REVIEW HUKUM HAK ASASI MANUSIA

REVIEW HUKUM HAK ASASI MANUSIA
Annancya Jati Kusumaningrum
annancyajatik@students.unnes.ac.id
DATA BUKU :
Judul buku
: Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual
Terhadap
Anak
Pengarang
: Ismantoro Dwi Yuwono, S.H.
Penerbit
: Pustaka Yustisia
Tahun Terbit
: 2015
Kota Penerbit
: Yogyakarta
Bahasa Buku
: Indonesia
Jumlah Halaman : viii + 180 hlm
ISBN Buku
: 978 – 602 – 7984 – 28 – 8

 DISKUSI /PEMBAHASAH REVIEW :
Buku ini dikarang oleh Ismantoro Dwi Yuwono, S.H. Beliau merupakan
lulusan dari Universitas Widya Mataram Yogyakarta pada tingkat sarjana,
dengan bidang Ilmu Hukum Ketatanegaraan.
Pada bab 1, penulis membahas tentang kekerasan seksual, bentukbentuk, sumber dan faktor. Kekerasan seksual adalah kontak seksual yang
tidak dikehendaki oleh salah satu pihak. Di dalam pasal 285 ditentukan bahwa
barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
perempuan yang bukan istrinya berhubungan seksual dengan dia, dihukum,
karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama – lamanya 12 tahun.
Sedangkan di dalam pasal 289 KUHP disebutkan barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau
membiarkan melakukan pada dirinya perbuatan cabul, duhukum karena
merusakkan kesopanan dengan hukum penjara selama-lamanya sembilan
tahun. Menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan perbuatan cabul,
sebagaimana disebutkan di dalam pasal 289 KUHP, adalah segala perbuatan
yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji yang semua ada
kaitannya dengan nafsu birahi kelamin.


Berangkat dari unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian

kekerasan seksual tersebut, maka kita dapat mengelompokkan kekerasan
seksual ke dalam 2 kelompok besar sifat dari kekerasan itu, yakni : kekerasan
dalam bentuk verbal (mengancam) dan kekerasan dalam bentuk tindakan
konkret (memaksaatau memperkosa). Ancaman adalah tindakan menakutnakuti. Tujuan dari anacaman adalah agar pihak lain bertindak sesuai dengan
keinginan pihak yang menakut-nakuti. Memaksa adalah perintah dari satu
pihak lain mengerjakan sesuatu yang diinginkan. Pemaksaan ini bisa dalam
bentuk verbal maupun tindakan. Memperkosa adalah persetubuhan paksa
antara orang dewasa dengan anak-anak. Menurut pasal 330 kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHP), orang yang belum dewasa adalah mereka
yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan dalam
pasal 45 KUHP anak dibawah umur adalah anak yang berumur kurang dari 16
tahun.
Kontak seksual yang masuk dalam ruang lingkup kekerasan seksual
terhadap anak harus tidak dibatasi oleh ketentuan-ketentuan dalam pasal 287
KUHP, karena jika hanya dibatasi secara kaku oleh ketentuan KUHP hal ini akan
mengakibatkan
perlindungan
terhadap anak dari kekerasan
seksual
akan
megalami

keterbatasan.
Tidak
berhenti
sampai disini, jika penegak hukum
hanya
membatasi
diri
pada
ketentuan KUHP bahwa tindak
pidana seksual pada anak baru
terjadi
apabila
telah
terjadi
persetubuhan,
maka
konsekuensinya penegak hukum
akan mengabaikan bentuk-bentuk
kekerasan seksual lainnya yang
secara de facto sering dialami

oleh
anak
dalam
hidup
masyarakat. Dengan demikian,
penegak
hukum,
sebagai
representasi dari negara, harus
jeli benar memahami bentukbentuk
kekerasan
seksual
terhadap anak yang secara de
facto
ada
di
kehidupan
masyarakat.
Tuntutn
untuk

melampiaskan
libido
yang
bersarang pada tubuh manusia itu
tidak selalu dapat direalisasikan
oleh
manusia,
penyebabnya
adalah karena adanya normanorma sosial, seperti norma
agama, kesusilaan dan hukum.
Pengalihan libido terjadi karena
adanya norma sosial yang berlaku
di dalam masyarakat. Namun

demikian, untuk mengalihkan libido ke dalam bentuk yang positif norma sosial
saja tidak cukup harus ada kontrol yang ketat secara kolektif dari masyarakat
terhadap perilaku semua orang yang ada di lingkungan masyarakat setempat.
Di dalam pasal 20 Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut di tentukan
bahwa yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, dan orang tua.

