T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemenuhan Pendidikan Keagamaan Bagi Penghayat Kepercayaan (Studi Kasus Di Komunitas Sedulur Sikep Kab. Kudus) T2 BAB IV

BAB IV
HASIL DAN BAHASAN
Pemenuhan Pendidikan Keagamaan Bagi Penghayat
Kepercayaan (Studi Kasus di Komunitas Sedulur
Sikep Kab. Kudus)

4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Profil Penghayat Kepercayaan Sedulur Sikep
Masyarakat Adat Samin
Penghayat kepercayaan adalah istilah yang
diberikan negara. Hal ini sebagai efek dari definisi
dari agama resmi dan tidak resmi di Indonesia.
Agama yang diakui resmi oleh negara sampai
sekarang ada enam agama; Islam, Kristen, Katolik,
Budha, Hindu, dan Konghucu. Selain itu semua
kepercayaan yang ada dianggap sebagai agama non
resmi.
Sedulur Sikep di Kudus mengakui dirinya
sebagai pemeluk agama Adam, agama lokal yang
diajarkan


oleh

sesepuhnya

bernama

Samin

Surosentiko (1859-1914). Kemudian ajaran ini lebih
dikenal dengan Ajaran Samin (Saminisme), pada
mulanya

ini

adalah

sebuah

konsep


penolakan

terhadap budaya kolonial Belanda dan penolakan
terhadap kapitalisme yang muncul pada masa
48

penjajahan Belanda abad 19 di Indonesia. Sebagai
gerakan yang cukup besar Saminisme tumbuh
sebagai perjuangan melawan kesewenang-wenangan
Belanda yang merampas tanah dan digunakan
untuk perluasan hutan jati (Umar: 2009; 47).
Aktor intelektual gerakan Saminisme adalah
Raden

Surowijoyo.

Pengetahuan

intelektualnya


didapat dari ayahnya, yakni pangeran Kusumaniayu
(Bupati

Sumoroto,

yaitu

kawasan

distrik

pada

Kabupaten Tulungagung Jawa Timur).
Ajaran Samin tersebar pertama kali di daerah
Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada tahun 1890
pergerakan Samin berkembang di dua Desa hutan
kawasan Randublatung. Gerakan ini lantas dengan
cepat


menyebar

ke

desa-desa

dari pantai utara Jawa sampai

ke

lainnya.

Mulai

seputar

hutan

di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan.
Atau


di

sekitar

perbatasan

Provinsi Jawa

Tengah dan Jawa Timur dalam peta sekarang.
Dalam Encyclopaedie

van

Nederlandsch-

Indië (1919) diterangkan, orang Samin seluruhnya
berjumlah 2.300 orang. Semua pengikut ini tersebar
di Kabupaten Bojonegoro, Madiun, Jawa Timur. Di
Jawa Tengah tersebar di Kabupaten Blora, Pati,

Rembang,

Kudus,

Sragen,

dan Grobogan,

yang

terbanyak di Tapelan (Rosyid: 2008; 79).
49

Samin

Surosentiko lahir

nama Raden

Kohar di Desa


Randublatung,

pada 1859 dengan
Ploso

Kabupaten Blora.

Kedhiren,
Ayahnya

bernama Raden Surowijaya atau Samin Sepuh. Ia
mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko
karena Samin adalah sebuah nama yang bernapas
wong cilik. Pada 1890 Samin Surosentiko mulai
mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur,
Blora. Banyak yang tertarik dan dalam waktu
singkat sudah banyak orang menjadi pengikutnya
(Rosyid: 2008).
Ajaran Samin yang terkenal di wilayah Blora,

Pati, Bojonegoro dan Kudus tidak lepas dari sosok
Samin Surosentiko (David Samiyono: 2010). Samin
Surosentiko

merupakan

putra

dari

Raden

Surowijoyo yang juga disebut sebagai Samin Sepuh
sebagai perintis gerakan Saminisme yang juga putra
dari

Pangeran

kawasan


di

Kusumaniayu (Bupati Sumoroto,
Kabupaten

Tulungagung). Gerakan

Samin di Jawa Tengah memang lebih dikenal di dua
daerah yaitu Blora dan Pati.
Masyarakat Samin di Kudus, juga mempunyai
pertalian

hubungan

yang

amat

erat


dengan

komunitas Samin yang ada di Blora dan Pati. Samin
Kudus

berasal

dari

Desa Randublatung,

Blora

Jateng yang dimotori oleh Surokidin tatkala bertemu
50

dengan tiga warga Desa; yakni Sosar (Desa Kutuk),
Dukuh

Kaliyoso


(Desa

Radiwongso),

dan

Proyongaden (Desa Larekrejo) (Rosyid: 2009).
Ajaran Samin Kudus datang di Desa Kutuk
melalui Ki Samin Surowijoyo dari Randublatung
Blora Jawa Tengah dengan membawa kitab “Serat
Jamus Kalimosodo” berbahasa kuno dan berbentuk
sekar macapat dan prosa. Ajaran Samin Kudus lahir
atas ekspansi yang dilakukan oleh Raden Kohar
untuk

membangun

pusat

perlawanan

terhadap

Belanda di Kudus. Untuk Desa Kutuk, pelopornya
adalah

Sosar

yang

berguru

pada

Surowijoyo,

Randublatung, Blora. Sosar memiliki istri bernama
Rawi yang menghasilkan tiga putra; yakni Suparto,
Sariyan dan Sawinah (Rosyid: 2009; 90).
Dari

merekalah

komunitas

Samin

berkembang, khususnya di Desa Kutuk hingga
sekarang. Sementara Desa Kaliyoso, pelopornya
adalah

Radiwongso

yang

menimba

ilmu

pada

Surosentiko (Blora), Suronggono (Blora), Surokidin
(Blora) dan Surowijoyo (Blora). Dari Radiwongso
diteruskan oleh generasi berikutnya, yakni Kelan,
Sumar dan Wargono. Sedangkan Desa Larekrejo,
pelopornya adalah Proyongaden yang memperoleh
ilmu dari Suronggono, Surosentiko dan Surokidin
yang berasal dari Blora (Umar: 2009).
51

Untuk sekarang yang menjadi tokoh Samin di
Kudus adalah Budi Santoso (48 tahun). Ia banyak
menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak warga
negaranya. Menurut Budi Santoso, sampai sekarang
penganut ajaran Samin atau agama Adam yang
masih

di

Desa

Larekrejo

sebanyak

16

kepala

keluarga, dan di Desa Kaliyoso sebanyak 50 kepala
keluarga. Dalam ajaran Samin dikenal dengan enam
prinsip dasar etika yaitu:
Prinsip meniko antawise pantangan (larangan)
drengki, srei, panasten, dawen, kemeren, lan nyiyo
marang sepodo. Masyarakat Samin mempunyai
falsafah bejok reyot iku dulure, waton meningso tur
gelem di daku Sedulur. Ada lima hal lain lagi yang
tidak boleh dilakukan. Yaitu bedok (menuduh), colong
(mencuri), pethil (mengambil barang yang masih
menyatu dengan alam atau masih melekat dalam
sumber kehidupannya), jumput (mengambil barang
yang jadi komoditas di pasar), nemu wae ora kena
(menemukan barang milik orang lain, tidak boleh
diambil/harus dikembalikan kepada si empunya)
(Wawancara dengan Maskad, 22/4/12)

