PERBANDINGAN PENGAWASAN PERBANKAN SEBELU. dcox

PERBANDINGAN PENGAWASAN
PERBANKAN SEBELUM DAN SESUDAH
ADA OJK

KELOMPOK III
BAGUS PRAYOGO (1574201164)
RYAN PRATAMA (

FAKULTAS ILMU HUKUM
UNIVERSITAS LANCANG KUNING
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Sebagai masyarakat umum yang kurang paham dalam bidang keuangan banyak yang tidak
mengetahui apa perbedaan tugas Bank Indonesia (BI) dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sebenarnya berbagi kewenangan dimana saat masa
pengalihan pengawasan Bank dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan memerlukan
kordinasi yang baik agar tidak saling mengambil alih tugas, perbedaaan BI dengan OJK adalah BI
berperan sebagai pengawas aspek makroprudensial dan OJK berperan sebagai pengawas

mikroprudensial.
Pada awal tahun 2014 oleh Agus Martowardojo selaku Gubernur BI di kantor Presiden,
Jakarta menyebutkan “Pada saat OJK menerima pengalihan pengawasan perbankan dari BI, OJK
akan lebih mengawasi aspek mikroprudensialnya, sedangkan umum tetap ada di BI dari segi
makroprudensial, namun tidak bisa betul-betul dipisahkan karenanya perlu ada sinergi dimana
implementasi pengawasan mikroprudensial dan makroprudensial itu perlu dilakukan dengan
baik”. Dari sini bisa kita tangkap tugas BI berfokus menjaga stabilitas keuangan contohnya
aturan batas minimal uang muka kredit kendaraan bermotor, pemilikan rumah serta aturan giro
wajib minimum (GWM), sedangkan tugas OJK lebih kepada pengaturan dan pengawasan
individual perbankan atau lembaga keuangan. Contoh kasus yang ditangani oleh OJK yakni kasus
tindak pidana perbankan, baik dari sisi nominal, kepengurusan bank,dan kualitas sumberdaya
manusianya.

2. Rumusan Masalah
1.
Sejarah BI (BANK INDONESIA) dan OJK (OTORITAS JASA KEUANGAN).
2.
Peran Pengawasan Perbankan oleh BI dan OJK

BAB II

PEMBAHASAN

BI (Bank Indonesia)
A. Sejarah BI
Saat kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950,
struktur perekonomian Indonesia, masih didominasi oleh struktur kolonial. Meskipun saat itu
struktur perbankan Indonesia boleh dikatakan merupakan komponen sarana moneter yang
tidak banyak berperan dalam operasi perbankan, tetapi kondisi semacam ini menimbulkan
keinginan kuat masyarakat untuk memasukkan lebih banyak unsur nasional dalam struktur
ekonomi Indonesia.
Bank Indonesia lahir setelah berlakunya Undang-Undang (UU) Pokok Bank Indonesia pada 1
Juli 1953. Sesuai dengan UU tersebut, Bank Indonesia sebagai Bank Sentral bertugas untuk
mengawasi bank-bank. Namun demikian, aturan pelaksanaan ketentuan pengawasan tersebut
baru ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 1/1955 yang menyatakan bahwa Bank
Indonesia, atas nama Dewan Moneter, melakukan pengawasan bank terhadap semua bank yang
beroperasi di Indonesia, guna kepentingan solvabilitas dan likuiditas badan-badan kredit
tersebut dan pemberian kredit secara sehat yang berdasarkan asas-asas kebijakan bank yang
tepat. Dari pengawasan dan pemeriksaan BI, terungkap berbagai praktik yang tidak wajar yang
dilakukan, seperti penyetoran modal fiktif atau bahkan praktik bank dalam bank. Untuk
mengatasi kondisi perbankan itu, dikeluarkan Keputusan Dewan Moneter No. 25/1957 yang

melarang bank-bank untuk melakukan kegiatan di luar kegiatan perbankan.
B. Tugas dan peranan Bank Indonesia
Tiga pilar yang merupakan 3 bidang tugas utama dari Bank Indonesia selaku Bank Sentral
adalah:
1) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Arah kebijakan didasarkan
pada sasaran laju inflasi yang ingin dicapai dengan memperhatikan berbagai sasaran ekonomi
makro lainnya, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang.Implementasi kebijakan
moneter ini dilakukan dengan menetapkan sasaran operasional, yaitu uang primer (base
money). Sebagaimana kita melakukan suatu pekerjaan, pasti kita membutuhkan alat untuk
mempermudah terlaksananya pekeriaan tersebut.
Demikian pula dengan Bank Indonesia. Untuk melaksanakan tugas di bidang moneter, Bank
Indonesia punya alat-alat canggih yang dikenal dengan piranti moneter, Piranti moneter
tersebut adalah, Operasi Pasar Terbuka, penentuan tingkat diskonto, dan penetapan cadangan
wajib minimum bagi perbankan (reserve requirements).
Berkaitan dengan peranannya di bidang moneter ini, Bank Indonesia juga menentukan
kebijakan nilai tukar, mengelola cadangan devisa, dan berperan sebagai lender of the last resort.

