Percobaan Kudeta Militer di Tuki

1

KUDETA GAGAL DI TURKI
BABAK BARU KEKUASAAN PRESIDEN
Oleh: Najib Tabhan, Lc. MA.
(Ketua II Ikatan Cendikiawan Alumni Timur Tengah)

Drama satu malam percobaan kudeta militer di Turki di bawah pimpinan sejumlah
perwira menengah dari kalangan militer akhirnya berakhir, setelah Presiden Turki,
Recep Tayyip Erdogan memberikan pernyataan melalui siaran TV lokal bahwa
Negara sudah berada di bawah kendali pemerintahan yang sah, dan para
pemberontak berhasil dikendalikan untuk seterusnya akan diseret ke Pengadilan
Militer.
Percobaan kudeta militer di Turki tersebut berawal saat sejumlah tank militer
memenuhi jalan utama di dua kota penting di Turki, yaitu Ankara dan Istanbul pada
Jum’at dini hari (sekitar pukul 03.30 WS), disusul penutupan jembatan Bosporus di
Istanbul yang menghubungkan antara benua Asia dan Eropa. Para loyalis pelaku
kudeta memperluas penguasaannya meliputi bandara Internasional Attaturk di
Istanbul dan sejumlah obyek vital seperti gedung Radio dan TV. Menanggapi
perkembangan yang menegangkan tersebut, PM Binali Yildirim, melalui siaran TV,
segera mengumumkan bahwa Negara dalam kondisi percobaan kudeta oleh

sejumlah perwira militer yang belum diketahui siapa dalangnya.
Peledakan bom, serangan bersenjata dan baku tembak sempat terjadi di kota
Ankara dan Istanbul, menyebabkan kondisi keamanan di dua kota tersebut semakin
mencekam. Para loyalis pelaku kudeta berusaha menyerang aparat kepolisian yang
berdiri dalam barisan pasukan loyalis pemerintahan yang sah. Kontak senjata di
sejumlah tempat akhirnya meletus, menyebabkan jatuhnya korban jiwa mencapai 75
orang dan lebih dari 150 orang lainnya luka-luka (baik aparat maupun rakyat sipil).
Para loyalis kudeta militer, setelah berhasil menyandera Kepala Staf AB Turki,
Jenderal Hulusi Akbar, yang membawahi seluruh Angkatan Bersenjata di Turki
segera mengumumkan bahwa Negara dalam penguasaan mereka. Namun,
Erdogan, Presiden Turki yang sedang berada di wilayah Perairan Aegean, melalui
tayangan Skype, menolak keras Negara di bawah kendali para pelaku kudeta, dan
meminta seluruh rakyat Turki segera turun ke jalan-jalan, menggunakan people
power untuk mendukung pemerintahan yang sah dan menghentikan percobaan
kudeta tersebut.
Seruan Presiden Erdogan kepada rakyat Turki layaknya titah seorang Komandan
kepada bawahannya. Sebab, pasca seruan tersebut, rakyat Turki segera tumplek di
jalan-jalan, bermodalkan semangat pembelaan terhadap pemerintahan yang sah

2


dan penolakan terhadap percobaan kudeta. Dengan tangan kosong, dan sebagian
hanya memegang bendera Turki, rakyat pembela pemerintah mendatangi tank-tank
pasukan loyalis pelaku kudeta dan menjadikan diri mereka sebagai tameng anti
pemberontakan. Gerakan massa ini, tidak hanya berhasil menghentikan laju loyalis
pelaku kudeta untuk menguasai sebanyak mungkin obyek vital di kota Ankara dan
Istanbul, tapi juga memaksa mereka menyerahkan diri kepada pasukan loyalis
pemerintah. Suatu gerakan pengembalian penguasaan kota Ankara dan Istanbul,
secara singkat dan aman, dari pasukan loyalis pelaku kudeta, tanpa mengakibatkan
pertumpahan darah seperti kudeta-kudeta sebelumnya.
Negara Turki, sejak berdirinya tahun 1923 (peralihan dari Khilafah Islamiyah di
bawah kendali Otthoman Empire menjadi Republik Turki di bawah kekuasaan
Presiden Kemal Attaturk) sudah mengalami empat kali kudeta. Kudeta 1960, 1971,
1980 dan 1997 adalah hasil dari ketegangan antara institusi militer di satu sisi dan
lembaga pemerintahan di sisi lain. Dan secara khusus kudeta tahun 1980 dan 1997
melibatkan antara pihak penjaga Negara sekularisme di Turki yaitu institusi militer
dan lembaga pemerintahan berhaluan Islamis di bawah kendali partai Islam. Apakah
percobaan kudeta 2016 kali ini kembali mengulang permusuhan antara institusi
militer dan lembaga pemerintahan yang juga dari kalangan Islamis?
Militer versus Islamis

