BAB II LATAR BELAKANG PEMBANGUNAN TERMINAL TERPADU PINANG BARIS - Keberadaan Terminal Terpadu Pinang Baris Di Kota Medan (1990 – 2000)

BAB II LATAR BELAKANG PEMBANGUNAN TERMINAL TERPADU PINANG BARIS

  

2. 1. Kondisi Lalu Lintas Kota Medan Sebelum Adanya Terminal Terpadu

Pinang Baris

  Kota Medan sedang berbenah diri menjadi kota metropolitan, pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan, jasa dan lain – lain. Aktivitas di berbagai sektor kehidupan memberikan daya tarik tersendiri bagi kalangan masyarakat Medan khususnya dan masyarakat Sumatera Utara pada umumnya. Ketertarikan ini melakukan mobilitas penduduk dikalangan masyarakat Medan maupun dari luar Kota Medan sendiri. Mobilitas penduduk itu dapat kita lihat dari adanya gerakan atau perpindahan masyarakat di Sumatera Utara. Gerakan atau perpindahan masyarakat itu jelas sangat membutuhkan sarana yaitu jasa transportasi.

  Selain itu yang menjadi penyebab utama dalam terciptanya kesemrawutan lalu lintas Kota Medan adalah belum banyaknya ruas jalan yang dapat di lalui kenderaan bermotor. Kondisi jalan pada waktu itu yang memang masih layak dilalui adalah jalan

  • – jalan protokol yang memang berada di pusat kota ataupun langsung menuju ke pusat kota. Pertumbuhan antara jumlah kenderaan bermotor dengan pertumbuhan jalan di Kota Medan yang tidak seimbang menyebabkan terjadinya kemacetan dan
sama dengan yang dihadapi kota – besar lainnya di Indonesia. Masalah transportasi di Kota Medan umumya disebabkan oleh :

  1) Tidak seimbangnya jumlah kendaraan dengan kapasitas yang ada pada saat itu.

  2) Rendahnya sumberdaya manusia pengguna jalan hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan tentang budaya berlalu lintas.

  3) Sarana pendukung transportasi seperti marka jalan, lampu pengatur lalu lintas, halte bus, jembatan penyeberangan, fasilitas pejalan kaki, dan fasilitas berdasarkan jenis kenderaan yang digunakan. 4) Perubahan pola kehidupan yang terjadi ditengah kehidupan masyarakat sebagai akibat pertumbuhan ekonomi juga akan berpengaruh terhadap permintaan transportasi. Semakin terbukanya aktifitas ekonomi mendorong mobilitas manusia dan barang serta menimbulkan permintaan transportasi.

  Kebutuhan transportasi merupakan kebutuhan turunan akibat aktivitas ekonomi, sosial dan lainnya. Transportasi merupakan tulang punggung perekonomian nasional, regional, dan lokal baik di perkotaan maupun di pedesaan. Sistem transportasi memiliki sifat sistem jaringan dimana kinerja pelayanan transportasi sangat dipengaruhi oleh integrasi dan keterpaduan jaringan. Secara umum sistem transportasi Kota Medan masih belum memenuhi kriteria keberlanjutan yang ditandai dengan rendahnya kualitas jalan raya, rendahnya kualitas angkutan umum, meningkatnya angka kecelakaan, kemacetan di jalan – jalan utama, menurunnya yang berbiaya tinggi. Sebelum tahun 1990-an kondisi lalu lintas di kota Medan sangat memprihatinkan. Ini terjadi karena pada saat itu semua kendaraan masih bergerak dari dan menuju inti kota yang tentu saja menciptakan kesemrawutan. Wilayah Sambu menjadi inti dari semua tujuan angkutan umum yang berangkat dari seluruh wilayah di kota Medan. Dari sini juga kita bisa memilih angkutan umum untuk mencapai daerah tujuan yang kita inginkan.

  Salah satu ciri khas yang terlihat adalah jaringan transportasi yang tercipta pada masa itu merupakan hasil dari hubungan antar pasar yang ada di kota Medan untuk menggerakkan ekonomi perdagangan melalui angkutan umum. Daerah Sambu yang berdampingan dengan Pusat Pasar menjadi tujuan para pelaku ekonomi.

