Treatment atas Kitab Suci Pandangan Mufa

Draft not tobe cited

Treatment atas Kitab Suci: Pandangan Mufassir atas Kesucian al-Qur’an
Oleh: Eva Nugraha

A. Pendahuluan
Bahasa yang muncul di koran, saat ada kasus dugaan korupsi Pengadaan Kitab Suci
al-Qur’an, seakan-akan menunjukkan bahwa al-Qur’an bisa dikorupsi. Seakan-akan alQur’an telah di-tahrif. Padahal, yang dianggap dikorup bukanlah al-Qur’an, melainkan
Proyek Pengadaan Kitab Suci-nya. Sudah pasti apabila bentuknya pengadaan maka hal
itu telah menyiratkan bahwa bentuk fisik kitab suci (mushaf), masuk ke dalam kategori
barang dan jasa. Sebagai mana layaknya barang lainnya, bisa diperlakukan apapun
tergantung pemiliknya. Ia bisa dihormati, disanjung, dijaga, dikeramatkan, bahkan pada
kasus-kasus tertentu dibuang, dilecehkan, atau dikorupsi proses pengadaannya.
Penghormatan pada kitab suci tidak hanya didominasi satu komunitas keagamaan.
Para penganut agama biasanya memiliki tradisi yang memerlakukan kitab suci dengan
satu ritual khusus. Graham memberikan beberapa contoh: Kaum Yahudi membuat hiasan
khusus pada lemari tempat penyimpanan gulungan Taurat dalam Tabut yang disimpan di
Sinagog. Kaum Kristen pada Gereja Ortodoks Timur melakuakan prosesi masuk gerbang
kecil untuk menghormati pembacaan Injil; Kaum Sikh pun memberikan penghormatan
khusus pada saat pembacaan Adi Granth kitab Suci mereka1.
Kaum Muslim pun memiliki aturan khusus dalam membaca, menyimpan,

membawa, menjual belikan al-Qur’an dalam wujudnya sebagai kitab suci.Contoh, bagi
pengikut madhhab Syafi’i, berwudlu adalah satu ritual yang menjadi aturan sebelum
melakukan pembacaan al-Qur’an atau dalamseseorang harus dalam kondisi suci baik itu
hadath besar maupun kecil sebelum membaca dan membawa al-Qur’an. Sekalipun
demikian, tidak ada satu ayat pun di dalam al-Qur’an yang secara tersirat memerintahkan
berwudlu sebelum membaca atau menyentuh al-Qur’an.
Qs. Al-Wāqiʻah/56: 79 yang berbunyi : “lā yamasuh illā al-muṭahharūn” adalah
ayat yang dijadikan rujukan mengenai perintah bersuci sebelum memegang muṣḥaf alQur’an. Secara hermenetis peletakan ayat tersebut pada sebagian mushafal-Qur’an,
menjadi penanda bahwa si pencetak atau penerbit menunjukkan keberpihakan tafsirnya
pada “perintah” bahwa hanya orang yang memiliki kesucian yang dibolehkan untuk
menyentuh dan memegang al-Qur’an.
Memang, para muafssir tidak satu kata dalam menafsirkan ayat di atas, sebagai ayat
yang mendasari keharusan bersuci sebelum berhubungan denga kitab suci al-Qur’an.
Namun pertanyaannya adalah Bagaimana baiknya kaum dapat sikap untuk tetap
menghormati al-Qur’an dan tidak melecehkannya, dalam kondisi perdebatan penafsiran
1 Lihat: William A Graham, Islamic Comparative Religious Studies: Selected Wiriting, (Burlington:
Ashgate, 2010)