Walupun KUHP telah telah memberikan perangkat normatif kontrol
kolektif sampai hari ini masih saja marak terjadinya tindak kekerasan terhadap
anak. Fenomena yang menandakan bahwa ketentuan normatif hanya berhenti
pada rumusan normatif semata. Dengan kata lain, kontrol kolektif secara
konkret belum terealisasi dengan baik. Ketidakpedulian terhadap sesama inilah
yang kemudian memunculkan budaya tega dalam kehidupan bermasyarakat
hari ini. Orang tega membiarkan anak berada dalam ancaman kekerasan
seksual dan orang tega membiarkan anak menjadi korban kekerasan seksual.
Asal tidak mengganggu kepentingan pribadinya orang tidak peduli fenomena
itu. Bagi orang yang berfalsafah hidup bebas kesengsaraan orang lain adalah
tanggung jawab orang yang bersangkutan dan keluarganya bukan tanggung
jawab dirinya sebagai manusia “atom” dan telah terindividualisasi. “Urusanmu
adalah Urusanmu, aku akan mengurus urusanku sendiri”, begitu komitmen
orang yang telah mengalami individualisme.
Sitem perlindungan hukum di bahas pada bab 2, pada buku ini penulis
menjelaskan secara rinci mengenai dasar hukum yang digunakan, contoh
kasus serta penjelasan yang lainnya. Ketidakmampuan manusia untuk
memperlihatkan atau memberikan sinyal fisik terhadap datangnya kesuburan
inilah yang kemudian membuat manusia selalu melakukan hubungan seksual
baik masa subur maupun di masa tidak subur. Supaya manusia selalu memiliki

keinginan untuk melakukan hubungan seksual di masa subur maupun tidak
subur, maka secara filogenetik terpasanglah rasa nikmat ketika manusia
sedang berhubungan seksual. Dan akhirnya, dalam perkembangannya,
manusia dalam melakukan aktivitas seksual tidak hanya berorientasi pada
reproduksi tetapi juga berorientasi pada perburuan kenikmatan. Orientasi
perburuan kenikmatan seksual dalam perkembanganny mendorong sebagai
manusia untun mencari objek-objek seksual yang menyimpang, seperti oral
seks dan sodomi. Bahkan lebih jauh lagi, untuk kepentingan kenikmatan
seksual semata.
Ketertarikan orang dewasa terhadap seks rekreasional yang
menempatkan anak sebagai objek perangsan dan pelampiasan libido di dalam
KUHP dikategorikan sebagai tindakan yang terlarang dan di ancam dengan
hukuman pidana. Secara normatif hal ini diatur dalam pasal 287 KUHP.
Perlindungan hukum pidana terkesan masih setengah hati karena di dalam
KUHP disebutkan bahwa persetubuhan anatara orang dewasa itu walaupun
dilarang, namun tindakan ini baru bisa dijatuhi hukuman pidana jika hal itu
dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Dengan kata lain, tindakan ini
dimasukan oleh KUHP sebagai delik aduan. Ini artinya, pelaku baru bisa
diproses secara hukum apabila ada pihak yang melaporkan. Dan, apabila
laporan dicabut oleh pihak pelapor, konsekuensinya pelaku tidak dapat

diproses lanjut secara hukum.
Pada buku ini penulis mengatakan bahwa delik aduan yang dirumuskan
dalam pasal 287 KUHP ini adalah rumusan yang diskriminatif, merugikan anak
korban kekerasan seksual, dan menyakiti rasa keadilan korban. Artinya pula,
KUHP belum dapat diandalkan sebagai hukm pidana yang secara maksimal
melindungi anak dari korban kekerasan seksual. Seharusnya jika KUHP ingin

