I Gede Mudanaa , I Ketut Sutamab , dan Cokorda Istri Sri WidhariC

  

Mendaki Gunung yang Disucikan:

Perspektif Pariwisata, Lingkungan, dan Kebudayaan

a* b C

  

I Gede Mudana , I Ketut Sutama , dan Cokorda Istri Sri Widhari

a

  

Politeknik Negeri Bali, Denpasar, Indonesia

  

Abstrak

Persoalan pendakian gunung suci dalam perspektif pariwisata, lingkungan, dan

kebudayaan. Karenanya bidang ini sangat dekat dengan kajian pariwisata (tourism

studies), kajian lingkungan (environment studies), dan kajian budaya (cultural studies).

Aspek kesucian suatu gunung dalam tema ini dimaksudkan untuk menjaga aspek

kebudayaan dari persoalan yang dibahas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah deskriptif kualitatif melalui analisis data yang dikumpulkan melalui observasi,

dokumentasi dan wawancana. Penelitian ini menemukan bahwa pendakian Gunung Agung

yang dianggap suci di Bali setidaknya dapat dilihat dari berbagai perspektif, yakni dari

bisnis kewirausahaan pariwisata, dari perspektif lingkungan karena mendaki adalah

pariwisata gunung (trekking/climbing), dan dari perspektif kebudayaan di mana Gunung

Agung dipercaya oleh masyarakat sebagai gunung suci. Dengan demikian, kegiatan

tersebut bisa dilihat sebagai kajian pariwisata (tourism studies), kajian lingkungan

(environment studies), dan kajian budaya (cultural studies). Penelitian tentang persoalan

pendakian gunung yang dapat dikaji dengan pendekatan multi-, inter-, dan transdisipliner,

diharapkan mampu menjadi solusi di dalam memahami hal yang sifatnya religius magis.

  Kata Kunci : Pendakian, Gunung, Multiperspektif PENDAHULUAN

  Saat ini pariwisata (tourism) jenis yang terdapat di negara tujuan merupakan sebuah bisnis yang wisatawan. sangat kompleks seiring peradaban Salah satu bentuk pariwisata, manusia yang semakin kompleks. Ia yang saat ini mulai mendapatkan merupakan industri terbesar di dunia perhatian luas adalah pariwisata dan merupakan industri yang secara mendaki gunung (trekking/climbing umum bergerak dalam bidang jasa. tourism). Pariwisata mendaki gunung Kegiatan pariwisata secara global mencakup kegiatan wisata yang setidaknya mencakup negara asal dilakukan untuk menikmati wisatawan (tourist generating keindahan gunung dan

  

countries) dan daerah tujuan lingkungannya. Karenanya,

  wisatawan (tourist receiving countries pariwisata jenis ini terkait dengan atau destination). Dalam hal ini, yang pariwisata alam (nature tourism), dimaksud pariwisata terkait dengan pariwisata pedesaan (rural tourism),

  Mudana,Sutama,Widhari-Mendaki Gunung Yang Disucikan Perspektif......

  pariwisata alternatif (alternative tourism), dan sebagainya.

  Pariwisata mendaki gunung secara umum sangat dekat dengan aspek-aspek lingkungan (environment). Pariwisata jenis ini merupakan industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik-buruknya lingkungan. Ia sangat peka terhadap kerusakan lingkungan. Tanpa lingkungan yang baik tidak mungkin pariwisata seperti itu berkembang. Karena itu pengembangan pariwisata mendaki gunung haruslah memerhatikan terjaganya mutu lingkungan.

  Sebagaimana judul yang digunakan, paper ini membahas tentang persoalan pendakian gunung suci dalam perspektif pariwisata, lingkungan, dan kebudayaan. Karenanya bidang ini sangat dekat dengan kajian pariwisata (tourism

  studies), kajian lingkungan

  (environment studies), dan kajian budaya (cultural studies). Aspek kesucian suatu gunung dalam tema ini dimaksudkan untuk menjaga aspek kebudayaan dari persoalan yang dibahas. Untuk itu, gunung yang menjadi pokok persoalan adalah gunung yang dianggap suci atau disucikan oleh masyarakat sekitarnya, yaitu Gunung Agung di

  Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali.

