Laporan Pembenihan Perikanan Laut. docx

LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNIK PEMBENIHAN PERIKANAN LAUT
ACARA I
KULTUR PAKAN ALAMI
(Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp.)

Oleh :
Nama
NIM
Kelompok

:
:
:

Lathifah
B0A013042
3

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS BIOLOGI
PROGRAM STUDI DIII PENGELOLAAN SUMBERDAYA
PERIKANAN DAN KELAUTAN
PURWOKERTO
2014

I.
I.1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pakan alami adalah sumber pakan yang penting dalam usaha pembenihan

ikan, udang, kepiting, dan kerang. Pakan alami merupakan pakan yang sudah
tersedia di alam, sedangkan pakan buatan adalah pakan yang dibuat dari beberapa
macam bahan yang kemudian diolah menjadi bentuk khusus sesuai dengan yang
dikehendaki. Pemberian pakan yang berkualitas akan memperkecil persentase
kematian larva. Dalam budidaya teritama dalam usaha pembenihan, pakan
merupakan salah satu faktor pembatas. Secara umum pakan terdiri dari pakan

alami dan pakan buatan. Pakan alami terbagi atas fitoplankton, zooplankton dan
benthos. Salah satu fitoplankton yang banyak digunakan sebagai pakan utama
dalam pembenihan ikan air laut adalah Nannochloropsis sp. karena memiliki syarat
yang dibutuhkan sebagai pakan larva yaitu mudah dicerna, berukuran kecil, nutrisi
tinggi, mudah dibudidayakan, dan cepat berkembang biak.
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat berlimpah,
termasuk didalamnya adalah keanekaragaman hayati mikroalga. Mikroalga adalah
tanaman yang paling efisien dalam menangkap dan memanfaatkan energi matahari
dan CO2 untuk keperluan fotosintesis. Selain itu, CO2 dimanfaatkan untuk
meningkatkan produktivitas. Di Indonesia sendiri dapat dijumpai ratusan jenis
mikroalga. Pada sisi lain, fungsi ekologis mikroalga sangat membantu dalam
pencegahan terjadinya pemanasan global. Beberapa jenis mikroalga yang banyak
dijumpai pada wilayah perairan serta dibudidayakan antara lain Chlorella vulgaris,
Chlorella sp. dan Nannochloropsis oculata.
Mikroalga merupakan tumbuhan air yang memiliki berbagai potensi yang
dapat dikembangkan sebagai sumber pakan, pangan, dan telah dimanfaatkan untuk
berbagai macam keperluan mulai dari bidang perikanan sebagai makanan larva
ikan, organisme penyaring, industri farmasi, dan makanan suplemen dengan
kandungan protein, karbohidrat, lipid, dan berbagai macam mineral. Selain itu,
mikroalga juga digunakan dalam pengolahan limbah logam berat sebagai pengikat

logam dari badan air dan mengendapkannya pada dasar kolan serta dimanfaatkan
sebagai sumber energi alternatif untuk biodiesel.
I.2

Tujuan

Praktikum kultur pakan alami ini bertujuan untuk:
1.
2.
3.
I.3

Mengetahui faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton.
Mengetahui fase-fase kehidupan fitoplankton yang dikultur.
Mengetahui cara menghitung kepadatan fitoplankton.
Manfaat
Manfaat praktikum ini yaitu agar mahasiswa dapat mengamati dan

mengetahui proses pengkulturan Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. mulai dari
bibit sampai panen serta dapat melakukan perhitungan kepadatan fitoplankton.


II.
II.1

TINJAUAN PUSTAKA

Marine phytoplankton
Fitoplankton adalah sekelompok dari biota tumbuh-tumbuhan autotrof,

mempunyai klorofil dan pigmen lainnya di dalam selnya dan mampu untuk
menyerang energi radiasi dan CO2 untuk melakukan fotosintesis. Proses
fotosintesis pada ekosistem air yang dilakukan oleh fitoplankton sebagai produsen
merupakan sumber energi utama bagi kelompok organisme air lainnya yang
berperan sebagai konsumen. Biota tersebut mampu mensintesis bahan-bahan
anorganik untuk dirubah menjadi bahan organik (yang terpenting yaitu
karbohidrat) (Zhong, 1989).
Fitoplankton mempunyai peranan yang sangat penting di dalam suatu
perairan, selain sebagai dasar dari rantai pakan (primary producer) juga merupakan
salah satu parameter tingkat kesuburan suatu perairan. Fitoplankton membentuk
sejumlah besar biomassa di laut, kelompok ini hanya diwakili oleh beberapa filum

saja. Sebagian besar bersel satu dan mikroskopik, dan mereka termasuk filum
Chrysophyta, yakni alga kuning-hijau yang meliputi diatom dan kokolifotor. Selain
ini terdapat beberapa jenis alga hijau-biru (Cyanophyta), alga coklat (Phaeophyta)
dan satu kelompok besar dari Dinoflagellata (Pyrophyta) (Rimper, 2002).
II.2

Chlorella sp.
Chlorella sp. merupakan alga bersel tunggal dari golongan alga hijau

(Chloropyta) yang telah dimanfaatkan secara komersial karena gizinya yang tinggi
(Sriharti dan Carolina, 1995). Chlorella sp. memiliki peranan dalam memenuhi
kebutuhan manusia diantaranya sebagai makanan tambahan atau suplemen karena
kandungan nutrisinya lengkap (Royan, dkk, 2010). Meningkatnya permintaan akan
Chlorella sp. merupakan peluang dilakukannya peningkatan kultur Chlorella sp.
Chlorella sp. merupakan alga hijau yang diklasifikasikan sebagai berikut:
Phylum

:

Chlorophyta


Kelas

:

Chlorophyceae

Ordo

:

Chlorococcaales

Family

:

Chlorellaceae

Genus


:

Chlorella

Spesies

:

Chlorella sp. (Bougis, 1979)

Chlorella sp. merupakan ganggang hijau bersel tunggal (uniseluler) dan
berukuran mikroskopis. Tubuh Chlorella berbentuk bulat seperti bola ataupun bulat
telur dan diameter selnya berukuran 3 – 8 mikrometer. Chlorella sp. berwarna hijau
dikarenakan selnya mengandung klorofil dalam jumlah yang besar daripada
karoten dan xantofil. Sel Chlorella sp. mempunyai protoplasma yang berbentuk
cawan tidak mempunyai flagella sehingga tidak dapat bergerak aktif, dinding
selnya terdiri dari selulosa dan pektin, tiap-tiap selnya terdapat satu buah inti sel
dan satu kloroplas. Protoplasma sel Chlorella diliputi oleh suatu membran yang
sangat selektif terhadap apa saja yang memasuki sel (Novitasari et al., 2012).

Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), Chlorella bereproduksi secara
aseksual dengan pembelahan sel, tetapi juga dapat dengan pembelaha autospora
dari sel induknya. Tiap satu sel induk (parrent cell) akan membelah menjadi 4, 8,
atau 16 autospora yang nantinya akan menjadi sel-sel anak (daughter cell) dan
melepaskan diri dari induknya (Bold dan Wynne, 1985).
Menurut Kumar dan Singh (1979) proses reproduksi Chlorella dapat dibagi
menjadi empat tahap, yaitu tahap pertumbuhan, pemasakan awal, pemasakan akhir,
dan pelepasan autospora. Tahap pertama adalah tahap pertumbuhan. Pada tahap ini
sel Chlorella tumbuh membesar dan setelah itu terjadi peningkatan aktivitas sintesa
yang merupakan persiapan awal pembentukan spora. Peningkatan aktivitas sintesa
merupakan tahap kedua yaitu pemasakan awal. Setelah tahap pemasakan awal
selesai maka dilanjutkan dengan tahap pemasakan akhir atau tahap ketiga. Pada
tahap ketiga, autospora mulai terbentuk yang setelah itu disusul tahap keempat.
Tahap keempat adalah tahap pelepasan autospora. Pelepasan autospora dimulai
dengan dinding sel induk yang akan pecah dan diikui oleh pelepasan autospora
yang nantinya akan tumbuh menjadi sel induk muda.
II.3

Nannochloropsis sp.
Nannochloropsis adalah genus ganggang yang terdiri dari sekitar 6 spesies.


