Air Mata Orang Tua dan Guru
Air Mata Orang Tua dan Guru
Oleh: Ali Thaufan DS
Saya tidak habis pikir bagaimana perasaan seorang guru dan orang tua yang mengetahui dan
atau yang mempunyai anaknya merupakan korban kejahatan seksual. Tentu akan
berkecambuk hati dan pikirannya. Anak-anak korban kejahatan seksual –baik laki maupun
perempuan- akan mengalami trauma berat yang dapat menyebabkan depresi. Merasa tak
punya masa depan. Ini harus menjadi perhatian bagi orang tua untuk lebih “menjaga” anak
dari “cyber free”. Juga bagi guru untuk lebih giat menanamkan nilai-nilai luruh kebaikan.
Tulisan ini berangkat dari pembacaan media –baik cetak maupun elektronik- atas marak dan
ramainya kasus-kasus kejahatan seksual, terlebih menimpa anak-anak terutama usia sekolah
tingkat SMP dan SMA.
Para ahli mendefinisikan kejahatan seksual sebagai tindakan yang berkaitan dengan seks
seperti tindakan seksual, komentar bernada seksual dan perdagangan seks. Kejahatan seks
umumnya berwujud pada tindakan seperti pemerkosaan, perbudakan seks, “hamil paksa”
hingga aborsi. Tetapi definisi di atas dinilai belum “jelas” manakala orang yang terlibat
aktivitas seks tersebut dilandasi suka sama suka. Melakukan atas dasar cinta. Inilah yang
kemudian menyulitkan untuk mendefinisikan kejahatan seks. Aparat penindak juga
mengalami kesulitan. Tetapi fakta yang terjadi, kebanyakan kejahatan seks adalah
merupakan tindakan seperti tersebut di atas, tanpa didasari suka sama suka. Dan, mayoritas
kejahatan ini menimpa anak-anak usia sekolah SMP dan SMA.
Menurut data End Child Prostutition, Child Pornography, and Trafficking of Children for
Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia menyebut jumlah korban kejahatan seks terhadap anakanak sebanyak 18.474 anak. Data ini menurut koordinator ECPAT justru lebih kecil karena
masih banyak data-data yang belum terungkap. Kejahatan seksual terjadi umumnya melalui
media sosial. Penggunaan situs pornografi semakin hari semakin meningkat. Penelitian
ECPAT pada tahun 2014 lalu menyebut bahwa lebih dari 2,5 juta situs yang dibuka setiap
harinya adalah situs bermuatan pornografi. (Kompas 30/04/2015).
Media informasi seperti internet yang pada hakekatnya dapat mandatangkan kemudahan,
tetapi justru diselewengkan penggunaanya. Dari keterangan dan data-data terkait modus
kejahatan seks, para “juragan seks” memanfaatkan akun seperti Facebook, Twitter,
Blackberry Mesengger untuk memasarkan bisnis protitusinya. Para mucikari memasang foto
“gadis PSK”, sehingga pelanggan dapat segera memesan.
Peristiwa dan data-data di atas patut menjadi perhatian. Negara ini tentu tidak ingin
generasi penerusnya dirusak oleh kebebasan, kebebasan seks dan informasi. Semua orang
bijak di negara ini tidak ingin Indonesia, yang sedang menghadapi pasar bebas dunia,
dimodal generasi muda yang “rusak” karena kejahatan seksual. Orang tua dan para guru
wajar saja bila meneteskan air mata tatkala menghadapi kenyataan demikian. Ini bukan soal
sepele. Semua pihak harus turut andil tidak hanya urun pikiran, tetapi juga turun tangan.
Pengawasan atas akses internet mutlak dilakukan. Tidak hanya akun situs “kelompok radikal”
saja yang diblokir, tetapi situs-situs dan akun berbau pornografi. Bagi orang tua perlu
memberikan pemahaman terhadap anak terkait sejatinya seks secara utuh. Guru juga tak
boleh abai. Laboratorium sekolah yang menggunakan fasilitas internet perlu filterisasi atas
situs-situs membahayakan.