  Kelompok produsen melakukan kegiatan memasarkan barang – barang kebutuhan, sedangkan pihak konsumen mencari barang-barang yang mereka butuhkan.

  Sentralisasi inilah yang menyebabkan terjadinya kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas di Kota Medan. Banyaknya aktifitas masyarakat dengan tujuan dari dan menuju Sambu menyebabkan banyak perusahaan transportasi dalam kota yang menjadikan daerah Sambu menjadi asal keberangkatan angkutannya menuju daerah pinggiran kota. Selain itu mayoritas daripada angkutan kota pada waktu itu adalah KPUM ( Koperasi Pengangkutan Umum Medan ) yang kantor Pusatnya berada di

  

  kawasan Sambu tepatnya di jalan Rupat. Sehingga KPUM dalam memulai menjalankan kegiatannya langsung dari kawasan ini menuju wilayah – wilayah pinggiran Kota Medan. Sebagai contoh : jika anda hendak melakukan perjalanan menuju kawasan Sunggal sedangkan posisi awal anda berada di daerah Pulo Brayan ataupun daerah lainnya, maka anda terlebih dahulu harus menuju kawasan Sambu kemudian berpindah angkutan dengan memilih angkutan yang menuju Sunggal. Demikian juga sebaliknya dan tujuan yang lainnya.

  Keadaan ini diperparah dengan keberadaan bemo, bajai, dan becak mesin ( becak bermotor ) yang pada saat itu masih membanjiri lalu lintas kota Medan.

  Keberadaan mereka sangat mempengaruhi lalu lintas di Kota Medan karena memiliki kuantitas yang besar sehingga dalam aktifitasnya keberadaan kedua jenis angkutan ini dalam setiap ruas jalan Kota Medan selalu aktif. Becak Mesin selalu mangkal dalam setiap persimpangan jalan yang mengakibatkan jalanan semakin sempit. Selain itu kecepatan rata – rata untuk jenis kenderaan ini relatif rendah sehingga memaksa setiap kenderaan di belakangnya untuk menyesuaikan kecepatannya demi menjaga ketertiban lalu lintas.

  Untuk kondisi lalu lintas dari dan menuju luar Kota Medan, itu belum ada suatu kawasan khusus yang dijadikan sebagai terminal penumpang. Para penumpang berdiri berjejer di sepanjang jalan untuk menanti atau menunggu bus/kenderaan yang sesuai dengan tujuan mereka di luar kota. Akibatnya banyak kenderaan angkutan yang menumpuk di sekitar lokasi berdirinya penumpang sehingga memunculkan kawasan terminal liar. Pada saat itu yang ada hanya kawasan – kawasan penumpukan bus – bus tujuan luar kota yang semuanya tercipta tanpa adanya kesengajaan ataupun masih berbentuk tidak resmi. Dikatakan kawasan – kawasan karena memang terdapat dengan kondisi geografis Kota Medan yang menjadi persimpangan lalu lintas regional Sumatera. Kawasan yang pertama adalah terletak di jalan Sei Wampu melalui jalan Gatot Subroto yang pada waktu itu terkenal dengan istilah Simpang Barat. Bus – bus yang berangkat dari kawasan ini untuk melayani daerah tujuan

   Binjai, Langkat, Tanah Karo, Sidikalang dan juga menuju propinsi D. I Aceh.

  Sedangkan kawasan yang kedua adalah kawasan disekitar stadion Teladan (

  

  sekarang Yuki Simpang Raya ). Disini banyak terdapat berbagai macam – macam bus baik yang ukuran besar maupun kecil yang khusus melayani penumpangnya untuk tujuan kota – kota yang berada di sepanjang Pantai Barat dan Pantai Timur Sumatera bahkan ada juga yang sampai ke kota Jakarta. Kedua kawasan ini sudah ada akibat tingginya kebutuhan masyarakat dalam hal sistem transportasi dan juga tingginya mobilisasi penduduk dari daerah ke kota Medan dan sebaliknya yang membutuhkan alat transportasi untuk semakin mempermudahnya. Kondisi ini tentu menimbulkan kesemrawutan yang diakibatkan oleh :

  1. Lokasi dari kedua kawasan tersebut berada hampir dekat dengan inti kota Medan. Dampak yang terjadi adalah semakin meningkatnya volume kendaraan yang menuju inti kota tetapi tidak diimbangi dengan penambahan jumlah ruas jalan ataupun pelebaran badan jalan.

