219111443 Sistem Perekonomian Islam Pada Era Globalisasi
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Dewasa ini masih banyak kalangan yang melihat Islam secara parsial
dimana Islam hanya diwujudkan dalam bentuk ritualisme ibadah semata dan
menganggap bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan dunia perbankan, pasar
modal, asuransi, transaksi eksport import, dll. Bahkan mereka beranggapan bahwa
Islam dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya sebagai penghambat
perekonomian suatu bangsa, sebaliknya kegiatan ekonomi dan keuangan akan
semakin meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normatif dan
ketentuan Ilahi.
Cara pandang di atas bisa dikatakan sempit dan belum melihat Islam
secara “kaffah”. Islam adalah agama yang universal, bagi mereka yang dapat
memahami dan melaksanakan ajaran Islam secara utuh dan total akan sadar bahwa
sistem perekonomian akan tumbuh dan berkembang dengan baik bila didasari
oleh nilai-nilai dan prinsip syari’ah Islam, dalam penerapannya pada segenap
aspek kehidupan bisnis dan transaksi ummat.
Oleh karena itu diperlukannya pemahaman yang jelas tentang apa itu
sistem ekonomi islam, bagaimana pekembangannya, bagaimana penerapannya?
Hal ini sangat penting diketahui karena sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis
tidaklah
mampu
mengantarkan
menuju
masyarakat
sejahtera.
Tidaklah
mengherankan apabila sekarang ini mulai diterapkannya sistem ekonomi islam
diberbagai negara.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sistem perekonomian pada masa islam Bani Umayyah?
2. Bagaimanakah sistem ekonomi islam pada masa sekarang?
3. Bagaimanakah penerapan sistem ekonomi isslam tersebut?
1
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui secara jelas apa dan bagaimanakah sistem ekonomi islam
2. Mampu membedakan sisi positif an negatif sistem ekonomi islam dengan
sistem ekonomi lainnnya.
3. Mampu menerapkan sistem ekonomi islam pada masa sekarang.
2
BAB II
SISTEM PEREKONOMIAN ISLAM PADA ERA GLOBALISASI
Ekonomi Islam pernah tidak populer sama sekali. Kepopuleran ekonomi
Islam bisa dikatakan masih belum lama. Oleh karena itu, sering muncul
pertanyaan, apakah ekonomi Islam adalah baru sama sekali? Jika melihat pada
sejarah dan makna yang terkandung dalam ekonomi Islam, ia bukan sistem yang
baru. Argumen untuk hal ini antara lain:
1.
Islam sebagai agama samawi yang paling mutakhir adalah agama yang
dijamin oleh Allah kesempurnaannya, seperti ditegaskan Allah dalam surat AlMaidah (5):3. Di sisi lain, Allah SWT juga telah menjamin kelengkapan isi AlQur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia yang beriman dalam menjalankan
perannya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Hal ini ditegaskan Allah SWT
dalam firmannya QS Al-An’am (6):38,
ما فرطنا في الكتاب من شيء ثم الى ربهم يحشرون
2.
Sejarah mencatat bahwa umat Islam pernah mencapai zaman keemasan,
yang tidak dapat disangkal siapapun. Dalam masa itu, sangat banyak kontribusi
sarjana muslim yang tetap sangat diakui oleh semua pihak dalam berbagai bidang
ilmu sampai saat ini, seperti matematika, astronomi, kimia, fisika, kedokteran,
filsafat dan lain sebagainya. Sejarah juga membuktikan, bahwa sulit diterima akal
sehat sebuah kemajuan umat dengan begitu banyak kontribusi dalam berbagai
lapangan hidup dan bidang keilmuan tanpa didukung lebih awal dari kemajuan di
lapangan ekonomi.
3.
Sejarah juga mencatat banyak tokoh ekonom muslim yang hidup dan berjaya
di zamannya masing-masing, seperti Tusi, Al-Farabi, Abu Yusuf, Ibnu Taimiyyah,
Al-Maqrizi, Syah Waliyullah, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Bahkan yang disebut
terakhir (Ibnu Khaldun) diakui oleh David Jean Boulakia sebagai berikut: “Ibn
Khaldun discovered a great number of fundamental economic notions a few
centuries before their official births. He discovered the virtues and the necessity
of a division of labor before (Adam) Smith and the principle of labor before
Ricardo. He elaborated a theory of population before Malthus and insisted on the
3
role of the state in the economy before Keynes. The economist who rediscovered
mechanisms that he had already found are too many to be named.” “. . . although
Ibn Khaldun is the forerunner of many economist, he is an accident of history and
has no consequence on the evolution of economic thought.”
Menurut Khurshid Ahmad, yang dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, ada
empat tahapan perkembangan dalam wacana pemikiran ekonomi Islam, yaitu:
1.
Tahapan Pertama, dimulai ketika sebagian ulama, yang tidak memiliki
pendidikan formal dalam bidang ilmu ekonomi namun memiliki pemahaman
terhadap persoalan-persoalan sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba untuk
menuntaskan persoalan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu haram
dan kaum muslimin harus meninggalkan hubungan apapun dengan perbankan
konvensional. Mereka mengundang para ekonom dan banker untuk saling bahu
membahu mendirikan lembaga keuangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip
syariah dan bukan pada bunga. Yang menonjol dalam pendekatan ini adalah
keyakinan yang begitu teguh haramnya bunga bank dan pengajuan alternatif.
Masa ini dimulai kira-kira apada pertengahan dekade 1930-an dan
mengalami puncak kemajuannya pada akhir dekade 1950-an dan awal dekade
1960-an. Pada masa itu di Pakistan didirikan bank Islam lokal ayang beroperasi
bukan pada bunga. Sementara itu di Mesir juga didirikan lembaga keuangan yang
beroperasi bukan pada bunga pada awal dasa warsa 1960-an. Lembaga keuangan
ini diberi nama Mit Ghomir Local Saving yang berlokasi di delta sungai Nil,
Mesir.
Tahapan ini memang masih bersifat prematur dan coba-coba sehingga
dampaknya masih sangat terbatas. Meskipun demikian tahapan ini telah membuka
pintu lebar bagi perkembangan selanjutnya.
2.
Tahapan kedua dimulai pada akhir dasa warsa 1960-an. Pada tahapan ini
para ekonom Muslim yang pada umumnya dididik dan dilatih di perguruan tinggi
terkemuka di Amerika Serika dan Eropa mulai mencoba mengembangkan aspekaspek tertentu dari sistem moneter Islam. Mereka melakukan analisis ekonomi
terhadap larangan riba (bunga) dan mengajukan alternatif perbankan yang tidak
berbasis bunga. Serangkaian konferensi dan seminar internasional tentang
ekonomi dan keuangan Islam digelar beberapa kali dengan mengundang para
4
pakar, ulama, ekonom baik muslim maupun non-muslim. Konferensi internasional
pertama tentang ekonomi Islam digelar di Makkah al-Mukarromah pada tahun
1976 yang disusul kemudian dengan konferensi internasional tentang Islam dan
Tata Ekonomi Internasional yang baru di London pada tahun 1977. Setelah itu
digelar dua seminar tentang Ekonomi Moneter dan Fiskal dalam Islam di Makkah
pada tahun 1978 dan di Islamabad pada tahun 1981. Kemudian diikuti lagi oleh
konferensi tentang Perbankan Islam dan Strategi kerja sama ekonomi yang
diadakan di Baden-Baden, Jerman pada tahun 1982 yang kemudian diikuti
Konferensi Internasional Kedua tentang Ekonomi Islam di Islamabad pada tahun
1983.
Belasan buku dan monograf telah diterbitkan semenjak konferensi dan
seminar ini digelar yang berhasil memberikan gambaran yang lebih terang tentang
Ekonomi Islam baik dalam teori maupun praktek. Menurut Khurshid Ahmad,
kontribusi yang paling signifikan selain dari hasil-hasil konferensi dan seminar
tadi adalah laporan yang dikeluarkan oleh Dewan Ideologi Islam Pakistan tentang
penghapusan riba dari ekonomi. Laporan ini tidak saja menjelaskan tentang
hukum bunga bank yang telah ditegaskan haram oleh ijma’ para ulama masa kini,
tetapi
juga
memberikan
pedoman
bagaimana
menghapuskan
riba
dari
perekonomian.
Pada tahapan kedua ini muncul nama-nama ekonom muslim terkenal di
seluruh dunia Islam anatara lain Prof. Dr. Khurshid Ahmad yang dinobatkan
sebagai bapak ekonomi Islam, Dr. M. Umer Chapra, Dr. M. A. Mannan, Dr. Omar
Zubair, Dr. Ahmad An-Najjar, Dr. M. Nejatullah Siddiqi, Dr. Fahim Khan, Dr.
Munawar Iqbal, Dr. Muhammad Ariff, Dr. Anas Zarqa dan lain-lain. Mereka
adalah ekonom muslim yang dididik di Barat tetapi memahami sekali bahwa
Islam sebagai way of life yang integral dan komprehensif memiliki sistem
ekonomi tersendiri dan jika diterapkan dengan baik akan mampu membawa umat
Islam kepada kedudukan yang berwibawa di mata dunia.
3.
Tahapan ketiga ditandai dengan upaya-upaya konkrit untuk mengembangkan
perbankan dan lembaga-lembaga keuangan non-riba baik dalam sektor swasta
maupun dalam sektor pemerintah. Tahapan ini merupakan sinergi konkrit antara
usaha intelektual dan material para ekonom, pakar, banker, para pengusaha dan
5
para hartawan muslim yang memiliki kepedulian kepada perkembangan ekonomi
Islam. Pada tahapan ini sudah mulai didirikan bank-bank Islam dan lembaga
investasi berbasis non-riba dengan konsep yang lebih jelas dan pemahaman
ekonomi yang lebih mapan. Bank Islam yang pertama kali didirikan adalah
Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah, Saudi Arabia. Bank
Islam ini merupakan kerjasa sama antara negara-negara Islam yang tergabung
dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Tidak lama kemudian disusul oleh
Dubai Islamic Bank. Setelah itu banyak sekali bank-bank Islam bermunculan di
mayoritas negara-negara muslim termasuk di Indonesia.
4.
Tahapan keempat ditandai dengan pengembangan pendekatan yang lebih
integratif dan sophisticated untuk membangun keseluruhan teori dan praktek
ekonomi Islam terutama lembaga keuangan dan perbankan yang menjadi indikator
ekonomi umat.
Tiga Prinsip Dasar Yang Menyangkut sistem ekonomi Syariah menurut
Islam
1.
Tawhid, Prinsip ini merefleksikan bahwa penguasa dan pemilik tunggal atas
jagad raya ini adalah Allah SWT.
2.
Khilafah, mempresentasikan bahwa manusia adalah khalifah atau wakil
Allah di muka bumi ini dengan dianugerahi seperangkat potensi spiritual dan
mental serta kelengkapan sumberdaya materi yang dapat digunakan untuk hidup
dalam rangka menyebarkan misi hidupnya.
3.
‘Adalah, merupakan bagian yang integral dengan tujuan syariah (maqasid
al-Syariah). Konsekuensi dari prinsip Khilafah dan ‘Adalah menuntut bahwa
semua sumberdaya yang merupakan amanah dari Allah harus digunakan untuk
merefleksikan tujuan syariah antara lain yaitu; pemenuhan kebutuhan (need
fullfillment), menghargai sumber pendapatan (recpectable source of earning),
distribusi pendapatan dan kesejah-teraan yang merata (equitable distribution of
income and wealth) serta stabilitas dan pertumbuhan (growth and stability).
6
Empat Ciri/Sifat Sistem Islam
1.
Kesatuan (unity)
2.
Keseimbangan (equilibrium)
3.
Kebebasan (free will)
4.
Tanggungjawab (responsibility)
Di Indonesia ekonomi syariah mulai dikenal sejak berdirinya Bank
Muamalat Indonesia pada tahun 1991. Selanjutnya ekonomi berbasis syariah di
Indonesia ini mulai menunjukan perkembangan yang menggembirakan. Pada
dasarnya, sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sudah
menjadi kewajiban bagi Umat Islam Indonesia untuk menerapkan ekonomi
syariah sebagai bukti ketaatan dan ketundukan masyarakat pada Allah SWT dan
Rasulnya. Penerapan hukum syariah bukan hanya terbatas pada bank-bank saja,
tapi sudah menjalar ke bisnis asuransi, bisnis multilevel marketing, koperasi
bahkan ke pasar modal.
Sistem Perekonomian Islam bersifat universal artinya dapat digunakan
oleh siapapun tidak terbatas pada umat Islam saja, dalam bidang apapun serta
tidak dibatasi oleh waktu ataupun zaman sehingga cocok untuk diterapkan dalam
kondisi apapun asalkan tetap berpegang pada kerangka kerja atau acuan normanorma islami. Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan landasan hukum yang lengkap
dalam mengatur segala aspek kehidupan ummat, khususnya di bidang ekonomi
antara lain:
- Islam dirancang sebagai rahmat untuk seluruh ummat, menjadikan kehidupan
lebih sejahtera dan bernilai, tidak miskin dan tidak menderita (Q.S. Al-Anbiya :
107).
- Harta adalah amanat Allah, untuk mendapatkan dan memanfaatkannya harus
sesuai dengan ajaran Islam (Q.Q. Al-Anfal : 28).
- Larangan menjalankan usaha yang haram (Q.S.Al-Baqarah : 273-281).
7
- Larangan merugikan orang lain (Q.S.Asy-Syuara : 183).
- Kesaksian dalam mu’amalah (Q.S.Al-Baqarah : 282-283), dll.