1


Draft not tobe cited

atas kesucian al-Qur’an. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang hendak dijawab dalam
makalah ini.
Tulisan inipun pada akhirnya ingin menguji pendapatnya Smith. Ia menyatakan
bahwa “Kitab Suci adalah sebuah aktivitas manusia. Ia berjalan terus dan penting. Ia
lebih signifikan dibanding yang lain –seperti seni misalnya. Namun ia juga seperti
aktivitas manusia lainnya, yakni memiliki keragaman.”2 Keragaman dalam pemaknaan
suatu wahyu yang akhirnya menjadi sebuah kitab suci (scripture).
B. al-Qur’an sebagai Kitab Suci dan Perlakuan atasnya.
Menurut Asysyaukanie,3 bahwa kata yang merujuk konsep “kitab
suci” baru digunakan setelah tahun 70M, ketika istilah “biblia” (bible)
ditemukan.
Biblia adalah kata Yunani yang berarti “buku.” Jika
ditelusuri, kata “biblia” memiliki akar pada kata “byblos,” yang berarti
juga “papyrus” atau “paper” (kertas). Sedangkan beberapa istilah lain
seperti “bibliotheca divina” (perpustakaan ilahi) dan “scriptura sacra”
(kitab suci) baru mulai digunakan secara umum pada abad ke-4. 4 Maka
apakah ada kemungkinan bahwa istilah muṣḥaf merupakan perenungan para
sahabat dari pergumulan mereka dengan kaum agama lain. Terlebih bila kata mushaf

bukanlah asli Arab akan tetapi serapa dari bahasa Abesinia.
Pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab adalah, saat kata kitāb merujuk untuk
menunjukkan al-Qur’an. Apakah sejak awal ada inisiasi dari Tuhan ataupun Nabi untuk
menentukan pada akhirnya al-Qur’an yang berbentuk ucapan dan dihapal akan menjadi
sebuah buku atau sesuatu dikumpulkan di antara dua cover (bayna laḥwayn).
Penelusuran sekilas penulis menujukkan bahwa kalimat kitābullah tidak semuanya
merujuk pada suatu barang jadi dalam artian buku Tuhan. Al-Qur’an menyebutkan
kalimat kitābullah pada sembilan tempat.
Tiga ayat terkait dengan kelompok yang diberi al-kitāb (dalam hal ini adalah
Tawrāt), yang merupakan bagian dari kitābullah. Namun mereka tidak menganggapnya
(Qs. Al-Baqarah/2: 101).5 Padahal di dalamnya adalah aturan dan ketetapan hukum bagi
mereka (Qs. Alu Imrān/ 3: 23),6 yang berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman dalam
2 Wifred Cantwell Smith, Kitab Suci Agama-agama (Jakarta: Teraju, 2005), 25.
3 Lutfhi Assyaukanie, “Kapan dan Bagaimana Al-Qur’an Menjadi Kitab Suci?” makalah diskusi
“Sejarah dan Konsep Kitab Suci,” yang diselenggarakan oleh the Religious Reform Project (Repro) dan
Jaringan Islam Liberal (JIL), di Teater Utan Kayu, Jakarta, 27 Juni 2006. Diunduh dari
(http://www.assyaukanie.com).
4Francis E. Gigot. “The Bible,” dalam Catholic Encylopedia (www.newadvent.org). Istilah
“scripture” diambil dari kata “scriptura” yang secara umum berarti “tulisan.” Kata “scriptura” dapat
ditemukan dalam Vulgata (Perjanjian Lama). Kata ini tak hanya merujuk kepada “tulisan suci,” tapi juga

kepada tulisan apa saja secara umum.
5“ Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab)
yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke
belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah).”
6Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bahagian yaitu Al Kitab (Taurat),
mereka diseru kepada kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum diantara mereka; kemudian
sebahagian dari mereka berpaling, dan mereka selalu membelakangi (kebenaran).