Oleh: Ali Thaufan DS
Saya tidak habis pikir bagaimana perasaan seorang guru dan orang tua yang mengetahui dan
atau yang mempunyai anaknya merupakan korban kejahatan seksual. Tentu akan
berkecambuk hati dan pikirannya. Anak-anak korban kejahatan seksual –baik laki maupun
perempuan- akan mengalami trauma berat yang dapat menyebabkan depresi. Merasa tak
punya masa depan. Ini harus menjadi perhatian bagi orang tua untuk lebih “menjaga” anak
dari “cyber free”. Juga bagi guru untuk lebih giat menanamkan nilai-nilai luruh kebaikan.
Tulisan ini berangkat dari pembacaan media –baik cetak maupun elektronik- atas marak dan
ramainya kasus-kasus kejahatan seksual, terlebih menimpa anak-anak terutama usia sekolah
tingkat SMP dan SMA.
Para ahli mendefinisikan kejahatan seksual sebagai tindakan yang berkaitan dengan seks
seperti tindakan seksual, komentar bernada seksual dan perdagangan seks. Kejahatan seks
umumnya berwujud pada tindakan seperti pemerkosaan, perbudakan seks, “hamil paksa”
hingga aborsi. Tetapi definisi di atas dinilai belum “jelas” manakala orang yang terlibat
aktivitas seks tersebut dilandasi suka sama suka. Melakukan atas dasar cinta. Inilah yang
kemudian menyulitkan untuk mendefinisikan kejahatan seks. Aparat penindak juga
mengalami kesulitan. Tetapi fakta yang terjadi, kebanyakan kejahatan seks adalah
merupakan tindakan seperti tersebut di atas, tanpa didasari suka sama suka. Dan, mayoritas
kejahatan ini menimpa anak-anak usia sekolah SMP dan SMA.
Menurut data End Child Prostutition, Child Pornography, and Trafficking of Children for
Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia menyebut jumlah korban kejahatan seks terhadap anakanak sebanyak 18.474 anak. Data ini menurut koordinator ECPAT justru lebih kecil karena
masih banyak data-data yang belum terungkap. Kejahatan seksual terjadi umumnya melalui
media sosial. Penggunaan situs pornografi semakin hari semakin meningkat. Penelitian
ECPAT pada tahun 2014 lalu menyebut bahwa lebih dari 2,5 juta situs yang dibuka setiap
harinya adalah situs bermuatan pornografi. (Kompas 30/04/2015).
Media informasi seperti internet yang pada hakekatnya dapat mandatangkan kemudahan,
tetapi justru diselewengkan penggunaanya. Dari keterangan dan data-data terkait modus
kejahatan seks, para “juragan seks” memanfaatkan akun seperti Facebook, Twitter,
Blackberry Mesengger untuk memasarkan bisnis protitusinya. Para mucikari memasang foto
“gadis PSK”, sehingga pelanggan dapat segera memesan.
Peristiwa dan data-data di atas patut menjadi perhatian. Negara ini tentu tidak ingin
generasi penerusnya dirusak oleh kebebasan, kebebasan seks dan informasi. Semua orang
bijak di negara ini tidak ingin Indonesia, yang sedang menghadapi pasar bebas dunia,
dimodal generasi muda yang “rusak” karena kejahatan seksual. Orang tua dan para guru
wajar saja bila meneteskan air mata tatkala menghadapi kenyataan demikian. Ini bukan soal
sepele. Semua pihak harus turut andil tidak hanya urun pikiran, tetapi juga turun tangan.
Pengawasan atas akses internet mutlak dilakukan. Tidak hanya akun situs “kelompok radikal”
saja yang diblokir, tetapi situs-situs dan akun berbau pornografi. Bagi orang tua perlu
memberikan pemahaman terhadap anak terkait sejatinya seks secara utuh. Guru juga tak
boleh abai. Laboratorium sekolah yang menggunakan fasilitas internet perlu filterisasi atas
situs-situs membahayakan.