Zkisofrenia Dan pengobatan Paksa (1)

KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
MAGISTER HUKUM KESEHATAN

TUGAS MATA KULIAH BIOETIKA
INFORMED CONSENT PADA PENDERITA SKIZOFRENIA

Di Susun Oleh:
ACHMAD YASIR

15/39251/PHK/09080

YOGYAKARTA
2015

A. PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Kesehatan merupakan hak asasi manusia sehingga setiap kegiatan
dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyrakat yang setinggi tingginya dan dilaksanakan berdasarkan prinsip

non diskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan.1 Dalam Pasal 28 H ayat
(1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan.
Hubungan hukum antara dokter dan pasien dibangun atas rasa
kepercayaan dari pasien terhadap dokter biasanya disebut istilah transaksi
terapeutik.2 Transaksi terapeutik di dalamnya akan timbul sebuah janji
akan usaha penyembuhan, namun dalam masyarakat awam bahwa
kesembuhanlah yang menjadi objek transaksi terapeutik ini. Tetapi pada
hakikatnya yang menjadi objek adalah kesungguhan dari dokter dalam
melaksanakan usaha penyembuhan dengan berdasarkan pada keilmuan
yang

dimiliki

serta

pengalaman


untuk

menyembuhkan

pasien

(isnpanningverbintenis) bukan kesembuhan pasien karna akan timbul sifat
menyudutkan dokter jika kesembuhan merupakan objek dari perjanjian
tersebut maka dari hal tersebut dibuatlah sebuah perangkat dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan yakni Informed consent. Undang undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan menyebutkan bahwa yang
dimaksud kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,
spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup
produktif secara sosial maupun ekonomis3.pengertian lebih lanjut tentang
kesehatan jiwa adalah Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang
individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial
sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat
1 Lestari Dkk., 2012, kitap undang undang tentang kesehatan dan kedokteran, cetakan pertama,
Buku biru, jogjakarta.
2 hanafiah J., 2007 , Etika kedokteran dan hukum kesehatan “ Penerbit Buku Kedokteran EGC.

3 Pasal 1 angka 1 Undang Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu
memberikan kontribusi untuk komunitasnya4 kesehatan jiwa memiliki
peranan penting dalam pembangunan indonesia, dimana kedudukan yang
menentukan kemampuan manusia untuk hidup produktif, oleh karna itu
upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk jaminan bagi setiap orang untuk
dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang bebas dari ketakutan ,tekanan,
gangguan lain yang dapat menggangu kesehatan jiwanya.maka dari hal
tersebut menunjukkan bahwa pelayanan terhadap penderita gangguan
kejiwaan merupakan salah satu dari pelayanan kesehatan.
Gangguan jiwa bukanlah merupakan sebuah penyakit penyebab
kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti
ketidakmampuan

baik

secara

individu


maupun

kelopmpok

akan

berdampak pada pembangunan karena mereka tidak produktif dan tidak
efisien atau tergantung pada orang lain. Stigma terhadap penderita
kesehatan jiwa juga masih sangatlah besar, keberadaannya yang dianggap
tidak lebih penting dari penderita kesehatan fisik.
Salah satu bentuk gannguan jiwa yang ada pada masyarakat saat ini
adalah Skizofrenia yang merupakan gangguan kejiwaan dan kondisi medis
yang mempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal
kognitif, emosional dan tingkah laku, gangguan jiwa psikotik paling
lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan
menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan
delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang
panca indra).5 Penderita skizofrenia kadang tidak menyadari akan keadaan
terganngunya jiwanya menybabkan tidak adanya keingina untuk

mendatangi fasilitas kesehatan/kejiwaan sehingga pihak keluarga yang
memaksakan kehendak untuk memeriksakan, karna penderita Skizofrenia
tidak merasakan secara langsung sakit yang menyebakan tidak adanya

