Kontribusi Faktor Resiko Kemiskinan Fakt

KONTRIBUSI FAKTOR RESIKO KEMISKINAN, FAKTOR
PROTEKTIF LINGKUNGAN DAN INTERPERSONAL TRUST
TERHADAP KEKUATAN PERSONAL RESILIENCE
REMAJA MISKIN DI SMK KOTA SUKABUMI

Oleh :
Nurjanni Astiyanti
NPM. 190120120004

ARTIKEL ILMIAH

UNIVERSITAS PADJADJARAN
PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI SAINS
BANDUNG
2015
0

KONTRIBUSI FAKTOR RESIKO KEMISKINAN, FAKTOR
PROTEKTIF LINGKUNGAN DAN INTERPERSONAL TRUST
TERHADAP KEKUATAN PERSONAL RESILIENCE
REMAJA MISKIN DI SMK KOTA SUKABUMI

Nurjanni Astiyanti, Hendriati Agustiani, Lenny Kendhawati
Universitas Padjadjaran
ABSTRAK
Inisiatif banyak SMK menentukan alur identifikasi remaja miskin menunjukkan bahwa ada
segelintir remaja miskin yang dianggap memiliki pelbagai karakteristik dan kompetensi pribadi,
akademik, sosial serta moral/spiritual yang amat baik kendati tumbuh dalam situasi keterbatasan
sosioekonomi keluarga. Hal tersebut mendorong kebutuhan bagi SMK untuk mengembangkan
model signifikan bagi pengembangan resilience-based intervention remaja miskin.
Penelitian ini ditujukan untuk menguji model compensatory berdasarkan proses proteksi faktorfaktor protektif bagi remaja miskin usia madya di SMK Kota Sukabumi. Di dalam model, diuji
interaksi antara faktor resiko kemiskinan, faktor protektif lingkungan, dan interpersonal trust
terhadap kekuatan personal resilience. Rancangan penelitian didisain secara causal inferences
dalam SEM (structural equation modeling ) dengan data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner
591 remaja miskin. Sampel diperoleh dengan pendekatan probability sampling teknik stratified
random sampling pada cluster dua SMK Negeri dan dua SMK Swasta.
Hasil pengolahan data secara inferensial menunjukkan bahwa faktor protektif lingkungan bersama
interpersonal trust terbukti sebagai compensatory variables dalam model proses resilience.
Berdasarkan hasil penelitian, dibahas juga implikasi dan rekomendasinya.
Kata kunci : remaja miskin usia madya, SMK, kemiskinan, resiko, faktor protektif lingkungan,
interpersonal trust, kekuatan personal resilience, compensatory, model resilience


ABSTRACT
Many initiatives those SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) determines identification of
adolescents living in poverty shows that there are some adolescents who a re considered to have
various astounding personal, academic, social and moral/ spiritual competencies despite the
limitations of the family’s socioeconomic situation. Those steps rise the need for SMK to develop
significant model toward resilience-based intervention for adolescents living in poverty.
This study aimed to test the compensatory model based on protection process of protective factors
for middle age adolescents living in poverty in SMKs around Kota Sukabumi. The interactions of
poverty risk factors, environmental protective factors and interpersonal trust toward the personal
resilience strengths are examined. The study wa s designed as a causal inferences in SEM
(structural equation modeling) with quantitative data obtained from 591 questionnaires of poor
adolescents. The samples obtained by probability sampling approach using stratified random
sampling technique on two clusters both of public and private in four SMKs.
The results of data processing show that inferentialy, environmental protective factors and
interpersonal trust a re compensatory function in resilience process. Some implications of the
resea rch results discussed.

Keyword: middle age adolescent, poverty, vocational, risk factors, environmental protective
factors, interpersonal trust, personal resilience strengths, compensatory, resilience model


1

PENDAHULUAN
Individu menjadi miskin karena tidak punya kunci kapabilitas untuk
memperoleh income yang lebih tinggi sebagai hak dasar untuk memperoleh,
mempertahankan hingga mengembangkan kehidupan bermartabat (Sen,1999).
Remaja miskin yang tidak memiliki kompetensi untuk menghadapi kemiskinan
secara baik, berpotensi menjadikan situasi kemiskinan sebagai sumber stress yang
mengandung faktor resiko tinggi (Pellino, 2005; Jensen, 2009).
Data menunjukan bahwa kesulitan ekonomi menjadi alasan bagi 58,71%
remaja miskin tidak mengenyam pendidikan (Susenas 2004, 2009). Balitbang
Depdiknas mengestimasikan bahwa masyarakat masih harus menanggung 53,7473,87% total biaya pendidikan di lembaga sekolah negeri apalagi swasta
(Prasetyo, 2008). Padahal mulai tahun 2013 Pemerintah menggulirkan wajib
belajar 12 tahun. Karena itu, Pemerintah gencar mengkampanyekan peningkatan
partisipasi sekolah remaja usia madya melalui SMK. SMK dipromosikan sebagai
jawaban atas keresahan forgone earning orangtua miskin karena menyekolahkan
remaja. Bentuk kampanye tersebut salah satunya dengan penunjukkan kota-kota
vokasi seperti Kota Sukabumi. Sesuai program Pemerintah tahun 2007 di
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, Kota Vokasi ditujukan untuk
meningkatkan daya saing pelajar SMK agar memiliki kemampuan kompetitif di

lingkungan dunia usaha dan industri (http://uptvokasibloger.blogspot.com).
Salah satu efek domino program Kota Vokasi adalah terjadi proliferasi
SMK di Kota Sukabumi seiring animo peminat SMK yang makin meningkat. Ada
4 SMK Negeri, 26 SMK Swasta yang sudah beroperasi hingga tahun 2013 dan 3
SMK baru yang mulai beroperasi di tahun 2014. Secara faktual, distribusi peminat
SMK masih didominasi oleh remaja miskin. Dari studi pendahuluan (1-8 Februari
2014) diperoleh sebaran angka remaja miskin di SMK se-Kota Sukabumi pada
kisaran kurang dari 2% hingga 90%. Adapun besaran alokasi program-program
afirmasi pendidikan seperti perluasan akses SMK dan pembebasan/pengurangan
biaya pendidikan, ditentukan Peraturan Walikota pada kisaran 10-20% saja.
Namun demikian, identifikasi remaja miskin yang layak mendapatkan
program afirmasi pendidikan, menjadi hal pertama yang paling krusial dihadapi
2

pengelola SMK. Banyak guru dan pengelola sekolah sangsi terhadap kebenaran
data remaja miskin usia madya pada saat mendaftar ke SMK. Catatan-catatan
sekolah menunjukkan bahwa layanan responsif, indisipliner, bantuan kesehatan,
kenakalan, perilaku seksual beresiko dan kriminalitas SMK, justru lebih banyak
ditujukan pada kebanyakan remaja miskin. Pada beberapa kasus, tercatat pula
posisi remaja miskin sebagai korban dari pengabaian prioritas orangtua,