Sejak partai AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi) atau dikenal sebagai Partai Keadilan
Pembangunan bentukan Erdogan mengambil alih kepemimpinan di Turki pada tahun
2003, militer Turki sepertinya kehilangan nyali untuk menghentikan laju partai
berhaluan Islamis tersebut. Mengapa tidak, pemilu demi pemilu di Turki sejak tahun
2001 hingga pemilu terakhir 2014 menempatkan Partai AKP sebagai pemenangnya,
sehingga sangat wajar jika pendirinya yaitu Recep Tayyip Erdogan, politisi penerus
generasi partai Islamis “Fedhilet” dan “Refah” yang dibubarkan oleh militer di era 80
dan 90-an, menduduki jabatan politik tertinggi di Turki yaitu kursi Perdana Menteri
tiga periode berturut-turut, dan kemudian menjabat selaku Presiden Turki (karena
aturan internal Partai AKP melarang Erdogan mencalonkan diri lagi sebagai PM
untuk keempat kalinya).
Dalam menghadapi Partai AKP, institusi militer Turki tidak hanya kehilangan nyali,
tapi juga kehilangan kesempatan, sebab sejak Erdogan menjadi PM pada November
2002, perekonomian Turki sangat maju. Pertumbuhan ekonomi negara setiap
tahunnya meningkat sekitar 5 persen dan hampir tidak ada inflasi. Pada 2015 lalu,
GDP Turki tercatat pada kisaran 1.886 miliar US Dollar, yang menurut Bank Dunia,
berada pada peringkat ke 17 GDP terbesar di dunia. Posisi ini menempatkan Turki
duduk bersama dengan 4 anggota Uni Eropa yaitu Jerman, Perancis, Inggris dan

3


Spanyol. Sementara itu, upaya partai AKP menggambungkan diri ke dalam Uni
Eropa terlihat sejak tahun 2005, dimana PM Erdogan membuka peluang
penggabungannya melalui pembicaraan tentang wacana Turki masuk ke dalam Uni
Eropa, sekalipun terkendala syarat-syarat yang sangat memberatkan. Sebab, sesuai
Konstitusi Uni Eropa, bahwa untuk disetujui masuk dalam Uni Eropa, Negara Turki
setidaknya harus menyelesaikan negosiasi 33 chapter dari 35 chapter yang ada.
Belum lagi latarbelakang agama di Turki sebagai salah satu negara berpenduduk
muslim mayoritas, yang bisa jadi merupakan kendala terbesar kemungkinan
penggabungan Turki ke dalam Uni Eropa.
Sekalipun kehilangan kesempatan, militer sebagai penjaga Negara sekuler Turki
tidak berarti kehilangan upaya untuk melakukan kudeta. Sebuah dokumen diungkap
oleh surat kabar liberal “Taraf” pada Januari 2010, memberitakan adanya rencana
kudeta militer menggunakan sandi "Operasi Sledgehammer". Operasi itu diawali
dengan rencana mengebom dua mesjid di Istanbul dan memicu Yunani agar
menembak satu pesawat Turki di Lautan Aegea untuk mendiskreditkan pemerintah
dan mendorong kejatuhannya. Operasi ini, meski tidak terjadi kudeta militer, namun
pemerintahan Partai AKP tetap menjatuhkan vonis penjara kepada sejumlah pejabat
militer Turki, baik yang masih aktif maupun yang sudah purnawirawan, atas tuduhan
terlibat upaya menjatuhkan pemerintahan yang sah.