  PEMBAHASAN

  Pariwisata, lingkungan, dan kebudayaan adalah tiga perspektif berbeda yang relevan dikenakan pada persoalan pendakian gunung suci. Perspektif-perspektif tersebut menarik dibahas baik dari masing-masing perspektif maupun sebagai satu- kesatuan persoalan. Pertama, karena ia merupakan bentuk bisnis kepariwisataan karena menjadi arena penjualan jasa pengantaran pendakian ke wisatawan pendaki.

  Kedua, sebagai trekking/climbing tourism, karena ia berbasik

  lingkungan gunung. Ketiga, karena gunung yang dimaksud bukan “gunung biasa” melainkan gunung tertentu yang dipercayai sebagai gunung suci. Dalam hal ini adalah Gunung Agung di Bali.

  Perspektif Pariwisata

  Ilmu pariwisata setidaknya mengenal dua daya tarik wisata, yaitu daya tarik wisata alam dan daya tarik wisata budaya. Dalam hal ini, secara substansial, pariwisata gunung (mountain tourism) atau

  trekking/climbing tourism terkait

  dengan daya tarik yang disebut pertama.

  Gunung adalah bagian dari alam ciptaan Tuhan yang belakangan disadari memiliki keindahan yang tidak kalah dibandingkan pariwisata pantai yang selama ini menjadi aktivitas mainstream pariwisata. Ia kemudian menjadi salah satu daya tarik wisata (tourist attraction) penting daerah tujuan wisata. Tak terkecuali di Bali, salah satu gunung di Bali, yaitu Gunung Agung yang memiliki ketinggian 3.142 meter dari permukaan laut, merupakan gunung tertinggi di daerah tujuan wisata Bali.

  Gunung Agung termasuk gunung vulkanik tipe monoconic strato dan dalam sejarahnya telah beberapa kali meletus. Sejak 1800-an, ia telah beberapa kali meletus, yaitu 1808, 1821, 1843, dan 1963. Pascaletusan

  terakhir (1963), tidak sedikit petualang dan/atau wisatawan internasional dan domestik, mendakinya. Pada awalnya, mereka yang mendaki gunung yang relatif sulit didaki ini umumnya tidak menggunakan pemandu, sehingga di antara mereka sering ada yang hilang, tersesat, mengalami kecelakaan, dan bahkan meninggal. Sejak tahun 1990- an, ketika jumlah wisatawan pendaki internasional dan domestik terus bertambah, mulai ada kesadaran di kalangan anggota masyarakat di Desa Selat yang merupakan ibukota Kecamatan Selat dan di Desa Sebudi, khususnya Dusun Sogra yang merupakan lingkungan berdirinya

  Pura Pasar Agung tempat starting point pendakian dimulai, yang berinisiatif menyediakan jasa memandu pendakian Gunung Agung.

  Kini, terkait dengan pendakian Gunung Agung, terdapat beberapa titik pendakian di Bali, yakni di Kabupaten Karangasem, yang teridentifikasi sebagai bagian dari bisnis atau produk pariwisata. Dibandingkan dengan Desa Besakih (Kecamatan Rendang), Desa Budakeling (Kecamatan Bebandem) atau Desa Kubu (Kabupaten Kubu), starting poing di Desa Selat melalui Dusun Sogra dan Pura Pasar Agung di Desa Sebudi (Kecamatan Selat) dikenal merupakan jalur yang paling populer dan paling banyak diminati wisatawan pendaki. Jalur ini sering disebut Jalur Selatan karena berada di wilayah selatan gunung.

  Menurut I Wayan Widiasa yang merupakan Ketua Kelompok Sadar Wisata Pendaki Gunung Agung Sebudi, di Dusun Sogra, mulai 12 Februari 2017 sampai 03 Agustus 2017, tercatat 4.459 wisatawan pendaki di mana mayoritas adalah wisatawan mancanegara. Angka tersebut menunjukkan rata-rata 630 orang per bulannya atau kira-kira 20 orang per harinya. Hanya dari jumlah tersebut, tentu ada beberapa yang tidak sampai ke puncak gunung.

  Mudana,Sutama,Widhari-Mendaki Gunung Yang Disucikan Perspektif......