  Derasnya arus kendaraan menuju pusat kota mengakibatkan 11 terganggunya aktifitas masyarakat yang ada di pusat kota. Ditambah

  Hasil wawancara dengan Bapak Haidir ( Kepala Tata Usaha Terminal Pinang Baris ) Tanggal

10 April 2013

  dengan setiap aktifitas yang dilakukan di kawasan ini selalu memanfaatkan badan jalan sehingga mengganggu pengguna jalan yang lain misalnya untuk parkir armada bus yang menggunakan bahu jalan, posisi untuk menaikkan ataupun menurunkan penumpang yang juga menggunakan bahu jalan serta posisi mangkal setiap jenis angkutan yang berbeda – beda makin membutuhkan banyak lahan dan tentu saja terpaksa menggunakan bahu jalan. Bila diperhatikan kondisi ini semakin memperparah lalu lintas yang berada di sekitar kawasan itu.

  2. Sarana pendukung transportasi seperti marka jalan, lampu pengatur lalu lintas dll masih belum lengkap. Hal ini tentu saja menjadi salah satu penyebab tingginya angka kemacetan di kedua kawasan ini dan tentu saja ini mengakibatkan banyaknya terjadi angka kecelakaan,

  3. Banyaknya aktivitas masyarakat yang bergerak di sektor informal yang menggantungkan kehidupan ekonominya disekitar kawasan tersebut seperti kelompok pedagang, agen dan buruh angkut. Situasi seperti ini menimbulkan masalah – masalah sosial disekitar kawasan seperti premanisme, tindakan kriminal dan lain – lain. Oleh sebab itu pemerintah mulai memikirkan untuk memindahkan lokasi kedua kawasan yang berfungsi sebagai terminal ini ke daerah pinggiran kota

  

2. 2. Upaya Mengatasi Permasalahan Lalu Lintas Kota Medan Sebelum Adanya

Terminal Pinang Baris

  Kondisi lalu lintas kota Medan pada sekitar era tahun 1980 – an seperti yang telah dibahas diatas sangat tidak teratur dan terkendali. Hal ini dibuktikan dengan

   tingginya angka kecelakaan dan terjadinya kemacetan pada saat jam – jam sibuk.

  Jumlah kendaraan yang bertambah tidak seiring dengan penambahan ruas jalan baru serta masih minimnya rambu - rambu jalan untuk mengatur para pengguna jalan.

  Selain itu kendaraan – kendaraan angkutan baik angkutan barang maupun penumpang masih melalui jalan – jalan utama yang ada di inti kota Medan dikarenakan untuk mendapatkan waktu tempuh yang lebih singkat dan perhitungan sisi ekonomi yang lebih murah. Khusus untuk angkutan penumpang, banyaknya jenis angkutan baik untuk dalam kota maupun untuk luar kota merupakan penyumbang terbesar untuk masalah kemacetan. Angkutan dalam kota selalu bermangkal di setiap persimpangan

  • – persimpangan jalan utama di kota Medan. Hampir di setiap persimpangan jalan pada saat itu bisa kita temui beberapa angkutan kota yang mangkal untuk melayani rute perjalanan untuk wilayah disekitar persimpangan itu. Belum lagi ditambah dengan kendaraan jenis angkutan roda tiga seperti becak bermotor ( becak mesin ), becak dayung, bemo dan bajai yang menghiasi setiap sudut jalanan kota Medan. Bisa dibayangkan kondisi yang akan terjadi. Ruas jalan yang terdiri dari dua lajur dipenuhi oleh banyaknya kendaraan. Kenderaan itu melintas untuk waktu yang bersamaan sehingga kemacetan pun akan terjadi. Timbulnya kemacetan biasanya akibat dari
keegoisan para pengguna jalan, prasarana dan sarana transprtasi yang kurang mendukung sudah pasti akan menciptakan kemacetan lalu lintas. Kondisi ini terjadi karena beberapa hal yaitu :

  1. Kurangnya kesadaran ( rasa egois ) dari para pengemudi/supir angkutan umum yang menaikkan dan menurunkan penumpang dengan seenaknya, memarkirkan kendaraan tanpa memikirkan pengguna jalan yang lain yang pasti dirugikan.

