SISTEM POLITIK INDONESIA SISTEM POLITIK INDONESIA

SISTEM POLITIK INDONESIA
Resume Buku

SISTEM POLITIK INDONESIA
KESTABILAN, PETA KEKUATAN POLITIK DAN PEMBANGUNAN
Karya: ARBI SANIT

ANASTASIA YUFIA
1701121716

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
2017/2018

BAB I
Kestabilan Politik dan Peta Politik
Kestabilan Politik
Tidak kurang dari 25 kabinet yang memerintah di indonesia selama indonesia
merdeka. Dari jumlah tersebut hanya 7 kabinet yang berhasil memerintah selama 12sampai
23 bulan. Lalu terdapat 12 kabinet yang berumur sampai 11 bulan. Dan 6 buah kabinet yang

hanya bisa bertahan diantara 1 sampai 4 bulan. Demikian salah satu gambaran ketidak
stabilan politik indonesia, yakni dari kesepakatan yang tersedia bagi setiap pemerintah
(kabinet)

untuk

menyelesaikan

persolan-persolan

yang

dihadapinya

Gambaran

ketidakstabilan politik Indonesia terlihat dari masa pemerintahankabinet-kabinet di masa
Demokrasi Konstitusional yang paling lama sampai 23 bulan. Darisingkatnya waktu tersebut,
setiap kabinet kurang kesempatan untuk menyelesaikan persoalan- persoalan yang
dihadapinya. Kalau ketidakstabilan terdahulu bersumber dari kelemahan elit untuk bekerja

sama satusama lain, maka terakhir ini bersumber dari belum melembaganya struktur dan
prosedur politik yang mampu memberi tempat bagi masyarakat untuk ambil bagian dalam
proses politik. Secara teoritis, stabilitas politik ditentukan oleh 3 variabel, yakni
perkembangan ekonomiyang memadai, perkembangan perlembagaan baik struktur maupun
proses politik, dan partisipasi politik.Dalam hal hubungan antara perkembangan ekonomi
dengan demokrasi, negarawan dan penelitian politik Barat menyimpulkan bahwa masalah
politik yang penting bersumber dari perkembangan industri yang cepat. Dengan
perkembangan industri tersebut memperbesar jumlah buruh tidak ahli dari desa, tapi tidak
mampu menjadi ahli sesuai kecepatan perkembangan industri. Akibatnya, pengangguran
menjadi masalah politik yang harus segera diselesaikan. Bagi Indonesia yang banyak
penduduknya hidup dalam sektor pertanian, ada usaha untuk meningkatkan hasil pertanian
guna mendampingi perkembangan industri, dengan harapan agar sektor pertanian menyerap
banyak tenaga kerja. Namun, ada persoalan pokok untuk menyeimbangkan antar daya serap
tenaga kerja semua sektor ekonomi dengan persediaan tenaga kerja di masyarakat.
Kecenderungan ini menyebabkan tumbuhnya potensi radikal petani pedesaan dan kalangan
bawah masyarakat kota, karena ketidakpuasan serta perasaan tidak aman tentang kehidupan
yang baik. Masyarakat tersebut lebih mudah tergoda untuk melakukan tindakan-tindakan
kekerasan. Sebagai bukti terlihat dari dengan mudahnya PKI menggerakkan massa petani
untuk melakukan aksi sepihak pada awal tahun 1960-an, karena ketidak puasan di kalangan
petani menyebabkan mereka lebih mudah tertarik pada taktik perjuangan PKI. Di samping