kesehatan, relasi keluarga juga gender. Ditemukan pula perangkat penunjang gaya
hidup seperti gadget dan busana branded yang tampak dikenakan remaja miskin
dan keluarganya. Perangkat tersebut tentu lebih mahal daripada harga kebutuhan
dasar remaja, seperti tempat tinggal dan pakaian bersih, makanan bergizi,
perawatan kesehatan memadai, transportasi serta ongkos koordinasi.
Dari fenomena tersebut, muncul inisiatif banyak pengelola SMK di Kota
Sukabumi untuk mengembangkan mekanisme identifikasi remaja miskin di
sekolah masing-masing. Dari proses identifikasi mandiri inilah, dijumpai banyak
hal bersebrangan dengan fenomena di atas. Terdapat kelompok remaja miskin lain
yang menunjukkan disiplin yang baik, sosialisasi supel dengan sebaya/dewasa,
pemahaman, praktek keagamaan serta kesantunan yang menonjol, prestasi
akademik unggul, dan keaktifan dalam organisasi kesiswaan yang dapat dijadikan
referensi sebaya juga para guru. Kelompok lain ini rata-rata enggan dibantu
memperoleh peringanan/pembebasan biaya sekolah atas dasar ketidakmampuan
ekonomi, kecuali karena prestasi akademik/keorganisasian. Kwalitas remaja
miskin tersebut pun tampak menguat dan meningkat terus bahkan jauh setelah
lulus dari SMK. Para guru menemukan bahwa kwalitas-kwalitas tersebut tampak
dapat „ditularkan‟ pada teman-teman sebayanya. Artinya, tampak potensi bahwa
kwalitas-kwalitas positif remaja miskin dapat distimulasi agar terinternalisasi.
Identifikasi pribadi-pribadi remaja unik tersebut sudah mulai diinisiasi para

ilmuwan dari berbagai bidang termasuk psikologi. Salah satu inisiasi tersebut
adalah hasil riset longitudinal Werner (1993, 2005; Bartol, 2008; Benard, 2004)
bahwa ada 72 remaja dari 698 subjek penelitian tahun 1954-1986, yang berhasil
menjalani masa remaja penuh tantangan dan mencapai masa dewasa yang sukses.
Mereka lahir dan dibesarkan dalam kemiskinan, kehilangan peran orangtua,
3

psikopatologis orangtua dan stress masa bayi. Merekalah yang diberikan label
oleh para psikolog sebagai remaja dengan kwalitas resilience .
Dalam resilience , terkandung proses penanggulangan efek-efek negatif dari
paparan resiko, coping terhadap pengalaman traumatik secara sukses dan
penghindaran dari trajectories negatif (Fergus & Zimmerman, 2005). Resilience
dikembangkan bukan karena individu/komunitas sudah mengalami adversity,
akan tetapi sebagai bentuk antisipasi terhadap berbagai adversity yang tidak dapat
dielakkan. Remaja miskin berpotensi mengalami ketidakberdayaan dari hidup
yang morat-marit karena orangtuanya berincome rendah bahkan banyak yang
tidak menghasilkan income. Remaja miskin juga banyak yang tinggal dalam
lingkungan pemukiman yang tidak menguntungkan perkembangan. Lingkungan
demikian berpotensi menimbulkan efek internalisasi kekerasan, alkoholisme,
NAPZA, tawuran, kriminal hingga perilaku seksual beresiko bagi remaja miskin.

Dalam konteks kemiskinan, remaja miskin rentan berurusan dengan konflik
interpersonal dan kerepotan memenuhi kebutuhan harian. Dalam konteks proteksi,
remaja miskin mengambil manfaat dari dukungan sosial dan keterlibatan dengan
keluarga, teman, sekolah, pekerjaan dan lingkungan mikrosistemnya. Proses dan
fungsi psikososial dalam konteks kemiskinan, lebih kentara daripada keutuhan
struktur keluarga dan income yang rendah (Seidman & Pedersan dalam Luthar,
2003). Kendati tidak mendapatkan pengasuhan orangtua biologis, remaja miskin
dengan kwalitas positif tersebut mampu membangun kedekatan dilandasi trust
dengan anggota keluarga lain. Mereka juga mampu menjalin kelekatan dengan
mentor dewasa di luar keluarga, seperti tetangga, guru dan pemuka agama
(Werner, 1993; 2005; 1989 dalam Zimmerman & Brenner, 2010).
Mentor dewasa/sebaya yang berperan sebagai faktor protektif lingkungan,
dapat banyak membantu remaja, jika saja remaja tersebut memiliki kemampuan
trust dan terlibat dalam interaksi sosial yang produktif dan resiprokal (Yates,

Egeland & Sroufe, 2003, Reich, et al, 2010; Benard, 2004; Rotenberg, 2005).
Meneropong resilience dari sudut interpersonal trust merupakan jalan penting
menuju pemahaman pengaruh ekologis terhadap pencapaian outcome proses
resilience (Reich, 2010; Luthar, 2003).


4

KAJIAN LITERATUR
Resilience adalah “a dynamic process that encompassing positive

adaptation within the context of significant adversity” (Luthar (2003; et al,
2000:543). Pada konteks kemiskinan, resilience secara spesifik adalah “a process
that relates positive adaptation to disadvantages origins” (Schoon, 2006).

Berdasarkan dua rujukan tersebut, dalam fenomena resilience , mesti hadir: 1)
paparan adversity/resiko (Luthar, 2003; Schoon, 2006); situasi sulit dan menekan,
hambatan/ancaman berat atau stressor berupa disadvantages origins dalam taraf
signifikan, dan 2) adaptasi positif individu terhadap situasi tersebut.
Faktor-faktor Resilience Remaja miskin
Faktor Resiko atau Adversity Kemiskinan

Resiko adalah any factor or situation that increases a youth’s chance of
developing negative health or behavioral outcomes . Adapun faktor resiko

merupakan variabel yang berisi resiko. Dengan lain kata, faktor resiko adalah

konstruk yang terdiri dari dimensi-dimensi resiko (Zimmerman & Brenner, 2010).
Sebagai faktor resiko, kemiskinan didefinisikan sebagai a chronic and
debilitating condition that results from multiple adverse synergistic risk factors
affects the mind, body, and soul (Jensen, 2009). Definisi tersebut menampilkan

kemiskinan sebagai adversity sekaligus faktor resiko yang signifikan bagi
individu remaja pada penelitian ini. Faktor resiko kemiskinan meliputi rangkaian
resiko yang mempengaruhi remaja dengan buruk dalam berbagai cara yang
disingkat EACH, yakni: Emotional and social challenges , Acute and chronic
stressors, Cognitive lags dan H ealth and safety issues (Jensen, 2009:7).

