BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis - Peranan Akuntan Forensik, Pentingnya Pengacara Dan Pendapat Hakim Dalam Peradilan Untuk Menginvestigasi Dan Mengungkapkan Kasus Korupsi Di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Pengertian Akuntansi Forensik

  Akuntansi forensik adalah aplikasi ilmu keuangan dan mental investigatif dalam upaya pemecahan masalah dalam konteks ‘rule of evidence’.

  Sebagai sebuah disiplin ilmu, akuntansi forensik mencakup keahlian tentang keuangan, pengetahuan tentang kecurangan serta pemahaman terhadap realitas bisnis dan cara kerja dari sistem hukum (Bologna & Linquist 1995:42).

  Houcks (dalam Bressler 2000:3) menyatakan bahwa akuntansi forensik dapat didefinisikan sebagai penggunaan akuntansi, audit, dan keterampilan investigasi untuk membantu dalam masalah hukum. Sama halnya dengan dokter forensik yang merupakan aplikasi dari ilmu kedokteran untuk menemukan bukti- bukti kejahatan, teknik akuntansi forensik pun menerapkan teknik-teknik akuntansi untuk mengungkapkan aspek finansial yang berkaitan langsung dengan dugaan keras penyelewengan tersebut. Seorang akuntan forensik akan dapat mengenali dan melakukan analisis mendalam atas transaksi finansial yang rumit dan canggih yang digunakan oleh pelaku kejahatan untuk menutupi jejak tindakannya.

  Akuntansi forensik, menyediakan suatu analisis akuntansi yang dapat digunakan dalam perdebatan di pengadilan yang merupakan basis untuk diskusi serta resolusi di pengadilan. Penerapan pendekatan-pendekatan dan analisis- analisis akuntansi dalam akuntansi forensik dirancang untuk menyediakan analisis dan bukti memadai atas suatu asersi yang nantinya dapat dijadikan bahan untuk pengambilan berbagai keputusan di pengadilan.

  Akuntansi forensik sebagai aplikasi ilmu akuntansi yang bermanfaat dalam penyelesaian dan pencegahan tindak pidana korupsi. Menurut Tuanakotta (2007:3), faktor yang mendorong berkembangnya akuntansi forensik dengan cepat di Amerika Serikat (Sarbanes-Oxley Act 2002). Yang menjadi objek akuntansi forensik di sektor swasta maupun sektor publik adalah skandal keuangan yang menyangkut fraud “penghilangan” aset, seperti pencurian, penyalahgunaan, dan lain-lain. Dengan demikian diperlukan akuntan forensik yang mempunyai keahlian dalam menginvestigasi indikasi adanya korupsi atau tindak penyelewengan lainnya di sebuah perusahaan atau instansi negara.

  Agar akuntan forensik untuk dapat mengidentifikasi indikator penipuan, mereka harus terlatih di bidang investigasi, deteksi, dan berbagai teknik audit khusus. Pada umumnya penyidik forensik akan menjadi auditor yang berpengalaman dan akuntan. Harris dan Brown (dalam Bressler, 2000:3) menyarankan bahwa seorang akuntan forensik harus dapat menunjukkan keahlian khusus dalam aturan bukti dan hukum, kemampuan analisis dan investigasi, identifikasi pola kekerasan, interpersonal yang sangat baik dan kemampuan komunikasi, dan keterampilan berorganisasi. Buckhoff dan Hansen (dalam Bressler, 2010:4) menunjukkan bahwa tidak hanya kemampuan komunikasi yang baik yang menjadi indikator penting, tetapi penyidik penipuan juga harus bisa bertanya pertanyaan yang tepat.

  Akuntan forensik biasanya akrab dengan hukum pidana, perdata, serta memahami prosedur dalam ruang sidang. Mereka menekankan keterampilan investigasi, termasuk teori, metode dan pola dari fraud. Akuntan forensik berfikir kreatif untuk mempertimbangkan dan memahami taktik pelaku penipuan yang di gunakan pelaku dalam melakukan dan menyembunyikan fraud. Seain itu akuntan forensik juga berkomunikasi secara jelas dan ringkas kepada berbagai pihak tentang penemuannya, termasuk kepada mereka yang masih awam tentang audit.