Dalam melaksanakan fungsinya sebagai lender of the last resort, Bank Indonesia dapat

memberikan kredit atau pembiayaan kepada bank yang mengalami kesulitan likuditas jangka
pendek yang disebabkan oleh terjadinya mismatch dalam pengelolaan dana dengan tetap
memperhatikan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dalam UU No. 23 Tahun 1999.
2) Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.
Selain tugasnya di bidang moneter dan perbankan, tugas Bank Indonesia lain yang tidak
kalah pentingnya adalah menyelenggarakan sistem pembayaran. Antara lain dengan jalan
memperluas, memperlancar, dan mengatur lalu lintas pembayaran giral dan menyelenggarakan
kliring antar bank.Program pengembangan sistem pembayaran nasional yang telah
dikembangkan, antara lain, Sistem Kliring Elektronik Jakarta (SKEJ), Penetapan Jadwal Kliring T +
0, Bank Indonesia Layanan Informasi dan Transaksi antar Bank secara Elektronis (BILINE), Sistem
Real Time Gross Settlement (RTGS), dan Sistem Transfer Dana dalam US dollar di Indonesia.
Bank Indonesia terus berupaya meningkatkan efisiensi sistem pembayaran nasional dan
memperkuat sistem pengawasan (oversight) sistem pengawasan dengan mewujudkan
perlindungan konsumen sistem pembayaran di Indonesia.
Di samping itu, terkait dengan tugasnya dalam bidang sistem pembayaran, Bank Indonesia
merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang mengeluarkan dan mengedarkan uang
rupiah serta mencabut, menarik uang tersebut dari peredaran. Di sini Bank Indonesia memiliki
hak tunggal dalam mengeluarkan uang kertas dan uang logam. Bank Indonesia harus tetap
menjaga uang selalu tersedia dalam jumlah yang cukup, dalam komposisi pecahan yang sesuai,

pada waktu yang tepat, dan dalam kondisi yang baik sesuai dengan kebutuhan.
3. Mengembangkan sistem perbankan dan sistem perkreditan yang sehat dengan
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perbankan.
Hingga akhir September 2000 terdapat 153 bank umum dan 7771 Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) yang beroperasi di Indonesia. Sebagai pembina dan pengawas perbankan, Bank Indonesia
bertindak seperti layaknya seorang "bapak" kepada "anak"nya.Dalam melaksanakan tugas
pembinaan dan pengawasan perbankan, tugas Bank Indonesia sebagai "Bapak" adalah
mengarahkan bagaimana agar tercipta perbankan yang sehat serta bermanfaat bagi
perekonomian masyarakat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan
mencabut izin atas kelembagaan atau kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan
pengawasan atas bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Di bidang pengawasan, Bank Indonesia melakukan
pengawasan langsung (on site supervision) maupun tidak langsung (off-site supervision).
Pengawasan langsung dilakukan baik dalam bentuk pemeriksaan secara berkala maupun
sewaktu-waktu bila diperlukan. Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui penelitian,
analisis, dan evaluasi terhadap laporan yang disampaikan oleh bank. Sebagai upaya
membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan dan perekonomian

Indonesia setelah terjadinya krisis, Pemerintah dan Bank Indonesia telah menempuh langkah

restrukturisasi perbankan yang komprehensif sejak tahun 1998.
Bank Indonesia selaku bank sentral berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 adalah
lembaga negara yang independen. Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia
mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk
mencapai tujuannya tersebut, tentu saja kegiatan yang dilakukan Bank Indonesia tidak sama
dengan yang dilakukan oleh bank pada umumnya.
Jadi, walaupun ada kata "Bank" pada Bank Indonesia, Bank Indonesia tidak melakukan
kegiatan komersial seperti yang dilakukan oleh bank pada umumnya baik itu Bank Umum
ataupun Bank Perkreditan Rakyat. Hal ini berarti, Bank Indonesia tidak bisa menerima tabungan,
giro, dan deposito dari masyarakat umum. Selain itu masyarakat umum juga tidak bisa secara
langsung meminta kredit ke Bank Indonesia.

OJK (Otoritas Jasa Keuangan)
A. Sejarah Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Secara historis, ide pembentukan OJK sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari
jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal
pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU tentang Bank Indonesia yang
memberikan independensi kepada Bank Sentral. RUU ini disamping memberikan independensi
tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. Ide pemisahan
fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur

Bundesbank (bank sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan RUU (kemudian menjadi
Undang-Undang No. 23 Tahun 1999) bertindak sebagai konsultan. Mengambil pola bank sentral
Jerman yang tidak mengawasi bank.
Di referensi yang lain mengemukaan secara historis, ide untuk membentuk lembaga khusus
untuk melakukan pengawasan perbankan telah dimunculkan semenjak diundangkannya UU
No.23/1999 tentang Bank Indonesia. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa tugas pengawasan
terhadap bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang
independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Dengan melihat ketentuan tersebut, maka
telah jelas tentang pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan independen harus
dibentuk. Dan bahkan pada ketentuan selanjutnya dinyatakan bahwa pembentukkan lembaga
pengawasan akan dilaksanakan selambatnya 31 Desember 2002. Dan hal tersebutlah, yang
dijadikan landasan dasar bagi pembentukkan suatu lembaga independen untuk mengawasi
sektor jasa keuangan.
Akan tetapi dalam prosesnya, sampai dengan tahun 2010. Perintah untuk pembentukkan
lembaga pengawasan ini, yang kemudian dikenal dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), masih
belum terealisasi. Kondisi tersebut menyebabkan dalam kurun waktu hampir satu dekade,