Telah terbukti dengan adanya krisis ekonomi dan moneter yang melanda
Indonesia dan Asia beberapa waktu yang lalu bahwa sistem yang kita anut dan
dibanggakan selama ini khususnya di bidang perbankan kiranya tidak mampu
untuk menanggulangi dan mengatasi kondisi yang ada, bahkan terkesan sistem
yang ada saat ini dengan tidak adanya nilai-nilai Ilahi yang melandasi operasional
perbankan dan lembaga keuangan lainnya sebagai penyebab tumbuh dan
berkembangnya “perampok berdasi” yang telah menghancurkan sendi-sendi
perekonomian bangsa Indonesia sendiri. Sebaliknya bagi dunia perbankan dan
lembaga keuangan Islam yang dalam operasionalnya bersendi pada Syari’ah
Islam, krisis ekonomi dan moneter yang terjadi merupakan moment positif
dimana bisa menunjukkan dan memberikan bukti secara nyata dan jelas kepada
dunia perbankan khususnya bahwa Bank yang berlandaskan Syari’ah Islam tetap
dapat hidup dan berkembang dalam kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan.
Dengan bukti di atas, sudah saatnya bagi para penguasa negara, alim
ulama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk membuka mata dan merubah
cara pandang yang ada bahwa Sistem Perbankan Syari’ah merupakan alternatif
yang cocok untuk ditumbuh kembangkan dalam dunia perbankan Indonesia
dewasa ini. Namun disayangkan perkembangan Perbankan Syari’ah di Indonesia
terkesan lambat dan kurang dikelola secara serius, terbukti dari data yang
diperoleh dari BI Surabaya per Maret 2000 jumlah BPR Konvensional yang ada di
Jawa Timur mencapai 427 sedangkan BPR Syari’ah baru mencapai 6 (1,4%),
dimana 5 diantaranya tergolong sehat dan 1 kurang sehat.
Kurang
berkembangnya
Sistem
Perekonomian
Islam,
khususnya
Perbankan Syari’ah di Indonesia terletak pada umat Islam sendiri. Masih banyak
umat Islam di Indonesia yang belum paham akan ekonomi Islam ataupun tidak
menjalankan sebagaimana mestinya, banyak diantaranya yang merasa takut
menjadi miskin karenanya, padahal dalam Q.S Al-Baqarah : 268 dikatakan:
"Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh
kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan
8
daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui".
Apabila perekonomian di Indonesia telah didasari oleh norma-norma Islam
tentunya tidak akan ditemukan kemiskinan ataupun penurunan taraf hidup dan
perekonomian ummat seperti yang terjadi saat ini.
Dalam makalah ini penulis lebih memfokuskan pada perkembangan
Perbankan Syari’ah sebagai sub unit financial yang merupakan bagian dari sub
sistem ekonomi ditinjau dari mitos dan kenyataan yang terjadi dalam prakteknya,
serta peranan Perguruan Tinggi sebagai sub sistem pendidikan dalam kaitannya
dengan sub sistem ekonomi.
Kendala Perbankan Syariah
Banyak tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam perkembangan Bank
Syari’ah, terutama berkaitan dengan penerapan suatu sistem perbankan yang baru
yang mempunyai sejumlah perbedaan prinsip dari sistem keuntungan yang
dominan dan telah berkembang pesat di Indonesia. Permasalahan ini dapat berupa
permasalahan yang bersifat operasional perbankan maupun aspek dari lingkungan
makro. Beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan Bank Syari’ah
antara lain :
1.Permodalan
Permasalahan pokok yang senantiasa dihadapi dalam pendirian suatu usaha adalah
permodalan. Setiap ide ataupun rencana untuk mendirikan Bank Syari’ah sering
tidak dapat terwujud sebagai akibat tidak adanya modal yang cukup untuk
pendirian Bank Syari’ah tersebut, walaupun dari sisi niat ataupun “ghiroh” para
pendiri relatif sangat kuat. Kesulitan dalam pemenuhan permodalan ini antara lain
disebabkan karena :
a. Belum adanya keyakinan yang kuat pada pihak pemilik dana akan prospek dan
masa depan keberhasilan Bank Syari’ah, sehingga ditakutkan dana yang
ditempatkan akan hilang.
9
b. Masih kuatnya perhitungan bisnis keduniawian pada pemilik dana sehingga ada
rasa keberatan jika harus menempatkan sebagian dananya pada Bank Syari’ah
sebagai modal.
c. Ketentuan terbaru tentang Permodalan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
relatif cukup tinggi.
2. Peraturan Perbankan
Peraturan Perbankan yang berlaku belum sepenuhnya mengakomodir
operasional Bank Syari’ah mengingat adanya sejumlah perbedaan dalam
pelaksanaan operasional Bank Syari’ah dengan Bank Konvensional. Ketentuanketentuan perbankan yang ada kiranya masih perlu disesuaikan agar memenuhi
ketentuan syari’ah agar Bank Syari’ah dapat beroperasi secara relatif dan efisien.
Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain adalah hal-hal yang mengatur mengenai :
a. Instrument yang diperlukan untuk mengatasi masalah likwiditas.
b. Instrument moneter yang sesuai dengan prinsip syari’ah untuk keperluan
pelaksanaan tugas Bank Sentral.
c. Standar akuntansi, audit dan pelaporan.
d. Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian, dll.
Ketentuan-ketentuan di atas sangat diperlukan agar Bank Syari’ah dapat menjadi
elemen dari sistem moneter yang dapat menjalankan fungsinya secara baik dan
mampu berkembang dan bersaing dengan Bank Konvensional.
3. Sumber Daya Manusia
Kendala dibidang SDM dalam pengembangan Perbankan Syari’ah
disesabkan karena sistem perbankan syari'ah masih belum lama dikenal di
Indonesia. Disamping itu lembaga akademik dan pelatihan ini masih terbatas,
sehingga tenaga terdidik dan berpengalaman dibidang perbankan syari’ah baik
dari sisi bank pelaksana maupun bank sentral (pengawas dan peneliti bank).
Pengembangan SDM dibidang Perbankan Syari’ah sangat diperlukan karena
keberhasilan pengembangan bank syari’ah pada level mikro sangat ditentukan
10
oleh kualitas manajemen dan tingkat pengetahuan serta ketrampilan pengelola
bank. SDM dalam perbankan syari’ah memerlukan persyaratan pengetahuan yang
luas dibidang perbankan, memahami implementasi prinsip-prinsip syari’ah dalam
praktek perbankan serta mempunyai komitmen kuat untuk menerapkannya secara
konsisten.
4. Pemahaman Ummat
Pemahaman sebagian besar masyarakat mengenai sistem dan prinsip
Perbankan Syari’ah belum tepat, bahkan diantara ulama dan cendekiawan muslim
sendiri masih belum ada kata sepakat yang mendukung keberadaan Bank
Syari’ah, terbukti dari hasil pretest terhadap 37 Dosen Fakultas Syari’ah dalam
acara Orientasi Perbankan yang telah dilakukan oleh Asbisindo Wilayah Jatim
beberapa waktu yang lalu memberikan jawaban yang tidak konsekwen dan
cenderung ragu-ragu. Dan masih adanya masyarakat yang mengaku paham akan
Syari’ah Islam tetapi tidak mau menjalankannya seperti yang dialami oleh PT.
BPR Syari’ah Baktimakmur Indah Sidoarjo dalam memberikan pembiayaan
mudharabah dengan salah satu mitranya yang dikenal sebagai ulama yang mana
sang ulama mau berbagi kerugian namun setelah untung tidak bersedia membagi
keuntungannya dengan pihak Bank, yang tentunya bertentangan dengan akad
yang telah disepakati di awal. Atau seorang ulama yang datang ke Bank dan
menanyakan besarnya bunga atas simpanannya. Hal-hal seperti di atas merupakan
kejadian nyata yang selalu dan kerap kali dialami dalam operasional bank
Syari’ah sehari-harinya, bahkan mungkin lebih parah dari contoh-contoh di atas.
Dari kalangan ulama sendiri sampai saat ini belum ada ketegasan pendapat
terhadap keberadaan Bank Syari’ah, kekurangtegasan tersebut antara lain
disebabkan karena :
a. Kurang komprehensifnya informasi yang sampai kepada para ulama dan
cendekiawan tentang bahaya dan dampak destruktif sistem bunga terutama pada
saat krisis moneter dan ekonomi dilanda kelesuan.
b. Belum berkembangluasnya lembaga keuangan syari’ah sehingga ulama dalam
posisi sulit untuk melarang transaksi keuangan konvensional yang selama ini
11
berjalan dan berkembang luas.
c. Belum dipahaminya operasional Bank Syari’ah secara mendalam dan
keseluruhan.
d. Adanya kemalasan intelektual yang cenderung pragmatis sehingga muncul
anggapan bahwa sistem bunga yang berlaku saat ini sudah berjalan atau tidak
bertentangan dengan ketentuan agama.
Minimnya pemahaman masyarakat akan Sistem Perbankan Syari’ah antara lain
disebabkan karena :
a. Sistem dan prinsip operasional Perbankan Syari’ah relatif baru dikenal
dibanding dengan sistem bunga.
b. Pengembangan Perbankan Syari’ah baru dalam tahap awal jika dibandingkan
dengan Bank Konvensional yang telah ratusan tahun bahkan sudah mendarah
daging dalam masyarakat.
c. Keengganan bagi pengguna jasa perbankan konvensional untuk berpindah ke
Bank Syari’ah disebabkan hilangnya kesempatan untuk mendapatkan penghasilan
tetap dari bunga.
5. Sosialisasi
Sosialisasi yang telah dilakukan dalam rangka memberikan informasi yang
lengkap dan besar mengenai kegiatan usaha perbankan syari’ah kepada
masyarakat luas belum dilakukan secara maksimal. Tanggungjawab kegiatan
sosialisasi ini tidak hanya dipundak para bankir syari’ah sebagai pelaksana
operasional bank sehari-hari, tetapi tanggungjawab semua pihak yang mengaku
Islam secara baik secara perorangan, kelompok maupun instansi yang meliputi
unsur alim ulama, penguasa negara/pemerintahan, cendekiawan, dll. Yang
memiliki kemampuan dan akses yang besar dalam penyebarluasan informasi
terhadap masyarakat luas. Sosialisasi yang dilakukan tidak hanya kepada
masyarakat awam tetapi juga kepada ulama, pondok pesantren, ormas-ormas,
instansi, institusi, pengusaha, dll. Yang selama ini belum tahu ataupun belum
memahami secara detail apa dan bagaimana keberadaan dan operasional Bank
Syari’ah walaupun dari sisi Fiqih dan Syari’ah mereka tahu benar.
12
6. Piranti Moneter
Piranti Moneter yang pada saat ini masih mengacu pada sistem bunga
sehingga belum bisa memenuhi dan mendukung kebijakan moneter dan kegiatan
usaha bank syari’ah, seperti kelebihan/kekurangan dana yang terjadi pada Bank
Syari’ah ataupun pasar uang antar bank syari’ah dengan tetap memperhatikan
prinsip syari’ah. Bank Indonesia selaku penentu kebijakan perbankan mencoba
untuk menyiapkan piranti moneter yang sesuai dengan prinsip syari’ah seperti
halnya SBI dan SBPU yang berlandaskan syari’ah Islam.
7. Jaringan Kantor
Pengembangan jaringan kantor Bank Syari’ah diperlukan dalam rangka
perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat. Disamping itu kurangnya
jumlah Bank Syari’ah yanga ada juga menghambat perkembangan kerjasama
antar Bank Syari’ah. Jumlah jaringan kantor bank yang luas juga akan
meningkatkan efisiensi usaha serta meningkatkan kompetisi ke arah peningkatan
kulaitas pelayanan dan mendorong inovasi produk dan jasa perbankan syari’ah.
Pengembangan jaringan Perbankan Syari’ah dapat dilakukan dengan beberapa
cara antara lain:
a. Peningkatan kualitas Bank Umum Syari’ah dan BPR Syari’ah yang telah
beroperasi.
b. Perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional yang memiliki kondisi usaha
yang baik dan berminat untuk melakukan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip
syari’ah.
c. Pembukaan kantor cabang syari’ah (full branch) bagi bank konvensional yang
memiliki kondisi usaha yang baik dan berminat untuk melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syari’ah.
Pembukaan kantor cabang syari’ah dapat dilakukan dengan 3 cara antara lain :
- Pembukaan kantor cabang dengan mendirikan kamtor, perlengkapan dan SDM
13
yang baru.
- Mengubah kantor cabang yang ada menjadi kantor cabang syari’ah.
- Meningkatkan status kantor cabang pembantu menjadi kantor cabang syari’ah.
8. Pelayanan
Dunia perbankan senantiasa tidak terlepas pada masalah persaingan, baik dari sisi
rate/margin yang diberikan maupun pelayanan. Dari hasil survei lapangan
membuktikan bahwa kualitas pelayanan merupakan peringkat pertama kenapa
masyarakat memilih bergabung dengan suatu bank.
Dewasa ini semua Bank Konvensional berlomba-lomba untuk senantiasa
memperhatikan dan meningkatkan pelayanan kepada nasabah, tidak telepas dalam
hal ini Bank Syari’ah yang dalam operasionalnya juga memberikan jasa tentunya
unsur pelayanan yang baik dan islami hahrus diperhatikan dan senantiasa
ditingkatkan. Tentunya hal ini harus didukung oleh adanya SDM yang cukup
handal dibidangnya. Kesan kotor, miskin dan tampil ala kadarnya yang selama ini
melekat pada “Islam” harus dihilangkan.
Keterkaitan Institusi Pendidikan dalam Pengembangan Perbankan Syariah
Seperti telah disebutkan di atas bahwa salah satu penghambat
perkembangan Bank Syari’ah adalah keberadaan SDM. Guna menciptakan SDM
yang handal dan profesional dibidang Perbankan Syari’ah tentunya tidak terlepas
dari peranan Institusi Pendidikan yang dalam hal ini memang berperan sebagai
pencetak SDM.
Mengingat prospek Bank Syariah dalam dunia perbankan sangat bagus
bahkan mendapat tanggapan positif dari semua pihak, sebaliknya perkembangan
Bank Syariah sendiri masih berada pada phase “growth” justru sangat
kritis/riskan. Pilihan kita hanya satu yakni bagaimana mewujudkan keberhasilan
atau sukses. Kiranya dalam pengembangan Bnak Syariah ini dipersyaratkan
dukungan SDM yang berkualitas, berintegritas dan bermoral islami. Dan
mengingat sampai saat ini masih belum ada lembaga/institusi pendidikan yang
handal dan berkualitas dalam menciptakan SDM Perbankan Syariah, maka sudah
14
saatnya bagi para cendekiawan muslim untuk turut serta memikirkan
pengembangan Perbankan Syariah dengan cara menyiapkan SDM yang handal
dan profesional di bidang perbankan syariah melalui institusi pendidikan yang
dimilikinya.
