Menyuarakan Suara Suara Yang di Bungkam

Artikulasi Perlawanan Ingatan Lewat Sastra

Menyuarakan Suara-Suara Yang (di)Bungkam: Artikulasi
Perlawanan Ingatan Lewat Sastra dalam Antologi Cerpen Saksi
Mata Karya Seno Gumira Adjidarma
Wahyudi Akmaliah
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI
wahyudiakmaliah@gmail.com
Pengantar
Tidak dapat dipungkiri, naiknya rejim Orde Baru ke puncak kekuasaan
Indonesia dibangun lewat pembunuhan massal pada 1965-1966 kepada sejumlah
masyarakat yang berafiliasi dengan PKI atau pun orang yang di-PKI-kan. Namun,
pembunuhan massal ini tidak diakui sebagai asal usul Orde Baru, melainkan bentuk
respon dari “kudeta komunis 1965” yang menewaskan enam jenderal di Jakarta pada
malam menjelang 1 Oktober 1965. Ironisnya, “kudeta komunis” dianggap sebagai
penanda lahirnya Orde Baru sebagai penyelamat bangsa dari kudeta yang gagal.
Dalam proses selanjutnya, kekerasan pun menjadi bagian dari ritus rejim Orde Baru
dalam menjalankan dan mengamankan kebijakannya. Dengan kata lain, sejak
kelahiran hingga berakhirnya rejim Orde Baru sarat dengan aroma kekerasan, bahkan
pola kekerasan yang kerap digunakan rejim Soeharto hingga kini tetap direproduksi.
Di sini kekerasan dari negara, oleh negara, dan untuk masyarakat.1

Namun lewat mekanisme praktik diskursif, selain membentuk wacana
dominan atas setiap peristiwa kekerasan bahwa itu ulah masyarakat yang ingin
“mengganggu stabilitas bangsa dan keamanan negara”, rejim Orde Baru juga
membangun stereotif dan stigma kepada korban dan keluarga korban. Wacana
dominan inilah yang mendasari tindakan dan memiliki efek dalam kehidupan seharihari masyarakat yang menjadi korban. Di sisi lain, wacana dominan ini

1

Untuk mengetahui persoalan ini lebih mendalam lihat, Ariel Heryanto, State Terrorism and
Political Identity in Indonesia: Fatally belonging, London and New York: Routledge, 2006

1

Artikulasi Perlawanan Ingatan Lewat Sastra

meminggirkan wacana-wacana lain mengenai setiap peristiwa kekerasan yang
diciptakan rejim Orde Baru.
Kendati wacana-wacana lain terpinggirkan bukan berarti tidak ada ruang
untuk melawan. Setiap wacana yang dibungkam atau orang yang ditindas selalu
memiliki ruang untuk bersuara dan melawannya. Alih-alih ingin membongkar

wacana dominan yang dibentuk oleh rejim Orde baru, dalam tulisan ini, saya akan
membahas perlawanan atas wacana dominan dengan wacana-wacana yang
dipinggirkan ketika itu, yaitu dengan menjadikan antologi cerpen Saksi Mata karya
Seno Gumira Adjidarma (selanjutnya disingkat SGA) sebagai contoh perlawanan
ingatan terhadap pembungkaman fakta lewat penulisan sastra mengenai insiden Dili
yang terjadi pada 12 November 1991 dan situasi yang terjadi pada masyarakat Timortimur.
Orde Baru dan Self-Censorship Media Massa
Dalam menjalankan ideologi pembangunannya, pemerintah Orde Baru tidak
hanya membungkam komunitas masyarakat yang kritis atas kebijakan yang ada,
melainkan juga mengontrol media massa dengan pemberitaan yang dimunculkan. Ini
dikuatkan dengan survey penelitian yang dilakukan Lembaga Penelitian, Pendidikan,
dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y), bahwa “hampir 46% dari informasi yang
dipublikasikan dalam surat kabar-surat kabar Indonesia berasal dari sumber-sumber
pemerintah; 39 % masyarakat, komunitas politik dan bisnis; dan sisanya 15% dari
pelbagai sumber. Hampir dapat dipastikan bahwa bahasa dari sumber tadi akan sangat
menentukan cara bahasa pengguna dan juga para jurnalis, seperti tampak pada bahasa
jurnalistik”.2
Hal itu pula yang terjadi dalam insiden Dili yang menewaskan banyak korban
masyarakat Timor-Timur. Sayangnya, tidak ada satupun media massa yang berani
mengungkapkan atas apa yang terjadi mengenai peristiwa tersebut. Ini karena,