2

Draft not tobe cited

memutuskan perkara (Qs. Al-Mā’idah/ 5: 44).7 Secara singkat, tiga ayat di atas ingin
menyatakan bahwa Tawrat adalah bagian dari Kitābullah.
Empat ayat terkait dengan ketetapan Allah yang sudah pasti mengenai: a.) hak
waris dan mewariskan (Qs. Al-Aḥzāb/ 33: 6),8 berdasarkan hubungan kekerabatan bukan
berdasarkan hubungan keagamaan (Qs. Al-Anfāl/ 8: 75);9 b.) hukum perkawinan yang
berlaku adalah hukum yang ditetapkan Allah saat itu, bukan hukum perkawinan yang
berlaku dalam tradisi Arab pra-Islam (Qs. Al-Nisā’/ 4: 24);10 c.) Allah akan
membangkitkan manusia dari kuburnya pada hari kebangkitan (Qs. Rūm/ 30: 56);11 dan

ketetapan Allah mengenai waktu dalam satu tahun (Qs. Al-Tawbah/ 9: 36).12 Satu ayat
lagi, terkesan terkait dengan wujud fisik dari kitabullāh. Dimana seseorang yang selalu
membaca al-Qur’an, menunaikan shalat, dan menafkahkan rizki akan dianugrahi sebuah
perniagaan yang tidak merugi. (Qs. Fāṭir/ 35: 29). 13 Dari sembilan ayat di atas memang,
cukup sulit untuk menebak apakah wujud akhir dari al-Qur’an merupakan sebuah
muṣḥaf yang sengaja disebut sebagai kitab Allah, kecuali satu ayat terakhir.
Pada entry “book”, Daniel A. Madigan mengklasifikasi term kitāb pada beberapa
bagian. Pertama: kitāb sebagai Pengetahuan ketuhanan, kedua: Kitāb sebagai otoritas
7 Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang
menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah
diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka
diperintahkan memelihara kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu
takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan
harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang kafir.
8 “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteriisterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih
berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin,
kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah
tertulis di dalam Kitab (Allah).”
9 “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu maka

orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
10 “dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi
kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk
berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka
maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu
yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
11 Dan berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang
kafir): "Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari
berbangkit; maka inilah hari berbangkit itu akan tetapi kamu selalu tidak meyakini(nya)."
12 Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang
lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum
musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya
Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
13Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan
menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terangterangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.


3

Draft not tobe cited

ketuhanan (ketetapan), ketiga: kitab sebagai bagian dari pewahyuan, keempat: kitāb yang
terkait dengan orang-orang yang diberi al-kitāb (ahl al-Kitāb), kelima: kitāb yang
menjadi induk (umm al-kitāb), dan terakhir penjelasan mengenai al-Qur’an sebagai
kitāb.14
Madigan mengutip beberapa sarjana sebelumnya, seperti G Widengren menyatakan
bahwa sejarah agama di Timur Dekat menunjukkan bahwa nabi-nabi merekalah yang
menyiapkan corpus tertulis. Noldeke Lcenar penjelasan bahwa pemahaman Muhammad
atas wahyunya adalah untuk dibuat menjadi sebuah buku. Bell, memahami bahwa alQur’an adalah bentuk belum sempurna dari kitab. Sedangkan Neuwirth, melihat kitab
adalah symbol dimana kaum Muslim berbagi kenabian dengan agama lain. Sehingga,
tidak semua yang ada di kitab [lawḥ maḥfūẓ] dimiliki oleh al-Qur’an.
Menurut Madigan, skenario di atas agak sulit dipahami, karena budaya yang
berakar pada saat itu adalah budaya lisan dan mengapa Nabi meninggalkan pekerjaan
membuat sebuah Kitab (buku). Serta, bagaimana posisi Jibril saat akan mengecek
kebenaran tulisan yang ada. Sedangkan tulisan yang ada pada saat itu tidak lebih dari
medium untuk mempermudah menghapal (aide-memoire).