semua itu, pada situasi di mana perkembangan ekonomi yang tidak diimbangi partisipasi
masyarakat secara politik, sulit juga diharapkan terpeliharanya kestabilan politik. Kestabilan
politik dalam suasana partisipasi politik yang tinggi sekiranya diimbangi perkembangan
pelembagaan politik. Maksudnya, masyarakat ingin ikut ambil bagian dalam proses politik
melalui lembaga-lembaga politik sesuai kekuatan politik di masyarakat. Partisipasi yang tidak
tersalurkan akan goncangan-goncangan terhadap kestabilan politik. Tanpa menghubungkan
dengan pembangunan, kestabilan politik dapat juga dipelihara dengan mempertahankan
tingkat pelembagaan politik yang rendah; asal diimbangi partisipasi politik yang rendah
pula.Dalam penelaahan mengenai kestabilan politik Indonesia sejak merdeka, dapat
dibedakan antara kestabilan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Kestabilan politik
jangka pendek lebih banyak ditentukan oleh kewibawaan pemerintah. Silih bergantinya
pemerintahan masa Demorasi Konstitusional dalam waktu singkat sehingga kesempatan
untuk melaksanakan programnya sulit menurunkan kepercayaan masyarakat. Penurunan
kepercayaan tersebut mempengaruhi kestabilan politik. Selain itu, kepercayaan massa
terhadap kepemimpinan kharismatik Soekarno di masa Demokrasi Terpimpin banyak juga
berpengaruh terhadap kestabilan politik jangka pendek. Semakin lamanya Soekarno
memerintah didorong juga masalah-masalah nasional yang tak terselesaikan, maka sentakan
ketidakstabilan politik makin dirasakan. Dengan demikian, dalam jangka pendek ketidak
stabilan politik di Indonesia lebih banyak tergantung pada faktor seni dan keahlian berpolitik

dan memerintah. Kewibawaan pemerintah, kemampuan berkompromi, dan kemampuan
memimpin birokrasi tampaknya lebih berperan bagi stabilitas dalam jarak 1 atau 2 masa
pemilu.Stabilitas politik jangka panjang ditentukan oleh 3 faktor, yaitu perkembangan
ekonomi, pelembagaan struktur dan proses politik, dan partisipasi politik. Dalam pergantian
sistem politik Demokrasi Konstitusional ke Demokrasi terpimpin pelembagaan politik lemah.
Lalu tercetus ketidak puasaan terhadap Demokrasi Terpimpin karena kemerosotan ekonomi
dan makin banyak kekuatan politik yang tidak memperoleh peran. Beberapa fenomena
tersebut terjadi dalam waktu yang singkat, namun dampaknya berlaku sampai beberapa tahun
berikutnya dalam perkembangan politik di negeri ini
Peta Kekuatan Politik
Sebagai kekuatan politik yamng berfungsi umtuk merealisasikan Demokrasi
Pancasila, ABRI perlu memenuhi persyaratan pokok, yakni penerimaan dan kepercayaan dari
masyarakat. Secara formal persyaratantersebut tersedia didalam UUD 45 dan Ketetapanketetapan MPR. Begitu pula sejarah politik indonesia sejak merdeka memperlihatkan

banyaknya keterlibatan ABRI di dalam masalah-masalah politik. Beberapa golongan
kekuatan politik yang ada di Indonesia, yakni ABRI, Partai Politik, Golongan Karya, dan
kekuatan politik anomi seperti mahasiswa dan pemuda. Memang dalam realitasnya
penggolongan itu tidak sesederhana seperti yang tersebut. Di antara golongan-golongan itu
terdapat perbedaan, namun dalam menghadapi berbagai masalah ada jalur penghubung di
antara mereka. Secara keseluruhan kekuatan-kekuatan politik masa Orde Baru dapat

dikategorikan dalam golongan radikal, konservatif, dan moderat. Golongan radikal melarang
kesempatan berkolaborasi dengan rezim Orde Lama. Golongan ini menghendaki bersihnya
kehidupan politik Orde Baru dari pengaruh Orde Lama dan mereka lebih condong ke Barat
dalam mengatur kehidupan politik dan ekonomi. Golongan konservatif yang lebih cenderung
pada politik sipil juga menghendaki pembersihan terhadap sisa-sisa pengaruh Orde Lama.
Tidak seperti golongan radikal, golongan ini menghendaki pembangunan ekonomi yang
benar-benar didasarkan pada modal dalam negeridan mereka juga menghendaki pengambilan
keputusan dengan musyawarah dan mufakat. Golongan moderat mengambil jalan tengah
dengan mempertimbangkan antara tuntutan kedua golongan tadi.