melindungi anak dari kejahatan perkosaan harus tidak ada namanya delik
aduan, semua delik pemerkosaan pada anak harus dikategorikan sebagai delik
murni, harus diproses dan diselesaikan oleh aparat penegak hukum tanpa
harus adanya aduan/laporan dari pihak manapun. Karena kekerasan seksual
terhadap anak yang dikategorikan sebagai delik aduan oleh KUHP dianggap
dampaknya tidak terlalu merusak pada anak, maka konsekuensinya adalah
para perumus KUHP pun mengancam hukuman bagi pelaku pemerkosa anak
lebih rendah ketimbang ancaman pemerkosaan yang terjadi pada perempuan
dewasa.Ketika bujukan, rayuan, dan iming-iming hadiah dan janji tersebut
berhasil membuat anak melakukan perbuatan cabul seperti yang diminta oleh
si pelaku, maka berlakulah pasal 290 ayat 2e KUHP yang mengancam pelaku
dengan hukuman yang sama dengan ancaman hukuman pasal 290 ayat 2e,
yakti 7 tahun penjara.

Pemerkosaan anak di dalam rumah oleh KUHP dibagi menjadi 2 bentuk,
yakni pertama, pemerkosaan yang dilakukan oleh suami kepada istrinya tetapi
istrinya masih anak-anak. Kedua, pemerkosaan yang dilakukan oleh orang tua
kepada anak asuhnya. Pemerkosaan di dalam rumah tangga yang termasuk
dalam kategori pertama mengingatkan kita pada kasus pernikahan antara
seorang dewasa yang bernama Pujiono Cahyo Widianto dari Semarang dengan
seorang anak yang baru berusia 12 tahun, yang bernama lutfiana Ulfa.
Dibebaskannhya Syekh Puji dari jerat hukuman dari aparat penegak hukum
tampaknya disebabkan oleh kebingungan dari aparat penegak hukum untuk
menghukum syekh Pujia karena sulitnya merumuskan hukuman berdasarkan
ketentuan yang ada di dalam KUHP. Dan, secara de facto memang KUHP tidak
tegas dalam melindungi anak dari kekerasan seksual di dalam rumah tangga.
Berbisnis seks anak di bawah usia 17 tahun dan tahun bagi para mucikari
adalah bisnis yang sangat menggiurkan karena dari bisnis ini para mucikari
dapat
meraup
keuntungan
ratusan
juta
rupiah.

Menurut
KUHP
memperjualbelikan atau membisniskan anak adalah perbuatan yang masuk
dalam golongan tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjar. Adapun
ancaman hukum pidana tersebut sangatlah rendah, yakni hanya enam tahun.
Terkait dengan kekerasan seksual terhadap anak dalam bentuk pelacuran anak,
jika dicermati redaksi dari pasal 293 ayat (1) pasa ini adalah ketentuan yang
menciderai rasa keadilan anak sebagai korban kekerasan seksual. Kenyataan
yang terjadi dalam dunia pelacuran anak internasional dan lokal-Indonesia.
Anak, dengan demikian adalah korban yang seharusnya dilindungi oleh KUHP
bukannya justru diposisikan sebagai anak penggoda yang nakal yang
perilakunya cacat.
Pedofilia adalah ketertarikan seksual orang dewasa terhadap anak-anak.
Penyebab dari munculnya penyakit ketertarikan seksual ini bisa disebabkan
pertama oleh pengalaman masa kecilnya yang tidak mendukung
perkembangan kedewasaannya dan kedua bisa juga karena trauma pernah
mendapatkan kekerasan seksual dari orang dewasa. Pedofilia adalah salah satu
bentuk penyakit jiwa kelainan ketertarikan seksual. Tindakan kekerasan pada
anak-anak umumnya akan direkam di bawah alam sadar mereka, dan akan
dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya. Anak

yang mendapatkan perlakuan kejam akan menjadi agresif, yang pada
gilirannya akan menjadi orang dewasa yang agresif pula.
Menurut UU 23/2002 anak adalah amanat dan karunia dari Tuhan Yang
Maha Esa. Yang dimaksud amanat dari Tuhan untuk dilindungi oleh negara dan
warga masyarakat secara kolektif dari kekerasa seksual yang datang dari
manapun, khususnya yang datang dari orang dewasa. Karena anak dinilai oleh