Daniel Madhigan menyatakan, kata dhālika yang mengikuti kata kitāb sering
ditafsirkan penunjukan pada sesuatu yang sudah lengkap atau sesuatu yang absen.
Dengan demikian kata-kata kitāb yang terkait dengan al-Qur’an tidak bisa dipahami
dengan closed corpus text., yang terkodifikasi secara tertulis. Karena kata tersebut telah
ada sangat lama sebelum al-Qur’an menjadi corpus tertutup atau tertulis.15
Graham menyebutkan bahwa kekuatan dari sebuah skripture
(kitab suci) sangat terekspresikan dalam atribut umum yang
menempel padanya. Ada dua atribut yang paling dominan dalam
setiap kitab suci, yaitu: otoritas dan sakralitas. Baik secara teologis
maupun tradisi keagamaan, kitab suci memiliki otoritas adikuasa
(supermundane), serta derajat kesucian yang tidak dimiliki kitab-kitab
lainnya. Salah satu karakter dari otoritas kitab suci dalam banyak
kasus bisa dilihat pada, dijadikannya ia sebagai dasar dari
aturan/hukum umum di masyarakat. Khususnya pada masyarakat
Yahudi dan Islam. Kitab Taurat dijadikan dasar bagi aturan bagi umat
Yahudi dan al-Qur’an menjadi dasar dari pemberlakuan syari’ah.16
Selanjutnya, kemaha sakralan kitab suci bisa dilihat pula dari
bagaimana masyarakat memperlakukan
kitab tersebut dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Hampir pada semua agama terdapat

aturan-aturan tertentu dalam membawa, menghormati, mengutip,
membaca kitab suci. Doktrin-doktrin teologis disertakan
sebagai
penguat perilaku tersebut agar dapat dibedakan secara ontologis,
mana kitab yang suci dan mana kitab yang bukan. Sebagai contoh:
14Daniel Madigan, “Book” dalam EQ, vol. 1, 242-251.
15 Daniel Madigan, “Book” dalam EQ, vol. 1, 242-251.
16William A Graham, Islamic Comparative Religious Studies: Selected Wiriting, Ashagate
Contemporary Thinker on Religion: Collected Work. (Burlington: Ashgate, 2010), 208.

4

Draft not tobe cited

Gulungan Tawrat disimpan dalam satu peti khusus yang diberi hiasanhiasan; Kitab Suci Sikh, Adi Granth, diberi penghormatan pada saat
beribadah; Ada prosesi tertentu sebelum membaca Gospel bagi kaum
Kristen Timur; Pembacaan al-Qur’an menyaratkan ritual pensucian;
Mendengarkan kitab suci Buddha, Sutras,
merupakan kebajikan;
Menyalin dan menghapalkan Bible dan al-Qur’an merupakan

kebajikan.17 Dari uraian di atas, bisa dimaknai bahwa saat seseorang
berbicara tentang kitab suci, dalam hal ini mushaf cetakan al-Qur’an,
maka ia tidak bisa melepaskan diri dari atribut kesakralan dari alQur’an sebagai scripture.
Asma Afsaruddin, melakukan penelitian atas 6 kitab faḌā’il al-Qur’ān.18 Ia
menyimpulkan bahwa secara umum kitab-kitab tersebut memberikan penjelasan
mengenai keutamaan membaca-surat-surat tertentu dalam al-Qur’an atau keutamaan
membaca al-Qur’an dan belajar al-Qur’an. Lebih khusus, Asfaruddin memberikan
penekanan pada isu-isu keagamaan, politik, dan sosial yang terlihat pada literatur faḍā’il
al-Qur’ān. Ia membagi isu-isu tersebut pada 3 hal. Pertama: reaksi orang ‘saleh’
terhadap “profesi” pekerjaan ulama (termasuk ahli bahasa, pembaca Qur’an profesional,
guru, dan penyalin muṣḥaf). Beberapa kitāb menuliskan riwayat yang negatif terhadap
penyempurnaan layout, ortoghrafi, hiasan, dan illuminasi mushaf al-Qur’an, terutama
pada kitāb-kitāb yang disusun periode awal. Contoh riwayat dalam kitab Ibn Ḍurays:
“dari al-Hārith bin Qays, ia berkata: ‘saya adalah orang yang memiliki kekurangan
dalam berbicara. Kemudian diberitahu seseorang: Janganlah kamu belajar alQur’an sehingga kamu belajar bahasa Arab. Lalu aku temui ‘Abdullāh, dan aku
ceritakan hal itu. Aku berkata padanya: mereka mentertawakanku, dan mereka
berkata: “al-‘Arabiyah” [belajar bahasa Arab]. ‘Abdullah berkata: “Kamu berada di
zaman dimana ketentuan-ketentuan Allah (hudūd) dijaga, dan mereka tidak peduli
untuk menjaga huruf-hurufnya [tulisan al-Qur’an], Nanti akan ada satu kaum


