Sertifikasi Profesi Berbasis Kompetensi. pdf
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
Sertifikat Profesi Berbasis Kompetensi
EKOJI999 Nomor
372, 15 September 2013
oleh Prof. Richardus Eko Indrajit - indrajit@post.harvard.edu
Artikel ini merupakan satu dari 999 bunga rampai pemikiran Prof. Richardus Eko Indrajit di bidang sistem dan
teknologi informasi. Untuk berlangganan, silahkan kirimkan permohonan anda melalui alamat email indrajit@rad.net.id.
Dalam era globalisasi yang ditandai dengan
persaingan ketat dan terbuka ini memaksa setiap
negara untuk mempersiapkan diri sebaik‐baiknya.
Berkaca pada sejumlah fenomena sepuluh tahun
terakhir belakangan ini, terbukti bahwa kunci sukses
dalam bersaing terletak pada kualitas sumber daya
manusia yang dimiliki sebuah negara. Artinya adalah
bahwa negara yang bersangkutan harus memiliki
sebanyak mungkin manusia kompeten yang bekerja
dan berkarya di berbagai bidang sektor industri.
Sumber daya manusia ini haruslah mampu dan
memiliki kuali�ikasi atau kapabilitas untuk
melakukan suatu atau sejumlah pekerjaan secara
baik dan bermutu. Untuk dapat menjadi profesional
seperti ini, individu yang bersangkutan haruslah dibekali dengan pengetahuan, keterampilan,
dan sikap kerja yang memadai.
Berdasarkan aksioma di atas, timbulah pertanyaan mendasar, yaitu: “Bagaimana bisa
diketahui bahwa seorang individu itu kompeten atau tidak?”. Cara yang paling sederhana
adalah lakukan saja sejumlah tes terhadapnya. Kalau semua hal yang diminta dapat dilakukan
sesuai dengan harapan sang pemberi tes, maka dapat diketahui kompeten tidaknya
seseorang. Tapi apakah memang setiap organisasi atau perusahaan memiliki dana, waktu,
keahlian, dan sumber daya lain untuk melakukan uji kompetensi terhadap seluruh calon
karyawan yang akan direkrutnya? Oleh karena itulah kemudian ditempuh cara yang lain,
yaitu dengan meminta yang bersangkutan untuk memperlihatkan dokumen kredentialnya,
yaitu berupa serti�ikat profesi atau serti�ikat kompetensi.
Serti�ikat kompetensi adalah sebuah dokumen legal formal yang dikeluarkan oleh lembaga
yang memiliki otoritas untuk melakukan proses serti�ikasi sebagai sebuah pengakuan bahwa
pemegangnya telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan sejumlah pekerjaan dalam
bidang tertentu dengan baik (sesuai dengan skema atau ruang lingkup serti�ikasinya). Adapun
institusi yang berhak dan diberikan otoritas oleh negara untuk mengeluarkan serti�ikat
kompetensi ini kerap disebut sebagai Lembaga Serti�ikasi Profesi (LSP), yang telah
mendapatkan lisensi untuk melakukan proses serti�ikasi oleh Badan Nasional Serti�ikasi
Profesi (BNSP), yang dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan UU Nomor
13 tahun 2005 mengenai Ketenagakerjaan dan PP Nomor 23 tahun 2006 mengenai Badan
Nasional Serti�ikasi Profesi.
Dalam uji kompetensinya, asesor kompetensi akan melakukan tes terhadap seorang asesi
berdasarkan standar kompetensi kerja yang telah disepakati oleh sektor industri yang
bersangkutan, dan telah disahkan sebagai Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
HALAMAN 1 DARI 2
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
(SKKNI) oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia dalam bentuk
Peraturan Menteri (Permen). Hasilnya hanya dua jenis, bahwa yang bersangkutan
berdasarkan uji kompetensi dinyatakan kompeten atau belum kompeten (tidak kompeten).
SKKNI ini sendiri biasanya disusun, diusulkan, dan disepakati oleh komuntitas industri
melalui asosiasi yang terkait dengannya.
Berbeda dengan ijasah yang diberikan oleh lembaga sebagai tanda tamat belajar pada tingkat
pendidikan tertentu, serti�ikat kompetensi ini memiliki ciri khas sebagai berikut:
Diberikan kepada mereka yang telah lulus uji kompetensi sesuai dengan skema
serti�ikasi yang diujikan, dimana ruang lingkupnya dapat bermacam‐macam sesuai
dengan standar yang dipergunakan.
Standar yang dipakai merupakan standar kompetensi kerja yang berlaku secara
nasional dan telah disepakati serta diakui bersama oleh industri terkait dan disahkan/
diketahui oleh pemerintah Republik Indonesia.
