KOORDINASI ANTARA PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL BALAI KARANTINA IKAN DAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN BIBIT LOBSTER DI LAMPUNG (Jurnal Skripsi)

  

KOORDINASI ANTARA PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL BALAI

KARANTINA IKAN DAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI

TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN BIBIT LOBSTER

DI LAMPUNG

(Jurnal Skripsi)

Oleh

  

SHABRINA KIRANA ALMIRA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

  

ABSTRAK

KOORDINASI ANTARA PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL BALAI

KARANTINA IKAN DAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI TINDAK

PIDANA PENYELUNDUPAN BIBIT LOBSTER

DI LAMPUNG

Oleh

  

Shabrina Kirana Almira, Eko Raharjo, Dona Raisa Monica

Email: shabrinakiranaalmira @gmail.com.

  Tindak pidana penyelundupan bibit lobster merupakan tindak pidana khusus, sehingga Penyidik Kepolisian melakukan koordinasi dengan Penyidik Balai Karantina Ikan Provinsi Lampung dalam rangka mencari serta mengumpulkan bukti-bukti permulaan dalam proses penyidikan. Permasalahan: (1) Bagaimanakah koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung? (2) Apakah faktor penghambat koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung? Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan.

  Data yang selanjutnya dianalisis dan dibahas secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung, dilaksanakan dengan Penyidik Kepolisian menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh PPNS, memberi bantuan teknis, taktis, upaya paksa dan konsultasi penyidikan kepada PPNS untuk penyempurnaan dan mempercepat penyelesaian berkas perkara, menerima berkas perkara dari PPNS dan meneruskan kepada Penuntut Umum, tukar menukar informasi tentang dugaan adanya tindak pidana yang disidik oleh PPNS, rapat secara berkala serta melaksanakan penyidikan bersama. (2) Faktor paling dominan yang menghambat koordinasi tersebut faktor aparat penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih terbatasnya jumlah penyidik dan secara kualitas sumber daya manusia, masih belum optimalnya taktik dan teknik penyidikan guna mengungkap tindak pidana penyelundupan bibit lobster. Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Penyidik dalam melaksanakan penyidikan dengan sebaik- baiknya hendaknya jujur dan bertanggung jawab serta bertujuan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas dalam sistem peradilan pidana. (2) Penyidik Kepolisian dan PPNS agar meningkatkan kemampuan di bidang teknik dan taktik penyidikan.

  Kata Kunci: Koordinasi, PPNS Balai Karantina Ikan, Kepolisian, Penyelundupan

  

ABSTRACT

COORDINATION BETWEEN CIVIL SERVANT INVESTIGATOR OF FISH

QUARANTINE STATION AND POLICE IN OVERCOMING CRIME OF

SMUGGLING OF LOBSTERS IN LAMPUNG

The crime of smuggling of lobster seeds is a special crime, so Police Investigator

coordinates with Investigator of Fish Quarantine Institute of Lampung Province in order

to seek and collect preliminary evidence in the investigation process. The problems of this

research are: (1) How is coordination between Civil Servant Investigator of Fish

Quarantine Station and Police in overcoming crime of smuggling of lobsters in Lampung?

(2) What are the factors inhibiting the coordination between the Civil Servant Investigator

of the Fish Quarantine Center and the Police in handling the crime of smuggling of

lobster seeds in Lampung? The problem approach used is the normative juridical

approach and the empirical juridical approach. The research sources consisted of Police

Investigator of Lampung District, PNS Investigator of Fish Quarantine Institute of

Lampung Province and Academician of Criminal Law Department of Law Faculty of

Unila. Data collection techniques were conducted with literature studies and field studies.

The data are then analyzed and discussed qualitatively to obtain the research conclusions.

The results of this study indicate: (1) Coordination between Civil Servant Investigator of

Fish Quarantine Center and Police in handling of smuggling of lobster smuggling in

Lampung, carried out by Police Investigator receiving notification letter of

commencement of investigation by PPNS, providing technical assistance, tactical, forced

effort and consultation of investigations to PPNS for the improvement and acceleration of

court file settlement, receiving court files from PPNS and forwarding to the Prosecutor,

exchanging information about suspected crimes investigated by PPNS, regular meetings

and conducting joint investigations. (2) The most dominant inhibiting factors of

coordination between the Civil Servant Investigator of the Fish Quarantine Center and the

Police in handling the smuggling of lobster smuggling in Lampung is apparatus factor

law enforcers, namely the quantity of the limited number of investigators and the quality

of human resources, is still not optimal tactics and techniques of investigation to uncover

the crime of smuggling of lobster seed. Suggestions in this study are: (1) Investigators in

conducting investigations should be honest and responsible. (2) Police Investigators and

PPNS to improve technical skills and investigation tactics so that efforts to combat

smuggling of lobster seeds can be optimized.