Spesies yang sebagian besar telah dikenal dari lingkungan laut tetapi juga terjadi di
air tawar dan payau. Semua spesies yang kecil, bola nonmotile yang tidak
mengungkapkan semua fitur morfologi yang berbeda, dan tidak dapat dibedakan

dengan baik cahaya atau mikroskop elektron. karakterisasi ini kebanyakan
dilakukan oleh gen rbcL dan analisis urutan 18 rDNA. Hal ini berbeda dari
mikroalga terkait lainnya dalam kekurangan klorofil b dan c. Nannochloropsis
mampu membangun sebuah konsentrasi tinggi dari berbagai pigmen seperti
astaxanthin, zeaxanthin dan canthaxanthin.
Hibberd (1981) menggolongkan sel Nannochloropsis sp. ke dalam
klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom

:

Chromista

Super Divisi :


Eukaryotes

Divisi

:

Chroniophyta

Kelas

:

Eustigmatophyceae

Ordo

:

Eustigmatales


Famili

:

Monodopsidaceae

Genus

:

Nannochloropsis

Spesies

:

Nannochloropsis sp.

Nannochloropsis sp. merupakan mikroalga berwarna kehijauan, selnya
berbentuk bola, berukuran kecil dengan diameter 2 – 4 µm, memiliki 2 flagel
dengan salah satu flagelnya berambut tipis. Nannochloropsis memiliki kloroplas
dan nukleus yang dilapisi membran. Kloroplas memiliki stigma (bintik mata) yang
bersifat sensitif terhadap cahaya. Nannochloropsis dapat berfotosintesis karena
memiliki klotofil. Ciri khas dari Nannochloropsis sp. adalah memiliki dinding sel
yang terbuat dari komponen selulosa (Fachrullah, 2011).
Perkembangbiakan Nannochloropsis sp. terjadi secara aseksual yaitu
dengan pembelahan sel atau pemisahan autospora dari sel induknya. Reproduksi
sel ini diawali dengan pertumbuhan sel yang membesar. Periode selanjutnya adalah
terjadinya peningkatan aktivitas sintesa sebagai bagian dari persiapan pembentukan
sel anak, yang merupakan tingkat pemasakan awal. Tahap selanjutnya terbentuknya
sel induk muda yang merupakan tingkat pemasakan akhir, yang disusul dengan
pelepasan sel anak (Borowitzka, 1988).

II.4

Faktor Fisika Kimia phytoplankton

Chlorella hidup pada perairan tawar ataupun laut (Lin Wu, et al., 2000).
Menurut Bold dan Wynne (1985) berdasarkan habitat hidupnya Chlorella dapat
dibedakan menjadi Chlorella air tawar dan Chlorella air laut. Chlorella air tawar
dapat mentolerir dengan kadar salinitas hingga 5 ppt, sementara Chlorella air laut
dapat mentolerir salinitas antara 33 – 40 ppt. Chlorella tumbuh pada salinitas 25
ppt. Chlorella merupakan mesofilik dan termofilik. Chlorella tumbuh optimum
pada suhu 25oC (Richmond, 1986). Chlorella tumbuh baik pada suhu 20oC, tetapi
tumbuh lambat pada suhu 32oC. Tumbuh sangat baik pada suhu antara 25 – 30oC
(Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). pH yang sesuai untuk pertumbuhan Chlorella
berkisar antara 4,5 – 9,3 (Prihantini, et al., 2005).
Nannochloropsis dapat tumbuh pada salinitas 0 – 35 ppt. Salinitas optimum
untuk pertumbuhannya adalah 25 – 35 ppt dengan kisaran suhu optimal yaitu 25 –
30oC. Nannochloropsis sp. dapat tumbuh baik pada kisaran pH 8 – 9,5 dan
intensitas cahaya 100 – 10000 lux (Widianingsih, 2011). Nannochloropsis
membutuhkan beberapa nutrien untuk dapat tumbuh dengan baik. Nutrien tersebut
terdiri dari unsur makro dan mikro. Unsur makro terdiri dari N, P, Fe, K, Mg, S,
dan Ca sedangkan unsur mikro terdiri dari H2BO3, MnCl3, ZnCl2, CoCl2,
(NH4)6Mn7O244H2O, dan CuSO45H2O (Chen dan Shety, 1991).

III. MATERI DAN METODE
III.1 Materi
III.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah botol air mineral 600 ml,
aerator, mikroskop, kaca preparat, dan haemocytometer.
III.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah inokulum Chlorella sp. dan Nannochloropsis
sp. yang diperoleh dari hatchery marikultur FPIK Unsoed dan media pupuk Walne,
Conwy dan Guillard.
III.2 Metode
Metode yang digunakan adalah eksperimental laboratoris yaitu kultur
fitoplankton ini dilakukan untuk memberi keterampilan cara mengkultur
fitoplankton secara terkontrol skala laboratorium.
III.3 Pelaksanaan Praktikum
 Disiapkan botol berukuran 600 ml lengkap dengan aerasi.
 Botol diisi dengan air laut steril bersalinitas >30 ppt.
 Inokulum dimasukkan ke dalam botol kultur.
 Tambahkan pupuk Conwy ke dalam botol kultur.
 Acuan pemberian pupuk dengan perbandingan 1 ml : 1 L.
 Botol kultur ditempatkan pada kisaran cahaya 2500 – 4000 lux, pengukuran



cahaya menggunakan luxmeter.
Setelah dikultur selama 10 hari, kepadatan fitoplankton dihitung.
Sampel fitoplankton diambil dengan pipet tetes, teteskan ke dalam






haemocytometer sebanyak 1 tetes.
Tempatkan haemocytometer di bawah mikroskop.
Diamati kepadatan fitoplankton pada 4 sudut kotak haemocytometer.
Dicatat hasil yang didapat.
Dimasukkan ke dalam rumus kepadatan :
Kepadatan =

K 1+ K 2+ K 3+ K 4
4

III.4 Waktu dan Tempat

x 25 x 104

Praktikum kultur fitoplankton ini dilaksanakan pada hari Senin, 11
November 2014 bertempat di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Unsoed.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
IV.1.1 Tabel hasil perhitungan kepadatan fitoplankton
Waktu
Pemeliharaan
Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3
Hari ke-4
Hari ke-5
Hari ke-6
Hari ke-7
Hari ke-8
Hari ke-9
Hari ke-10

Tanggal
12 November 2014
13 November 2014
14 November 2014
15 November 2014
16 November 2014
17 November 2014
18 November 2014
19 November 2014
20 November 2014
21 November 2014

Kepadatan
Chlorella sp.
250.000 sel/ml
500.000 sel/ml
1.125.000 sel/ml
1.500.000 sel/ml
1.000.000 sel/ml
1.187.000 sel/ml
2.125.000 sel/ml
1.500.000 sel/ml
2.187000 sel/ml
2.312.000 sel/ml

Perhitungan Kepadatan Chlorella sp.:
1. 12 November 2014
KI1= 2; KI2= 1; KI3=0; KI4= 1
KI 1+ KI 2+ KI 3+ KI 4
4
2+1+ 0+ 1
=
x 25 x 104
4
4
=
x 25 x 104
4
= 250.000 sel/ml
2. 13 November 2014
KI1= 0; KI2= 1; KI3=4; KI4= 3
KI 1+ KI 2+ KI 3+ KI 4
Ktot =
4
0+1+ 4 +3
=
x 25 x 104
4
8
=
x 25 x 104
4
= 500.000 sel/ml
Ktot =

x 25 x 104

x 25 x 104

3. 14 November 2014
KI1= 3; KI2= 6; KI3=5; KI4= 4
KI 1+ KI 2+ KI 3+ KI 4
4
3+ 6+5+ 4
x 25 x 104
4