4 Pasal 1 angka 1 Undang Undang nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan Jiwa
5Depkes
Diakses
tanggal
20
desember
2015
http://bbtklppjakarta.pppl.depkes.go.id/assets/files/downloads/f1375258333-schizophrenia.pdf

di

keinginan memeriksakan diri. Bagi sebagaian penderita skizofrenia tidak
menyadari akan keadaan jiwanya.
2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis mendapatkan rumusan
masalah sebagai berikut

a. Apakah Pemberian informed consent oleh keluarga pasien sudah
mewakili keinginan dari pasien sehubungan dengan otonomi pasien
itu sendiri
b. Apakah pengobatan paksa terhadap penderita Skizofrenia dapat dinilai
sebagai tindakan paternalistik dokter terhadap pasien
B. LANDASAN TEORI
1. Informed Consent
a. Pengertian
Dalam aspek hukum kesehatan, hubungan dokter dengan pasien
terjalin dalam ikatan transaksi atau kontrak terapeutik, masing masing
pihak yakni dari pihak yaitu medical providers dan juga medical
recievers mempunyai hak dan kewajiban yang harus dihormati, ikatan
yang terjadi demikian akan menimbulkan sebuah perjanjian tindakan
medik yang lazimnya dikenal dengan infomed consent, yang
didalamnya terdapat pihak yang memounyai kewajiban mendiagnosis,
pengobatan dan tindakan medik yang terbaik menurut jalan pikiran
dan juga pertimbangan mereka.dan di lain pihak pasien maupun
keluarga pasien mempunyai hak untuk menentukan pengobatan atau
tindakan medik yang akan dilaluinya.6
Pengertian informed consent berasal dari kata “informed” yang

berarti telah mendapat penjelasan, dan kata “ consent ”yang berarti
telah memberikan

persetujuan. Dengan demikian yang dimaksud

informed consent ini adanya persetujuan yang timbul dari informasi
yang dianggap jelas oleh pasien terhadap suatu tindakan medik yang
akan dilakukan kepadanya sehubungan dengan keperluan diagnosa
dan atau terapi kesehatan7
6 Op cit Hanafiah
7 Bambang Poernomo 1988 Hukum Kesehatan Program Pasca Sarjana IKM Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta,

Persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi merupakan
proses sekaligus hasil dari suatu komunikasi yang efektif antara
pasien dengan dokter atau dokter gigi, dan bukan sekedar
penandatanganan formulir persetujuan8
Guwandi dalam bukunya menyatakan bahwa informed consent
merupakan suatu ijin atau pernyataan setuju dari pasien yang
diberikan denganbebas dan rasional,sesudah mendapat informasi dari

dokter yang sudah dimengerti.9
Hubungan antara dokter dan pasien timbul pada saat pertama kali
pasien datang dengan maksud mencari pertolongan, mulai saati itu
sudah terbina apa yang dimaksud dengan informed consent. Yaitu
kedatangan pasien yang berarti ia mempercayakan pada dokter untuk
melakukan tindakan terhadap dirinya.10 Dewasa ini informed consent
banyak dibahas dalam seminar kesehatan dan juga hukum kesehatan
yang berlaku mengatur antara kedua pihak, yang perjanjiannya
mempunyai

nilai

hukum.11pelaksanaan

semua

tindakan

harus


mendapatkan persetujuan dari pihak pasien, world medical association
(WHA) dalam deklarasi helsinki 1964 menegaskan hal itu bahwa :
“ riset klinik terhadap manusia tidak boleh dilaksanankan
tanpa persetujuan yang bersangkutan setlah ia mendapt
penjelasan, kalaupun secara hukum ia tidak mampu,
persetujuan harus diperoleh dari wali yang sah.12
Seperti yang telah diurakan diatas bahwa informed consent hak asasi
pasien sebagai manusia harus dihormati, pasien berhak menolak dan
memilih suatu tindakan yang akan diberikan kepadanya atas dasar
informasi yang telah diperoleh dari dokter.
b. Aspek Hukum Informed consent
8 Tim Penyusun Konsil Kedokteran Indonesia, Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran Konsil
Kedokteran Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 1
9 Guwandi J. 2003, Dokter, Pasien dan Hukum “ Fakultas kedokteran UI , Jakarta
10 Ratna S 2001 “ Etika Kedokteran Indonesia” Yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo,
Jakarta
11 ibid.
12 Ibid