Sebagai contoh apa yang telah dirintis oleh STIE Perbanas Surabaya
dengan memberikan mata kuliah pilihan Syariah Banking pada mahasiswanya
mulai tahun ajaran 1999/2000 yang dalam pelaksanaanya bekerjasama dengan PT.
BPR Syariah Baktimakmur Indah sebagai tenaga pengajar. Dengan keberhasilan
yang dicapai dalam taraf uji coba ini, direncanakan pada tahun ajaran berikutnya
dapat ditingkatkan dengan membuka Program D-1 dan D-3 Perbankan Syariah.
Keseimbangan dalam Ekonomi Islam
Orientasi dari keseimbangan konsumen dan produsen dalam ekonomi
konvensional adalah untuk semata-mata mengutamakan keuntungan. Semua
tindakan ekonominya diarahkan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal.
Jika tidak demikian justeru dianggap tidak rasional. Lain halnya dengan ekonomi
Islam yang tidak hanya ingin mencapai keuntungan ekonomi tetapi juga
mengharapkan keuntungan rohani dan al-falah. Keseimbangan antara konsumen
dan produsen dapat diukur melalui asumsi-asumsi secara keluk. Memang untuk
mengukur pahala dan dosa seorang hamba Allah, tidak dapat diukur dengan uang,
akan tetapi hanya merupakan ukuran secara anggaran unitnya tersendiri.
Rasionaliti keseimbangan konsumen dan produsen dalam ekonomi
konvensional ditunjukkan pada perilaku seseorang untuk memenuhi kehendaknya
dan kehendak masyarakat sebagaimana ia memenuhi kehendak dirinya sendiri.
Kenyataan ini adalah tidak benar karena perilaku seseorang individu adalah
berbeda dengan perilaku individu lain dan tidaklah mungkin bisa memenuhi
keperluan dan keinginan sendiri apabila keperluan individu itu tidak dipenuhi.
Timothy Gorringe menyatakan bahwa mereduksi manusia yang homo sapiens
(makhluk bijaksana) dengan hanya homo economicus yang secara rasional
memaksimumkan utiliti, bertindak berasas self interest saja merupakan reduksi
yang sangat telak terhadap nilai-nilai moral/etika.
15
Menurut Umer Chapra, sebenarnya kalau tujuan-tujuan normatif
masyarakat telah ditentukan, tidak bisa ada kebebasan tak terbatas untuk
mendefinisikan rasionaliti sebagaimana dalam ekonomi konvensional. Dengan
demikian, perilaku rasional secara otomatik akan teridentifikasi dengan perilaku
yang kondusif bagi realiasasi tujuan-tujuan normatif tersebut.
Sebenarnya dapat saja memenuhi kepentingan diri sendiri dalam berbagai
cara, baik ekonomi maupun nonekonomi, yang didasarkan kepada perhitungan
uang atau selain uang. Namun, untuk menyelaraskan dengan orientasi materinya,
ilmu ekonomi mengesampingkan semua aspek kepentingan diri nonekonomi itu,
sementara itu ia hanya menyamakan rasionaliti dengan aspek ekonomi saja.
Bahkan pengertian ekonomi di sini, disederhanakan lagi hanya dikaitkan dengan
hitungan uang.
Ilmu ekonomi telah menciptakan konsep imajiner tentang “manusia
ekonomi” di mana tanggungj awab sosial satu-satunya adalah meningkatkan
keuntungannya. Dengan demikian, ilmu ekonomi hanya memperhatikan perilaku
rasional manusia ekonomi yang dimotivasi hanya oleh dorongan untuk memenuhi
kepentingan dirinya sendiri dengan cara memaksimumkan kekayaan dan
konsumsinya lewat cara apapun. Semua keinginan lain yang membawa manusia
bersama-sama seperti kerjasama, saling menyayangi, persaudaraan dan altruisme,
di mana orang berjuang untuk kebahagiaan orang lain, sekalipun kadangkala hal
itu mesti mengorbankan kepentingan dirinya sendiri, dikesampingkan sama sekali.
Dengan demikian, jebakan ilmu ekonomi sekularis pada dasarnya adalah
bagaimana memenuhi kepentingan diri sendiri lewat maksimumisasi kekayaan
dan konsumsi sebagai alat utama untuk melakukan filterasasi, motivasi, dan
restrukrisasi.
Berbeda dengan tujuan utama konsumsi oleh konsumen dalam ekonomi
konvensional yang semata-mata memaksimumkan utilitinya, dalam Ekonomi
Islam yang berasaskan syariat Islam, menolak aktivitas manusia yang selalu
memenuhi segala kehendaknya untuk memaksimumkan utiliti, karena pada
dasarnya manusia memiliki kecenderungan terhadap hal yang baik dan buruk
sekaligus. Kehendak manusia didorong oleh suatu kekuatan dalam diri manusia
16
(inner power) yang bersifat pribadi, dan karenanya seringkali berbeda antara satu
orang dengan lainnya (sangat subjektif). Kehendak tidak selalu sesuai dengan
rasionaliti, karena sifatnya yang tak terbatas. Kekuatan dari dalam diri manusia itu
disebut jiwa atau hawa nafsu (nafs) yang menjadi penggerak aktiviti manusia.
Karena kualitas hawa nafsu manusia berbeda-beda, maka sangat wajar apabila
kehendak satu orang dengan lainnya berbeda-beda pula.
Secara sistematis perangkat penyeimbang perekonomian dalam Islam berupa:
a. Diwajibkannya zakat terhadap harta yang tidak di investasikan, sehingga
mendorong pemilik harta untuk menginves hartanya, disaat yang sama zakat tidak
diwajibkan kecuali terhadap laba dari harta yang diinvestasikan, Islam tidak
mengenal batasan minimal untuk laba, hal ini menyebabkan para pemilik harta
berusaha menginvestasikan hartanya walaupun ada kemungkinan adanya kerugian
hingga batasan wajib zakat yang akan dikeluarkan, maka kemungkinan kondisi
resesi dalam Islam dapat dihindari.
b. Sistem bagi hasil dalam berusaha (profit and loss sharing) menggantikan
pranata bunga membuka peluang yang sama antara pemodal dan pengusaha,
keberpihakan sistem bunga kepada pemodal dapat dihilangkan dalam sistem bagi
hasil. Sistem inipun dapat menyeimbangkan antara sektor moneter dan sektor riil.
c. Adanya keterkaitan yang erat antara otoritas moneter dengan sektor belanja
negara, sehingga pencetakan uang tidak mungkin dilakukan kecuali ada sebabsebab ekonomi riil, hal ini dapat menekan timbulnya inflasi.
d. Keadilan dalam distribusi pendapatan dan harta. Fakir miskin dan pihak yang
tidak mampu ditingkatkan pola konsumsinya dengan mekanisme zakat, daya beli
kaum dhu’afa meningkat sehingga berdampak pada meningkatnya permintaan riil
ditengah masyarakat dan tersedianya lapangan kerja.
e. Intervensi negara dalam roda perekonomian. Negara memiliki wewenang untuk
intervensi dalam roda perekonomian pada hal-hal tertentu yang tidak dapat
diserahkan kepada sektor privat untuk menjalankannya seperti membangun
fasilitas umum dan memenuhi kebutuhan dasar bagi masyarakat. Ada dua fungsi
negara dalam roda perekonomian: (1) Melakukan pengawasan terhadap jalannya
roda perekonomian dari adanya penyelewengan atau distorsi seperti ; monopoli,
17
upah minimum, harga pasar dan lain-lain. (2) Peran negara dalam distribusi
kekayaan dan pendapatan serta kebijakan fiskal yang seimbang.
Krisis ekonomi saat ini telah membuat para pemimpin dunia disibukkan
oleh upaya mencari jalan keluar untuk menghentikan ’pendarahan’ akibat
kecelakaan fatal ekonomi keuangan mereka. Paket penyelamatan krisis pun telah
disiapkan dengan total dana yang tidak tanggung-tanggung: 3.4 triliun dolar AS
(AS: 700 miliar dolar; Inggris: 691 miliar dolar; Jerman: 680 miliar dolar;
Irlandia: 544 miliar dolar; Prancis: 492 miliar dolar; Rusia: 200 miliar dolar dan
negara-negara Asia: 80 miliar dolar! (Kompas 26/10).
Kenyataannya, sampai saat ini kondisi ekonomi masih terus memburuk.
Indeks harga saham di bursa dunia terus terpuruk. Nilai mata uang di pasar uang
terus bergejolak. Saluran dana untuk kredit ke sektor industri, infrastruktur dan
perdagangan mulai macet. Proses produksi mandek. Dua puluh juta pekerja di
seluruh dunia terancam di-PHK.
Perkembangan terbaru adalah adanya gerakan occupy wall street yang
kemudian merembet ke inggris dengan demo occupy London, Unjuk rasa anti
Wall Street yang berlangsung di AS, rupanya memicu serangkaian aksi memprotes
bankir, pebisnis dan politisi di berbagai belahan dunia. Selain amerika dan inggris
unjuk rasa sejenis telah terjadi di Italia, Yunani dan Portugal untuk memprotes
krisis utang. Di Roma, Italia, sekitar 10 ribu orang berpawai dengan panjang
barisan beberapa kilometer di pusat kota Roma. Aksi ini berbarengan dengan
pertemuan G-20 di Paris, Prancis, dimana menteri-menteri keuangan dan kepala
bank sentral berunding soal krisis utang dan defisit di negara-negara barat.
Namun, 1.000 demonstran berunjuk rasa di luar gedung pertemuan G-20. (detik
news 22 oktober 2011)
Penyebab Utama Krisis
Sebab utama krisis ekonomi bisa dilacak dari begitu berkuasanya sektor
moneter/keuangan (sistem uang kertas [fiat money], perbankan ribawi, pasar
modal, bursa saham, valas [pasar uang], dll) atas sektor riil (perdagangan dan jasa
yang bersifat nyata). Sebelum krisis moneter di Asia tahun 1997/1998, misalnya,
18
dalam satu hari, dana yang beredar dalam transaksi semu di pasar modal dan pasar
uang dunia diperkirakan rata-rata sekitar 2-3 triliun dolar AS, atau dalam satu
tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Sebaliknya, arus perdagangan barang secara
internasional dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus
uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Republika,
18/8/2000).
Besaran transaksi yang terjadi di pasar uang dunia berjumlah 1,5 triliun
dolar AS dalam sehari. Sebaliknya, besaran transaksi pada perdagangan dunia di
sektor riil hanya 6 triliun dolar AS setiap tahunnya. Jadi, perbandingannya adalah
500:6. Dengan kata lain, transaksi di sektor riil hanya sekitar 1%-an dari sektor
keuangan (Agustianto, 2007). Sementara itu, menurut Kompas September 2007,
uang yang beredar dalam transaksi valas (valuta asing) mencapai 1,3 triliun dalam
setahun. Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan
semakin melejit meninggalkan sektor riil.
Ekonomi Kapitalisme: Biang Krisis
Krisis ekonomi dunia saat ini bukanlah yang pertama maupun yang
terakhir. Boleh dikatakan, sejarah ekonomi Kapitalisme adalah sejarah krisis. Roy
Davies dan Glyn Davies (1996), dalam buku The History of Money From Ancient
time to Present Day, menguraikan sejarah kronologi krisis ekonomi dunia secara
menyeluruh. Menurut keduanya, sepanjang Abad 20 telah terjadi lebih 20 kali
krisis besar yang melanda banyak negara. Ini berarti, rata-rata setiap 5 tahun
terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta
umat manusia.
Krisis ekonomi sudah terjadi sejak tahun 1907; disusul dengan krisis
ekonomi tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan 1998 – 2001 bahkan
sampai saat ini. Di Asia Tenggara sendiri—khususnya Thailand, Malaysia dan
Indonesia—krisis pernah terjadi pada tahun 1997-2002 hingga saat ini.
Beberapa kalangan memandang kebijakan neoliberalisme sebagai sumber
dari bencana ini. Alasan mereka, mekanisme pasar yang diagung-agungkan oleh
19
mazhab neoliberal yang merupakan keturunan dari kapitalisme itu sesungguhnya
tidak selamanya bekerja otomatis berdasarkan prinsip-prinsip efisiensi. Struktur
pasar mengandung elemen-elemen kekuatan ekonomi-politik yang monopolistik
terutama dari korporasi besar. Kekuatan monopolistik sangat determinan dalam
kaitan dengan permintaan dan penawaran, sekaligus penetapan harga barang
sehingga pasar bekerja atas kontrol para pemilik modal.
Karena alasan inilah mengapa bisa muncul fenomena dominasi para
pemilik modal; perbudakan dan pemangsaan kalangan konsumen oleh kalangan
produsen, khususnya pemilik perusahaan besar, serta monopoli ekonomi oleh
negara-negara kapitalis yang menghambat kemajuan industrialisasi negara-negara
dunia ketiga.
Mengapa mereka begitu tega memonopoli keuntungan perekonomian
sehingga sebagian besar harta tersimpan di kantung-kantung mereka dan
karenanya dunia mengalami kesenjangan?
Jawabnya, karena kapitalisme memandang bahwa kebahagiaan itu adalah dengan
memperoleh sebesar-besarnya kesenangan yang bersifat jasmaniah (al-sa’âdah
hiya al-akhdzu bi akbar nashîb min al-muta’ al-jasadiyyah). Dan karena bagi
kapitalis kebutuhan manusia itu tidak terbatas , maka konsekuensinya adalah
mereka pun harus berlomba di dalam mengumpulkan kekayaan sebanyak
mungkin sehingga bisa dipergunakan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan
mereka yang tidak terbatas itu. Dengan cara itulah mereka berharap bisa meraih
kebahagiaan, yang pada kenyataannya justru malah mengorbankan kesejahteraan
yang merata dan kebahagiaan sesama.