  Grippo dan Ibex (dalam DiGabriele, 2008:4) menggambarkan bahwa keterampilan yang paling penting yang dimiliki seorang akuntan forensik adalah pengalaman dalam bidang akuntansi dan audit, perpajakan, operasi bisnis, manajemen, internal control, hubungan interpersonal, dan komunikasi. Messmer (dalam DiGabriele, 2008:4) menyatakan bahwa akuntan forensik sukses harus memiliki komunikasi tertulis dan lisan, pola pikir kreatif dan ketajaman bisnis.

  Mereka mampu mewawancarai orang yang memiliki potensi tidak kooperatif dan memiliki skeptisme yang kuat.

  Akuntansi forensik mengarahkan untuk menyediakan informasi keuangan dan akuntansi untuk tujuan yang sah. Untuk mencapai tujuan tersebut, seorang akuntan forensik mestinya tidak hanya memiliki keahlian akuntansi, tetapi juga keterampilan dalam bidang hukum, teknik investigatif, hubungan antar personal dan keterampilan komunikasi, sehingga tidak hanya terampil dalam akuntansi keuangan.

  Akuntansi forensik sudah mulai digunakan secara luas di beberapa negara di dunia. America Serikat dan Kanada merupakan Negara pionernya. Di Indonesia sendiri akuntansi forensik mulai digunakan saat reformasi 1998 sebagai akibat krisis keuangan yang terjadi di Asia dan menyebabkan korupsi menjadi merajalela.

  Temuan audit tuduhan keluhan

  Bukti ada tidaknya pelanggaran

  fraud

  Indikasi awal adanya

  fraud

  Output Identifikasi potensi

  Temuan Audit

  Risk Assesment

Tabel 2.1 Diagram Akuntansi Forensik

  Sumber Informasi

  Hukum: Pidana Perdata Administratif Arbitrase dan alterntif penyelesaian sengketa

  Proaktif Investigatif Akuntansi Ganti Rugi

  Fraud Audit

  Akuntansi Forensik

  Jenis Penugasan

  (Sumber: Tuanakotta, 2010:19)

2.1.2 Pentingnya Pengacara

  Pengancara merupakan orang yang memberikan nasehat dan pembelaan pada orang atau organisasi yang terjerat kasus hukum. Di Indonesia pengacara disebut juga dengan istilah Advokat. Advokat atau pengacara adalah bagian tak terpisahkan dari dinamika dan kinerja didunia peradilan, selain terdakwa sendiri.

  Mereka (advokat, tersangka, terdakwa, penggugat, atau tergugat) adalah lawan main atau partner kerja langsung dalam persidangan dengan hakim (perkara perdata), serta polisi, jaksa, dan hakim dalam peradilan pidana. Kalau hasil polling TII mengatakkan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan masik indeks lembaga terkorup, tentu yang menjadi korban atau sekaligus partisipan dalam korupsi berjamaah itu adalah advokat, terdakwa, penggungat, atau tergugat.

  Advokat merupakan penegak hukum selain polisi, jaksa, dan hakim. Dalam sistem penegakan hukum pidana terpadu (integrated criminal justice), advokat menjadi bagiannya. Mestinya konsep orisinil advokat bukanlah pembela kejahatan, tetapi penegak hukum dan pembela keadilan. Dalam praktiknya advokat biasa menyeludupkan hukum, subyektif, melihat hukum dari kacamata klien yang dibelanya. Benar dijadikan salah dan salah dijadikan benar. Indonesia mempunyai masalah korupsi yang parah. Pihak yag diuntungkan dengan adanya kasus korupsi ini adalah advokat.

2.1.3 Pendapat Hakim di Peradilan

  Hakim merupakan orang yang dianggap mampu menyelesaikan perkara korupsi secara jelas, tetapi adakalanya kekuasaan hakim dipengadilan justru dipengaruhi oleh pihak yang ingin menyelamatkan diri dari sanksi pidana dengan mengiming-imingi hakim tersebut dengan apapun yang dianggap menguntungkan hakim tersebut. Serta tak jarang seorang hakim diintimidasi oleh para koruptor dengan mengganggu kekuasaannya dalam pengadilan berupa ancaman bagi para hakim yang tidak mau bekerja sama dan ada juga yang melakukan pemberian sejumlah uang agar perkaranya dimenangkan sehingga terdakwa mendapat vonis bebas.

  Hakim sangat berperan dalam penyelesaian kasus korupsi. Keputusan dan persepsi dari seorang hakim menentukan kualitas penegakan hukum suatu Negara.