Faktor emotional and social challenge meliputi instabilitas emosi dan sosial
yang secara khas dilatari oleh perkembangan attachment masa bayi yang lemah
dan penuh kecemasan. Faktor acute and chronic stressors terdiri dari pemicu
stress akut; stress yang tercetus karena seringnya menghadapi stress-stress ringan

terus menerus sepanjang waktu, dan stress kronis; tingkat tinggi yang dihasilkan
dari paparan trauma terhadap abuse (Jensen, 2009; http://langitt.wordpress.com/).
Faktor cognitive lags mengungkap defisiensi khas pada anak dan remaja miskin,
5


dibandingkan dengan otak teman sebaya lainnya, yaitu: 1) bagian prefrontal yang
menyusun dan mengatur sistem eksekutif, 2) bagian perisylvian kiri/sistem bahasa
pada area temporal dan frontal hemisfer kiri, 3) bagian medial temporal/sistem
memori pada area hippocampus, 4) bagian parietal/sistem kognisi spasial; secara
umum berada di korteks posterior parietal, dan 5) bagian occipito temporal/sistem
kognisi visual (Gardini, Cornoldi, De Beni, & Venneri, 2008; dalam Jensen,
2009). Terakhir, faktor health and safety issues meliputi isyu malnutrisi
berdasarkan tipe konsumsi, ancaman lingkungan tempat tinggal secara fisik
maupun sosial yang memposisikan remaja miskin sebagai korban juga agen
pemilih gaya hidup beresiko berdasarkan keumuman gaya hidup remaja.
Faktor Outcome atau Adaptasi Positif

Penentuan-penentuan faktor outcome dalam studi resilience , terkait erat
dengan kontroversi tiga pandangan standar tampilan perilaku resilience .
Pandangan pertama terdiri dari para ahli perkembangan, mengembangkan konsep
faktor outcome sebagai kriteria kompetensi individu sesuai tugas perkembangan.
Secara operasional, kelompok ini hanya mengangkat outcome positif dalam studi
resilience . Pandangan kedua dari bidang pencegahan penyimpangan dan


psikopatologis, lebih fokus pada hilangnya psikopatologi dan rendahnya level
gejala dan penyakit. Secara operasional, kelompok pandangan ini berkonsentrasi
pada telaahan outcome negatif. Diantara kedua pandangan, ada pandangan ketiga
yang menginklusikan keduanya. Basis definisi outcome menurut pandangan
ketiga ditentukan berdasarkan kriteria adaptasi eksternal atau internal (Masten,
2001). Pada hakikatnya, pandangan ketiga lebih sejalan dengan yang pertama.
Para ahli perkembangan mencatat rekam jejak manifestasi adaptasi positif
pada individu/komunitas yang resilient. Dari sanalah, dikembangkan daftar
karakteristik/konstruk faktor outcome (Werner, 1993, 2005; Bartol, 2008). Ada
empat kategori indikator yang dikonstruksi sebagai kekuatan-kekuatan personal
resilience , yaitu social competence , problem solving , autonomy, dan sense of
purpose and future (Benard, 1991, 2004, 2013), sebagai berikut :

6

S OS IAL
Social Competence

KOGN I TI F
Problem Solving

E MOS I
Autonomy

Responsiveness
Flexibility
Cross-cultural
competence
Empathy/caring
Communication skills
Sense of humor

Planning
Seeing alternatives
Critical thinking
Resourcefulness

Positive Identity
Self-efficacy
Initiative
Mastery
Self-awareness
Resistance

MORAL
Sense of Purpose
and Future
A special and
interest/hobby
Goal directedness
Imagination
Achievement
motivation
Educational aspiration
Persistence
Optimism
Faith
Sense of Meaning

Sumber: Benard (2013a)

Faktor Protektif

Zimmerman & Brenner ((2010; Zimmerman, 2013) mendefinisikan faktor
protektif sebagai resources and assets that represent positive aspects in youth
lives. Faktor protektif, terdiri dari dua jenis, yaitu resources dan assets. Resources

adalah aspek-aspek positif yang berada di luar individu, sedangkan assets adalah
aspek-aspek positif yang berada di dalam diri individu.
Faktor Protektif Resources: Lingkungan
Faktor protektif remaja yang utama adalah keyakinan orang dewasa
terhadap kemampuan remaja untuk mencapai resilience (Benard, 2004).
Terangkum dari beragam studi resilience , para ahli dan praktisi perkembangan
selalu mempertimbangkan signifikansi resources lingkungan bagi perwujudan
adaptasi positif, baik dalam studi/intervensi berbasis sekolah maupun komunitas
tertentu (Benard, 2004, 2013; Zimmerman, 2009). Figur dewasa/sebaya yang
berperan sebagai faktor protektif lingkungan tersebut, tersituasikan di rumah,
sekolah dan komunitas sebaya/masyarakat luas (Benard, 1999, 2004).
Karakteristik faktor protektif lingkungan dirumuskan dari sisi kapabilitas 1)
caring relationship /hubungan yang saling peduli, 2) high expectations/ekspektasi

yang tinggi, dan 3) opportunities for participation and contribution /membuka
peluang partisipasi dan kontribusi. Ketiga kapabilitas faktor protektif lingkungan
tersebut mesti tampak sebagai paket yang saling melengkapi. Remaja yang
memperoleh caring relationship dan high expectations namun tidak memiliki

7

opportunities for participation and contribution , kemungkinan akan mengalami

frustrasi, karena kebutuhan aktualisasi dirinya terhambat (Benard, 2004 : 44).
Faktor Protektif Assets : Interpersonal Trust
Assets adalah aspek-aspek positif yang berada di dalam diri individu, yang

mendorong pencapaian outcome. Dalam penelitian ini, asset yang diuji adalah
interpersonal trust . Urgensi penelaahan interpersonal trust didasarkan oleh amat

banyaknya proses belajar sosial yang dilakukan dalam bentuk pengajaran formal
maupun informal daripada melalui pengalaman langsung bagi remaja. Individu
mesti memiliki trust bahwa narasumber informasi betul-betul peduli akan
kenyamanannya dan hanya menyampaikan kebenaran.
Trust is what individuals perceive it to be (Rotenberg, 2010:8). Secara

komprehensif, Rotenberg (2010:9) mengemukakan kerangka kerja interpersonal
trust 3 (basis)×3 (domain)×2(target) disingkat BDT. Tiga bases interpersonal
trust terdiri dari Reliability trust (kepercayaan reliabilitas), Emotional trust

(kepercayaan emosional) dan Honesty trust (kepercayaan akan kejujuran).
Berdasarkan 3 bases interpersonal trust ini, Rotenberg (2010 : 11) mendefiniskan
interpersonal trust sebagai a defined set of beliefs (expectacions) about persons –
reliability, emotional and honesty- which comprises (at the trusting end of
continuum) positive expectation of their behavior .

Secara operasional psikologis, interpersonal trust diposisikan dalam 3
domain, yaitu: cognitive/affective , behavior-dependent dan behavior-enacting/
trusworthiness. Komponen terakhir kerangka interpersonal trust adalah dimensi

target yang terdiri dari: specificity dan familiarity. Target trust dalam specificity
diidentifikasi mulai dari kategori orang secara umum hingga kategori individu
spesifik. Adapun target trust dalam familiarity, diidentifikasi mulai dari individu
yang selintas kurang familiar hingga individu yang sangat familiar untuk
dijadikan target trust (Rotenberg, 2010).