Solusi: Sistem Ekonomi Sosialis?
Lalu bagaimana dengan sistem ekonomi sosialis? Apakah ia bisa menjaid
solusi atas kekacauan ekonomi yang ditimbulkan oleh sistem kapitalis? Jawabnya,
tentu saja tidak. Alasannya, sosialisme yang muncul belakangan setelah
kapitalisme saja justru telah runtuh lebih dahulu, dan meskipun saat ini China
yang menganut sistem politik sosialis-komunis itu sedang ‘berjaya ekonominya’ ,
20
tetapi dari segi sistem ekonomi ia tidak memakai sosialisme, tetapi menganut
sistem ekonomi kapitalis negara.
Hal ini dikarenakan sistem ekonomi sosialis memang tidak lebih baik dari
sistem ekonomi kapitalis. Sebagai bukti historis, Presiden Soekarno yang
menerapkan sistem ekonomi sosialis yang disebutnya sebagai Ekonomi Terpimpin
itu pun nyatanya gagal dalam memberikan kesejahteraan Indonesia pada masa
Orde Lama. Dengan penerapan sistem ekonomi sosialisme, yang terjadi justru
rakyat semakin miskin, banyak pengangguran, inflasi sangat tinggi dan rendahnya
pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sosialisme pun
tidak bisa menjadi harapan solutif bagi krisis ekonomi di Indonesia saat ini. Lalu
bagaimana dengan Islam?
Sistem Ekonomi Islam: Berbasiskan Sektor Riil
Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti—atau terikat dengan—
sektor riil. Dalam pandangan Islam, uang bukan komoditas (barang dagangan),
melainkan alat pembayaran. Islam menolak keras segala jenis transaksi semu
seperti yang terjadi di pasar uang atau pasar modal saat ini. Sebaliknya, Islam
mendorong perdagangan internasional. Muhammad saw., sebelum menjadi rasul,
telah menjadi pedagang internasional sejak usia remaja. Ketika berusia belasan
tahun, beliau telah berdagang ke Syam (Suriah), Yaman dan beberapa negara di
kawasan Teluk sekarang. Lalu saat beliau menjadi rasul sekaligus menjadi kepala
negara Daulah Islamiyah di Madinah, sejak awal kekuasaannya, umat Islam telah
menjalin kontak bisnis dengan Cina, India, Persia, dan Romawi. Bahkan hanya
dua abad kemudian (abad kedelapan), para pedagang Islam telah mencapai Eropa
Utara.
Sepanjang keberadaan Daulah Islamiyah pada zaman Nabi Muhammad
saw. jarang sekali terjadi krisis ekonomi (Pernah sekali Daulah Islam mengalami
defisit, yaitu sebelum Perang Hunain, namun segera dilunasi setelah perang). Pada
zaman Kekhilafahan Islam, khususnya masa Khulafaur Rasyidin juga begitu. Pada
zaman Khalifah Umar bin al-Khaththab dan khalifah Utsman bin Affan APBN
malah sering mengalami surplus.
21
Apa rahasianya? Ini karena kebijakan moneter Daulah Islamiyah masa Rasulullah
saw. dan Kekhilafahan Islam pada masa para khalifah selalu terkait dengan sektor
riil, terutama perdagangan.
Sistem Ekonomi Islam: Menjamin Kesejahteraan Umat Manusia
Dalam sistem ekonomi Islam, kesejahteraan diukur berdasarkan prinsip
terpenuhinya kebutuhan setiap individu masyarakat, bukan atas dasar penawaran
dan permintaan, pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, nilai mata uang ataupun
indeks harga-harga di pasar non-riil.
Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam dilakukan dengan melaksanakan
beberapa prinsip dasar di dalam mencapai tujuan terpenuhinya kebutuhan setiap
individu masyarakat.
1. Pengaturan atas kepemilikan.
Kepemilikan dalam ekonomi Islam dibagi tiga. Pertama: kepemilikan
umum. Kepemilikan umum meliputi semua sumber, baik yang keras, cair maupun
gas, seperti minyak, besi, tembaga, emas dan gas; termasuk semua yang tersimpan
di perut bumi, dan semua bentuk energi, juga industri berat yang menjadikan
energi sebagai komponen utamanya. Dalam hal ini, negara hanya mengekplorasi
dan mendistribusikannya kepada rakyat, baik dalam bentuk barang maupun jasa.
Kedua: kepemilikan negara. Kepemilikan negara meliputi semua kekayaan yang
diambil negara seperti pajak dengan segala bentuknya serta perdagangan, industri
dan pertanian yang diupayakan oleh negara, di luar kepemilikan umum.
Semuanya ini dibiayai oleh negara sesuai dengan kepentingan negara.
Ketiga: kepemilikan individu. Kepemilikan ini bisa dikelola oleh individu sesuai
dengan hukum syariah.
2. Penetapan sistem mata uang emas dan perak.
Emas dan perak adalah mata uang dalam sistem Islam. Mengeluarkan
kertas substitusi harus ditopang dengan emas dan perak, dengan nilai yang sama
dan dapat ditukar, saat ada permintaan. Dengan begitu, uang kertas negara
22
manapun tidak akan bisa didominasi oleh uang negara lain. Sebaliknya, uang
tersebut
mempunyai
nilai
intrinsik
yang
tetap,
dan
tidak
berubah.
Ditinggalkannya mata uang emas dan perak dan menggantikannya dengan
mata uang kertas telah melemahkan perekonomian negara. Dominasi mata uang
dolar yang tidak ditopang secara langsung oleh emas mengakibatkan struktur
ekonomi menjadi sangat rentan terhadap gejolak mata uang dolar. Goncangan
sekecil apapun yang terjadi di Amerika akan dengan cepat merambat ke seluruh
dunia. Bukan hanya itu, gejolak politik pun akan berdampak pada naik-turunnya
nilai mata uang akibat uang dijadikan komoditas (barang dagangan) di pasar uang
yang penuh spekulasi (untung-untungan).
3. Penghapusan sistem perbankan ribawi.
Sistem ekonomi Islam melarang riba, baik nasiah maupun fadhal; juga
menetapkan pinjaman untuk membantu orang-orang yang membutuhkan tanpa
tambahan (bunga) dari uang pokoknya. Di Baitul Mal (kas negara Daulah
Islamiyah),
masyarakat
bisa
memperoleh
pinjaman
bagi
mereka
yang
membutuhkan, termasuk para petani, tanpa ada unsur riba sedikitpun di dalamnya.
4. Pengharaman sistem perdagangan di pasar non-riil.
Yang termasuk ke dalam pasar non-riil (virtual market) saat ini adalah
pasar sekuritas (surat-surat berharga); pasar berjangka (komoditas emas, CPO,
tambang dan energi, dll) dan pasar uang. Sistem ekonomi Islam melarang
penjualan komoditi sebelum barang menjadi milik dan dikuasai oleh penjualnya,
haram hukumnya menjual barang yang tidak menjadi milik seseorang. Haram
memindahtangankan kertas berharga, obligasi dan saham yang dihasilkan dari
akad-akad yang batil. Islam juga mengharamkan semua sarana penipuan dan
manipulasi yang dibolehkan oleh Kapitalisme, dengan klaim kebebasan
kepemilikan.
Inilah sistem ekonomi Islam yang benar-benar akan menjamin
kesejahteraan
masyarakat
dan
bebas
dari
guncangan
krisis
ekonomi.
Sistem ini terbukti telah mampu menciptakan kesejahteraan umat manusia—
23
Muslim dan non-Muslim—tanpa harus selalu berhadapan dengan krisis ekonomi
yang secara berkala menimpa, sebagaimana dialami sistem ekonomi Kapitalisme.
Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab (13-23 H/634-644 M), misalnya,
hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan merata ke segenap
penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya, Muadz bin Jabal sampai
kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat (Abu Ubaid
menuturkan, Al-Amwâl, hlm. 596). Pada masanya, Khalifah Umar bin alKhaththab mampu menggaji guru di Madinah masing-masing 15 dinar (1
dinar=4,25 gr emas). (Ash-Shinnawi, 2006).
Lalu pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M),
meskipun masa Kekhilafahannya cukup singkat (hanya 3 tahun), umat Islam terus
mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin
Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Ketika hendak membagikan zakat,
saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan
setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Ibnu Abdil Hakam, Sîrah
‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59).
Pada masanya, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata
di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah. Begitu
makmurnya rakyat, Gubernur Bashrah saat itu pernah mengirim surat kepada
Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya
sendiri khawatir mereka akan menjadi takabur dan sombong.” (Abu Ubaid, AlAmwâl, hlm. 256).
Begitulah sejarah emas kaum Muslim pada masa lalu. Dengan
melaksanakan semua syariah Allah dalam seluruh aspek kehidupan—termasuk
dalam ekonomi—sebagai wujud ketakwaan kepada-Nya, Allah telah menurunkan
keberkahan-Nya dari langit dan bumi kepada kaum Muslim saat itu. Mahabenar
Allah Yang berfirman:
24
سوا س
لرض
ت ءمسن ال سسماءء
عسليءهم سبسركك ت
ى ءاسمنوا سوات سسقوا ل سفسستحنا س
سوسلو أ س سن سأهسل الققر ك
(٩٦ ) خذن كقهم ءبما كانوا سيكءسبون
سول كءكن سك سذبوا سفأ س س
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Namun,
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itulah, Kami menyiksa mereka
akibat perbuatan mereka itu (QS al A’raf [7]: 96).
Prospek Ekonomi Syariah
Kurang
berkembangnya
Sistem
Perekonomian
Islam,
khususnya
Perbankan Syari’ah di Indonesia terletak pada umat Islam sendiri. Masih banyak
umat Islam di Indonesia yang belum paham akan ekonomi Islam ataupun tidak
menjalankan sebagaimana mestinya, banyak diantaranya yang merasa takut
menjadi miskin karenanya, padahal dalam Q.S Al-Baqarah : 268 dikatakan:
"Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh
kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan
daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui". Apabila perekonomian di Indonesia telah didasari oleh normanorma Islam tentunya tidak akan ditemukan kemiskinan ataupun penurunan taraf
hidup dan perekonomian ummat seperti yang terjadi saat ini.
Di sektor perbankan saja misalnya, sampai tahun 2010 nanti jumlah
kantor bank-bank syariah diperkirakan akan mencapai 586 cabang. Prospek
perbankan syariah di masa depan diperkirakan juga akan semakin cerah. Selain
perbankan, sektor ekonomi syariah lainnya yang juga mulai berkembang adalah
asuransi syariah. Prinsip asuransi syariah pada intinya adalah kejelasan dana, tidak
mengandung judi dan riba atau bunga. Sama halnya dengan perbankan syariah,
melihat potensi umat yang ada di Indonesia, prospek asuransi syariah sangat
menjanjikan.
25
Dalam sepuluh tahun ke depan diperkirakan Indonesia bisa menjadi negara
yang pasar asuransinya paling besar di dunia. Data dari Asosiasi Asuransi Syariah
di Indonesia menyebutkan, tingkat pertumbuhan asuransi syariah selama 5 tahun
terakhir mencapai 40 persen, sementara asuransi konvensional hanya 22,7 persen.
Perbankan dan asuransi, hanya salah satu dari industri keuangan syariah yang kini
sedang berkembang pesat.
Dukungan Pemerintah
Meski sudah menunjukan eksistensinya, masih banyak kendala yang
dihadapi bagi pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Soal pemahaman
masyarakat selama ini yang masih kurang memadai. Kendala lainnya yang cukup
berpengaruh adalah adanya dukungan penuh dari para pengambil kebijakan di
negeri ini, terutama menteri-menteri dan lembaga pemerintahan yang memiliki
wewenang dalam menentukan kebijakan ekonomi. Praktisi perbankan syariah,
Maka konsep ini akan mengangkat kembali wajah perekonomian kita,
artinya memperkuat basis perekonomian kita, yang selama ini menganut sistem
kapitalis. Dalam jangka panjang akan memberi pengertian pada masyarakat
bahwa harta bukan lagi kepemilikan pribadi, melainkan kepemilikan sosial. Dari
sisi inilah islam bisa mengangkat kembali perekonomian bangsa dengan sistem
ta’awun. Sehingga milyarder bisa menolong orang-orang menengah ke bawah
untuk mengangkat taraf ekonomi mereka, ke jenjang yang lebih mapan. Andaikan
mereka tahu betapa Islam sangat memperhatian urusan sosial ekonomi, maka
negeri ini ada harapan untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi.
26
SISTEM PEREKONOMIAN ISLAM MASA BANI UMAYYAH
Pada umumnya pasca Khulafaur Rasyidin, pemerintahan Islam seringkali
dipandang tidak sesuai lagi dengan syariat Islam. Peristiwa pemberontakan
(bughat) Wali Syam Mu’awiyah bin Abi Sufyan kepada Khalifah Ali bin Abi
Thalib yang diperangi dalam Perang Siffin, kemudian berlanjut dengan kekisruhan
negara pada masa kekhalifahan Ali yang diakhiri dengan terbunuhnya sang
Khalifah oleh Kaum Khawarij.
Diawali oleh Khalifah Mu’awiyah yang pernah membantu Rasulullah saw
untuk menjadi sekretaris negara di masanya (Ensiklopedi Umum, 1984),
kemudian pada masa Khalifah Umar bin Khattab, karena kecakapannya
diamanahi menjadi Wali di daerah Syam, yang terus berlanjut sampai
Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sampai akhirnya dengan terbunuhnya Ali,
Mu’awiyah karena pengaruhnya yang besar kemudian diba’iat menjadi khalifah
berikutnya pada tahun 41H/661M setelah Khalifah Hasan bin Ali, mundur dan
berbaiat kepadanya. Penguasaan keluarga ini berakhir pada tahun 132H/750M,
dengan terbunuhnya Khalifah keempat belas Marwan bin Muhammad Al Ja’di
oleh pemberontakan yang dilakukan Abu Muslim Khurasai.