Ktot =
=

x 25 x 104

Kepadatan
Nannochloropsis sp.
1.125.000 sel/ml
1.625.000 sel/ml
1.937.500 sel/ml
3.187.500 sel/ml
3.437.500 sel/ml
3.312.500 sel/ml
3.625.000 sel/ml
3.125.000 sel/ml
3.687.500 sel/ml
4.562.000 sel/ml

18
x 25 x 104
4
= 1.125.000 sel/ml
4. 15 November 2014
KI1= 5; KI2= 6; KI3=6; KI4= 7
=

KI 1+ KI 2+ KI 3+ KI 4
4
5+ 6+6+7
=
x 25 x 104
4
24
=
x 25 x 104
4
= 150.000 sel/ml
5. 16 November 2014
KI1= 4; KI2= 5; KI3= 4; KI4= 3
Ktot =

KI 1+ KI 2+ KI 3+ KI 4
4
4+5+ 4+ 3
=
x 25 x 104
4
16
=
x 25 x 104
4
= 1.000.000 sel/ml
6. 17 November 2014
KI1= 4; KI2= 6; KI3= 5; KI4= 4
Ktot =

x 25 x 104

x 25 x 104

KI 1+ KI 2+ KI 3+ KI 4
x 25 x 104
4
4+ 6+5+4
=
x 25 x 104
4
18
=
x 25 x 104
4
= 1.187.000 sel/ml
7. 18 November 2014
KI1= 7; KI2= 7; KI3= 12; KI4= 8
KI 1+ KI 2+ KI 3+ KI 4
Ktot =
x 25 x 104
4
7 +7+12+8
=
x 25 x 104
4
34
=
x 25 x 104
4
= 2.125.000 sel/ml
8. 19 November 2014
KI1=8; KI2= 5; KI3= 5; KI4= 6
Ktot =

Ktot =

KI 1+ KI 2+ KI 3+ KI 4
4

x 25 x 104

8+5+5+6
x 25 x 104
4
24
=
x 25 x 104
4
= 1.500.000 sel/ml
9. 20 November 2014
KI1= 12; KI2= 7; KI3= 7; KI4= 7
=

KI 1+ KI 2+ KI 3+ KI 4
x 25 x 104
4
12+7+ 7+7
=
x 25 x 104
4
35
=
x 25 x 104
4
= 2.125.000 sel/ml
10. 21 November 2014
KI1= 6; KI2= 10; KI3= 10; KI4= 11
Ktot =

KI 1+ KI 2+ KI 3+ KI 4
4
6 +10+10+11
=
x 25 x 104
4
37
=
x 25 x 104
4
= 2.312.000 sel/ml
Perhitungan Nannochlorella sp.:
1. 12 November 2014
KI1= 2; KI2= 1; KI3= 6; KI4= 9
Ktot =

KI 1+ KI 2+ KI 3+ KI 4
4
2+1+6 +9
=
x 25 x 104
4
18
=
x 25 x 104
4
= 1.125.000 sel/ml
2. 13 November 2014
KI1= 4; KI2= 6; KI3= 7; KI4= 9
Ktot =

KI 1+ KI 2+ KI 3+ KI 4
4
4+ 6+7+9
=
x 25 x 104
4
26
=
x 25 x 104
4
= 1.625.000 sel/ml
3. 14 November 2014
Ktot =

x 25 x 104

x 25 x 104

x 25 x 104

KI1= 7; KI2= 7; KI3= 10; KI4= 7
KI 1+ KI 2+ KI 3+ KI 4
x 25 x 104
4
7 +7+10+7
=
x 25 x 104
4
31
=
x 25 x 104
4
= 1.937.500 sel/ml
4. 15 November 2014
KI1= 13; KI2= 11; KI3= 17; KI4= 10
Ktot =

KI 1+ KI 2+ KI 3+ KI 4
x 25 x 104
4
13+ 11+17+10
=
x 25 x 104
4
514
=
x 25 x 104
4
= 3.187.500 sel/ml
5. 16 November 2014
KI1= 12; KI2= 11; KI3= 13; KI4= 19
Ktot =

Ktot =

KI 1+ KI 2+ KI 3+ KI 4
x 25 x 104
4
12+11+ 13+19
=
x 25 x 104
4

55
x 25 x 104
4
= 3.437.500 sel/ml
6. 17 November 2014
KI1= 13; KI2= 11; KI3= 18; KI4= 11
=

KI 1+ KI 2+ KI 3+ KI 4
x 25 x 104
4
13+ 11+18+11
=
x 25 x 104
4
53
=
x 25 x 104
4
= 3.312.500 sel/ml
7. 18 November 2014
KI1= 11; KI2= 11; KI3=20; KI4= 16
Ktot =

KI 1+ KI 2+ KI 3+ KI 4
4
11 +11+20+16
x 25 x 104
4

Ktot =
=

x 25 x 104

58
x 25 x 104
4
= 3.625.000 sel/ml
8. 19 November 2014
KI1= 10; KI2= 8; KI3= 14; KI4= 18
=

KI 1+ KI 2+ KI 3+ KI 4
x 25 x 104
4
10+ 8+14+18
=
x 25 x 104
4
450
=
x 25 x 104
4
= 3.125.000 sel/ml
9. 20 November 2014
KI1= 16; KI2= 14; KI3= 14; KI4= 15
Ktot =

KI 1+ KI 2+ KI 3+ KI 4
x 25 x 104
4
16+ 14+14 +15
=
x 25 x 104
4
59
=
x 25 x 104
4
=3.687.500 sel/ml
10. 21 November 2014
KI1= 18; KI2= 12; KI3= 18; KI4= 25
Ktot =

KI 1+ KI 2+ KI 3+ KI 4
4
18+ 12+18+ 25
=
x 25 x 104
4
73
=
x 25 x 104
4
= 4.562.000 sel/ml
Ktot =

Gambar 1. Air Laut

x 25 x 104

Gambar 2. Gelas Ukur

Gambar 3. Pupuk Conwy

Gambar 4. Inokulum/Bibit

Gambar 5. Inokulum dalam media botol 600 ml

IV.2

Pembahasan
Chlorella sp. merupakan alga bersel tunggan (uniselular), berukuran

mikroskopis, diameter selnya berukuran 2 – 8 mikrometer, berbentuk bulat seperti
bola dan bulat telur (Suriawiria, 1987). Sedangkan Nannochloropsis sp. merupakan
mikroalga berwarna kehijauan, selnya berbentuk bola, berukuran kecil dengan
diameter 2 – 4 µm, memiliki 2 flagel dengan salah satu flagelnya berambut tipis.
Nannochloropsis memiliki kloroplas dan nukleus yang dilapisi membran
(Fachrullah, 2011).
Berdasarkan hasil dari kelompok 3 Teknik Pembenihan Perikanan Laut
diketahui jumlah Chlorella sp. pada hari ke-1 yaitu sebanyak 250.000 sel/ml dan
jumlah Nannochloropsis sebnayak 1.125.000 sel/ml, tidak terjadi penambahan
jumlah sel yang signifikan pada hari pertama, hal ini disebut fase istirahat. Fase
istirahat yaitu terjadi sesaat setelah inokulasi plankton dalam media kultur. Fase ini
ditandai dengan populasi tidak mengalami perubahan. Fase ini disebut juga fase
adaptasi, tidak terjadi fase perubahan, hanya terjadi peningkatan ukuran sel
(Umainana, 2012). Kemudian pada hari ke-2 sampai hari ke-4 terjadi kenaikan
Chlorella dengan jumlah rata-rata 500.000 sel/ml dan Nannochloropsis terjadi
kenaikan dengan jumlah rata-rata 352.000 sel/ml. Fase ini disebut fase logaritmik,
fase logaritmik adalah fase yang terjadi setelah fase istirahat yang ditandai dengan
pembelahan sel-sel baru dan laju pertumbuhan tetap (Umainana, 2012). Namun
pada hari ke-5 terjadi penurunan jumlah sel Chlorella menjadi 1.000.000 sel/ml,
sedangkan Nannochloropsis terjadi penurunan pada hari ke-6 menjadi 3.312.500
sel/ml, hal ini disebut fase penurunan relatif yaitu fase yang terjadi setelah fase
logaritmik. Fase ini disebabkan beberapa faktor antara lain pengendapan partikel
nutrien, laju penyediaan CO2 dan O2 yang menurun, perubahan pH media yang
diabsorbsi serta pembatasan cahaya sehingga lebih redup (Umainana, 2012). Pada
hari ke-6 terjadi kenaikan jumlah Chlorella dan pada Nannochloropsis terjadi
kenaikan pada hari ke-7, ini disebut fase stasioner yaitu fase yang terjadi setelah
fase berkurangnya pertumbuhan relatif. Pada fase ini laju reproduksi sama dengan
laju kematian dalam arti penambahan dan pengurangan plankton relatif sama atau
seimbang sehingga kepadatan fitoplankton cenderung tetap (Umainana, 2012).
Kemudian setelah fase stasioner dilajutkan dengan fase kematian, fase kematian