Penggolongan Kekuatan-kekuatan Politik
Didalam kehidupan politik kelompok-kelompok yang bermain tidaklah terkotak
sejelas dan sesederhana itu. Artinya sungguhpun diantara kekuatan-kekuatan politik diatas
terdapat perbedaan kemampuan dan peranan, didalam menghadapi berbagai masalah-masalah
terdapat semacam jalur penghubung diantara kekuatan-kekuatan politik tersebut. Dengan
demikian golongan-golongan yang bermain didalam mencari penyelesaian persoalanpersoalan yang di hadapi oleh sistem politik tidak lagi didasarkan pada militer dan non
militer, partai dan bukan partai. Akan tetapi secara keseluruhan kekuatan-kekuatan politik
dimasa orde baru ini dapat pula dikatagorikan kedalam golongan-golongan radikal,
konservatif dan moderat.


BAB II
Partai Politik: Partisipasi Politik dan Legitimitas Sistem Politik

Sistem Politik
Masyarakat yang secara minimal mengenal berbagai sistem politik di dunia dan
mencoba mempraktekkan salah satu atau kombinasi sistem politik yang dikenalnya.
Demikian halnyadengan partai politik yang sebelum kemerdekaan sudah menghadapi
berbagai masalah kehidupan partai. Para perintis kemerdekaan sudah memikirkan sistem
kepartaian apa yangakan dikembangkan di Indonesia, namun mereka tidak berkesempatan
mempraktekkan pemikiran-pemikiran mereka. Di samping itu, perkembangan ekonomi dan
kemasyarakatan belum memberi kesempatan meletakkan dasar-dasar kehidupan partai politik
yang diharapkan.
Namun demikia kemerdekaan menuntut kepada masyarakat untuk mengembangkan
sistem kepartaian yang diharapkan mampu melayani tuntutan-tuntutan yang ada seperti
pengembangan demokrasi, pengembangan politik dan sebagainya.

Aliran: Struktur Vertikal Masyarakat
Besarnya peran agama dalam masyarakat ternyata melandasi kekuasaan raja-raja
masa lalu. Peninggalan-peninggalan sejarah seperti candi-candi Borobudur, Pawon, Mendut,
dan sebagainya memperlihatkan pada kita bagaimana hubungan agama dengan kekuasaan

dan susunan masyarakat pada masa lalu. Masuknya Islam, tidak jauh berbeda dengan masa
Hindu-Budha di mana ajaran agama sebagai landasan kekuasaan raja. Tapi, perkembangan
Islam menumbuhkan kelompok baru dalam masyarakat, yakni Islam dan non Islam atau
santri dan abangan. Di masa kolonial Belanda, hubungan kekuasaan dengan agama hampir
tak berubah. Disatu pihak Belanda sekuler dengan segala aparat birokrasinya. Di lain pihak
Belanda tetap menegakkan kekuasaan yang dihubungkan dengan agama melalui sistem.
Demikianlah didalam membayangkan bagaimana negara dan masyarakat Indonesia
diorganisir dan digerakkan untuk mencapai taraf perkembangan masyarakat yang maju,
terdapat dua kelompok elit. Yang pertama ialah mereka yang menghendaki penggunaan
teknologi dan sistem politik yang telah berhasil di terapkan di negara-negara Eropa dan

Amerika. Dan yang kedua ialah mereka yang beranggapan bahwa pengembangan masyarakat
Indonesia hendaklah dicapai dengan lembaga-lembaga tradisional.

Aliran dan Organisasi-organisasi Pergerakan Kemerdekaan
Berbagai golongan di atas mempengaruhi kehidupan organisasi sosial dan politik.
Organisasi sosial seperti Budi Utomo, Syarikat Dagang Islam, Nahdathul Ulama
(sebelummenjadi parpol), dan Muhammadiyah lebih memgutamakan tuntutan sosial
golongan tertentudi masyarakat. Di samping itu, lahir pula kelompok yang didasari kepada
suku kedaerahan,seperti Paguyuban Pasundan, Sarekat Sumatera, Sarekat Ambon, Rukun

Minahasa, dan Kaum Betawi. Ketidakpuasan dari golongan menengah dan yang terdidik
secara Barat menimbulkan arah pada pergerakan politik. Unsur utama perjuangan mereka
dilandasi ketidakadilan dan kemerdekaan.