Informed consent menjadi hal yang sangat penting karna

bertumpuh opada 2 hak asasi yaitu hak untuk menetukan nasib sendiri
dan hak atas informasi, karna hubungannya denga hak asasi manusia
maka timbullah pengaturan tentang inform consent didalam
PERMENKES RI No. 290/Menkes/PER/III/2008 tentang persetujuan
tindakan kedokteran. Dalam pasal 1 dijelaskan bahwa informed
consent persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat
setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
Informasi yang harus diberikan meliputi :
1) Diagnose;
2) Tujuan tindakan kedokteran yang akan dilakukan;
3) Alternatif tindakan lain;
4) Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi baik itu resiko
langsung maupun resiko sampingan.;
5) Prognose/ramalan tentang jalannya penyakit;
6) Perkiraan pembiayaan.
Penjelasan tentang informed consent harus diberikan secara
lengkap dengan bahasa yang mudah dimengeti atau cara lain yang
bertujuan mempermudah pemahaman.
Berdasarkan Permenkes tentang persetujuan tindakan kedokteran.

(Informed consent) yang dapat memberikan informed consent adalah :
1) Pasien sendiri apabila ia sudah dewasa dan berada dalam keadaan
sadar serta sehat mentalnya.
2) Orang tua wali bagi pasien yang belum dewasa
3) Pengampu bagi pasien yang ada dibawah pengampuhan
4) Orang tua/wali/pengampu bagi pasiendewasa yang menderita
gangguan mental.
5) Keluarga terdekat/induk semang bagi pasien dibawah umur yang
tidak mempunyai orangtua/wali/ yang berhalangan.
Syarat sahnya perjanjian terapeutik terdapat dalam pasal 1320
KUHperdata ;
(1).Sepakat mereka yang mengikatkan diri, untuk adanya perjanjian
penyembuhan harus ada kata sepakat sebagaimana dalam pasal 2
permenkes no. 290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan

kedokteran yaitu semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan
terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2).Kecakapan membuat suatu perjanjian, pihak-pihak

yang

mengikatkan diri dalam perjalanan harus mampu menyadari,
akibat-akibat perbuatannya dimana ada hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi.
(3).Suatu hal tertentu yaitu objek upaya penyembuhan
(4).Suatu sebab yang halal tujuan penyembuhan pasien dari penyakit.
Dalam pemberian infomed consent yang mempunyai tujuan yaitu
upaya penyembuhan harus melihat kepada syarat sahnya
perjanjian pada pasal 1320 KUHperdata, agar dapat menjadi
pertimbangan hukum dan juga perlindungan dalam pekasanaan
hak asasi manusia tanpa mengesampingkan kewajiban masing
masing pihak yang terlibat dalam perjanjian persetujuan tindakan
kedokteran.dan juga pentingnya memperhatikan pihak yang
terlibat dalam perjanjian tersebut sebagai health provider dan juga
health reciever.
UU 29/2004 Pasal 45 ayat (5) menyatakan bahwa” setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko
tinggi

harus

diberikan

dengan

persetujuan

tertulis

yang

ditandatangani oleh pasien atau keluarga terdekat pasien. Cara pasien
menyatakan persetujuan dapat secara tertulis maupun lisan.
Persetujuan secara tertulis mutlak diperlukan bagi tindakan
kedokteran yang mengandung resiko tinggi, sedangkan persetujuan
secara lisan diperlukan pada tindakan kedokteran yang tidak
mengandung resiko tinggi. Umumnya disebutkan bahwa contoh
tindakan yang berisiko tinggi adalah tindakan invasif (tertentu) atau
tindakan bedah yang secara langsung mempengaruhi keutuhan
jaringan tubuh. Skizofrenia
a. Defenisi Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang bersifat kronis atau
kambuh ditandai dengan terdapatnya perpecahan (schism )antara

pikiran, emosi dan perilaku pasien yang terkena. Perpecahan pada
pasien digambarkan dengan adanya gejala fundamental (atau primer)
spesifik,