  Keywords: Coordination, Civil Servant Investigator of Fish Quarantine Institute, Police, Smuggling

I. PENDAHULUAN

  Hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena hukum bukan hanya menjadi parameter untuk keadilan, keteraturan, ketentraman dan ketertiban, tetapi juga untuk menjamin adanya kepastian hukum. Selanjutnya, hukum semakin diarahkan sebagai sarana kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

  individu di dalam masyarakat menjadi dasar dibentuknya hukum, dengan maksud agar hukum tersebut dapat berjalan sebagaimana dicita-citakan oleh masyarakat itu sendiri, yakni menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Orang yang melakukan tindak pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukannya.

  terjadi adalah tindak pidana penyelundupan bibit lobster. Kementerian Kelautan dan Perikanan sehubungan dengan tindak pidana ini telah memberlakukan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana

  dan Acara Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2001, hlm.14. 2 Satjipto Rahardjo, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian

  56/Permen-KP/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus

  Spp .) dari Wilayah Negara Republik

  Indonesia. Pasal 2 menyebutkan penangkapan dan/atau pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), dengan

  Harmonized System Code 0306.21.10.00

  atau 0306.21.20.00, dari wilayah Negara Republik Indonesia hanya dapat dilakukan dengan ketentuan: a. tidak dalam kondisi bertelur; dan b. ukuran panjang karapas diatas 8 (delapan) cm atau berat diatas 200 (dua ratus) gram/ekor.

1 Keinginan dan kesadaran tiap-tiap

  Selanjutnya ketentuan Pasal 7 Ayat (3) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/Permen-KP/2016 menyatakan bahwa setiap orang yang mengeluarkan Lobster (Panulirus spp.), dalam kondisi yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.

  Contoh kasus tindak pidana penyelundupan yang di wilayah hukum Kepolisian Daerah Lampung adalah penyelundupan bibit lobster, sebagaimana diberitakan bahwa aparat kepolisian dari Subdit Tipiter Ditreskrimsus Polda Lampung bersama Balai Karatina Ikan dan pihak Bandara Radin Intan berhasil menggagalkan upaya penyelundupan benur udang yang hendak dibawa ke Batam. Upaya penyelundupan benur udang jenis lobster tersebut terjadi pada hari Jumat 5 Mei 2017 oleh para pelaku, puluhan ribu bibit udang itu dimasukkan dalam 7 koper. Tujuh koper itu berisi benur udang yang

2 Salah satu jenis tindak pidana yang

  dengan jumlah masing-masing kantong berisi sekitar 468 ekor dan total terdapat kurang lebih 52.884 bibit lobster yang hendak diselundupkan. Para pelaku terdiri dari empat orang laki-laki dan tiga perempuan, yang membawa masing- masing 1 koper yang berisi sekitar 16-17 kantong plastik berisi benur lobster. Untuk menyamarkan penyelundupan itu mereka berupaya mengelabuhi petugas dengan memasukkan sejumlah pakaian bekas ke dalam koper.

  lobster merupakan tindak pidana khusus maka pihak kepolisian melakukan koordinasi dengan instansi terkait, yang dalam hal ini adalah Balai Karantina Ikan Provinsi Lampung. Dasar hukumnya adalah Pasal 3 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh kepolisian khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

  Berdasarkan Pasal 1 Angka (2) Undang- Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan diketahui bahwa karantina hewan, ikan, dan tumbuhan adalah tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, atau organisme pengganggu tumbuhan dari luar negeri 3 Aprianto. Ditreskrimsus Polda Lampung Gagalkan Penyelundupan 52.884 Lobster.

  http://www.sayangi.com/2017/05/05/82090/news /ditreskrimsus-polda-lampung-gagalkan- penyelundupan-52-884-lobster/Diakses Sabtu 12 Agustus 2017 Pukul 13.30-14.00 WIB

  dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia; Berdasarkan Pasal

  1 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Karantina Ikan, diketahui bahwa Balai Karantina Ikan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) yang mempunyai tugas pokok dan fungsi untuk mencegah masuk dan tersebarnya hama dan penyakit ikan karantina (HPIK) dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain didalam negeri atau keluar dari wilayah negara Republik Indonesia.