Sementara itu, hal-hal yang harus di-ugemi
dalam

kehidupan

sehari-hari

tercermin

dalam

prinsip adalah kudu weru the-e dhewe (tahu barang
miliknya dan yang bukan miliknya, Lugu (komitmen
tegas kalau berjanji, kalau bisa katakan bisa kalau
tidak katakan tidak), Mligi (taat pada aturan yang
berupa prinsip beretika dan prinsip berinteraksi)
dan rukun dengan isteri, anak, orangtua, tetangga
dan siapa saja.
52

Esensinya dari ajaran Samin atau agama
Adam adalah jika pemeluk memegang teguh prinsip
ajaran

dan

kesaminan.

menjauhkan
Agama

Adam

prinsip

pantangan

sebagai

perwujudan

“ucapan” (tandeke neng pengucap, opo wae thukule
soko pengucap), laku (perilaku), dan penganggo
(pakaian). Pengucap bermakna jika berujar tidak
bohong dan konsisten dengan yang diucapkan. Laku
diwujudkan tak melanggar prinsip Samin. Ukuran
kebenaran pemeluk agama jika aktivitasnya (tindaktanduknya) benar. Penganggo adalah segala aktivitas
bersandar pada Adam, keberadaannya dianggap
orang pertama di dunia agar dunia sejahtera (donyo
rejo) dan sebagai penguasa tunggal (Yai) (Wawancara
Budi Santoso, 9/1/2015).
Lahirnya nama Adam karena sabdo tunggal
Yai, adanya Yai (Tuhan) karena adanya Adam (ono
iro ono ingsun, wujud iro wujud ingsun. Aku yo kuwe,
kuwe yo aku, wes nyawiji). Yai (yeng ngayahi
samubarang kebutuhane putu) putu duwe kewajiban,
putu njaluk Yai kanti ngeningke cipto, roso, lan karso
kang supoyo biso kasembadan sejo lan karep kanti
neng, nheng, lan nep (Yai bermakna dzat pemenuh
hajat

hidup

makhluk,

makhluk

pun

memiliki

kewajiban. Jika makhluk memohon hanya kepadaNya dengan mengheningkan cipta atau samedi) dan
53

diwujudkan dengan aktivitas yang baik (Rosyid:
2010;54).
Munculnya istilah Adam bermakna ugeman
atau pegangan hidup sebagai bukti pemahaman
Samin sebagai nama manusia pertama (Adam)
ciptaan Tuhan (Yai) di dunia. Tradisi bermuatan
ajaran

etika

hidup

menjadi

kepercayaan

yang

dipertahankan dalam pendidikan keluarga dengan
tuturan/tradisi lisan dan tauladan oleh figur (botoh
dan orangtua) (2010; 55). Agama/aliran kepercayaan
Adam

tidak

bersangkut

paut

dengan

proses

pewahyuan karena mutlak berasal dari ide dasar
leluhur/orangtua yang diikuti secara turun-temurun
secara oral tradition kepada generasi Samin.
4.1.2 Kebijakan Pendidikan Agama Bagi Penghayat
Kepercayaan Sedulur Sikep
Temuan hasil penelitian pada bagian ini akan
diuraikan

dalam

dua

sub

bahasan

pertama,

pengakuan negara atas pendidikan agama bagi
pengahayat kepercayaan di Indonesia. Serta kedua,
pelaksanaan

pendidikan

agama

bagi

penghayat

kepercayaan Sedulur Sikep. Hasil penelitian pada
dua

pokok

memudahan

persoalan
peneliti

mendasar
untuk

tersebut

mengenali

akan
kontek

kebijakan negara terhadap pengakuan kepercayaan
lokal atau agama lokal, serta mengenali pola relasi
54

antara sekolah formal dengan masyarakat adat
setempat.

Juga

mendapatkan

gambaran

perkembangan kehidupan dunia pendidikan agama
yang

dihadapi

oleh

siswa-siswa

penghayat

kepercayaan Sedulur Sikep.
a. Pengakuan Negara Dalam Pendidikan Agama Bagi
Penghayat Kepercayaan Sedulur Sikep
Pendidikan merupakan hak mendasar warga
negara yang harus dipenuhi oleh negara. Hal ini
sesuai dengan undang-undang yang mempunyai
tugas

untuk

warganya.

mencerdaskan

Pengertian

ini

kehidupan

tidak

seluruh

terkecuali

bagi

mereka yang tidak memiliki agama, para penghayat
kepercayaan di Indonesia selama ini memang tidak
mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan
kepercayaan dan keyakinannya.
Memang pendidikan agama adalah masalah
yang rumit, hal ini sesuai dengan perkataan Ki
Hadjar Dewantara “Agama di dalam pengajaran
sekolah adalah soal lama dan

terus menerus

menjadi persoalan sulit” (Dewantara: 1977; 188).
Sehingga Ki Hadjar Dewantara ketika mendirikan
Sekolah
muridnya

Taman

Siswa

dimasukkan

pendidikan
dalam

agama

kategori

bagi
ethik,

pendidikan Budi pekerti.

55

Pendidikan agama mencuat ke permukaan
dan

menjadi

perdebatan

ketika

UU

Sisdiknas

hendak ditetapkan oleh pemerintah. Perdebatan
dalam rancangan tersebut dalam pasal 13 yang
berkaitan

dengan

Pendidikan

Agama,

sebagian

kelompok memandang bahwa pendidikan agama
adalah

wilayah

privat,

sehingga

negara

tidak

mempunyai hak untuk mengatur dan diserahkan ke
orangtua
lainnya

masing-masing.
memandang

bahwa

Sebagian

kelompok

pendidikan

agama

adalah wilayah publik, sehingga menjadi tanggung
jawab negara untuk memenuhi pendidikan agama di
sekolah negeri.
Secara umum pendidikan di Indonesia telah
diatur dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, yang
di dalamnya sudah disebutkan tentang pendidikan
agama. Beberapa kebijakan pendidikan agama di
Indonesia secara umum memang belum sama sekali
mengatur tentang pendidikan agama bagi penghayat
kepercayaan, berikut penulis paparkan mengenai
kebijakan pendidikan agama di Indonesia. Undangundang yang sama sekali tindak menyentuh mereka
yang menganut kepercayaan di luar agama resmi,
antara lain:
Pertama,

UU

Sistem

Pendidikan

Nasional

tahun 2003. UU ini pernah menjadi buah bibir
56

terutama karena sekali lagi, negara hampir-hampir
tidak melirik sedikitpun agama-agama tidak resmi.
Bahkan

yang

mengemuka

adalah

pertengkaran

tanpa makna antara Islam dengan Kristen kala
memperdebatkan pasal agama. Dalam Pasal 30 UU
tersebut masih mengandung semangat membatasi
hak beragama dengan persepsi lima agama resmi.
Selain itu, dengan jelas terlihat pula bahwa dalam
UU ini terkesan ada semangat untuk mensegregasi
masyarakat Indonesia berdasarkan agama seperti
yang ditegaskan pada pasal 13 ayat 1 (adanya
semangat yang bertentangan antara pasal 11 ayat 1
yang disebutkan anti diskriminasi dan pasal 30 yang
justru membatasi kebebasan beragama).
Pasal 30:
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari
pemeluk agama, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan
berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota
masyarakat yang
memahami dan
mengamalkan
nilai-nilai
ajaran
agamanya
dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan
keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur
pendidikan formal, nonformal, dan informal.

Pasal 11:
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang
bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi.