Pengorganisasian Partai Politik
Ikatan primordial yang mencakup agama, suku, dan kedaerahan berpengaruh terhadap
pengorganisasian partai-partai politik dan hubungannya dengan massa jelas sekali terlihat
seperti pada masa perjuangan kemerdekaan. Sementara itu, organisasi kepentingan seperti
organisasi-organisasi wanita, pemuda, veteran, buruh, petani, dan lain-lain membentuk suatu
aliran politik. Satu dimensi lagi dari hubungan antara partai dengan massa di Indonesia ialah
kecenrungan terpusatnya dukungan partai di daerah tertentu. Berdasarkan hasil pemilu
tahun1955 dan 1971, terlihat Masyumi memperoleh dukungan utama di Aceh, Tapanuli
Selatan, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan. NU dominan di Jawa, Tengah, Jawa Timur,
Madura, Jakarta, dan Kalimantan. Sedangkan Parkindo dominan di Sumatera Utara dan
Maluku. Hasil pemilu 1955 memperlihatkan bahwa PKI banyak dukungan dari Jawa Tengah
dan beberapa di Sumatera. Lalu PNI dan NU terikat pada Jawa Tengah dan Jawa Timur.Dari
uraian tersebut partai politik mempunyai hubungan mendasar dengan pendukungnya. Setiap
partai dapat dikatakan mewakili paham yang ada di masyarakat. Kemudian ada masalah lagi
yang perlu diperhatikan terkait partai politik, yaitu persoalankepemimpinan partai politik itu
sendiri. Banyak peneliti politik Indonesia setuju memakai istilah “bapakisme” untuk

menyimpulkan sifat-sifat kepemimpinan di Indonesia. Sifat ini menunjukkan pada kita bahwa
hubungan pemimpin dengan yang dipimpin seperti hubungan antara anak dan bapak. Anak

harus setia dan patuh pada bapak dan sebaliknya bapak harus mengayomi anaknya. Sejalan
dengan ini, Willner memakai istilah “bapakisme yang bukan otoriter” untuk mengungkapkan
wibawa pemimpin terhadap masyarakat yang tidak sepenuhnya otoriter, tapi tidak memenuhi
persamaan kedudukan dalam persyaratan demokrasi. Peninjauan ini yang menyebabkan
Wertheim menyimpulkan bahwa kepemimpinan dalam masyarakat Indonesia lebih banyak
sifat otoriter dari pada demokratis. Sifat kepemimpinan “bapakisme” ini mempersulit
penggantian pemimpin partai, oleh karena pengikut sulit untuk menarik kesetiaannya pada
pemimpin. Apalagi bila pemimpin memang memenuhi kewajiban pengayomannya. Pola
kepemimpinan ini mengakibatkan ketertutupan lingkaran kehidupan politik yang mana dapat
memicu kurangnya pemikiran- pemikiran baru yang masuk ke dalam kehidupan politik.
Lalu kepemimpinan “bapakisme” yang menuntut pengikut tanpa diimbangi
pengawasan

pada

bapak


pemimpin

mendorong

pemantapan

sistem

sentralisasi

pengorganisasian partai politik.Sebenarnya sistem organisasi partai politik di Indonesia
menggabungkan antara keanggotaan langsung dan keanggotaan tidak langsung. Pada sistem
langsung, partai menggunakan ranting-ranting sebagai unit organisasi terkecil untuk
memelihara hubungan anggota dengan partai. Pada sistem tidak langsung, adanya himpunan
massa yang dikelompokkan dalam organisasi massa (ormas) dalam batas kepentingan
tertentu. Dengan demikian, masyarakat sudah terkotak mengikuti organisasi vertikal, partai
mulai dari ranting sampai cabang, dan melalui organisasi horizontal partai yaitu organisasi
massa.

Pengelompokan Partai

Faktor sejarah, sifat-sifat hubungan masyarakat, kemampuan organisasi elit, dan sikap
ideologi berpengaruh negatif pada kehidupan partai politik. Namun, seringkali pemimpin
cenderung mempermasalahkan jumlah partai yang terlalu banyak sebagai masalah pokok
dibalik lemahnya partai. Masalahnya ialah apakah dengan menyederhanakan jumlah partai,
perbaikan kehidupan partai dapat dilaksanakan. Usaha penyederhanaan partai politik dengan
menyederhanakan jumlah partai politik dilakukan pada masa Orde Baru dengan hanya
mengizinkan tiga parpol dan satu golongan karya untuk mengikuti pemilu setelah tahun 1971.
Berhasil atau tidaknya akan diukur dari perkembangan sejarah. Tidak mudah memperkirakan
kemungkinan yang akan dialami dari pendekatan tersebut.

