Perempuan Dalam Sejarah Indonesia docx

BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara demokrasi. Peran rakyat di dalam negara Demokrasi
sangat penting. Dalam hubungan kekuasaan, di dalam negara demokrasi rakyat memiliki
kedauatan penuh. Peran rakyat dalam menentukan keputusan negara tampak dalam
Pemillihan Umum (Pemilu). Dalam setiap event Pemilu, rakyar menyambutnya dengan
penuh kegembiraan.
Pemilu Presiden tahun 2014 merupakan salah satu contoh dari peran serta rakyat
dalam memberikan suara mereka. Ketika menjelang Pemilu, rakyat telah mempersiapkan
rancangan kegiatan untuk menyambut Pemilu. Biasanya rakyat terbagi dalam kelompokkelompok tertentu sesuai dengan calon yang mereka dukung. Lebih menarik lagi, pada
Pemilu tahun 2014 ini hanya ada 2 pasangan capres dan cawapres. Rakyat terbagi dalam
kelompok yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, serta ada pula yang
masih berada di kubu netral. Bagian paling menarik ialah saat kampanye dan debat di
acara televisi. Di sana terlihat antusiasme rakyat dalam menyambut Pemilu.
Pemilu menjadi event penting karena Pemilu adalah saat penentuan masa depan
negara. Rakyat menentukan sendiri orang yang akan memimpin mereka. Keputusan rakyat
ketika mencoblos menentukan siapa yang akan membawa Indonesia 5 tahun ke depan.
Di balik kehidupan politik Indonesia yang terus berkembang, ada sisi-sisi lain yang
seringkali luput dari pengamatan rakyat. Di Indonesia, kelompok mayoritas terlalu
mendominasi sehingga membuat kelompok minoritas tidak kelihatan. Diskriminasi kaum

minoritas di Indonesia tidak tampak karena disamarkan oleh kaum mayoritas. Jika kita
mengamati dengan lebih teliti, banyak persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini
berkaitan diskriminasi kelompok minoritas. Yang dimaksud dengan kelompok minoritas
ialah orang miskin, rasisme, agama, dan tidak kalah penting kaum perempuan (gender).
Persoalan perempuan di Indonesia telah ada sejak Indonesia belum merdeka.
Indonesia telah lama menghadapi persoalan gender mulai dari relasi antar individu hingga
ke dunia politik, sosial, ekonomi dan budaya.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana Iris Marion Young menjelaskan Politik Diferensiasi?
1.2.2. Bagaimana partisipasi perempuan di dalam sejarah Indonesia?
1.2.3. Bagaimana partisipasi perempuan di bidang politik Indonesia saat ini?
1.2.4. Bagaimana menilai politik di Indonesia dalam perspektif Iris Marion Young?
1.3. Batasan Masalah
Tulisan ini hanya membatasi diri pada persoalan diskrminasi gender dalam bidang
politik di Indonesia menurut pandangan Iris Marion Young.
1.4. Metode Penulisan
Metode yang digunakan penulis dalam karya tulis ini ialah studi kepustakaan. Studi
kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan
terhadap buku-buku, litertur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada
hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.

1

BAB II
Iris Marion Young1: Politik Diferensiasi

Persoalan diskriminasi sulit terdeteksi karena sudah terkondisi secara struktural.
Diskriminasi dan peminggiran kelompok-kelompok minoritas sering tidak disadari,
bahkan dilihat sebagai sesuatu yang “normal” oleh masyarakat. Kelompok mayoritas
mendominasi masyarakat, sehingga kelompok minoritas kekurangan tempat untuk
menentukan setiap keputusan yang menyangkut kehidupan bersama.
Diskriminasi dan peminggiran kelompok-kelompok minoritas yang seharusnya
menjadi persoalan penting dilihat sebagai sesuatu yang normal dan sudah menjadi
kebiasaan. Karena perlakuan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka masyarakat tidak
menyadari bahwa hal itu merupakan “kecacatan” di dalam masyarakat. Maka dari itu, Iris
Marion Young melihat bahwa persoalan diskriminasi sosial dan penepian kelompokkelompok minoritas tidak hanya cukup diatasi secara formal melalui reformasi hukum,
tetapi juga membutuhkan revolusi kebudayaan yang mendalam hingga ke mekanismemekanisme ketidakadilan serta prasangka-prasangka sosial.2
Iris Marion Young secara khusus membahas hal ini di dalam bukunya yang
berjudul Justice and the Politics of Difference. Young memberi penekanan dan perspektif
baru atas karya John Rawl. Young berada dalam diskursus seputar teori keadilan. Dia
melihat keadilan dari sisi gerak sosial, cita-cita emansipasi, dan mekanisme struktural

masalah ketidakadilan. Young memfokuskan pembahasan pada persoalan-persoalan
komunitas budaya seperti warga kulit hitam, imigran Amerika Latin, orang Indian,
perempuan, kelompok lesbian, dan gay. Menurut Young, konsep egalitarianisme formal
tidak mampu menyelesaikan persoalan yang dialami kelompok-kelompok tersebut.3
Young mempersoalkan teori John Rawl tentang keadilan distributif. John Rawls
membahas persoalan-persoalan struktur hukum di dalam masyarakat. Menurut Rawls,
setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar. Dengan demikian,
jaminan kebebasan yang sama bagi setiap warga negara menjadi syarat keadilan.
Menurut Young, konsep keadilan distributif Rawls mereduksi pemahaman tentang
keadilan. Keadilan distributif tidak dapat membahas fenomena ketidakadilan substansial. 4
Keadilan distributif melihat keadilan dari prisma distribusi yang sama secara formal bagi
setiap orang. Hal ini tidak dapat menyentuh mekanisme-mekanisme yang menyebabkan
ketidakadilan. Perlu memahami keadilan secara lebih mendalam supaya mengetahui
sebab-sebab dasar ketidakadilan. Keadilan mengandung unsur hak, kebebasan, martabat,
dan pengakuan. Unsur-unsur ini tidak dapat didistribusikan. Dengan demikian, keadilan
tidak dapat dibatasi hanya pada konsep keadilan distributif.
1 Iris Marion Young merupakan salah satu filsuf politik terkemuka pada seperempat abad
terakhir. Young adalah seorang professor bidang ilmu politik di University of Chicago
sejak tahun 2000. Karya terkenal Young ialah teori keadilan, feminisme, dan demokrasi.
Young sangat ahli dalam bidang politik feminisme. Dia memperjuangkan hak perempuan

yang berada di bawah kekuasaan laki-laki. Young lahir pada tanggal 2 Januari 1949 di
kota New York dan meninggal ketika berumur 57 karena kanker.
2 Otto Gusti Madung, Politik Diferensiasi Versus Politik Martabat Manusia (Maumere:
Penerbit Ledalero, 2011), Hlm. 36.
3 Ibid., Hlm. 36-37.
4 Ibid., Hlm. 37.