Pengakuan tersebut memiliki batas waktu (misalnya dua atau tiga tahun) tertentu –
tidak berlaku seumur hidup, sehingga yang bersangkutan harus senantiasa aktif
memelihara kompetensinya melalui berbagai cara dan mekanisme yang telah diatur.
Status standar dan skema serti�ikasi yang ada dapat berubah menyesuaikan
perkembangan jaman karena pada dasarnya terjadi perubahan dinamika industri
karena pertumbuhannya.
Lembaga Serti�ikat Profesi yang menyelenggarakan proses serti�ikasi secara berkala
diperbaharui lisensinya setelah lulus surveilans, dan dapat sewaktu‐waktu dicabut
lisensinya apabila tidak beroperasi berdasarkan standar dan peraturan yang berlaku.
Dalam bidang informatika, saat ini paling tidak telah dilisensi dua buah LSP, masing‐masing
adalah LSP Telematika yang berpusat di Jakarta dan LSP TIK yang berkantor di Surabaya. LSP
ini sesuai dengan karakteristiknya merupakan LSP Third Party, karena memiliki kewenangan
untuk melakukan serti�ikasi secara nasional – dalam arti kata menggunakan standar nasional
dan serti�ikatnya diakui secara nasional. Sebagai tambahan, dikenal pula LSP First Party dan
LSP Second Party, yaitu lembaga serti�ikat profesi yang memiliki ruang lingkup serti�ikasi
terbatas pada lingkungan internal organisasi (�irst party) atau bersama dengan mitra
strategisny (second party), dimana standar yang dipergunakan bersifat khusus dan terbatas
pula pemberlakuannya. LSP Telkom merupakan salah satu contoh dari LSP Second Party yang
telah mendapatkan lisensi dari BNSP.
Berkaca pada aturan di atas, dimana posisi serti�ikat internasional atau serti�ikat kompetensi
lainnya? Pada dasarnya, lembaga manapun di Indonesia ini berhak untuk memberikan
serti�ikat kompetensi atau profesi kepada masyarakat. Namun jika yang diharapkan adalah
suatu pengakuan secara nasional (dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan
juga diakui secara internasional dalam konteks bilateral atau mulilateral (melalui skema
Mutual Recognition Arrangement), maka lembaga tersebut harus memiliki lisensi dari BNSP
sebagai institusi dengan otoritas tertinggi dan satu‐satunya di republik ini.
‐‐‐ akhir dokumen ‐‐‐
HALAMAN 2 DARI 2
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
Sertifikat Profesi Berbasis Kompetensi
EKOJI999 Nomor
372, 15 September 2013
oleh Prof. Richardus Eko Indrajit - indrajit@post.harvard.edu
Artikel ini merupakan satu dari 999 bunga rampai pemikiran Prof. Richardus Eko Indrajit di bidang sistem dan
teknologi informasi. Untuk berlangganan, silahkan kirimkan permohonan anda melalui alamat email indrajit@rad.net.id.
Dalam era globalisasi yang ditandai dengan
persaingan ketat dan terbuka ini memaksa setiap
negara untuk mempersiapkan diri sebaik‐baiknya.
Berkaca pada sejumlah fenomena sepuluh tahun
terakhir belakangan ini, terbukti bahwa kunci sukses
dalam bersaing terletak pada kualitas sumber daya
manusia yang dimiliki sebuah negara. Artinya adalah
bahwa negara yang bersangkutan harus memiliki
sebanyak mungkin manusia kompeten yang bekerja
dan berkarya di berbagai bidang sektor industri.
Sumber daya manusia ini haruslah mampu dan
memiliki kuali�ikasi atau kapabilitas untuk
melakukan suatu atau sejumlah pekerjaan secara
baik dan bermutu. Untuk dapat menjadi profesional
seperti ini, individu yang bersangkutan haruslah dibekali dengan pengetahuan, keterampilan,
dan sikap kerja yang memadai.
Berdasarkan aksioma di atas, timbulah pertanyaan mendasar, yaitu: “Bagaimana bisa
diketahui bahwa seorang individu itu kompeten atau tidak?”. Cara yang paling sederhana
adalah lakukan saja sejumlah tes terhadapnya. Kalau semua hal yang diminta dapat dilakukan
sesuai dengan harapan sang pemberi tes, maka dapat diketahui kompeten tidaknya
seseorang. Tapi apakah memang setiap organisasi atau perusahaan memiliki dana, waktu,
keahlian, dan sumber daya lain untuk melakukan uji kompetensi terhadap seluruh calon
karyawan yang akan direkrutnya? Oleh karena itulah kemudian ditempuh cara yang lain,
yaitu dengan meminta yang bersangkutan untuk memperlihatkan dokumen kredentialnya,
yaitu berupa serti�ikat profesi atau serti�ikat kompetensi.