  Perspektif Lingkungan

  Kegiatan mendaki gunung, termasuk gunung yang disucikan seperti Gunung Agung, juga merupakan bagian integral pariwisata berkelanjutan (sustained/sustainable

  tourism) atau green tourism

  (pariwisata hijau). Pariwisata berkelanjutan adalah praktik pengembangan berbagai bisnis pariwisata yang menjaga keseimbangan-keseimbangan berupa (1) keberlanjutan ekologis, (2) keberlanjutan ekonomis, dan (3) keberlanjutan sosial. Keseimbangan ketiganya secara global sering disebut

  3P (planet-profit-people) dalam pariwisata. Planet adalah keseimbangan ekologi; profit adalah keseimbangan ekonomi; people adalah keseimbangan sosial-budaya.

  Secara lebih terinci, aspek dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah: (1) Aspek Lingkungan: Memanfaatkan secara optimal sumber daya lingkungan yang merupakan elemen kunci dalam pengembangan pariwisata, memertahankan proses ekologi dan turut andil dalam melestarikan warisan alam dan keanekaragaman hayati di suatu destinasi wisata. (2). Aspek Ekonomi: Memastikan kegiatan ekonomi jangka panjang yang layak, memberikan manfaat sosial ekonomi kepada semua stakeholder dengan adil, seperti pekerjaan tetap, kesempatan mendapatkan penghasilan (membuka usaha) dan pelayanan sosial kepada masyarakat lokal, serta membantu mengurangi kemiskinan. (3) Aspek Sosial-Budaya: Menghormati keaslian sosial budaya masyarakat setempat, melestarikan nilai-nilai warisan budaya dan adat yang dibangun, dan berkontribusi untuk meningkatkan rasa toleransi serta pemahaman antar-budaya.

  Tujuan pengembangan pariwisata berkelanjutan adalah untuk membawa pengalaman positif bagi para stakeholder, yaitu masyarakat setempat, perusahaan (/industri) pariwisata, dan wisatawan sendiri. Untuk menjamin keberlanjutan jangka panjang, maka keseimbangan antartiga dimensi tersebut harus dibangun dengan baik. Pariwisata berkelanjutan juga harus menjaga tingkat kepuasan dan memastikan pengalaman yang berarti untuk para wisatawan, meningkatkan kesadaran mereka tentang isu-isu keberlanjutan dan mengajak wisatawan untuk turut serta mempromosikan praktik pengelolaan lingkungan yang baik di sekitar mereka.

  Pencapaian pariwisata berkelanjutan merupakan proses yang berkesinambungan dan membutuhkan pemantauan yang konstan, inovasi mengenai langkah- langkah pencegahan dan perbaikan yang diperlukan terhadap dampak dari kegiatan pariwisata juga harus terus dilakukan. Praktik manajemen dan pedoman pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat diaplikasikan ke semua bentuk aktivitas pariwisata di semua jenis destinasi wisata, termasuk pariwisata massal dan berbagai jenis kegiatan pariwisata lainnya.

  Apa yang terjadi dalam kegiatan pendakian Gunung Agung adalah penjabaran pariwisata berkelanjutan tersebut. Pertama, mendaki Gunung Agung tidak boleh mengorbankan lingkungan gunung itu sendiri. Ekologi gunung harus dijaga. Pada umumnya, mereka yang mendaki adalah mereka yang menyukai alam dan pegunungan.

  Kedua, dalam pendakian tersebut,

  semua stakeholder memeroleh bagian keuntungan ekonominya sendiri, katakanlah industri pariwisata yang melayani wisatawan pendaki, anggota masyarakat yang menangani wisatawan pendaki mendaki gunung, dan pemerintah. Ketiga, karena Gunung Agung dianggap sakral, mendakinya adalah menghormati sistem budaya dan kepercayaan yang berlaku. Misalnya, wisatawan pendaki tidak boleh bertindak sombong dan berkata kasar sepanjang perjalanan, harus mematuhi segala aturan yang ada, harus menjaga kesucian dan kesakralan gunung. Penjelasan lebih rinci mengenai hal ini dijelaskan di bagian perspektif kebudayaan berikut.