  Makin maraknya tindak pidana korupsi dewasa ini, sehingga dianggap perlu adanya pengaturan tindak pidana korupsi, mengingat juga sifat dari tindak pidana korupsi merupakan “extraordinary crime”. Oleh karena itu pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh hakim antara lain dengan instrument hukum yang luar biasa tersebut tidak bertentangan dengan standar hukum secara universal.

  Pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh hakim dipengadilan yang saat ini gencar dilakukan merupakan langkah nyata menuju kehidupan bernegara yang lebih baik. Namun kesemuanya pemberantasan yang dilakukan oleh hakim memiliki kendala maupun hambatan dimana seorang hakim harus secara teliti mengkaji mengenai alat bukti yang diajukan saat persidangan karena merupakan tindak pidana khusus yang diatur secara tersendiri oleh Undang-Undang No.21 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini.

  Dalam peradilan, hakim memimpin jalannya persidangan berdasarkan bukti yang hanya diajukan oleh jaksa. Dia tidak bisa melihat bukti lain. Hakim hanya terbatas pada dakwaan, tidak boleh mengadili, dan memeriksa fakta diluar dakwaan. Jadi kalau putusan pengadilan adalah bebas maka bukan hanya hakim yang bertanggungjawab melainkan juga jaksa dan aparat penegak hukum lainnya. Jika orang terpilih menjadi hakim di pengadilan tipikor (tindak pidana korupsi) dan kemudian diminta harus menghukum semua orang yang didakwa korupsi tanpa memperhatikan fakta-fakta persidangan berarti ini merupakan tanda-tanda negara kekuasaan, bukan negara hukum. Yang mana salah satu karakter negatif negara kekuasaan adalah hakim sebagai alat kekuasaan dan tidak punya kemandirian.

2.1.4 Pengertian Fraud

  Berdasarkan Black’s Law Dictionary (dalam Tunggal 2010:2) “fraud is a generic embracingall the multifarious means which human

  ingenuity can devise, which are resortedto by one individual, to get an advantage over another by false representation. No definite and invariable rule can be laid down as a general proposition in defining fraud, as it includes surprise, trick, cunning and unfair ways by which another is cheated. The only boundaries drfining it are those which limit human is cheated. (Kecurangan adalah istilah umum, mencakup berbagai alat yang

  kecerdikan (akal bulus) manusia dapat direncanakan, dilakukan oleh seseorang individual, untuk memperoleh manfaat terhadap pihak lain dengan penyajian yang palsu. Tidak ada aturan yang tetap dan tanpa kecuali dapat ditetapkansebagai dalil umum dalam mendefenisikan kecurangan karena kecurangan mencakup kekagetan, akal (muslihat), kelicikan dan caa-cara yang tidak layak atau wajar untuk menipu orang lain. Batasan satu-satunya mendefenisikan kecurangan adalah apa yang membatasi kebangsatan manusia). Kecurangan atau fraud dapat didefenisiskan sebagai tindakan kriminal

  (crime) yang dilakukan secara sengaja oleh seseorang atau beberapa orang berupa kecurangan/ ketidakberesan (irregularities) atau penipuan yang melanggar hukum (illegal act) untuk mendapatkan keuntungan atau mengakibatkan kerugian suatu organisasi. Secara umum fraud merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orange-orang dari dalam atau dari luar organisasi, dengan maksud mendapatkan keuntungan pribadi dan atau kelompoknya yang secara langsung merugikan pihak lain.

  Dari defenisi fraud diatas, maka yang di maksud dengan fraud sangatlah luas dan dapat dilihat pada beberapa kategori kecurangan. Menurut Tunggal (1992:19) suatu tindakan dikatakan fraud 1.

  Harus terdapat penyajian yang keliru (misrepresentation) apabila memenuhi beberapa unsur, dimana keseluruhan unsur harus ada, jika tidak ada maka dianggap kecurangan tidak terjadi :

  2. Dari suatu masa lampau (past) atau sekarang (present) 3.

  Faktanya material (material fact) 4. Dilakukan secara sengaja atau tanpa perhitungan (make-knowingly or

  recklessly) 5.

