekonomis, historis dan sebagainya.
4. Dalam tradisi hukum civil law peran pemerintah dan parlemen dominan
dalam pembuatan hukum yang berupa peraturan-peraturan tertulis.
Kuatnya pengaruh positivisme hukum dalam system hukum Indonesia
ditandai dengan melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum. Padahal,
dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, penyeragaman hukum demi
kepastian hukum untuk seluruh wilayah nusantara justeru dapat
menimbulkan resistensi.
5. Ajaran positivisme hukum memberikan pemahaman kepada hakim bahwa
hukum semata-mata hanya berurusan dengan norma-norma. Cara pandang
yang demikian, membuat positivisme hukum melihat persoalan secara
“hitam putih” sebagaimana teks undang-undang. Padahal, masalah dalam
masyarakat terlalu besar untuk dimasukkan dalam pasal-pasal peraturan
perundang-undangan.29
Alasan-alasan di atas, menjadi sangat penting untuk disikapi oleh ajara
positivisme hukum, agar tidak terjebak dalam praktek-praktek hukum yang
jauh dari norma-norma keadilan yang tumbuh, hidup dan diakui kebenarannya
oleh masyarakat. Untuk itulah, maka positivisme hukum, kekuasaan dan
perubahan sosial harus dilihat secara utuh menjadi satu kesatuan yang saling
berkontribusi untuk menciptakan keadilan yang seadil-adilnya. Melakukan ini,
diperlukan perubahan cara pandang dari positivism hukum yang kaku, dan
buta harus dirubah dengan cara pandang pendekatan fungsional imperatif,
agar penegakan hak masyarakat dan perubahan sosial dapat ditilik dalam
hubungannya dengan berbagai fungsi hukum yang fundamental dalam system
kemasyarakatan pada umumnya.Fungsi imperatif, yang dimaksud di sini
adalah fungsi adaptasi, fungsi tujuan tertetu, fungsi integrative, dan fungsi
pemeliharaan pola.30
29 Widodo Dwi Putro, Kritik…, op.cit. h. 1 - 8
30 Anang Husni,”Hukum, Birokrasi dan Budaya”, Yogyakarta, Genta
Publishing, 2009, h. 11
24 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
Fungsi adaptasi, merupakan pengembanga kemamuan warga masyarakat
menyesuaikan diri terhadap perubahan yang sedang berlangsung. Fungsi
pencapaian tujuan tertentu harus disinergikan dengan memperhatikan kondisi,
kepentingan dan nilai yang tumbuh dan berkembang ditengah-tengah
masyarakat. Fungsi integrative merupakan upaya pembinaan kesatuan
kelompok masyarakat dengan prasyarat fungsional dalam mempertahankan
keutuhan kehidupan masyarakat. Serta, pemeliharaan pola dan pembentukan
komitmen
terhadap
kondisi
kehidupan
yang
serasi,
harmonis
dan
berkesinambungan menjadi sebuah pola yang tetap terjaga dan menguatkan
sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Akhirnya,
paradigm
perubahan-perubahan
menempatkannya
positivisme
sosial
dalam
yang
ada
pertimbangan
hukum
haru
didalam
dan
memperhatikan
masyarakat,
kebijakan
hukum
lalu
yang
diterapkannya, tanpa itu, maka positivisme hukum hanya akan menjadi alat
untuk menjalankan kepentingan penguasa dan bukan untuk kepentingan
keadilan masyarakat yang justeru bertetangan dengan prinsip-prinsip
penegakan hukum sebagaimana yang dicita-citakan positivisme. Jadi,
perubahan sosial yang terjadi saat ini adalah bagian dari respon masyarakat
terhadap ketidak adilan yang diciptakan oleh positivisme hukum, untuk itu,
hukum harus dilihat dalam fungsinya agar dapat memberikan perubahan yang
positif dan berkeadilan bagi masyarakat.
D. KESIMPULAN
1. positivisme hukum ini menegaskan dirinya sebagai salah satu mazhab yang
berorietasikan pada kemurnian hukum dalam undang-undang dan menolak
berbagai bentuk pengaruh dan intervensi moral, realitas sosial, dan bahkan
tuntutan perubahan-perubahan sosial pun di tolak, dimensi sejarah dilupakan,
aspek ekonomi diabaikan dan peran politik pun ditolak.
25 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
2. Kekuasaan adalah bagian penting dalam upaya penegakan hukum, tanpanya
hukum tidak akan mampu berbuat apa-apa. Semua golongan dan kelompok
membutuhkan kekuasaan untuk menguasai dan mempengaruhi
INTEREST KEKUASAAN DAN PERUBAHAN SOSIAL
Oleh : Mawardi
A. PENDAHULUAN
“Hukum ibarat sebuah pisau” memberi makna bahwa hukum sangat tajam
bila ditegakkan bagi rakyat kecil, tetapi tumpul bila ditegakkan untuk kaum elite.
Perumpamaan semacam ini menggambarkan bahwa phenomena berhukum telah
bergeser dari upaya memenuhi rasa keadilan menuju memenuhi kepentingan bagi
kelompok tertentu, apalagi term “keadilan” sangatlah abstrak dan sulit diukur
secara pasti dan tepat. Telah banyak definisi dan pemaknaan yang diberikan oleh
para filosuf, pakar hukum, praktisi hukum, penegak hukum bahkan oleh rakyat
kecil namun tetap saja tidak berada dalam ruang dan persepektif generasi yang
berbeda-beda satu sama lain dan saling mendikotomi dalam berbagai aliran dan
mazhab berhukum sehingga mempengaruhi praktek berhukum pada era masingmasing, mulai dari zaman klasik, pertengahan, bahkan sampai era modern saat ini.
Pada zaman klasik, hukum banyak dipengaruhi oleh doktrin-doktrin hukum
alam yang memformulakan konsep dan teorinya pada nilai-nilai universal seperti
hukum yang dilihat sebagai tatanan kebajikan oleh secrates, sarana keadilan oleh
plato, hingga hukum rasa sosial etis oleh aristoleles. Hukum bagi Socrates adalah
tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan hukum, bukan aturan yang
dibuat untuk melanggengkan hawa nafsu dan bukan pula untuk memenuhi naluri
hedonism diri1. Sedangkan bagi Plato secara riil merumuskan bahwa hukum (i)
merupakan tatanan terbaik untuk menangani dunia phenomena yang penuh
ketidakadilan, (ii) aturan hukum yang harus dihimpun dalam satu kitab, supaya
tidak muncul kekacauan hukum, (iii) UU harus didahului oleh motif dan tujuan
UU terseut (iv) tugas hukum adalah membimbing para warga (lewat UU) pada
suatu hidup yang saleh dan sempurna, (v) orang yang melanggar UU harus di
1 Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum ; Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi”, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, h. 30.
1 | m akal ah s o s i o l o gi h u ku m , 2 0 1 2
hukum, tetapi hukumannya bukan balas dendam 2. Sedangkan Aristoteles
berpendapat bahwa hukum berada dalam konteks individu sebagai warga negara
(polis) yang kemudian mengarahkannya pada nilai-nilai moral yang rasional,
maka hukum itu harus adil.3
Teori dan praktek berhukumpun terus berkembang seiring dengan
perkembangan zaman dan realitas sosial masyarakatnya, setiap zaman terus
mencari makna berhukum yang ideal untuk memenuhi rasa keadilan itu. Pada
zaman pertengahan sampai abad ke-19 teori dan praktek berhukum harus
berhadapan dengan fakta-fakta sosial yang sangat problematis.Thomas Aquinas
berteori tentang hukum sebagai tatanan nilai ilahi yaitu sebuah teori yang
mengkonfigurasikan tata hukum dari lex aterna (hukum dan kehendak tuhan), lex
naturalis (prinsip umum hukum alam), lex devina (hukum tuhan dalam kitab
suci), dan lex humane ( hukum buatan manusia yang sesuai dengan hukum alam).
Jadi, menurutnya, hukum (lex humane) tidak menjadi benar jika mengabaikan
kebaikan masyarakat, mengabdi pada nafsu dan kesombongan pembuatnya,
berasal dari kekuasaan yang sewenang-wenang, diskriminatif terhadap rakyat
apalagi jika bertentangan dengan nilai moral hukum alam dan Tuhan.4
Kuatnya pengaruh fakta-fakta sosial lah yang memberikan dan melahirkan
berbagai teori hukum dan mengkritik hukum dan implementasinya. Di abad ke19, kritik radikal atas hukum pada masa itu hadir dari muaknya para filosof akan
realitas hukum pada masa itu, mulai kritik Karl Marx yang menjustifikasi bahwa
hukum itu adalah kepentingan orang berpunya karena realitas sosial telah
memotret hukum hanya untuk kepentingan kapitalis/kekuatan ekonomi, atau
refleksi oleh Savigny atas realitas hukum yang harus kembali melihat dimensidimensi jiwa rakyat sebagai karakter dalam berhukum untuk melawan upaya
kodifikasi hukum jerman yang akan mendikte rakyat dan cenderung berefek
negative dan diskriminatif, atau bahkan Emile Durkhaim yang menguatkan moral
2 Ibid. h. 40
3 Ibid.h. 44
4 Ibid. h. 52
2 | m akal ah s o s i o l o gi h u ku m , 2 0 1 2
sosial sebagai pijakan dalam interpretasi dan implementasi hukum sebagai
ekspresi solidaritas sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat.
Uraian
di
atas
“keadilan”diorientasikan
pada
mengisyaratkan
prinsip-prinsip
dan
mejelaskan
kebijaksanaan,
bahwa
kebahagiaan,
kesesuaian dengan moral, nilai-nilai-nilai ilahi, dan bahkan ada dan tumbuh
dalam kesadaran sosial masyarakat. Hukum tidak akan memberikan keadilan jika
tidak berorientasi pada prinsip-prinsip di atas, sehingga makna keadilan pun
menjadi beragam dan sangatlah absurd. Makna keadilan akan terus berbeda pada
setiap konteks dan realitas zaman dan ia sangatlah beragam bentuk dan sifatnya.
Untuk itu, hukum harus terbebas dari sikap diskriminatif, menindas, eksploitatif
dan sebagainya dan ia harus selaras dengan nilai-nilai yang terserak dalam ragam
realitas sosial masyarakat.
Jika, pada zaman klasik, pertengahan dan abad ke-19, dominasi nilai-nilai
dan fakta sosial mempengaruh perubahan-perubahan hukum pada masa itu, maka
berbeda halnya dengan abad ke-20 yang diinspirasi oleh Imanuel Kant dan
diteruskan oleh Neo Kantian seperti Austin, Ernst Bierling, Rudolf Stamler, Hans
Kelsen, Gustav Radburch dan sebagainya telah memberi warna yang berbeda
dengan abad sebelumya. Pada era ini, hukum memulai babak barunya dalam
trend positivism hukum yang sampai saat ini masih tetap mendominasi dan
bahkan menjadi kekuatan penguasa/negara untuk mengatur dan menertibkan
kehidupan manusia. Melihat hukum secara normative, hukum secara murni dan
realitas sosial adalah persoalan yang berbeda, dengan kekuatan undang-undang
sebagai pijakan dalam implementasi berhukum adalah corak khas dari positivism
hukum ini.
Konsepsi positivisme hukum ini menempatkan nilai keadilan yang sangat
berbeda dengan era sebelumnya. Keadilan bermakna legalitas, ia menjelaskan diri
pada suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia benar-benar diterapkan kepada
semua kasus yang menurut isinya, peraturan ini harus diterapkan. Dan, suatu
peraturan umum adalah tidak “adil” jika diterapkan pada satu kasus dan tidak
3 | m akal ah s o s i o l o gi h u ku m , 2 0 1 2
diterapkan pada kasus lain yang serupa. Keadilan dalam makna legalitas harus
sesuai dengan, dan diharuskan oleh, setiap hukum positif, baik itu tatanan hukum
kapitalistik maupun komunistik, demokratik maupun otokratik. 5 Jadi, keadilan ini
merupakan pemeliharaan atas tatanan hukum positif melalui penerapannya yang
benar-benar sesuai dengan jiwa dari tatanan hukum positif tersebut dan keadilan
itu adalah keadilan berdasarkan hukum positif yang terserak dalam logika dan
interpretasi ragam undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkodifikasi.
Dikte positivism hukum atas keadilan pun masih berkeliaran dalam
prakteknya sekarang ini, hukum menjadi buta akan fakta-fakta sosial yang ada
dalam masyarakat, hukum tidak lagi mengedepankan subtsansi hukumnya, tetapi
lebih pada kesahihan logika dan nalar undang-undang yang sangat proseduralis
dan jika boleh dikatakan “sangat refresif”. Di Indonesia, implementasi hukum
positif seringkali mendapat perlawanan dari berbagai kekuatan-kekuatan sosial
yang ada, karena keadilannya bersifat diskriminatif, eksploitatif dan menindas
kaum lemah, tetapi sebaliknya, menyokong kepentingan penguasa/negara,
kapitalisme, kolonialisme dan sejinisnya sehingga memaksa kehidupan sosial
berubah atas keinginan hukumnya.
Pergulatan paradigma di atas, antara positivism hukum dengan hukum
dalam realitas sosial terus saling mempengaruhi yang berunjung pada orientasi
dan kepentingan perubahan yang diinginkan. Satu sisi menginginkan perubahan
pentingnya keadilan diukur dari nilai dan prinsip yang ada dalam realitas sosial,
dan sisi lainnya menginginkan perubahan keadilan yang diukur secara ketat dan
tegas oleh positivism hukum. Atau bahkan keduanya saling mempengaruhi
perubahan hukum dan perubahan sosial. Berkaitan dengan itu, maka tulisan ini
ingin menguak secara mendalam pada focus persoalan dikte positivism hukum
sebagai hukum yang memihak kepada interest kekuasaan, dan responnya atas
5 Hans Kelsen, Teori umum tentang hukum dan negara, diterjemahkan dari
buku Hans Kelsen “General Theory of law and State”, Bandung, Nusa Media,
2009, h. 17
4 | m akal ah s o s i o l o gi h u ku m , 2 0 1 2
perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam prilaku hukum masyarakat
khususnya di Indonesia.
B. PERMASALAHAN
Dalam tulisan “Dikte Positivisme Hukum ; Interest kekuasaan dan
perubahan sosial” ini mefokuskan pembahasannya pada 3 (tiga) pokok persoalan
yaitu : pertama, Apa substansi konsep positivism hukum, kekuasaan dan
perubahan sosial dalam berhukum ?., Kedua, Kenapa positivism hukum dan
kekuasaan saling berkepentingan ?., dan Ketiga, Bagaimana positivism hukum
menfasilitasi dan mengakomodir perubahan-perubahan sosial ?.
Ketiga persoalan ini, ingin digambarkan secara sistematis mulai dari
konsepsi,, korelasi dan implementasi serta refleksi atas kiprah postivisme hukum
dalam hubungannya dengan kekuasaan dan perubahan sosial sehingga didapatkan
uraian yang memadai dalam memahami positivism hukum, khususnya di
Indonesia.
C. PEMBAHASAN
a. Positivisme Hukum, Kekuasaan, dan Perubahan Sosial
Positivisme Hukum
Secara etimologis, kata positivisme dalam bahasa inggris “positivism”
berasal dari bahasa latin : ponerre – posui – positus yang berarti meletakkan.6
Istilah positivism lahir dari pengembaraan filsafat dalam merasionalisasikan
berbagai pemikiran-pemikiran keilmuan yang oleh Auguste Comte (17981857) merupakan akhir dari bentuk pengembaraan pemikiran teologi,
metafisika dan filsafat. Istilah positif oleh comte didefinisikan dalam beberapa
pengertian, yaitu :
6 Loren bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2002,
cet. 3, h. 858.
5 | m akal ah s o s i o l o gi h u ku m , 2 0 1 2
1) Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bersifat khayal, maka
pengertian “positif” pertama-tama diartikan sebagai pensifatan sesuatu
yang nyata;.
2) Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang tidak bermanfaat, maka
pengertian “positif” sebagai penafsiran sesuatu yang bermanfaat;
3) Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang meragukan, maka pengertian
“positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti;
4) Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang kabur, maka pengertian
“positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang jelas atau tepat.
5) Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang negative, maka pengertian
“positif” dipergunakan untuk menunjukkan sifat-sifat pandangan
filsafatnya yang selalu menuju ke arah penataan dan penertiban.7
Konsepsi “positif” merambah segala bidang pemikiran keilmuan
termasuk ilmu hukum yang selanjutnya dikenal dengan istilah Positivisme
hukum, yang oleh Immanuel Kant menyebutnya “hukum produk akal praktis”,
Austin menyebutnya “tata hukum”, Ernst Bierling menyebutnya “Aturan
positif”,
Stammler
menyebutnya
“Kehendak
Yuridis”,
dan
Kalsen
menyebutnya “hukum murni”. H.L.A. Hart telah mengidentifikasi cirri-ciri
yang merupakan esensi dari positivisme dalam ilmu hukum sebagai berikut :
1. Hukum adalah perintah;
2. Tidak ada suatu kebutuhan untuk mengaitkan atau menghubungkan antara
hukum dengan moral atau hukum sebagaimana adanya (law as it is)
dengan hukum sebagaimana seharusnya (law as ought to be);
3. Analisis atau studi tentang makna konsep-konsep hukum adalah suatu
studi yang penting, (analisis atau studi tadi) harus dibedakan dari studi
sejarah, studi sosiologis, dan penilaian kritis dalam makna moral, tujuantujuan sosial, dan fungsi-fungsi sosial;
4. Sistem hukum adalah suatu system tertutup yang logis, yang merupakan
putusan-putusan yang tepat serta dapat dideduksikan dari aturan-aturan
yan ada sebelumnya; dan
5. Pertimbangan secara moral tidak dapat dipertahankan, kecuali dengan
argument rasional, fakta-fakta atau bukti.8
7 F. Budi Hardiman, “Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche ”,
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004, h. 204 – 205.
8 Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum; Studi tentang Perkembangan
Pemikiran Hukum di Indonesia 1945 – 1990, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010,
h. 68
6 | m akal ah s o s i o l o gi h u ku m , 2 0 1 2
Teorisasi positivisme hukum ini menegaskan dirinya sebagai salah satu
mazhab yang berorietasikan pada kemurnian hukum dalam undang-undang
dan menolak berbagai bentuk pengaruh dan intervensi moral, realitas sosial,
dan bahkan tuntutan perubahan-perubahan sosial pun di tolak. Akibatnya,
undang-undang dan keseluruhan peraturan-peraturan dipikirkan sebagai
sesuatu yang memuat hukum secara lengkap sehingga tugas hakim tinggal
menerapkan ketentuan undang-undang secara mekanis dan linear untuk
menyelesaikan permasalahan masyarakat sesuai bunyi undang-undang.
Dalam perkembangannya, mazhab positivisme mempengaruhi negaranegara system kodifikasi dengan undang-udang sebagai satu-satunya sumber
yang pasti. Di Indonesia, menurut Widodo, bahwa psotivis hukum Indonesia
dipengaruhi oleh ajaran legisme9 yang dikembangkan di Hindia Belanda yang
dapat dibaca dalam pasal 15 Algemene Bapelingen van Wetgeving yang antara
lain berbunyi
“Terkecuali penyimpangan-penyimpangan yang ditemukan
bagi orang-orang Indonesia dan mereka dipersamakan dengan orang-orang
Indonesia, maka kebiasaan bukanlah hukum, kecuali menghendakinya”.
Bahkan pengaruh legisme ini terasa dalam lapangan hukum pidana Indonesia
dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
berbunyi :”Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar peraturan
berkekuatan undang-undang yang terlebih dahulu ada dari perbuatan
tersebut.”.
Hukum pada setiap pasal dalam undang-undang dimaknakan secara
“tekstual”. Sebagai teks, hukum ditafsirkan maknanya secara semantik dan
diyakini maknanya dapat mengantarkan manusia kepada keadilan yang
dibawa oleh hukum. Positivisme hukum hanya menafsirkan hukum sebagai
9 Aliran legisme berkeyakinan bahwa undang-undang merupakan obat
mujarab yang mampu menyelesaikan segala persoalan sosial. Cara pandang
ajaran legisme mirip dengan positivisme hukum..lihat Widodo Dwi Putro,” Kritik
terhadap Paradigma Positivisme Hukum”, Yogyakarta, Genta Publishing, 2011, h.
26 – 27.
7 | m akal ah s o s i o l o gi h u ku m , 2 0 1 2
teks yang terdiri dari serangkaian huruf dan kalimat, melihat teks secara
diskursif sebagai sebuah symbol, terlebih symbol cultural tidak menjadi
bahasan yang serius, hukum hanya dilihat sebagai sebuah teks harfiah yang
ditafsirkan “semata-mata” dengan type penafsiran gramatikal.10
Dalam konteks positivise hukum, hukum tidak dipandang secara
ideologis apalagi melihat hukum dalam perspektif sosiologis, atau ragam
hukum yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, jika
dalam undang-undang “dilarang mencuri”, maka hukum tidak melihat aspek
dosa dalam mencuri, mencuri dapat merusak moral public dan keadilan,
mencuri itu mengurangi hak orang lain, tetapi ia lebih dimaknakan sebagai
sebuah larangan untuk mengambil barang orang lain dan dapat dipidana
seperti yang termaktub dalam teks KUHP pasal 362 “Barang siapa mengambil
suatu barang, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan
maksud memilikinya secara melawan hukum diancam karena pencurian
dengan pidana paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak
Sembilan ratus ribu rupiah”.11
Jadi, positivisme hukum ini menegaskan dirinya sebagai salah satu
mazhab yang berorietasikan pada kemurnian hukum dalam undang-undang
dan menolak berbagai bentuk pengaruh dan intervensi moral, realitas sosial,
dan bahkan tuntutan perubahan-perubahan sosial pun di tolak, dimensi sejarah
dilupakan, aspek ekonomi diabaikan dan peran politik pun ditolak.
Kekuasaan
10 Lihat Antonius Cahyadi “Hukum sebagai teks ; penanda yang kosong”
dalam “Sosiologi Hukum dalam Perubahan”, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,
2009, h. 293
11 Solahuddin, SH., kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana &
Perdata, di lengkapi dengan UU no. 27 tahun 1999 tentang Perubahan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap
Negara”, Jakarta Selatan, Visimedia, 2010, h. 86.
8 | m akal ah s o s i o l o gi h u ku m , 2 0 1 2
Term kekuasaan menjadi factor dominan dan penentu tegaknya hukum,,
tanpanya hukum tidak bermakna apa-apa, ia menyentuh segala aspek dan
dimensi kehidupan manusia baik dalam persepktif sosiologis maupun
positivis. Bahkan tidak jarang, kekuasaan diperebutkan oleh banyak kekuatankekuatan, baik secara individual maupun kelompok. Wikipedia menjelaskan
bahwa kekuasaan dimaknakan sebagai kewenangan yang didapatkan oleh
seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai
dengan kewenangan yang diberikan.12 Makna kekuasaan sangatlah beragam
dengan pola dan metode perolehannya yang berbeda-beda, sehingga siring
didengar bahwa “raja” adalah symbol kekuasaan bagi negara monarki,
presiden adalah symbol kekuasaan bagi negara republik, perdana menteri,
senator, pejabat, adalah symbol-simbol kekuasan dalam satu negara dan
kekusaan adalah negara.
Kekuasan dalam negara telah lama diperdebatkan dan telah melahirkan
konsep-konsep kekuasaan negara dengan segala bentuk dan variannya. Zaman
klasik ditunjukkan dengan kekuasaan para raja dan aristokrat, abad
pertengahan kekuasaan ditunjukkan oleh dominasi agama, abad 19 kekuasaan
ditunjukkan oleh totaliterianisme, kapitalisme dan sosialisme, dan abad ke-20
hingga abad modern ini, kekuasaan ditunjukkan oleh demokrasi sehingga
banyak melahirkan konsep-konsep negara, seperti negara hukum, negara
kesejahteraan (walfere state) dan lain sebagainya. Semua konsep negara diatas
dilegitimasi oleh kekuasaan. Konsep kekuasaan tersebut yang oleh Max
Weber menyebutnya sebagai “prestise kekuasaan” yang dalam praktiknya
berarti kejayaan kekuasaan atas komunitas-komunitas lain, berdasarkan
kekuasaan ini para anggota bisa berpretensi pada suatu “prestise” khusus dan
pretense mereka mungkin mempengaruhi tingkah laku eksternal struktur
12 Id.wikipedia.org.
9 | m akal ah s o s i o l o gi h u ku m , 2 0 1 2
kekuasaan. Pengalaman mengajarkan bahwa klaim atas “prestise” selalu
menjadi penyebab pecahya perang.13
Menurut teori konstitusi, terdapat dua macam pendistribusian kekuasaan
dalam suatu negara, yaitu kekuasaan vertical dan kekuasaan yang horizontal.14
Negara dianggap sebagai kumpulan individu, rakyat, yang hidup dalam suatu
bagian permukaan bumi tertentu dan tunduk pada kekuasaan tertentu dengan
kedaulatan sebagai cirri definitive dari kekuasaan.15 Kekuasaan yang didapat
oleh negara, yang oleh Montesquieu dalam trias politica ini harus diberikan
kepada pihak yang berbeda-beda, terutama untuk menjaga agar hak-hak
rakyat tidak dilanggar, menumpuknya tiga kekuasaan ini pada satu tangan
adalah sangat berbahaya dan dapat menyebabkan inefesiensi, korupsi dan
kesewenang-wenangan. Berbeda dengan Montesquieu, Van Volenhoven
justeru medsitribusikan kekuasaan pada empat pilar penting dalam negara,
yaitu 1) regeling (legislative), 2) bestuur (eksekutif), 3) rechtspraak
(yudikatif), dan 4) politie, yaitu sebuah badan yang bertugas menjaga tata
tertib untuk mengawasi agar semua cabang pemerintahan dapat menjalankan
fungsinya dengan baik.16
Distribusi kekuasaan di atas merupakan salah satu cirri dari konsep
negara hukum (rechtsaat) yang kini banyak dianut oleh negara-negara
demokrasi saat ini. Negara hukum menjadi batasan dari sebuah kekuasaan. Ide
pembatasan ini dianggap mutlak harus ada , karena sebelumnya semua fungsi
kekuasaan negara terpusat dan terkonsentrasi di tangan satu orang, yaitu
ditangan raja atau ratu yang memimpin negara secara turun temurun.
13 Max Weber, “Sosiologi”, diterjemahkan dalam “Essays in Sosiology”
oleh Noorkholish dkk, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009, h. 192.
14 Distribusi kekuasaan vertical mengajarkan tentang pembagian
kekuasaan antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sedangkan distribusi
kekuasaan horizontal adalah pembagian kekuasaan yang ada di tingkat pusat
maupun yang ada ditingkat daerah, yang pembagiannya sering disebut sebagai
Trias Politica yang berisi distribusi kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif.
Lihat Munir Fuaidy, Teori Negara Modern…op.cit. h. 103.
15 Hans Kelsen, Teori Umum..op.cit. h.360
16 Munir Fuaidy, Teori negara..op.cit. h. 105
10 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
Bagaimana mungkin kekuasaan negara itu dikelola sepenuhnya tergantung
kepada kehendak pribadi sang raja atau ratu tersebut tanpa adanya control
yang jelas agar kekuasaan itu tidak menindas atau meniadakan hak-hak dan
kebebas rakyat.17
Harus di akui, bahwa kekuasaan dengan system monarki telah berabadabad terhapus dalam konteks kekuasaan saat ini, dan kini tinggal sisa-sisa
yang tidak memberikan pengaruh yang cukup signifikans dalam mengatur dan
mengelola kehidupan bermasyarakat, toh, jika pun masih ada, tatanan
hukumnya pun sudah mengalami perubahan yang mendasar. Di Indonesia,
kekuasaan oleh raja kini sudah terhapus semenjak kolonialisme belanda
sampai pada era sekarang ini, namun posisi dan strata raja dan ratu di
Indonesia masih dihormati sebagai khas dan penyangga budaya bangsa.
Bahkan, di Inggris yang memiliki raja pun tetap mengenal system distribusi
kekuasaan walaupun tidak setegas negara demokrasi. Namun, kebijakan dan
praktek hukumnya telah ada dalam konstitusi. Aristoteles pun pernah
berpendapat bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh satu orang bukan
merupakan pemerintahan yang konstitusional.
Jadi, Kekuasaan adalah bagian penting dalam upaya penegakan hukum,
tanpanya hukum tidak akan mampu berbuat apa-apa. Semua golongan dan
kelompok membutuhkan kekuasaan untuk menguasai dan mempengaruhi
kelompok lain. Namun, dalam negara modern saat ini, kekuasan bukan berarti
kekuasaan yang bebas untuk menindas dan memperlakukan hukum, akan
tetapi kekuasaan tersebut memiliki batasan-batasan yang seimbang dengan
kekuasaan lainnya agar satu sama lainnya dapat saling mengawasi dan
mengontrol sehingga penindasan, eksploitasi dan sebagainya dapat dihindari.
Perubahan Sosial
17 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2010, h. 282
11 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
Jika, positivisme menganggap bahwa ia merupakan akhir dari
segalanya, karena kemajuan abad ke-19 telah menemui puncaknya sehingga
tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi dalam berbagai realitas perubahan
sosial. Maka, justeru sebaliknya, bahwa kemajuan yang dicapai pada era
positivisme ini bukanlah akhir dari segalanya, masyarakat terus bergerak dan
berinteraksi dalam problematikanya yang sangat kompleks dan dipengaruhi
oleh berbagai kekuatan-kekuatan yang tumbuh dan ada di dalam suatu
masyarakat.