Dhaniel Dakidae, “Bahasa, Jurnalisme, dan Politik Orde Baru”, dalam Yudi Latif dan Idi
Subandy Ibrahim (ed.), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Bandung:
Mizan, 1996, hal. 246
2

2

Artikulasi Perlawanan Ingatan Lewat Sastra

kekhawatiran yang berujung pada paranoid institusi media untuk mengungkapkan
peristiwa tersebut. Kerapkali, konsekuensi yang harus mereka tanggung adalah
dicabutnya SIUP (Surat Ijin Usaha Penerbitan) sebagai legitimasi sah tidaknya
sebuah media massa itu muncul ke khalayak publik.
Kondisi ini dialami SGA saat menjadi Redaktur Pelaksana di tabloid
mingguan Jakarta-Jakarta (selanjutnya disingkat JJ ). SGA dan dua orang temannya
(Waskito Trisnoadi dan Usep Hermawan), tepatnya hari Selasa 14 Januari 1992,
dipanggil oleh pimpinan perusahaan JJ. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh petinggi
perusahaan itu ditetapkan satu kesimpulan bahwa mereka bertiga “dipindahkan” ke
tabloid Citra yang merupakan anak perusahaan yang sama dengan tabloid JJ.
Alasannya, selain mendeskriditkan,


pemberitaan mengenai Insiden Dili juga

menurunkan derajat ABRI atas tindakan (kekerasan dan kejahatan) yang
dilakukannya; tindakan yang dianggap sebagai bagian dari „pengabdian terhadap
kesatuan, persatuan dan loyalitas terhadap bangsa‟.3
Sebenarnya, dalam pemberitaan yang ditampilkan oleh JJ, tidak ada niat
untuk mendeskriditkan ABRI sebagai bagian dari aparat negara, melainkan ingin
mengungkapkan kebenaran atas apa yang sesungguhnya terjadi dalam insiden Dili
pada 12 November 1991 “seakurat mungkin” sebagai bagian dari tanggung jawab
publik tugas jurnalistik. Ini tercermin dari JJ nomor 282, tanggal terbitnya 23-29
November 1991, memuat satu laporan bertajuk Dili: Heboh Video. Laporan itu dibagi
dalam bagian; (1) Dili, Provokasi, dan Videotape, (2) Demo dan Penahanan, (3)
Komisi dan Objektivitas, (4) Orang Dili Suka Dansa, (5) Timtim: Membangun dan
Memahami.4 Dalam salah satu laporan itu, JJ menceritakan video itu secara detail:
Rekaman video memperlihatkan, saat kamera diarahkan pada demontran, mereka
mengacung-acungkan kepalan ke atas. Sementara potongan berikutnya sangat
provokatif: memamerkan adegan cukup lama, close up lagi, seorang pemuda
Timtim yang luka parah dibagian perutnya. Ia telantang di tanah, sekujur tubuhnya
bersimbah darah dalam pelukan orang lain yang sebaya, kira-kira usia 20-an.

3

Seno Gumira Adjidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Berbicara,
Yogyakarta: Bentang, 1997, hal. 48-49
4
Ibid., hal. 50

3

Artikulasi Perlawanan Ingatan Lewat Sastra

Ketika mengerang dan mencoba mengangkat tangannya, tampak tangannya juga
hancur. Daging dan darahnya berwarna pekat lantaran bercampur debu dan tanah.5
Selain itu, JJ nomor 288, tanggal terbit 4-10 Januari 1992 menuliskan laporan

tentang Cerita dari Dili yang berisi (1) Mantiri: Jenderal Sukses, (2) Pandangan
Mata Saksi Tragedi, (3) Misteri Siluman Berambut Gondrong. Laporan itu bukan
hanya sebagai bentuk pengungkapan kebenaran, melainkan penarasian sejumlah saksi
mengenai satu peristiwa yang mereka alami. Kesaksian inilah yang kemudian
mengindisikan bahwa tertembaknya sejumlah demonstran bukanlah melulu suatu