2

Prinsip-prinsip keadilan John Rawls bertolak dari posisi asali, yaitu posisi yang
mengonstruksikan netralitas atas dasar ketidaktahuan. Menurut Young, konstruksi seperti
itu tidak beralasan. Ideal netralitas tidak mungkin terwujud. Hal ini dikarenakan
masyarakat selalu hidup dengan latarbelakang sosio-politik dan budaya tertentu. Konsep
ideal netralitas juga mengabaikan diferensiasi. Diskriminasi struktural di dalam
masyarakat sangat dipengaruhi oleh perbedaan dan keunikan dari setiap manusia. Maka
dari itu diferensiasi perlu mendapat tempat untuk dibahas.
Young berpendapat bahwa kekuasaan, otoritas dan penindasan merupakan
parameter dasariah ketidakadilan. Otto Gusti Madung menuliskan hasil analisis Young
tentang penindasan sebagai berikut:
[…] Keadilan berarti mengatasi ketakberuntungan struktural yang diderita orang

atau atas dasar praktik-praktik yang sudak terbiasa di dalam masyarakat. Dari
hasil analisis Young, terungkap lima bentuk penindasn, yakni pemerasan,
marginalisasi, ketakberdayaan, imperalisme, dan kekerasan. Diskriminasi yang
berhubungan dengan penindasan ini berdampak pada distribusi hak-hak. Maka,
pembagian hak-hak yang sama secara formal bukanlah solusi terbaik untuk
menciptakan keadilan karena distribusi egaliter tersebut terperangkap dalam
ketaksamaan yang selalu tercipta secara baru. 5

Perlakuan yang sama secara formal tidak dapat memberikan solusi bagi
diskriminasi yang telah mengakar secara kultural. Menurut Young, untuk dapat menata
keadilan, masyarakat harus membongkar mekanisme konstruksi dari yang lain,
merefleksikan secara kritis cara pandang dan penataan gejala-gejala sosial serta
mempertanyakan kembali stereotip-stereotip.
Di dalam dunia politik, ketidakadilan terungkap dalam proses peminggiran dan
eksklusi. Ketidakadilan di dalam dunia politik tidak terletak pada pendapatan dan
kekayaan, melainkan lebih mengarah pada kesulitan-kesulitan dalam berpartisipasi dalam
kehidupan berpitik. Politik Patriarki mungkin dapat memberi kesejahteraan ekonomi,
tetapi membatasi kebebasan politis.
Young tidak menolak seluruh teori John Rawls. Dia membaca teori Rawls secara
kritis; ada bagian-bagian yang perlu dievaluasi dan ada bagian-bagian yang diafirmasi.

Menurut Young, aspek deliberatif dan kesamaan epistemis berperan untuk mendapatkan
informasi tentang keputusan politis.6 Informasi yang didapatkan dapat berupa cara, kuota,
orang-orang atau kelompok-kelompok yang terlibat dalam pengambilan keputusan, dan
siapa saja yang tidak memiliki peran utama.
Dalam memahami keadilan, Young juga menyentuh persoalan teori demokrasi.
Young mengatakan: “Bukan hanya nilai kebebasan, tetapi jatuh-bangunnya nilai
demokrasi juga sangat tergantung pada factum sejauh mana masyarakat memperhatikan
secara ekonomis dan politis kepentingan berbagai kelompok dan gerakan social.” 7
Persoalan diferensiasi berperan dalam pembangunan negara demokrasi. Demokrasi tidak
hanya menyuarakan kebebasan rakyat, tetapi juga perlu memperhitungkan keadilan yang
peka terhadap diferensiasi sosial.

5 Otto Gusti Madung, Op. Cit., Hlm. 38.
6 Ibid., Hlm. 39.
7 Ibid.

3

Young mengikuti pemikiran postmodern seperti Faucault secara metodologis.
Refleksi tentang identitas, kekuasaan, diferensiasi dan kesetaraan universal dipengaruhi

oleh pemikiran postmodern tentang universalitas dan norma-norma lintas budaya.
Kekuatan teori Young terletak pada pemaparan yang mendalam atas gejala-gejala
sosial. Young tidak menyatakan teorinya dalam sebuah teori dan analisis yang mendetail,
bahkan tidak semua hasil pengamatannya ia rumuskan dalam sebuah tesis. Baginya,
kejelasan deskripsi menggantikan kedalaman analisis. Kritik Young atas karya John Rawls
tidak dirumuskan secara sistematis dalam bentuk tesis, tetapi tetap dapat diperhitungkan
sebagai karya yang ilmiah berdasarkan pemikirannya.
Young memasukkan dimensi relasi kekuasaan dan penguasaan untuk memperluas
penjelasannya mengenai keadilan. Keadilan distributif John Rawls tidak dapat mencakup
hubungan kekuasaan. Menurut Young, kekuasaan bukanlah sebuah benda, tetapi ada
dalam sebuah relasi; berbicara tentang kekuasaan menuntut adanya refleksi metodologis
dan analitis tentang identitas, cara pandang, dan relasi. Kekuasaan memang berhubungan
dengan keadilan. “Menurut Young Iris Marion Young, kekuasaaan, penguasaan dan
penindasan merupakan parameter utama dalam menakar ketidakadilan.”8
Penindasan selalu berhubungan dengan kelompok sosial. Korban penindasan
adalah individu-ndividu yang berada di dalam kelompok tersebut. Young memberi
penjelasan yang lebih terperinci. Lima bentuk penindasan tersebut ialah pemerasan,
marginalisasi, ketakberdayaan, imperialisme budaya, dan kekerasan.9 Pertama, pemerasan.
Pemerasan tampak dalam syarat-syarat struktural yang mengatur pemberian bantuan dari
satu orang ke orang lain. Bantuan hanya berperan menciptakan reorganisasi institusi dan