Dibandingkan
den
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Dewasa ini masih banyak kalangan yang melihat Islam secara parsial
dimana Islam hanya diwujudkan dalam bentuk ritualisme ibadah semata dan
menganggap bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan dunia perbankan, pasar
modal, asuransi, transaksi eksport import, dll. Bahkan mereka beranggapan bahwa
Islam dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya sebagai penghambat
perekonomian suatu bangsa, sebaliknya kegiatan ekonomi dan keuangan akan
semakin meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normatif dan
ketentuan Ilahi.
Cara pandang di atas bisa dikatakan sempit dan belum melihat Islam
secara “kaffah”. Islam adalah agama yang universal, bagi mereka yang dapat
memahami dan melaksanakan ajaran Islam secara utuh dan total akan sadar bahwa
sistem perekonomian akan tumbuh dan berkembang dengan baik bila didasari
oleh nilai-nilai dan prinsip syari’ah Islam, dalam penerapannya pada segenap
aspek kehidupan bisnis dan transaksi ummat.
Oleh karena itu diperlukannya pemahaman yang jelas tentang apa itu
sistem ekonomi islam, bagaimana pekembangannya, bagaimana penerapannya?
Hal ini sangat penting diketahui karena sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis
tidaklah
mampu
mengantarkan
menuju
masyarakat
sejahtera.
Tidaklah
mengherankan apabila sekarang ini mulai diterapkannya sistem ekonomi islam
diberbagai negara.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sistem perekonomian pada masa islam Bani Umayyah?
2. Bagaimanakah sistem ekonomi islam pada masa sekarang?
3. Bagaimanakah penerapan sistem ekonomi isslam tersebut?
1
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui secara jelas apa dan bagaimanakah sistem ekonomi islam
2. Mampu membedakan sisi positif an negatif sistem ekonomi islam dengan
sistem ekonomi lainnnya.
3. Mampu menerapkan sistem ekonomi islam pada masa sekarang.
2
BAB II
SISTEM PEREKONOMIAN ISLAM PADA ERA GLOBALISASI
Ekonomi Islam pernah tidak populer sama sekali. Kepopuleran ekonomi
Islam bisa dikatakan masih belum lama. Oleh karena itu, sering muncul
pertanyaan, apakah ekonomi Islam adalah baru sama sekali? Jika melihat pada
sejarah dan makna yang terkandung dalam ekonomi Islam, ia bukan sistem yang
baru. Argumen untuk hal ini antara lain:
1.
Islam sebagai agama samawi yang paling mutakhir adalah agama yang
dijamin oleh Allah kesempurnaannya, seperti ditegaskan Allah dalam surat AlMaidah (5):3. Di sisi lain, Allah SWT juga telah menjamin kelengkapan isi AlQur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia yang beriman dalam menjalankan
perannya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Hal ini ditegaskan Allah SWT
dalam firmannya QS Al-An’am (6):38,
ما فرطنا في الكتاب من شيء ثم الى ربهم يحشرون
2.
Sejarah mencatat bahwa umat Islam pernah mencapai zaman keemasan,
yang tidak dapat disangkal siapapun. Dalam masa itu, sangat banyak kontribusi
sarjana muslim yang tetap sangat diakui oleh semua pihak dalam berbagai bidang
ilmu sampai saat ini, seperti matematika, astronomi, kimia, fisika, kedokteran,
filsafat dan lain sebagainya. Sejarah juga membuktikan, bahwa sulit diterima akal
sehat sebuah kemajuan umat dengan begitu banyak kontribusi dalam berbagai
lapangan hidup dan bidang keilmuan tanpa didukung lebih awal dari kemajuan di
lapangan ekonomi.
3.
Sejarah juga mencatat banyak tokoh ekonom muslim yang hidup dan berjaya
di zamannya masing-masing, seperti Tusi, Al-Farabi, Abu Yusuf, Ibnu Taimiyyah,
Al-Maqrizi, Syah Waliyullah, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Bahkan yang disebut
terakhir (Ibnu Khaldun) diakui oleh David Jean Boulakia sebagai berikut: “Ibn
Khaldun discovered a great number of fundamental economic notions a few
centuries before their official births. He discovered the virtues and the necessity
of a division of labor before (Adam) Smith and the principle of labor before
Ricardo. He elaborated a theory of population before Malthus and insisted on the
3
role of the state in the economy before Keynes. The economist who rediscovered
mechanisms that he had already found are too many to be named.” “. . . although
Ibn Khaldun is the forerunner of many economist, he is an accident of history and
has no consequence on the evolution of economic thought.”
Menurut Khurshid Ahmad, yang dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, ada
empat tahapan perkembangan dalam wacana pemikiran ekonomi Islam, yaitu:
1.
Tahapan Pertama, dimulai ketika sebagian ulama, yang tidak memiliki
pendidikan formal dalam bidang ilmu ekonomi namun memiliki pemahaman
terhadap persoalan-persoalan sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba untuk
menuntaskan persoalan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu haram
dan kaum muslimin harus meninggalkan hubungan apapun dengan perbankan
konvensional. Mereka mengundang para ekonom dan banker untuk saling bahu
membahu mendirikan lembaga keuangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip
syariah dan bukan pada bunga. Yang menonjol dalam pendekatan ini adalah
keyakinan yang begitu teguh haramnya bunga bank dan pengajuan alternatif.
Masa ini dimulai kira-kira apada pertengahan dekade 1930-an dan
mengalami puncak kemajuannya pada akhir dekade 1950-an dan awal dekade
1960-an. Pada masa itu di Pakistan didirikan bank Islam lokal ayang beroperasi
bukan pada bunga. Sementara itu di Mesir juga didirikan lembaga keuangan yang
beroperasi bukan pada bunga pada awal dasa warsa 1960-an. Lembaga keuangan
ini diberi nama Mit Ghomir Local Saving yang berlokasi di delta sungai Nil,
Mesir.
Tahapan ini memang masih bersifat prematur dan coba-coba sehingga
dampaknya masih sangat terbatas. Meskipun demikian tahapan ini telah membuka
pintu lebar bagi perkembangan selanjutnya.
2.
Tahapan kedua dimulai pada akhir dasa warsa 1960-an. Pada tahapan ini
para ekonom Muslim yang pada umumnya dididik dan dilatih di perguruan tinggi
terkemuka di Amerika Serika dan Eropa mulai mencoba mengembangkan aspekaspek tertentu dari sistem moneter Islam. Mereka melakukan analisis ekonomi
terhadap larangan riba (bunga) dan mengajukan alternatif perbankan yang tidak
berbasis bunga. Serangkaian konferensi dan seminar internasional tentang
ekonomi dan keuangan Islam digelar beberapa kali dengan mengundang para
4
pakar, ulama, ekonom baik muslim maupun non-muslim. Konferensi internasional
pertama tentang ekonomi Islam digelar di Makkah al-Mukarromah pada tahun
1976 yang disusul kemudian dengan konferensi internasional tentang Islam dan
Tata Ekonomi Internasional yang baru di London pada tahun 1977. Setelah itu
digelar dua seminar tentang Ekonomi Moneter dan Fiskal dalam Islam di Makkah
pada tahun 1978 dan di Islamabad pada tahun 1981. Kemudian diikuti lagi oleh
konferensi tentang Perbankan Islam dan Strategi kerja sama ekonomi yang
diadakan di Baden-Baden, Jerman pada tahun 1982 yang kemudian diikuti
Konferensi Internasional Kedua tentang Ekonomi Islam di Islamabad pada tahun
1983.
Belasan buku dan monograf telah diterbitkan semenjak konferensi dan
seminar ini digelar yang berhasil memberikan gambaran yang lebih terang tentang
Ekonomi Islam baik dalam teori maupun praktek. Menurut Khurshid Ahmad,
kontribusi yang paling signifikan selain dari hasil-hasil konferensi dan seminar
tadi adalah laporan yang dikeluarkan oleh Dewan Ideologi Islam Pakistan tentang
penghapusan riba dari ekonomi. Laporan ini tidak saja menjelaskan tentang
hukum bunga bank yang telah ditegaskan haram oleh ijma’ para ulama masa kini,
tetapi
juga
memberikan
pedoman
bagaimana
menghapuskan
riba
dari
perekonomian.
Pada tahapan kedua ini muncul nama-nama ekonom muslim terkenal di
seluruh dunia Islam anatara lain Prof. Dr. Khurshid Ahmad yang dinobatkan
sebagai bapak ekonomi Islam, Dr. M. Umer Chapra, Dr. M. A. Mannan, Dr. Omar
Zubair, Dr. Ahmad An-Najjar, Dr. M. Nejatullah Siddiqi, Dr. Fahim Khan, Dr.
Munawar Iqbal, Dr. Muhammad Ariff, Dr. Anas Zarqa dan lain-lain. Mereka
adalah ekonom muslim yang dididik di Barat tetapi memahami sekali bahwa
Islam sebagai way of life yang integral dan komprehensif memiliki sistem
ekonomi tersendiri dan jika diterapkan dengan baik akan mampu membawa umat
Islam kepada kedudukan yang berwibawa di mata dunia.
3.
Tahapan ketiga ditandai dengan upaya-upaya konkrit untuk mengembangkan
perbankan dan lembaga-lembaga keuangan non-riba baik dalam sektor swasta
maupun dalam sektor pemerintah. Tahapan ini merupakan sinergi konkrit antara
usaha intelektual dan material para ekonom, pakar, banker, para pengusaha dan
5
para hartawan muslim yang memiliki kepedulian kepada perkembangan ekonomi
Islam. Pada tahapan ini sudah mulai didirikan bank-bank Islam dan lembaga
investasi berbasis non-riba dengan konsep yang lebih jelas dan pemahaman
ekonomi yang lebih mapan. Bank Islam yang pertama kali didirikan adalah
Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah, Saudi Arabia. Bank
Islam ini merupakan kerjasa sama antara negara-negara Islam yang tergabung
dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Tidak lama kemudian disusul oleh
Dubai Islamic Bank. Setelah itu banyak sekali bank-bank Islam bermunculan di
mayoritas negara-negara muslim termasuk di Indonesia.
4.
Tahapan keempat ditandai dengan pengembangan pendekatan yang lebih
integratif dan sophisticated untuk membangun keseluruhan teori dan praktek
ekonomi Islam terutama lembaga keuangan dan perbankan yang menjadi indikator
ekonomi umat.
Tiga Prinsip Dasar Yang Menyangkut sistem ekonomi Syariah menurut
Islam
1.
Tawhid, Prinsip ini merefleksikan bahwa penguasa dan pemilik tunggal atas
jagad raya ini adalah Allah SWT.
2.
Khilafah, mempresentasikan bahwa manusia adalah khalifah atau wakil
Allah di muka bumi ini dengan dianugerahi seperangkat potensi spiritual dan
mental serta kelengkapan sumberdaya materi yang dapat digunakan untuk hidup
dalam rangka menyebarkan misi hidupnya.
3.
‘Adalah, merupakan bagian yang integral dengan tujuan syariah (maqasid
al-Syariah). Konsekuensi dari prinsip Khilafah dan ‘Adalah menuntut bahwa
semua sumberdaya yang merupakan amanah dari Allah harus digunakan untuk
merefleksikan tujuan syariah antara lain yaitu; pemenuhan kebutuhan (need
fullfillment), menghargai sumber pendapatan (recpectable source of earning),
distribusi pendapatan dan kesejah-teraan yang merata (equitable distribution of
income and wealth) serta stabilitas dan pertumbuhan (growth and stability).
6
Empat Ciri/Sifat Sistem Islam
1.
Kesatuan (unity)
2.
Keseimbangan (equilibrium)
3.
Kebebasan (free will)
4.
Tanggungjawab (responsibility)
Di Indonesia ekonomi syariah mulai dikenal sejak berdirinya Bank
Muamalat Indonesia pada tahun 1991. Selanjutnya ekonomi berbasis syariah di
Indonesia ini mulai menunjukan perkembangan yang menggembirakan. Pada
dasarnya, sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sudah
menjadi kewajiban bagi Umat Islam Indonesia untuk menerapkan ekonomi
syariah sebagai bukti ketaatan dan ketundukan masyarakat pada Allah SWT dan
Rasulnya. Penerapan hukum syariah bukan hanya terbatas pada bank-bank saja,
tapi sudah menjalar ke bisnis asuransi, bisnis multilevel marketing, koperasi
bahkan ke pasar modal.
Sistem Perekonomian Islam bersifat universal artinya dapat digunakan
oleh siapapun tidak terbatas pada umat Islam saja, dalam bidang apapun serta
tidak dibatasi oleh waktu ataupun zaman sehingga cocok untuk diterapkan dalam
kondisi apapun asalkan tetap berpegang pada kerangka kerja atau acuan normanorma islami. Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan landasan hukum yang lengkap
dalam mengatur segala aspek kehidupan ummat, khususnya di bidang ekonomi
antara lain:
- Islam dirancang sebagai rahmat untuk seluruh ummat, menjadikan kehidupan
lebih sejahtera dan bernilai, tidak miskin dan tidak menderita (Q.S. Al-Anbiya :
107).
- Harta adalah amanat Allah, untuk mendapatkan dan memanfaatkannya harus
sesuai dengan ajaran Islam (Q.Q. Al-Anfal : 28).
- Larangan menjalankan usaha yang haram (Q.S.Al-Baqarah : 273-281).
7
- Larangan merugikan orang lain (Q.S.Asy-Syuara : 183).
- Kesaksian dalam mu’amalah (Q.S.Al-Baqarah : 282-283), dll.