insiden (baca: kecelakaan yang disengaja, sebagaimana diasumsikan oleh sejumlah
aparat militer saat itu), melainkan satu serangan yang sepertinya sudah didesain
sebelumnya.6 Sebagaimana terungkap dalam kesaksian yang dituliskan oleh JJ :
Saat penembakan mereka dibagi dalam dua barisan. Barisan pertama di depan dan
barisan kedua berada di belakang. Komandannya tembak sekali ke atas, sambil
berteriak, “depan tidur, belakang tembak!” pada saat yang belakang tembak, yang
depan merangsek masuk ke demonstran dan menusukkan sangkurnya ke semua
orang. Kesan yang tertangkap saat itu adalah kekejaman, saya sempat melihat ada
satu orang yang mungkin hanya pingsan, begitu dilihat oleh seorang oknum,
kepalanya masih bergerak-gerak, langsung ditumbuk batu. Dan satu lagi, saya
masih melihat ada yang hidup di truk yang penuh mayat, oleh oknum, orang itu
diturunkan dan dipukul kepalanya. Baru dinaikkan kembali ke atas truk.7

Namun akibat pemberitaan ini, SGA dipanggil oleh Pusat Penerangan
Pertahanan dan Keamanan ABRI di Cilangkap. Selain diinterogasi maksud dari
pemberitaan tersebut yang dianggap merendahkan martabat ABRI, SGA dituduh
sebagai jurnalis yang tidak pancasilais dan nasionalis. Padahal, pemberitaan yang
seimbang tersebut mengesankan keterbukaan baik pemerintah maupun pers
Indonesia, sehingga Indonesia sebagai sebuah bangsa mendapatkan nama baik di
mata internasional, karena tidak menutup-nutupi kenyataan. Terlebih Presiden

Soeharto telah mengganti para pejabat militer wilayah tersebut. Tindakan ini satu
bukti bahwa insiden itu adalah suatu kesalahan.
5

Ibid, hal.53
Ibid., hal. 56
7
Ibid, hal. 57
6

4

Artikulasi Perlawanan Ingatan Lewat Sastra

Bertolak dari pemaparan di atas, terlihat jelas bagaimana kontrol negara lewat
aparatusnya, militer begitu kuat mencengkram media massa sebagai institusi
pengungkap kebenaran kepada masyarakat dan juga yang berfungsi sebagai kontrol
sosial kepada negara. Di sisi lain, kontrol negara ini telah menciptakan panoptikon
(kontrol dan pengawasan) dalam diri pemilik media massa, sehingga sebelum
menerbitkan sebuah pemberitaan di media massa terkait dengan isu pelanggaran

HAM yang terkait dengan militer, mereka sudah melakukan sensor diri dulu terhadap
para jurnalisnya, sebelum dibungkam oleh negara. SGA adalah salah seorang jurnalis
yang dibungkam dan mengalami penyensoran itu terkait dengan pemberitaan insiden
Dili yang diwartakan.
Melawan Pembungkaman Ingatan Lewat Sastra
Dalam setiap peristiwa kekerasan entah berupa penindasan, pembungkaman,
maupun stigma, relasi yang terbentuk antara penindas dan ditindas atau pembungkam
dan dibungkam tidaklah melulu bersifat totalitas menguasai. Dalam relasi itu, selalu
ada “ruang antara” yang memungkinkan subyek yang ditindas itu melakukan
perlawanan balik terhadap si penindas, meskipun “kadar” tindakan yang
dilakukannya tidaklah sekuat si penindas. Meminjam ungkapan SGA, “Cacing
diinjak pun menggeliat apalagi manusia”. Tindakan perlawanan inilah yang dilakukan
SGA.
Ia memang dibungkam dengan pencopotannya sebagai redaktur dan jurnalis di
JJ, tapi tidak berarti menyerah dalam ketertundukkan. Ia melawan dengan
mengungkapkan fakta insiden Dili dengan cerpen yang dikirimkan ke pelbagai media
massa selama tahun 1992-1994 yang kemudian dibukukan dalam antologi cerpen
Saksi Mata. Dengan kata lain, perlawanan lewat cerpen ini adalah bentuk perlawanan
ingatan yang sudah menjadi bagian dari narasi masyarakat Timor-timur terhadap
pelupaan yang ingin dibuat oleh rejim Orde Baru mengenai insiden Dili.