57

Disamping

ada

usaha

untuk

segregasi

masyarakat, UU Sisdiknas tersebut juga memiliki
semangat

yang

pembatasan

kuat

dalam

dalam
agama.

melakukan

politik

Semangat

untuk

mengajarkan agama hanya pada enam “agama
resmi” terlihat sangat kental. Dengan begitu, maka
pengajaran pendidikan agama di sekolah hanyalah
merujuk pada enam agama tersebut.
Kedua,

Peraturan

Pemerintah

Republik

Indonesia No 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan. Secara kasat
mata, PP ini sebenarnya sudah diskriminatif bagi
agama suku ketika kita dengan teliti bahasanbahasan

eksplisitnya.

Termasuk

bahasa-bahasa

serta simbol keagamaan yang digunakannya pun
sudah

sangat

condong

kepada

agama-agama

pemerintah. Contoh paling kentara adalah pada
pasal 9 ayat 1 bahwa (1) Pendidikan keagamaan
meliputi

pendidikan

keagamaan

Islam,

Kristen,

Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Model ini
yang kemudian berimbas pada bahasan-bahasan
dalam pasal berikutnya yang secara gamblang hanya
membatasi pendidikan agama dan keagamaan pada
enam agama.

58

Pasal
meliputi

9

ayat

pendidikan

“Pendidikan

1

keagamaan

keagamaan

Islam,

Kristen,

Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu”.
Ketiga, Peraturan Menteri Agama Nor 16 tahun
2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama di
Sekolah. Dalam Pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa
Pendidikan Agama terdiri dari: Pendidikan Agama
Islam, Pendidikan Agama Katolik, Pendidikan Agama
Kristen,

Pendidikan

Agama

Hindu,

Pendidikan

Agama Buddha dan Pendidikan Agama Khonghucu.
Melihat teks ayat tersebut menjadi jelaslah bahwa
penghayat kepercayaan tidak ada dalam domain
Kementerian Agama.
Pasal 2 ayat 2:
Pendidikan Agama terdiri dari: Pendidikan Agama
Islam, Pendidikan Agama Katolik, Pendidikan
Agama Kristen, Pendidikan Agama Hindu,
Pendidikan Agama Buddha dan Pendidikan Agama
Khonghucu

Keempat,

pada

tahun

2009,

pemerintah

mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No
43 dan 41 tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan
kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan
YME. Disebutkan disana misalnya bahwa negara
harus

melayani

pembangunan

pemakaman
sanggar

kelompok penghayat.

atau

dan

memfasilitasi

sarasehan

bagi

Tapi, dalam aturan yang
59

ditandatangani oleh Jero Wacik dan Mardiyanto ini
tidak

menyinggung

sama

sekali

ikhwal

soal

pendidikan bagi penghayat kepercayaan.
b. Pelaksanaan Pendidikan Agama Bagi Penghayat
Kepercayaan Sedulur Sikep
Pelaksanaan

pendidikan

agama

bagi

penghayat kepercayaan di sekolah formal sampai
sekarang tidak pernah terlaksana. Hal ini terjadi
karena terkendala pada pengakuan agama resmi
negara di Indonesia. Sehingga sudah sangat baik
apabila bagi siswa-siswi dari penghayat kepercayaan
dan masyarakat adat yang menempuh pendidikan di
sekolah formal tidak dipaksa untuk mempelajari
enam agama resmi yang diajarkan oleh sekolah.
Simpulan diatas dapat diuraikan dalam beberapa
bagian penjelasan temuan hasil penelitian yang
menunjukkan problem pengertian tersebut.
Hasil dari FGD Lembaga Sosial dan Agama
(eLSA)

Semarang

penghayat

yang

melibatkan

kepercayaan

di

perwakilan

Jawa

Tengah

menyimpulkan bahwa anak-anak penghayat yang
bersekolah di pendidikan formal mempunyai ragam
sikap atas pendidikan agama yang diberikan di
sekolah. Pertama, mereka masih belum terbuka atas
identitas

mereka,

sehingga

di

sekolah

siswa

menerima pendidikan agama yang diajarkan. Kedua,
60

mereka menunjukkan dan berani mengakui bahwa
mereka adalah penghayat kepercayaan yang tidak
memeluk enam agama yang ada di Indonesia, dan
tidak

mau

pelajaran

menerima
agama

atau

dipaksa

(wawancara

mengikuti

dengan

Tedi,

23/12/2014).
Kategori

kedua,

mereka

yang

berani

menunjukkan jatidiri keyakinannya adalah Sedulur
Sikep penganut ajaran Samin atau agama Adam.
Mereka tinggal di Kudus, tepatnya di Desa Larekrejo
dan Kaliyoso Kecamatan Undaan. Budi Santoso
menyampaikan, sampai saat ini ada 15 anak yang
tercatat dan aktif menempuh di pendidikan formal.
Delapan anak sekolah di SMP 2 Undaan, satu anak
di SMK Kristen, dan enam anak di tingkatan SD
(wawancara

dengan

Budi

Santoso,

8/1/2015).

Sebagaimana dapat dilihat dalam tabel dibawah.
Tabel 4.1.
Daftar Siswa Keluarga Sedulur Sikep di SMP 2
Undaan Kudus Tahun 2014/2015

No Nama

Wali Murid

1

Anik Safitri

Budi Santoso

2

Tridayanti

Ngateno

3

Widodo Budi Utomo

Purwito

4

Puspo Dwi Prastyaningsih

Prantoso

5

Putri Retno Sari

Karsono

6

Retno Sarti

Narto
61

7

Ani Agustina

Karjo

8

Ria Wijayanti

Subadi

Sumber: Wawancara dengan Budi Santoso (7/02/2015)

Menempuh

pendidikan

formal

di

bangku

sekolah bagi Sedulur Sikep adalah fenomena baru,
karena pada mulanya mereka menentang sekolah
formal. Karena pendidikan formal merupakan bagian
dari produk kolonialisme Belanda. Namun seiring
perkembangan
mempunyai

zaman
tafsir

Sedulur

sendiri

Sikep

atas

sudah

pemahaman

pentingnya pendidikan formal bagi anak-anaknya.
Ajaran

yang

diajarkan

sesepuh

Sedulur

Sikep

memang dilarang memasukkan anaknya di sekolah
formal, dan sampai sekarang ada yang masih kukuh
dengan

pendirian

tersebut

(Wawancara

dengan

Maskat, 7/01/2015).
Mereka yang kukuh berdasarkan pada lima
pantangan dasar ajaran Samin yaitu; tidak boleh
mendidik dengan pendidikan formal, tidak boleh
bercelana

panjang,

tidak

boleh

berpeci,

tidak

diperbolehkan berdagang, dan tidak diperbolehkan
beristri

lebih

dari

satu.