praktik pengabilan keputusan.
Kedua, marginalisasi. Marginalisasi merupakan proses peminggiran kelompokkelompok minoritas. Bagian dari kelompok-kelompok minoritas tersebut ialah perempuan,
orang kulit hitam, pengangguran, dan orang cacat. Kehadiran kelompok minoritas ini tidak
mendapat perhatian yang berarti di dalam masyarakat.
Ketiga, ketakberdayaan. Ketakberdayaan merupakan lemahnya kekuatan kelompok
minoritas di ruang publik, sehingga kaum minoritas tidak memliki pengaruh di ruang
publik.
Keempat, imperialsme. Imperialisme budaya dihubungkan dengan fenomena
sosial. Praktik-praktik dan simbol-simbol budaya kelompok mayoritas menjadi peraturan
umum. Kelompok mayoritas menjadi kelompok yang diutamakan, sehingga kelompok
minoritas harus terpakasa mengikuti aturan yang dibuat oleh kelompok mayoritas.
Kelima, kekerasan. Kekerasan merupakan puncak dari proses peminggiran, agresi
dan kebencian kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas seperti perempuan,
orang kulit hitam, dan kelompok-kelompok minoritas lainnya.
Dari pembagian jenis penindasan di atas, diketahui bahwa marginalisasi,
pemerasan dan ketakberdayaan merupakan bentuk penindasan dalam konteks pembagian
kerja. Imperialisme merupakan bentuk fenomena sosial. Dan yang terakhir, kekerasan
merupakan puncak dari penindasan yang ada di dalam kehidupan masyarakat.
8 Otto Gusti Madung, Op. Cit., Hlm. 39.
9 Ibid., Hlm. 41.


4

Proses diferensiasi sosial dan peminggiran kelompok-kelompok minoritas
disebabkan oleh tidak adanya partisi politis dan kuasa dalam pengambilan keputusan.
Dengan demikian, hal ini pertama-tama tidak disebabkan oleh tidak terwujudnya keadilan
distributif. Menanggapi hal ini, Young menawarkan sebuah keterbukaan radikal demokrasi
deliberatif.“10 Keadilan menunutut keterlibatan semua kelompok sosial dalam diskursus
publik dan prosedur pengambilan keputusan.”
Young menekankan perlunya syarat-syarat epistemis demokrasi deliberatif karena
masyarakat sering terjebak di dalam paradoks.11 Usaha untuk memperkuat demokrasi
partisipatoris seringkali hanya melibatkan kelompok-kelompok elit. Sedangkan kaum
minoritas seperti perempuan, orang miskin, dan orang kulit hitam tidak memiliki
partisipasi dalam demokrasi. Menurut Young, alasan fenomena di atas ialah karena adanya
perbedaan titik permualaan epistemis. Sekelompok orang memanfaatkan struktur
demokrasi untuk kepentingannya sendiri. selain itu, budaya patriarki juga mempersulit
kaum perempuan untuk memperoleh akses pendidikan yang setara. Maka dari itu harus
ada perbaikan dalam ketaksamaan epistemis.
Dalam penjelasan Young, mekanisme penindasan hanya dapat diatasi melalui
konsep politik emansipatoris. Politik emansipatoris memperbaiki ketaksamaan epistemis

dan memperhatikan keunikan setiap individu di dalam kelompok. “Pengakuan akan
keunikan kelompok menuntut penerapan konsep egalitarianisme dan diferensiasi sekaligus
di dalam politik.”12 Dengan demikian, penyelesaian persoalan kelompok-kelompok
tertindas di dalam masyarakat bukan dengan perlakuan yang sama. Setiap orang tidak
dapat diperlakukan sama. Setiap individu maupun kelompok memiliki keunikannya
masing-masing, sehingga menuntut adanya perlakuan yang berbeda.
Tujuan politik diferensiasi ialah membongkar ideal asimilasi represif. Hal ini
berarti paksaan untuk beradaptasi dan pengambilan jarak terhadap identitas kultural harus
dihapuskan. Menurut Young, perlakuan yang adil harus mengakui perbedaan dan kekhasan
masing-masing kelompok.13

10
11
12
13

Otto Gusti Madung, Op. Cit., Hlm. 42.
Ibid.
Ibid.
Ibid., Hlm. 43.