  Dengan maksud (intent) untuk menyebabkan pihak lain bereaksi 6. Pihak yang terlukai harus bereaksi (acted) terhadap kekeliruan penyajian (misreprentation)

  7. Mengakibatkan kerugian (detriment)

  Fraud disini juga termasuk manipulasi, penyalahgunaan jabatan,

  penggelapan pajak, pencurian aktiva, dan tindakan buruk lainnya yang dilakukan seseorang yang dapat mengakibatkan kerugian bagi organisasi/ perusahaan.

  Sebagai contoh adalah kasus korupsi. Korupsi merupakan suatu hal yang sangat sulit diberantas, bahkan korupsi di Indonesia sudah dilakukan secara sistemik, namun kita harus yakin bahwa korupsi dapat dicegah, paling tidak diperkecil kemungkinan terjadinya.

2.1.4.1 Langkah-langkah pencegahan fraud

  Pencegahan kecurangan merupakan tanggung jawab manajemen. Auditor intern bertanggung jawab untuk menguji dan menilai kecukupan serta efektifitas tindakan manajemen untuk memenuhi kewajiban tersebut. Dengan demikian auditor internal harus melakukan audit sesuai dengan prosedur, memonitor gejala- gejala fraud, melakukan penelusuran untuk mencegah fraud dan mengindintifikasi fraud yang mungkin terjadi.

  Pencegahan kecurangan bukanlah merupakan hal yang mudah, dikarenakan

  

fraud dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan cara yang cenderung semakin

  canggih seiring dengan kemajuan teknologi dan semakin kompleksnya aktifitas bisnis.

  Menurut Razae dan Riley (2005:7) menjelaskan ada tiga unsur yang harus diperhatikan oleh pihak manajemen perusahaan bila ingin mencegah terjadinya tindakan fraud, yaitu: 1.

  Menciptakan dan mengembalikan budaya yang menghargai kejujuran dan nilai-nilai etika yang tinggi.

2. Penerapan dan evaluasi proses pengendalian anti kecurangan 3.

  Pengembangan proses pengawasan (Oversight Process) Dalam Amrizal (2004:3) salah satu asosiasi di USA yang mendarmabaktikan kegiatannya dalam pencegahan dan pemberantasan kecurangan Association of Certified Fraud Examination (ACFE) mengelompokkan fraud kedalam tiga kelompok dan tindakan pendeteksian fraud berdasarkan tiga kelompok kecurangan tersebut adalah:

  1) Kecurangan laporan keuangan (Financial Statement Fraud)

  2) Penyalahgunaan asset (Aset Misappropriation)

  3) Corruption (Korupsi)

  1) Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud)

  Kecurangan laporan keuangan dapat didefenisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemendalam bentuk salah saji material laporan keuangan yang merugikan investor dan kreditor. Kecurangan terhadap laporan keuangan dapat dideteksi melalui analisis laporan sebagai berikut: a.

  Analisis vertikal, yaitu teknik yang digunakan untuk menganalisi hubungan antara item-item dalam laporan laba- rugi, neraca, laporan aruskas dengan menggambarkannya dalam persentase.

  b.

  Analisis rasio, yaitu alat dalam mengukur hubungan antara nilai-nilai item dalam laporan keuangan. Contohnya current

  ratio , adanya tindak pidana penggelapan uang atau

  pencucian kas dapat menyebabkan turunnya perhitungan rasio tersebut. c.

  Analisis Horizontal, yaitu teknik untuk menganalisis persentase-persentase perubahan item-item laporan keuangan selama beberapa periode laporan. 2)

  Penyalahgunaan asset (Aset Misappropriation) Penyalahgunaan asset digolongkan kedalam ‘kecurangan kas’ dan ‘kecurangan atas persediaan dan asset lainnya’. Banyak teknik yang dapat dilakukan untuk mendeteksi setiap kasus penyalahgunaan asset. Masing-masing jenis kecurangan dapat dideteksi melalui beberapa teknik yang berbeda. Misalnya, untuk mendeteksi kecurangan dalam pembelian ada beberapa metode deteksi akan menunjukkan gejala penyimpangan yang dapat diinvestigasi lebih lanjut untuk menentukan ada tidaknya kecurangan. Selain itu metode tersebut juga menunjukkan kelemahan-kelemahan dalam pengendalian intern dan mengingatkan auditor akan adanya potensi terjadinyakecurangan dimasa mendatang. Adapun tekniknya adalah sebagai berikut: a.