Meskipun diakui, perlawanan melalui medium sastra ini tidaklah mudah.
Selain harus membingkai fakta dengan sejumlah imajinasi fiksional, penulisan sastra
yang diangkat dari fakta harus menggunakan kekuatan narasi dengan mencantumkan

5

Artikulasi Perlawanan Ingatan Lewat Sastra

pelbagai metafor atas peristiwa yang dituju. Karena itu, dalam mengangkat faktualitas
kisah atas peristiwa bahwa cerpen itu adalah tentang insiden Dili atau situasi Timortimur harus ada “strategi perlawanan”. “Strategi perlawanan” yang dipraktekkan oleh
SGA adalah dengan memasukkan sejumlah kata kunci untuk para pembacanya, yaitu
(1) terdapat konteks pembantaian orang-orang yang tidak bersenjata yang menunjuk
pada insiden Dili, (2) nama-nama yang diwariskan penjajahan Portugal yang merujuk
pada nama-nama sebagai referen pada lokasi Timor-timur, sedangkan yanag terakhir
(3) memberikan sinkronisasi waktu. Dengan demikian, secara garis besar ada dua hal
yang diangkat dalam antologi cerpen Saksi Mata, yaitu (1) kekejaman tindakan
kekerasan ABRI yang biasa disebut sebagai tentara asing, (2) penderitaan yang
dialami oleh korban dan keluarga korban masyarakat Timor-Timur sebagai bentuk
rasa empati.
Uniknya, cara SGA menulis dan mengkritisi atas fakta melalu cerpen

seringkali tidak dengan narasi “amarah” dan emosional yang menggebu, melainkan
dengan narasi yang penuh canda bercampurkan satir atau sarkasm. Maksud sarkasm
(sarcasm) di sini adalah satu bentuk ironi dan satir untuk penggambaran kekejaman
yang lebih kejam dibandingkan dengan tindakan kekejaman yang ada, sehingga hal
itu menjadi suatu yang banal.8 Dalam cerpen telinga misalnya, kecintaan dan
kerinduan pacarnya Dewi yang sedang berada di medan perang dibuktikan dengan
pengiriman telinga manusia hampir setiap hari, yang dicurigai sebagai mata-mata
musuh. Selain pengiriman telinga sebagai bentuk kecintaan terhadap Dewi,
pemotongan telinga merupakan satu-satunya hiburan yang dimiliki sang pacar.9 Ini
diungkapkan pacar Dewi dalam surat yang dikirimkannya:
Kukirimkan telinga ini untukmu Dewi, sebagai kenang-kenangan dari medan
perang. Ini adalah telinga seseorang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh.
Kami memang biasa memotong telinga orang-orang yang dicurigai, sebagai
peringatan atas risiko yang mereka hadapi jika menyulut pemberontakan.
Lihat, Budiawan, “Representing The Voices of Silenced: East Timor in Comtemporary
Short Stories Indonesia, dalam Trajectories: Inter-Asia Cultural Studies, Khuan-Hsing Han (ed),
London and New York: Routledge, 1998. hal. 209.
9
Lihat. Seno Gumira Ajidarma, Saksi Mata, Yogyakarta: Bentang, 1994, hal.1-11
8


6

Artikulasi Perlawanan Ingatan Lewat Sastra

Terimalah telinga ini, hanya untukmu, kukirimkan dari jauh karena aku kangen
kepadamu. Setiap kali mengingat ini, ingatlah diriku yang kesepian. Memotong
telinga adalah satu-satunya hiburanku (hal.13-14).