UU 23/2002 sebagai penjamin keberlangsungan bangsa dan negara, maka
anak harus mendapatkan kesempatan yang seluasnya untuk tumbuh dan
berkembang secar optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Selain itu negara
juga harus mendorong anak agar memiliki akhlak mulia. Berangkat dari alasan
ini, maka perlu memberikan perlindungan terhadap semua anak.
Pada bab terakhir, penulis menjelaskan tentang kasus-kasus kejahatan
kekerasan seksual terhadap anak dan sejauh mana penanganannya. Disini
penulis memberikan informasi dengan memberikan beberapa kasus serta cara
penyelesaiannya. Tindakan bagi orang tua untuk melindungi anak dari
kekerasan seksual yaitu, tindakan antisipatif untuk mencegah hal-hal yang
menakutkan itu terjadi para orang tua harus memiliki pengetahuan bagaimana
cara mereka menjaga dan melindungi anak-anak mereka agar tidak terjadi
korban dan terjerumus dalam perilaku yang menyimpang. Yang bisa dilakukan
orang tua untuk mengantisipasi yaitu menciptakan sumber-sumber
kebahagiaan pada anak. Hal itu dapat diciptakan oleh orang tua melalui cinta,
persahabatan, permainan, dan berbagai sikap tidak materialistik lainnya, tentu
saja orang tua harus memberikan contoh kepada anak, karena anak belajar
kepada orang tua. Tak hanya itu orang tua alangkah lebih baiknya jika
memberika pengetahuan tentang pendidikan seks di usia dini, dengan
pengetahuan tersebut diharapkan anak memilik pengetahuan serta utuk
menghindari terjadinya tindak kejahatan kekerasan seksual.
Hindari melakukan tindakan kekerasan terhadap anak. Orang tua sering
melakukan kekerasan terhadap anak menyebabkan anak akan mencari tempat
pelarian terhadap orang yang dianggap sayang. Banyak cara yang bisa
dilakukan oleh orang tua untuk mendidik anak-anakny tanpa kekerasan.
Berpikir positif dan jauh ke depan untuk kepentingan anak adalah salah satu
yang efektif untuk mencegah melakukan kekerasan pada anak.
Ketika anak-anak menjadi korban kekerasan seksual, yang bisa dilakukan
orang tua yaitu memberikan dukungan dan melakukan pemulihan pada mental
anak. Anak yang menjadi korban kekerasan seksual apabila dimarahi oleh
orang tuanya, bukan merupakan solusi, tetapi bencana bagi anak. Tindakan
selanjutan adalah segera bawa anak untuk memeperoleh pengobatan secara
medis, melaporkan peristiwa itu kepada pihak kepolisian, dan meminta
lembaga perlindungan anak atau lembaga lainnya untuk membantu dan
menyembuhkan trauma dari peristiwa yang dialaminya.
Tindakan kolektif atau kontrol kolektif ini penting sekali peranannya
untuk mencegah anak menjadi korban kekerasan seksualdan juga mencegah
pedofil mencari mangsanya.implementasi dalam tindakna kolektif ini bisa
dilakukan dengan cara masyarakat bekerja sama dengan pihak kepolisian dan
Lembaga Perlindungan Anak atau Lembaga Swadaya Masyarakat untuk bahu
membahu melindungi anak. Ada pun pentingnya perkumpulan warga
masyarakat bekerja sama dengan pihak kepolisian dan Lembaga Perlindungan
Anak adakan, yang pertama pihak kepolisian dan Lembaga Perlindungan Anak
dapat secara berkala memberikan masukan-masukan, pendidikan dan
informasi tentang perlindungan anak dan pembangunan psikologis orang tua
dalam membesarkan anak dan yang kedua jika ada hal-hal yang mencurigakan
atau munculnya berbagai permasalahan, terkait dengan perlindungan anak,
antara warga masyarakat dan pihak penegak hukum dan LSM bisa saling
bekerja sama. Dalam hal ini perlu kiranya antar warga masyarakat, kepolisia
dan LSM saling memiliki kontak, baik kontak melalui telepon seluler maupun
melaui media internet. Sebagaimana telah penulis sampaikan di bagian lain
dalam buku ini, libido dapat teralihkan ke hal-hal yang semestinya apabila