17William A Graham, Islamic Comparative Religious Studies: Selected Wiriting, Ashagate
Contemporary Thinker on Religion: Collected Work, 208. Lihat:William A Graham, Beyon the Written
Word: Oral Aspects of Scripture in the History of Religion (Cambridge: Cambridge University Press, 1987),
79-115. Ada penelitian lain yang menunjukkan bagaimana masyarakat keagamaan tertentu berhubungan
dengan kitab suci mereka, sebagai contoh: Vincent Wimbush dari Institute for Signifying Scriptures. Ia
melakukan penelitian untuk menegaskan akan dinamika kekuatan sosial pada interpretasi kitab suci serta
penggunaannya dalam beribadah (ritual) pada kelompok keagamaan dan komunitas etnis tertentu. Lihat:
Vincent L. Wimbush, “TEXTureS, Gestures, Power: Orientation to Radical Excavation,” dalam V. L.
Wimbush dan Piscataway (eds.), Theorizing Scriptures: New Critical Orientations to a Cultural
Phenomenon (New Jersey: Rutgers University Press, 2008), 1-20.
18 Kitāb Faḍl al-Qur’ān wa Muʻālimih wa adabih, karya Abū ʻUbayd al-Qāsim bin Salām alHarawī (awal abad 3/9), Faḍā’il al-Qur’an karya Ibn Ḍurays (akhir abad ke 3/9); Faḍā’il al-Qur’an karya
al-Nasā’i (akhir abad ke 3/9); Faḍā’il al-Qur’ān wa tilāwatih karya al-Rāzī (pertengahan abad ke 5/11);
Faḍā’il al-Qur’an karya Ibn Kathīr (abad 8/14); Kitāb Faḍā’il al-Qur’ān sebagai bagian dari buku
kumpulan hadit sl-Kāfī. Kitab ini merupakan versi shi’ah mengenai kutamaan al-Qur’an. (abad ke 4/10).
Lihat: Asma Afsaruddin, “ The Excellences of the Qurʾān: Textual Sacrality and the Organization of Early
Islamic Society,” dalam Journal of the American Oriental Society, Vol. 122, No. 1 (Jan. - Mar., 2002), 5-6.
http://www.jstor.org/stable/3087649. diakses pada: 26/05/2011 02:28