Sarkasm juga terdapat dalam Saksi Mata. Dalam cerpen ini, saksi mata yang
kehilangan kedua matanya akibat korban kekejaman ninja yang berseragam diminta
untuk bersaksi atas kekerasan yang terjadi pada dirinya. Karena kehilangan kedua
mata inilah kesaksiannya menjadi sekedar guyonan bagi para audiens. Disebut
guyonan karena ia harus bersaksi tanpa disertai mata yang melihat sebagai bentuk
kesaksian atas peristiwa yang dilihat. Ketika sedang bersaksi inilah, darah keluar dari
matanya, dan membasahi lantai, jalan-jalan, dan semua tempat di kota itu telah
menjadi lautan darah. Sayangnya, “tidak ada satu pun yang tahu”; “Darah masih
menetes perlahan-lahan tapi terus-menerus dari lubang hitam bekas mata Saksi Mata
yang berdiri seperti patung di ruang pengadilan. Darah mengalir di lantai ruang
pengadilan yang sudah dipel dengan karbol. Darah mengalir memenuhi ruang
pengadilan sampai luber melewatu pintu menuruni tangga sampai halaman. Tapi
orang tidak melihatnya (hal.5).10
Selain sebagai bentuk sindiran mendalam mengenai fungsi pengadilan kasus
Timor-timur yang seperti komedi dengan penuh ironi yang menyertainya, Saksi Mata
dapat ditafsirkan sebagai satu bentuk kekejaman yang dilakukan militer di Timortimur sehingga mengakibatkan banjir darah dengan banyaknya korban yang
meninggal, namun tidak satu pun publik Indonesia yang tahu peristiwa itu. Dalam hal
ini adalah media massa yang tidak mempublikasikan peristiwa itu. Meskipun tidak
dipublikasikan dan tidak menjadi ingatan publik Indonesia, insiden Dili itu tetap
menjadi ingatan masyarakat Timor-timur yang diceritakan dari satu generasi ke
generasi yang lain.
Sebagaimana terlihat dalam Pelajaran Sejarah. Dalam cerpen ini dikisahkan
betapa narasi kekerasan dan kejahatan kemanusiaan tidak pernah masuk dalam buku
sejarah, sedangkan di satu sisi ingatan atas peristiwa itu telah meninggalkan goresan
10

Budiawan, hal. 209.

7

Artikulasi Perlawanan Ingatan Lewat Sastra

yang terus melekat dalam diri korban. Keterbungkaman korban atas pengalaman pahit
yang dialami ini direpresentasikan oleh tokoh Alfonso sebagai guru sejarah.
Keterbungkaman antara ingin melupakan masa lalu atas sejarah pengalaman pahit
dan pengingatan sebagai bentuk penagihan keadilan atas ketidakadilan sejarah yang
selama ini didominasi oleh sejarah resmi negara yang tidak mencantumkan sejarah
penindasan masyarakat Timor-timur (hal. 65-71).
Tidak berhenti di sini. Keterbungkaman korban lewat mesin kekerasan ini
kembali ditampilkan oleh SGA pada tokoh Fernando dalam Rosario dan pada
Januario dalam Listrik. Dalam kisah Rosario, Fernando diminta oleh dokter muda
untuk menceritakan mengapa rosario bisa masuk ke dalam perutnya. Namun setiap
kali ingin bercerita, ia selalu tak mampu untuk menuturkannya, bahkan kerapkali ia
langsung jatuh pingsang. Ada perasaan ketakutan dan cemas yang mendalam ketika
ingin menceritakannya kepada seorang dokter muda. Padahal, ketakutan yang dialami
tidak cocok dengan tubuhnya yang besar dan wajahnya yang “agak menakutkan”.
Setiap pingsan itulah masa lalu menguak kembali dalam ingatan, di mana seorang
serdadu memaksanya menelan rosario di sebuah kuburan, dengan bayonet terhunus
yang bersimbah darah, karena ia dituduh ingin merdeka.
Di sini, kekerasan telah menjadi suatu hal yang eksrim di mana korban telah
kehilangan eksistensi dirinya, dan membuat hidupnya selalu diliputi oleh hantu
kekerasan masa lalu; semakin berusaha ia melupakan, semakin ingatan atas peristiwa
itu hadir (hal.45-52). Sedangkan dalam Listrik, akibat siksaan dengan setruman listrik
oleh “tentara asing” untuk diinterogasi karena dianggap ingin meminta suaka ke
negara lain, hal ini membuat Januario lebih memilih mengingat masa lalunya yang
damai nan indah ketimbang realitas yang dihadapinya saat itu. Di sini mengingat
masa lalu ketika adalah bentuk pelarian dan penolakan terhadap realitas yang
dihadapi Januario (hal.53-62).
Sementara jejak dan efek kekerasan itu tergambar jelas dalam cerpen Maria.
Maria adalah sosok ibu yang kehilangan anaknya dan menderita psikis-mental.
Namun, saat anaknya, Antonio kembali, ia malah tidak (mau) mengenal anaknya.