BAB III
Angkatan Bersenjata: Pembangunan dan Pembaharuan Politik

ABRI dan Politik
Munculnya militer di bidang politik, sosial, dan ekonomi negara-negara berkembang,
berpangkal pada lemahnya pihak sipil mengendalikan semua unsur kehidupan masyarakat.
Politisi sipil relatif cepat dihadapkan pada masalah seperti penyusunan sistem politik yang
relatif tergesa-gesa, masih coba-coba menentukan model untuk pelayanan tuntutan
masyarakat. Selain itu, kurangnya efektivitas dan solidaritas elit besar sekali perannya
sebagai faktor pendorong sipil kebelakang politik. Sekiranya pandangan tersebut
memungkinkan tumbuh dan berkembangnya kemampuan militer mengelola kehidupan politik
Indonesia. Keunggulan militer dalam hal organisasi diantaranya, mereka lebih terorganisir
dari pada sipil, melalui sentralisasi komando, hirarki, disiplin, komunikasi intern yang lancar.
Sifat-sifat inilah yang tidak dikembangkan pihak sipil secara sistematis dan utuh.
Bergesernya ABRI ke bidang politik, sosial, dan ekonomi berjalan dalam waktu 20 tahun.
Sejarah politik Indonesia penuh pengalaman yang menunjukkan belum dibinanya koordinasi
sipil dan militer. Situasi tersebut terlihat dari ketidakpuasan militer terhadap kebijaksanaan
politik yang diambil pemerintah dalam politisi sipil. Pada masa Demokrasi Konstitusional
diwarnai usaha politisi sipil untuk mengontrol kepemimpinan dan organisasi militer.
Munculnya Nasution dengan peristiwa 17 Oktober 1952 merupakan penolakan militer untuk
dikontrol oleh sipil. Pada saat Demokrasi Terpimpin, keutuhan ABRI diperlukan kembali.
Pertama, untuk menghindari pemisahan daerah-daerah dari NKRI. Kedua, untuk
mengimbangi kekuatan politik PKI.

Abri dan Pembangunan
Secara sosial, militer lebih mampu menjadi modernisator sebab: (a) tentara lebih cepat
berkenalan walaupun banyak anggota berasal dari daerah pedesaan; (b) proses akulturasi
dalam tentara lebih mengarah pada teknologi; dan (c) secara politis, akulturasi tentara lebih
melibatkan diri pada negara secara keseluruhan. Inilah sebabnya juga tentara terikat sekali
pada dua hal, yaitu keutuhan nasional dan pembangunan. Militer lebih terikat pada
pembangunan, ada beberapa faktor yang menentukan. Pertama, militer terbiasa

membandingkan masyarakat sendiri dengan masyarakat di negara-negara lain.Kedua, militer
lebih terikat pada cara pikir rasional, efisien, dan pragmatis. Ketiga, militer agak memiliki
jarak dengan masyarakat sipil.

Kepemimpinan dan Organisasi ABRI
Kepemimpinan politisi sipil lebih didasarkan pada unsur tradisional masyarakat,
seperti kharisma dan kewibawaan Soekarno, ikatan primordial kepemimpinan Natsir,
AliSastroamidjojo. Berbeda dengan itu, kepemimpinan militer Indonesia didasarkan pada
lembaga masyarakat yang lebih modern. Melalui sistem komando ABRI lebih mampu
beradadalam organisasi yang utuh.Lebih utuhnya kepemimpinan militer, disokong pula
sistem hirarki yang disiplin. Hirarki dan disiplin amat membantu komandan mengendalikan
tingkah laku anggotanya di seluruh daerah. Lalu rasa keterikatan anggota militer, seperti
ABRI membantu juga efektivitas kepemimpinan militer. Sebagai kelompok yang
memperoleh sosialisasi seragam, kecil kemungkinan tumbuh perbedaan pandangan dalam
ABRI.Satu hal lagi yang menentukan suksesnya kepemimpinan ABRI ialah sistem
komunikasi yang terpelihara. ABRI memiliki jaringan komunikasi yang terpisah dari yang
dipakai masyarakat umum. Di samping itu, pertemuan baik tingkat nasional maupun daerah
dilaksanakan dengan teratur.