  Analytical review, merupakan suatu review atas berbagai akun yang mungkin menunjukkan ketidakbiasaan atau kegiatan- kegiatan yang tidak diharapkan. Sebagai contoh adalah perbandingan antara pembelian barang persediaan dengan penjualan bersih yang dapatmengindikasikan adanya pembelian yang terlalu tinggi atau terlalu rendah bila dibandingkan dengan tingkat penjualannya. b.

  Statical Sampling, seperti persediaan, dokumen dasar pembelian dapat diuji secara sampling untuk menentukan ketidakbiasaan.

  Metode deteksi ini akan efektif jika ada kecurigaan terhadap satu atributnya, misalnya pemasok fiktif.

  c.

  Vendor atau outsider complaints, merupakan keluhan dan komplain dari konsumen, pemasok, atau pihak lain merupakan alat deteksi yang baik yang dapat mengarahkan auditor untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

  d.

  Site-visit Observation, yaitu observasi ke lokasi biasanya dapat mengungkapkan ada tidaknya pengendalian intern di lokasi-lokasi tersebut. Observasi terhadap bagaimana transaksi akuntansi akuntansi dilaksanakan terkadang akan memberikan peringatan kepada CFE akan adanya daerah-daerah yang mempunyai potensi bermasalah.

  3) Corruption (Korupsi)

  Sebagian besar kecurangan ini dapat dideteksi melalui keluhan dari rekan kerja yang jujur, laporan dari rekan, atau pemasok yang tidak puas dan menyampaikan komplain ke perusahaan. Atas sangkaan terjadinya kecurangan ini kemudian dilakukan analisis terhadap tersangka atau transaksinya. Pendeteksian atas kecurangan ini dapat dilihat dari karakteristik (Red Flag) si penerima maupun si pemberi.

  Korupsi dalam konteks pembahasan ini adalah korupsi menurut ACFE, bukannya pengertian korupsi menurut UU Pemberantasan Tipikor di Indonesia. Menurut ACFE, korupsi terbagi ke dalam pertentangan kepentingan (conflict of interest), suap (bribery), pemberian illegal (illegal gratuity ), dan pemerasan (economic extortion).

  Sedangkan menurut Tunggal (1992:60) kecurangan dapat dicegah dengan memperhatikam internal control yang baik sebagai berikut:

  1. Memberikan insentif/ benefit yang cukup memadai.

  2. Penyederhanaan struktur organisasi.

  3. Adanya internal check antara beberapa bagian yang berhubungan dengan memperhatikan pemisahan fungsi berikut: a.

  Membuat/ menyetujui transaksi b.

  Melaksanakan transaksi c. Membukukan transaksi 4. Supervisi dan pengawasan yang cukup 5. Evaluasi dari kewajaran transaksi hubungan istimewa (related party transaction).

  6. Adanya rotasi pegawai.

  7. Diwajibkan setiap pegawai untuk menggunkan hak cutinya dan selama itu pekerjaannya dikerjakan oleh orang lain.

  8. Tindakan yang tegas/ berat bagi pelaku kecurangan.

  9. Adanya pelaksanaan yang komponen (ahli dalam bidangnya dan dapat dipercaya dengan garis dan kewajiban yang jelas.

  10. Tersedianya catatan/ dokumen-dokumen yang memadai.

  11. Adanya pengawasan secara fisik terhadap setiap harta serta catatan perusahaan atau instansi terkait.

  12. Pelaksanaan audit secara independen (melalui internal/ eksternal auditor) 13.

  Menerapkan kebijakan conflict of interest dengan menekankan pada: a.

  Pemeriksaan uang, hadiah atau jasa dari setiap orang atau perusahaan kepada siapa perusahaan melakukan bisnis.

  b.

  Penggunaan informasi perusahaan untuk tujuan pribadi.

  c.

  Penggunaan waktu perusahaan atau fasilitas untuk kepentingan pribadi.

  d.

  Ikut serta dalam manajemen (secara langsung) pada setiap perusahaan swasta.

  e.

  Meminjam atau meminjamkan kepada pegawai lain.