8

Artikulasi Perlawanan Ingatan Lewat Sastra

Bahkan anaknya diusir dari rumah yang selama ini diimpi-impikan oleh Antonio.
Antonio diusir dan tidak dikenal lagi oleh ibunya karena secara fisik, akibat tindakan
kekerasan, kondisi tubuhnya sudah berubah. Ia tidak lagi tampan, tinggi, dan gagah
seperti dahulu. Saat itu, ia menjadi seperti monster yang berjalan dengan tubuh yang
penuh bekas-bekas kekerasan (hal.27-35). Di sini, selain telah menyebabkan orang
menjadi teralienasi, efek kekejaman militer telah menciptakan orang terdestruksi dari
lingkungan sosial dan masyarakatnya. Peristiwa kehilangan seorang anak inilah yang
sering dialami oleh masyarakat Timor-timur saat itu.
Puncak akumulasi praktik pelanggaran HAM terhadap masyarakat Timortimur ini adalah adanya upaya sistematis dan tersembunyi mengenai pembersihan
etnis masyarakat Kota Ningi yang setiap tahun makin menurun populasi
penduduknya. Sebagaimana dikisahkan petugas sensus yang merupakan warga
pendatang dalam Misteri Kota Ningi, “Di kota Ningi aku menemukan suatu hal yang
lain sama sekali.....................dari tahun ke tahun, penduduknya makin lama makin
berkurang. Aneh sekali. Ketika dunia mengerutkan kening karena laju pertumbuhan
penduduk yang mengerikan, kota ningi makin lama malah makin berkurang
penduduknya. Ketika aku membongkar-bongkar arsip, catatan tahun 1974
menunjukkan jumlah 688.771 orang. Namun ketika aku menghitungnya kembali pada
tahun 1978 ternyata penduduknya sudah menjadi 329.271 orang. Kemana yang
359.500 orang itu pergi? Aneh sekali. Toh, bukan soal penyusutan itu benar yang
membuatku merasa aneh (hal.74). Kata “misteri‟ dalam judul cerpen ini dapat
digambarkan sebagai bentuk praktik politik “stabilitas” rejim Orde Baru. Maksudny,a
dengan menggunakan kata „stabilitas‟ negara dapat dengan mudah menangkap dan
membunuh orang yang dicurigai sebagai pengganggu keamanan. Dengan demikian,
perlawanan yang dibangun oleh masyarakat lokal itu sebagai orang yang tidak
memiliki rasa nasionalisme, karena itu harus dibersihkan.
Namun, pelbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer
bukanlah satu bentuk pelanggaran kemanusiaan yang menurunkan derajat
kemanusiaan itu sendiri, melainkan sesuatu pekerjaan yang dianggap biasa yang sama

9

Artikulasi Perlawanan Ingatan Lewat Sastra

dengan pekerjaan lainnya. Dalam Darah Itu Merah Jenderal dituturkan dengan jelas
oleh seorang Jenderal mengenai perihal dirinya yang pernah masuk koran karena
menembak maling pada kakinya, “Baru menembak kaki maling saja jadi
berita.....bagaimana kalau mereka tahu bagaimana kami bertempur”(hal.92). Bahkan
sang Jenderal itu menjadi lupa sudah berapa banyak jiwa yang diterbangkan olehnya.
“Ia sudah lupa berapa banyak jiwa telah diterbangkannya ke langit. Aneh, ia baru
sekarang ia sadar, cukup banyak darah yang ia tumpahkannya—lewat peluru,
dinamit, mortir, granat, dan bom. Celakanya yang disebut musuh tak selalu tentara,
tak selalu bersenjata, dan tak selalu orang yang seperti berontak, tapi sama
berbahayanya, jadi harus diikat” (hal.96). Menurut Hannah Arrend, tindakan
pembunuhan menjadi suatu hal yang banal mengandaikan pelaku sudah tidak
memiliki hati, namun ia serupa mesin yang hanya menjalankan tugasnya membunuh.
Di sini korban dianggap bukanlah manusia yang memiliki identitas, keluarga,
saudara, teman, dan kehidupan yang lainnya, melainkan sekedar sebagai sekumpulan
massa dan individu yang dianggap melawan maupun berhasrat mengganggu stabilitas
negara.