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak dapat menjadi pengawas perkembangan perbankan yang
belakangan ada banyak fenomena-fenomena negatif. Seperti Kasus Bank Centuri yang
melakukan penyimpangan tanpa ada ketakutan bertindak dan dikarenakan memang tidak ada

lembaga tertentu yang menjadi pengawas dari bank sentury. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini
bisa menjadi penting, apabila dalam perkembangan praktek perbankan dan pengawasan perlu
dilakukan dengan cara yang tepat dan sesuai dengan kepentingan.
Disisi yang lain, para pakar ekonomi mengemukakan pendapat mengenai OJK ini, bahwa
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mutlak dibentuk guna mengantisipasi kompleksitas sistem
keuangan global. Namun, RUU OJK harus dibahas simultan dengan paket RUU Keuangan lain,
sperti RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), RUU Pasar Modal serta amandemen UU
Bank Indonesia, Perasuransian dan Dana Pensiun. Hal tersebut terungkap dalam seminar
Reformasi. Sektor Keuangan memperkuat Fondasi, Daya Saing dan Stabilitas Perekonomian
Nasional. Pembentukan OJK diperlukan guna mengatasi kompleksitas keuangan global dari
ancaman krisis. Di sisi lain, pembentukan OJK merupakan komitmen pemerintah dalam
reformasi sektor keuangan di Indonesia. Pemerintah mempunyai komitmen tinggi dan
menjalankan mandat untuk melakukan reformasi di sektor keuangan.
Dengan melihat kehadiran OJK nantinya, dapat dimaksudkan untuk menghilangkan
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang selama ini cenderung muncul. Sebab dalam
OJK, fungsi pengawasan dan pengaturan dibuat terpisah. Akan tetapi meskipun OJK memiliki
fungsi pengaturan dan pengawasan dalam satu tubuh, fungsinya tidak akan tumpang tindih,
sebab OJK secara organisatoris akan terdiri atas tujuh dewan komisioner. Ketua Dewan
Komisioner akan membawahkan tiga anggota dewan komisioner yang masing-masing mewakili
perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan nonbank (LKNB). Kewenangan pengawasan

perbankan oleh Bank Indonesia akan dikurangi, namun Bank Indonesia masih mendampingi
pengawasan. Kalau selama ini mikro dan makro prudensialnya di Bank Indonesia, nanti OJK akan
fokus menangani mikro prudensialnya.

B. Fungsi dan Tujuan OJK
Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri
perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi sudah
harus terbentuk pada tahun 2010. Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (Otoritas Jasa Keuangan)
sebagai suatu lembaga pengawasan sektor keuangan di Indonesia yg perlu diperhatikan, karena
ini harus dipersiapkan dgn baik segala hal untuk mendukung keberadaan Otoritas Jasa
Keuangan tersebut.
a) Fungsi Otoritas Jasa Keuangan, yaitu:
1) Mengawasi aturan main yg sudah dijalankan dari forum stabilitas keuangan.
 Menjaga stabilitas sistem keuangan.


Melakukan pengawasan non-bank dalam struktur yg sama seperti sekarang.




Pengawasan bank keluar dari otoritas BI sebagai bank sentral dan dipegang oleh
lembaga baru.

b) Tujuan dalam pembentukan OJK (UU NO.21 TAHUN 2011 pasal 4)
2) Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel.
 Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan


stabil.

Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

C. Tugas dan Wewenang OJK

a) Tugas Otoritas Jasa Keuangan
Berdasarkan UU NO.21 tahun 2011 Pasal 6 tentang OJK adalah sebagai berikut :







OJK bertugas untuk mengatur dan mengawasi semua kegiatan yang berhubungan
dengan jasa keuangan di sektor perbankan. Diharapkan dengan adanya pengawasan
yang serius dari OJK tersebut,tidak ada lagi penyelewengan di sektor perbankan.
Selain bertugas untuk mengawasi jasa keuangan disektor perbankan,tugas lain yang
tidak kalah penting yang harus diemban oleh OJK ialah melakukan pengawasan pada
kegiatan jasa keuangan disektor pasar modal.
Perusahaan lain yang merupakan tanggung jawab OJK adalah pengawasan pada lembaga
perasuransian, lembaga pembiayaan,lembaga dana pensiun,dan jasa keuangan lain.

b) Wewenang Otoritas Jasa Keuangan.
Berdasarkan UU NO.21 tahun 2011 pasal 9, OJK dalam melaksanakan tugas pengawasan,
memiliki berbagai macam wewenang,diantaranya sebagai berikut:






OJK memilik wewenang untuk menetapkan sebuah kebijakan opersional pengawasan
terhadap setiap kegiatan jasa keuangan. Harapannya dengan adanya penetapan
tersebut, kegiatan jasa keuangan dapat berjalan dengan lancar.
OJK berwenang untuk melakukan pemeriksaan, pengawasan, penyidikan, perlindungan
terhadap konsumen serta tindakan lain terhadap lembaga keuangan sesuai dengan
Undang-Undang.
Memiliki kewenangan untuk memberlakukan sanksi administratif terhadap pihak-pihak
yang melakukan sebuah pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan pada
sektor jasa keuangan. Dengan pemberlakuan sanksi administratif tersebut diharapkan





akan meningkatkan kehati-hatian pada sektor jasa keuangan sehingga sektor jasa
keuangan bisa semakin professional.
Melakukan pengawasan terhadap setiap tugas yang dilakukan oleh kepala eksekutif.
Pengawasan tersebut penting untuk dilakukan agar terjadi sebuah professional
kerja,sehingga dapat berjalan sesuai dengan tujuan awal.
Berwenang untuk melakukan perintah tertulis yang berhubungan dengan lembaga jasa
keuangan maupun pihak-pihak lain. Dengan adanya wewenang tersebut diharapkan OJK
akan berkembang secara independen tanpa dicampuri oleh berbagai macam pihak.