5

BAB III
Perempuan Dalam Sejarah Indonesia

3.1. Perempuan pada awal Kebangkitan Nasional
Pluralisme merupakan fakta dasar keberadaan manusia yang harus diakui oleh
kehidupan sosial masyarakat. Pengakuan ini menghantar masyarakat pada kehidupan yang
adil. Dalam sejarah Bangsa Indonesia, banyak perbedaan yang telah dikondisikan sejak
awal. Perbedaan-perbedaan tersebut secara hierarkis dibangun dengan “kita” sebagai pihak
yang lebih superior dibanding “mereka” yang dianggap rendah.14 Pandangan hierarkis
seperti ini digunakan untuk menilai kolonialisasi fisik dan dominasi budaya suatu
masyarakat terhadap masyarakat lainnya.
Pada tahun-tahun awal kebangkitan nasional Indonesia, terdapat ketegangan dalam
penggunaan beberapa istilah. Ketegangan tersebut menyangkut orang-orang Jawa dan
non-Jawa, terutama kaum Nasionalis Sumatera yang berlatarbelakang agama Islam.
Terpilihnya Soekarno sebagai presiden RI pertama menandakan dominasi orang Jawa di
Indonesia. Penunjukan ini menjadi pertanda kemenangan niai-nilai sekuler dan
menyiapkan jalan bagi dominasi simbol-simbol Jawa di tingkat Nasional.
Dalam sejarah Indonesia awali, istilah “perempuan” dari Bahasa Melayu kurang
mendapat perhatian. Sedangkan istilah Jawa “wanita” mulai digunakan secara lebuh luas.
Perubahan penggunaan istilah ini memiliki konsekuensi tersendiri. Perempuan memiliki
makna kewanitaan yang lebih dinamis, sedangkan istilah wanita mengisyaratkan makna
perilaku perempuan yang halus budi bahasanya. Kehalusan bahasa tersebut dihubungkan
dengan kehidupan masyarakat Jawa kelas ningrat (atas). Peran perempuan dalam
kebudayaan Jawa sangat terbatas. Keberadaan perempuan ditentukan oleh suaminya.
Peran perempuan hanya terbatas dalam kehidupan berkeluarga. Di sini tampak
keistimewaan peran laki-laki dalam kehidupan. Keistimewaan ini menunjukkan adanya
budaya Patriarki dalam masyarakat Jawa.
Pembedaan peran perempuan juga terdapat dalam ruang lingkup agama Islam
tradisional. Sepanjang sejarah, perempuan Islam tidak diberi hak penuh untuk mempelajari
teks-teks Islam. Oleh sebab itu perempuan tidak dapat menginterpretasi ajaran-ajaran
tradisi islam secara kritis. Rendahnya kedudukan perempuan disebabkan oleh interpretasi
laki-laki yang bias gender. Penyalahgunaan berbagai interpretasi agama menyebabkan
perempuan menderita.
Dalam kebudayaan Jawa, peran perempuan memang kurang mendapatkan tempat
yang pantas. Hal ini semakin tampak dalam kehidupan kaum priyayi. Masyarakat kelas
menengah (priyayi) mendapat pendidikan Barat, sehingga peran mereka dalam kehidupan
politik juga semakin besar. Terpilihnya presiden Soekarno menunjukkan bahwa kaum
priyayi lebih mendominasi Indonesia. Kebijakan-kebijakan politis hingga keluarga
diputuskan oleh laki-laki. Cita-cita kaum priyayi ialah membatasi peran perempuan
sebagai ibu rumah tangga yang penuh pengabdian. Cita-cita ini menjadi tipe ideal
perempuan Indonesia secara umum. Cita-cita ini semakin diperkuat oleh ketergantungan
14 Siti Ruhaini Dzuhayatin, “Gender dan Pluralisme di Indonesia,” Politik
Multikulturalisme, ed. Robert W. Hefner, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), Hlm. 412.

6

ekonomi istri terhadap suami. ketergantungan ini semakin berkembang dalam masa yang
dikenal sebagai masa politik balas budi.15
Posisi patriarkal dalam keluarga-keluarga Jawa kemudian ditegaskan dengan
konsep yang diperkenalkan oleh Belanda bahwa laki-laki adalah pencari nafkah bagi
keluarganya. Dalam masa kolonial Belanda, hanya laki-laki yang dilibatkan dalam
birokrasi.16 Di sini pemisahan nilai produktif gender semakin mendapat pembedaan. Peran
utama laki-laki ialah melakukan aktifitas produktif (publik), sedangkan perempuan
ditugaskan dalam peran domestik, yaitu mengasuh anak dan melayani suami. Pemerintah
Belanda membebaskan laki-laki dari tugas rumah tangga. Hal ini dilakukan Belanda
supaya tidak mengganggu prodiktivitas laki-laki dalam urusan kemasyarakatan.
Di sisi lain, peran perempuan dalam masyarakan pedagang mendapat tempat yang
lebih fleksibel, terbuka dan egaliter. Laki-laki dan perempuan sama-sama dapat melakukan
aktivitas produktif, secara khusus terdapat di Surakarta dan Yogyakarta. Terwujudnya
industri rumahan (home industry) seperti industri batik, emas dan kerajinan perak memberi
kesempatan kepada perempuan untuk melakukan aktivitas produktif. Peran suami lebih
sebagai penasihat, karena laki-laki bekerja di bidang yang berbeda seperti dalam lembagalembaga pemerintahan atau keagamaan.
Lebih dari itu, baik dari pihak Kristen maupun Islam, sama-sama mengusahakan
pendidikan bagi kaum perempuan. Para misionaris mulai menyelenggarakan sekolah
untuk perempuan. Sekolah ini dimaksudkan supaya dapat menyiapkan perempuan yang
siap memainkan peran sebagai ibu rumah tangga di masa depan. Pihak muslim juga
mendirikan sekolah-sekolah. Sekolah Islam pertama ialah Mua’limat. Tujuan sekolah
Mua’limat ialah mendidik perempuan muslim agar memiliki keahlian Islami. Akan tetapi
kedua sekolah ini memiliki tujuan lain. Pendirian sekolah juga digunakan sebagai strategi
para pemuka agama untuk memperkuat komunitas mereka.
3.2. Perempuan Masa Orde Baru
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, peran laki-laki tetap mendapat tempat
yang istimewa dibandingkan dengan perempuan. Tidak jauh berbeda dengan masa
sebelumnya, perempuan tetap berada dibawah kekuasaan laki-laki. Kesuksesan seorang
istri dilihat dari kesuksesan karir suami dan pendidikan anak-anaknya. Perempuan
mendapatkan perlakuan yang berbeda, yaitu segala sesuatu ditentukan oleh laki-laki.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, laki-laki yang bergerak di bidang
politik harus menjadi anggota partai Golongan Karya (Golkar). Partai ini memiliki
program yang disebut P4, yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Melalui
program ini, pemerintah memasukkan pandangan-paandangan hegemonis terhadap
perempuan dalam segala hal, mulai dari hal-hal publik hingga privat. Rakyat tidak bisa
menolak program ini karena jika tidak mendapatkan sertifikat lulus P4 mereka tidak bisa
mendapatkan layanan pemerintah. Lebih ironis, mereka yang menolak program ini
dianggap sebagai anggota komunis.
Masyarakat ideal yang diinginkan Presiden Soeharto adalah masyarakat yang
membatasi peran gender. Peran laki-laki adalah di masyarakat dan peran perempuan di
lingkup domestik. Dengan menekankan peran perempuan hanya pada lingkup domestik
pemerintah bisa mengendalikan mereka melalui para suami, sedangkan peran suami
15Siti Ruhaini Dzuhayatin, Op. Cit., Hlm. 420.
16 Ibid,. Hlm. 417.