Rotenberg (2001 dalam Rotenberg, 2010) menemukan bahwa basis,
domain dan target interpersonal trust berubah selama masa hidup. Basis honesty
trust pada domain behavior-dependent berkembang selama masa bayi. Basis
honesty, reliability dan emotional pada domain cognitive/affective dan behavior-

8

dependent berkembang selama masa anak-anak madya. Manifestasi semua faset
trust terhadap target abstrak –seperti sahabat pena/kawan virtual- dan target yang

amat beragam selama masa remaja (Rotenberg 2001 dalam Rotenberg, 2010).

Proses Resilience Remaja
Proses resilience adalah telaahan tentang cara-cara faktor protektif berfungsi
dalam menangkal trajectory perkembangan yang terpapar resiko hingga mengarah
pada outcome negatif (Fergus & Zimmerman, 2005; Luthar, et al, 2007). Cara
pandang resilience sebagai proses berangkat dari simpulan bahwa resilience
bukanlah trait kepribadian atau pun proses kebetulan yang acak (Luthar, 2003;
Benard, 2004; Schoon, 2006:8). Pada dasarnya, riset resilience ditujukan untuk
memahami proses proteksi menuju pencapaian outcome yang diharapkan.
Pada penelitian dengan pendekatan variable-focused, Masten dan Powell
(2003) mensyaratkan dibentuknya variable-based model resilience , bukan saja
untuk menguji hipotesis tentang proses proteksi yang dilakukan faktor-faktor
protektif, tapi juga karena model tersebutlah yang dijadikan referensi perumusan
intervensi. Suatu model proses resilience , sedapat mungkin mencakup empat hal,
yaitu prediktor-prediktor negatif (faktor-faktor resiko), prediktor-prediktor positif
(faktor-faktor protektif), proses, dan outcome yang dicapai. Proses resilience
remaja dapat dimodelkan ke dalam tiga model utama, yaitu : compensatory atau
promotive, protective atau moderating dan challenge (Garmezy, et al., 1984 dalam

Schoon, 2006; Masten, 2001; Masten & Powell, 2003 dan Fergus & Zimmerman,
2005). Di luar tiga model utama, ada tiga model tambahan, perluasan model
protective/moderating (Luthar et al, 2000; Luthar, 2003; Brook, et al, 1986, 1989;

dalam Zolkoski & Bullock, 2012; Zimmerman & Brenner, 2010).
Meskipun ketiga model proses utama berbeda secara analitik, namun pada
dasarnya, secara konseptual, masing-masing tidak berdiri eksklusif satu sama lain.
Peneliti model proses resilience , dianjurkan untuk menggunakan lebih dari satu
model. Tujuannya adalah untuk mendeskripsikan proses resilience remaja dalam
suatu studi agar dihasilkan analisis proses resilience secara lebih seksama
(Garmezy, et al, 1984 dalam Zimmerman & Brenner, 2010). Sebagai panduan
9

operasional, model compensatory merupakan model pertama yang harus
dibuktikan sebelum ditempuh pemodelan protective kemudian challenge , sesuai
kebutuhan penelitian dan kriteria keterbuktian model.

METODE
Pendekatan yang digunakan adalah variable-focused. Kelebihan variablefocused adalah diperolehnya daya statistika maksimal, yang cocok digunakan

untuk menemukan keterkaitan spesifik dan berdaya diferensial antara prediktorprediktor dengan outcome resilience yang berimplikasi pada penentuan intervensi
(Masten,

2001).

Penelitian

didisain

secara

kuantitatif

non-eksperimen

menggunakan analisis causal inference (Hair, et al, 2006). Satu risk factor dan
dua compensatory variable ditentukan sebagai variabel independen (eksogen),
sedangkan satu outcome ditentukan sebagai variabel dependen (endogen).
Adapun karakteristik populasi adalah: 1) remaja madya, 2) bersekolah di
SMK Kota Sukabumi, dan 3) teridentifikasi sebagai siswa miskin oleh pihak
sekolah sesuai ketentuan Perwal persyaratan PPDB jalur miskin, dibuktikan
dengan kepemilikan dokumen SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) dari
Lurah/Kades sesuai domisili, dan masuk dalam database siswa miskin sesuai
verifikasi sekolah masing-masing. Pendekatan probability sampling digunakan
dengan teknik stratified random sampling (Shaughnessy, et al., 2009). Pada strata
1, remaja madya hidup miskin tersebar dalam 4 SMK Negeri. Sementara pada
strata 2, remaja madya hidup miskin, tersebar dalam 26 SMK Swasta. Dari
masing-masing strata, ditentukan 2 cluster sekolah. Karena individu terbagi lagi
dalam unit-unit cluster yang lebih kecil, yaitu tingkatan kelas, kelas XI dan XII
dipilih sebagai cluster sampel remaja madya miskin. Dari 2327 subjek remaja
madya pada cluster tersebut, terhimpun tabel respon sebanyak 643 remaja miskin
dengan response rate sebesar 591 (91,91%), yang dapat dipandang representatif.
Pengumpulan data utama ditempuh dengan survey menggunakan kuesioner
tertutup yang telah memenuhi syarat validitas dan reliabilitas untuk alat ukur
faktor resiko kemiskinan, faktor protektif lingkungan, interpersonal trust dan
kekuatan personal resilience . Kuesioner digunakan selama satu periode antara 1910

30 September 2014. Untuk melengkapi data primer yang dihimpun melalui
kuesioner, digunakan juga teknik wawancara dan studi dokumen.
Kuesioner disusun berupa skala psikologi format rating scales dalam model
summated ratings (Likert) skala lima. Spesifikasi alat ukur dikembangkan dari

definisi operasional variabel yang didalamnya terkandung aspek dan indikator
untuk dijabarkan dalam bentuk pernyataan/pertanyaan skala. Khusus untuk alat
ukur variabel interpersonal trust, pertanyaan skala dirumuskan melalui langkahlangkah modifikasi tes dari CGTB Scale (Rotenberg, 2005). Materi alat ukur diuji
validitas contentnya agar layak untuk diuji coba. Hasil uji coba dianalisis
reliabilitas dan validitas itemnya, sehingga dihasilkan format final untuk studi
utama. Data studi utama diuji validitas konstruknya dengan teknik CFA. Melalui
uji CFA, diperoleh model pengukuran sebagai pembentuk model struktural SEM
yang merupakan teknik analisis statistika untuk pembuktian hipotesis penelitian.
Faktor resiko kemiskinan (X1) adalah tinggi rendahnya skor nilai rata-rata
respons subjek terhadap kuesioner yang mengukur indikator pada kategori
E motional and social challenges , Acute and chronic stressors , Cognitive lags,

dan H ealth and safety issues (Jensen, 2009). Keempat kategori dipandang sebagai
pengalaman subjek berada dalam kondisi kronis dan melemahkan yang dihasilkan
dari beberapa faktor kemiskinan yang dapat menghambat perkembangan sebagai
remaja secara sehat. Contoh butir pernyataan alat ukur faktor resiko kemiskinan:
“Saya bingung jika ditanya rencana sesudah lulus, kadang ingin kuliah tapi biaya
tak ada, kadang ingin kerja tapi skill kurang ” dengan alternatif respons: TP (tidak