  Perspektif Kebudayaan

  Gunung menempati posisi dan peran penting dalam berbagai agama. Ada agama-agama yang percaya bahwa gunung adalah tempat disampaikan atau diungkapkannya ajaran agama, atau tempat turunnya guru atau pendiri agama mereka dari sorga. Agama-agama lain menganggap gunung sebagai simbol pendakian spiritual. Oleh karena itu para penganut agama menjadikan gunung sebagai tempat suci dan sebagai tujuan dharma yatra (ziarah). Gunung Kaliasa (Kailash) di India dipandang sebagai tempat suci oleh empat agama, yaitu Hindu, Buddha, Jain, dan Bon. Di Indonesia, dikenal juga beberapa gunung yang dianggap sebagai tempat suci, seperti Gunung Agung, Gunung Batur, Gunung Batukaru, Gunung Semeru, Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan Gunung Salak. Status sebagai tempat suci membuat gunung terlindungi dan terpelihara dari perusakan dan pencemaran. Oleh karena itu, gunung suci juga terjamin sebagai sumber air yang sangat penting bagi pertanian khususnya dan kehidupan umumnya

  Mudana,Sutama,Widhari-Mendaki Gunung Yang Disucikan Perspektif......

  (Media Hindu, Edisi 159, Mei 2017, hal. 1).

  Dalam penelitiannya di Bali, Stuart-Fox (2010) menyatakan, mitos tentang asal usul Gunung Agung sering dikaitkan dengan Hinduisasi yang menghubungkan bagaimana gunung tersebut dibawa dari India ke Pulau Jawa dan Bali. Puncak gunung dianggap sebagai kawasan suci dan merupakan tempat berbersemayam para penjaga kehidupan, bumi, dan roh para leluhur yang telah menganugrahkan kemakmuran bagi umat manusia, atau mengambil kembali dengan kemurkaannya membawa kematian dan kehancuran bagi dunia. Mitos Gunung Agung dipercaya merupakan pecahan dari Gunung Mahameru, dan dalam metafora genekologis ini dewa dari Gunung Agung merupakan putra dari dewa Gunung Mahameru, yakni Dewa Pasupati. Salah satu nama dewa Gunung Agung, Putrajaya (atau Putranjaya) secara jelas mengungkapkan hubungan anak ini, sementara namanya yang lain Mahadewa, adalah salah satu julukan bagi Siwa, menunjukkan statusnya yang paling tinggi dalam Hinduisme di Bali.

  Gunung Agung merupakan gunung tertinggi di Bali. Gunung Agung mendapatkan posisi yang sangat spesial dalam masyarakat

  Hindu, khususnya di Bali. Di tengah gunung yang disucikan ini terdapat Pura Pasar Agung dan di kakinya berdiri Pura Besakih sebagai pura terbesar di Bali. Bahkan di puncak Gunung Agung, yakni di kawasan kawahnya, bahkan ada semacam tempat yang disucikan bernama Puser Tasik yang merupakan tempat

  mulang pakelem (upacara melarung

  sesajian). Puser tasik (puser = pusat,

  tasik = garam) dapat dimaknai secara

  harfiah sebagai “pusat garam” karena ada kepercayaan bahwa lobang kepundan Gunung Agung tembus dengan laut (tempat garam) sesuai paradigma segara-gunung (segara= laut, gunung = gunung) dalam sistem budaya masyarakat Bali.

  Pura Besakih yang terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, ini dikategorikan sebagai Sad Kahyangan, jadi ia adalah salah satu dari enam pura utama yang ada. Lima lainnya adalah Pura Lempuyang di Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem; Pura Uluwatu di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung; Pura Goa Lawah, Kabupaten Klungkung; Pura Batukaru, Kabupaten Tabanan; Pura Pusering Jagat (Pura Puser Tasik), Desa Pejeng, Keacamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar.

  Tim Redaksi Bali Post (2010: 5) menulis Peletakan batu pertama Pura Besakih, dilakukan oleh seorang tokoh spiritual India yang lama hidup di Jawa, yaitu Markandeya. Ada yang menambahkan namanya dengan Resi di depannya. Ada juga yang menjulukinya Bhatara Giri Rawang.

  Dari penjelasan di atas, mendaki Gunung Agung bukan perkara main-main. Banyak aspek budaya dan kepercayaan yang harus dipatuhi bila ingin sukses dan selamat dalam pendakian. Itulah sebabnya mengapa setiap pendakian Gunung Agung disarankan harus disertai pemandu (guide) lokal. Di samping tingkat kesulitan pendakiannya tinggi, terdapat banyak mitos, tabu, dan penggalan-penggalan cerita pengalaman pendakian yang harus diikuti dan ditaati sebagai panduan. Tentu ini boleh dipercaya atau tidak, tergantung pribadi masing-masing. Kenyataannya, ketika pendakian dilakukan tanpa layanan pemandu sebagaimana terjadi sebelum 1990-an pasca terjadinya letusan besar pada tahun 1963, banyak wisatawan pendaki yang tersesat, hilang, mengalami kecelakaan hingga meninggal. Seorang pemandu pelopor dari Desa Selat bernama Anak Agung Ngurah Wibawa (43 tahun) yang akrab dipanggil Gung Bawa mengatakan kepada penulis, mendaki Gunung Agung tidak sekadar menikmati keindahan gunung dan sunrise, tetapi lebih dari itu, mengalami spiritualitas.