  14. Melakukan asuransi/ kehilangan.

2.1.4.2 Faktor yang menyebabkan seseorang melakukan fraud

  Ada tiga hal yang mendorong seseorang melakukan fraud, yaitu

  pressure (dorongan), opportunity (peluang), dan rationalization

  (rasionalisasi), sebagaimana tergambar dalam fraud triangle (segitiga

  fraud ) berikut: MOTIVATION PRESSURE FRAUD RISK OPPORTUNITY ATTITUDE RATIONALIZATION

Gambar 2.1 Fraud Triangle (sumber: Tuanakotta, 2007:106)

  Pressure adalah tekanan atau dorongan yang menyebabkan seseorang

  melakukan fraud yang disebabkan oleh kebutuhan yang segera (biasanya keuangan), contohnya hutang atau tagihan yang menumpuk, gaya hidup mewah, ketergantungan, dan lain-lain. Tekanan lain yang tidak berhubungan dengan finansial dapat mencakup:

  • - Tantangan untuk menaklukkan sistem
  • - Ketidakpuasan kerja
  • - Ketidakstabilan emosional

  Opportunity adalah peluang yang memungkinkan fraud terjadi.

  Biasanya disebabkan karena internal control suatu organisasi yang lemah, kurangnya pengawasan, dan/atau penyalahgunaan wewenang.

  Opportunity merupakan elemen yang paling memungkinkan untuk

  diminimalisir melalui penerapan proses, prosedur, dan control dan upaya deteksi dini terhadap fraud.

  Rasionalization merupakan elemen penting dalam terjadinya fraud,

  dimana pelaku mencari pembenaran atas tindakannya, misalnya bahwasanya tindakannya untuk membahagiakan orang-orang yang dicintainya. Contoh lain perusahaan telah mendapat keuntungan yang sangat besar dan tidak mengapa jika pelaku mengambil bagian sedikit dari keuntungan tersebut. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadinya kecurangan sebagai akibat antara tekanan kebutuhan seseorang dengan lingkungannya yang memungkinkan untuk bertindak. Karni (2002:38) menyatakan pendapatnya tentang faktor pendorong terjadinya kecurangan adalah sebagai berikut:

  1) lemahnya pengendalian internal a. manajemen tidak menekankan perlunyan peranan pengendalian internal.

  b.

  Manajemen tidak menindak pelaku kecurangan.

  c.

  Manajemen tidak mengambil sikap dalam hal terjadinya conflict of interest.

  d.

  Auditor internal tidak diberi wewenang untuk menyelidiki para eksekutif terutama menyagkut pengeluaran yang besar 2)

  Tekanan keuangan terhadap seseorang

  a) Banyaknya utang

  b) Pendapatan rendah

  c) Gaya hidup mewah

  3) Tekanan nonfinansial a.

  Tuntutan pimpinan diluar kemampuan bawahan.

  b.

  Direktur utama menetapkan suatu tujuan yang harus dicapai tanpa dikonsultasikan ke bawahannya.

  c.

  Penurunan penjualan. 4)

  Indikasi lain a) Lemahnya kebijakan penerimaan pegawai.

  b) Meremehkan integritas pribadi.

  c) Kemungkinan koneksi dengan organisasi kriminal. Kecurangan (fraud) biasanya ditemui melalui cara-cara sebagai berikut: a.

  Melalui sistem pengawasan yang diterapkan (misalnya melalui pemeriksaan intern.

  b.

  Secara kebetulan (by accident) c. Laporan dari pihak lain.

2.1.5 Pengertian Korupsi

  Andi Hamzah (2007:4) menjelaskan bahwa korupsi berawal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruption berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa lain itulah turun ke banyak bahasa eropa seperti Inggris yaitu, corruption, corrupt, Prancis yaitu corruption, dan Belanda yaitu

  

corruptie . Dari bahasa belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia yaitu

korupsi.

  Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak (Hartanti, 2005: 9). Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Perbuatan korupsi dalam istilah kriminologi digolongkan kedalam kejahatan White Collar Crime. Dalam praktek UU yang bersangkutan, korupsi dalah tindak pidana yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau pun tidak langsung merugikan keuangan negara dan perekonomian negara. korupsi adalah penjualan barang-barang milik pemerintah oleh pegawai negeri untuk keuntungan pribadi. Sebagai contoh, pegawai negeri sering menarik pungutan liar dari izin dari perizinan, lisensi, bea cukai, atau pelarangan masuk bagi pesaing (Shleifer dan Vishny dalam Tuanakotta, 2007:117). Para pegawai negeri biasanya memungut bayaran untuk tugas pokoknya atau untuk pemakaian barang-barang milik pemerintah untuk kepentingan pribadinya. Hal seperti sudah menjadi kebiasaan bagi pegawai negeri di Indonesia. Untuk kasus seperti ini sehingga korupsi menyebabkan ekonomi biaya tinggi, korupsi memiliki pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan suatu negara.