5

Draft not tobe cited

setelahmu, di zaman dimana huruf-huruf al-Qur’an dijaga sedangkan ketetapannya
dihilangkan.”19
Riwayat lain disebutkan bahwa Ibrāhīm al-Nakhā’ī mengatakan bahwa seorang
sahabat, al-Mughīrah, menyatakan dia tidak suka atas pemberian diakritik [tanda vokal]
terhadap teks al-Qur’an,atau
khataman al-Qur’an yang dipublikasikan, ataupun
pemberian tanda sepersepuluh ayat (yuʻsar), ataupun penjualan dan pembelian alQur’an.20 Abū alʻĀliyā (w. 90/708-9) tidak menyukai pemberian tanda persepuluh ayat,
memberi dekorasi dan ilmuminasi pada awal dan akhir ayat dengan statement penegasan
“jarridū al-Qur’ān” [bersihkan teks al-Qur’an dari segala hal yang menempel padanya]. 21
Termasuk di dalamnya adalah ketidak sukaan untuk memberi nama ayat, jumlah ayat dan
lainnya.22
Dari paparan di atas, saya melihat dari sisi lain, bahwa ketidak sukaan para ulama
awal atas penyempurnaan ketertulisan al-Qur’an karena hal tersebut bukan merupakan
bagian dari tradisi yang sedari awal mereka sadari bangun. Sedangkan budaya baru akan
terus berkembang mengikuti kebutuhan dari pengguna budaya tersebut pada zamanzaman berikutnya dan menjadi invented tradition.
C. Memilih makna obyektif subyektif dalam memahami kesucian al-Qur’an
Kesucian al-Qur’an dalam bentuk mushaf
bersandar pada Qs.alWaqi’ah/56/79:Innahu fī kitābin Maknūn; Lā yamssuh illā al-muṭahharūn. Dari ayat
inilah para ulama melakukan deduksi bahwa bahwa seseorang harus bersuci terebih
dahulu sebelum menyentuh mushaf al-Qur’an. Para ulama berbeda pendapat dalam posisi
suci tersebut. Mereka yang menyuruh untuk bersuci sebelum menyentuh al-Qur’an
adalah: Ali, Ibn Mas’ud, Saʻad bin Abi Waqas, Saʻīd bin Zayd, ‘Aṭā dan lainnya.
Sedangkan Mereka yang membolehkan untuk menyentuh al-Qur’an tanpa bersuci adalah:
Sekelompok salaf, di antara mereka adalah Ibn ‘Abbas dan Sya’bi. 23 Ibn Kathir pun
mnyepakati bahwa para ulama berkesimpulan untuk pelarangan menyentuh mushaf alQur’an dalam konndisi tidak suci.24
Traves Zadeh menelusuri perdebatan kaum Muslim atas kebolehan menyentuh dan
membawa material yang terdapat teks al-Qur’an di dalamnya. Ia mendapati beberapa
riwayat yangg menyatakan bahwa menyentuh materi yang ada teks al-Qur’an hanya
dibolehkan bagi mereka yang memiliki kesucian. Ahli fikih berbeda pendapat mengenai
kondisi kesucian seseorang, apakah suci dari hadath kecil atau hadath besar.
19 Ibn al-ḍurays, Faḍā'il al-Qur'ān, 26; Lihat Asma Afsaruddin, “ The Excellences ...”, 7; Lihat:
Ibn al-Ḍurays, kitāb Faḍā'il al-Qur'ān dalam Ahmad Luthfi Fathullah, CD interaktif Hadis-hadits
Keutamaan al-Qur’an (Jakarta: Pusat Kajian Hadis-al-Mughni Center, 2009).
20 Ibn al-ḍurays, Faḍā'il al-Qur'an, 42; Abū ʻUbayd, Faḍā'il al-Qur’ān, 394-95. ; Lihat
Asma Afsaruddin, “ The Excellences ...”, 8.
21 Ibn al-Ḍurays, Faḍā'il al-Qur'ān, 42-43; Lihat Asma Afsaruddin, “ The Excellences ...”, 8.
22 Asma Afsaruddin, “ The Excellences ...”, 9.
23 Abū ‘Abdullāh bin Ahmad bin Abi Bakral-Qurṭubī, al-Jāmiʻ al-Aḥkām al-Qur’ān (Riyad: Dār
‘Ālim,2003),
24 Abū al-Fidā’ Ismāʻīl bin ‘Umar bin Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Āẓīm (