7

sendiri diatur oleh pemerintah. Pemerintah dapat memerintah dengan lebih leluasa karena
minimnya hambatan dari rakyat. Dengan demikian, pemerintah memiliki otoritas besar
terhadap rakyatnya.
Pada tahun 1978, pemerintah merumuskan tipe ideal perempuan dalam GBHN
(Garis-garis Besar Haluan Negara) yang berhubungan dengan Rencana Pembangunan
Lima Tahun Indonesia. Perempuan berperan penting dalam:






Pendukung setia suami.
Penghasil dan pendidik generasi masa depan.
Pengurus rumah tangga.
Penghasil tambahan keuangan keluarga.
Anggota masyarakat.

Lima peran di atas menunjukkan status perempuan di dalam negara. Perempuan
dapat menjadi lebih baik jika mereka menjadi anggota organisasi-organisasi yang
diciptakan pemerintah, yaitu Dharma Wanita (Karya Bagus Wanita) dan PKK (Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga). Dharma Wanita dibentuk pada tahun 1964 (Dharma Pertiwi).
Organisasi ini merupakan gabungan dari Persit Kartika Chandra Kirana (istri Angkatan
Darat); Pia Adhya Garini (istri Angkatan Udara); Jala senastri (Istri Angkatan Laut) dan
Bhayangkari (istri anggota Kepolisian).17
Para istri pegawai pemerintahan secara langsung sudah terdaftar menjadi anggota
Dharma Wanita. Sedangkan PKK diatur oleh tingkat desa. Akan tetapi, meskipun
perempuan sudah mendapat tempat di organisasi, mereka tetap tidak terlepas dari pengaruh
patriarkis. Kedudukan perempuan di dalam organisasi ditentukan oleh kedudukan suami
mereka di pemerintahan. Maka dari itu, jika perempuan aktif dalam organisasi-organisasi
independen non-pemerintah, dia akan dituduh “radikal” oleh masyarakat.18
3.3. Perempuan Masa Reformasi
Di dalam masa Orde Baru, perempuan mendapat tempat di dalam organisasiorganisasi yang diciptakan oleh pemerintah. Akan tetapi tempat yang disediakan bagi
perempuan tersebut masih dipengaruhi oleh laki-laki. Perempuan “dipaksa” menerima tipe
ideal femininitas dan maskulinitas yang dikondisikan oleh rezim ini. Perempuan dijadikan
target pasif usaha-usaha pemerintah dalam mengendalikan rakyat.
Pada masa reformasi, pemerintah memberikan ruang yang lebih terbuka bagi
perempuan untuk bersuara. Perempuan dapat menengok kembali situasi politik rezim
Soeharto. Belajar dari pengalaman itu, perempuan dapat mempertanyakan kembali status
dan perannya di bidang politik dan juga seluruh aspek kehidupan yang selama ini telah
mendiskriminasi mereka.

17 Rudiah Primariantari, “Negara Birokrasi dan Ibu (Bapak) Pejabat,” Perempuan dan
Politik Tubuh Fantastis, eds. Arimbi, (Yogyakarta: Kanisius 1998), Hlm. 39.
18 Siti Ruhaini Dzuhayatin, Op. Cit., Hlm. 425.

8

BAB IV
Kedudukan Perempuan di Bidang Politik Indonesia

4.1. Partisipasi politik perempuan
Keberhasilan program pemerintah dan pembangunan ditentukan oleh partisipasi
masyarakat di dalamnya. Semakin besar partisipasi masyarakat, maka semakin besar pula
keberhasilan program pemerintah yang direncanakan. Pemerintah harus menyertakan
peran serta masyarakat karena program pemerintah ditujukan kepada masyarakat. Program
pemerintah daerah dilaksanakan oleh masyarakat, untuk masyarakat dan dari masayarakat
sendiri. masyarakat tidak terdiri dari individu-individu yang homogen.
Masyarakat terdiri dari berbagai unsur yang dimiliki oleh setiap individu di
dalamnya, termasuk perbedaan gender. Dengan demikian, proses program pemerintah
tidak hanya melibatkan kelompok mayoritas, tetapi juga minoritas. Perempuan yang sering
diidentifikasi sebagai kaum minoritas juga berperan dalam pelaksanaan program
pemerintah.
Perempuan Indonesia memiliki peran di dalam pembangunan politik nasional. 19
Perempuan dapat berpartisipasi di dalam keanggotaan partai politik, legislatif dan
pemerintah. Partisipasi perempuan ini bukan hanya sebagai penghias, melainkan harus
berperan aktif. Perempuan yang berpartisipasi dalam pembangunan nasional dapat
menyuarakan pendapatnya dan memiliki hak dalam menentukan keputusan. Oleh sebab
itu, keputusan tidak hanya berada di tangan laki-laki.
Kelemahan perempuan Indonesia sebelum reformasi ialah bahwa perempuan tidak
mendapatkan pendidikan yang layak dibandingkan dengan laki-laki. Namun Indonesia
saat ini berbeda. Pendidikan di Indonesia sudah berkembang dengan baik; perempuan dan
laki-laki memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Situasi pendidikan yang
sudah berkembang ini mendongkrak partisipasi perempuan pada berbagai aspek
kehidupan, termasuk kehidupan politik.
Secara formal, pemerintah telah memberi ruang kepada perempuan untuk
berkembang. Perempuan mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Akan tetapi, masih
tetap ada perlakuan yang berbeda terhadap perempuan dan laki-laki. Lembaga-lembaga
pemerintah dan non-pemerintah didominasi oleh peran laki-laki. Perempuan hanya
mendapatkan tempat yang terbatas. Hal ini tampak di dalam Pemilu. Partai yang
berpartisipasi dalam Pemilu harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurangkurangnya 30 persen.
4.2. Kuota perwakilan perempuan Indonesia
Parlemen RI di era Reformasi memberi perhatian pada tindakan diskriminasi
perempuan. Pada 1967, Perserikatan Bangsa Bangsa telah mengeluarkan Deklarasi
mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap perempuan. Deklarasi tersebut menyusun
rancangan Convention on the elimination of all forms of discrimination against women 20
(CEDAW). Himbauan CEDAW PBB ini baru mendapat respon pemerintah ketika era
Reformasi. Salah satu himbauan CEDAW PBB ialah melakukan tindakan afirmatif.
19 Gurniwan K. Pasya, “Peran Wanita Dalam Kepemimpinan Politik.” Hlm. 13.
20 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