  Menurut Silalahi dalam Wiratmaja (2010:9) korupsi bukan hanya terjadi pada aparatur pemerintahan, korupsi di kalangan pegawai swasta malah jauh lebih besar, seperti terjadinya kredit macet di sejumlah bank swasta yang disebabkan oleh adanya kolusi antara direktur bank dengan pengusaha. Disamping itu korupsi di kalangan aparatur negara tidak semata-mata disebabkan oleh gaji yang kecil, sebab yang justru melakukan korupsi yang melakukan korupsi secara besar- besaran adalah mereka yang bergaji besar akan tetapi tidak puas dengan apa yang diterima sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan.

  Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat, yang memakai uang sebagai standar kebenaran dan sebagai kekuasaan mutlak. Sebagai akibat dari korupsi ketimpangan antara si miskin dan si kaya semakin kentara. Orang-orang kaya dan politisi korup bisa masuk kedalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka juga memiliki status sosial yang tinggi.

  Timbulnya korupsi disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya budaya lokal. Budaya yang dianut dan diyakini masyarakat kita telah sedikit banyak menimbulkan dan membudayakan terjadinya korupsi. Pada masyarakat jawa dikenal budaya mbecek, upeti, patron-klien dan lain sebagainya. Budaya-budaya tersebut boleh jadi dikatakan sebagai akar dari timbulnya korupsi di kemudian hari. Dalam budaya Patron-Klien, diyakini bahwa Patron memiliki kebesaran hak dan kekuasaan, sedangkan klien terbatas pada kekecilan hak dan kebesaran kewajiban terhadap patron. Klien selalu berupaya meniru apa yang dilakukan patron, serta membenarkan setiap tindakan patronnya. Hal tersebut didasari karena adanya pandangan bahwa semua yang berasal dari patron dianggap memiliki nilai budaya luhur. Patron tidak dapat menolak tindakan tersebut, termasuk tindakan yang tidak terpuji, anti-manusiawi, merugikan orang lain yang kemudian disebut dengan korupsi. Umunya klien sering memberikan barang-barag tertentu kepada patronnya, dengan harapan mereka akan diberikan pekerjaan ataupun upah lebih tinggi. Klien juga memberikan penghormatan yang berlebihan kepada patronnya.

  Korupsi kecil tersebut lambat laun meluas kepada kelompok-kelompok masyarakat yang lain. Proses penyebaran korupsi tersebut disebut dengan

  continous imitation (peniruan korupsi berkelanjutan). Proses ini bisa terjadi tanpa

  disadari oleh masyarakat. Dalam keluarga misalnya, seringkali orang tua tanpa sengaja telah mengajarkan perilaku korupsi kepada anaknya. Meskipun sebenarnya orang tua tidak bermaksud demikian, namun kita tidak boleh lupa bahwa anak adalah peniru terbaik, mereka meniru apapun yang dilakukan oleh orang-orang dewasa disekitarnya.

2.1.5.1 Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi

  Dalam Tuanakotta (2007:251) istilah korupsi menurut Undang-Undang No.31 tahun 1999 meliputi 30 tindak pidana korupsi, yaitu sebagai berikut:

  (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

  (2) Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau oranglain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

  (3) Memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggaraan Negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggaraan Negara tersebut berbuata atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

  (4) Memberikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara karena berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

  (5) Menjanjikan atau memberikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

  (6) Setiap orang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan perundang- undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri siding pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

  (7) Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam perang.

  (8) Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang.

  (9) Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan

  Tentara Nasional dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan Negara dalam keadaan perang.

  (10) Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan dengan sengaja membiarkan perbuatan curang.