Rosyid

(2008;

21)

menganalisis alasan larangan pendidikan formal
oleh ajaran Samin, pertama, jika melaksanakan
pendidikan formal akan merangsang anak untuk
pintar membaca dan menulis, sehingga mereka akan
62

bekerja meninggalkan pertanian, dan berujung pada
lepasnya pemantauan keluarga dan lepasnya ikatan
kekeluargaan. Kedua, dengan pendidikan formal
pergaulan menjadi terbuka luas, sehingga anakanak Sedulur Sikep akan mudah meninggalkan
budaya yang selama ini dijauhi oleh ajaran Samin.
Walau demikian, pantangan pendidikan formal
sekarang sudah mengalami penafsiran baru bagi
Sedulur Sikep, mereka sudah bersedia mendidik
anaknya di sekolah formal dan sekarang sudah
mulai untuk menyuarakan haknya sebagai bagian
dari warga negara untuk mendapat pendidikan
agama (Maskat dan Santoso wawancara 7/01/2015).
Praktik pendidikan budi pekerti di Sedulur
Sikep dituntun langsung oleh orangtua dengan
memegang prinsip dasar ajaran Samin, sebagai
rutinitas Sedulur Sikep di Kudus mengadakan
pertemuan

seminggu

sekali,

semacam

siraman

rohani yang disampaikan oleh pemuda atau tokoh
Sedulur Sikep.
Niat Sedulur Sikep untuk mendidik di sekolah
formal, SMP 2 Undaan, pada mulanya sempat
menjadi permasalahan ketika mendaftar. Karena
tidak adanya identitas agama yang mereka anut. Hal
itu kemudian berimbas pada pendidikan agama
yang diberikan oleh pihak sekolah, ketika pelajaran
63

agama mereka pernah dipaksa untuk belajar agama
Islam. Gumani (23 tahun) menceritakan bahwa
ketika ia sekolah di SMP pernah ada oknum guru
yang mengatakan ‘dasar orang Samin tidak memiliki
agama’ (wawancara dengan Gumani, 24/12/2014).
Pada perkembangannya berkat perjuangan
dari tokoh Sedulur Sikep di tahun 2009 mereka
diberi kebebasan oleh pihak sekolah untuk memilih
antara mengikuti atau tidak pelajaran agama. Moh.
Norhadi
bahwa

(wakil

Kepala

Sekolah)

membenarkan

Sedulur

Sikep

sekarang

bebas

bersekolah

di

SMP

2

Undaan,

dan

untuk

diberikan

kebebasan ketika mata pelajaran pendidikan agama
(wawancara

dengan

Wakil

Kepala

Sekolah,

8/1/2015).
Untuk masalah nilai di raport semester atau di
Ujian Nasional siswa-siswi Sedulur Sikep diberikan
sepenuhnya kepada orangtua untuk mengisinya,
namun pengisiannya harus sesuai dengan kolom
mata pelajaran agama yang ada di negara kita.
Biasanya mereka mengisi di kolom pelajaran agama
Kristen.
Setiap

mata

pelajaran

agama

siswa

dari

Sedulur Sikep diberikan kesempatan untuk keluar
atau tetap di dalam mengerjakan tugas, ketika
keluar

mereka

memanfaatkan

untuk

ke
64

perpustakaan. Selama ini guru telah mengetahui
bahwa mereka bukan menganut ajaran agama yang
diakui negara tapi ajaran Samin atau Agama Adam
(wawancara dengan Anik Safitri, 7/1/2015).
Anik Safitri (14 tahun) juga menerangkan
bahwa selama ini siswa-siswi di SMP 2 Undaan tidak
pernah

mempermasalahkan

perbedaan

tersebut,

mereka tetap bermain bersama layaknya usia anakanak.
Meski dalam praktik pendidikan agama bagi
penghayat

kepercayaan

belum

bisa

terpenuhi

namun hemat peneliti ini sebagai sebuah kemajuan
bagi

pihak

sekolah

karena

tidak

memaksakan

pelajaran agama tertentu bagi siswa-siswi Sedulur
Sikep. Terkait dengan ajaran agama Adam pihak
sekolah

tidak

punya

hak

untuk

menyediakan

layanan ajaran agama tersebut baik guru maupun
kurikulum,

karena

memang

tidak

ada

payung

hukum yang menjadi dasar pelaksanaan tersebut.
Namun pihak sekolah dalam hal ini SMP 2 Undaan
sangat terbuka atas keinginan Sedulur Sikep untuk
mendidik anaknya di sekolah formal.
c. Studi Kasus Sedulur Sikep dalam Pendidikan
Formal
Budi

Santoso,

menceritakan

kronologi

kejadian sejak menyekolahkan anak-anaknya pada
65

tahun

2009

menyekolahkan
keponakan

hingga
anaknya,

Budi

pada

kakaknya,
yang
tahun

Maskad,

juga
2012.

berarti
Budi

menyekolahkan dua anak putrinya di sekolah SMP 2
Undaan. Sejak awal mendaftarkan anaknya, Budi
sudah menyampaikan ke kepala sekolah beserta
wakil kepala sekolah dengan apa adanya. Bahwa ia
merupakan penganut ajaran Samin atau agamanya
yang

dianutnya

adalah

agama

Adam.

Budi,

meskipun beragama Adam, tapi ia sangat ingin
menyekolahkan anaknya ke sekolah umum.
Dengan ia beragama Adam —bukan agama
yang secara resmi diakui oleh negara— kemudian
Pak Budi bertanya kepada kepala sekolah apa bisa
diterima kedua anaknya bersekolah? Kemudian
pihak sekolah, yang dalam hal ini diwakili oleh
kepala sekolah menejawab, bahwa anak-anak Samin
boleh bersekolah. Dengan adanya tanggapan dari
pihak sekolah seperti itu, kemudian Budi berniat
menyekolahkan kedua anaknya di sekolah tersebut.
Dengan satu permintaan dari Budi, kalau nanti
dalam proses belajar mengajar atau ulangan agama
Islam atau yang lainnya bukan dalam hal agama
Adam, Budi meminta agar anaknya tidak dipaksa
untuk mengikutinya.

66

Singkatnya,

setelah

ada

kelonggaran

dari

pihak sekolah, masuklah anak-anak Sedulur Sikep
hingga mengikuti proses belajar mengajar. Namun
setelah

berjalan

kenyataannya

mengikuti

anaknya

tersebut

proses

belajar,

dipaksa

untuk

mengikuti praktik wudlu dan sholat. Bukan hanya
itu saja, anak-anak Sedulur Sikep lainnya juga
diwajibkan mengikuti praktik Baca Tulis al-Qur’an
(BTQ). Dengan adanya kewajiban mengikuti praktik
dalam pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI),
kemudian anaknya tidak mau mengikuti aturan dari
sang

guru

tersebut,

karena

patuh

kepada

orangtuanya (Budi Santoso). Tujuan Budi ingin
menyekolahkan

keturunannya

kerena

ingin

memperkuat ajaran leluhur.
Anak

tersebut

menyampaikan

apa

yang

dialami di sekolah sembari menangis di depan
bapaknya, bahwa dirinya disuruh melakukan wudlu,
sholat dan BTQ. Tapi dalam penolakan tersebut ia
tidak kuasa apa-apa karena sekolah mempunyai
wewenang

dalam

hal

pendidikan

muridnya.

Sedangkan adiknya yang juga sekolah di SMP 2
Undaan, karena masih kecil (masih kelas 2 SMP)
menuruti yang diperintahkan oleh gurunya dengan
praktik baca al-Qur’an, wudlu dan sholat.

67

Setelah itu, putri dari Budi yang kelas 3 tidak
berangkat sekolah selama kurang lebih 2 minggu.
Selanjutnya, Budi diundang ke sekolahan dan diajak
bertemu dengan guru agama dan Guru BK (guru
yang

mengatasi

masalah

kesiswaan).