adalah fase akhir dari pola pertumbuhan fitoplankton. Fase kematian ditandai
dengan

penurunan

jumlah/kepadatan

plankton.

Laju

kematian

plankton

dipengaruhi oleh ketersediaan nutrien, ahaya, temperataur, dan umur plankton itu
sendiri (Umainana, 2012). Fase kematian belum terjadi pada kelompok kami, hal
ini dikarenakan fase kematian terjadi berkisar hari ke-15 dan seterusnya sedangkan
pengamatan yang dilakukan hanya dilakukan sampai hari ke-10.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan plankton dibagi menjadi
dua kelompok yaitu:
a. Faktor fisika
 Cahaya
Ketersediaan cahaya di perairan baik secara kuantitatif maupun kualitatif
sangat tergantung pada waktu (harian, musiman, tahunan), tempat
(kedalaman, letak geografis), kondisi prevalen di atas permukaan perairan
(penutupan awan), atau dalam perairan (absorpsi oleh air dan materialmaterial terlarut, serta penghamburan oleh partikel-partikel tersuspensi).
Laju pertumbuhan fitoplankton sangat tergantung pada ketersediaan cahaya
di dalam perairan. Laju pertumbuhan maksimum fitoplankton akan
mengalami penurunan bila perairan berada pada kondisi ketersediaan


cahaya yang rendah.
Suhu
Suhu air dapat mempengaruhi sifat fisika kimia perairan maupun biologi,
kenaikan suhu dapat menurunkan kandungan oksigen serta menaikkan daya
toksik yang ada dalam suatu perairan. Suhu air mempengaruhi kandungan
oksigen terlarut dalam air, semakin tinggi suhu maka semakin kurang
kandungan oksigen terlarut. Suhu air mempunyai pengaruh yang besar
terhadap proses pertukaran zat atau metabolisme dari makhluk hidup dan
suhu juga mempengaruhi pertumbuhan plankton. Perkembangan plankton



optimal terjadi dalam kisaran suhu antara 25oC – 30oC.
Kekeruhan/kecerahan
Kekeruhan sangat mempengaruhi perkembangan plankton,

apabila

kekeruhan tinggi maka cahaya matahari tidak dapat menembus perairan dan


menyebabkan fitoplankton tidak dapat melakukan proses fotosintesis.
Pergerakan air
Arus berpengaruh besar terhadap distribusi organism perairan dan juga
meningkatkan terjadinya difusi oksigen dalam perairan. Arus juga

membantu penyebab plankton dari satu tempat ke tempat lainnya dan
membantu menyuplai bahan makanan yang dibutuhkan plankton.
b. Faktor kimia
 Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman (ph) berpengaruh sangat besar terhadap tumbuhtumbuhan dan hewan air sehingga sering digunakan sebagai petunjuk untuk
menyatakan baik atau tidaknya kondisi air sebagai media hidup. Apabila
derajat keasaman tinggi apakah itu asam atau basa menyebabkan proses


fisiologis pada plankton terganggu.
Oksigen terlarut
Oksigen terlarut diperlukan oleh tumbuhan air, plankton dan fauna air untuk
bernapas serta diperlukan oleh bakteri untuk dekomposisi. Dengan adanya
proses dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri menyebabkan keadaan
unsur hara tetap tersedia di perairan. Hal ini sangat menunjang



pertumbuhan air, plankton dan perifiton.
Salinitas
Salinitas berperanan penting dalam kehidupan organisme, misalnya
distribusi biota akuatik. Daerah pesisir pantai merupakan perairan dinamis,
yang menyebabkan variasi salinitas tidak begitu besar. Organisme yang
hidup cenderung mempunyai toleransi terhadap perubahan salinitas sampai



dengan 15‰.
Nutrisi
Nutrisi sangat berperan penting untuk pertumbuhan plankton, nutrisi yang
paling penting dalam hal ini adalah nitrat (NO 3) dan fosfat (PO4).
Fitoplankton mengkonsumsi nitrogen dalam banyak bentuk, seperti
nitrogen dari nitrat, ammonia, urea, asam amino. Tetapi fitoplankton lebih
cenderung mengkonsumsi nitrat dan ammonia. Nitrat lebih banyak didapati
di dasar yang banyak mengandung unsur organik daripada dari air laut,
nitrat juga bisa diperoleh dari siklus nitrogen. Nitrogen dari nitrat adalah
salah satu unsur penting untuk pertumbuhan blue green alga dan
fitoplankton lainnya.
Chlorella termasuk cepat berkembang biak, mengandung gizi yang cukup

tinggi yaitu protein 42,2%, lemak kasar 15,3%, nitrogen dalam bentuk ekstrak,
kadar air 5,7% dan serat 0,4%. Chlorella juga menghasilkan suatu antibiotik yang

disebut Chlorellin yang dapat melawan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh
bakteri.
Nannochloropsis sp. memiliki kandungan lipid yang cukup tinggi yaitu
antara

31-68%

berat

kering.

Presentase

PUFA

utama

C20:5ɷ3

pada Nannochloropsis sp. tetap stabil pada kondisi dengan keterbatasan cahaya,
akan tetapi pada kondisi dengan intensitas cahaya jenuh kandungan PUFA
menurun yang diikuti dengan kenaikan proporsi SFA dan MUFAnya.
Nannochloropsis sp. dapat dimanfaatkan sebagai makanan zooplankton (rotifer,
kepopoda, artemia).. Selain itu biomasa alga Nannochloropsis sp. dapat digunakan
sebagai biosorben logam berat karena meiliki kemampuan adsorbsi yang
disebabkan adanya gugus aktif yang terkandung di dalamnya.

V.

KESIMPULAN

Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan yaitu:
1.