  (11) Orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional

  Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang. (12)

  Dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jawabatannya, atau membiarkan uang dan surat berharga tersebut diambil atau digelapkan orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. (13)

  Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberikan tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. (14)

  Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberikan tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusak atau membuat tidak dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan dimuka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya. (15)

  Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. (16)

  Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. (17)

  Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. (18)

  Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. (19)

  Advokat menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau dapat diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan, berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. (20)

  Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. (21)

  Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang. (22)

  Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang. (23)

  Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah Negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahui bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

  (24) Pegawai negeri atau penyelenggara Negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan dan persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

  (25) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelengga

  Negara dianggap pemberia suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. (26)

  Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. (27)

  Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. (28)

  Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi. (29)

  Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. (30)

  Setiap orang diluar wilayah republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadi tindak pidana korupsi. Jenis Penugasan Akuntansi Forensik Fraud Audit

  Proaktif Investigatif Tuduhan, Sumber keluhan Informasi Risk Assesment temuan audit Temuan Audit

  Alasan Mencari pembuktian

Identifikasi Bukti ada keterangan Keyakinan penerapan

  Potensi Indikasi Awal tidaknya Besarnya dan barang Mencari Berkas Memeriksa berdasarkan hukum Output Kecurangan Adanya Fraud pelanggaran Kerugian bukti bukti perkara alat bukti alat bukti novum Pemeriksaan Putusan Upaya Hitungan Penyidikan Penuntutan di sidang pengadilan hukum

Tabel 2.2 Diagram Akuntansi Forensik- Tipikor (sumber: Tuanakotta, 2007:19) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu No. Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian

  1 Wiratmaja “Akuntansi akuntansi forensik dalam kontek (2010) Forensik dalam preventif, detektif dan represif

  Upaya secara aksiomatik dapat Pemberantasan mengambil peranannya dengan Tindak Pidana menyediakan pendekatan- Korupsi” pendekatan yang efektif dalam mencegah, mengetahui, atau mengungkapkan dan menyelesaikan kasus korupsi.

  Akuntansi forensik merupakan formulasi yang dapat dikembangkan sebagai strategi preventif, detektif, dan persuasif melalui penerapan prosedur audit forensik dan audit investigatif yang bersifat

  ligitation support untuk

  menghasilkan temuan dan bukti yang dapat digunakan dalam proses pengambilan putusan di pengadilan.

  2 Miqdad (2008) “Mengungkap upaya untuk memberantas Praktek korupsi, kecurangan, terutama Kecurangan pada perusahaan-perusahaan (fraud) Pada yang mati secara misterius (tidak Korporasi dan wajar) atau untuk Organisasi Publik mengungkapkan kecurangan, Melalui Audit penyelewengan yang melanggar Forensik” hukum yang berlaku (pada organisasi publik ataupun swasta) dan sebagai kelengkapan untuk proses hukum dapat dilakukan dengan forensic auditing .

2.3 Kerangka Konseptual

  Kerangka konseptual merupakan sintesis atau ekstrapolasi dari tinjauan teori dari penelitian terdahulu yang mencerminkan keterkaitan antara variable yang diteliti dan merupakan tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian serta merumuskan hipotesis.

  Dalam penelitian ini penulis mengunakan kerangka konseptual untuk membantu pemaham dan pembahasan masalah seperti dibawah ini: Akuntansi Forensik

  Pengacara Pengungkapan Korupsi

  Hakim

Dokumen yang terkait

Peranan Akuntan Forensik, Pentingnya Pengacara Dan Pendapat Hakim Dalam Peradilan Untuk Menginvestigasi Dan Mengungkapkan Kasus Korupsi Di Indonesia

1 58 97

Tinjauan Tentang Pemeriksaan Dan Putusan In Absentia Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi

0 25 146

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu - BAB II

0 2 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Profitabilitas - Pengaruh Modal Kerja Dan Likuiditas Terhadap Profitabilitas Perusahaan Makanan Dan Minuman Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2013

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perusahaan Dalam Auditor Switchng Pada Perusahaan Pertambangan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Perkembangan Perbankan - Analisis Perbandingan Bank Konvensional Dan Bank Syariah Dengan Menggunakan Rasio Keuangan

0 0 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Nilai perusahaan - Pengaruh Arus Kas Dan Profitabilitas Terhadap Nilai Perusahaan Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdapat Di Bursa Efek Indonesia

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis - Analisis Beban Kerja Guru Untuk Mendapatkan Sertifikasi Guru Di SMA Negeri 4 Pematangsiantar

0 0 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis - Analisis Dampak Merger Dan Akuisisi Terhadap Kinerja Karyawan Pada Perusahaan Food And Baverage Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 1 16

Peranan Akuntan Forensik, Pentingnya Pengacara Dan Pendapat Hakim Dalam Peradilan Untuk Menginvestigasi Dan Mengungkapkan Kasus Korupsi Di Indonesia

0 0 19