  2. Sarana dan prasarana jalan yang kurang mendukung untuk mendukung sistem transportasi di kota Medan.

  3. Tidak tersedianya halte bus.

  4. Perangkat pemerintah yang membidangi hal ini belum berfungsi secara maksimal.

  Keempat hal – hal yang menimbulkan kemacetan diatas belum terpenuhi sehingga perlu perhatian yang lebih serius dari pihak pemerintah. Demikian juga untuk masalah angkutan yang melayani antar kota, juga menjadi penyumbang dalam masalah kemacetan lalu lintas kota Medan. Angkutan kota Medan sebelum tahun 1990 didominasi oleh bus – bus ukuran sedang dan ukuran besar dan beberapa perusahaan angkutan ini ada yang melayani penumpangnya dengan rute melintasi inti

  

  kota. Masih terlintas dalam pikiran ketika bus – bus ukuran besar dari kota – kota di sekitar kota Medan langsung menuju wilayah Sambu dengan membawa 14 Bus – bus ukuran besar seperti CV. Setia dan CV. Budi yang melayani rute Belawan -

  Sambu, DAMRI yang melayani rute Binjai - Sambu, sedangkan untuk ukuran sedang di dominasi oeh penumpangnya yang sebahagian besar adalah pelaku – pelaku ekonomi kecil dan menengah. Seperti bus – bus dari kota Belawan, Lubuk Pakam dan Kota Binjai.

  Masalah yang terjadi hampir sama dengan yang dilakukan oleh angkutan dalam kota yaitu, parkir secara sembarangan, menaikkan dan menurunkan penumpangnya dengan sembarangan dan menggunakan jalan dengan seenaknya tanpa memikirkan para pengguna jalan yang lain.

  Beberapa alternatif yang dilakukan untuk mengurai tingkat kepadatan lalu lintas di Kota Medan adalah: 1) Pada awal tahun 1990 – an pemerintah secara bertahap mulai melakukan pelebaran jalan di beberapa ruas jalan yang dianggap penting. Misalnya jalan

  Gatot Subroto, jalan Adam Malik ( Glugur By Pass ), Jalan Sutomo, Jalan

   Sunggal, Jalan Jamin Ginting dan lain sebagainya. Selain pelebaran jalan

  juga dilakukan pengaspalan terhadap jalan – jalan yang dianggap penting sebagai jalan alternatif ketika kemacetan sedang berlangsung.

  2) Selain pelebaran dan pengaspalan jalan juga dilakukan penambahan marka jalan untuk mendukung kelancaran lalu lintas pengguna jalan. Di beberapa titik persimpangan yang dianggap rawan kemacetan dibuatlah lampu lalu lintas dan rambu – rambu lalu lintas. Kemudian penambahan rambu lalu lintas di sisi jalan yang dianggap rawan kemacetan seperti larangan parkir, larangan berhenti dan rambu untuk hati – hati. Sebelumnya juga sudah dilakukan sosialisasi terhadap arti dari setiap lambang yang terdapat dalam setiap rambu lalu lintas tersebut sehingga para pengguna jalan dapat mengerti sepenuhnya

   apa maksud dan tujuan dari keberadaan rambu – rambu tersebut.

3) Pemerintah menurunkan aparat kepolisian dan Dinas Lalu Lintas Angkutan

  Jalan Raya ( DLLAJR ) untuk melakukan penertiban di lapangan baik berupa tindakan persuasif yang dalam pelaksanaannya bersifat teguran atau pemberitahuan maupun melakukan tindakan langsung ( tilang ). Kedua cara ini juga dilakukan disekitar kawasan tempat pemberangkatan penumpang tujuan luar kota yang berada di sekitar Simpang Barat dan juga kawasan Stadion Teladan. Namun sesuai dengan topik pembahasan bahwa ini dilakukan untuk mengatasi kondisi lalu lintas kota Medan yang tinggi tingkat kemacetannya yang seperti telah dibahas sebelumnya bahwa kedua kawasan ini merupakan salah satu faktor penyebab kemacetan tersebut.