Telah terbukti dengan adanya krisis ekonomi dan moneter yang melanda
Indonesia dan Asia beberapa waktu yang lalu bahwa sistem yang kita anut dan
dibanggakan selama ini khususnya di bidang perbankan kiranya tidak mampu
untuk menanggulangi dan mengatasi kondisi yang ada, bahkan terkesan sistem
yang ada saat ini dengan tidak adanya nilai-nilai Ilahi yang melandasi operasional
perbankan dan lembaga keuangan lainnya sebagai penyebab tumbuh dan
berkembangnya “perampok berdasi” yang telah menghancurkan sendi-sendi
perekonomian bangsa Indonesia sendiri. Sebaliknya bagi dunia perbankan dan
lembaga keuangan Islam yang dalam operasionalnya bersendi pada Syari’ah
Islam, krisis ekonomi dan moneter yang terjadi merupakan moment positif
dimana bisa menunjukkan dan memberikan bukti secara nyata dan jelas kepada
dunia perbankan khususnya bahwa Bank yang berlandaskan Syari’ah Islam tetap
dapat hidup dan berkembang dalam kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan.
Dengan bukti di atas, sudah saatnya bagi para penguasa negara, alim
ulama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk membuka mata dan merubah
cara pandang yang ada bahwa Sistem Perbankan Syari’ah merupakan alternatif
yang cocok untuk ditumbuh kembangkan dalam dunia perbankan Indonesia
dewasa ini. Namun disayangkan perkembangan Perbankan Syari’ah di Indonesia
terkesan lambat dan kurang dikelola secara serius, terbukti dari data yang
diperoleh dari BI Surabaya per Maret 2000 jumlah BPR Konvensional yang ada di
Jawa Timur mencapai 427 sedangkan BPR Syari’ah baru mencapai 6 (1,4%),
dimana 5 diantaranya tergolong sehat dan 1 kurang sehat.
Kurang
berkembangnya
Sistem
Perekonomian
Islam,
khususnya
Perbankan Syari’ah di Indonesia terletak pada umat Islam sendiri. Masih banyak
umat Islam di Indonesia yang belum paham akan ekonomi Islam ataupun tidak
menjalankan sebagaimana mestinya, banyak diantaranya yang merasa takut
menjadi miskin karenanya, padahal dalam Q.S Al-Baqarah : 268 dikatakan:
"Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh
kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan
8
daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui".
Apabila perekonomian di Indonesia telah didasari oleh norma-norma Islam
tentunya tidak akan ditemukan kemiskinan ataupun penurunan taraf hidup dan
perekonomian ummat seperti yang terjadi saat ini.
Dalam makalah ini penulis lebih memfokuskan pada perkembangan
Perbankan Syari’ah sebagai sub unit financial yang merupakan bagian dari sub
sistem ekonomi ditinjau dari mitos dan kenyataan yang terjadi dalam prakteknya,
serta peranan Perguruan Tinggi sebagai sub sistem pendidikan dalam kaitannya
dengan sub sistem ekonomi.
Kendala Perbankan Syariah
Banyak tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam perkembangan Bank
Syari’ah, terutama berkaitan dengan penerapan suatu sistem perbankan yang baru
yang mempunyai sejumlah perbedaan prinsip dari sistem keuntungan yang
dominan dan telah berkembang pesat di Indonesia. Permasalahan ini dapat berupa
permasalahan yang bersifat operasional perbankan maupun aspek dari lingkungan
makro. Beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan Bank Syari’ah
antara lain :
1.Permodalan
Permasalahan pokok yang senantiasa dihadapi dalam pendirian suatu usaha adalah
permodalan. Setiap ide ataupun rencana untuk mendirikan Bank Syari’ah sering
tidak dapat terwujud sebagai akibat tidak adanya modal yang cukup untuk
pendirian Bank Syari’ah tersebut, walaupun dari sisi niat ataupun “ghiroh” para
pendiri relatif sangat kuat. Kesulitan dalam pemenuhan permodalan ini antara lain
disebabkan karena :
a. Belum adanya keyakinan yang kuat pada pihak pemilik dana akan prospek dan
masa depan keberhasilan Bank Syari’ah, sehingga ditakutkan dana yang
ditempatkan akan hilang.
9
b. Masih kuatnya perhitungan bisnis keduniawian pada pemilik dana sehingga ada
rasa keberatan jika harus menempatkan sebagian dananya pada Bank Syari’ah
sebagai modal.
c. Ketentuan terbaru tentang Permodalan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
relatif cukup tinggi.
2. Peraturan Perbankan
Peraturan Perbankan yang berlaku belum sepenuhnya mengakomodir
operasional Bank Syari’ah mengingat adanya sejumlah perbedaan dalam
pelaksanaan operasional Bank Syari’ah dengan Bank Konvensional. Ketentuanketentuan perbankan yang ada kiranya masih perlu disesuaikan agar memenuhi
ketentuan syari’ah agar Bank Syari’ah dapat beroperasi secara relatif dan efisien.
Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain adalah hal-hal yang mengatur mengenai :
a. Instrument yang diperlukan untuk mengatasi masalah likwiditas.
b. Instrument moneter yang sesuai dengan prinsip syari’ah untuk keperluan
pelaksanaan tugas Bank Sentral.
c. Standar akuntansi, audit dan pelaporan.
d. Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian, dll.
Ketentuan-ketentuan di atas sangat diperlukan agar Bank Syari’ah dapat menjadi
elemen dari sistem moneter yang dapat menjalankan fungsinya secara baik dan
mampu berkembang dan bersaing dengan Bank Konvensional.
3. Sumber Daya Manusia
Kendala dibidang SDM dalam pengembangan Perbankan Syari’ah
disesabkan karena sistem perbankan syari'ah masih belum lama dikenal di
Indonesia. Disamping itu lembaga akademik dan pelatihan ini masih terbatas,
sehingga tenaga terdidik dan berpengalaman dibidang perbankan syari’ah baik
dari sisi bank pelaksana maupun bank sentral (pengawas dan peneliti bank).
Pengembangan SDM dibidang Perbankan Syari’ah sangat diperlukan karena
keberhasilan pengembangan bank syari’ah pada level mikro sangat ditentukan
10
oleh kualitas manajemen dan tingkat pengetahuan serta ketrampilan pengelola
bank. SDM dalam perbankan syari’ah memerlukan persyaratan pengetahuan yang
luas dibidang perbankan, memahami implementasi prinsip-prinsip syari’ah dalam
praktek perbankan serta mempunyai komitmen kuat untuk menerapkannya secara
konsisten.
4. Pemahaman Ummat
Pemahaman sebagian besar masyarakat mengenai sistem dan prinsip
Perbankan Syari’ah belum tepat, bahkan diantara ulama dan cendekiawan muslim
sendiri masih belum ada kata sepakat yang mendukung keberadaan Bank
Syari’ah, terbukti dari hasil pretest terhadap 37 Dosen Fakultas Syari’ah dalam
acara Orientasi Perbankan yang telah dilakukan oleh Asbisindo Wilayah Jatim
beberapa waktu yang lalu memberikan jawaban yang tidak konsekwen dan
cenderung ragu-ragu. Dan masih adanya masyarakat yang mengaku paham akan
Syari’ah Islam tetapi tidak mau menjalankannya seperti yang dialami oleh PT.
BPR Syari’ah Baktimakmur Indah Sidoarjo dalam memberikan pembiayaan
mudharabah dengan salah satu mitranya yang dikenal sebagai ulama yang mana
sang ulama mau berbagi kerugian namun setelah untung tidak bersedia membagi
keuntungannya dengan pihak Bank, yang tentunya bertentangan dengan akad
yang telah disepakati di awal. Atau seorang ulama yang datang ke Bank dan
menanyakan besarnya bunga atas simpanannya. Hal-hal seperti di atas merupakan
kejadian nyata yang selalu dan kerap kali dialami dalam operasional bank
Syari’ah sehari-harinya, bahkan mungkin lebih parah dari contoh-contoh di atas.
Dari kalangan ulama sendiri sampai saat ini belum ada ketegasan pendapat
terhadap keberadaan Bank Syari’ah, kekurangtegasan tersebut antara lain
disebabkan karena :
a. Kurang komprehensifnya informasi yang sampai kepada para ulama dan
cendekiawan tentang bahaya dan dampak destruktif sistem bunga terutama pada
saat krisis moneter dan ekonomi dilanda kelesuan.
b. Belum berkembangluasnya lembaga keuangan syari’ah sehingga ulama dalam
posisi sulit untuk melarang transaksi keuangan konvensional yang selama ini
11
berjalan dan berkembang luas.
c. Belum dipahaminya operasional Bank Syari’ah secara mendalam dan
keseluruhan.
d. Adanya kemalasan intelektual yang cenderung pragmatis sehingga muncul
anggapan bahwa sistem bunga yang berlaku saat ini sudah berjalan atau tidak
bertentangan dengan ketentuan agama.
Minimnya pemahaman masyarakat akan Sistem Perbankan Syari’ah antara lain
disebabkan karena :
a. Sistem dan prinsip operasional Perbankan Syari’ah relatif baru dikenal
dibanding dengan sistem bunga.
b. Pengembangan Perbankan Syari’ah baru dalam tahap awal jika dibandingkan
dengan Bank Konvensional yang telah ratusan tahun bahkan sudah mendarah
daging dalam masyarakat.
c. Keengganan bagi pengguna jasa perbankan konvensional untuk berpindah ke
Bank Syari’ah disebabkan hilangnya kesempatan untuk mendapatkan penghasilan
tetap dari bunga.
5. Sosialisasi
Sosialisasi yang telah dilakukan dalam rangka memberikan informasi yang
lengkap dan besar mengenai kegiatan usaha perbankan syari’ah kepada
masyarakat luas belum dilakukan secara maksimal. Tanggungjawab kegiatan
sosialisasi ini tidak hanya dipundak para bankir syari’ah sebagai pelaksana
operasional bank sehari-hari, tetapi tanggungjawab semua pihak yang mengaku
Islam secara baik secara perorangan, kelompok maupun instansi yang meliputi
unsur alim ulama, penguasa negara/pemerintahan, cendekiawan, dll. Yang
memiliki kemampuan dan akses yang besar dalam penyebarluasan informasi
terhadap masyarakat luas. Sosialisasi yang dilakukan tidak hanya kepada
masyarakat awam tetapi juga kepada ulama, pondok pesantren, ormas-ormas,
instansi, institusi, pengusaha, dll. Yang selama ini belum tahu ataupun belum
memahami secara detail apa dan bagaimana keberadaan dan operasional Bank
Syari’ah walaupun dari sisi Fiqih dan Syari’ah mereka tahu benar.
12
6. Piranti Moneter
Piranti Moneter yang pada saat ini masih mengacu pada sistem bunga
sehingga belum bisa memenuhi dan mendukung kebijakan moneter dan kegiatan
usaha bank syari’ah, seperti kelebihan/kekurangan dana yang terjadi pada Bank
Syari’ah ataupun pasar uang antar bank syari’ah dengan tetap memperhatikan
prinsip syari’ah. Bank Indonesia selaku penentu kebijakan perbankan mencoba
untuk menyiapkan piranti moneter yang sesuai dengan prinsip syari’ah seperti
halnya SBI dan SBPU yang berlandaskan syari’ah Islam.
7. Jaringan Kantor
Pengembangan jaringan kantor Bank Syari’ah diperlukan dalam rangka
perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat. Disamping itu kurangnya
jumlah Bank Syari’ah yanga ada juga menghambat perkembangan kerjasama
antar Bank Syari’ah. Jumlah jaringan kantor bank yang luas juga akan
meningkatkan efisiensi usaha serta meningkatkan kompetisi ke arah peningkatan
kulaitas pelayanan dan mendorong inovasi produk dan jasa perbankan syari’ah.
Pengembangan jaringan Perbankan Syari’ah dapat dilakukan dengan beberapa
cara antara lain:
a. Peningkatan kualitas Bank Umum Syari’ah dan BPR Syari’ah yang telah
beroperasi.
b. Perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional yang memiliki kondisi usaha
yang baik dan berminat untuk melakukan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip
syari’ah.
c. Pembukaan kantor cabang syari’ah (full branch) bagi bank konvensional yang
memiliki kondisi usaha yang baik dan berminat untuk melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syari’ah.
Pembukaan kantor cabang syari’ah dapat dilakukan dengan 3 cara antara lain :
- Pembukaan kantor cabang dengan mendirikan kamtor, perlengkapan dan SDM
13
yang baru.
- Mengubah kantor cabang yang ada menjadi kantor cabang syari’ah.
- Meningkatkan status kantor cabang pembantu menjadi kantor cabang syari’ah.
8. Pelayanan
Dunia perbankan senantiasa tidak terlepas pada masalah persaingan, baik dari sisi
rate/margin yang diberikan maupun pelayanan. Dari hasil survei lapangan
membuktikan bahwa kualitas pelayanan merupakan peringkat pertama kenapa
masyarakat memilih bergabung dengan suatu bank.
Dewasa ini semua Bank Konvensional berlomba-lomba untuk senantiasa
memperhatikan dan meningkatkan pelayanan kepada nasabah, tidak telepas dalam
hal ini Bank Syari’ah yang dalam operasionalnya juga memberikan jasa tentunya
unsur pelayanan yang baik dan islami hahrus diperhatikan dan senantiasa
ditingkatkan. Tentunya hal ini harus didukung oleh adanya SDM yang cukup
handal dibidangnya. Kesan kotor, miskin dan tampil ala kadarnya yang selama ini
melekat pada “Islam” harus dihilangkan.
Keterkaitan Institusi Pendidikan dalam Pengembangan Perbankan Syariah
Seperti telah disebutkan di atas bahwa salah satu penghambat
perkembangan Bank Syari’ah adalah keberadaan SDM. Guna menciptakan SDM
yang handal dan profesional dibidang Perbankan Syari’ah tentunya tidak terlepas
dari peranan Institusi Pendidikan yang dalam hal ini memang berperan sebagai
pencetak SDM.
Mengingat prospek Bank Syariah dalam dunia perbankan sangat bagus
bahkan mendapat tanggapan positif dari semua pihak, sebaliknya perkembangan
Bank Syariah sendiri masih berada pada phase “growth” justru sangat
kritis/riskan. Pilihan kita hanya satu yakni bagaimana mewujudkan keberhasilan
atau sukses. Kiranya dalam pengembangan Bnak Syariah ini dipersyaratkan
dukungan SDM yang berkualitas, berintegritas dan bermoral islami. Dan
mengingat sampai saat ini masih belum ada lembaga/institusi pendidikan yang
handal dan berkualitas dalam menciptakan SDM Perbankan Syariah, maka sudah
14
saatnya bagi para cendekiawan muslim untuk turut serta memikirkan
pengembangan Perbankan Syariah dengan cara menyiapkan SDM yang handal
dan profesional di bidang perbankan syariah melalui institusi pendidikan yang
dimilikinya.