Faktor yang mempengaruhi kehidupan fitoplankton adalah faktor fisika dan
kimia. Faktor fisika meliputi chaya, suhu, kekeruhan, dan pergerakan air.
Sedangkan faktor kimia meliputi derajat keasaman (pH), salinitas, oksigen

2.

terlarut, dan nutrisi.
Fase kehidupan fitoplankton dari mulai pemberian benih ke dalam media
adalah fase adaptasi/fase istirahat, fase logaritmik, fase penurunan relatif,

3.

fase stasioner, dan fase kematian.
Cara perhitungan kepadatan fitoplankton menggunakan rumus :
K 1+K 2+K 3+ K 4
Kepadatan =
x 25 x 104
4

DAFTAR PUSTAKA

Bold, H. C. dan M. J. Wynne. 1978. Introduction to The Algae, Second Edition.
Pretice Hall Mc. Engelwood Cliffs. New York.
Bold, H. C. dan M. J. Wynne. 1985. Introduction To The Alga Structure And
Reproduction. Prentice Hall Inc. Engewood. New Jersey.
Borowitzka, M. A. 1988. Algal Growth Media And Sources Of Algal Cultures. In :
Borowitzka, M. A & L. J Borowitza (Eds) Microalga Biotechnology.
Cambridge University Press: Cambridge. pp. 456-465.
Bougis, P. 1979. Marine Plankton Ecology. American Elsevier Publishing
Company. New York.
Chen, J. and H. P. C. Shetty. 1991. Culture Of Marine Feed Organisms. National
Inland Institute Kasetsart University Campus. Bangkhen, Bangkok,
Thailand.38 P.
Fachrulah, M. R. 2011. Laju Pertumbuhan Mikroalga Penghasil Biofuel Jenis
Chlorela sp. dan Nanochloropsis sp. yang Dikultivasi Mengunakan Air
Limbah Hasil Penambangan Timah di Pulau Bangka. Institut Pertanian
Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor. Skripsi. Hal 9.
Hibberd, D. J. 1981. Notes On The Taxonomy And Nomenclature Of The Algal
Classes Eustigmatophyceae And Tribophyceae (Synonym Xanthophyceae).
Journal of the Linnean Society of London, Botany 82: 93-119, 17 figs, 1
table.
Isnansetyo, A. dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan
Zooplankton, Pakan Alam Untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius.
Yogyakarta.
Kumar, H. D. dan Singh, H. N. 1979. A Texbook On Algae. Mac. Millan Int.
College ed. London.
Lin Wu, H., S. H. Ruey, dan P. L. Liang. 2000. Identification of Chlorella spp.
Isolated Using Ribosomal DNA Sequences. Bot. Bull Acad Sin (2001) 42:
115-121.
Novitasari, W., Mahasri, G., dan Masithah, E. D. 2012. Pengaruh Konsentrasi
Pupuk Lemna minor Terhadap Populasi Chlorella sp. Universitas
Airlangga. Surabaya.
Prihantini, N. B., Putri, B., dan Yuniati, R. 2005. Pertumbuhan Chlorella sp.
Dalam Medium Ekstrak Tauge (MET) Dengan Variasi pH Awal. Fakultas
MIPA, Universitas Indonesia. Depok.

Richmond, A. 1986. CRC Handbook Of Microalgal Mass Culture. CRC Press, Inc.
Florida. p. 199-244.
Rimper, J. 2002. Kelimpahan Fitoplankton Dan Kondisi Oseanografi Perairan.
IPB. Bogor.
Srihati dan Carolina. 1997. Pengaruh Berbagai Media Terhadap Kualitas Algae
Bersel Tunggal (Scenedesmus sp.). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
LIPI. Hal 877-882.
Suriawiria, U. 1987. Simbiosis dan Karakteristik Chlorella. Intermedia. Jakarta.
Umainana, M. R., Mubarak, A. S., Masithah, E. D. 2012. Pengaruh Konsentrasi
Pupuk Daun Turi Putih (Sesbania grandiflora) Terhadap Populasi
Chlorella sp.. Universitas Airlangga. Surabaya.
Widianingsih, H. R., Endrawati, Y. E., dan Iriani, V. R. 2011. Pengaruh
Pengurangan Konsentrasi Nutrien Fosfat dan Nitrat Terhadap Kandungan
Lipid Total Nanochloropsis oculata. Universitas Diponegoro. Semarang.
Jurnal Ilmu Kelautan Maret 201. Vol. 16 (1) 24-29. Hal 24-25.
Zhong, H. G. 1989. A Biology of Algae. Beijing Publishing Co, LTD. China.

LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNIK PEMBENIHAN PERIKANAN LAUT
ACARA II
PENDEDERAN NENER BANDENG
(Chanos chanos)

Oleh :
Nama
NIM
Kelompok

:
:
:

Lathifah
B0A013042
3

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PROGRAM STUDI DIII PENGELOLAAN SUMBERDAYA
PERIKANAN DAN KELAUTAN
PURWOKERTO
2014

I.
I.1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan negara maritim yang mempunyai potensi sumber

daya perairan yang besar dilihat dari panjang garis pantai yaitu ± 81.000 km dan
luas areal yang dapat digunakan untuk budidaya ikan ±24.530.000 Ha berdasarkan
perhitungan sekitar 5 km dari garis pantai ke arah laut. Pengembangan budidaya
laut berperan penting untuk pembangunan sektor perikanan dan merupakan salah
satu prioritas yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan dari sektor perikanan.
Potensi tersebut apabila dimanfaatkan secara optimal akan meningkatkan
pendapatan petani nelayan, membuka lapangan pekerjaan, memanfaatkan daerah
potensial, meningkatkan produktivitas perikanan, meningkatkan devisa negara, dan
membantu menjaga kelestarian sumberdaya hayati.
Ikan bandeng merupakan salah satu ikan konsumsi yang hidup tersebar di
perairan Indonesia. Ikan ini termasuk ekonomis penting karena permintaan pasok
domestik yang cukup tinggi. Selain itu, ikan bandeng mudah beradaptasi dan
bertoleransi tinggi terhadap salinitas, tahan terhadap penyakit, dan tidak bersifat
kanibalisme. Di Indonesia, budidaya ikan bandeng di tambak sudah dikenal sejak
abad XII, terutama di Pulau Jawa. Perkembangan teknologi budidaya bandeng di
Indonesia belum secepat budidaya udang windu, sebagian besar teknologi
budidaya bandeng masih tradisional.
Selama ini nener ikan bandeng yang digunakan untuk pembesaran ikan
bandeng itu sendiri masih mengandalkan dari alam. Sedangkan produksi nener
alam belum mampu untuk mencukupi kebutuhan budidaya bandeng yang terus
berkembang. Oleh karena itu, peranan usaha pembenihan bandeng dalam upaya
untuk mengatasi kekurangan nener tersebut menjadi sangat penting.
I.2

Tujuan
Praktikum Pendederan Nener Bandeng ini bertujuan untuk:

1.

Mengetahui faktor yang mempengaruhi kehidupan ikan bandeng (Chanos

2.

chanos).
Faktor yang menyebabkan ikan bandeng (Chanos chanos) mengalami
kematian.

I.3

Manfaat
Praktikum ini bermanfaat untuk menambah wawasan tentang teknik

pengelolaan larva ikan bandeng dari mulai pemeliharaan hingga pemanenan.

II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1

Nener Bandeng
Bandeng banyak dikenal orang sebagai ikan air tawar. Habitat asli ikan

bandeng sebenarnya di laut, tetapi ikan ini dapat hidup di air tawar maupun air
payau. Ikan bandeng hidup di Samudera Hindia dan menyebranginya sampai
Samudra Pasifik, mereka cenderung bergerombol di sekitar pesisir dan pulau-pulau
dengan koral. Ikan yang muda dan baru menetas hidup di laur untuk 2 – 3 minggu,
lalu berpindah ke rawa-rawa bakau, daerah payau, dan kadangkala danau-danau.
Bandeng baru kembali ke laut jika sudah dewasa dan bisa berkembang biak.
Ikan bandeng dalam bahasa latin adalah Chanos chanos dan bahasa Inggris
Milkfish pertama kali ditemukan oleh seseorang yang bernama Forsskal pada tahun
1925 di laut merah. Menurut Sudrajat (2008) klasifikasi ikan bandeng adalah
sebagai berikut:
Kingdom

:

Animalia

Phylum

:

Chordata

Subphylum

:

Vertebrata

Class

:

Osteichthyes

Ordo

:

Gonorynchiformes

Family

:

Chanidae

Genus

:

Chanos

Spesies

:

Chanos chanos

Ikan bandeng memiliki tubuh yang panjang, ramping, padat, pipih, dan oval
menyerupai torpedo. Perbandingan tinggi dengan panjang total sekitar 1 : (4,0 –
5,2). Sementara itu, perbandingan panjang kepala dengan panjang total adalah 1 :
(5,2 – 5,5) (Sudrajat, 2008). Ukuran kepala seimbang dengan ukuran tubuhnya,
berbentuk lonjong dan tidak bersisik. Bagian depan kepala (mendekati mulut)
semakin runcing (Purnomowati, et al., 2007).
Sirip dada ikan bandeng terbentuk dari lapisan lilin, berbentuk segitiga,
terletak di belakang insang di samping perut. Sirip punggung pada ikan bandeng
terbentuk dari kulit yang berlapis dan licin, terletak jauh di belakang tutup insang
dan berbentuk segiempat. Sirip punggung tersusun dari tulang sebanyak 14 batang.
Sirip ini terletak persis pada puncak punggung dan berfungsi untuk mengendalikan

diri ketika berenang. Sirip perut terletak pada bagian bawah tubuh dan sirip anus
terletak di bagian depan anus. Di bagian paling belakang tubuh ikan bandeng
terdapat sirip ekor berukuran paling besar dibandingkan sirip-sirip lain. Pada
bagian ujungnya berbentuk runcing, semakin ke pangkal ekor semakin lebar dan
membentuk sebuah gunting terbuka. Sirip ekor ini berfungsi sebagai kemudi laju
tubuhnya ketika bergerak (Purnomowati, et al., 2007).
Ikan bandeng termasuk jenis ikan eurihalin, sehingga ikan bandeng dapat
dijumpai di daerah air tawar, air payau, dan air laut. Selama masa
perkembangannya, ikan bandeng menyukai hidup di air payau tau daerah muara
sungai. Ketika mencapai usia dewasa, ikan bandeng akan kembali ke laut untuk
berkembang biak (Purnomowati, 2007). Pertumbuhan ikan bandeng relatif cepat,
yaitu 1,1 – 1,7% bobot badan/hari (Sudrajat, 2008), dan bisa mencapai berat ratarata 0,60 kg pada usia 5 – 6 bulan jika dipelihara dalam tambak (Murtidjo, 2002).
Ikan bandeng mempunyai kebiasaan makan pada siang hari. Di habitat
aslinya ikan bandeng mempunyai kebiasaan mengambil makanan dari lapisan atas
dasar laut, berupa tumbuhan mikroskopus seperti plankton, udang, jasad renik, dan
tanaman multiseluler lainnya. Makanan ikan bandeng disesuaikan dengan ukuran
mulutnya (Purnomowati, et al., 2007). Pada waktu larva, ikan bandeng tergolong
karnivora, kemudian pada ukuran fry menjadi omnivora. Pada ukuran juvenil
termasuk ke dalam golongan herbivora, dimana pada fase ini juga ikan bandeng
sudah bisa makan pakan buatan berupa pellet. Setelah dewasa, ikan bandeng
kembali berubah menjadi omnivora lagi karena mengkonsumsi algae, zooplankton,
benthos lunak, dan pakan buatan berbentuk pellet (Aslamsyah, 2008).
Setelah induk ikan bandeng telah matang gonad, tahap selanjutnya yaitu
pemijahan induk ikan bandeng. Pemijahan ikan bandeng secara alami terjadi di
daerah pantai yang jernih dengan kedalaman 40 – 50 meter dan ombak yang sedikit
beriak karena sifat telurnya yang melayang (Ahmad, 1998). Pemijahan bandeng
berlangsung parsial, yaitu telur matang dikeluarkan sedangkan yang belum matang
terus berkembang di dalam tubuh untuk pemijahan berikutnya. Dalam setahun, satu
ekor bandeng dapat memijah lebih dari satu kali. Jumlah telur yang dihasilkan
dalam satu kali pemijahan berkisar antara 300.000 – 1.000.000 butir telur
(Murtidjo, 1989).

Pemijahan alami berlangsung dalam kelompok-kelompok kecil yang
tersebar di sekitar gosong karang atau perairan yang jernih dan dangkal di sekitar
pulau pada bulan Maret, Mei, dan September sampai Januari. Bandeng memijah
pada tengah malam sampai menjelang pagi. Sedangkan pemijahan buatan dapat
dilakukan melalui rangsangan hormonal. Hormon yang diberikan dapat berbentuk
cair atau padat. Hormon bentuk padat diberikan setiap bulan, sedangkan hormon
bentuk cair diberikan pada saat induk jantan dan betina sudah matang gonad. Induk
bandeng akan memijah setelah 2 – 15 kali implantasi tergantung pada tingkat
kematangan gonad. Pemijahan induk betina yang mengandung telur berdiameter
lebih dari 750 mikron atau indun jantan yang mengandung sperma tingkat 3 dapat
dipercepat dengan menyuntikkan hormon LHR H-a pada dosis 30 – 50 mikron
gram/kg berat tubuh atau dengan hormon HC G pada dosis 5.000 – 10.000 IU/kg
berat tubuh (Murtidjo, 1989).
II.2

Faktor Fisika Kimia
Parameter fisik dalam kualitas air merupakan parameter yang bersifat fisik,

dalam arti dapat dideteksi oleh panca indera manusia yaitu melalui visual,
penciuman, peraba, dan perasa. Faktor fisika yang mempengaruhi antara lain:
a. Kecerahan/kekeruhan
Cahaya matahari merupakan sumber energi yang utama bagi kehidupan jasad
termasuk kehidupan di perairan karena ikut menentukan produktivitas
perairan. Intensitas cahaya matahari merupakan faktor abiotik utama yang
sangat menentukan laju produktivitas primer perairan, sebagai dumber energi
dalam proses fotosintesis (Irawan, 2009). Tingkat kecerahan yang baik
berkisar antara 30 – 65 cm yang mendukung untuk produktivitas organisme
akuatik (Suwondo, et al., 2005).
b. Suhu
Suhu air normal adalah suhu air yang memungkinkan makhluk hidup dapat
melakukan metabolisme dan berkembang biak. Suhu merupakan faktor fisik
yang sangan penting di air, karena bersama-sama dengan zat/unsur yang
terkandung didalamnya akan menentukan massa jenis air dan bersama-sama
dengan tekanan dapat digunakan untuk menentukan densitas air (Irawan,

2009). Kisaran suhu optimal bagi ikan bandeng adalah 28 oC – 30oC. Alat yang
digunakan untuk mengukur suhu air adalah termometer (Raswin, 2003).
c. Kecepatan arus
Arus air adalah faktor yang mempunyai peranan yang sangat penting bagi
perairan letik maupun pada perairan lentik. Hal ini berhubungan dengan
penyebaran organisme, gas-gas terlarut dan mineral yang terdapat di dalam air.
Kecepatan aliran air akan bervariasi secara vertikal. Arus air pada perairan
letik umumnya bersifat tusbulen yaitu arus air yang bergerak ke segala arah
sehingga air akan terdistribusi ke seluruh bagian dari perairan (Irawan, 2009).
d. Warna air
Menurut Marindro (2002) dalam Irawan (2009), kriteria air tambak yang dapat
dijadikan acuan standart dalam pengelolaan kualitas air adalah seperti berikut:
1.
Warna air tambak hijau tua yang berarti menunjukkan adanya dominasi
Chloropiceae dengan sifat lebih stabil terhadap perubahan lingkungan
2.

dan cuaca karena mempunyai waktu moralitas yang relatif panjang.
Warna air tampak kecoklatan yang berarti menunjukkan adanya

3.