yaitu gangguan pikiran yang ditandai dengan gangguan

asosiasi, khususnya kelonggaran asosiasi. Gejala fundamental lainnya
adalah gangguan afektif, autisme, dan ambivalensi. Sedangkan gejala
sekundernya adalah waham dan halusinasi (Kaplan & Sadock,
2004).13
Skizofrenia merupakan gangguan yang terjadi dalam durasi paling
sedikit selama 6 bulan, dengan 1 bulan fase aktif gejala (atau lebih)
yang diikuti munculnya delusi, halusinasi, pembicaraan yang tidak
terorganisir, dan adanya perilaku yang katatonik serta adanya gejala
negatif.
Emil kraepelin (1856-1926) membagi gangguan psikosis menjadi
dua kategori utama, yakni skizoprenia dan psikosis manik-depresif,
yang sekarang disebut gangguan bipolar, kraepelin berpendapat bahwa
skizofrenia disebabkan ketidakseimbangan biokimiawi, sedangkan
psikosis

manik-depresif

(gangguan

bipolar)

disebabkan

oleh

abnormalitas dalam metabolisme tubuh.14
Pada tahun 1883 Kraepelin menamakan skizofrenia dengan
dementia praecox (de berasal dari bahasa latin yang artinya diluar, dan
mens = pikiran) dengan demikian istilah dementia dengan kata kasar
diartikan diluar pikiran seseorang.15 Namun istilah tersebut tidak tepat
maka Eugene Bleueur (1857-1939) pada tahun 1911 menggantinya
menjadi istilah skizofrenia16.
b. Kriteria Diagnostik Skizofrenia
Menurut Kaplan dan Sadock terdapat beberapa kriteria diagnostik
Skisofrenia antara lain :
1) Karakteristik Gejala

13 Sadock BJ, Sadock VA, Kaplan & Sadock Synopsis Of Psychiatry. Behavior sciences/clinical
psychiatry. 10th ed.Lippincott williams & wilkins, 2007, p.527-30
14 Yustinus S 2006 “ Kesehatan Mental” penerbit Kanisius Yogyakarta
15 Ibid
16 Ibid

Terdapat dua atau lebih dari kriteria dibawah ini masing masing
ditemukan secara signifikan selama periode satu bulan atau kurang
bisa berhasil ditangani.
a) Delusi (waham)
b) Halusinasi
c) Pembicaraan yang tidak terorganisasi
d) Perilaku yang tidak terorganisasi
e) Gejala negatif yaitu adanya efek yang datar, alogia, atau avolisi
(tidak ada kemauan)
2) Disfunsi Sosial Atau Pekerjaan
Untuk kurun waktu yang signifikan sejak munculnya onset
gangguan ketidakberfungsian ini meliputi satu atau lebih fungsi
utama, seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan
diri, yang jelas dibawah tingkat yang dicapai sebelum onset (atau
jika onset pada masa anak-anak atau remaja, adanya kegagalan
untuk mencapai beberapa tingkatan hubugan interpersonal, prestasi
akademik atau pekerjaan yang diharapkan)
3) Durasi
Adanya tanda tanda gannguan pada kriteria A selama sekurangnya
enam bulan, pada periode enam bulan ini harus muncul sekurang
kurangnya 1 bulan gejala.
4) Diluar gangguan Skizoafektif dan gangguan Mood
Gangguan- gangguan lain dengan ciri psikotik yang tidak
dimasukkan di katergori A
5) Diluar kondisi pengaruh zat atau kondisi medis umum
6) Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu
zat(penyalahgunaan obat, pengaruh medikasi) atau kondisi medis
umum.
7) Hubungan dengan perkembangan pervasive
Jika ada riwayat gangguan autistik atau gangguan perkembangan
pervasive lainny, diagnosis tambahan skizofrenia dibuat hanya jika
muncul delusi atau halusinasi secara menonjol untuk sekurang
kurangnya selama satu bulan.
C. PEMBAHASAN
1. Apakah Pemberian informed consent oleh keluarga pasien sudah mewakili
keinginan dari pasien sehubungan dengan otonomi pasien itu sendiri ?