6

Draft not tobe cited

Dari sisi sejarah ketidak bolehan ini telah terjadi sejak awal pada masa Muhammad
saw., hidup. Pertama: merujuk pada Kitāb Maghāzi wa al-Mubtadā’ karya Ibn Ishāq (w.
150/767), ia menyatakan bahwa saat Umar (masih Mushrīk), dan ingin memegang teks
al-Qur’an yang ada pada adik perempuannya, Fatimah. ‘Umar diminta untuk
membersihkan dirinya karena dia belum suci. Kedua:merujuk pada Sirāh karya Ibn
Hishām, disebutkan bahwa pada tahun 10/631-2 Nabi menulis surat pada ‘Amr bin Hazm
(w. 50/670). Nabi meminta ‘Amr untuk menyeru kaum Muslim agar menunaikan ajaran
agama dan menjalankan sunna. Untuk memenuhi hal tersebut, ia harus memerintah
dengan benar dan menyuruh kaum muslim mengikuti kebenaran, dengan mengajari
mereka al-Qur’an. Dengan satu catatan : la yamassuḥū illā ṭāhir. Terkait dengan
peristiwa itu Malīk bin Annas berkata bahwa hal itu merupakan takrīm terhadap alQur’an. Sekalipun para mufassir awal tidak mengaitkan Qs. 56/79, dengan kesucian pada
material teks al-Qur’an.25 Dengan demikian penelitian inipun harus, dilacak ulang apa
penyebab utama dari munculnya riwayat tersebut. Apakah takrīm, sebagaimana yang
diucapkan oleh Imām Mālik merupakan bagian dari proses sakralisasi teks dengan
legalisasi ahli fikih, sekalipun ahli tafsir awal berbeda pendapat mengenainya.
Sebenarnya bila merujuk pada kalimat al-Muṭahharūn yang hanya ada satu di
dalam al-Qur’an hal tersebut merujuk pada mala’ikat. Hanya saja bila ditelusuri kalimat
sebelumnya,hal tersebut akan berakibat pada pertanyaan, apakah ada mala’ikat yang tidak
suci. Bentuk ini bisa ditinjau karena sebelumnya ada kata illā sebagai pengecualian,
Disinilah perpaduan antara makna obyektif dan subyektif dari tafsir atas kesucian mushaf
al-Qur’an yang bisa jadi kedua-duanya tidak bisa dipisahkan.
D. Penutup
Kejadian-kejadian yang dianggap melecehkan kesucian al-Qur’an,kemungkinan
bisa terjadi apabila ada kesepahaman dalam melihat kitab suci. Dalam makna bersikap
empati atas keyakinan seseorang. Misalnya, pemerintah membuat satu aturan bagaimana
memperlakukan kitab suci ketika ia telah berada di ruang publik. Perdebatan fikh yang
muncul mungkin hanya akan memberikan dasar pada aturan tersebut. Kasus ini bisa
diperlakukan dalam pola penerbitan dan pencetakan mushaf al-Qur’an, penyimpanan dan
peminjaman mushaf al-Qur’an di perpustakaan-perpustakaan, penjualan dan distribusi alQur’an di pasar dan toko buku. Bila pemerintah mampu mengeluarkan Standar Nasional
Indonesia (SNI), maka pemerintah ataupun Kemenag bisa membuat regulasi dalam
perlakuan atas Kitab Suci sebagai barang yang berada di ruang Publik.
Ilustrasi ini memungkinkan, sekalipun tanpa membawa pemaknaan sakral dalam
setiap kitab Suci. Contoh yang bisa dikemukakan adalah bagaimana seseorang mampu
menjaga foto orang yang dicintainya dalam dompet. Orang tersebut pasti menyayangi
atau menghormati foto tersebut. Sehingga apabila ada orang yang mengambil fotonya dan
25 Travis Zadeh , “Touching and Ingesting: Early Debates over the Material Qur'an” dalam
Journal of the American Oriental Society 129.3 (2009), 443-466.

7

Draft not tobe cited

menginjak-nginjak foto tersebut. Pasti ia marah. Sekalipun tidak ada makna suci dalam
foto tersebut, tidak ada nilai-nilai ketuhanan.
Oleh sebab itulah maka kesimpulan saya Bagaimana menyikapi perdebatan
mufassir mengenai kesucian al-Qur’an adalah dengan menggandengkannya atau
memperkuatnya dengan aturan serta law enforcement. Dari sinilah terlihat bahwa Kitab
Suci (pengkitab sucian) adalah aktivitas manusia, yang terus menerus dan Ia penting
untuk kehidupan manusia baik secara individu transenden teologis atau sosiologis
horizontal. Kesimpulan ini menjadi semakna secara subyektif dengan firman Allah “Innā
Naḥnu nazalnā ẓikrā wa innā lahū laḥafiẓūn.”

8