Dalam melaksanakan tugas pengaturan, OJK juga memiliki wewenang, diantaranya sebagai
berikut:


Menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini.



Menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.



Menetapkan peraturan dan keputusan OJK.



Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan.



Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK.



Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapanperintah tertulis terhadap
Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu.
Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga
Jasa Keuangan.
Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan
menatausahakan kekayaan dan kewajiban.
Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.





1. Peran BI Pasca Terbentuknya OJK
Sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 8 UU No. 3 Tahun 2004, Bank Indonesia selaku
bank sentral memiliki tiga kewajiban dalam menjaga kestabilan rupiah yakni menetapkan
kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan
mengawasi perbankan. Namun, sejak terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tugas BI pun
berkurang dengan diserahkannya kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan ke OJK.
Adanya OJK, fungsi pengawasan lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank akan
diambil alih OJK. Sementara Bank Indonesia sebagai Bank Sentral hanya berperan sebagai
regulator kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas moneter. Dengan demikian pembentukan
OJK akan berdampak pada perubahan atas empat peraturan perundang-undangan terkait
dengan asuransi, pasar modal, perbankan, serta Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan lainnya. Secara substansi keberadaan OJK harus dapat menjembatani kepentingan
setiap regulator pengawasan saat ini.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah diundangkan dan diatur dalam Undang-undang (UU)
nomor 21 tahun 2011 yang disahkan pada tanggal 27 Oktober 2011 oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), setelah melalui masa 8 tahun Rancangan Undang-undang (RUU) sebelum
disahkan.
Dengan disahkannya RUU OJK, maka per tanggal 31 Desember 2012, Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) otomatis akan melebur ke dalam OJK. Sementara
untuk pengawasan perbankan, Bank Indonesia (BI) dipersilahkan masuk ke OJK pada awal 2013,
atau paling lambat Desember 2013.

2. Pengawasan Perbankan Sesudah Terbentuk OJK
Perbankan perlu diawasi dalam rangka untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat.
Ciri-ciri sistem perbankan yang sehat adalah pertama, sanggup menjaga kepentingan
masyarakat. Hal ini penting mengingat besarnya dana masyarakat yang terakumulasi pada
perbankan, sehingga gagalnya perbankan akan berdampak terhadap kepentingan masyarakat
luas. Kedua, perbankan yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengendalian
moneter. Sebagai lembaga intermediasi, perbankan dituntut mampu mendukung pertumbuhan
ekonomi masyarakat. Perbankan berperan menyalurkan dana masyarakat dari pihak yang
kelebihan dana kepada pihak yang membutuhkan dana, untuk menggerakkan ekonomi
masyarakat. Laju inflasi dan daya beli masyarakat juga perlu dikendalikan, sehingga tidak
membebani masyarakat. Ketiga, perbankan mampu mengembangkan usahanya secara efisien
dan wajar. Tingginya tingkat persaingan dapat menyebabkan inovasi yang tidak wajar dan
memunculkan kegiatan perbankan yang berpotensi merugikan masyarakat. Oleh karena itu
perbankan perlu di atur dan diawasi agar dapat tercapai praktik perbankan yang baik.
Sebelum terbentuk Otoritas Jasa Keuangan, perbankan diatur dan diawasi oleh Bank
Indonesia sebagai bank sentral. Sedangkan lembaga keuangan lainnya seperti Pasar modal,
lembaga pensiun, pegadaian dan pembiayaan diatur dan diawasi oleh BAPEPAM-LK (Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan). Masing-masing lembaga fokus pada lembaga
keuangan yang di awasi. Akan tetapi hal ini mengandung kelemahan, karena praktik lembaga
keuangan sekarang sudah semakin komplek. Teknologi informasi dan inovasi keuangan
menghasilkan sistem keuangan yang semakin rumit, dinamis dan saling terintegrasi antar
lembaga keuangan. Demikian pula dari aspek kepemilikan, konglomerasi pada lembaga
keuangan menyebabkan keterkaitan antar pemilik dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan
khusus pada lembaga keuangan.

3. Tugas BI Pasca Terbentuknya OJK
Pasca terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan, maka tugas Bank Indonesia adalah menjaga
stabilitas moneter dan mengatur sistem pembayaran. Selanjutnya untuk melaksanakan tugas
menjaga stabilitas moneter dan menjaga sistem pembayaran, maka Bank Indonesia sebagai