Menurut Satjipto Raharjo, Perubahan-perubahan dalam masyarakat
menampilkan perkembangan baru yang menggugat masa kebebasan abad ke19. Negara semakin mempunyai peran penting dan melakukan campur tangan
yang aktif, struktur politik juga telah mengalami perubahan besar, kaum
pekerja makin memainkan peranan penting dalam politik dan memperluas
demokrasi politik, cara-cara penanganan hukum yang didominasi oleh
kepentingan kaum borjuis digugat oleh kelas pekerja yang sekarang menjadi
konsituen dalam penggung politik.18 Sehingga hukum tidak lagi dapat
mempertahankan lebih lama politik isolasinya dengan menjadikan dirinya
sebagai institusi yang steril dan murni dari pemikiran-pemikiran sosial,
ekonomi, dan politik.
Institusi hukum yang steril dari berbagai kekuatan-kekuatan kultur,
sosial,
ekonomi,
maupun
politik
sangatlah
tidak
dapat
dielakkan,
bagaimanapun kekuatan tersebut tetap saling berinteraksi dan mempengaruhi
dalam struktur sosial masyarakat. Setiap masyarakat memiliki kultur yang
berbeda dengan masyarakat lainnya, sehingga penerimaan atas hukum pun
menjadi berbeda-beda pula, dan jika dipaksakan maka justeru akan
melahirkan Konflik-konflik yang tidak berkesudahan.
18 Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum ; Perkembangan metode dan Pilihan
Masalah”, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, h. 11
12 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
Merespon perubahan sosial ini, Reberto M. Urger menggambarkan
bahwa selama ini, masayarakat terkotak dalam 3 tipelogi masyarakat yaitu 1)
masyarakat kesukuan, 2) masyarakat liberal, dan 3) masyarakat aristokratis.
Ketiga bentuk masyarakat ini berbeda-beda karakter dalam merespon
perubahan yang sesuai dengan kehidupan sosial masing-masing. Namun,
persoalan yang kerap dihadapi adalah pandangan tentang apa yang ideal dan
pengalaman kenyataan yang sesungguhnya.19
Pada masyarakat kesukuan, hanya ada kemungkinan bahwa konsesnsus
komunitas akan bercerai berai dan memungkinkan munculnya kepercayaankepercayaan yang menentang cara-cara yang sudah lazim. Kemungkinan ini
jarang terwujud, namun, kalau toh sempat muncul perubahan, umumnya
cenderung tidak ebertubi-tubi dan tidak disadari. Perubahan structural lebih
pada suatu penyimpangan kebiasaan daripada takdir yang wajar.
Pada masyarakat liberal, selalu ada Konflik nyata antara apa yang
diharapkan manusia dari masyarakat dengan apa yang sesungguhnya yang
mereka dapatkan darinya. Konflik ini memuncak dengan adanya kebutuhan
kuat akan kekuasaan yang mengatur, ditambah dengan ketidakmampuan
untuk meyangga jenis kekuasaan apapun. Dikarenakan ada Konflik dari
banyak segi antara ideal dan kenyataan ini, maka perubahan di masyarakt
liberal berlangsung amat cepat dan luas.
Sedangkan pada masyarakat aristokratis, hubungan antara ideal dan
pengalaman dirasakan lebih akrab. Namun, masih ada gap yang cenderung
tersembunyi. Ambisi golongan-golongan nonaristokratis tidak mungkin
diselaraskan dengan tatanan sosial, visi moral atau religious masyarakat
tampaknya membenarkan sekaligus mengutuk hirarki-hirarki yang sudah
mapan. Dalam masyarakat ini, perubahan bisa berlangsung lebih lambat dan
kurang nyata daripada perubahan dalam masyarakat liberalism.
205
19 Roberto, M. Urger, Teori Hukum Kritis, Bandung, Nusa Media, 2008, h.
13 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
Dari ragam corak masyarakat di atas, maka dapat diamati proses
perubahan sosialnya yang oleh Satjipto Raharjo, dibedakan dalam tiga irama
perubahan, yaitu, 1) perubahan yang beringsut, 2) perubahan yang luas dan
serba meliputi, dan 3) perubahan revolusioner).20 Perubahan yang beringsut
memberikan
tambahan-tambahan
pada
keadan
semula
tetapi
tanpa
mengadakan perubahan dalam substansi maupun strukturnya, selain bentuk
penambahan tersebut bisa juga berupa pengurangan, peniadaan atau
modifikasi terhadap substansi yang ada, namun demikian tetap tidak
menimbulkan perubahan pada keadaan semua.
Perubahan ini tampak pada corak masyarakat kesukuan, dimana
perubahan yang terjadi tidak sampai merubah keadaan yang semua, normanorma yang ada pada masyarakat kesukuan ini dapat dikuragi atau
dimodifikasi substansinya karena normanya tumbuh dan hidup di dalam
masyarakat dan tidak tertulis secara nyata. Sehingga norma-norma yang baru
hadir dihadapan mereka dapat diterima sebagai tambahan atau bahkan dapat
ditolak atau dikurangi jika itu menimbulkan perubahan pada keadaan semula.
Jika, norma – norma hukum positif bertentangan dengan kultur dan budaya
mereka maka mereka cenderung mengabaikannya atau bahkan menolaknya
dan tidak menggunakannya sebagai hukum di dalam masyarakat.
Sedangkan, irama perubahan yang luas dan serba meliputi ini sama
dengan perubahan beringsut tetapi memiliki jangkauan yang lebih luas,
perubahan ini bisa tampak pada masyarakat aristokratis karena masyarakatnya
justeru berada pada gabungan antara masyarakat kesukuan dan masyarakat
liberalism, sehingga dampak perubahannya pun bisa menyentuh masayakat
kesukuan maupun liberalism, walaupun proses perubahannya akan terjadi
secara lambar, karena ada kepentingan yang berbeda di dalam masyarakat
aristokratis namun mereka saling menghormati.
20 Satjipto Raharjo, “Hukum dan Perubahan Sosial; Suatu Tinjauan Teoritis
serta pengalaman-pengalaman di Indonesia”, Yogjakarta, Genta Publishing, 2009,
h. 39
14 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
Terakhir, adalah perubahan revolusioner, yaitu perubahan yang meliputi
penggantian suatu tipe norma secara menyeluruh oleh yang lain dan
merupakan penolakan atas tingkah laku yang sama. Perubahan ini tampak
pada corak masyarakat liberalism, seperti perubahan yang pernah dilakukan
oleh kapitalisme liberal, karena menolak segala bentuk tatanan norma yang
telah lama dan tidak seirama dengan perkembangan zaman baik itu dalam
kompetisi ekonomi, politik dan sebagainya.
Jadi, perubahan sosial tidak pernah terhenti di dalam masyarakat oleh
karena positivisme hukum, dan perubahan tidak pernah memandang bahwa
positivis adalah akhir dari bentuk kemapanan masyarakat. Banyak perubahanperubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat, karena sesungguhnya
masyarakat sangat beragam dan memiliki karakter dan tipelogi tang berbedabeda dalam merespon berbagai persoalan, termasuk persoalan positivisme
hukum.
b. Positivisme Hukum dan Kekuasaan saling Berkepentingan
Hukum dan kekuasaan dalam percaturan sejarahnya, yang oleh para
filosuf dan pemikir-pemikirnya diposisikan sebagai pranata yang saling
membutuhkan satu sama lainnya, khususnya oleh kaum positivisme hukum.
Kekuasaan yang diberikan kepada negara untuk mengatur tata kehidupan
masyarakat yang tunduk terhadapnya membutuhkan peraturan-peraturan yang
dapat menertibkan dan mencitakan perdamaian bagai masyarakatnya. Untuk
itu,
hukum
sangatlah
membutuhkan
negara,
dan
negara
sangatlah
membutuhkan hukum bahkan penyadingan keduanya dikenal dengan istilah
negara hukum.