Serti�ikat kompetensi adalah sebuah dokumen legal formal yang dikeluarkan oleh lembaga
yang memiliki otoritas untuk melakukan proses serti�ikasi sebagai sebuah pengakuan bahwa
pemegangnya telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan sejumlah pekerjaan dalam
bidang tertentu dengan baik (sesuai dengan skema atau ruang lingkup serti�ikasinya). Adapun
institusi yang berhak dan diberikan otoritas oleh negara untuk mengeluarkan serti�ikat
kompetensi ini kerap disebut sebagai Lembaga Serti�ikasi Profesi (LSP), yang telah
mendapatkan lisensi untuk melakukan proses serti�ikasi oleh Badan Nasional Serti�ikasi
Profesi (BNSP), yang dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan UU Nomor
13 tahun 2005 mengenai Ketenagakerjaan dan PP Nomor 23 tahun 2006 mengenai Badan
Nasional Serti�ikasi Profesi.
Dalam uji kompetensinya, asesor kompetensi akan melakukan tes terhadap seorang asesi
berdasarkan standar kompetensi kerja yang telah disepakati oleh sektor industri yang
bersangkutan, dan telah disahkan sebagai Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
HALAMAN 1 DARI 2
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
(SKKNI) oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia dalam bentuk
Peraturan Menteri (Permen). Hasilnya hanya dua jenis, bahwa yang bersangkutan
berdasarkan uji kompetensi dinyatakan kompeten atau belum kompeten (tidak kompeten).
SKKNI ini sendiri biasanya disusun, diusulkan, dan disepakati oleh komuntitas industri
melalui asosiasi yang terkait dengannya.
Berbeda dengan ijasah yang diberikan oleh lembaga sebagai tanda tamat belajar pada tingkat
pendidikan tertentu, serti�ikat kompetensi ini memiliki ciri khas sebagai berikut:
Diberikan kepada mereka yang telah lulus uji kompetensi sesuai dengan skema
serti�ikasi yang diujikan, dimana ruang lingkupnya dapat bermacam‐macam sesuai
dengan standar yang dipergunakan.
Standar yang dipakai merupakan standar kompetensi kerja yang berlaku secara
nasional dan telah disepakati serta diakui bersama oleh industri terkait dan disahkan/
diketahui oleh pemerintah Republik Indonesia.
Pengakuan tersebut memiliki batas waktu (misalnya dua atau tiga tahun) tertentu –
tidak berlaku seumur hidup, sehingga yang bersangkutan harus senantiasa aktif
memelihara kompetensinya melalui berbagai cara dan mekanisme yang telah diatur.
Status standar dan skema serti�ikasi yang ada dapat berubah menyesuaikan
perkembangan jaman karena pada dasarnya terjadi perubahan dinamika industri
karena pertumbuhannya.
Lembaga Serti�ikat Profesi yang menyelenggarakan proses serti�ikasi secara berkala
diperbaharui lisensinya setelah lulus surveilans, dan dapat sewaktu‐waktu dicabut
lisensinya apabila tidak beroperasi berdasarkan standar dan peraturan yang berlaku.
Dalam bidang informatika, saat ini paling tidak telah dilisensi dua buah LSP, masing‐masing
adalah LSP Telematika yang berpusat di Jakarta dan LSP TIK yang berkantor di Surabaya. LSP
ini sesuai dengan karakteristiknya merupakan LSP Third Party, karena memiliki kewenangan
untuk melakukan serti�ikasi secara nasional – dalam arti kata menggunakan standar nasional
dan serti�ikatnya diakui secara nasional. Sebagai tambahan, dikenal pula LSP First Party dan
LSP Second Party, yaitu lembaga serti�ikat profesi yang memiliki ruang lingkup serti�ikasi
terbatas pada lingkungan internal organisasi (�irst party) atau bersama dengan mitra
strategisny (second party), dimana standar yang dipergunakan bersifat khusus dan terbatas
pula pemberlakuannya. LSP Telkom merupakan salah satu contoh dari LSP Second Party yang
telah mendapatkan lisensi dari BNSP.
Berkaca pada aturan di atas, dimana posisi serti�ikat internasional atau serti�ikat kompetensi
lainnya? Pada dasarnya, lembaga manapun di Indonesia ini berhak untuk memberikan
serti�ikat kompetensi atau profesi kepada masyarakat. Namun jika yang diharapkan adalah
suatu pengakuan secara nasional (dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan
juga diakui secara internasional dalam konteks bilateral atau mulilateral (melalui skema
Mutual Recognition Arrangement), maka lembaga tersebut harus memiliki lisensi dari BNSP
sebagai institusi dengan otoritas tertinggi dan satu‐satunya di republik ini.
‐‐‐ akhir dokumen ‐‐‐
HALAMAN 2 DARI 2
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013