  Inilah upaya – upaya yang dilakukan secara langsung oleh pemerintah dalam mengatasi kondisi kemacetan lalu lintas Kota Medan yang diperparah oleh masih belum terkordinasinya tata kelola sistem transportasi pada saat itu. Upaya yang lain dilakukan adalah diberlakukannya peremajaan terhadap kenderaan transportasi dalam kota khususnya bemo, kemudian adanya ruas jalan yang khusus dan tidak boleh dilalui oleh angkutan umum, becak mesindan becak dayung seperti kawasan jalan Jend. Sudirman yang merupakan kawasan tertib lalu lintas, selanjutnya kawasan Jalan Putri Hijau, Jalan Diponegoro, dan jalan Imam Bonjol, walaupun masih sering dilalui oleh kenderaan roda tiga khususnya becak.

  Dampak dari diberlakukannya upaya – upaya diatas langsung dapat dirasakan dengan berkurangnya jumlah kenderaan yang melaju pada saat jam sibuk serta bertambahnya kesadaran para pengguna jalan khususnya para pengemudi angkutan umum dalam kota. Sedangkan untuk angkutan umum tujuan luar kota mulai mengkonsentrasikan armada angkutannya dengan menerapkan sistem pool dan mulai menata manajemen keberangkatan armadanya lewat pool masing – masing perusahaan angkutan. Kenderaan – kenderaan ukuran besar mulai dilarang masuk ke inti kota dan harus di parkirkan di sekitar pool masing – masing.

  2. 3. Pembangunan Terminal Terpadu Pinang Baris

  Tahun 1980-an pemerintah mulai memikirkan bagaimana menata sistem

  

  transportasi di Kota Medan. Sebagai daerah perlintasan untuk regional Sumatera, baik untuk tujuan ke Propinsi D. I. Aceh maupun untuk tujuan ke kota – kota lainnya misalkan Padang, Pekan Baru, Jambi, Palembang, Lampung ataupun ke Pulau Jawa. Pemerintah merasa perlu untuk melakukan sentralisasi keberadaan angkutan – angkutan tujuan luar kota dalam satu tempat. Kondisi yang tercipta pada waktu itu adalah Kota Medan sebagai salah satu kota besar di Indonesia hanya memiliki:

  1) Pelabuhan Belawan untuk transportasi laut, 2) Tansportasi udara sudah didukung dengan adanya Bandara Polonia sebagai sarana angkutan udara bertaraf Internasional, 3) Transportasi darat hanya memiliki Stasiun Besar Kereta Api, Tetapi Kota Medan belum memiliki Terminal khusus untuk angkutan bus tujuan luar kota. Kondisi ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan kota – kota lain yang ada di Pulau Sumatera yang sudah memiliki terminal bus terlebih dahulu. Melihat kondisi yang ada maka di putuskan bahwa Propinsi Sumatera Utara khususnya Kota Medan sangat membutuhkan terminal angkutan umum sebagai wadah untuk membangun sistem transportasi yang selama ini belum ada. Untuk mengejar ketertinggalan itu serta untuk mengatasi kebutuhan masyarakat akan sistem transportasi yang lebih modern, maka pemerintah Propinsi Sumatera Utara mulai merancang rencana untuk membangun terminal bus. Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya Propinsi Sumatera Utara ditugaskan untuk melakukan kajian untuk pembangunan terminal tersebut.

  Setelah melakukan kajian dan melihat dari keberhasilan propinsi tetangga yang telah lebih dulu memiliki terminal angkutan, maka diputuskan bahwa Kota Medan sudah layak untuk memiliki terminal angkutan umum. Masalah yang kemudian timbul adalah sebagai daerah perlintasan, Kota Medan tidak mungkin membangun hanya sebuah terminal angkutan saja, sebab dari Kota Medan ada tiga daerah tujuan keberangkatan yaitu: pertama untuk tujuan : Binjai, Stabat, Tanjung Pura, bahkan ke Propinsi Aceh, kedua untuk tujuan Lubuk Pakam, Rantau Prapat, Pematang Siantar, Tarutung, Sibolga, Pekanbaru, Padang bahkan ke Pulau Jawa, dan yang ketiga untuk tujuan Tanah Karo, Sidikalang, Kutacane, Singkil, Subulussalam, dan seterusnya. Jika hanya membangun sebuah terminal maka dibutuhkan area yang sangat luas untuk mencakup semua perusahaan – perusahaan angkutan umum berikut merugikan sebuah pihak baik pihak perusahaan angkutan maupun dari pihak penumpang. Serta dibutuhkan juga manajemen yang baik untuk mengatur dan mengelola terminal tersebut.