Dalam negara hukum, hukum memainkan peranannya yang sangat
penting dan berada di atas kekuasaan dan politik. Di dalam negara-negara
yang memberlakukan common law, maka pemerintahannya didasarkan atas
hukum dan bukan atas kehendak manusia (government by law, not by men)
15 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
atau bukan system pemerintahan yang berdasarkan rule of law bukan rule of
men. Sedangkan, dalam negara-negara yang memberlakukan system hukum
anglo saxon, maka pemerintahannya pun di dasarkan atas hukum sehingga di
kenal dengan itilah rechtstaat, bukan mathstaat atau “negara kekuasaan”.
Dalam bahasa Prancis di sebut “Etat de Droit”, Italia menyebutnya “Stato di
Dirtto” dan Indonesia meyebutnya “negara hukum”.21
Teori negara hukum, menegaskan bahwa hukum memberikan batasanbatasan yang riel atas kekuasaan, yang dalam trias politica Montesquieu
membaginya dalam kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif. Berangkat
dari sinilah, dapat diurai secara lebih rinci bentuk saling berkepentingannya
hukum dengan kekuasaan. Hukum masuk dalam ranah kekuasaan untuk
dirumuskan dan disepakati dalam legislasi, dan dilaksanakan oleh eksekutif
dan dikontrol dan ditegakkan oleh yudikatif. Begitu juga sebaliknya,
kekuasaan masuk dalam ranah hukum untuk melegitimasi kekuasaan dan
kewenangan yang diberikan untuk kemudian dapat dijadikan sebagai pijakan
dan dasar untuk memaksa dan mengikat masyarakat yang tundak terhadap
kekuasaannya.
Dalam uraian positivisme hukum dan kekuasaan, dan telah dijelaskan
bahwa Hans Kelsen memandang bahwa “kekuasaan” dalam arti negara mesti
berupa validitas dan efektifitas tatanan hukum nasional, jika kedaulatan
dipandang sebagai satu kualitas dari kekuasaan itu. Sebab, kedaulatan hanya
bisa menjadi kualitas dari tatanan normative sebagai kekuasaan yang
merupakan sumber hak dan kewajiban. Untuk itu menjelaskan berbagai fungsi
hukum atas kekuasaan menjadi sangat penting untuk dapat mengurai saling
bekepentingannya hukum dengan kekuasaan yang berdasar pada teori
distribusi kekuasaan oleh Montesquieu tersebut, seperti dijelaskan berikut ini :
a. Fungsi eksekutif
21 Lihat Munir Fuaidy, “Teori…”, op.cit. h. 2
16 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
Menurut Hans Kelsen, berbicara mengenai eksekutif yang berarti
pelaksanaan, kita harus bertanya apa yang dilaksanakan. Tidak ada
jawaban lain kecuali pernyataan bahwa yang dilaksanakan itu adalah
norma-norma umum, konstitusi, dan hukum-hukum yang dibuat oleh
legislative. Namun, fungsi eksekutif ini seringkali dibedakan lagi menjadi
dua fungsi yaitu fungsi administrative dan fungsi politik.22
Fungsi politik,biasanya menunjuk pada tindakan-tindakan tertentu yang
bertujuan memberikan arahan bagi pelaksanaan dan dengan demikian
memiliki
makna
politik,
sedangkan
fungsi
administrative
ini
diejawantahkan dalam tindakan-tindakan organ administrasiv dalam
eksekutif seperti kepala negara, menteri, kepala daerah dan sebagainya.
Namun, tidak ada satu kebijakan yang dapat melepaskan suatu tindakan
eksekutif dari karakternya sebagai tindakan pelaksanaan hukum.
Penjelasan ini menegaskan bahwa fungsi-fungsi negara terbukti identik
dengan fungsi-fungsi esensial hukum, karena eksektuif tidak terlepas dari
karakter hukum, dan hukum tidak berjalan tanpa ada eksekutif.
b. Fungsi Legislatif
Fungsi ini memiliki karakter yang berbeda dengan fungsi eksekutif dan
yudikatif dan bergantung pada sisten negara yang dianut. Dalam system
negara hukum, fungsi legislative bertugas untuk membuat undang-undang
yang dirumuskan dari norma-norma umum yang berlaku di dalam
masyarakat, untuk kemudian menjadi pijakan dan pedoman pelaksanaan
kekuasaan oleh eksekutif dan yudikatif. Namun, fungsi ini juga dijalankan
oleh eksekutif dan yudikatif dalam bentuk lebih khusus dan memberi
penjelasan atas undang-undang yang bersifat umum, tetapi berbentuk
peraturan atau ordonansi.23 Jadi, fungsi legistlatif ini juga menegaskan
22 Hans Kelsen, Teori umum…, op.cit. h. 361
23 Ibid.h.362
17 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
bahwa hukum melegitimasi kekuasaan dan hukum memberi ruh pada
kekuasaan.
c. Fungsi yudikatif
Salah satu tugas utama dari fungsi yudikatif adalah membuat normanorma khusus berdasarkan norma-norma umum yang dilahirkan oleh
undang-undang dan kebiasaan, dan menerapkan sanksi-sanksi yang
ditetapkan oleh norma-norma umum dan norma-norma khusus ini.24
Penerapan sanksi merupakan pelaksanaan hukum dalam arti yag lebih
sempit dan terbatas dan diwujudkan dalam melalui lembaga-lembaga
kekuasaan kehakiman. Jadi, hukum melalui fungsi ini ditegakkan dan
kekuasaan melalui fungsi ini dijaga.
.Ketiga fungsi tersebut diatas memberikan gambaran yang jelas bahwa
positivisme hukum merupakan salah satu kekuatan untuk mendukung dan
melegitimasi kekuasaan, dan mensterilkan kekuasaan dari berbagai kritik
sosial dan hukum atasnya, karena hukum telah memberikan jaminan yang
berkekuatan dan menundukkan segala kekuasaan yang bisa saja hadir dari
berbagai individu atau kelompok, dalam satu kekuasaan negara.
Di Indonesia, telah menganut doktrin pemisahan kekuasaan ini secara
nyata, khususnya setelah UUD 1945 mengalami empat kali perubahan.
Namun, pembagian kekuasannya dikelompokkan dalam beberapa lembaga
tinggi negara seperti presiden, DPR, DPD, MK, dan MA. Ada beberapa bukti
yang menunjukkan bahwa Indonesia menganut doktrin distribusi kekuasaan
ini yang satu sama lainnya menunjukkan saling berkepentingan antara hukum
dan kekusaaan tersebut, yaitu :
1) Adanya pergeseran kekuasaan legislative dari tangan presiden ke DPR.
Ketentuan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan dengan pasal 5
ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan menegaskan
bahwa kekuasaan untuk membentuk undang-undang yang sebelumnya
berada pada tangan presiden, sekarang beralih ke DPR;
24 Ibid. h. 364
18 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
2) Diadopsikannya system pengujian konstitusional atas undang-undang
sebagai produk legislative oleh Mahkamah konstitusi. Sebelumnya tidak
dikenal adanya mekanisme semacam itu, karena pada pokoknya undangundang tidak dapat diganggu gugat dimana hakim hanya dapat
menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang;
3) Diakuinya bahwa lembaga pelaku kedaultan rakyat itu tidak hanya sebatas
MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung maupun
tidak langsung merupakan penjelmaan dari kedaulatan rakyat. Semua
lembaga tinggi negara berdaulat atas rakyat;
4) MPR tidak lagi berstatus sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan
merupakan lembaga tinggi negara yang sama derajatnya dengan lembaga
tinggi negara lainnya; dan
5) Hubungan-hubungan antar lembaga tinggi negara itu bersifat saling
mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and
balances.25
Berdasarkan perubahan-perubahan prinsip kekuasaan yang sangat
mendasar di Indonesia ini, memberikan ruang perubahan sosial dalam
realitasnya, jika dulu, hukum positive mengenkang partisipasi masyarakat
dalam lembaga kekuasaan, maka kini, partisipasi masyarakat untuk
menyampaikan aspirasi dan membentuk dan menemukan hukum menjadi
terbuka, masyarakat dapat berpartisipasi melakukan control terhadap
kekuasaan dan kekuasaan tunduk pada kedaulatan rakyat. Namun, dalam
persepektif hukum, positivisasi atasnya telah menutup ruang atas interpretasi
ruang-ruang sosial atas hukum, dan bahkan terlihat kaku dan anti atas
perubahan-perubahan sosial yang muncul. Ia bisa dirubah dan diinterpretasi
jika telah melalui mekanisme yang sesuai dengan hukum yang berlaku dalam
negara.