3 Mengingat bahwa penyelundupan bibit

  Menurut Pasal 1 Angka (11) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang- undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

  Penyidik Pegawai Negeri Sipil menurut

  Pasal 5 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Koordinasi, Pengawasan dan Pembinaan Penyidikan Bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai wewenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi, pengawasan dan pembinaan Penyidik. Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka skripsi ini membahas: “Koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam Menanggulangi Tindak Pidana Penyelundupan Bibit Lobster di Lampung” Permasalahan penelitian ini adalah:

  a. Bagaimanakah koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung?

  b. Apakah faktor penghambat koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung?

  Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

II. PEMBAHASAN

A. Koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam Menanggulangi Tindak Pidana Penyelundupan Bibit Lobster di Lampung

  Koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung merupakan bagian dari peran kepolisian sebagai aparat penegak hukum berupaya semaksimal mungkin dalam menegakkan hukum terhadap pelaku tindak pidana penyelundupan bibit lobster, dengan melakukan berbagai langkah strategis dan konstruktif dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi sesuai dengan hak dan wewenangnya dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negeri, meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, pelayanan, dan terbina ketenteraman masyarakat yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

  Kepolisian Daerah Lampung melaksanakan peran dalam mengungkap tindak pidana penyelundupan bibit lobster, melalui proses penyelidikan dan penyidikan. Penyidik sesegera mungkin menanggapi setiap adanya laporan dari anggota masyarakat tentang adanya tindak pidana penyelundupan bibit lobster dengan melakukan penyelidikan, karena laporan tersebut harus didukung oleh bukti-bukti yang kuat untuk menentukan apakah termasuk sebagai tindak pidana atau bukan. Kepolisian dalam penyidikan tersebut melaksanakan koordinasi dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan.

  PPNS Balai Karantina Ikan dalam melaksanakan penyidikan memiliki landasan hukum yaitu Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, bahwa selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia, juga pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan karantina diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan.

  Pasal 30 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, menyatakan bahwa ketentuan kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), tidak mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana diatur dalam Undang- undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Adapun wewenang Penyidik PPNS Balai Karantina Ikan terdiri dari:

  a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan;

  b. melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi dalam tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan; c. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan; d. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan;

  e. membuat dan menandatangani berita

  f. menghentikan penyidikan apabila tidak didapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan. Melalui penyelidikan dilaksanakan rangkaian tindakan penyelidik bertujuan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Rangkaian tindakan penyelidikan hanya dimaksudkan untuk menemukan peristiwa pidana dan tidak mencari/menemukan tersangka. Tindakan penyidikan tidak harus didahului dengan penyelidikan. Manakala penyidik menemukan peristiwa yang dinilai sebagai tindak pidana, dapat segera melakukan penyidikan. Artinya tindakan penyidikan yang dilakukan oleh polisi terlebih dahulu diawali dengan penyelidikan untuk memastikan bahwa benar telah terjadi tindak pidana penyelundupan bibit lobster. Setelah jelas dan cukup bukti bahwa laporan masyarakat tersebut benar, dan memang didapatkan bukti awal bahwa telah terjadi tindak pidana penyelundupan bibit lobster maka selanjutnya dilaksanakan penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik Kepolisian Daerah Lampung dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat menganalisis bahwa Koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung sesuai dengan teori koordinasi, sebagai suatu mekanisme hubungan dan kerjasama antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya dalam rangka penyelenggaraan kegiatan atau aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu. Koordinasi sebagai kegiatan yang dilakukan oleh berbagai pihak yang sederajat untuk saling memberikan informasi dan bersama mengatur atau menyepakati sesuatu, sehingga di satu sisi proses pelaksanaan tugas dan keberhasilan pihak yang satu tidak mengganggu proses pelaksanaan tugas dan keberhasilan pihak yang lainnya.

  Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian merupakan bentuk koordinasi eksternal yaitu koordinasi antar pejabat dari bagian organisasi atau antar organisasi.

  menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung dilaksanakan dengan menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh PPNS, memberi bantuan teknis, taktis, upaya paksa dan konsultasi penyidikan kepada PPNS untuk penyempurnaan dan mempercepat penyelesaian berkas perkara, menerima berkas perkara dari PPNS dan meneruskan kepada Penuntut Umum, 4 Taliziduhu Ndraha, Kybernologi : Ilmu Pemerintahan Baru . Rineka Cipta, Jakarta, 2003.

  hlm 45. 5 Inu Kencana. Sistem Pemerintahan Indonesia.

  Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri.

  tukar menukar informasi tentang dugaan adanya tindak pidana yang disidik oleh PPNS; rapat secara berkala; dan melaksanakan penyidikan bersama. Kegunaan penyidikan tindak pidana penyelundupan bibit lobster bagi kejaksanan dalam proses penuntutan adalah sebelum Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan dan melimpahkan berkas perkara kepada Pengadilan Negeri, terlebih dahulu harus ada penyerahan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari pihak penyidik, Jika BAP dari penyidik telah lengkap menurut Penuntut Umum, barulah Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan, di mana surat dakwaan tersebut haruslah berjalan selaras dengan BAP tersebut. Apabila BAP tersebut menurut penyidik telah lengkap yang disertai dengan alat-alat bukti dan keterangan para saksi yang dianggap telah sah menurut hukum, serta BAP tersebut telah berjalan sesuai dengan dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum.

4 Koordinasi antara Penyidik Pegawai

5 Koordinasi dalam

  B. Faktor Penghambat Koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam Menanggulangi Tindak Pidana Penyelundupan Bibit Lobster di Lampung

  Faktor-faktor penghambat koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam Menanggulangi Tindak Pidana Penyelundupan Bibit Lobster di Lampung sebagai berikut:

  1. Faktor Substansi Hukum Faktor aturan perundang-undangan atau substansi hukum tidak menjadi penghambat koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung. Ketentuan yaitu Pasal 183 KUHAP, dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa, seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal 184 menyatakan bahwa alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan.

  Pasal 183 Ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa dalam hal hasil Penyidikan ternyata belum lengkap, Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk melengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. Menurut kedua rumusan Pasal 139 dan

  Pasal 138 Ayat (2) KUHAP maka dapat diketahui bahwa beban pembuktian pada hakikatnya dilaksanakan oleh penyidik yang berusaha maksimal untuk mengumpulkan alat bukti sah yang yang akan menentukan kelanjutan proses perkara tersebut apakah ditutup demi kepentingan hukum atau dilimpahkan ke Pengadilan Negeri atau dilakukan sendiri pemeriksaan tambahan.

  Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa penyidikan dalam mengungkap tindak pidana penyelundupan bibit lobster yang dilakukan Kepolisian dan PPNS Balai Karantina Ikan cukup mengumpulkan dua alat bukti yang sah tersebut. Penyidik kepolisian dan PPNS berusaha secara maksimal untuk melaksanakan tugas penyidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  2. Faktor Aparat Penegak Hukum faktor aparat penegak hukum yang menghambat koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung adalah secara kuantitas terbatasnya personil PPNS Balai Karantina Ikan yang khusus melakukan penyidikan tindak pidana penyelundupan bibit lobster. Selain itu adanya penyidik yang berpotensi menyalahgunakan kewenangan diskresi. Hal ini bertentangan dengan Pasal 16 Angka (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan anggota kepolisian memiliki wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Tindakan lain yang dimaksud adalah penyelidikan dan penyidikan jika memenuhi syarat sebagai berikut: (a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; (b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; (c) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; (d). pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan (e) menghormati Hak Asasi Manusia (HAM).

  3. Faktor Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang menghambat koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung adalah masih terbatasnya sarana prasarana penunjang penyidikan oleh PPNS Balai Karantina Ikan. Kesadaran yang menyebabkan hukum merupakan instrumen (alat) untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu, menjadikan hukum sebagai sarana yang secara sadar dan aktif digunakan untuk mengatur masyarakat, dengan menggunakan (melalui) peraturan- peraturan hukum yang dibuat dengan sengaja. Dalam konteks yang demikian ini, sudah tentu harus diikuti dan diperhatikan perkembangan- perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sebagai basic sosial. Hukum merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial itu sendiri, yaitu hukum akan melayani kebutuhan anggota-anggota masyarakat, baik berupa pengalokasian kekuasaan, pendistribusian sumber daya- kepentingan anggota masyarakat itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa faktor sarana prasarana yang lengkap sangat diperlukan dalam proses penyidikan tindak pidana penyelundupan bibit lobster, sehingga kurang memadainya sarana dan prasarana yang tersedia dapat menghambat proses penyidikan.