Masalah kesehatan mental pada awalnya kurang mendapat
perhatian oleh karena tidak langsung terkait sebagai penyebab kematian.
Perhatian terhadap masalah kesehatan mental meningkat setelah World
Health Organization (WHO) pada tahun 1993 melakukan penelitian tentang
beban yang ditimbulkan akibat penyakit dengan mengukur banyaknya tahun
suatu penyakit dapat menimbulkan ketidakmampuan penyesuaian diri hidup
penderita (Disability Adjusted Life Years/DALYs).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ternyata gangguan
mental mengakibatkan beban cukup besar yaitu 8,1 persen dari global
burden of disease (GDB) melebihi beban yang diakibatkan oleh penyakit
tuberkulosis dan kanker. Dari 8,1 persen GDB yang ditimbulkan oleh
gangguan neuropsikiatris, gangguan depresi memberikan beban terbesar,
yaitu 17,3 persen, sedangkan gangguan psikosis memberikan beban 6,8
persen. Skizofrenia sebagai salah satu bentuk gangguan jiwa memiliki
jumlah penderita yang terus bertambah, pada tahun 1985 sekitar 23 juta
orang di dunia menderita skizofrenia, dan pada tahun 2000 meningkat
sebanyak 45 persen dan tigaperempatnya berada di negara-negara
berkembang.
Perawatan dan pengobatan paksa bukanlah hal yang baru bagi
penderita skizofrenia. Hal ini karena penderita umumnya dianggap tidak
kompeten untuk menandatangani surat persetujuan tindakan medik dan
memutuskan apa

yang

baik

untuk

dirinya.Inkompetensi

penderita

skizofrenia memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan penderita bukan
gangguan jiwa, penolakan terhadap pengobatan merupakan bagian dari
penyakitnya dan penderita masih dapat memberikan opini. Penilaian
kompetensi yang akurat diperlukan dalam bentuk kemampuan menilai
realita pada penderita skizofrenia. Dalam hal ini akan timbul sebuah
masalah yakni hak otomom penderita skizofrenia dimana inkompetensi
merupakan bagian dari gangguannya sehingga hak untuk memutuskan terapi
bagi dirinya diambil oleh wali/orang tua/dokter, seperti diketahui bahwa
persetujuan pasien diperlukan dalam tindakan intervensi medis kecuali bila
penderita tidak mampu menyetujui atau bila hukum menentukan bahwa

dokter diperlukan untuk untuk intervensi medis walaupun bertentangan
dengan keinginan penderita itu sendiri. Tetapi walaupun intervensi medis
oleh dokter diharuskan oleh hukum, maka tetap diperlukan suatu etika
dalam praktek klinik untuk memperoleh persetujuan pasien Secara umum
dikatakan penderita dengan mental disorder mempunyai ketidakmampuan
dalam mengambil keputusan dalam proses informed consent karena
kurangnya

kapasitas

pengambilan

keputusan

(decision

making

capacity)yang dimilikinya.
penderita dengan schizophrenia menunjukkan gangguan yang
ditandai dalam kapasitas pengambilan keputusan yang berdampak dalam
proses pengambilan consent.17
2. Apakah pengobatan paksa terhadap penderita Skizofrenia dapat dinilai
sebagai tindakan paternalistik dokter terhadap pasien
Adanya konflik antara menghormati otonom penderita dengan
bertindak paternalistik dalam penanganan pasien menjadi masalah bioetik
secara umum. Pada penderita skizofrenia penyelesaian konflik antara
menghormati otonom penderita dengan bertindak paternalistik menjadi lebih
kompleks karena adanya perbedaan mendasar antara penderita medis dan
psikiatris, perbedaan pengertian sakit fisik dan mental, dimana pada
penderita skizofrenia tidak merasa sakit dan tidak membutuhkan bantuan
dokter Berdasarkan Prinsip Otonomi Tindakan dan pengobatan paksa
terhadap penderita skizofrenia dapat dibenarkan berdasarkan prinsip
kerugian dan paternalistik, dimana tindakan pemaksaan dibenarkan jika
perilaku penderita membahayakan orang lain dan diri sendiri serta
pentingnya penilaian kompetensi penderita skizofrenia dalam bentuk
kemampuan menilai realita dan Perlunya tim kesehatan melibatkan
penderita dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan
masalahnya.
Pada prinsip manfaat Perawat secara moral berkewajiban membantu
orang lain/pasien untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan dan
17 Wise MG, Rundell JR. Clinical Manual of Psychosomatic Medicine, A Guide to
Consultation-Liaison Psychiatry. Americ an Psychiatric Publishing, Inc, 2005.