libido itu di kontrol tidak saja melalui pembentukan norma-norma sosial tetapi
yang terpenting adalah kontrol secara kolektif.
KEKURANGAN DAN KELEBIHAN
Pada buku Penerapan Hukum dalam Kasus Kekerasan Seksual terhadap
Anak, penulis mampu menyampikan informasi secara runtut, rinci serta jelas.
Bahasa yang digunakan pun mudah untuk dipahami pembaca. Pada buku ini
penulis memberikan contoh beberapa kasus mengenai kekerasan terhadap
anak yang disertai dengan gambar dan keterangan yang jelas, sehingga sangat
membantu pembaca dalam mencari informasi. Tak hanya itu penulis
memberikan informasi yang bisa dinikmati khalayak umum, baik remaja, orang
tua maupun yang lainnya. Buku ini dilengkapi dengan catatan kaki, sehingga
akan memudahkan pembaca. Penulis juga melampirkan Kejahatan terhadap
Kesopanan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ; Undang – Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dijelaskan
secara rinci. Kekurangan pada buku ini yaitu tidaka adanya indeks, sehingga
menyulitkan pembaca ketika ingin mencari informasi secara cepat.
SARAN
Alangkah lebih baiknya jika pada buku ini ada penyampaian informasi
kekerasan di luar negeri, sehingga pembaca dapat menjadikan perbandingan
antara Indonesia dengan Luar negeri.
KESIMPULAN
Kekerasan seksual adalah kontak seksual yang tidak dikehendaki oleh salah
satu pihak. Di dalam pasal 285 ditentukan bahwa barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya
berhubungan seksual dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan
hukuman penjara selama – lamanya 12 tahun. Sedangkan di dalam pasal 289
KUHP disebutkan barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seseorang melakukan atau membiarkan melakukan pada dirinya
perbuatan cabul, duhukum karena merusakkan kesopanan dengan hukum
penjara selama-lamanya sembilan tahun.Pedofilia adalah ketertarikan seksual
orang dewasa terhadap anak-anak. Penyebab dari munculnya penyakit
ketertarikan seksual ini bisa disebabkan pertama oleh pengalaman masa
kecilnya yang tidak mendukung perkembangan kedewasaannya dan kedua bisa
juga karena trauma pernah mendapatkan kekerasan seksual dari orang
dewasa. Pedofilia adalah salah satu bentuk penyakit jiwa kelainan ketertarikan
seksual. Tindakan kekerasan pada anak-anak umumnya akan direkam di bawah
alam sadar mereka, dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus
sepanjang hidupnya. Anak yang mendapatkan perlakuan kejam akan menjadi
agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang agresif pula.
Menurut UU 23/2002 anak adalah amanat dan karunia dari Tuhan Yang Maha
Esa. Yang dimaksud amanat dari Tuhan untuk dilindungi oleh negara dan warga
masyarakat secara kolektif dari kekerasa seksual yang datang dari manapun,
khususnya yang datang dari orang dewasa. Karena anak dinilai oleh UU
23/2002 sebagai penjamin keberlangsungan bangsa dan negara, maka anak
harus mendapatkan kesempatan yang seluasnya untuk tumbuh dan
berkembang secar optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Selain itu negara
juga harus mendorong anak agar memiliki akhlak mulia. Berangkat dari alasan
ini, maka perlu memberikan perlindungan terhadap semua anak.

PENUTUP
Buku ini sangat menarik untuk dibaca, karena penulis mampu
memberikan informasi secara rinci dan jelas, tak hanya itu penulis memberikan
contoh kasus yang disertai gambar dan keterangan, sehingga akan menarik
minat pembaca.