Jadi, positivisme hukum dan kekuasaan adalah saling berkepentingan
satu sama lainnya, hukum terkodifikasi oleh lembaga legislative, terlaksana
oleh eksekutif dan yudikatif, sedangkan kekuasaan terlegitimasi oleh hukum,
dan dikuatkan oleh norma-normanya yang dapat menundukkan setiap warga
negara atas kekuasaan negara tersebut. Positivisme hukum dan kekuasaan
25 Jimli Assiddiqie, Pengantar…, op.cit. h. 291 -292
19 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
terejawantah dalam fungsi-fungsi kekuasaan yang saling mengikatkan diri dan
menguatkan satu sama lainnya, sehingga hukum bisa dipengaruhi oleh
kepentingan kekuasaan atau bahkan sebaliknya kekuasaan mempengaruhi
kepentingan hukum.
Dalam persepektif sosiologi hukum, maka sesungguhnya hukum dan
kekuasaan memiliki interdependensi antara keduanya. Jika hukum memiliki
input yang lemah maka kekuasaan akan menjadi lebih dominan dan hukum
dalam diabaikan oleh kekuasaan, tetapi sebaliknya jika input huku menguat
atas kekuasaan, maka kekuasaan akan tunduk pada hukum, dan pada
penguatan hukum inilah konsep negara hukum dapat ditegakkan, karena
sesungguhnya perubahan sosial dalam kelangsungan hidup individu,
kelompok atau rakyat banyak bergantung pada kuatnya hukum bukan pada
kuatnya kekuasaan.
c. Perubahan Sosial Kritik atas Positivisme Hukum
Akhir-akhir
ini,
phenomena
dominasi
kekuasaan
atas
hukum
ditunjukkan oleh berbagai fakta-fakta hukum yang menyelimuti setiap
kebijakan pengausa, ada banyak Konflik norma yang terjadi antara undangundang yang satu dengan yang lainnya, norma-normanya dikaburkan untuk
kepentingan penguasa dan kapitalis, banyak norma yang tidak terakomodir
dalam positivisasi hukum bahkan rakyat kecil seringkali ditebas oleh hukum.
Konflik norma, tanpak pada norma HGU, HGB, hak kelola antara
undang-undang UU No. 5 tahun 60 tentang pokok-pokok hukum Agraria
dengan UU. No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing. Pasal 29
UUPA menjelaskan HGU diberikan dalam jangka waktu 25 tahun sementara
pada pasal 22 ayat (1) point a menegaskan HGU diberikan dalam jangka
waktu 95 tahun. Pasal 35 UUPA menegaskas HGB diberikan dalam jangka
waktu 30 tahun, berbeda dengan pasal 35 penanaman modal diberikan dalam
jangka waktu 80 tahun.
20 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
Sementara itu, konsep hak menguasai negara seringkali dikaburkan
ketika penguasa hendak menguasai atas tanah. Kini UUPA harus ditantang
dengan undang-undang lain seperti UU No, 22 tahun 2001 tentang minyak
dan Gas Bumi, UU No. 41 tentang kehutanan, UU No. 31 tentang Perikanan,
UU No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan. Semua Undang-undang ini,
bermaksud ingin menjelaskan secara lebih rinci akan makna dari UUPA,
tetapi norma-normanya justeru mengaburkan substansi dari UUPA yang begit
populis dan beralih pada kepentingan investasi. Akibatnya, berbagai kasus
eksplorasi tambang sering mendapat penolakan dan protes dari masyarakat,
belum lagi bencana yang harus menimpa masyarakat dan menghilangkan hak
milik masyarakat seperti kasus perlawanan masyarat Bima atas ekspolasi
tambang diwilayahnya, perlawanan masyarakat Mesuji atas perampasan
tanahnya, serta bencana lapindo yang tidak pernah bisa berhenti
menyengsarakan kehidupan masyarakat.
Dalam kasus yang berbeda, protes seorang ayah yang berjalan kaki
untuk mencari keadilan kepada penguasa atas kematian yang menimpa
anaknya yang justeru menjerat dan melibatkan aparat hukum tidak pernah
tuntas diselesaikan karena daluwarsa, sehingga nyaris keadilan tidak
didapatkan secara substanstif tetapi lebih pada ketakutan aparat hukum untuk
menegakkannya karena menyalahi prosedur-prosedur yang berliku-liku dalam
prosesnya. Belum lagi, kakunya hukum dalam menyidangkan kasus-kasus
kecil seperti pencurian sanda bolong, pencurian tuga kakao, dan sebagainya
dimana hukum bertindak tegas atas orang-orang miskin tersebut bagai pisau
yang tajam, sedangkan tumpul untuk memotong berbagai kasus besar yang
dilakukan oleh penguasa maupun kapitalis.
Melihat phenomena di atas, maka sesungghunya positivisme hukum
telah mengarahkan rakyat untuk terjebak dalam aturan-aturan yang kaku dan
buta sehingga banyak nilai dna norma yang tumbuh dalam kehidupan
masyarakt menjadi turut terjerat dan tidak ingin diakomodir oleh kekuasaan
21 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
dan positivisme hukum. Berkaitan dengan itu, Widodo, dalam bukunya
“Kritik atas postivisme hukum” menjelaskan bahwa “paradigm positivisme
hukum klasik yang menempatkan hakim sebgai tawanan undang-undang,
tidak memberikan kesempatan kepada pengadilan untuk menjadi suatu
institusi yang dapat mendorong perkembangan masyarakat. Pada era
reformasi pun, belum bisa mengatakan bahwa putusan-putusan hakim
berkontribusi besar bagi perubahan masyarakat di Indonesia”.26
Sebuah paradigm positivistic yang tidak berorientasi kepada keadilan
telah ditunjukkan oleh keputusan-keputusan hukum yang didedukasikan
secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada, tanpa menunjuk kepada
tujuan-tujuan sosial, kebajikan serta moralitas. Padalah Mahkamah Agung RI
sebagai badan pelaksana tertinggi kekuasaan kehakiman telah menentukan
bahwa putusan hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang berifat
yuridis, filosofis, dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin dicapai,
diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah
keadilan yang beriorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan
moral (moral justice), keadilan masyarakat (sosiac justice).27
Keadilan hukum (Legal Justice) yang dimaksud diatas adalah keadilan
yang berdasarkan hukum dan perundang-undangan. Dalam arti hakim hanya
memutuskan perkara berdasarkan hukum positif dan peraturan perundangundangan. Sedangkan, keadilan moral (Moral Justice) dan keadilan sosial
(social justice) yang dalam penerapannya ditegaskan bahwa “hakim harus
menggali nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat” seperti yang
terdapat dalam vide pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009, yang jika
dimaknai secara mendalam hal ini sudah masuk kedalam perbincangan
tentang moral justice dan social justice yang sejatinya pelaksanaan tugas dan
26 Widodo dwi putro, “Kritik Terhadap Paradigm Positivisme Hukum”
Yogykarta, Genta Publishing, 2001, h. 1
27 Mahkamah Agung RI, “Pedoman Perilaku Hakim (Code of Condact),
Kode Etik Hakim dan Makalah yang berkaitan, Pusdiklat MA RI, Jakarta, 2006, h. 2
22 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
kewenangan seorang hakim dilakukan dalam kerangka menegakkan
kebenaran dan berkeadilan dengan berpegang kepada hukum, undang-undang,
dan nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat.28
Mencari keadilan inilah yang kemudian terus menjadi pertaruhan dalam
penegakan hukum, termasuk oleh hasrat dan cita-cita dari positivisme hukum.