pernah), J (jarang), N (netral), S (sering) dan SS (sangat sering). Setiap subjek
memiliki empat skor rata-rata kategori serta satu skor total dan rata-rata total.
Faktor protektif lingkungan (X2) adalah tinggi rendahnya skor respons
subjek terhadap kuesioner yang dirancang sebagai alat evaluasi subjek terhadap
kapabilitas mentor dewasa/sebaya di lingkungan rumah, sekolah dan komunitas.
Kapabilitas mentor di lingkungan ditinjau dari sudut peran mereka sebagai
sumberdaya interpersonal yang mampu menampilkan: caring relationship , high
expectations, dan opportunities for participation and contribution. Ketiga

kapabilitas dibutuhkan subjek untuk meraih kekuatan personal (Benard, 1991,
11

2004, 2013). Contoh butir pernyataan alat ukur faktor protektif lingkungan:
“Orangtua atau orang dewasa lain dalam keluarga ... Mendukung atas pilihanpilihan saya ” dengan alternatif respon TP, J, N, S dan SS. Setiap subjek memiliki

satu skor total serta sembilan skor aspek sesuai level analisis.
Interpersonal trust (X3) adalah tinggi rendahnya skor respons subjek

terhadap kuesioner yang dirancang untuk mengukur indikator kepercayaan
individu atas reliabilitas (reliability), emosional (emotional) dan kejujuran
(honesty) ibu, ayah, guru dan temannya sesama jenis kelamin (Rotenberg, 2010).
Kuesioner interpersonal trust dengan formula 3×1×4 BDT diadaptasi dari
C hildren’s Generalized Trust Belief (CGTB) Scale untuk remaja yang disajikan

dalam butir pertantaan berupa soal cerita (Rotenberg, et al, 2005). Setelah
memperoleh experts judgement, dilakukan pilot study. Berdasarkan face validity
yang ditempuh dan pilot study alat ukur hasil adaptasi, ditemukan kebutuhan lain
penyajian alat ukur yang dipandang lebih relevan bagi kelompok subjek. Banyak
butir soal cerita yang harus didrop sehingga representasi butir setiap indikator
kurang terpenuhi. Maka ditempuh modifikasi alat ukur dengan mempertahankan
bentuk soal cerita dan imajinasi dalam alat ukur. Tokoh dalam setiap soal cerita
yang asalnya berupa orang ketiga dan berjenis kelamin perempuan, diganti
dengan orang kedua, yaitu Anda (subjek sendiri). Beberapa penyesuaian content
dan konteks perkembangan remaja madya Indonesia pun dilakukan sebelum alat
ukur hasil modifikasi diuji coba untuk memperoleh evaluasi format akhir.
Contoh butir pertanyaan interpersonal trust untuk target Ibu: “Anda
memberitahu Ibu bahwa Anda bergandengan tangan dengan seorang teman
lawan jenis di sekolah, dan meminta Ibu agar tidak memberitahu siapapun.
Bagaimanakah kemungkinan Ibu Anda untuk merahasiakan hal tersebut? ”. Lima

alternatif jawaban adalah 1 (sangat tidak mungkin), 2 (tidak mungkin), 3 (kadang
mungkin, kadang tidak mungkin), 4 (mungkin) dan 5 (mungkin sekali). Setiap
subjek memiliki satu skor total dan duabelas skor dimensi bases×target.
Kekuatan personal resilience (Y) adalah tinggi rendahnya skor respon
subjek terhadap kuesioner yang dirancang sebagai alat evaluasi-diri tentang
kompetensi-kompetensi pribadi sebagai manifestasi perkembangan sehat dan
12

kehidupan yang sukses bagi remaja dalam konteks keterbatasan sosioekonomi
keluarga. Terdapat empat kategori yang diukur, yakni : social competence,
problem solving, autonomy, sense of purpose and future (Benard, 1991, 2004,

2013). Contoh butir pernyataan kekuatan personal resilience : “Meskipun saya
berasal dari keluarga kurang beruntung ... Orang lain senang mendengarkan
masukan saya ” dengan alternatif jawaban: STS (Sangat Tidak Sesuai) TS (Tidak

Sesuai), TT (Tidak Tahu), S (Sesuai) dan SS (Sangat Sesuai). Setiap subjek
memiliki satu skor total dan empat skor kategori.
Data yang dihasilkan dari pengukuran adalah skala ordinal yang dapat
langsung diperlakukan sebagai skala interval (Brown, 2011; Suliyanto, 2011).
Hasil uji reliabilitas dan validitas butir alat ukur pada studi utama, sebagai berikut:
Tabel 1.1. Uji Reliabilitas dan Validitas Butir Alat Ukur Studi Utama

Alat Ukur Variabel
Faktor resiko kemiskinan
Faktor protektif lingkungan
Interpersonal trust
Kekuatan personal resilience

Angka α Cronbach
Ujicoba*
Studi Utama
0,907
0,929
0,960
0,949
0,821
0,768
0,895
0,944

Kriteria
Reliabilitas
Tinggi sekali
Tinggi sekali
Tinggi
Tinggi sekali

Item
discriminant
0.225-0.512
0.229-0.562
0.167-0.428
0.113-0.710

*Ujicoba 1 untuk alat ukur Faktor Resiko Kemiskinan dan Kekuatan Personal Resilience. Ujicoba 2
untuk alat ukur Faktor Protektif Lingkungan dan Interpersonal Trust

Data yang dihasilkan tersebut diuji melalui pemodelan CFA yang dinyatakan fit,
valid dan layak dilibatkan dalam pemodelan struktural SEM.
HASIL PENELITIAN
Dari pemodelan struktural, diperoleh χ2/df = 721.14/359 (2.008), p sebesar
0.00000, dan RMSEA sebesar 0.041. Selain itu, nilai GFI dan CFI diperoleh pada
angka >0.90. Dengan demikian, model struktural secara keseluruhan dinyatakan
fit. Model struktural efek langsung faktor resiko kemiskinan, faktor protektif
lingkungan dan interpersonal trust terhadap kekuatan personal resilience pada
remaja miskin di SMK Kota Sukabumi, terbukti fit dan valid secara signifikan.

13

0.48

0.38

0.80

0.72

X2

X3

X4

X1

0.62

X5

0.69

X6

0.53*

Kemiskinan (  1)
Faktor Resiko

0.62*
0.55

0.45*

0.79*
0.72*

X7

0.56*

Y1

0.60

Y2

0.58

Y3

0.21

Y4

0.52

-0.17*
0.64*

0.47

0.67*

X8

0.73*
0.61

X9

Lingkungan (  2)
Faktor Protektif

0.62*
0.73*

0.46

0.65*

Kekuatan Personal
Resilience ( )

0.55*

0.89*

0.67*

X10

0.62*
0.56

0.69*

0.15*

0.64*

X11

Tr ust (  3)

Inter per sona l
0.61

X12

0.59

X13

X14

0.30*
0.27* 0.32*
0.28*

X15

0.55* 0.53*

X18

X17

X16

0.58*

0.30*

X19

0.34*

X20

0.41*

0.58*
0.30*

X22

X21

X23

X24

X25

3
0.91

0.93

0.90

0.92

0.70

0.72

0.72

0.86

0.89

0.83

0.91

0.67

Chi-square = 721.4 df = 359 p-value = 0.00000 RMSEA = 0.041
*nilai T-value > 1.96 pada taraf signifikansi α 0.05 (daftar nilai T-value terlampir)

Gambar 1.1. Model Struktural : Kontribusi Faktor Resiko Kemiskinan, Faktor Protektif Lingkungan dan Interpersonal Trust
terhadap Kekuatan Personal Resilience Remaja Miskin di SMK Kota Sukabumi

Gambar 4.1. Model Empirik Kontribusi Faktor Resiko Kemiskinan, Faktor Protektif Lingkungan dan

0

Pada model struktural yang sudah dinyatakan fit di atas, didapatkan path
diagram berdasarkan estimasi parameter model yang dapat menjelaskan hubungan

model struktural. Tiga koefisien jalur (path coefficient ) secara empirik memiliki
T-value > 1.96 seperti tampak berikut ini:
Tabel 1.2. Hasil Pengujian Path Analysis Model Struktural
Koefisien
Regresi

Path
Faktor resiko kemiskinan → Kekuatan personal
resilience
Faktor protektif lingkungan
→ Kekuatan
personal resilience
Interpersonal trust → Kekuatan personal
resilience

Nilai
t-value

Kesimpulan

-0.17

-3.77

Signifikan

0.55

9.87

Signifikan

0.15

3.01

Signifikan

Berdasarkan nilai estimasi model tersebut, diperoleh persamaan struktural:
Kekuatan Personal Resilience = -0.17*Faktor Resiko Kemiskinan + 0.55*Faktor Protektif
2

Lingkungan + 0.15*Interpersonal Trust, R2 = 0.35

Angka R sebesar 0.35 atau 35% menunjukkan bahwa secara simultan, hubungan
ketiga variabel independen terhadap variabel dependen adalah sebesar √0.35 =
0.592. Variabel faktor resiko kemiskinan, faktor protektif lingkungan dan
interpersonal trust mempunyai keterhubungan dengan variabel kekuatan personal
resilience pada taraf sedang. Nilai R2 sebesar 0.35 menunjukkan bahwa efek

langsung simultan ketiga variabel independen tersebut berada pada taraf rendah.
Hal ini menandakan bahwa faktor resiko kemiskinan bersama faktor protektif
lingkungan dan interpersonal trust dapat memprediksikan terhadap kehadiran,
kenaikan dan penurunan variabel kekuatan personal resilience sebesar 35% pada
remaja miskin di SMK Kota Sukabumi. Sementara 65% lainnya diprediksikan
oleh efek lain semisal kesalahan pengukuran, perbedaan karakteristik demografis
juga variabel lain yang tidak ditelaah dalam penelitian.
Dengan sendirinya, terbukti bahwa faktor resiko kemiskinan, faktor
protektif lingkungan dan interpersonal trust, secara simultan berkontribusi positif
signifikan terhadap kekuatan personal resilience . Dengan demikian, faktor
protektif lingkungan bersama interpersonal trust terbukti berfungsi counteraction
terhadap faktor resiko kemiskinan. Faktor protektif lingkungan dan interpersonal
15

trust terbukti sebagai compensatory variables dalam model proses resilience

remaja miskin di SMK Kota Sukabumi. Penilaian remaja miskin di SMK Kota
Sukabumi terhadap kapabilitas mentor dewasa di keluarga dan sekolah serta
mentor sebaya dalam komunitasnya dapat mengimbangi pengalamannya terlibat
dalam faktor resiko kemiskinan dalam mencapai kekuatan personal resilience.
Daya imbang penghayatan terhadap kapabilitas mentor tersebut dikuatkan lagi
oleh keyakinan bahwa ibu, ayah, guru dan teman di sekitar remaja miskin
merupakan figur-figur yang dapat dipercaya.
Dalam hubungan kausal ini, indikator dominan untuk variabel faktor resiko
kemiskinan adalah acute and chronic stressors dan emotional and social
challenges. Adapun indikator dominan untuk variabel kekuatan personal
resilience adalah autonomy. Indikator dominan untuk variabel faktor protektif

lingkungan adalah high expectation keluarga dan teman, caring relationship
teman serta opportunities for participation and contribution keluarga. Terakhir,
indikator dominan untuk variabel interpersonal trust adalah emotional trust ibu,
ayah, guru dan honesty trust teman.
Acute stressors dialami remaja pada konteks keluarga berupa pengalaman

sakit hati yang terakumulasi dari banyak kejadian dimarahi/dipukul oleh orang
yang dituakan dalam keluarga setiap kali dirinya mengajukan permintaan
keperluan sekolah. Pada konteks sekolah, acute stressors remaja miskin lebih
dominan terkait dengan penerbitan pengumuman tunggakan biaya sekolah secara
rutin maupun insidental. Adapun chronic stressors remaja miskin di SMK Kota
Sukabumi tampak dalam pengalaman trauma atas pelecehan di masa kecil dan
kekagetan saat mengalami menstruasi/mimpi basah pertama kali. Kedua
pengalaman tersebut terkait dengan ketidakhadiran orang dewasa yang kompeten
sebagai pendamping dan narasumber yang dapat diandalkan.
Pada pengalaman emotional and social challenges , remaja miskin secara
kuat, bingung memaparkan rencana sesudah lulus karena di satu sisi banyak
mengkhawatirkan biaya studi lanjut dan di sisi lain banyak mengkhawatirkan
penguasaan skill kerja. Kebingungan tersebut beriringan dengan kecenderungan
remaja miskin yang mudah dipengaruhi dalam memilih fokus cita-cita dan cara
16

pencapaiannya. Instabilitas emosional berikutnya terkait dengan rumah tinggal.
Remaja miskin tinggal di pemukiman yang tidak aman, rawan pencurian, rentan
terkena efek perubahan cuaca dan lemahnya dokumen kepemilikan tempat tinggal
oleh orangtua remaja miskin. Karena itulah, remaja miskin menyimpan
kecenderungan menyalahkan pihak di luar keluarga intinya sebagai penyebab
kesulitan hidup yang dialaminya bersama keluarga inti.Adapun instabilitas sosial
remaja miskin di SMK Kota Sukabumi yang paling kuat tampak pada kesulitan
memahami penuturan cerita orang lain karena defisiensi pengalaman pribadi.
Kesulitan yang sama juga ditunjukkan dalam prosesnya memahami responsrespons orang lain terhadap pengalaman ditinggal mati oleh orang-orang terdekat.
Sementara itu, manifestasi kekuatan personal resilience secara dominan
ditandai oleh autonomy. Kebingungan merencanakan fokus cita-cita setelah lulus
sebagai pengalaman resiko seperti terungkap di atas, tampak diatasi remaja miskin
dengan cara berjanji pada diri sendiri. Dirinya yakin bahwa setelah lulus nanti,
akan mendapatkan pekerjaan bergengsi atau pun beasiswa kuliah di perguruan
tinggi ternama yang dapat mengangkat martabat keluarganya. Mereka memilih
teman bergaul dan bertukar pikiran yang dapat membuatnya lebih banyak berpikir
dan melakukan hal-hal positif, sesuai perwujudan fokus cita-citanya tersebut.
Remaja miskin berupaya memperoleh penghasilan sendiri untuk dapat membeli
kebutuhan sekolah dan mengurangi beban orangtua. Remaja miskin juga tampak
belajar mengenali kebutuhan pribadinya dalam hal berbagi perasaan dan
pengalaman serta dicapainya rasa mantap terhadap keyakinan agama yang
dianutnya. Remaja miskin pun resisten terhadap pertengkaran keluarga, aturanaturan akademik dari guru yang banyak ditakuti juga pengaruh teman-teman
seusia yang banyak memilih putus sekolah.
Pencapaian kekuatan personal resilience remaja miskin di SMK Kota
Sukabumi, didukung oleh proteksi lingkungan yang secara dominan ditandai high
expectation teman dan keluarga. High expectation teman ditandai dengan

pengalaman belajar bahwa setiap orang butuh waktu dan pemahaman untuk dapat
menjadi teman yang saling mengerti. Karena itu, perilaku yang menggambarkan
kekuatan high expectation teman bagi remaja miskin ditemui pada mayoritas
17

remaja yang terkelompok dalam clique dengan 2-5 anggota yang relatif intens.
Ciri sosial ini, khas ditemui pada masa perkembangan remaja madya hingga
remaja akhir (Santrock, 2002).
Pada level keluarga, remaja miskin di SMK Kota Sukabumi menghayati
bahwa orangtua/orang dewasa lain di rumah tinggal menginginkannya betul-betul
nyaman menjadi diri sendiri dalam mewujudkan cita-cita dan kenginginannya.
Dukungan yang berpusat-pada-remaja dari keluarga tersebut diiringi oleh
kepercayaan keluarga bahwa dirinya dapat menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi. Berbeda dengan teman yang sering mendorong perbaikan diri melalui
pengingatan kesalahan, keluarga mendorong perbaikan diri melalui pengingatan
prestasi yang pernah diraih sebelumnya.Remaja miskin juga memandang bahwa
orangtua/orang dewasa lain di rumah membagi tanggung jawab yang sesuai peran
masing-masing setiap penghuni rumah. Secara dominan terungkap bahwa
tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya sebagai anak remaja lebih banyak
terkait dengan perannya sebagai siswa di SMK yang diharuskan belajar giat dan
berprestasi akademik dengan baik.
Dukungan manifestasi kompetensi tugas perkembangan remaja miskin di
SMK Kota Sukabumi pun disumbang oleh kuatnya keyakinan interpersonal trust
akan kejujuran teman yang terkait dengan keterbukaan perihal keuangan. Bila
teman remaja miskin terbuka mengenai tidak dimilikinya uang untuk pemenuhan
kebutuhan sehingga mendorong teman ybs untuk berusaha mencari pinjaman,
maka remaja miskin cenderung meyakini teman tersebut sebagai target trust yang
jujur. Selanjutnya, remaja miskin cenderung mengupayakan untuk memberikan
pinjaman walaupun dirinya harus berhutang sekalipun. Dalam upaya mencarikan
pinjaman uang untuk teman tersebut, remaja miskin menaruh harapan bahwa
dirinya juga akan diperlakukan sama pada saat menghadapi kondisi yang sama.
Adapun kekuatan emotional trust guru tampak pada kecenderungan remaja
miskin di SMK Kota Sukabumi untuk menyimpan rahasia perihal konflik
orangtua/keluarga dan informasi penyimpangan perilaku teman kepada guru. Ada
juga remaja miskin yang berharap bahwa guru tersebut dapat mengambil inisiatif
memediasi resolusi konflik antara orangtuanya maupun antara remaja miskin
18

dengan anggota keluarga lainnya. Tipikal guru yang sering dijadikan target trust
tersebut adalah guru BK, wali kelas atau pembimbing ekstrakurikuler.
Untuk emotional trust ayah, remaja miskin secara kuat mengandalkan ayah
sebagai target trust yang diyakini dapat menjaga rahasia terkait dengan perasaan
senang/tidak senang, apresiasi/kekesalan, dan keinginan memberi hadiah/sikap
permusuhan kepada ibu. Ayah juga menjadi target trust andalan untuk rahasia
seputar kesulitan akademik baik yang terkait dengan kesulitan memahami content
maupun yang terkait dengan renggang/buruknya kwalitas relasi remaja miskin
dengan guru pengajar tertentu. Adapun emotional trust ibu remaja miskin
ditunjukkan dengan menceritakan pengalamannya menjalin hubungan lawan jenis
dengan teman sebaya. Cerita tersebut diyakininya tersimpan aman pada ibu dan
tidak akan disebarluaskan kepada ayahnya sekalipun. Keterbukaan remaja miskin
mengungkap pengalaman menjalin hubungan lawan jenis kepada ibu, terkait
dengan kebutuhan informasi tentang hal baik/buruk, boleh/tidak boleh, hingga
halal/haram suatu aktivitas/perasaan dikembangkan dalam hubungan lawan jenis.

DISKUSI
Werner (1993) secara khas menandai bahwa anak dan remaja resilient yang
ditelaahnya mendapat keuntungan dari hidup dalam keluarga kecil dan kualitas
kelekatan ibu yang di dalamnya terdapat pengandalan kepercayaan terhadap ibu.
Pada penelitian ini, pengandalan ibu terutama sebagai target emotional trust,
tampak pada remaja miskin baik dari keluarga skala kecil maupun skala besar.
Rendahnya sumbangsih keyakinan interpersonal trust terhadap kekuatan
personal resilience remaja miskin selain dapat dijelaskan dari sisi properti disain
dan psikometrik konstruk, juga dapat ditinjau dari muatan pertanyaan alat ukur
interpersonal trust . Disamping itu, rendahnya sumbangsih faktor resiko

kemiskinan terhadap kekuatan personal resilience pun dapat ditelusur pada
kategori kemiskinan subjek. Kebanyakan penelitian sebelumnya mengungkap
bahwa subjek terbukti sebagai individu resilient dalam konteks kemiskinan kronis
(Benard, 2004), yang amat jarang dijumpai pada kategori kemiskinan subjek
penelitian ini. Selain itu, diperlukan juga pengayaan metode dan teknik lain terkait
19

dengan keterbatasan daya ungkap pengumpulan data faktor resiko kemiskinan
secara self-report (Zimmerman, et al, 2002; Fergus & Zimmerman, 2005))
Jenis proses proteksi faktor protektif lingkungan beserta interpersonal trust
pada model compensatory, berimplikasi pada model pencegahan dan intervensi
yang hendak dikembangkan. Operasi proteksi faktor-faktor protektif dalam model
compensatory dipandang sama berlaku bagi remaja yang terpapar resiko taraf

amat rendah hingga amat tinggi. Implikasinya, upaya perubahan atau penguatan
faktor protektif lingkungan maupun kemampuan interpersonal trust remaja
miskin dipandang dapat diterapkan pada seluruh remaja miskin di SMK Kota
Sukabumi tanpa membedakan level keterpaparan resiko kemiskinan.
Rumusan perubahan kualitas faktor protektif lingkungan dilandaskan pada
asumsi bahwa mengubah trajectories kehidupan remaja dari cara pandang yang
bertumpu pada faktor resiko kepada resilience dimulai dengan merubah
keyakinan orang dewasa di lingkungan keluarga, sekolah, komunitas masyarakat
umum dan komunitas sebaya (Benard, 2004). Figur-figur signifikan yang dapat
memerankan faktor protektif lingkungan remaja miskin, didorong agar terlebih
dahulu mengupayakan dirinya menjadi individu yang resilient sebelum kemudian
memfasilitasi proses pencapaian kekuatan personal resilience (Benard, 2013b).
Dari hasil penelitian terungkap bahwa teman dan keluarga dipandang sebagai
faktor protektif lingkungan yang paling kuat memproteksi remaja miskin dalam
penyediaan kwalitas high expectation . Oleh karena itu, penguatan peran, pelibatan
aktif dan penyemaian manfaat dari keterlibatan keluarga serta teman sebaya
remaja miskin, menjadi hal yang tidak dapat diabaikan.
Adapun untuk penguatan interpersonal trust , pencegahan dan intervensi
dirumuskan bagi terciptanya kesempatan remaja miskin agar tidak rentan,
terutama bagi kelompok low trust dan high trust. Bantuan tersebut terbukti dapat
meningkatkan level kemampuan remaja untuk trust terhadap target trust, dilihat
dari kadar peningkatan level oxytocinnya (Rotenberg, 2010) dan peningkatan jam
terbang menaruh trust sebagai contact sport (Resilience Institute , 2014).

20

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistika. 2009. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia Oktober
2009 : Trends Of The Selected Socio-Economic Indicators Of Indonesia October 2009 . Jakarta
Indonesia : Badan Pusat Statitistika
Benard, Bonnie. 1991. Fostering Resiliency in Kids : Protective Factors in the Family, School and
Community. Minnesota : National Resilience Resource Center
Benard, Bonnie. 2004. Resiliency : What We Have Learned . San Fransisco : WestEd
Benard, Bonnie. 2013a. Resilience, School Connectedness and Academic Achievement. California
Departement of Education [on line] diunduh dari http://www.cde.ca.gov/ls/yd/tr/bbenard.asp 20 Mei
2013
Benard, Bonnie. 2013b. The Foundations of Resiliency Framework. Artikel [on line] diunduh dari
www.resiliency.com/free-articles-resources/the-foundations-of-the-resiliency-framework/ tanggal 13
November 2014
Brown, James Dean. 2011. Likert Items and Scales of Measurement? 2011. SHIKEN: JALT Testing &
Evaluation SIG Newsletter. March 2011. Vol. 15, No. 1, Hal. 10-14.
Fergus, S & Zimmerman, Marc A. 2005. Adolescent Resilience : A Framework for Understanding Healthy
Development in The Face of The Risk. Annual Review of Publuic Health, Vol. 26, Hal : 399-419.
[online] diunduh dari http://is.municz/el/1421/jaro2011/PSA_033/um/adolescent_resilience.pdf
Hair, Joseph F, Black, William C, Babin, William C, Anderson, Rolph E, Tatham, Ronald L. 2006.
Multivariate Data Analysis . Sixth Edition. New Jersey : Pearson International Edition
Jensen, Eric. 2009. Teaching with Poverty in Mind : What Being Poor Does to Kids’ Brains and What School
Can
Do
About
It .
USA
:
ASCD.
[e-book]
diunduh
dari
http://www.ascd.org/publications/books/109074/chapters/how-poverty-affects-behavior-andacademic-performance.aspx
Luthar, Suniya. S. (ed.) 2003. Resilience and Vulnerability : Adaptation in the Context of Childhood
Adversities . Cambridge : Cambridge University Press.
Masten, Ann. 2001. Ordinary Magic: Resilience Processes in Development . American Psychologist, Maret
2001, Vol. 56, No.3, Hal 227-238.
Prasetyo, Eko. 2008. Pelanggaran Atas Hak Pendidikan . Makalah. Tidak diterbitkan. Yogyakarta : Pusham
UII.
Resilience Institute. 2014. Building Trust, Building Community Resilience . Artikel. [on line] diunduh dari
www.resilientus.org/building-trust-building-community-resilience pada 2 September 2014.
Rotenberg, Ken J.; Fox, Claire; Green, Sarah; Ruderman, Louise; Slater, Kevin; Stevens, Kelly; and Carlo,
Gustavo,. 2005. Construction and validation of a children’s interpersonal trust belief scale. Faculty
Publications, Department of Psychology. Paper 2. 4/1/2005. University of Nebraska-Lincoln. [on line]
diunduh dari http://digitalcommons.unl.edu/psychfacpub/2
Rotenberg, Ken. J. (ed.). 2010. Interpersonal Trust During Childhood and Adolescence . Cambridge :
Cambridge University Press.
Santrock, John W. 2002. Life-Span Development : Perkembangan Masa Hidup . Terjemahan. Jilid 2. Edisi
kelima. Jakarta : Erlangga
Suliyanto. 2011. Perbedaan Pandangan Skala Likert Sebagai Skala Ordinal Atau Skala Interval . Prosiding
Seminar Nasional Statistika, Sewindu Statistika, FMIPA Universitas Diponegoro.
Werner, Emmy E. 1993. Risk, Resilience, and Recovery : Perspective from The Kauai Longitudinal Study.
Development and Psychopathology. Vol. 5 Tahun 1993 Hal. 503-515.
Zimmerman, Marc A; Bingenheimer, Jeffrey B & Notaro, Paul C. 2002. Natural Mentors and Adolescent
Resiliency : A Study with Urban Youth . American Journal of Community Psychology, Vol. 30, No.2,
April 2002
Zimmerman, Marc A. 2009. Empowerment Theory and Adolescent Resilience : Application for Prevention .
Paper. Disampaikan pada The Children, Youth, and Families At Risk 2009 Conference. Baltimore
Maryland, May 18-21, 2009.
Zimmerman, Marc. A; Brenner, Allison. B. 2010. Resilience in Adolescence : Overcoming Neighborhood
Disadvantage. Chapter 14 dalam Reich, John W.; Alex. J. Zautra; John Stuart Hall. (ed.). 2010.
Handbook of Adult Resilience . New York : The Guilford Press
Zimmerman, Marc A. 2013. Resiliency Theory : A Strength Based Approach to Research and Practice for
Adolescent Health . Health Eduction and Behavior Vol. 40, No. 4, Hal : 381-383
Zolkoski, Staci M & Bullock, Lyndal M. 2012. Resilience in Children and Youth : A Review. Children and
Youth Service Review, Vol. 34 Tahun 2012, hal : 2295-2303
Kemiskinan dan Resiliensi . Artikel Blog. 27 Februari 2012 [on line] diunduh dari
http://langitt.wordpress.com/2012/02/27/kemiskinan-dan-resiliensi/ tanggal 7 September 2013

21