bank sentral bukan hanya mengawasi bank, tetapi juga dapat mengawasi pasar modal dan
lembaga keuangan non bank. Hal ini yang selama ini tidak pernah dilakukan oleh Bank
Indonesia. Kegiatan ini bertujuan untuk meyakinkan ada atau tidaknya resiko terganggunya
stabilitas sistem keuangan.
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia juga berperan sebagai lender of the last resort. Dalam
hal ini apabila terdapat bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membutuhkan pinjaman,
maka Bank Indonesia bertugas memberikan bantuan pinjaman dalam bentuk Fasilitas Pinjaman
Jangka Pendek (FPJP). Akan tetapi setelah pengaturan dan pengawasan perbankan dilakukan
oleh OJK maka yang mengetahui dan menguasai informasi kondisi perbankan adalah OJK.
Selanjutnya OJK akan melaporkan pada BI tentang kondisi bank yang memerlukan bantuan.
Tentu saja BI tidak dapat secara cepat memutuskan untuk memberikan FPJP, akan tetapi terlebih
dahulu akan melakukan konfirmasi dan peninjauan ulang. Hal ini berpotensi kurang efektifnya
peran BI sebagai lender of the last resort.
Sebagai lembaga yang bertugas menjaga sistem pembayaran dan mengatur kebijakan
moneter, maka Bank Indonesia menjaga kestabilan nilai rupiah. Salah satu intrumen yang dapat
digunakan oleh BI adalah menentukan tingkat suku bunga acuan (BI Rate), giro wajib minimum,
ketentuan devisa dan ketentuan kredit.
Pasal 39 UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, mengatur bahwa OJK berkoordinasi dengan
Bank Indonesia dalam menyusun pengaturan tertentu terkait dengan pengawasan di bidang
perbankan. Kemudian, Pasal 40 UU No. 21 Tahun 2011 lebih lanjut mengatur bahwa untuk
melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, misalnya dalam rangka penyusunan peraturan
pengawasan, Bank Indonesia tetap berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap bank
dengan menyampaikan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK.
Berdasarkan hal tersebut, maka apabila bank mengalami kesulitan likuiditas atau
memburuknya kesehatan bank, maka Bank Indonesia dapat memberikan kredit kepada bank
dengan jaminan agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Dengan demikian, tidak dapat
dipungkiri bahwa keberadaan Bank Indonesia sebagai LoLR masih sangat diperlukan disektor
perbankan dan OJK nantinya masih akan bergantung kepada Bank Indonesia khususnya yang
terkait dengan penyelamatan bank.

PERAN BANK INDONESIA DAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)
BANK INDONESIA

Pengawasan macroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam
Pasal 7 Undang-Undang OJK merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia.
Pengawasan macro prudential yaitu mengatur stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan
dan secara komprehensif mempersiapkan terjadinya risiko sistemik di sektor keuangan dengan
upaya membatasi dampak berantai terhadap keseluruhan ekonomi negara
Tujuan dari macro-prudential supervision adalah untuk meminimalkan dampak krisis keuangan
pada perekonomian suatu negara, antara lain dengan cara menginformasikan kepada otoritas
publik dan industri keuangan apabila terdapat potensi ketidakseimbangan di sejumlah institusi
keuangan serta melakukan penilaian mengenai potensi dampak kegagalan institusi keuangan
terhadap stabilitas sistem keuangan suatu negara.
Macro-prudential supervision terfokus pada aktivitas lembaga-lembaga keuangan yang memiliki
pengaruh signifikan pada pasar maupun sistem keuangan. Macroprudential
surveillance menyediakan sarana untuk memonitor dan mengatasi berbagai risiko yang akan
mengancam stabilitas sistem keuangan dan ekonomi riil secara keseluruhan. Selain itu, macroprudential surveillance juga dapat menyajikan penjelasan mengenai risiko sistemik dan mitigasi
dampak rembetan dari guncangan yang terjadi pada institusi keuangan yang dapat menggangu
siklus bisnis. Informasi dari Macro-prudential supervision akan membantu para pembuat
kebijakan mengenai perlunya bail-out (atau tidak) terhadap suatu institusi keuangan yang
tengah mengalami kesulitan likuiditas.
Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam prakteknya otoritas yang melaksanakan macroprudential surveillance membutuhkan akses yang cepat dan mudah terhadap data-data microprudential dan kewenangan resmi tanpa hambatan untuk memperoleh data-data tambahan
lainnya jika diperlukan. Krisis keuangan global yang terjadi saat ini telah memberikan pelajaran
bahwa sangat diperlukan hubungan yang erat antara pengawas bank (micro-prudential) dan
bank sentral selaku otoritas macro-prudential dalam merumuskan kebijakan yang tepat dan
cepat pada saat-saat genting. Selain itu, untuk menjamin efektivitas pengawasan diperlukan
independensi dari otoritas pengawas makro prudensial.
Di Indonesia, upaya memonitor dan menjaga stabilitas sistem keuangan telah dilakukan oleh
Bank Indonesia sejak pertengahan tahun 2003 dengan mengembangkan berbagai metode
analisa macro prudential yang mengevaluasi tingkat kesehatan, kekuatan dan kelemahan sistem
keuangan nasional. Analisa macro prudential yang dilakukan selama ini dipublikasikan dalam
suatu Kajian Stabilitas Keuangan secara berkala, telah membantu dalam menganalisis dan
menyajikan informasi mengenai ketahanan sistem perbankan dan dampak terhadap sistem
keuangan bila terjadi guncangan.Analisa dilakukan antara lain melalui pelaksanaan stress test
dengan berbagai alternatif skenario untuk membantu menentukan tingkat sensitivitas atau daya
tahan sistem keuangan nasional terhadap berbagai guncangan ekonomi. Disamping itu,
dilakukan juga analisa aspek kualitatif terkait dengan pemenuhan sistem keuangan Indonesia
terhadap standar internasional. Dalam rangka memonitor serta menjaga stabilitas sistem
keuangan tersebut Bank Indonesia telah mengembangkan beberapa perangkat yang berfungi
sebagai Early Warning System (EWS) seperti Financial Stability Indeks (FSI), Macro Stress Test,
Probability of Default (PD), Model EWS leading indicator sektor properti, transition matrices,
dan stress test mikro perbankan.

OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)
Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan
pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang
menjadi tugas dan wewenang OJK.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan OJK mempunyai
wewenang:


pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:



perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana
kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi
dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan



kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi,
dan aktivitas di bidang jasa;



pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:



likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum,
batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan
pencadangan bank;



laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;



sistem informasi debitur;



pengujian kredit (credit testing); dan



standar akuntansi bank;



pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:



manajemen risiko;



tata kelola bank;



prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan



pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan

Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat
peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain:


kewajiban pemenuhan modal minimum bank;



sistem informasi perbankan yang terpadu;



kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan
pinjaman komersial luar negeri;



produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;



penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan



data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.

Micro prudential supervision
Tujuan micro-prudential supervision adalah untuk menjaga tingkat kesehatan lembaga keuangan
secara individual. Untuk itu, otoritas pengawas lembaga keuangan menetapkan regulasi yang
berlandaskan pada prinsip kehati-hatian yang mencakup berbagai aspek yakni permodalan,
kualitas asset, manajemen, rentabilitas dan likuiditas serta sensitivitas terhadap risiko.
Disamping itu OJK juga melakukan pengawasan melalui dua pendekatan yakni: (i) analisis
laporan bank (off-site analysis) dan pemeriksaan setempat (on-site visit) untuk menilai kinerja
dan profil risiko serta kepatuhan lembaga keuangan terhadap peraturan yang berlaku.
Pengawasan micro prudential yang akan melakukan pengaturan dan pengawasan prudential
(pengawasan dan pengaturan ketentuan kehati-hatian) yang fokus pada keamanan dan
kesehatan individual lembaga keuangan, termasuk bank dan lembaga keuangan non bank
lainnya, dan
Kewenangan Pengaturan dan Pengawasan Bank OJK


Kewenangan memberikan izin (right to license), yaitu kewenangan untuk menetapkan
tata cara perizinan dan pendirian suatu bank, meliputi pemberian izin dan pencabutan
izin usaha bank, pemberian izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank,
pemberian persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, pemberian izin
kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu;



Kewenangan untuk mengatur (right to regulate), yaitu untuk menetapkan ketentuan
yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka menciptakan
perbankan sehat guna memenuhi jasa perbankan yang diinginkan masyarakat;



Kewenangan untuk mengawasi (right to control), yaitu :



Pengawasan bank secara langsung (on-site supervision) terdiri dari pemeriksaan umum
dan pemeriksaan khusus dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran keadaan
keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan yang
berlaku, serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik tidak sehat yang
membahayakan kelangsungan usaha bank;



Pengawasan tidak langsung (off-site supervision) yaitu pengawasan melalui alat
pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan bank, laporan hasil pemeriksaan
dan informasi lainnya.



Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu untuk
menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terhadap bank
apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Tindakan ini mengandung
unsur pembinaan agar bank beroperasi sesuai dengan asas perbankan yang sehat;



Kewenangan untuk melakukan penyidikan (right to investigate) Sesuai dengan UU, OJK
mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan di sektor jasa keuangan, termasuk
perbankan. Penyidikan dilakukan oleh penyidik kepolisian Negara RI dan pejabat Pegawai
Negeri Sipil di lingkungan OJK. Hasil penyidikan disampaikan kepada Jaksa untuk

dilakukan penuntutan.
Dalam menjalankan tugas pengawasan bank, saat ini OJK melaksanakan sistem pengawasannya
dengan menggunakan 2 pendekatan yaitu:


Pengawasan Berdasarkan Kepatuhan (Compliance Based Supervision/CBS), yaitu
pemantauan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan yang terkait dengan

operasi dan pengelolaan bank di masa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa
bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan benar menurut prinsip-prinsip kehatihatian. Pengawasan terhadap pemenuhan aspek kepatuhan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari pelaksanaan Pengawasan Bank berdasarkan Risiko;


Pengawasan Berdasarkan Risiko (Risk Based Supervision/ RBS), yaitu pengawasan bank
yang menggunakan strategi dan metodologi berdasarkan risiko yang memungkinkan
pengawas bank dapat mendeteksi risiko yang signifikan secara dini dan mengambil
tindakan pengawasan yang sesuai dan tepat waktu.

Pengawasan/pemeriksaan bank berdasarkan risiko dilakukan terhadap jenis-jenis risiko sebagai
berikut :



Risiko Kredit
Risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya.




Risiko Pasarsiko Pasar
Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar (adverse movement) dari
portofolio yang dimiliki oleh bank yang dapat merugikan bank. Variabel pasar antara lain
suku bunga dan nilai tukar.




Risiko Likuiditas
Risiko yang antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah
jatuh tempo.




Resiko Operasional
Risiko yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya
proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem atau adanya problem eksternal
yang mempengaruhi operasional bank.




Risiko Hukum
Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis
antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundangundangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhi syarat
sahnya kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna.




Risiko reputasi
Risiko yang antara lain disebabkan adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan
usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank.




Risiko strategi
Risiko yang antara lain disebabkan penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak
tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurangnya responsifnya bank
terhadap perubahan eksternal.