Namun, alih-alih memberikan keadilan secara praktis, dalam dimensi teoritis
saja positivisme telah mengekang dan menganggap dirinya sebagai satusatunya mazhab yang paling benar dan akhir dari pengembaraan ilmu
pengetahuan maupun pengembaraan hukum mencari keadilan. Untuk itu,
untuk menggapai perubahan hukum yang berkeadilan, dan perubahan sosial
yang tunduk atas hukum, maka sinergi hukum dengan nilai-nilai lainnya yang
tumbuh dalam masyarakat harus dikombinasikan agar tidak saling
menimpangkan dan menindas satu sama lainnya.
Menyikapi persoalan ini, widodo menjelaskan bahwa ada beberapa alasa
penting positivisme hukum di Indonesia harus dikritik agar dapat memberi
perubahan-perubahan sosial dalam teori dan prakteknya. Alasan-alasan
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Di Indonesia, penelitian terhadap paradigma hukum secara filosofis belum
dilakukan secara sungguh-sungguh, bahkan boleh dikatakan belum
dimulai sama sekali. Ini sangat diperlukan, karena selama ini hakim hanya
mengedepankan uniformitas khususnya dalam hal penafsiran monolitik
terhadap makana norma-norma itu sendiri, sehingga bersifat gramatikal
dan cenderung tektual dan leksikal. Padahal penemuan hukum
(rechtsvinding) juga dapat dilakukan dengan metode-metode lain seperti
kostruksi atau argumentasi.
2. Ajaran positivisme hukum menempatkan hakim hanya sebagai corong
undang-undang, tidak memberi ruang kepada hakim sebagai subyek
kreatif. Pikiran positivisme hukum biasanya tepat dan mampu bertahan
dalam keadaan masyarakat stabil, namun pada msa krisis dimana hukum
disiapkan menata proses interaksi dalam masyarakat telah gagal
menjalankan fungsinya.
28 Ahmad Rifai,”Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum
Progresif”, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, h. 127
23 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
3. Hukum oleh ajaran positivisme hukum digambarkan sebagai wilayah
steril, terpisah dari moral. Bahkan doktrin kelsenian menampik
keberadaan ilmu hukum yang terkontaminasi dari anasir-anasir sosiologis,
politis, ekonomis, historis dan sebagainya.
4. Dalam tradisi hukum civil law peran pemerintah dan parlemen dominan
dalam pembuatan hukum yang berupa peraturan-peraturan tertulis.
Kuatnya pengaruh positivisme hukum dalam system hukum Indonesia
ditandai dengan melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum. Padahal,
dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, penyeragaman hukum demi
kepastian hukum untuk seluruh wilayah nusantara justeru dapat
menimbulkan resistensi.
5. Ajaran positivisme hukum memberikan pemahaman kepada hakim bahwa
hukum semata-mata hanya berurusan dengan norma-norma. Cara pandang
yang demikian, membuat positivisme hukum melihat persoalan secara
“hitam putih” sebagaimana teks undang-undang. Padahal, masalah dalam
masyarakat terlalu besar untuk dimasukkan dalam pasal-pasal peraturan
perundang-undangan.29
Alasan-alasan di atas, menjadi sangat penting untuk disikapi oleh ajara
positivisme hukum, agar tidak terjebak dalam praktek-praktek hukum yang
jauh dari norma-norma keadilan yang tumbuh, hidup dan diakui kebenarannya
oleh masyarakat. Untuk itulah, maka positivisme hukum, kekuasaan dan
perubahan sosial harus dilihat secara utuh menjadi satu kesatuan yang saling
berkontribusi untuk menciptakan keadilan yang seadil-adilnya. Melakukan ini,
diperlukan perubahan cara pandang dari positivism hukum yang kaku, dan
buta harus dirubah dengan cara pandang pendekatan fungsional imperatif,
agar penegakan hak masyarakat dan perubahan sosial dapat ditilik dalam
hubungannya dengan berbagai fungsi hukum yang fundamental dalam system
kemasyarakatan pada umumnya.Fungsi imperatif, yang dimaksud di sini
adalah fungsi adaptasi, fungsi tujuan tertetu, fungsi integrative, dan fungsi
pemeliharaan pola.30
29 Widodo Dwi Putro, Kritik…, op.cit. h. 1 - 8
30 Anang Husni,”Hukum, Birokrasi dan Budaya”, Yogyakarta, Genta
Publishing, 2009, h. 11
24 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
Fungsi adaptasi, merupakan pengembanga kemamuan warga masyarakat
menyesuaikan diri terhadap perubahan yang sedang berlangsung. Fungsi
pencapaian tujuan tertentu harus disinergikan dengan memperhatikan kondisi,
kepentingan dan nilai yang tumbuh dan berkembang ditengah-tengah
masyarakat. Fungsi integrative merupakan upaya pembinaan kesatuan
kelompok masyarakat dengan prasyarat fungsional dalam mempertahankan
keutuhan kehidupan masyarakat. Serta, pemeliharaan pola dan pembentukan
komitmen
terhadap
kondisi
kehidupan
yang
serasi,
harmonis
dan
berkesinambungan menjadi sebuah pola yang tetap terjaga dan menguatkan
sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Akhirnya,
paradigm
perubahan-perubahan
menempatkannya
positivisme
sosial
dalam
yang
ada
pertimbangan
hukum
haru
didalam
dan
memperhatikan
masyarakat,
kebijakan
hukum
lalu
yang
diterapkannya, tanpa itu, maka positivisme hukum hanya akan menjadi alat
untuk menjalankan kepentingan penguasa dan bukan untuk kepentingan
keadilan masyarakat yang justeru bertetangan dengan prinsip-prinsip
penegakan hukum sebagaimana yang dicita-citakan positivisme. Jadi,
perubahan sosial yang terjadi saat ini adalah bagian dari respon masyarakat
terhadap ketidak adilan yang diciptakan oleh positivisme hukum, untuk itu,
hukum harus dilihat dalam fungsinya agar dapat memberikan perubahan yang
positif dan berkeadilan bagi masyarakat.
D. KESIMPULAN
1. positivisme hukum ini menegaskan dirinya sebagai salah satu mazhab yang
berorietasikan pada kemurnian hukum dalam undang-undang dan menolak
berbagai bentuk pengaruh dan intervensi moral, realitas sosial, dan bahkan
tuntutan perubahan-perubahan sosial pun di tolak, dimensi sejarah dilupakan,
aspek ekonomi diabaikan dan peran politik pun ditolak.
25 | m a k a l a h s o s i o l o g i h u k u m , 2 0 1 2
2. Kekuasaan adalah bagian penting dalam upaya penegakan hukum, tanpanya
hukum tidak akan mampu berbuat apa-apa. Semua golongan dan kelompok
membutuhkan kekuasaan untuk menguasai dan mempengaruhi