ABRI dan Pembaharuan Politik: GOLKAR
Masalah ABRI bukan hanya sekedar mengendalikan politik nasional, melainkan
berkurangnya efektivitas jika tidak didampingi partisipasi masyarakat yang bertolak dari
penerimaan dan legitimasi dari masyarakat. Kedua unsur di atas satu sama lain berhubungan
erat. Sebab “authority” merupakan pengaruh dari pemimpin yang erat kaitannya dengan
legitimasi: dan legitimasi merupakan kepercayaan (dari masyarakat) terhadap struktur,
prosedur, kebijaksanaan, keputusan dan tindakan pemimpin. Salah satu kelemahan pokok
militer ialah “tidak mudah bagi tentara memperoleh legitimasi yang menyebabkan militer
agak langka moral untuk memerintah”. Apabila sampai pada masalah ini, maka hakikat
persoalan adalah hubungan sipil dan militer. Janowitz mengemukakan 5 tipe hubungan sipil
militer: (1) authoritarianpersonal ;(2) authoritarianmassparty (3) democratic-competitive; (4)
civil-military coalition; dan (5) military oligarchy . Masalah pokok ABRI lainnya ialah ABRI

tidak bisa berbuat apa-apa tanpa lembaga-lembaga masyarakat. Sebab sifat dinamis suatu
sistem tergantung pada masyarakat keseluruhan, yakni dari lembaga-lembaga masyarakat
yang mampu menjawab tantangan yang dihadapi. Seluruh masalah di atas diselesaikan
melalui pengembangan kerja sama ABRI dengan berbagai unsur masyarakat yang potensiil.
Maka dari itu, ABRI memasuki kalangan birokrasi pemerintahan serta meyakinkan bahwa
ABRI dapat mengontrol kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Kedua tujuan ini terjalin
dalam pembentukan Golongan Karya (GOLKAR) sebagai organisasi massa berlandaskan
profesi. Pembentukan Golkar yang notabene adalah kelompok politik bentukan dari atas
pemerintahan memperlihatkan pergeseran penafsiran ideologi pada pembangunan. Selain itu,
Golkar seperti alat yang digunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk melanggengkan
kekuasaannya dan melancarkan apa yang disebut pembangunan. Lalu ada 3 faktor
yangmembuat Golkar menang dalam pemilu 1971. Pertama, Tap Mendagri No. 12 tanggal 4
Desember 1969 yang melarang anggota badan perwakilan daerah dari golongan fungsional
untuk memegang keanggotaan salah satu partai politik. Kedua, Keputusan Pemerintah No. 6
tanggal 11 Februari 1970 yang melarang pegawai negeri untuk aktif dalam partai politik.
Ketiga,

ialah

peranan

Golkar

yang

banyak

memperoleh

perhatian

pimpinan

OPSUSHANKAM, Brigjen Ali Murtopo. Dari ketiga faktor tersebut, dapat dilihat adanya
kekanganterhadap masyarakat untuk bebas berpolitik.Dengan demikian, kalau kita
hubungkan dengan pembaharuan politik yang meliputimasyarakat Indonesia seluruhnya,
maka cukup alasan bahwa Golkar mengikuti hirarki militer di mana perintah hanya dari atas.
Masalahnya ialah pembaharuan politik juga banyak ditentukan oleh partisipasi masyarakat.
Lembaga-lembaga masyarakat belum berkapasitas menyertai pembaharuan tersebut, karena
bagaimanapun ikatan tradisional masih berpengaruh, seperti terlihat dari perintah yang hanya
datang dari atas. Untuk itulah diperlukan pertumbuhan organisasi-organisasi sukarela di
masyarakat sebagai penampung dan pengembang daya kreatif masyarakat.