Sebagai contoh apa yang telah dirintis oleh STIE Perbanas Surabaya
dengan memberikan mata kuliah pilihan Syariah Banking pada mahasiswanya
mulai tahun ajaran 1999/2000 yang dalam pelaksanaanya bekerjasama dengan PT.
BPR Syariah Baktimakmur Indah sebagai tenaga pengajar. Dengan keberhasilan
yang dicapai dalam taraf uji coba ini, direncanakan pada tahun ajaran berikutnya
dapat ditingkatkan dengan membuka Program D-1 dan D-3 Perbankan Syariah.
Keseimbangan dalam Ekonomi Islam
Orientasi dari keseimbangan konsumen dan produsen dalam ekonomi
konvensional adalah untuk semata-mata mengutamakan keuntungan. Semua
tindakan ekonominya diarahkan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal.
Jika tidak demikian justeru dianggap tidak rasional. Lain halnya dengan ekonomi
Islam yang tidak hanya ingin mencapai keuntungan ekonomi tetapi juga
mengharapkan keuntungan rohani dan al-falah. Keseimbangan antara konsumen
dan produsen dapat diukur melalui asumsi-asumsi secara keluk. Memang untuk
mengukur pahala dan dosa seorang hamba Allah, tidak dapat diukur dengan uang,
akan tetapi hanya merupakan ukuran secara anggaran unitnya tersendiri.
Rasionaliti keseimbangan konsumen dan produsen dalam ekonomi
konvensional ditunjukkan pada perilaku seseorang untuk memenuhi kehendaknya
dan kehendak masyarakat sebagaimana ia memenuhi kehendak dirinya sendiri.
Kenyataan ini adalah tidak benar karena perilaku seseorang individu adalah
berbeda dengan perilaku individu lain dan tidaklah mungkin bisa memenuhi
keperluan dan keinginan sendiri apabila keperluan individu itu tidak dipenuhi.
Timothy Gorringe menyatakan bahwa mereduksi manusia yang homo sapiens
(makhluk bijaksana) dengan hanya homo economicus yang secara rasional
memaksimumkan utiliti, bertindak berasas self interest saja merupakan reduksi
yang sangat telak terhadap nilai-nilai moral/etika.
15
Menurut Umer Chapra, sebenarnya kalau tujuan-tujuan normatif
masyarakat telah ditentukan, tidak bisa ada kebebasan tak terbatas untuk
mendefinisikan rasionaliti sebagaimana dalam ekonomi konvensional. Dengan
demikian, perilaku rasional secara otomatik akan teridentifikasi dengan perilaku
yang kondusif bagi realiasasi tujuan-tujuan normatif tersebut.
Sebenarnya dapat saja memenuhi kepentingan diri sendiri dalam berbagai
cara, baik ekonomi maupun nonekonomi, yang didasarkan kepada perhitungan
uang atau selain uang. Namun, untuk menyelaraskan dengan orientasi materinya,
ilmu ekonomi mengesampingkan semua aspek kepentingan diri nonekonomi itu,
sementara itu ia hanya menyamakan rasionaliti dengan aspek ekonomi saja.
Bahkan pengertian ekonomi di sini, disederhanakan lagi hanya dikaitkan dengan
hitungan uang.
Ilmu ekonomi telah menciptakan konsep imajiner tentang “manusia
ekonomi” di mana tanggungj awab sosial satu-satunya adalah meningkatkan
keuntungannya. Dengan demikian, ilmu ekonomi hanya memperhatikan perilaku
rasional manusia ekonomi yang dimotivasi hanya oleh dorongan untuk memenuhi
kepentingan dirinya sendiri dengan cara memaksimumkan kekayaan dan
konsumsinya lewat cara apapun. Semua keinginan lain yang membawa manusia
bersama-sama seperti kerjasama, saling menyayangi, persaudaraan dan altruisme,
di mana orang berjuang untuk kebahagiaan orang lain, sekalipun kadangkala hal
itu mesti mengorbankan kepentingan dirinya sendiri, dikesampingkan sama sekali.
Dengan demikian, jebakan ilmu ekonomi sekularis pada dasarnya adalah
bagaimana memenuhi kepentingan diri sendiri lewat maksimumisasi kekayaan
dan konsumsi sebagai alat utama untuk melakukan filterasasi, motivasi, dan
restrukrisasi.
Berbeda dengan tujuan utama konsumsi oleh konsumen dalam ekonomi
konvensional yang semata-mata memaksimumkan utilitinya, dalam Ekonomi
Islam yang berasaskan syariat Islam, menolak aktivitas manusia yang selalu
memenuhi segala kehendaknya untuk memaksimumkan utiliti, karena pada
dasarnya manusia memiliki kecenderungan terhadap hal yang baik dan buruk
sekaligus. Kehendak manusia didorong oleh suatu kekuatan dalam diri manusia
16
(inner power) yang bersifat pribadi, dan karenanya seringkali berbeda antara satu
orang dengan lainnya (sangat subjektif). Kehendak tidak selalu sesuai dengan
rasionaliti, karena sifatnya yang tak terbatas. Kekuatan dari dalam diri manusia itu
disebut jiwa atau hawa nafsu (nafs) yang menjadi penggerak aktiviti manusia.
Karena kualitas hawa nafsu manusia berbeda-beda, maka sangat wajar apabila
kehendak satu orang dengan lainnya berbeda-beda pula.
Secara sistematis perangkat penyeimbang perekonomian dalam Islam berupa:
a. Diwajibkannya zakat terhadap harta yang tidak di investasikan, sehingga
mendorong pemilik harta untuk menginves hartanya, disaat yang sama zakat tidak
diwajibkan kecuali terhadap laba dari harta yang diinvestasikan, Islam tidak
mengenal batasan minimal untuk laba, hal ini menyebabkan para pemilik harta
berusaha menginvestasikan hartanya walaupun ada kemungkinan adanya kerugian
hingga batasan wajib zakat yang akan dikeluarkan, maka kemungkinan kondisi
resesi dalam Islam dapat dihindari.
b. Sistem bagi hasil dalam berusaha (profit and loss sharing) menggantikan
pranata bunga membuka peluang yang sama antara pemodal dan pengusaha,
keberpihakan sistem bunga kepada pemodal dapat dihilangkan dalam sistem bagi
hasil. Sistem inipun dapat menyeimbangkan antara sektor moneter dan sektor riil.
c. Adanya keterkaitan yang erat antara otoritas moneter dengan sektor belanja
negara, sehingga pencetakan uang tidak mungkin dilakukan kecuali ada sebabsebab ekonomi riil, hal ini dapat menekan timbulnya inflasi.
d. Keadilan dalam distribusi pendapatan dan harta. Fakir miskin dan pihak yang
tidak mampu ditingkatkan pola konsumsinya dengan mekanisme zakat, daya beli
kaum dhu’afa meningkat sehingga berdampak pada meningkatnya permintaan riil
ditengah masyarakat dan tersedianya lapangan kerja.
e. Intervensi negara dalam roda perekonomian. Negara memiliki wewenang untuk
intervensi dalam roda perekonomian pada hal-hal tertentu yang tidak dapat
diserahkan kepada sektor privat untuk menjalankannya seperti membangun
fasilitas umum dan memenuhi kebutuhan dasar bagi masyarakat. Ada dua fungsi
negara dalam roda perekonomian: (1) Melakukan pengawasan terhadap jalannya
roda perekonomian dari adanya penyelewengan atau distorsi seperti ; monopoli,
17
upah minimum, harga pasar dan lain-lain. (2) Peran negara dalam distribusi
kekayaan dan pendapatan serta kebijakan fiskal yang seimbang.
Krisis ekonomi saat ini telah membuat para pemimpin dunia disibukkan
oleh upaya mencari jalan keluar untuk menghentikan ’pendarahan’ akibat
kecelakaan fatal ekonomi keuangan mereka. Paket penyelamatan krisis pun telah
disiapkan dengan total dana yang tidak tanggung-tanggung: 3.4 triliun dolar AS
(AS: 700 miliar dolar; Inggris: 691 miliar dolar; Jerman: 680 miliar dolar;
Irlandia: 544 miliar dolar; Prancis: 492 miliar dolar; Rusia: 200 miliar dolar dan
negara-negara Asia: 80 miliar dolar! (Kompas 26/10).
Kenyataannya, sampai saat ini kondisi ekonomi masih terus memburuk.
Indeks harga saham di bursa dunia terus terpuruk. Nilai mata uang di pasar uang
terus bergejolak. Saluran dana untuk kredit ke sektor industri, infrastruktur dan
perdagangan mulai macet. Proses produksi mandek. Dua puluh juta pekerja di
seluruh dunia terancam di-PHK.
Perkembangan terbaru adalah adanya gerakan occupy wall street yang
kemudian merembet ke inggris dengan demo occupy London, Unjuk rasa anti
Wall Street yang berlangsung di AS, rupanya memicu serangkaian aksi memprotes
bankir, pebisnis dan politisi di berbagai belahan dunia. Selain amerika dan inggris
unjuk rasa sejenis telah terjadi di Italia, Yunani dan Portugal untuk memprotes
krisis utang. Di Roma, Italia, sekitar 10 ribu orang berpawai dengan panjang
barisan beberapa kilometer di pusat kota Roma. Aksi ini berbarengan dengan
pertemuan G-20 di Paris, Prancis, dimana menteri-menteri keuangan dan kepala
bank sentral berunding soal krisis utang dan defisit di negara-negara barat.
Namun, 1.000 demonstran berunjuk rasa di luar gedung pertemuan G-20. (detik
news 22 oktober 2011)
Penyebab Utama Krisis
Sebab utama krisis ekonomi bisa dilacak dari begitu berkuasanya sektor
moneter/keuangan (sistem uang kertas [fiat money], perbankan ribawi, pasar
modal, bursa saham, valas [pasar uang], dll) atas sektor riil (perdagangan dan jasa
yang bersifat nyata). Sebelum krisis moneter di Asia tahun 1997/1998, misalnya,
18
dalam satu hari, dana yang beredar dalam transaksi semu di pasar modal dan pasar
uang dunia diperkirakan rata-rata sekitar 2-3 triliun dolar AS, atau dalam satu
tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Sebaliknya, arus perdagangan barang secara
internasional dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus
uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Republika,
18/8/2000).
Besaran transaksi yang terjadi di pasar uang dunia berjumlah 1,5 triliun
dolar AS dalam sehari. Sebaliknya, besaran transaksi pada perdagangan dunia di
sektor riil hanya 6 triliun dolar AS setiap tahunnya. Jadi, perbandingannya adalah
500:6. Dengan kata lain, transaksi di sektor riil hanya sekitar 1%-an dari sektor
keuangan (Agustianto, 2007). Sementara itu, menurut Kompas September 2007,
uang yang beredar dalam transaksi valas (valuta asing) mencapai 1,3 triliun dalam
setahun. Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan
semakin melejit meninggalkan sektor riil.
Ekonomi Kapitalisme: Biang Krisis
Krisis ekonomi dunia saat ini bukanlah yang pertama maupun yang
terakhir. Boleh dikatakan, sejarah ekonomi Kapitalisme adalah sejarah krisis. Roy
Davies dan Glyn Davies (1996), dalam buku The History of Money From Ancient
time to Present Day, menguraikan sejarah kronologi krisis ekonomi dunia secara
menyeluruh. Menurut keduanya, sepanjang Abad 20 telah terjadi lebih 20 kali
krisis besar yang melanda banyak negara. Ini berarti, rata-rata setiap 5 tahun
terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta
umat manusia.
Krisis ekonomi sudah terjadi sejak tahun 1907; disusul dengan krisis
ekonomi tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan 1998 – 2001 bahkan
sampai saat ini. Di Asia Tenggara sendiri—khususnya Thailand, Malaysia dan
Indonesia—krisis pernah terjadi pada tahun 1997-2002 hingga saat ini.
Beberapa kalangan memandang kebijakan neoliberalisme sebagai sumber
dari bencana ini. Alasan mereka, mekanisme pasar yang diagung-agungkan oleh
19
mazhab neoliberal yang merupakan keturunan dari kapitalisme itu sesungguhnya
tidak selamanya bekerja otomatis berdasarkan prinsip-prinsip efisiensi. Struktur
pasar mengandung elemen-elemen kekuatan ekonomi-politik yang monopolistik
terutama dari korporasi besar. Kekuatan monopolistik sangat determinan dalam
kaitan dengan permintaan dan penawaran, sekaligus penetapan harga barang
sehingga pasar bekerja atas kontrol para pemilik modal.
Karena alasan inilah mengapa bisa muncul fenomena dominasi para
pemilik modal; perbudakan dan pemangsaan kalangan konsumen oleh kalangan
produsen, khususnya pemilik perusahaan besar, serta monopoli ekonomi oleh
negara-negara kapitalis yang menghambat kemajuan industrialisasi negara-negara
dunia ketiga.
Mengapa mereka begitu tega memonopoli keuntungan perekonomian
sehingga sebagian besar harta tersimpan di kantung-kantung mereka dan
karenanya dunia mengalami kesenjangan?
Jawabnya, karena kapitalisme memandang bahwa kebahagiaan itu adalah dengan
memperoleh sebesar-besarnya kesenangan yang bersifat jasmaniah (al-sa’âdah
hiya al-akhdzu bi akbar nashîb min al-muta’ al-jasadiyyah). Dan karena bagi
kapitalis kebutuhan manusia itu tidak terbatas , maka konsekuensinya adalah
mereka pun harus berlomba di dalam mengumpulkan kekayaan sebanyak
mungkin sehingga bisa dipergunakan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan
mereka yang tidak terbatas itu. Dengan cara itulah mereka berharap bisa meraih
kebahagiaan, yang pada kenyataannya justru malah mengorbankan kesejahteraan
yang merata dan kebahagiaan sesama.