Hanya saja, percobaan kudeta terakhir memunculkan tanda tanya besar, seputar
sejauh mana keterlibatan para jenderal di lingkungan institusi militer Turki. Hal ini
karena dalang dari percobaan kudeta tersebut hanya melibatkan militer berpangkat
perwira menegah, diantara nama yang muncul adalah Kolonel Mahram Kose,
Penasehat Hukum pada kantor Kepala Staf AB Turki dan sejumla perwira menengah
lainnya. Sementara Kepala Staf AB Turki, Jenderal Hulusi Akbar, sekalipun berada
dalam penyanderaan para pelaku percobaan kudeta, akan tetapi tidak dimunculkan
sebagai salah satu jenderal yang menyokong aksi mereka.
Karena itu, Presiden Erdogan tidak serta merta melontarkan tuduhan keterlibatan
para jenderal yang menduduki posisi strategis sebagai dalangnya, kendati ada
sejumlah jenderal militer yang sudah diamankan atas dugaan kemungkinan terjaring
loyalis pelaku percobaan kudeta. Presiden Erdogan dan PM Binyali Yeldirim
akhirnya menjatuhkan tuduhan upaya kudeta kepada loyalis gerakan Fethullah
Gulen, salah satu politisi Turki yang mengasingkan diri tinggal Pennsylvania (negara
bagian AS).
Gerakan yang menyebut diri mereka sebagai Gulenist ini memang beberapa kali
terlibat konflik politik dengan pemerintahan AKP, diantaranya dalam masalah
rekonsiliasi politik dengan Partai Komunis Kurdi (PKK), sebuah gerakan

4


pembebasan Kurdi. Pada 2012, Jaksa Penuntut di Turki menuduh seorang perwira
intelijen terlibat dalam pertemuan-pertemuan rahasia dengan PKK. Hal ini memicu
konflik antara AKP dan gerakan Gulen, karena Erdogan melihat langkah kejaksaan,
yang dinilai sebagai loyalis Gulen, berusaha menyudutkan dirinya, terlihat dari
keputusan Parlemen Turki mengesahkan undang-undang yang mempersyaratkan
persetujuan Perdana Menteri atas segala tindakan pejabat intelijen. Sekalipun
kalangan Gulenist juga tidak sedikit menuduh Erdogan sebagai pemimpin”otoriter”
dan “diktator”, namun mereka menolak dikaitkan dengan pelaku percobaan kudeta.
Siapa sebenarnya pelaku percobaan kudeta terhadap pemerintahan AKP berhaluan
Islamis tersebut masih menyisakan tanda tanda. Namun satu hal yang pasti bahwa
upaya percobaan kudeta kali ini akan menguatkan posisi Erdogan dan Partai AKP,
khususnya dalam mengawal kebijakan politik luar negerinya menghadapi
pemberontakan Kurdi di bagian selatan-utara Turki dan mengamankan
perbatasannya dengan Suriah sepanjang 822 km dengan pengiriman pasukan
militer ke perbatasan. Pada waktu yang sama, percobaan kudeta ini akan
melemahkan posisi militer, terlihat dari pargantian paksa pemimpin militer, dengan
penunjukan Panglima Tentara Wilayah I, Jenderal Umit Dundar sebagai Kepala Staf
AB Turki yang baru menggantikan Jenderal Hulusi Akbar yang semestinya berakhir
pada tahun 2019 mendatang.

Kegagalan percobaan kudeta kali ini dapat dimaknai, selain sebagai kemenangan
atas pemerintahan Partai AKP yang berhaluan Islamis dengan adanya dukungan
rakyat yang masih loyal, juga kemenangan tersendiri bagi Erdogan dengan agenda
politik tersendiri yaitu; menguatkan posisi lembaga Kepresidenan yang selama ini
hanya sekedar jabatan formalitas, menjadi sebuah lembaga yang memiliki pengaruh
eksekutif, yang tentunya melalui amandemen konstitusi.