Penutup
Ingatan bukan sekedar rekaman jejak masa lalu, melainkan bentuk penagihan
pengungkapan kebenaran atas masa lalu. Ini bisa terjadi, kalau ingatan individu setiap
korban kekerasan itu diuraikan dan dijelaskan lewat transmisi pengalaman, sehingga
menemukan ruang pemaknaan yang baru atas peristiwa itu. Ingatan individu inilah
yang kemudian masuk dalam kontruksi ingatan kolektif, yang bisa berfungsi menjadi
amunisi untuk mematahkan wacana dominan sebuah rejim kekuasaan. Salah satu cara
untuk mengetahui artikulasi ingatan mereka adalah dengan melihat bagaimana
mereka memelihara dan mengendapkan ingatan mereka.
Pemeliharan dan pengendapan ingatan inilah yang disebut oleh Pierre Nora
sebagai situs ingatan, yaitu suatu tempat untuk menyimpan sekaligus merupakan
pemicu dari tindakan mengingat. Situs ingatan di sini tidaklah sekedar bangunan fisik

10

Artikulasi Perlawanan Ingatan Lewat Sastra

seperti artefak, monumen, atau dokumentasi berupa memoar, melainkan kombinasi
dari aspek topografi dengan aspek fungsional, seperti ritual, perayaan, peringatan, dan
semacamnya.11 Lewat situs ingatan inilah kita dapat mengetahui bagaimana
pewarisan ingatan terjadi dan bagaimana mereka menghangatkan ingatan masa lalu.
Antologi cerpen Saksi Mata adalah salah satu dokumentasi memoar yang
merepresentasikan narasi kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang tidak terungkap
dalam diskursus dominan tentang Timor-timur. Lewat antologi ini juga fungsi fiksi
dalam sastra menjadi satu perjuangan untuk mengekspresikan sesuatu yang tidak bisa
diekspresikan melalui pemberitaan media. Karena, menurut SGA, jurnalisme lebih
berbicara dengan fakta, sedangkan sastra berbicara dengan kebenaran. Lewat
jurnalisme, fakta bisa dimanipulasi dan ditutupi, karena ia terikat oleh seribu satu
kendala. Sementara kendala sastra hanya kejujuran hati di dalam diri manusia dan
tertanam dalam sejarah kemanusiaan manusia.
Perlawanan SGA atas pembungkaman yang menimpa dirinya terkait dengan
pemberitaan insiden Dili dan situasi yang terjadi di Timor-timur dengan menuliskan
fakta-fakta tersebut lewat sastra telah membuktikan bahwa kebenaran selalu bisa
menemukan ruang, walaupun di tengah cengkraman otoritarianisme sebuah rejim. Di
sini kuasa pikiran tidak bisa dibelenggu oleh pelbagai praktik dominasi diskursif
apapun. Selain sebagai artikulasi ingatan melawan pelupaan yang dibuat oleh rejim
Orde Baru mengenai realitas Timor-timur, buku antologi cerpen ini menjadi wacana
tandingan atas versi sejarah resmi mengenai peristiwa itu. Sebuah tawaran wacana
sejarah lain tentang kekerasan dan pembantaian massal anak manusia atas nama
“persatuan dan kesatuan” terhadap masyarakat yang dahulu pernah menjadi bagian
dari Indonesia.

Lihat. Klaus H.Schreiner, “Histories of Trauma and Sites of Memory”, dalam Mary S.
Zurbuchen (ed), Begining To Remember,The Past In The Indonesian Present, Singapore: Singapore
Press and Universiy of Washington Press, 2005, hal. 266.
11

11

Artikulasi Perlawanan Ingatan Lewat Sastra

Daftar Pustaka

Ariel Heryanto, State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally
belonging, London and New York: Routledge, 2006
Budiawan, “Representing The Voices of Silenced: East Timor in Comtemporary
Short Stories Indonesia, dalam Trajectories: Inter-Asia Cultural
Studies, Khuan-Hsing Han (ed), London and New York: Routledge,
1998
Dhaniel Dakidae, “Bahasa, Jurnalisme, dan Politik Orde Baru”, dalam Yudi Latif dan
Idi Subandy Ibrahim (ed.), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di
Panggung Orde Baru, Bandung: Mizan, 1996
Klaus H.Schreiner, “Histories of Trauma and Sites of Memory”, dalam Mary S.
Zurbuchen (ed), Begining To Remember,The Past In The Indonesian
Present, Singapore: Singapore Press and Universiy of Washington
Press, 2005
Seno Gumira Adjidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Berbicara,
Yogyakarta: Bentang, 1997
Seno Gumira Ajidarma, Saksi Mata, Yogyakarta: Bentang, 1994

12