Solusi: Sistem Ekonomi Sosialis?
Lalu bagaimana dengan sistem ekonomi sosialis? Apakah ia bisa menjaid
solusi atas kekacauan ekonomi yang ditimbulkan oleh sistem kapitalis? Jawabnya,
tentu saja tidak. Alasannya, sosialisme yang muncul belakangan setelah
kapitalisme saja justru telah runtuh lebih dahulu, dan meskipun saat ini China
yang menganut sistem politik sosialis-komunis itu sedang ‘berjaya ekonominya’ ,
20
tetapi dari segi sistem ekonomi ia tidak memakai sosialisme, tetapi menganut
sistem ekonomi kapitalis negara.
Hal ini dikarenakan sistem ekonomi sosialis memang tidak lebih baik dari
sistem ekonomi kapitalis. Sebagai bukti historis, Presiden Soekarno yang
menerapkan sistem ekonomi sosialis yang disebutnya sebagai Ekonomi Terpimpin
itu pun nyatanya gagal dalam memberikan kesejahteraan Indonesia pada masa
Orde Lama. Dengan penerapan sistem ekonomi sosialisme, yang terjadi justru
rakyat semakin miskin, banyak pengangguran, inflasi sangat tinggi dan rendahnya
pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sosialisme pun
tidak bisa menjadi harapan solutif bagi krisis ekonomi di Indonesia saat ini. Lalu
bagaimana dengan Islam?
Sistem Ekonomi Islam: Berbasiskan Sektor Riil
Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti—atau terikat dengan—
sektor riil. Dalam pandangan Islam, uang bukan komoditas (barang dagangan),
melainkan alat pembayaran. Islam menolak keras segala jenis transaksi semu
seperti yang terjadi di pasar uang atau pasar modal saat ini. Sebaliknya, Islam
mendorong perdagangan internasional. Muhammad saw., sebelum menjadi rasul,
telah menjadi pedagang internasional sejak usia remaja. Ketika berusia belasan
tahun, beliau telah berdagang ke Syam (Suriah), Yaman dan beberapa negara di
kawasan Teluk sekarang. Lalu saat beliau menjadi rasul sekaligus menjadi kepala
negara Daulah Islamiyah di Madinah, sejak awal kekuasaannya, umat Islam telah
menjalin kontak bisnis dengan Cina, India, Persia, dan Romawi. Bahkan hanya
dua abad kemudian (abad kedelapan), para pedagang Islam telah mencapai Eropa
Utara.
Sepanjang keberadaan Daulah Islamiyah pada zaman Nabi Muhammad
saw. jarang sekali terjadi krisis ekonomi (Pernah sekali Daulah Islam mengalami
defisit, yaitu sebelum Perang Hunain, namun segera dilunasi setelah perang). Pada
zaman Kekhilafahan Islam, khususnya masa Khulafaur Rasyidin juga begitu. Pada
zaman Khalifah Umar bin al-Khaththab dan khalifah Utsman bin Affan APBN
malah sering mengalami surplus.
21
Apa rahasianya? Ini karena kebijakan moneter Daulah Islamiyah masa Rasulullah
saw. dan Kekhilafahan Islam pada masa para khalifah selalu terkait dengan sektor
riil, terutama perdagangan.
Sistem Ekonomi Islam: Menjamin Kesejahteraan Umat Manusia
Dalam sistem ekonomi Islam, kesejahteraan diukur berdasarkan prinsip
terpenuhinya kebutuhan setiap individu masyarakat, bukan atas dasar penawaran
dan permintaan, pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, nilai mata uang ataupun
indeks harga-harga di pasar non-riil.
Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam dilakukan dengan melaksanakan
beberapa prinsip dasar di dalam mencapai tujuan terpenuhinya kebutuhan setiap
individu masyarakat.
1. Pengaturan atas kepemilikan.
Kepemilikan dalam ekonomi Islam dibagi tiga. Pertama: kepemilikan
umum. Kepemilikan umum meliputi semua sumber, baik yang keras, cair maupun
gas, seperti minyak, besi, tembaga, emas dan gas; termasuk semua yang tersimpan
di perut bumi, dan semua bentuk energi, juga industri berat yang menjadikan
energi sebagai komponen utamanya. Dalam hal ini, negara hanya mengekplorasi
dan mendistribusikannya kepada rakyat, baik dalam bentuk barang maupun jasa.
Kedua: kepemilikan negara. Kepemilikan negara meliputi semua kekayaan yang
diambil negara seperti pajak dengan segala bentuknya serta perdagangan, industri
dan pertanian yang diupayakan oleh negara, di luar kepemilikan umum.
Semuanya ini dibiayai oleh negara sesuai dengan kepentingan negara.
Ketiga: kepemilikan individu. Kepemilikan ini bisa dikelola oleh individu sesuai
dengan hukum syariah.
2. Penetapan sistem mata uang emas dan perak.
Emas dan perak adalah mata uang dalam sistem Islam. Mengeluarkan
kertas substitusi harus ditopang dengan emas dan perak, dengan nilai yang sama
dan dapat ditukar, saat ada permintaan. Dengan begitu, uang kertas negara
22
manapun tidak akan bisa didominasi oleh uang negara lain. Sebaliknya, uang
tersebut
mempunyai
nilai
intrinsik
yang
tetap,
dan
tidak
berubah.
Ditinggalkannya mata uang emas dan perak dan menggantikannya dengan
mata uang kertas telah melemahkan perekonomian negara. Dominasi mata uang
dolar yang tidak ditopang secara langsung oleh emas mengakibatkan struktur
ekonomi menjadi sangat rentan terhadap gejolak mata uang dolar. Goncangan
sekecil apapun yang terjadi di Amerika akan dengan cepat merambat ke seluruh
dunia. Bukan hanya itu, gejolak politik pun akan berdampak pada naik-turunnya
nilai mata uang akibat uang dijadikan komoditas (barang dagangan) di pasar uang
yang penuh spekulasi (untung-untungan).
3. Penghapusan sistem perbankan ribawi.
Sistem ekonomi Islam melarang riba, baik nasiah maupun fadhal; juga
menetapkan pinjaman untuk membantu orang-orang yang membutuhkan tanpa
tambahan (bunga) dari uang pokoknya. Di Baitul Mal (kas negara Daulah
Islamiyah),
masyarakat
bisa
memperoleh
pinjaman
bagi
mereka
yang
membutuhkan, termasuk para petani, tanpa ada unsur riba sedikitpun di dalamnya.
4. Pengharaman sistem perdagangan di pasar non-riil.
Yang termasuk ke dalam pasar non-riil (virtual market) saat ini adalah
pasar sekuritas (surat-surat berharga); pasar berjangka (komoditas emas, CPO,
tambang dan energi, dll) dan pasar uang. Sistem ekonomi Islam melarang
penjualan komoditi sebelum barang menjadi milik dan dikuasai oleh penjualnya,
haram hukumnya menjual barang yang tidak menjadi milik seseorang. Haram
memindahtangankan kertas berharga, obligasi dan saham yang dihasilkan dari
akad-akad yang batil. Islam juga mengharamkan semua sarana penipuan dan
manipulasi yang dibolehkan oleh Kapitalisme, dengan klaim kebebasan
kepemilikan.
Inilah sistem ekonomi Islam yang benar-benar akan menjamin
kesejahteraan
masyarakat
dan
bebas
dari
guncangan
krisis
ekonomi.
Sistem ini terbukti telah mampu menciptakan kesejahteraan umat manusia—
23
Muslim dan non-Muslim—tanpa harus selalu berhadapan dengan krisis ekonomi
yang secara berkala menimpa, sebagaimana dialami sistem ekonomi Kapitalisme.
Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab (13-23 H/634-644 M), misalnya,
hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan merata ke segenap
penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya, Muadz bin Jabal sampai
kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat (Abu Ubaid
menuturkan, Al-Amwâl, hlm. 596). Pada masanya, Khalifah Umar bin alKhaththab mampu menggaji guru di Madinah masing-masing 15 dinar (1
dinar=4,25 gr emas). (Ash-Shinnawi, 2006).
Lalu pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M),
meskipun masa Kekhilafahannya cukup singkat (hanya 3 tahun), umat Islam terus
mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin
Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Ketika hendak membagikan zakat,
saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan
setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Ibnu Abdil Hakam, Sîrah
‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59).
Pada masanya, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata
di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah. Begitu
makmurnya rakyat, Gubernur Bashrah saat itu pernah mengirim surat kepada
Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya
sendiri khawatir mereka akan menjadi takabur dan sombong.” (Abu Ubaid, AlAmwâl, hlm. 256).
Begitulah sejarah emas kaum Muslim pada masa lalu. Dengan
melaksanakan semua syariah Allah dalam seluruh aspek kehidupan—termasuk
dalam ekonomi—sebagai wujud ketakwaan kepada-Nya, Allah telah menurunkan
keberkahan-Nya dari langit dan bumi kepada kaum Muslim saat itu. Mahabenar
Allah Yang berfirman:
24
سوا س
لرض
ت ءمسن ال سسماءء
عسليءهم سبسركك ت
ى ءاسمنوا سوات سسقوا ل سفسستحنا س
سوسلو أ س سن سأهسل الققر ك
(٩٦ ) خذن كقهم ءبما كانوا سيكءسبون
سول كءكن سك سذبوا سفأ س س
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Namun,
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itulah, Kami menyiksa mereka
akibat perbuatan mereka itu (QS al A’raf [7]: 96).
Prospek Ekonomi Syariah
Kurang
berkembangnya
Sistem
Perekonomian
Islam,
khususnya
Perbankan Syari’ah di Indonesia terletak pada umat Islam sendiri. Masih banyak
umat Islam di Indonesia yang belum paham akan ekonomi Islam ataupun tidak
menjalankan sebagaimana mestinya, banyak diantaranya yang merasa takut
menjadi miskin karenanya, padahal dalam Q.S Al-Baqarah : 268 dikatakan:
"Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh
kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan
daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui". Apabila perekonomian di Indonesia telah didasari oleh normanorma Islam tentunya tidak akan ditemukan kemiskinan ataupun penurunan taraf
hidup dan perekonomian ummat seperti yang terjadi saat ini.
Di sektor perbankan saja misalnya, sampai tahun 2010 nanti jumlah
kantor bank-bank syariah diperkirakan akan mencapai 586 cabang. Prospek
perbankan syariah di masa depan diperkirakan juga akan semakin cerah. Selain
perbankan, sektor ekonomi syariah lainnya yang juga mulai berkembang adalah
asuransi syariah. Prinsip asuransi syariah pada intinya adalah kejelasan dana, tidak
mengandung judi dan riba atau bunga. Sama halnya dengan perbankan syariah,
melihat potensi umat yang ada di Indonesia, prospek asuransi syariah sangat
menjanjikan.
25
Dalam sepuluh tahun ke depan diperkirakan Indonesia bisa menjadi negara
yang pasar asuransinya paling besar di dunia. Data dari Asosiasi Asuransi Syariah
di Indonesia menyebutkan, tingkat pertumbuhan asuransi syariah selama 5 tahun
terakhir mencapai 40 persen, sementara asuransi konvensional hanya 22,7 persen.
Perbankan dan asuransi, hanya salah satu dari industri keuangan syariah yang kini
sedang berkembang pesat.
Dukungan Pemerintah
Meski sudah menunjukan eksistensinya, masih banyak kendala yang
dihadapi bagi pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Soal pemahaman
masyarakat selama ini yang masih kurang memadai. Kendala lainnya yang cukup
berpengaruh adalah adanya dukungan penuh dari para pengambil kebijakan di
negeri ini, terutama menteri-menteri dan lembaga pemerintahan yang memiliki
wewenang dalam menentukan kebijakan ekonomi. Praktisi perbankan syariah,
Maka konsep ini akan mengangkat kembali wajah perekonomian kita,
artinya memperkuat basis perekonomian kita, yang selama ini menganut sistem
kapitalis. Dalam jangka panjang akan memberi pengertian pada masyarakat
bahwa harta bukan lagi kepemilikan pribadi, melainkan kepemilikan sosial. Dari
sisi inilah islam bisa mengangkat kembali perekonomian bangsa dengan sistem
ta’awun. Sehingga milyarder bisa menolong orang-orang menengah ke bawah
untuk mengangkat taraf ekonomi mereka, ke jenjang yang lebih mapan. Andaikan
mereka tahu betapa Islam sangat memperhatian urusan sosial ekonomi, maka
negeri ini ada harapan untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi.
26
SISTEM PEREKONOMIAN ISLAM MASA BANI UMAYYAH
Pada umumnya pasca Khulafaur Rasyidin, pemerintahan Islam seringkali
dipandang tidak sesuai lagi dengan syariat Islam. Peristiwa pemberontakan
(bughat) Wali Syam Mu’awiyah bin Abi Sufyan kepada Khalifah Ali bin Abi
Thalib yang diperangi dalam Perang Siffin, kemudian berlanjut dengan kekisruhan
negara pada masa kekhalifahan Ali yang diakhiri dengan terbunuhnya sang
Khalifah oleh Kaum Khawarij.
Diawali oleh Khalifah Mu’awiyah yang pernah membantu Rasulullah saw
untuk menjadi sekretaris negara di masanya (Ensiklopedi Umum, 1984),
kemudian pada masa Khalifah Umar bin Khattab, karena kecakapannya
diamanahi menjadi Wali di daerah Syam, yang terus berlanjut sampai
Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sampai akhirnya dengan terbunuhnya Ali,
Mu’awiyah karena pengaruhnya yang besar kemudian diba’iat menjadi khalifah
berikutnya pada tahun 41H/661M setelah Khalifah Hasan bin Ali, mundur dan
berbaiat kepadanya. Penguasaan keluarga ini berakhir pada tahun 132H/750M,
dengan terbunuhnya Khalifah keempat belas Marwan bin Muhammad Al Ja’di
oleh pemberontakan yang dilakukan Abu Muslim Khurasai.
Dibandingkan
den