dominasi Diatom.
Warna air tambak hijau kecoklatan yang berarti menunjukkan dominasi

yang terjadi merupakan perpaduan antara Chloropiceae dan Diatom.
e. Kedalaman
Kedalaman perairan sangat berpengaruh terhadap kualitas air pada lokasi
tersebut. Lokasi yang dangkal akan lebih mudah terjadinya pengadukan dasar
akibat dari pengaruh gelombang yang pada akhirnya kedalaman perairan lebih
dari 3 m dari pengaruh gelombang yang pada akhirnya kedalaman perairan
lebih dari dasar jaring. Alat untuk mengukur kedalaman disebut depth sounder
(Setiawan, 2010 dalam Siagian, 2009).
Faktor kimia yang mempengaruhi budidaya perairan adalah sebagai
berikut:

a. Salinitas
Salinitas menggambarkan kadar garam-garam terlarut dalam air. Brotowidjoyo
(1995) menyatakan bahwa salinitas dapat berbeda-beda tergantung evaporasi
dan transparansi, perbedaan salinitas akan mempengaruhi densitas air, tekanan
osmosis didalamnya dan kelarutan gas dalam air. Salinitas air laut umumnya
tinggi (35.000 mg/l), sedangkan salinitas payau dapat lebih rendah dari air

laut, cukup air tawar dan dapat jauh lebih tinggi karena proses penguapan
(Cholik, et al., 1989). Bandeng dapat mentoleransi salinitas sampai pada
kisaran 40‰ (Yunus, 1978).
b. Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) sangat berperan penting dalam kehidupan ikan. Derajat
keasaman yang cocock untuk semua jenis ikan berkisar antara 6,7 – 8,6. Ada
jenis ikan yang hidup pada daerah rawa yang mempunyai ketahanan untuk
tetap bertahan hidup pada kisaran pH yang sangat rendah maupun tinggi yaitu
4 – 9, misalnya ikan sepat siam (Sutanto, 1994). Kisaran pH yang baik untuk
kehidupan dan pertumbuhan ikan ataupun udang adalah antara 7 – 8,5 (Cheng,
et al., 2003).
c. O2 terlarut (DO)
Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas dalam budidaya ikan. Oksigen
terlarut itu sendiri adalah jumlah oksigen yang terkandung dalam atmosfer
bumi yang larut pada suatu perairan. Oksigen terlarut dianggap sangat penting
karena keberadaannya sangat menentukan kelangsungan hidup suatu
organisme dan berkaitan dengan parameter lainnya (Boyd, 1988). Pada
beberapa jenis ikan mampu bertahan hidup di perairan dengan konsentrasi
oksigen 2 ppm, tetapi konsentrasi minimum pada sebagian spesies ikan untuk
hidup dengan baik pada oksigen 5 ppm. Pada perairan dengan konsentrasi
dibawah 4 ppm ikan masih mampu bertahan hidup, akan tetapi nafsu
makannya rendah bahkan tidak ada sama sekali, sehingga pertumbuhannya
menjadi terlambat kemudian ikan akan mati dan mengalami stress bila
konsentrasi oksigen mencapai titik nol (Susanto, 1986).
d. CO2 terlarut
Gas karbondioksida yang disebut asam arang merupakan hasil buangan oleh
semua makhluk hidup melalui proses pernapasan. Karbondioksida merupakan
salah satu komponen udara yang dihasilkan oleh proses respirasi maupun
penguraian bahan organik. Kandungan karbondioksida maksimum dalam air
yang tepat adalah 25 ppm (Sutanto, 1994). Kadar karbondioksida yang
dikehendaki oleh ikan adalah tidak lebih dari 12 ppm dengan kandungan yang
terendah 2 ppm (Brown, 1980).

III. MATERI DAN METODE
III.1 Materi
III.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam pendederan nener bandeng adalah akuarium,
pipet tetes, timbangan, termometer, dan aerator.
III.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum adalah 5 ekor nener bandeng, air
laut, dan Spirulina sp.
III.2 Metode
Metode

yang

digunakan

adalah

eksperimental

laboratoris

yaitu

pemeliharaan nener bandeng skala laboratorium untuk mengetahui tingkat
mortalitas nener bandeng dan suhu yang sesuai untuk pembesaran nener bandeng.
III.3 Pelaksanaan Praktikum
III.3.1 Persiapan pakan alami
Pakan alami nener bandeng berupa Spirulina sp. sehingga perlu dilakukan
kultur Spirulina sebagai pakan nener bandeng.
III.3.2 Pembesaran nener bandeng
 Akuarium diisi air laut bervolume setengah dari akuarium.
 5 buat nener bandeng dimasukkan ke dalam akuarium yang sudah berisi air



laut.
Akuarium diberi aerasi agar tersedia oksigen terkarut di dalam air.
Ikan diberi pakan 2x sehari yaitu pagi dan sore hari. Pada pagi hari ikan diberi

pakan berupa pellet dan sore hari diberi pakan 1 tetes Spirulina sp.
 Diamati perkembangannya setiap hari.
 Pada hari ke-15 ukur pertambahan berat dan panjangnya.
III.3.3 Pengukuran parameter fisika kimia
 Parameter yang dilakukan adalah parameter fisika yaitu suhu.
 Termometer dimasukkan ke dalam air akuarium untuk mengetahui suhu dalam
air pendederan.
 Kemudian dicatat suhu yang ditunjukkan termometer.
 Pengukuran suhu dilakukan setiap pagi dan sore hari.
III.4 Waktu dan Tempat

Praktikum pendederan nener bandeng dilaksanakan pada hari Rabu, 12
November 2014 bertempat di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Unsoed.

IV.
IV.3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Tabel 4.1.1 Berat dan panjang bandeng
Ikan ke
1
2
3
4
5

Berat awal
0,2 gr
0,2 gr
0,2 gr
0,2 gr
0,2 gr

Panjang awal
2 cm
2 cm
2 cm
2 cm
2 cm

Berat akhir
0,2 gr
0,4 gr
-

Panjang akhir
2,9 gr
3 gr
-

Tabel 4.1.2 Pengukuran suhu bandeng
Waktu Pemeliharaan
Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3
Hari ke-4
Hari ke-5
Hari ke-6
Hari ke-7
Hari ke-8
Hari ke-9
Hari ke-10
Hari ke-11
Hari ke-12
Hari ke-13
Hari ke-14
Hari ke-15

Gambar 1. Akuarium berisi bandeng

Suhu Pagi
28 oC
28 oC
25 oC
26 oC
27 oC
25 oC
25 oC
26 oC
25 oC
26 oC
25 oC
25 oC
25 oC
24 oC
25 oC

Suhu Sore
28 oC
26 oC
25 oC
25 oC
26 oC
26 oC
25 oC
27 oC
26 oC
25 oC
25 oC
27 oC
26 oC
25 oC
25 oC

IV.4

Pembahasan
Pendederan yaitu pemeliharaan benih ikan selepas dari pembenihan hingga

siap dipelihara di kolam-kolam pembesaran ataupun keramba jaring apung. Tahap
pendederan sangat penting karena penebaran ikan terlalu kecil dapat menyebabkan
tingkat kematian tinggi pada waktu awal pembesaran ikan. Benih ikan dalam tahap
pendederak membutuhkan kualitas air yang baik dan pakan yang terkontrol,
sehingga pertumbuhan bobot ikan tidak terganggu dikarenakan kurangnya pakan
dan buruknya kualitas air (Taufik, 2002).
Ikan bandeng termasuk jenis ikan eurihalin, sehingga ikan bandeng dapat
dijumpai di daerah air tawar, air payau, dan air laut. Selama masa
perkembangannya, ikan bandeng menyukai hidup di air payau tau daerah muara
sungai. Ketika mencapai usia dewasa, ikan bandeng akan kembali ke laut untuk
berkembang biak (Purnomowati, 2007). Pertumbuhan ikan bandeng relatif cepat,
yaitu 1,1 – 1,7% bobot badan/hari (Sudrajat, 2008), dan bisa mencapai berat ratarata 0,60 kg pada usia 5 – 6 bulan jika dipelihara dalam tambak (Murtidjo, 2002).
Ikan bandeng mempunyai kebiasaan makan pada siang hari. Di habitat
aslinya ikan bandeng mempunyai kebiasaan mengambil makanan dari lapisan atas
dasar laut, berupa tumbuhan mikroskopus seperti plankton, udang, jasad renik, dan
tanaman multiseluler lainnya. Makanan ikan bandeng disesuaikan dengan ukuran
mulutnya (Purnomowati, et al., 2007). Pada waktu larva, ikan bandeng tergolong
karnivora, kemudian pada ukuran fry menjadi omnivora. Pada ukuran juvenil
termasuk ke dalam golongan herbivora, dimana pada fase ini juga ikan bandeng
sudah bisa makan pakan buatan berupa pellet. Setelah dewasa, ikan bandeng
kembali berubah menjadi omnivora lagi karena mengkonsumsi algae, zooplankton,
benthos lunak, dan pakan buatan berbentuk pellet (Aslamsyah, 2008).
Hasil pengukuran kelompok kami adalah rata-rata pertambahan berat
bandeng sebesar 0,3 gr/ekor selama 15 hari dan rata-rata pertambahan panjangnya
adalah 3 cm. Pertambahan pada nener bandeng ini belum sesuai dengan pernyataan
dalam jurnal Putri, et al. (2011) yang menyatakan pada tahap pendederan ikan
bandeng, penambahan bobot per hari berkisar antara 40 – 50 mg. Pertambahan
bobot yang tidak sesuai diduga dikarenakan bandeng tidak cukup nutrisi dari pakan
yang diberikan.