Dalam

pertemuan itu guru agama mempertanyakan kepada
Budi kenapa anaknya tidak mau berangkat sekolah?
Akhirnya Budi menyampaikan bahwa anaknya tidak
berangkat sekolah karena enggan disuruh praktik
mengajarkan ajaran agama Islam, padahal dirinya
sudah

mengadakan

perjanjian

kalau

dirinya

menyekolahkan anak sudah menjalin perjanjian
dengan kepala sekolah, bahwa ketika dalam proses
belajar kalau ada pelajaran agama selain pelajaran
yang

dianut

Budi

jangan

dipaksa

untuk

mengikutinya.
Dalam perbincangan tersebut guru agama itu
menanyakan tentang agama apa yang dianutnya.
Dan sekali lagi Budi harus menerangkan agama
yang dianutnya. Setelah ada penjelasan kemudian
guru agamanya memberikan tanggapan dan sang
guru mengatakan yang tidak mengenakan terhadap
Budi. Bahwa agama Samin bukanlah agama yang
diakui oleh negara. Budi juga menambahkan lagi,
bentuk pemaksaan tersebut tertulis dalam raport
dengan agama Islam, karena itu jadi menginduk ke
agama Islam (disarikan dari wawancara dengan Budi
68

Santoso). Didaerahnya Larekrejo, ada dua agama,
Islam dan Sedulur Sikep, nah dalam raport tertera
Islam, itu hanya sekadar formalitas saja, karena
memang

negara

Sedulur

Sikep

tidak
sebagai

mencantumkan

agama

agama

Negara

resmi

(Samiyono: 2010; 102).
Budi,

seandainya

di

Desanya

ada

yang

menganut agama Budha, untuk hanya sekadar
memperoleh

ijin

dalam

hal

administrasi

di

pemerintahan akan menginduk terhadap agama
Budha. Hanya saja kebetulan di desa tersebut tidak
ada yang menganut agama Budha. Ketika anaknya
disuruh praktik melakukan praktik sholat jangan
sampai terjadi lagi. Akhirnya guru agama dan guru
BK merasa kebingungan kemudian Budi disarankan
agar permasalahan ini dimusyawarahkan dengan
kepala sekolah. Waktu anak Samin mengalami
penolakan kebetulan kepala sekolah yang sekarang
menjabat, berbeda dengan kepala sekolah saat Budi
melakukan perjanjian. Pada waktu anaknya masuk
kepala sekolah belum ganti. Dan sewaktu ada
masalah

kepala

sekolah

sudah

berganti

yang

bernama Djamin.
Akhirnya kepala sekolah datang ke kediaman
Budi, dengan tujuan tidak lain akan melakukan
rembug bareng terkait masalah anaknya Budi.
69

Pertama kepala sekolah mempertanyakan ajaran
atau keyakinan yang dianut oleh keluarga Budi.
Berikut juga meminta penjelasan mengenai ajaranajarannya. Setelah berembug antara Djamin sebagai
kepala sekolah dan Budi sebagai orangtua siswa
berikut dengan penjelasan ajaran agama Sedulur
Sikep.
Dengan adanya kesepakatan seperti itu, lalu
kepala sekolah merasa kebingungan dengan nanti
nilai apa dan juga mata pelajaran apa yang tertera di
raport anak muridnya. Ketika dalam kebingungan
akhirya Budi menawarkan diri untuk memberikan
penilaian terhadap anaknya yang darinya ini diajar
oleh agamanya sendiri. Dalam pandangan Budi,
kepala sekolah yang baru ini (Djamin) sangat baik,
karena dapat memberikan kebijakan yang membuat
hati

Budi

legowo.

Pada

pertemuan

itu

Budi

menjelaskan terkait ajaran agamanya, dan menurut
Djamin agama tersebut memang dianggap baik, dan
yang terpenting anak tersebut dididik agar terus
bersekolah.
Djamin

sebagai

kepala

sekolah

akhirnya

menyetujui perjanjian tersebut. Selang beberapa
bulan, kemudian Budi diundang kepala sekolah
untuk mengisi nilai raport dalam kolom agama. Hal
demikian berupa angin segar bagi Sedulur Sikep,
70

karena bisa menyekolahkan anaknya dengan bebas
menganut

keyakinannya.

Waktu

melakukan

pengisian Budi merasa kerepotan, karena tidak tau
nilai

apa

yang

harus

diberikan.

dari

ketidaktahuannya, tanpa rasa malu Budi bertanya
tentang standar nilai apa yang harus diberikan
kepada anaknya. Pihak kepala sekolah akhirnya
menerangkan mengenai standar nilai bagi siswa agar
bisa lulus. Hal ini diterangkan Djamin sebagai
kepala sekolah.
Bagi penulis, kejadian di atas sangat mungkin
terjadi di daerah lain dan di komunitas penghayat
kepercayaan lain daerah, sehingga menjadi perlu
bagi pemerintah untuk membuat payung hukum
tentang

pemenuhan

pendidikan

agama

bagi

penghayat kepercayaan agar hak dasar sebagai
warga negara untuk mendapat pendidikan dijamin
konstitusi.
d. Persepsi dan Harapan Siswa dan Orang Tua Siswa
Sedulur

Sikep

atas

Pelaksanaan

Pendidikan

Agama di Sekolah.
Persepsi Sedulur Sikep tentang pendidikan
putra putri mereka yang bersekolah di SMP 2
Undaan terdapat kemajuan yang berarti, khususnya
terkait sudah mulai ada perlakuan yang berbeda
dari pihak sekolah atas pendidikan agama yang
71

anak-anak mereka terima. Sebelumnya anak-anak
dipaksa untuk mengikuti salah satu diantara 6
agama resmi negara, tetapi kemudian sekolah telah
memberikan kebebasan orang tua sedulur Sikep
untuk memilih sendiri keyakinan bagi anak-anak
mereka.
Dalam FGD yang dilakukan bersama antara
antara siswa dan wali murid dari penghayat Sedulur
Sikep, teradapat kesan yang sangat kuat bahwa
Sedulur Sikep menganggap sekolah sudah “mending”
memberikan kebebasan bagi Sedulur Sikep daripada
dipaksa

untuk

kasus-kasus

belajar

yang

agama

pernah

tertentu,
terjadi

seperti

sebelum-

sebelumnya.
Pihak sekolah memang tidak bisa berbuat
banyak atas permasalahan ini dan tidak bisa
memberikan lebih atas pendidikan agama bagi
penghayat selain membebaskannya untuk mengikuti
atau tidak. Mungkin lantaran pasal 29 tidak jelas,
dijamin kemerdekaannya memeluk agama masing
dan kepercayaannya itu. Kalau kepercayaan diakui
sebagai agama, maka negara dengan akal sehatnya
akan berpikir tentang itu (wawancara dengan Wakil
Kepala Sekolah SMP 2 Undaan).
Sebagian besar masyarakat Sedulur Sikep
sudah mempunyai pandangan yang sama bahwa
72

pendidikan formal adalah sebuah keharusan untuk
usaha mencerdaskan kehidupan bangsa, namun
mereka

meminta

mengganggu
mendasar

agar

pihak

kepercayaannya.
bagi

seluruh

sekolah

Karena

umat

tidak

itu

hidup

hak
untuk

mempunyai kepercayaan tertentu.
Pada level tertinggi mereka berharap bahwa
agama Adam diakui sebagai agama oleh negara
sehingga

pelayanan

pemakaman,

publik

pernikahan,

secara
pencatatan

umum,
sipil,

pendidikan dan lainnya bisa terpenuhi secara penuh
da nada kesetaraan di muka negara. Pada level
bawahnya mereka menginginkan bahwa apa yang
sudah mereka terima selama ini di sekolah diberi
payung hukum yang jelas oleh pihak pelaksana
pendidikan, baik sekolahan maupun dinas terkait.
Sehingga di kemudian hari tidak ada warganya yang
dipaksa untuk belajar agama. Mereka juga berharap
diberikan pendidikan agama oleh tokoh dari Sedulur
Sikep, namun yang paling sederhana bahwa mereka
tidak mendapat tekanan untuk belajar di sekolah
manapun,

karena

mempunyai

hak

yang

sama

sebagai warga negara.