9

Tindakan afirmatif merupakan langkah-langkah khusus yang diterapkan untuk mencapai
persamaan kesempatan dan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan.
Tindakan afirmatif yang dilakukan pemerintah ialah penetapan kuota 30% di dalam
lembaga-lembaga. Perempuan memiliki kuota tersebut untuk dapat berpartisipasi di dalam
lembaga pemerintahan. Perwakilan perempuan di dalam parlemen tertulis dalam Undangundang Pemilu No. 12 tahun 2003 pasal 65 ayat 1 dan 2, yaitu berbunyi:
1.

2.

Setiap partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR,
DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan,
dengan memperhatikan keterwakilanperempuan sekurang-kurangnya 30
persen;
Setiap partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon sebanyakbanyaknya 120 persen jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap daerah
pemilihan.

Kuota kader perempuan yang ditetapkan dalam Undang-undang Pemilu No. 10
tahun 2008 dan No. 8 tahun 2012 masih mengikuti Undang-undang Pemilu No.8 tahun
2003, yaitu:
1. Undang-undang Pemilu No. 10 tahun 2008 Pasal 8 ayat 1d mengatakan
“Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan
menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan
pada
kepengurusan partai politik tingkat pusat;”
2. Undang-undang Pemilu No. 8 tahun 2012 Pasal 8 ayat 2e mengatakan “Partai
politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu
sebelumnya, dan partai politik baru dapat menjadi peserta setelah memenuhi
persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)
keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.”
Dengan undang-undang Pemilu ini, perempuan mendapat kesempatan untuk masuk
dalam dunia politik, secara khusus kesempatan menjadi anggota legislatif. Sistem kuota 30
persen memungkinkan perwakilan perempuan dalam menentukan keputusan. Pengambilan
keputusan diharapkan dapat membawa perubahan pada cara pandang yang merendahkan
perempuan. Melalui sistem kuota ini perempuan juga dapat mengaktualisasikan dirinya di
hadapan laki-laki. Dengan demikian pebedaan gender dapat diatasi sedikit demi sedikit.
Imas Rosidawati mengatakan bahwa “Dengan sistem kuota sedikitnya 30 persen
perwakilan perempuan Indonesia dalam pengambilan keputusan, diharapkan akan
membawa perubahan pada kualitas legislasi berperspektif perempuan dan gender.” 21
Keputusan yang diambil tidak hanya didasarkan pada pemikiran laki-laki, tetapi juga dari
pihak perempuan. Hal ini dikarenakan ada hal-hal yang mencakup persoalan perempuan.
Dengan kata lain, pemerintah membuat perempuan berdaya untuk terlibat dalam berbagai
persoalan yang selama ini tidak diperhatian di Indonesia, yaitu persoalan yang sensitf
gender.
Pemerintah harus dapat melihat kebutuhan-kebutuhan secara lebih objektif. Jika
pembuat kebijakan hanya diserahkan pada laki-laki, maka kebijakan yang dibuat hanya
21 Imas Rosidawati, “Keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat, Kesiapan
Partai Politik, dan Perempuan Indonesia di Arena Politik Praktis.” Hlm. 4-5.

10

akan menguntungkan pihak laki-laki. Maka dari itu perempuan memiliki peran penting di
dalam kehidupan politik Indonesia.
4.3. Hambatan-hambatan partisipasi politik perempuan
Meskipun Perempuan mendapat tempat untuk menyuarakan pendapatnya dan
Undang-undang terus diperbaharui; dominasi peran laki-laki sulit dihapuskan dari
kelembagaan partai politik. Di dalam Undang-undang ditetapkan bahwa setiap partai
politik harus menyertakan perempuan sekurang-kurangnya 30% dalam kepengurusan
partai pusat. Meskipun kuota tersebut telah terpenuhi, tetapi bukan berarti perempuan
dapat menjadi anggota legislatif dengan mudah.
Selalu ada persaingan di dalam proses Pemilu. Di dalam Pemilu langsung,
rakyatlah yang memilih sendiri orang orang yang akan menjadi anggota badan legislatif.
Selain terjadi persaingan antar partai politik, juga ada persaingan antar individu di dalam
parti politik. Perempuan terancam tidak mendapatkan kursi kedudukan karena mereka
kalah bersaing dengan laki-laki. Disposisi ini tidak hanya melihat jumlah laki-laki yang
lebih banyak dari pada perempuan, tetapi juga kecenderungan rakyat memilih orang-orang
yang sudah berpengalaman.
Calon-calon yang berpengalaman didominasi oleh laki-laki. Laki-laki telah lebih
dulu akrab dengan kehidupan politik, sedangkan perempuan menjadi pemain baru di
dalam Pemilu. Maka menjadi wajar apabila laki-laki yang lebih mendominasi; Rakyat
lebih cenderung memilih calon-calon yang mereka kenal, berpengalaman dan memiliki
visi sesuai harapan rakyat.
Akibat dari cara pemilihan rakyat ini ialah bahwa perempuan memiliki harapan
kecil untuk dapat dipilih rakyat. Selama ini hanya beberapa perempuan yang sudah
berpengalaman. Rakyat tidak banyak melihat peran aktif perempuan, sehingga rasa
kepercayaan mereka kurang. Perempuan dinilai kurang teruji di dalam aktivitas politik.
Perempuan “terlambat” memasuki dunia politik nasional.
Situasi diskriminasi gender ketika awal kehidupan bangsa membuat perempuan
“terlambat” memasuki dunia politik. Perempuan tidak mendapat dukungan di awal,
sehingga mereka hanya “duduk diam” menanti terbukanya pintu dunia politik bagi
mereka. Terlebih tindakan perempuan yang independen dinilai menyalahi peraturan
negara. sama seperti ketika masa Orde Baru. Presiden Soeharto akan mempersalahkan
perempuan yang ikut ambil bagian di dalam pekerjaan laki-laki. Tugas perempuan hanya
dalam wilayah domestik atau privat. Lebih dari itu mereka dianggap sebagai penentang
negara.
Perempuan telah tertinggal dalam mengendarai partai politik. Hampir tidak ada
perempuan (kecuali Megawati) yang pernah menjadi pemimpin partai politik, padahal
menurut aturan peundang-undangan salah satu persyaratan sebagai calon legislatif adalah
keaktifan calon legislatif.22
Perempuan seharusnya dapat menyuarakan pendapatnya dengan lebih lantang. Di
Indonesia, banyak perempuan yang memiliki kompetensi yang unggul dalam berbagai
bidang, termasuk bidang politik. Perempuan telah menjabat kedudukan tertentu di
lembaga eksekutif dan yudikatif. Mereka adalah pegawai negeri sipil, hal yang tidak
22 Imas Rosidawati, Op. Cit., Hlm. 13.