Pada pengujian tingkat mortalitas didapatkan pada hari ke-3 dan ke-5
terjadi kematian pada nener bandeng, adapun penyebab kematian menurut
Pulungan et al. (2004) adalah predasi, penyakit, pencemaran, pemusnahan seara
fisik oleh mesi atau manusia dan gejala alam yang berpengaruh secara langsung.
Sedangkan pengaruh yang tidak langsung adalah dari faktor makanan, kondisi
lingkungan yang kurang menyenangkan, beberapa jenis parasit, dan tekanan sosial.
Diduga ikan yang mati pada kelompok kami akibat dari kelebihan makanan yang
menyebabkan amoniak pada akuarium sehingga ikan mati karena kelebihan kadar
amoniak dalam air.
Pemeliharaan dalam tahap pendederan merupakan fase yang penting untuk
menghasilkan benih unggul dibesarkan. Jika benih berukuran 100g/ekor hasil
pendederan dipindahkan ke kolam pembesaran, maka benih akan memiliki laju
pertumbuhan yang cepat (Jangkaru, 1998). Kualitas air merupakan faktor yang
sangat penting dalam pemeliharaan ikan, karena akan menentukan hasil yang
diperoleh. Kondisi kualitas air juga berperan dalam menekan terjadinya
peningkatan perkembangan bakteri patogen dan parasit di dalam media
pemeliharaan. Sebagai tempat hidup ikan, kualitas air sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor fisika dan kimia air seperti suhu, oksigen terlarut, pH, amonia, nitrit,
dan nitrat (Forteath, et al., 1993).
Salah satu parameter fisika air yang sangat penting peranannya dalam
kehidupan ikan adalah suhu. Setiap organisme akuatik mempunyai kisaran suhu
tertentu dalam pertumbuhannya karena suhu air mempengaruhi nafsu makan ikan
dan pertumbuhan badan ikan. Perubahan suhu yang mendadak dapat menyebabkan
kematian pada ikan meskipun kondisi lingkungan lainnya optimal. Suhu air dalam
tambak pemeliharaan sebaiknya berkisar 27 – 32oC karena ikan-ikan tropis akan
tumbuh baik pada kisaran tersebut (Purnamawati, 2002). Suhu yang didapatkan
pada pemeliharaan nener bandeng berkisar 25 – 26oC dikarenakan pemeliharaan
dilakukan pada musim hujan sehingga suhu air menjadi rendah dan tidak sesuai
untuk pemeliharaan ikan.

V.

KESIMPULAN

Dari praktikum yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1.

Kehidupan ikan bandeng dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia perairan
yang meliputi kecerahan, suhu, kecepatan arus, warna air, kedalaman,

2.

salinitas,derajat keasaman (pH), O2 terlarut (DO), CO2 terlarut.
Fase nener pada bandeng merupakan fase kritis dalam budidaya bandeng
karena terjadi mortalitas yang tinggi, hasil yang didapatkan kelompok 3 yaitu
nener bandeng dengan suhu 25oC tidak sesuai untuk pemeliharaan nener
bandeng karena suhu optimal ikan-ikan tropis adalah 27 – 32oC. Dan pakan
yang diberikan tidak boleh melebihi ketentuan sehingga tidak terjadi
penumpukan sisa pakan pada dasar air yang menghasilkan zat amoniak yang
lama-kelamaan akan mempengaruhi nener bandeng yang dipelihara.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, T. 1998. Budidaya Bandeng Secara Intensif. Penebar Swadaya. Jakarta.
Aslamyah, S. 2008. Pembelajaran Berbasis SCL pada Mata Kuliah Biokimia
Nutrisi. UNHAS. Makassar.
Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Departement of
Fisheries And Allied Aquaculture. Alabama Agricultural Experiment
Station. Auburn University. Page 135-161.
Brotowidjoyo. 1995. Pengantar Lingkungan Perairan Dan Budidaya Air. Liberty.
Yogyakarta.
Cheng, W., Su-Mei Chen, F. I. Wang, Pei-I Hsu, and C.H. Liu. 2003. Effects of
Temperature, pH, Salinity and Ammonia On The Phagocytic And Clearance
Efficiency Of Giant Freshwater Prawn Macrobrachium Rosenbergii To
Lactococcus Garvieae. Aquaculture 219: 111–121 pp.
Cholik F., Artati dan R. Arifudin. 1986. Pengelolaan Kualitas Air Kolam. INFIS
Manual seri nomor 26. Dirjen Perikanan. Jakarta. 52 hal.
Forteath N., Wee L., Frith, M. 1993. Water Quality. In : P. Hart and D.O’ Sullivan
(eds.). Recirculation Systems : Design, Contruction and Management.
University of Tasmania at Launceston, Australia, p: 1-21.
Irawan. 2009. Faktor-Faktor Penting Dalam Proses Pembesaran Ikan di Fasilitas
Nursery Dan Pembesaran. Intitut Pertanian Bogor. Bogor.
Jangkaru, Z. 1998. Memacu Pertumbuhan Gurami. Penebar Swadaya. Jakarta.
Murtidjo, B. A. 1989. Tambak Air Payau Budidaya Udang Dan Bandeng. Kanisius.
Yogyakarta.
Pulungan. P. C., 2004. Penuntun Praktikum Biologi Perikanan. Laboratorium
Biologi Perikanan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau. Pekanbaru. 2004.66 hal.
Purnamawati. 2002. Peranan Kualitas Air Terhadap Keberhasilan Budidaya Ikan
di Kolam. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. ISSN No. 0852/894.
Volume 8. No. 1. Jakarta.
Purnomowati, I., Hidayati, D., dan Saparinto, C. 2007. Ragam Olahan Bandeng.
Kanisius. Yogyakarta.
Putri, D. S., Haryati. Zainuddin. 2011. Pengaruh Tingkat Subtitusi Tepung Ikan
Dengan Tepung Maggot Terhadap Komposisi Kimia Pakan Dan Tubuh

Ikan Bandeng (Chanos chanos Forsskal). Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Raswin, M. 2003. Bidang Budidaya Ikan Program Keahlian Budidaya Ikan Air
Payau, Pembesaran Ikan Bandeng. Modul Pengelolaan Air Tambak. Jakarta
: Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar Dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
Siagian, C. 2009. Keanekaragaman dan Kelimpahan Ikan serta Keterkaitannya
dengan Kualitas Perairan di Danau Toba Balige Sumatra Utara.
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Sudradjat, A. 2008. Budidaya 23 Komoditas Laut Menguntungkan. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Sutanto 1994. Penginderaan Jauh Jilid 2. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Suwondo, Y., Fauziah, Syafriyanti, dan S. Wariyanti. 2005. Akumulasi Logam
Cuprum (Cu) dan Zincum (Zn) di Perairan Sungai Siak dengan
Menggunakan Bioakumulator Eceng Gondok (Eihhornoa crassipes). Jurnal
Biogenesis. Vol.1 (2): 51-56.
Yunus. 1978. Kualitas Air untuk Akuakultur. Fakultas Perikanan IPB. Bogor.

LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNIK PEMBENIHAN PERIKANAN LAUT
ACARA III
PEMI