  Tidak semua hari di mana wisatawan pendaki boleh mendaki. Yang pertama adalah karena keadaan alam, yaitu musim. Musim mendaki Gunung Agung biasanya dari April sampai Oktober. Ini murni persaoalan alamiah dan duniawi. Yang kedua adalah pada saat ada upacara keagamaan baik di Pura Pasar Agung maupun di puncak (kawah) Gunung Agung sendiri. Pada saat diadakan upacara di Pura Pasar Agung atau di puncak Gunung Agung, selama beberapa hari atau minggu, pendakian tidak boleh dilakukan. Kegiatan mendaki dianggap membuat

  leteh (kotor). Melanggar semua

  ketentuan tersebut dipercaya mengandung risiko tertentu dalam pendakian.

  PENUTUP

  Mendaki Gunung Agung yang dianggap suci di Bali setidaknya dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ia bisa dari perspektif pariwisata itu sendiri, yakni dari bisnis kewirausahaan pariwisata, dari perspektif lingkungan karena mendaki adalah pariwisata gunung (trekking/climbing), dan dari perspektif kebudayaan di mana Gunung Agung dipercaya oleh masyarakat sebagai gunung suci.

  Mudana,Sutama,Widhari-Mendaki Gunung Yang Disucikan Perspektif......

  Dengan demikian, kegiatan tersebut bagi kegiatan wisatawan pendaki dan bisa dilihat sebagai kajian pariwisata pemandunya agar pendakian bisa (tourism studies), kajian lingkungan berjalan lancar dan memberikan (environment studies), dan kajian kebermanfaatan semua pihak yang budaya (cultural studies). Bahkan terlibat. lebih bagus kalau studi tentang itu dilakukan secara multi-, inter-, dan DAFTAR PUSTAKA transdisipliner mengingat begitu

  Media Hindu. 2017. ”Gunung Suci kompleksnya pemahaman dan dalam Agama- agama”, Media pemaknaan tentang gunung dalam Hindu, Edisi 159, Mei 2017, masyarakat, khususnya di Bali. hal. 1.

  Dalam konteks pengembangan Mudana, I Gede, I Ketut Sutama, dan kepariwisataan, untuk hasil dan Cokorda Istri Sri Widhari. 2017. manfaat yang lebih baik, terkait

  “Pengembangan Model dengan pendakian Gunung Agung, Kewirausahaan Memandu sudah dilakukan penelitian tentang

  Wisata Mendaki Gunung”, penelitian DRPM Dikti. “Pengembangan Model Kewirausahaan Memandu Wisata Perlas, Nicanor. 2000. Shapping

  Globalization: Civil Society,

  Mendaki Gunung” (Mudana, et al, 2017) yang di dalamnya terdapat Cultural Power and Threefolding. model pengembangan tersendiri yang New York: CADI and Global pantas diacu dalam pengembangan Network for Social Threefolding. tersebut. Hal ini mengingat semua

  Stuart-Fox, David J. 2010. Pura aspek ekonomi-pariwisata,

  Besakih: Pura, Agama, dan

  lingkungan alam (ekologi), dan

  Masyarakat Bali. Jakarta:

  kebudayaan (sistem kepercayaan Pustaka Larasan. dalam masyarakat) sudah Tim Redaksi Bali Post. 2010. dipertimbangkan secara saksama

  Mengenal Pura, Sad Kahyangan

  dengan melibatkan ketiga pilar

  dan Kahyangan Jagat, cetakan

  (threefolding) politik-ekonomi-budaya ketiga. Denpasar: PT Offset BP atau negara-pengusaha-masyarakat

  Denpasar/Pustaka Bali Post sebagaimana dianjurkan oleh Perlas (2000). Bahkan dalam penelitian Mudana, et al, (2017) tersebut, dibuat sebuah standard operating procedure (SOP) yang sangat layak menjadi SOP