11

memungkinkan mereka masuk dalam lingkaran legislatif. Undang-undang telah
menetapkan bahwa pegawai negeri sipil tidak boleh menjadi anggota partai politik.23

23 Imas Rosidawati, Op. Cit., Hlm. 14.

12

BAB V
Partisipasi Perempuan
Dalam Perspektif Politik Diferensiasi Iris Marion Young

5.1. Politik diferensisasi di dalam sejarah Indonesia
Analisis yang ditawarkan oleh Iris Marion Young telah membuka pikiran kita
dalam memahami persoalan diskriminasi gender. Menurut Young, persoalan diskriminasi
kaum perempuan tidak bisa hanya diselesaikan secara hukum dan ekonomi. Diskriminasi
gender telah mengakar sangat dalam hingga menyentuh mekanisme-mekanisme struktural
yang menindas perempuan. Studi gender merupakan instrumen kritik dan analitik sosial
yang dapat membantu kita melihat ketidakseimbangan antara kekuasaan dan gender.
Young menegaskan bahwa ia menolak ideal netralitas. Manusia selalu hidup dalam
situasi sosio-politik dan kultural tertentu. Setiap individu memiliki perbedaan dan
kekhasannya masing-masing. Pengabaian terhadap perbedaan dan kekhasan individu
merupakan bentuk ketidakadilan. Ideal netralitas mengandung konsep egalitarianisme,
yaitu sebuah gambaran struktur sosial publik yang patriarkis.
Struktur Patriarki di Indonesia mempersulit perempuan untuk berkiprah di dunia
publik. Mulai masa awal kebangkitan nasional sampai masa Orde Baru, diskriminasi
gender sangat tampak, bahkan sengaja dikondisikan oleh pemerintah. Dengan demikian
perempuan terlambat masuk ke dalam dunia politik.
Keterlambatan yang dialami perempuan disebabkan oleh dominasi laki-laki di
tanah air. Laki-laki menentukan segala sesuatu, mereka menjadi tolak ukur peraturan.
Sedangkan perempuan berada di bawah otoritas laki-laki. Perempuan tidak dihargai di
dunia publik. Ruang lingkup mereka hanya sebatas ruang privat.
Indonesia sebelum reformasi adalah Indonesia yang tidak memiliki toleransi
terhadap perempuan. Meskipun pada masa Orde Baru Presiden Soeharto menampung
perempuan di dalam organisasi Dharma Wanita dan PKK, perempuan tetap dalam kondisi
tertindas. Perempuan tidak dapat menyuarakan pendapatnya melalui organisasi-organisasi
tersebut. hal ini disebabkan oleh karena pemerintah yang mengatur segalanya.
Instrumen-instrumen HAM yang dibangun di atas fundamen budaya patriarki lebih
mengungkapkan pengalaman-pengalaman ketidakadilan yang dialami kaum pria dan
sering tidak dapat mengakomodasi pengalaman-pengalaman penderitaan yang khas
perempuan.24
PBB sudah mengeluarkan himbauan CEDAW, tetapi pemerintah Indonesia tidak
menanggapi hal itu dengan baik. buktinya diskriminasi gender masih berjalan. CEDAW
baru terealisasi ketika masa reformasi. Masa reformasi menjadi fajar baru bagi kebebasan
perempuan.

24 Otto gusti Madung, Op. Cit., Hlm 45

13

5.2. Politik Diferensiasi masa Reformasi.
Perempuan mulai berani mengeluarkan suara ketika pemerintahan Soeharto runtuh.
Perempuan terbebas dari “penjara” yang selama berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus
tahun telah mengekang mereka. Selama itu perempuan terpenjara di dalam dunia
domestik.
Young mengatakan bahwa menciptakan masyarakat yang berkeadilan sosial yang
dipersatukan oleh nilai-nilai bersama; menghargai keragaman etnis serta berkomitmen
terhadap kesamaan antar kelompok akan memungkinkan terwujudnya suatu sosial and
political ideal of togetherness in difference. 25 Keadilan yang dimaksudkan oleh Young
bukanlah persamaan perlakuan antas laki-laki dan perempuan, melainkan harus mengubah
konstruksi dari yang lain.
Perlakuan yang egaliter formal tidak dapat memberikan solusi bagi diskriminasi
yang telah mengakar secara kultural. Menurut Young, untuk dapat menata keadilan,
masyarakat harus membongkar mekanisme konstruksi dari yang lain, merefleksikan secara
kritis cara pandang dan penataan gejala-gejala sosial serta mempertanyakan kembali
stereotip-stereotip.
Di dalam dunia politik, ketidakadilan terungkap dalam proses peminggiran dan
eksklusi. Ketidakadilan di dalam dunia politik tidak terletak pada pendapatan dan
kekayaan, melainkan lebih mengarah pada kesulitan-kesulitan berpartisipasi dalam
kehidupan berpolitik. Politik Patriarki mungkin dapat memberi kesejahteraan ekonomi,
tetapi membatasi kebebasan politis.
Kekayaan dan pendapatan negara yang besar memang mendukung kesejahteraan
bangsa Indonesia, akan tetapi hal itu tidak memberikan solusi bagi perbedaaan gender.
Kesejahteraan yang sesungguhnya ialah ketika terdapat penerimaan perbedaan di dalam
masyarakat. Penerimaan itu juga yang mempersatukan bangsa. suatu bangsa akan terpecah
jika perbedaan dijadikan instrumen politik.