73

4.2 Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan
pembahasan

hasil

hasil

penelitian

penelitian

diatas,

maka

difokuskan

pada

pembahasan tujuan penelitian yang meliputi: sub
bahasan analisis kebijakan pendidikan agama bagi
penganut agama kepercayaan lokal (agama Adam);
analisis

atas

penganut

fenomena

kepercayaan

pendidikan
lokal;

serta

agama

bagi

analisis

atas

persepsi siswa dan orang tua siswa atas pelaksanaan
pendidikan agama bagi penganut kepercayaan dan
masyarakat adat Samin. Hasil pembahasan tersebut
dapat diuraikan dalam penjelasan analisis sebagai
berikut.
4.2.1 Review Kebijakan Negara Atas Pendidikan
Agama bagi Penganut Kepercayaan
Sebagaimana

telah

disampaikan

dalam

temuan hasil penelitian dalam aspek kebijakan di
bagian sebelumnya, maka pada aspek kebijakan
dapat diuraikan bahwa:
a. Negara Mengakui Kebebasan Agama Setiap
Warga Negara sebagai Hak Asasi Manusia.
Pengakuan ini termuat dalam sila pertama
Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Pengakuan jelas bahwa keyakinan beragama
warga negara Indonesia adalah menjadi falsafah
Negara Indonesia.
74

Sebagai falsafat negara, secara operasional
setia Sila dalam Pancasila kemudian di jadikan
pedoman Undang-Undang Dasar 1945. Maka pada
perubahan Keempat UUD 1945 pada Pasal 28E ayat
1 yang berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran”.
Pasal 28I ayat 1 berbunyi:
Hak beragama dan hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apa pun.
Pasal 28G ayat 1 berbunyi:
Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang di bawah kekuasaannya serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya.

Pada Pasal 29 ayat 2 disebutkan:
Negara
menjamin
kemerdekaan
tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.

Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak
Asasi Manusia Pasal 4 dinyatakan:
Hak untuk hidup, tidak disiksa, beragama, tidak
diperbudak, diakui sebagai pribadi dan persamaan
di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusiayang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun dan oleh siapapun.
75

Selain itu patut dicermati kembali dalam
dokumen internasional yang berhubungan dengan
pendidikan

agama.

Dalam

Deklarasi

Persatuan

Bangsa-Bangsa 1981 tentang Penghapusan Semua
Bentuk

Intoleransi

dan

Diskriminasi

yang

didasarkan pada Agama atau Keyakinan Pasal 5
ayat 3 disebutkan:
Anak akan dilindungi dari setiap bentuk
diskriminasi berdasarkan agama atau keyakinan.
Dia akan diasuh dalam semangat pemahaman,
toleransi, persahabatan antar sesama, perdamaian
dan
persaudaraan
universal,
penghormatan
terhadap kebebasan beragama atau keyakinan
orang lain, dan dalam kesadaran penuh bahwa
energi dan bakatnya harus dicurahkan pada
pelayanan sesama manusia.

Tentang

pendidikan,

deklarasi

tersebut

mengatakan dalam Pasal 5 ayat 2:
Setiap anak akan menikmati hak untuk mengikuti
pendidikan dalam bidang agama atau keyakinan
sesuai
dengan
harapan
atau
keinginan
orangtuanya, atau walinya yang sah –bila memang
dia berada di bawah perwalian– dan dia tidak
dapat atau tidak boleh dipaksa untuk menerima
pengajaran agama atau keyakinan yang tidak
sesuai dengan keinginan orangtuanya atau
walinya yang sah, dengan dilandasi prinsip demi
kepentingan terbaik anak.

Deklarasi ini memuat setidaknya dua prinsip
pokok (Plesner dalam Ghanea (ed): 2010). Pertama,
pemajuan toleransi dan saling menghargai sebagai
tujuan

pendidikan

umum.

Kedua,

pihak

hak

orangtua untuk memberi keputusan akhir mengenai
76

pendidikan

agama

dan

moral

bagi

anak-anak

mereka.
Selain dalam deklarasi 1981, tujuan dan
prinsip dalam pendidikan yang harus diindahkan
oleh negara juga termaktub dalam Konvensi PBB
tentang Hak Anak tahun 1989. Pasal 3 ayat 1
mengatakan,

“Dalam

semua

tindakan

yang

menyangkut anak-anak, . . . kepentingan terbaik dari
anak-anak harus menjadi pertimbangan utama”.
Dalam Pasal 29, 1 D ditulis, Pendidikan
diarahkan untuk:
Persiapan
anak
untuk
kehidupan
yang
bertanggungjawab dalam suatu masyarakat yang
bebas, dalam semangat pengertian, perdamaian,
tenggang rasa, persamaan jenis kelamin, dan
persaudaraan diantara semua orang, kelompok
etnis, bangsa dan agama dan orang-orang
pribumi.

Yang
menekankan

prinsipil,

Kovenan

kepada

Hak

negara

Anak

peserta

juga
untuk

menghormati hak anak atas kebebasan berpikir
(Pasal 14. 1). Negara peserta juga dipastikan akan
menghormati hak-hak dan kewajiban orangtua dan
bila dapat diterapkan, wali yang sah, untuk memberi
pengarahan
haknya

kepada

dengan

anak

cara

dalam

yang

melaksanakan

konsisten

dengan

kemampuan-kemampuan yang berkembang (Pasal
14. 2). Kebebasan untuk mewujudkan agama atau
77

kepercayaan hanya tergantung pada pembatasan
seperti yang ditetapkan dalam undang-undang dan
yang diperlukan untuk melindungi keselamatan,
ketertiban, kesehatan atau moral umum, atau hakhak asasi dan kebebasan orang lain (Pasal 14. 3).
International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang
Hak Sipil dan Politik juga mengatur kebebasan
orangtua dalam menentukan pendidikan agama bagi
anak-anaknya. Dalam Pasal 18 ayat 4 disebutkan:
Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk
menghormati kebebasan orangtua dan apabila
diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan
bahwa pendidikan agama dan moral bagi anakanak mereka sesuai dengan keyakinan mereka
sendiri.

Aturan

serupa

(kebebasan

orangtua

menentukan pendidikan agama anaknya) juga diatur
dalam International Covenant on Economic, Social
and

Cultural

Rights

(ICESCR)

atau

Kovenan

Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya. Pasal 13 ayat 3 mengatakan:
Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk
menghormati kebebasan orangtua dan wali yang
sah, bila ada, untuk memilih sekolah bagi anakanak mereka selain yang didirikan oleh lembaga
pemerintah, sepanjang memenuhi standar minimal
pendidkan sebagaimana ditetapkan atau disetujui
olehnegara yang bersangkutan, dan untuk
memastikan bahwa pendidikan agama dan moral
anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan
mereka.
78

Berdasarkan penjelasan dan prinsip utama
jaminan atas hak beragama warga negara, maka
secara prinsip tugas negara menjamin pengakuan
kebebasan beragama dalam berbagai sendi layanan
negara,

termasuk

yang

paling

krusial

adalah

layanan negara pada pendidikan formal.
Prinsip ini menunjukkan bahwa kebijakan
maupun implementasi pendidikan agama di sekolah
harus memperhatikan prinsip non diskriminasi dan
memiliki tujuan untuk memajukan toleransi bagi
siswa didik.
b. Negara

gagal

Menjamin

Kebebasan

Beragama

dalam Kebijakan Pendidikan.
Secara

umum

penghayat

kepercayaan

di

Indonesia mempunyai tantangan yang sama, baik
dalam perkawinan, pemakaman, dan akses layanan
publik lainnya yang disediakan oleh pemerintah. Hal
itu tidak terlepas juga dengan pendidikan bagi anakanak

mereka.