Risiko Kepatuhan
Risiko yang disebabkan bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan
perundangundangan dan ketentuan lain yang berlaku.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan

Sebelum adanya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), fungsi regulator industri keuangan dijalankan
oleh beberapa institusi. Pengawasan dan pengaturan perbankan dijalankan oleh Bank Indonesia
(BI), sementara pasar modal dan industri keuangan non bank menjadi tanggung jawab Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) yang sekarang melebur menjadi
OJK
Dalam Naskah Akademik Rancangan Udang-Undang OJK, pemerintah menilai hal tersebut perlu
diubah. Ini karena globalisasi menyebabkan kemajuan dan inovasi yang berujung pada sistem
keuangan yang kompleks serta saling terkait. Kemudian, adanya lembaga keuangan yang
memiliki hubungan kepemilikan di berbagai sub-sektor keuangan (konglomerasi) telah
menambah kompleksitas di sistem keuangan.
Perlu dilakukan penataan kembali struktur organisasi dari lembaga-lembaga yang melakukan
fungsi pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan yang mencakup perbankan, pasar
modal, dan jasa keuangan non-bank. Penataan tersebut dilakukan agar dapat dicapai
mekanisme koordinasi yang lebih efektif. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan
jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara lebih terintegrasi,” demikian disebut dalam
naskah akademik itu
Selain supaya lebih efektif, pengawasan perbankan oleh bank sentral (yang merupakan otoritas
moneter) juga dinilai mengandung benturan kepentingan. Berdasarkan pengalaman di beberapa
negara, penggunaan instrumen moneter berupa bantuan likuiditas cenderung lebih dipilih oleh
bank sentral daripada mengedepankan asas kehati-hatian (prudential)
Hal ini dilakukan karena bank sentral ingin menutupi potensi kegagalannya dalam melakukan
fungsi pengawasan dan memilih menggunakan instrumen moneter yang pada dasarnya tidak
menyelesaikan inti kelemahan bank sebagai akibat pelanggaran terhadap prudential regulation.
Adanya benturan kepentingan antara otoritas moneter dan bank sentral sebagai pengawas
perbankan inilah yang perlu dihindari dengan cara memisahkan fungsi pengawasan dari bank
sentral, yang utamanya adalah otoritas moneter,” begitu disebut dalam naskah akademik.
Indonesia sudah pernah mengalami krisis keuangan dahsyat pada 1997-1998, yang disebabkan
guncangan di sektor perbankan. Berdasarkan studi dan pengalaman krisis tersebut, pemerintah
menilai sistem pengawasan yang tepat bagi Indonesia adalah terintegrasi, atau unified
supervisory model.
Meskipun secara umum sudah melepas pengawasan bank ke OJK, tetapi BI masih punya peran.
BI harus tetap memperoleh data-data terkait perkembangan perbankan nasional sebagai dasar
untuk menentukan arah kebijakan moneter. BI juga tetap bekerja sama dengan OJK dalam hal
pengawasan bank berdampak sistemik yang bisa mempengaruhi seluruh sistem keuangan.

Dalam Hal ini Bank Indonesia melaksanakan Pengawasan macroprudential, yakni pengaturan
dan pengawasan selain hal yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang OJK merupakan tugas
dan wewenang Bank Indonesia. Pengawasan macro prudential yaitu mengatur stabilitas sistem
keuangan secara keseluruhan dan secara komprehensif mempersiapkan terjadinya risiko
sistemik di sektor keuangan dengan upaya membatasi dampak berantai terhadap keseluruhan
ekonomi negara
Tujuan dari macro-prudential supervision adalah untuk meminimalkan dampak krisis keuangan
pada perekonomian suatu negara, antara lain dengan cara menginformasikan kepada otoritas
publik dan industri keuangan apabila terdapat potensi ketidakseimbangan di sejumlah institusi
keuangan serta melakukan penilaian mengenai potensi dampak kegagalan institusi keuangan
terhadap stabilitas sistem keuangan suatu negara.
Macro-prudential supervision terfokus pada aktivitas lembaga-lembaga keuangan yang memiliki
pengaruh signifikan pada pasar maupun sistem keuangan. Macroprudential
surveillance menyediakan sarana untuk memonitor dan mengatasi berbagai risiko yang akan
mengancam stabilitas sistem keuangan dan ekonomi riil secara keseluruhan. Selain itu, macroprudential surveillance juga dapat menyajikan penjelasan mengenai risiko sistemik dan mitigasi
dampak rembetan dari guncangan yang terjadi pada institusi keuangan yang dapat menggangu
siklus bisnis. Informasi dari Macro-prudential supervision akan membantu para pembuat
kebijakan mengenai perlunya bail-out (atau tidak) terhadap suatu institusi keuangan yang
tengah mengalami kesulitan likuiditas.
Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam prakteknya otoritas yang melaksanakan macroprudential surveillance membutuhkan akses yang cepat dan mudah terhadap data-data microprudential dan kewenangan resmi tanpa hambatan untuk memperoleh data-data tambahan
lainnya jika diperlukan. Krisis keuangan global yang terjadi saat ini telah memberikan pelajaran
bahwa sangat diperlukan hubungan yang erat antara pengawas bank (micro-prudential) dan
bank sentral selaku otoritas macro-prudential dalam merumuskan kebijakan yang tepat dan
cepat pada saat-saat genting. Selain itu, untuk menjamin efektivitas pengawasan diperlukan
independensi dari otoritas pengawas makro prudensial.
Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaksanakan Pengawasan macroprudential, yakni
pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang OJK
merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Pengawasan macro prudential yaitu mengatur
stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan dan secara komprehensif mempersiapkan
terjadinya risiko sistemik di sektor keuangan dengan upaya membatasi dampak berantai
terhadap keseluruhan ekonomi negara
Tujuan dari macro-prudential supervision adalah untuk meminimalkan dampak krisis keuangan
pada perekonomian suatu negara, antara lain dengan cara menginformasikan kepada otoritas
publik dan industri keuangan apabila terdapat potensi ketidakseimbangan di sejumlah institusi
keuangan serta melakukan penilaian mengenai potensi dampak kegagalan institusi keuangan
terhadap stabilitas sistem keuangan suatu negara.
Macro-prudential supervision terfokus pada aktivitas lembaga-lembaga keuangan yang memiliki
pengaruh signifikan pada pasar maupun sistem keuangan. Macroprudential