mencegah timbulnya bahaya, sehingga tindakan/intervensi yang dilakukan
demi kepentingan penderita dan mencegah bahaya baik bagi dirinya sendiri
maupun orang lain. Begitupulan masalah etika adalah masalah alasan dan
kemanfaatan sebuah tindakan sehingga yang tidak dibenarkan adalah sikap
dan perilaku yang tidak menghargai otonomi penderita ketika melakukan
tindakan.
Informasi yang adekuat diperlukan tidak hanya untuk persetujuan
informed consent, tetapi mencakup area yang lebih luas yaitu semua
tindakan yang akan dan diperlukan dilakukan termasuk perencanaan pulang
bagi penderita dan keluarganya (discharge planning). standar ”kepentingan
terbaik” (the best interest). The best interest standard harus dipahami
sebagai prinsip payung atau umbrella principleyang dapat dipakai untuk
berbagai jenis tujuan. Pertama, dapat digunakan untuk mengungkapkan
moral,hukum, medis atau tujuan-tujuan sosial lainnya seperti transplantasi
organ. Kedua, dapat digunakan dalam pembuatan keputusan yang praktis
dan masuk akal tentang apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu.18
Beberapa ahli berpendapat bahwa standar ini mengharuskan
seseorang untuk melakukan apa yang ideal dalam segala situasi akan tetapi
bila ternyata kesimpulannya bahwa yang ideal adalah tidak dapat diketahui,
dan tidak ada, tidak realistis, atau terlalu sulit ketika berhadapan dengan
orang orang yang tidak mempunyai kapasitas dan kompetensi. Dalam hal ini
standar yang digunakan untuk memecahkan masalah ini adalah tidak
memerlukan apa yang ideal tetapi yang masuk akal.19
Pada umumnya disepakati bahwa hal-hal yang baik, atau lebih baik
atau bahkan yang terbaik dalam hidup apakah itu suatu kesempatan untuk
berkembang, memperpanjang hidup, mengurangi rasa sakit, penderitaan,
memiliki masa depan yang lebih baik, bermanfaat secara sosial, nilai-nilai
inipun kadang menjadi konflik dengan skala prioritas keuntungan dan
kerugianmasing-masing. Pada akhirnya wali dalam mengambil keputusan
harus membandingkan beban, konsekuensi, komplikasi dan potensi yang
18http://id.yarsi.ac.id/wpcontent/uploads/2009/12/Sejauh_mana_competency_dan_capacity_dipe
rlukan_dalam_pengambilan_consent_seseorang_4_CMIS.pdf
19 Ibid

terjadi pada penderita dengan atau tanpa perawatan. Kedua, wali pengambil
keputusan untuk penderita dengan incompetency dan incapacity.20
D. KESIMPULAN
1. Masalah utama yang membuat penderita skizofrenia tidak mampu
membuat

persetujuan adalah kurangnya kemampuan mereka dalam

memahami diri sendiri. Mereka mungkin memahami pengobatan yang
diusulkan tetapi mereka menolak dilakukannya tindakan medis karena
dalam penilaian mereka. Mereka tidak sakit sehingga tidak perlu
dilakukan tindakan medis.namun pemberian informed consent oleh
keluarga, pada penderita dengan incapable menerapkan prinsip
benficence penilaian atau pengukuran kapasitas seseorang menolong kita
memecahkan masalah yang terjadi secara moral Pada kasus-kasus pasien
yang tidak

cakap (Incapable), maka kita tidak lagi meng andalkan

prinsip otonomi dalam menolong penderita Prinsip dari beneficence /non
malefisence mewajibkan klinisi atau dokter bahwa penderita yang tidak
cakap

harus

dilindungi

dari

pengambilan

keputusan

yang

membahayakan.
2. Pengobatan Paksa kepada penderita Skizofrenia harus menerapkan
standar “ Kepentingan terbaik” (the best interest) dengan sifat
paternalistik dari dokter kepada pasien yang dilakukan dengan sungguhsungguh demi kesehatan dan kesembuhan pasien. Dalam hal ini standar
yang