Masalah

yang

paling

mendasar

bermula dari sikap negara yang hanya “mengakui”
enam agama tersebut. Dalam UU No. 1 PNPS tahun
1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau
Penodaan Agama disebutkan kalau enam agama itu
mendapatkan bantuan dan juga jaminan. Sementara
agama dunia (Yahudi, Zoroaster dan Sinto) ada di
level dua, dijamin meski tidak dapat bantuan. Lain
79

cerita bagi penghayat karena mereka tak dapat
bantuan ataupun jaminan tapi justru diarahkan ke
pandangan yang sehat berdasar Ketuhanan Yang
Maha

Esa.

Terhadap

klausul

ini,

Mahkamah

Konstitusi saat sidang judicial review tahun 2010
menyebutkan bahwa maksud dari menyalurkan ke
arah pandangan yang sehat adalah tidak bertujuan
melarang. Tetapi karena konteks saat itu (tahun
1960-an)

banyak

aliran

yang

meminta

korban

manusia untuk upacara, maka pandangan itu
dianggap tidak sehat.
Tak hanya itu, PNPS 1965 mengindikasikan
bahwa aliran kepercayaan bukanlah agama. Ini
terlihat jelas dalam Tap MPR No. IV/1978 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang
menunjukkan bahwa kepercayaan itu bukan agama.
Berdasar

aturan

dimengerti

jika

ini,

maka

dikemudian

menjadi
hari

sangat

pemerintah

memfasilitasi pendidikan agama hanya untuk enam
agama. Tidak ada pendidikan untuk penghayat
kepercayaan, karena mereka hanyalah sub dari
sebuah agama. Disinilah letak keruwetan hubungan
agama

dan

penghayat

negara

itu

kepercayaan

bermula.

menjadi

Imbasnya,

korban

yang

sistematis oleh kebijakan negara.

80

Imbas
kepercayaan

tersebut
sering

menjadikan

penghayat

mendapatkan

perlakuan

diskriminasi oleh negara, selain itu juga terkadang
pandangan mayoritas masyarakat atas minimnya
pengetahuan sehingga mereka melakukan tindakan
diskriminatif. Sebagai contoh semisal warga menolak
pemakamkan penghayat yang meninggal karena
masyarakat menganggap pemakaman tersebut –
misalnya- khusus untuk orang muslim saja.
Merujuk pada pendapat Johan Efendi (dalam
Sihombing, 2008), penulis menetapkan beberapa
permasalahan yang menyebabkan kebijakan dan
praktik diskriminasi di Indonesia masih terjadi.
Pertama, terkait dengan ide bahwa semua warga
negara harus beragama, akibatnya mereka yang
menganut

kepercayaan

lokal

menjadi

korban

diskriminasi karena mereka tidak dianggap sebagai
agama. Dampak yang lebih dihadapi mereka adalah
hak-hak sipil sebagai warga negara tidak terpenuhi,
parahnya sebagian masyarakat masih menganggap
bahwa

penghayat

kepercayaan

derajatnya

lebih

rendah dibandingkan dengan mereka yang beragama
resmi.
Kedua, terkait dengan ide mayoritas dan
minoritas. Ide ini mengakibatkan tidak dihormatinya
hak-hak minoritas. Hal ini tercermin dari apa yang
81

kebijakan sekolah yang mengharuskan penghayat
kepercayaan yang minoritas untuk mengakui atau
masuk dalam agama yang telah ada dan diakui
negara. Dengan sendirinya ini bermakna bahwa
masyarakat diluar Sedulur Sikep tidak mengakui
agama Adam sebagai bagian ajaran agama karena
tidak diakui oleh negara dan berbeda dangan agama
yang dianut oleh kebanyakan orang (mayoritas).
Ketiga, terkait dengan agama yang diakui dan tidak
diakui, ada enam agama resmi yang diakui, sehingga
menimbulkan konsepsi tidak diakuinya agamaagama lain diluar agama resmi tersebut. Kebijakan
pengakuan
memang

agama

resmi

menjadi

mengingat

polemik

negara

keberagamaan

dalam

secara

agama

enam

agama

berkepanjangan,
falsafah

warga

mengakui

negara,

tetapi

kemudian berlaku diskriminatif terhadap agamaagama minoritas. Salah satunya yang dihadapi oleh
Sedulur

Sikep

di

Kabupaten

Kudus.

Keempat,

adanya sikap tidak toleran terhadap ajaran-ajaran
yang

dianggap

tidak

sama

dengan

mayoritas,

masyarakat akan mudah bilang ‘sesat’ terhadap
ajaran yang berbeda dengan dirinya. Persepsi ini
muncul
pemeluk

karena
agama

ego
dan

agama
secara

di

masing-masing
tidak

langsung

dilegalkan dalam tata aturan negara. Cap sesat, cap
bukan agama justru dimunculkan oleh orang-orang
82

yang berbeda agamanya dari penduduk lokal yang
lebih

dulu

bertahun-tahun

mengakui

agama

tertentu sebagai keyakinan.
Pada bidang pendidikan agama di sekolah,
faktor-faktor

tersebut

kemudian

sendi-sendi

kebijakana

pendidikan.

Mulai

mempengaruhi

operasional

dari

kebijakan

di

bidang

pendidikan

nasional nomor 20 tahun 2013 dan turunannya,
hinggan

pendidikan

peningkatan

sumber

daya

manusia dilingkup sekolah formal meliputi guru,
kepala sekolah, staff dan sebagaianya dilatih pada
pelayana pendidikan agama di enam agama resmi
negara. Sehingga pada waktu menghadapi situasi
kasus

keyakinan

(Sedulur

seperti

Sikep

pembenaran

atas

dalam

masyarakat

penelitian
adat

mainstream

ini

Samin),
pengajaran

pendidikan menjadi ukuran utama.
Dari pemaparan di atas, diskriminasi terhadap
penghayat kepercayaan Sedulur Sikep telah terjadi
di semua aspek kehidupan bernegara salah satunya
adalah bidang pendidikan. Faktor utama adalah
pertama, karena tidak ada payung hukum secara
operasional

untuk

pelayanan

mereka

dalam

pemenuhan pendidikan. Kasus yang dialami siswa
Sedulur Sikep. Kegagalan utama dari kebijakan
dibidang pendidikan adalah kegagalan kebijakan
83

pendidikan menterjemahkan pengakuan atas Hak
Beragama Setiap Warga Negara sebagaimana telah
diuaraikan dalam penjelasan sebelumnya. Terjadi
gap kebijakan yang justru mereduksi ketetapan
pengakuan
menjadi

negara

pada

atas

enam

mempengaruhi

kebebasan

agama

adalah

beragama

saja. Faktor

pertama,

yang

Undang-Undang

Sisdiknas No 3 Tahun 2003 justru mereduksi
pengakuan negara atas keragaman beragama dan
keyakinan.
Kedua,