  Setelah melalui proses yang panjang maka diputuskan untuk membangun sdua buah terminal sekaligus untuk mengurai kemacetan yang mendekati inti kota serta menempatkan bus – bus tujuan luar kota di sebuah wilayah yang berada di pinggiran kota Medan. Keputusan yang diambil adalah dengan membangun sebuah terminal sebagai pintu masuk Kota Medan dari arah tenggara dan tepatnya berada di daerah Amplas sedangkan sebuah lagi untuk pintu masuk Kota Medan melalui arah barat laut yang tepatnya berada di daerah Pinang Baris. Pembangunan kedua terminal terpadu tersebut adalah dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap bus, baik antar kota maupun bus dalam kota serta non – bus, memperlancar hubungan antar Kota Medan dengan daerah pinggirannya dan juga untuk memecahkan sebahagian masalah kemacetan lalu lintas kota Medan. Disamping itu dengan sendirinya meningkatkan pendapatan dari retribusi yang diambil oleh penanggung jawab jasa terminal.

  Sesuai dengan judul tulisan maka isi dari tulisan ini intinya membahas tentang Terminal Pinang Baris walaupun nanti mungkin akan merangkai pembahasan kedua terminal yang ada di Kota Medan. Koordinat geografisKota Medan adalah 3

  • 3

  ˚30’

  ˚43’ LU dan 98˚35’ - 98˚44’ LU dengan kondisi permukaan tanah cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 – 3,75 meter diatas permukaan laut. Dengan Malaka sedangkan sebelah Barat, Selatan dan Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang. Luas Kota Medan saat ini adalah 265, 10 km² yang sebelumnya hingga tahun 1972 hanya mempunyai luas sebesar 51,32 km² namun kemudian diedarkan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun1973 yang memperluas wilayah Kota Medan dengan mengintegrasikan sebagian wilayah Kabupaten Deli Serdang.

  Sesuai dengan namanya Terminal Terpadu Pinang Baris maka nama daerah tersebut dicantumkan sebagai nama dari terminal ini. Berada di Kecamatan Medan Sunggal di kelurahan Pinang Baris. Dibangun diatas tanah kosong milik pemerintah Kota Medan serta di tambah dengan tanah bekas pekuburan etnis Tionghoa sehingga terminal ini dibangun diatas lahan dengan luas total 33.430 m². Pelaksanaan pembangunan terminal secara fisik dimulai pada bulan Mei 1990 dan keseluruhan pembangunan rampung dilaksanakan pada akhir Desember 1991. Penentuan suatu lokasi yang akan dibangun sebagai terminal terpadu tergantung kepada seberapa besar manfaat yang akan diperoleh dari keberadaan terminal terpadu tersebut dibandingkan dengan dana yang dikeluarkan untuk pembangunan tersebut. Pembangunan terminal ini tidaklah menimbulkan kerugian kepada suatu pihak karena tidak adanya penggusuran dan dibangun diatas tanah kosong serta diatas

  

  pekuburan etnis Tionghoa. Adapun bangunan fisik yang tersedia didalam Terminal Pinang Baris yang dibangun adalah terdapat sebanyak 48 unit loket bus, 34 unit bangunan kios, 8 unit toilet umum, 2 unit bangunan untuk gudang dan tempat cuci kenderaan serta 2 unit bangunan untuk reparasi ataupun perbaikan singkat seperti tempel ban, selain itu di tambah dengan pelataran parkir yang dapat menampung 500 unit angkutan dalam kota serta 400 unit bus antarkota serta bangunan induk yang di fungsikan sebagai perkantoran, ruang tunggu dan adanya fasilitas mushalla dan telepon umum.