surveillance menyediakan sarana untuk memonitor dan mengatasi berbagai risiko yang akan
mengancam stabilitas sistem keuangan dan ekonomi riil secara keseluruhan. Selain itu, macroprudential surveillance juga dapat menyajikan penjelasan mengenai risiko sistemik dan mitigasi
dampak rembetan dari guncangan yang terjadi pada institusi keuangan yang dapat menggangu
siklus bisnis. Informasi dari Macro-prudential supervision akan membantu para pembuat
kebijakan mengenai perlunya bail-out (atau tidak) terhadap suatu institusi keuangan yang
tengah mengalami kesulitan likuiditas.
Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam prakteknya otoritas yang melaksanakan macroprudential surveillance membutuhkan akses yang cepat dan mudah terhadap data-data microprudential dan kewenangan resmi tanpa hambatan untuk memperoleh data-data tambahan
lainnya jika diperlukan. Krisis keuangan global yang terjadi saat ini telah memberikan pelajaran
bahwa sangat diperlukan hubungan yang erat antara pengawas bank (micro-prudential) dan
bank sentral selaku otoritas macro-prudential dalam merumuskan kebijakan yang tepat dan
cepat pada saat-saat genting. Selain itu, untuk menjamin efektivitas pengawasan diperlukan
independensi dari otoritas pengawas makro prudensial.

DAFTAR PUSTAKA

http://bunda-bisa.blogspot.com/2013/02/otoritas-jasa-keuangan.html
http://cwts.ugm.ac.id/2013/04/implikasi-pembentukan-otoritas-jasa-keuangan-terhadappengaturan-dan-pengawasan-perbankan-indonesia/
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/11/08/awal-2013-tampil-lembaga-super-otoritasjasa-keuangan-ojk-506792.html
http://faqihnabhan.blogspot.com/2012/12/peran-bi-pasca-ojk.html
http://kiatdantips.blogspot.com/2011/03/tujuan-pembentukan-otoritas-jasa.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Otoritas_Jasa_Keuangan
http://otoritas-jasa-keuangan.htm
http://www.jmtlawhouse.com/?q=content/pakar-pertanyakan-status-hukum-keuangan-ojk
http://softskill-rudy.blogspot.com/2011/01/otoritas-jasa-keuangan.html
http://radiansystem.com/artikel/sejarah-otoritas-jasa-keuangan-ojk/
http://zulfidianezaini.blogspot.com/2012/12/hubungan-hukum-bank-indonesia-dengan.html
Iklan

https://zalirais.wordpress.com/2014/12/30/peran-pengawasan-perbankan-oleh-bankindonesia-otoritas-jasa-keuangan-dan-lembaga-penjamin-simpanan/

Dokumen yang terkait

ANALISIS DANA PIHAK KETIGA PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA PERIODE TRIWULAN I 2002 – TRIWULAN IV 2007

40 502 17

ANALISIS KOMPARATIF KECUKUPAN MODAL ANTARA PERUSAHAAN PERBANKAN MILIK PEMERINTAH DENGAN PERUSAHAAN PERBANKAN MILIK SWASTA DI BURSA EFEK INDONESIA

1 48 18

PERBANDINGAN BUDIDAYA "AIR LIUR" SARANG BURUNG WALET ANTARA TEKNIK MODERN DAN TEKNIK KONVENSIONAL (Studi Pada Sarang Burung Burung Walet di Daerah Sidayu Kabupaten Gresik)

6 108 9

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR SISWA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TAKE AND GIVE DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE PADA MATA PELAJARAN GEOGRAFI KELAS XI-IIS DI SMA NEGERI 7 BANDA ACEH

0 47 1

TGS 5 PENGAWASAN RAMALAN PENJUALAN

0 33 4

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DITINJAU DARI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

6 77 70

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

11 75 34

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING(PBL) DAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION (GI)

6 62 67

PENGAWASAN OLEH BADAN PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP KOTA BANDAR LAMPUNG TERHADAP PENGELOLAAN LIMBAH HASIL PEMBAKARAN BATUBARA BAGI INDUSTRI (Studi di Kawasan Industri Panjang)

7 72 52

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR IPS TERPADU ANTARA PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN AUDIO-VISUAL DENGAN MEDIA PEMBELAJARAN GRAFIS KELAS VII SMP NEGERI 3 TERBANGGI BESAR LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2014/2015

3 51 68