digunakan untuk memecahkan masalah ini adalah tidak

memerlukan apa yang ideal tetapi yang

masuk akal, Penderita

skizofrenia tidak dapat secara otomatis dianggap tidak kompeten
terhadap persetujuan tindakan medik, tetapi hal tersebut harus dinilai
dengan melihat kemampuan menilai realita. Masalah menghormati
otonom penderita dengan bertindak paternalistik pada penderita
skizofrenia menjadi masalah etika yang kompleks karena penderita
merasa tidak sakit dan tidak membutuhkan bantuan pelayanan
20 Ibid

kesehatan.Masalah etika harus diselesaikan dengan pertimbangan alasan
dan kemanfaatan bukan menilai benar salahnya suatu tindakan.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Andrianto 1993, “Notes on pssychiatry” Penerbit Buku kedokteran EGC Jakarta
Guwandi J. 2003, Dokter, Pasien dan Hukum “ Fakultas kedokteran UI , Jakarta
Hanafiah J., 2007 , Etika kedokteran dan hukum kesehatan “ Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Komalawati 2002 “ peranan informed consent dalam transkasi terpeutik” Citra
aditya bakti , Bandung
Lestari Dkk., 2012, kitap undang undang tentang kesehatan dan kedokteran,
cetakan pertama, Buku biru, jogjakarta.
Ratna S 2001 “ Etika Kedokteran Indonesia” Yayasan bina pustaka sarwono
prawirohardjo, Jakarta
Sofwan D , “Hukum Kesehatan “ Badan penerbit Universitas diponegoro,
Semarang
Tim Penyusun Konsil Kedokteran Indonesia, Manual Persetujuan Tindakan
Kedokteran Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 1
Yustinus S 2006 “ Kesehatan Mental” penerbit Kanisius Yogyakarta
Jurnal
Bambang Poernomo 1988 Hukum Kesehatan Program Pasca Sarjana IKM
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Sadock BJ, Sadock VA, Kaplan & Sadock Synopsis Of Psychiatry. Behavior
sciences/clinical psychiatry. 10th ed.Lippincott williams & wilkins, 2007,
p.527-30
Anderson KK, Mukherjee SD. The need for additional safeguards in the informed
consent process in schizophrenia resear ch. Journal Medical Ethics
2007;33:647-650
Wise MG, Rundell JR. Clinical Manual of Psychosomatic Medicine, A Guide to
Consultation-Liaison Psychiatry. Americ an Psychiatric Publishing, Inc,
2005
Townsend, M.C. 1996. Psyciatric Mental Health Nursing: Concept
of Care. Second Edition. FA Davis Company. Philadelphia
Peraturan – Undangan
Undang undang dasar 1945 Pasal 28H
Undang Undang no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan.
Permenkes RI No.290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan tindakan kedokteran Pasal
3 ayat (1),(2),(3),(4),(5)

Laman Webpage
Skizofrenia
Diakses
Di
http://library.upnvj.ac.id/pdf/
4s1kedokteran/207311046/BAB%20II.pdf pada tanggal 20 desember
2015
http://id.yarsi.ac.id/wpcontent/uploads/2009/12/Sejauh_mana_competency_dan_c
apacity_diperlukan_dalam_pengambilan_consent_seseorang_4_CMIS.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32883/4/Chapter%20II.pdf
http://bbtklppjakarta.pppl.depkes.go.id/assets/files/downloads/f1375258333schizophrenia.pdf
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/133/jtptunimus-gdl-muntiarohn-6617-3babii.pdf
http://library.upnvj.ac.id/pdf/4s1kedokteran/207311046/BAB%20II.pdf
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?
mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku
_id=44496
https://www.researchgate.net/publication/266501825_Landasan_moral_pengobata
n_paksa_pada_penderita_skizofrenia
http://law.uii.ac.id/images/stories/dmdocuments/fh-uii-tinjauan-yuridis-terhadappelaksanaan-informed-consent-antara-dokter-dan-pasien-di-rsud-sulthanthaha-saifudin-tebo,-jambi.pdf