kegagalan

kebijakan

pendidikan

menerapkan pendekatan-pendekatan lokal dalam
pelaksanaan

pendidikan

kepercayaan

dan

Berdasarkan

hasil

bahwa

agama

bagi

masyarakat
penelitian

kebijakan

adat

diatas,

pendidikan

penghayat
Samin.
diuraikan

telah

gagal

mengembangkan dua pendekatan penting untuk
memberikan

layanan

pendidikan

agama

bagi

kelompok minoritas dan masyarakat adat. Sehingga
pada akhirnya terjadi ketegangan

secara laten

berangkat dari kebutuhan dua pihak (sekolah dan
penghayat kepercayaan) yang berbeda memandang
konsep dan kebutuhan pendidikan agama bagi
siswa-siswa adat.
Kegagalan

dalam

membangun

pendekatan

dapat dilihat sebagaimana dijelaskan dalam Plesner
84

(2010), dalam praktiknya, pengelolaan pendidikan
agama

bisa

confessional

dibagi
dan

dalam

dua

pendekatan,

non-confessional.

Pendekatan

berdasarkan agama yang dianut atau confessional
berarti komunitas keagamaan menentukan atau
bertanggungjawab atas kurikulum, kualifikasi dan
pengakuan terhadap guru pendidikan agama serta
buku-bukunya. Jenis pendidikan agama seperti ini
pada umumnya ditujukan bagi komunitas agama
tertentu. Tetapi ada juga penganut agama lain yang
tidak harus menjadi bagian dari komunitas tertentu
bisa mengikuti pelajaran tersebut. Boleh seorang
anak yang beragama Islam mengikuti pelajaran
agama Kristen tanpa ia harus menjadi Kristen.
Tujuan

utama

memfasilitasi

dari

anak

pendekatan

dalam

ini

membentuk

adalah
identitas

dalam menjawab jika diajukan pertanyaan mengenai
makna hidup, kematian, cinta, kebahagiaan dan
lainnya.
Pendekatan

kedua

yakni

non-confessional

berarti pendekatan yang tidak berdasarkan agama
tertentu yang dianut. Tujuan dari pendekatan ini
adalah

untuk

menginformasikan

kepada

anak

mengani agama-agama dan pandangan-pandangan
dunia lain. Belajar tentang agama (bukan belajar
agama)

yang

dikombinasikan

dengan

belajar

mengambil sikap terhadap agama yang bertujuan
85

membantu

siswa

membuat

pilihannya

sendiri.

Pendekatan ini bisa difokuskan dalam satu agama
atau banyak agama.
Model confessional kerap juga dikenal sebagai
model “ghetto” atau pemisahan. Pendidikan model
pemisahan

ini

maksudnya

anak-anak

didik

untuk

adalah

memisahkan

menyerap

pendidikan

berdasarkan agamanya masing-masing. Tujuan dari
pemisahan adalah untuk membangun semangat
kelompok. Kecenderungannya adalah pendidikan
agama

yang

eksklusif

terbentuklah

dan

“mentalitas

tertutup.
ghetto.”

Akhirnya
Sementara

pendekatan non-confessional agak dekat dengan
model integrasi. Siswa tidak dipisah berdasarkan
agama, tetapi ia belajar bersama dalam satu ruang
dan tidak hanya mempelajari agama yang mereka
anut tetapi juga tradisi atau keyakinan lainnya.

4.2.2 Alternatif

Pengelolaan

Pendidikan

Agama

Bagi Sedulur Sikep
Berdasarkan

uraian

hasil

penelitian

khususnya tentang situasi pendidikan yang dihadapi
oleh

Sedulur

Sikep,

maka

berdasarkan

hasil

Workhop dan FGD (Focus Group Discussion) dengan
melibatkan masyarakat adat Samin, Sekolah dan
Organisasi

masyarakat

lainnya,

maka

dapat
86

diuraikan

beberapa

alternatif

pengelolaan

pendidikan agama bagi Sedulur Sikep di Kabupaten
Kudus dimana penelitian ini dilaksanakan (FGD
eLSA, 2013).
Pertama, pemerintah bisa tetap berpegang
dengan

pola

konfesional

seperti

terpisah

sekarang
dengan

dengan

area

pola

institusional

sekolah. Tapi konfesional terpisah ini harus dirubah
substansi

pelajarannya.

Tidak

semata-mata

konfesional-tradisional, tetapi konfesional-inklusif.
Muatan pendidikan agama harus didorong pada
pengembangan sikap toleran dan inklusif. Namun,
model ini tetap menyisakan problem bagi kelompok
penghayat. Bagaimana mereka bisa masuk dalam
sistem ini. Persoalan ini hanya menyisakan satu
solusi, ada pendidikan tentang penghayat di sekolah
negeri.
Kedua,

untuk

diberlakukan

model

penghayat

kepercayaan

konfesional-terpisah

dengan

area institusional luar sekolah dan penyelenggaran
diserahkan
sementara

kepada

kelompok

dilakukan

oleh

agama.

kelompok

Ini

yang

Penghayat

Sedulur Sikep di Kudus. Hanya saja masalah tak
lepas begitu saja. Saat ujian akhir mereka tetap
diberikan soal tentang mata pelajaran agama salah
satu dari enam agama “yang diakui.” Dengan model
87

ini

maksudnya

menyelenggarakan
sementara

adalah

sekolah

pendidikan

enam

pendidikan

penghayat

tetap
agama,

dibedakan

pengelolaannya dengan memberikan kewenangan
pada kelompok penghayat.
Ketiga,
terpisah

memberlakukan

untuk

terkecuali,

semua

dimana

tanggung

jawab

model

kelompok

pendidikan

kelompok

konfesional

agama

tanpa

agama

menjadi

agamanya

masing-

masing. Dengan begitu, sekolah negeri bersih dari
pendidikan agama.
Keempat, menerapkan model untuk negaranegara multireligi sebagai pengganti model ketiga,
yakni

model

Pluralistik-Terintegrasi

atau

Etika-

Terintegrasi. Pendidikan agama bisa digantikan oleh
misalnya

pendidikan

etika,

budi

pekerti

atau

pendidikan tentang agama, dan materi sejenis.
Mereka masih ada dalam lingkungan sekolah, satu
kelas, satu ruangan dan menyerap informasi tentang
agama-agama yang ada di Indonesia. Jadi bukan lagi
pendidikan

agama,

tetapi

pendidikan

tentang

agama-agama, yang lokal maupun interlokal.
Keempat, dinas pendidikan kabupaten Kudus
bersama

masyarakat

adat

Samin

dan

elemen

masyarakat lainnya mengajukan review perubahan
kebijakan negara atas pendidikan beragama bagi
88

kelompok

minoritas

kepercayaan.
kontek

(sedulur

Pengajuan

sekolah

ini

menghadapi

sikep)

penghayat

dibenarkan
situasi

riil

dalam
yang

mengganggu jaminan pendidikan seutuhnya bagi
siswa sekolah yang belatar belakang kepercayaan
agama

Adam

Keberanian

dan

masyarakat

masyarakat

dan

adat

dinas

Samin.

pendidikan

Kudus untuk mengajukan review undang-undang
akan menjadi perhatian khusus mengingat lebih dari
20% dari penduduk Indonesia atau sekitar 50-70
juta jiwa.

89

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25