Perempuan di Indonesia saat ini memiliki peluang besar untuk berkiprah di dalam
dunia politik. wilayah yang dahulu terlarang kini telah terbuka bagi perempuan.
Perempuan mendapat kuota 30% salam keanggotaan partai politik. Jumlah minimal
tersebut dapat menjadi awal untuk perempuan memulai karir di bidang politik.
Perempuan memiliki kendala dalam memenuhi kuota 30% di dalam partai politik,
kendala perempuan tersebut ialah bahwa perempuan menganggap politik adalah wilayah
laki-laki. Selain itu kualitas ilmu pengetahuan yang dimiliki perempuan harus
ditingkatkan. Laki-laki dan perempuan harus diperlakukan sesuai kebutuhan mereka tanpa
menghilangkan kekhasan aspek lain.
Pemerintah harus dapat melihat kebutuhan-kebutuhan secara lebih objektif. Jika
pembuat kebijakan hanya diserahkan pada laki-laki, maka kebijakan yang dibuat hanya
akan menguntungkan pihak laki-laki. Maka dari itu perempuan memiliki peran penting di
dalam kehidupan politik Indonesia.
Dalam penjelasan Young, mekanisme penindasan hanya dapat diatasi melalui
konsep politik emansipatoris. Politik emansipatoris memperbaiki ketidaksamaan epistemis
dan memperhatikan keunikan setiap individu di dalam kelompok. Pengakuan akan
keunikan kelompok menuntut penerapan konsep egalitarianisme dan diferensiasi sekaligus
25 Ideal Sosial dan Politik kebersamaan di dalam perbedaan.

14

di dalam politik. Dengan demikian, penyelesaian persoalan kelompok-kelompok tertindas
di dalam masyarakat bukan dengan perlakuan yang sama. Setiap orang tidak dapat
diperlakukan sama. Setiap individu maupun kelompok memiliki keunikannya masingmasing, sehingga menuntut adanya perlakuan yang berbeda.
Indonesia adalah negara yang Bhineka Tunggal Ika. Keberagaman menjadi satu
karena memiliki tujuaan yang sama. Inilah yang perlu dipupuk oleh masyarakat. Peran di
dalam pemerintahan sudah tersedia, suara perempuan semakin mendapat tempat yang
pantas. Akan tetapi egalitas formal bukanlah penyelesaian perbedaan gender di Indonesia.
Peran perempuan akan semakin dihargai ketika stereotip-stereotip yang diberikan
kepada perempuan dihapuskan. Masyarakat perlu membangun kembali tatanan masyarakat
secara lebih terstruktur. Karena melalui perombakan secara struktural, diskriminasi gender
dan diskriminasi-diskriminasi yang lain akan mendapat jalan keluar.

15

BAB VI
Kesimpulan

Diskriminasi dan peminggiran kelompok-kelompok minoritas yang seharusnya
menjadi persoalan penting dilihat sebagai sesuatu yang normal dan sudah menjadi
kebiasaan. Karena perlakuan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka masyarakat tidak
menyadari bahwa hal itu merupakan “kecacatan” di dalam masyarakat. Maka dari itu, Iris
Marion Young melihat bahwa persoalan diskriminasi sosial dan penepian kelompokkelompok minoritas tidak hanya cukup diatasi secara formal melalui reformasi hukum,
tetapi juga membutuhkan revolusi kebudayaan yang mendalam hingga ke mekanismemekanisme ketidakadilan serta prasangka-prasangka sosial.
Partisipasi perempuan di bidang politik di Indonesia sudah terbuka. Perempuan
mendapatkan kuota 30% di dalam partai politik dan juga dalam pencalonan anggota
legislatif. perempuan mendapatkan ruang yang lebih luas untuk bergerak. Kini perempuan
dapat memasuki ruang publik dan ruang privat tanpa adanya peraturan yang menghalangi.
Perempuan memang sudah mendapatkan ruang publik. Akan tetapi perjuangan
gender tidak berhenti sampai di sini. Masih banyak isu-isu gender yang masih belum
terjamah. Perjuangan gender harus terus berlanjut, karena budaya patriarki masih tertanam
di dalam kebudayaan-kebudayaan masyarakat Indonesia. Masyarakat perlu untuk bisa
sampai pada reformasi kebudayaan agar dapat menyelesaikan persoalan-persoalan gender
dan bentuk- bentuk diskriminasi terhadap kaum minoritas.

16

DAFTAR PUSTAKA

Buku utama:
Madung, Otto Gusti. Politik Diferensiasi Versus Politik Martabat Manusia. Maumere:
Penerbit Ledalero, 2011.
Buku sekunder:
Dzuhayatin, Siti Ruhaini. “Gender dan Pluralisme di Indonesia,” Politik Multikulturalisme,
ed. Robert W. Hefner. Yogyakarta: Kanisius, 2007
Hungtinton, Samuel P., Joan M. Nelson. Partisipasi Politik di Negara Berkemban, terj. Sahat
Simamora. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1994.
Lovenduski, Joni. Politik Berparas Perempuan, terj. Hardono Hadi. Yogyakarta: Kanisius,
2008.
Primariantari, Rudiah. “Negara Birokrasi dan Ibu (Bapak) Pejabat,” Perempuan dan Politik
Tubuh Fantastis, eds. Arimbi. Yogyakarta: Kanisius 1998.
Artikel:
Pasya, Gurniwan K. “Peran Wanita Dalam Kepemimpinan Politik.”
Rosidawati, Imas. “Keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat, Kesiapan Partai
Politik, dan Perempuan Indonesia di Arena Politik Praktis.”
Undang-undang Pemilu:
UU Pemilu No. 12 tahun 2003
UU Pemilu No. 10 tahun 2008
UU Pemilu No. 8 tahun 2012

17