  4. Faktor Masyarakat Faktor masyarakat yang menghambat upaya penyidik Kepolisian Daerah Lampung dalam penyidikan tindak pidana penyelundupan bibit lobster adalah masih adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku penyelundupan bibit lobster. Ketakutan tersebut dapat disebabkan oleh adanya ancaman dari para pelaku yang tidak segan-segan melakukan kekerasan terhadap masyarakat yang menyaksikan perbuatan mereka. Masyarakat yang takut dan tidak melaporkan tindak pidana kepada aparat penegak hukum, dapat menghambat proses penyidikan pelaku tindak pidana penyelundupan bibit lobster. Masyarakat diharapkan memiliki kepedulian dan keberanian dalam melaporkan apabila terjadi tindak pidana maka diharapkan pelaku akan semakin sulit untuk melakukan kejahatannya. Penjelasan di atas menunjukkan peran serta masyarakat secara aktif akan sangat mendukung keberhasilan proses penyidikan sebab dengan semakin aktifnya dukungan dari masyarakat maka akan semakin optimal pula upaya penegakan hukum.

  5. Faktor Budaya Penilaian masyarakat mempengaruhi tindakan-tindakan Polisi, termasuk dalam hal penyidikan. Dengan tidak mengurangi hukum nasional yang berlaku jika memang suatu perkara dapat diselesaikan sesuai dengan budaya yang ada dalam masyarakat seperti secara kompromi dengan jalan kekeluargaan, mediasi dan lainnnya lebih efisien dan efektif tentu Polisi tidak akan memaksakan untuk diselesaikan melalui sistem peradilan pidana yang ada dan memaksakan berlakunya hukum, tetapi dengan kebijaksanaan Polisi sebagai penyidik tersebut. Dengan cara inilah nilai-nilai budaya mempengaruhi dan mendorong Polisi dalam menentukan kebijaksaan dalam proses penyidikan.

  Penyidikan dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang pada tahap pertama harus dapat memberikan keyakinan, walaupun sifatnya masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tentang tindak pidana yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya. Apabila berdasarkan keyakinan tersebut penuntut umum berpendapat cukup adanya alasan untuk mengajukan tersangka kedepan sidang pengadilan untuk segera disidangkan. Di sini dapat terlihat bahwa penyidikan suatu pekerjaan yang dilakukan untuk membuat terang suatu perkara, yang selanjutnya dapat dipakai oleh penuntut umum sebagai dasar untuk mengajukan tersangka beserta bukti-bukti yang ada. Berdasarkan uraian di atas maka diketahui bahwa faktor kebudayaan dapat menghambat proses penyidikan khususnya pelaku usaha lobster yang ingin memperoleh keuntungan besar dalam kegiatan jual beli bibit lobster, namun cara-cara usaha yang ditempuhnya melanggar hukum.

  Menurut penulis faktor yang paling dominan menghambat koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung adalah faktor aparat penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih terbatasnya jumlah penyidik dan secara kualitas sumber daya manusia, masih belum optimalnya taktik dan teknik penyidikan guna mengungkap tindak pidana penyelundupan bibit lobster. Selain itu apabila profesionalisme penyidik dalam taktik dan teknik penyidikan ditingkatkan maka pengungkapan kasus tersebut akan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, sehingga proses penangkapan pelaku dan proses penyidikan dapat dilaksanakan dengan baik dalam rangka menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Sebagaimana detahui bahwa KUHAP telah secara jelas dan tegas mengatur wewenang penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam tahap penyidikan sehingga masing- masing instansi selama ini telah melaksanakan tugas dan fungsinya. Seiring dengan perkembangan jaman, pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut tentunya senantiasa mengalami dinamika permasalahan yang semakin kompleks. Eksistensi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang tersubordinasi terhadap Penyidik Polri, berdampak pada kurang optimalnya peran PPNS dan tindak pidana tertentu bertumpu pada penyidik Polri. Padahal trend perkembangan hukum pidana di Indonesia sedang tumbuh subur, mempelajari hukum pidana dalam undang-undang tersendiri itu tentu memerlukan waktu dan pikiran yang banyak, serta tentu saja dibutuhkan skill intelektualitas dari penyidik yang Sarjana Hukum dan Sarjana Hukum yang penyidik, padahal jumlah penyidik pada instansi kepolisian terbatas. Sesuai dengan uraian di atas nampak bahwa berhasil atau tidaknya fungsi proses pemeriksaan sidang pengadilan yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum dan Hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah dan selanjutnya memidananya, sangat bergantung atas hasil penyidikan dari penyidik. Berkas perkara yang kabur, tidak mengarah dan menyentuh unsur delik tentang peristiwa pidana yang disangkakan, seringkali ditemukan dalam praktek peradilan. Akibatnya proses persidangan sering mengalami kesulitan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Selanjutnya, berkas perkara yang bersifat kabur tersebut semakin jauh dari kemungkinan mempersalahkan dan menghukum terdakwa, disebabkan alat bukti yang diajukan penyidik tidak memenuhi batas minimal pembuktian yang digariskan oleh Pasal 183 KUHAP karena pPada umumnya penyidik lebih cenderung mengumpulkan dan mengajukan alat bukti secara kuantitatif, bukan berdasar kualitatif. Selain itu terkadang dari sekian banyak alat bukti yang diajukan, tidak satu pun yang memenuhi syarat formil dan materiil, yang berakibat alat bukti yang diajukan tidak mencapai batas minimal pembuktian, sehingga seluruh alat bukti pembuktian. Mengenai seringnya terjadi bolak-balik berkas perkara antara Penyidik – Penuntut Umum hal tersebut dapat dimengerti oleh karena berkas perkara yang sering masih belum sempurna ataupun Jaksa PU menganggap berkas tersebut belum memenuhi syarat formil maupun materiil untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan.

  III. PENUTUP

  A. Simpulan

  1. Koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung, dilaksanakan dengan Penyidik Kepolisian menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh PPNS, memberi bantuan teknis, taktis, upaya paksa dan konsultasi penyidikan kepada PPNS untuk penyempurnaan dan mempercepat penyelesaian berkas perkara, menerima berkas perkara dari PPNS dan meneruskan kepada Penuntut Umum, tukar menukar informasi tentang dugaan adanya tindak pidana yang disidik oleh PPNS, rapat secara berkala serta melaksanakan penyidikan bersama.

  2. Faktor-faktor penghambat koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung adalah sebagai berikut:

  a. Faktor aparat penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih secara kualitas sumber daya manusia, masih belum optimalnya taktik dan teknik penyidikan guna mengungkap penyelundupan bibit lobster

  b. Faktor sarana, yaitu masih terbatasnya sarana dan prasarana penyidikan di Balai Karantina Ikan Provinsi Lampung

  2. Penyidik Kepolisian dan PPNS agar meningkatkan kemampuan di bidang teknik dan taktik penyidikan sehingga upaya penanggulangan tindak pidana penyelundupan bibit lobster dapat optimalkan, dan untuk mengantisipasi terjadinya tindak pidana penyelundupan bibit lobster.

  c. Faktor masyarakat, yaitu masih adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penyidikan dan penegakan hukum terhadap pelaku penyelundupan bibit lobster.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Penyidik dalam melaksanakan penyidikan dengan sebaik-baiknya hendaknya jujur dan bertanggung jawab serta bertujuan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas dalam sistem peradilan pidana. Sekalipun polisi memiliki kewenangan diskresi, namun dalam melaksanakan kewenangan tersebut hendaknya polisi tidak sewenang- wenang, tetapi tetap berada pada koridor dan batas yang telah ditentukan oleh hukum.

  Aprianto. Ditreskrimsus Polda Lampung

  Gagalkan Penyelundupan 52.884 Lobster. http://www.sayangi.

  com/2017/05/05/82090/news/ditr eskrimsus-polda-lampung- gagalkan-penyelundupan-52-884- lobster/Diakses Sabtu 12 Agustus 2017 Pukul 13.30-14.00 WIB

  Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai

  d. Faktor budaya, yaitu masih adanya nilai-nilai toleransi yang dianut masyarakat untuk menempuh jalur di luar hukum positif untuk menyelesaikan suatu tindak pidana. Faktor paling dominan yang menghambat koordinasi tersebut faktor aparat penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih terbatasnya jumlah penyidik dan secara kualitas sumber daya manusia, masih belum optimalnya taktik dan teknik penyidikan guna mengungkap tindak pidana penyelundupan bibit lobster

  Kencana, Inu. 2001. Sistem

  Pemerintahan Indonesia . Sekolah

  Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri. Jatinangor. Bandung. Ndraha, Taliziduhu. 2003. Kybernologi:

B. Saran

  Ilmu Pemerintahan Baru . Rineka

  Cipta, Jakarta Rahardjo, Satjipto. 1998. Bunga Rampai

  Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat

  Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta

  Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta