Hubungan Internasional perspektif islam cici

HUBUNGAN INTERNASIONAL PERSPEKTIF ISLAM

Pengertian
Islam adalah sistem hidup yang merangkum keseluruhan aspek kehidupan manusia. Islam
adalah negara dan tanah air atau pemerintah dan rakyat. Islam adalah akhlak dan kekuatan
atau rahmat dan keadilan. Islam adalah kebudayaan dan undang-undang atau ilmu dan
kehakiman,.Islam adalah kebendaan dan harta atau usaha dan kekayaan. Islam adalah jihad
dan dakwah atau tentara dan fikrah. Sebagaimana ia adalah aqidah yang benar dan ibadah
yang sah”.
Perjalanan hijrahnya Rasullulah ke Madinah, penyusunan Piagam Madinah, pembentukan
pembendaharaan Negara, pembuatan perjanjian perdamaian, penetapan
Imamah/kepemimpinan, taktik pertahanan Negara dari serangan musuh yang lainnya.
Pembuatan kebijakan bagi kemaslahatan masyarakat, umat, dan bangsa, dan kemudian pada
masa itu semua dipandang sebagai upaya-upaya strategi dalam mewujudkan Islam sebagai
ajaran yang adil, memberi makna bagi kehidupan dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Konsep Islam bermakna sebagai tatanan yang mengatur diri, keluarga, masyarakat atau
kekuasaan Kepala Negara untuk mengatur negara dalam hal Hubungan Internasional,
masalah territorial, nasionalitas, ektradisi, tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran
warga negara asing. Selain itu, juga mengurusi masalah kaum dzimmi, perbedaan agama,
akad timbal balik dan sepihak dengan kaum dzimmi, hudud dan qishash. Atau dapat
dikatakan yang mengatur hubungan antar Negara tersebut (Politik Hukum Internasional).

A.

Dasar-dasar Pemerintahan Islam:
1. Kesatuan Umat Manusia

Meskipun manusia ini berbeda suku, berbangsa-bangsa, berbeda warna kulit, berbeda tanah
air bahkan berbeda agama, akan tetapi merupakan satu kesatuan manusia karena sama-sama
makhluk Allah, sama bertempat tinggal di muka bumi ini, sama-sama mengharapkan hidup
bahagia dan damai dan sama-sama dari Adam. Dengan demikian, maka perbedaan-perbedaan
diantara manusia harus disikapi dengan pikiran yang positif untuk saling memberikan
kelebihan masing-masing dan saling menutupi kekurangan masing-masing.

2. Keadilan (Al-‘Adalah)
Ajaran islam mewajibkan penegakan keadilan baik terhadap diri sendiri, keluarga, tetangga,
bahkan terhadap musuh sekalipun kita wajib bertindak adil.
ayat-ayat yang berbicara tentang keadilan antara lain:
‫عيلى أ ين سيفذسك يسم أ يذو ال سيوالذيدي سذن يوال سأ يسقيرذبيين‬
‫ييا أ يي ييها ال يذذيين آيمينوا يكوينوا يق يواذميين ذبال سذقسسذط يشيهيدايء لذل يذه يول يسو ي‬
Artinya:Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan

kaum kerabatmu
3. Persamaan (Al-Musawah)
Manusia memiliki hal-hal kemanusiaan yang sama, untuk mewujudkan keadilan adalah
mutlak mempersamakan manusia dihadapan hukum. Demikian pula setiap manusia adalah
subyek hukum, penanggung hak dan kewajiban yang sama
4.Kehormatan Manusia (Karomah Insaniyah)
Karena kehormatan manusia inilah, maka manusia tidak boleh merendahkan manusia lainnya.
Kehormatan manusia berkembang menjadi kehormatan terhadap satu kaum atau komunitas
dan bisa dikembangkan menjadi suatu kehormatan suatu bangsa atau negara.
5.

Tasamuh (Toleransi)

Allah mewajibkan menolak permusuhan dengan tindakan yang lebih baik, penolakan dengan
lebih baik ini akan menimbulkan persahabatan bila dilakukan pada tempatnya setidaknya
akan menetralisir ketegangan.
6.

Kerja Sama Kemanusiaan


kerja sama di sini adalah kerja sama di setiap wilayah dan lingkungan kemanusiaan. Kerja
sama ini diperlukan karena ada saling ketergantungan baik antara individu maupun antara
negara di dunia ini.

7.

Kebebasan, Kemerdekaan(Al-Huriyah)

Kemerdekaan yang sesungguhnya dimulai dari pembebasan diri dari pengaruh hawa nafsu
serta mengendalikan dibawah bimbingan keimanan dan akal sehat. Dengan demikian,
kebebasan bukanlah kebebasan mutlak, akan tetapi kebebasan yang bertanggung jawab
terhadap Allah, terhadap keselamatan hidup manusia di muka bumi, kebebasan bisa diperinci
seperti kebebasan berfikir, kebebasan baragama, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan
menuntut ilmu, kebebasan memiliki harta.
8.

Perilaku Moral yang Baik (Al-Akhlakul Karimah)

Prilaku yang baik merupakan dasar moral di dalam hubungan antara manusia, antara umat
dan antara bangsa di dunia ini selain itu prinsip ini juga diterapkan terhadap seluruh makhluk

Allah di muka bumi termasuk flora dan fauna.

1. Hubungan-hubungan Internasional Diwaktu Damai
Damai adalah asas Hubungan Internasional Selain kewajiban suatu negara terhadap negara
lain, yakni tentang menghormati hak-hak negara lain yang bertetangga dengan negara yang
ditempati dan mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional
Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa hukum asal Hubungan Internasional ada dua pendapat:
pendapat yang pertama mengacu pada ayat-ayat perang (al-Baqarah:216, an-Nisa`:74, alAnfal:65, at-Taubah:29), dan sabda Nabi: saya diperintahkan untuk memeragi manusia
sampai merreka mengucapkan syahadat, melaksanakan sholat, dan mengeluarkan
zakat.Kesimpulan dari kelompok pertama adalah inti hukum asal dalam Hubungan
Internasional adalah perang.
Pendapat yang ke dua adalah sebaliknya bahwa hukum asal dalam Hubungan Internasional
adalah adalah damai. Alasannya perang itu diperkenankan karena ada sebabnya, yaitu
menolak kedzaliman, menghindari fitnah dalam rangka mempertahankan diri sebagaimana
dijelaskan dalam al-Quran. Adapun hadits nabi di atas menurut kelompok ini, berlaku bagi

orang atau kelompok yang merasuki atau memerangi islam untuk menolak kdzaliman
mereka. Selain itu, pemaksaan di dalam memeluk agama pun tidak diperkanankan.

2. Hubungan-hubungan Internasional Diwaktu Perang

Sebab terjadinya perang:
1.

Mempertahankan Diri

Dari kitab-kitab sejarah tarikh, cara Nabi Muhammad saw menhimpun kekuatan dan
mempertahankan negeri madinah dari serangan-serangan musuhnya orang kafir kuraisy.
Dalam perang badar, bukan Nabi yang menyerang akan tetapi mush nabi yang menyerang
ka Madinah. Adapan waktu fathu Makkah, rasulullah datang ke Makkah bukan sebagai
perang atau penakluk, meainkan sebagai pemberi amnesti umum disertai tetap menghormati
harga diri tokoh-tokoh mekkah, seperti Abu Sofyan yang pada waktu itu masih kafir.
2.

Dalam Rangka Dakwah

Perang juga bisa terjadi di dalam rangka menjamin jalannya dakwah. Artinya, dakwah kepada
kebenaran dan keadilan serta pada prinsip-prinsip yang mulia tidak boleh dihalangi dan
ditindas oleh penguasa manapun. Telah dijelaskan bahwa Islam tidak menghendaki
pemaksaan beragama. Apabila penguasa memaksakan agamanya dan menindas kepada
orang-orang muslim, penguasa-penguasa itu dikualifikasikan kepada penguasa yang dzalim.

Prilaku seperti itulah yang dipertontonkan oleh penguasa Persia dan Romawi pada waktu itu
yaitu tidak memberikan kebebasan kapada rakyatnya untuk memeluk agama yang
diyakininya.
3.

Etika dan Aturan Perang di dalam Pemerintahan Islam:

1) Dilarang membunuh anak.
2) Dilarang membunuh wanita yang tidak berperang.
3) Dilarang membunuh orang tua yang tidak ikut perang.

4) Tidak memotong dan merusak tanaman, sawah dan ladang.
5) Tidak membunuh binatang ternak
6) Tidak menghancurkan tempat ibadah.
7) Dilarang mencincang mayat musuh.
8) Dilarang membunuh pendeta dan pekerja.
9) Bersikap sabar, berani dan ikhlas.
10)

Tidak melampaui batas.


B. Pembagian Negara Islam
I. Jumhur ulama membagi negara kepada:
1. dar al-Islam/
2.

dar al-harb atau dar al-fasiq / dar al-syirk .

3. dar al-‘ahd atau dar al-aman , Dar al-‘ahd adalah negara-negara yang berdamai
dengan dar al-Islam, dengan peranjian tersebut, maka semua penduduk dar al-‘ahd
tidak boleh diganggu jiwanya, hartanya, dan kehormatan kemanusiaannnya.
Meskipun penduduknya tidak beragama Islam, mereka diperlakukan seperti orang
Islam dalam arti dilindungi hak-haknya.
II. Sedangkan menurut A. Djazuli, pembagian dunia pada masa sekarang adalah:
Al-Alam al-Islami (dunia Islam) yang terdiri dari:
1.

Dawlah Islamiyah (negara Islam/Islamic States).

2.


Baldah Islamiyah (negeri muslim/negara-negara yang mayoritas penduduknya

beragama Islam/Muslim Countries).

3.

Al-Alam al-‘Ahd: negara-negara yang berdamai dengan negara Islam.

1. Kriteria Dar al-Islam
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan identitas suatu negara apakah termasuk dar
al-Islam. Diantara mereka ada yang melihat dari sudut hukum yang berlaku di negara
tersebut. Ada pula yang memandang dari sisi keamanan warganya menjalankan syari’at
Islam. Semantara ada juga yang melihat dari sisi pemegang kekuasaan tersebut.
Dari sudut hukum yang berlaku di negara tersebut;
Imam Abu Yusuf, tokoh terbesar madzhab Hanafi berpendapat bahwa suatu negara
disebut dar al-Islam bila berlaku hukum Islam di dalamnya, meskipun mayoritas
warganya tidak muslim.
Sementara dar al-harb, menurutnya adalah negara yang tidak meberlakukan hukum
Islam, meskipun sebagian besar penduduknya beragama Islam.

Dalam pemikiran modern, pandangan demikian dianut oleh Sayyid Quthb. Ia memandang
bahwa negara yang menerapkan hukum islam adalah dar al-Islam, tanpa mensyaratkan
penduduknya harus muslim. Pendapat ini berbeda dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang
mensyaratkan penduduknya harus mayoritas muslim.
Dari sisi keamanan warganya menjalankan syariat Islam; Imam Abu Hanifah
membedakan dar al-Islam dan dar al-harb berdasarkan rasa aman yang dinikmati
penduduknya. Bila umat Islam merasa aman dalam menjalankan aktivitas keagamaan
mereka, maka negara tersebut termasuk dar al-Islam. Sebaliknya, bila tidak ada rasa aman,
maka negara tersebut termasuk dar al-harb.
Dari sisi pemegang kekuasaan negara tersebut;
Menurut al-Rafi’i (salah seorang tokoh madzhab Syafi’i), suatu negara dipandang
sebagai dar al-Islam apabila dipimpin oleh seorang muslim.

Menurut Javid Iqbal, dar al-Islam adalah negara yang pemerintahannya dipegang umat Islam,
mayoritas penduduknya beragama Islam dan menggunakan hukum Islam sebagai undangundangnya. Karena kekuasaan mutlak berada pada Allah, makadar al-Islam harus
menjunjung tinggi supremasi hukum Islam; selanjutnya, karena masyarakat muslim harus
diperintah menurut hukum Islam, maka pemimpin pemerintahannya juga harus muslim agar
mereka dapat melaksanakan hukum Islam.
Dalam perkembangan dunia modern, kriteria ini telah bergeser. Suatu negara disebut dar alIslam bila penduduknya mayoritas beragama Islam, meskipun negara tersebut tidak
sepenuhnya menjalankan hukum Islam contohnya Indonesia dan Mesir. Di samping itu,

kriteria penerapan hukum Islam dalam suatu negara tentu merupakan hal terpenting dalam
menentukan suatu negara disebut dar al-Islam, meskipun tidak sepenuhnya penduduknya
beragama Islam, contohnya Iran, Malaysia, dan Pakistan. Kedua kriteria inilah yang
digunakan oleh Organisasi Konperensi Islam (OKI) dalam menetapkan hukum Islam.
2. Pembagian Dar al-Islam
Berdasarkan tingkat kesucian wilayah dan hak non-muslim untuk menetap di wilayah Dar alIslam, maka dar al-Islam terbagi dalam 3 bagian, yaitu: tanah suci, Hijaz, dan selain
keduanya.
a. Tanah suci (Kota Mekah dan wilayah sekitarnya).
Menurut jumhur ulama kota Madinah termasuk dalam wilayah ini. Di kedua wilayah ini nonmuslim tidak boleh menetap. Bahkan untuk kota Mekah, di sekitar al-Masjid al-Haram, nonmuslim sama sekali tidak boleh memasukinya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, kafir
dzimmi dan kafir mu’ahid boleh memasuki Makkah tidak untuk menetap di dalamnya.
b. Wilayah Hijaz
Wilayah ini boleh dimasuki non-muslim dengan mendapat jaminan keamanan dari
pemerintahan Islam. Tetapi mereka tidak boleh menetap di wilayah ini melebihi 3 hari.
Ketentuan ini berdasarkan keputusan Khalifah ‘Umar bin Khaththab yang mengijinkan
orang-orang Yahudi tinggal di Hijaz selama 3 hari untuk urusan dagang. Dalam al-Ahkam alShulthaniyah dijelaskan bahwa jika mereka bertempat tinggal di salah satu tempat di Hijaz
lebih dari 3 hari, maka mereka dikenakan ta’zir jika mereka tidak diberi izin sebelumnya.

Wilayah dan negara-negara Islam lainnya;
Di wilayah ini, pemerintah Islam boleh melakukan akad dzimmah dengan non-muslim.
Mereka boleh masuk dan menetap di wilayah ini untuk sementara waktu berdasarkan

perjanjian yang disetujui kedua belah pihak.
3. Pembagian Dar al-Harb
Muhammad Iqbal dalam bukunya menjelaskan bahwa dar al-harb dibedakan menjadi 3
kategori:
1.

Negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur pokok dar al-Islam, yaitu

pemberlakuan hukum Islam dan kekuasaan politik yang berada di tangan non-muslim.
2.

Negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok dar al-Islam, meskipun tidak

utuh. Wilayahnya dikuasai non-muslim dan hukum yang berlaku bukan hukum Islam, namun
umat Islam yang menetap dinegara tersebut diberi kelonggaran untuk melaksanakan sebagian
hukum Islam.
3.

c. Negara yang dikategorikan sebagai dar al-harb. Wilayah ini dikuasai oleh

pemerintahan non-muslim dan tidak memberlakukan hukum Islam. Penduduk Muslim yang
menetap di sini tidak mendapat kesempatan untuk menjalankan ajaran agamanya. Dar alharb dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu Dar al-harb yang menjadi tempat
harbiyyun dan tidak terikat perjanjian atau hubungan diplomatik dengan negara Islam;
dan Dar al-Muwada’ah atau dar al-Muhadanah
C. Pembagian Penduduk
Dengan berlandaskan pada agama yang diyakini seseorang, mempertimbangkan Negara yang
menjadi tempat tinggalnya dan ada atau tidaknya ikatan perjanjian dengan pemerintahan
Islam, para ulama fiqih membagi kewarganegaraan seseorang menjadi muslim dan nonmuslim. Orang non-muslim terdiri dari ahl al-zimmi, musta’min, dan harbiyun.
Penduduk Dar al-islam terdiri dari muslim, ahl al-zimmi dan musta’min, sedangkan
penduduk dar al-harb terdiri dari muslim dan harbiyun.

1. Muslim
Berdasarkan tempat menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
Pertama mereka yang menetap di dar al-Islam dan mempunyai komitmen yang kuat untuk
mempertahankan dar al-Islam. Termasuk kedalam kelompok ini adalah orang Islam yang
menetap sementara waktu di dar al-Islam sebagai musta’min dan tetap komitmen kepada
Islam serta mengakui pemerintahan Islam.
Kedua, muslim yang tinggal menetap di dar al-harb dan tidak berkeinginan untuk hijrah
ke dar al-Islam. Status mereka, menurut Imam Malik, SYafi’i dan Ahmad, sama dengan
muslim lainnya di dar al-Islam. Harta benda dan jiwa mereka tetap terpelihara. Namun
menurut Abu Hanifah, mereka berstatus sebagai penduduk harbiyun, karena berada di negara
yang tidak dikuasai Islam. Konsekuensinya, harta benda dan jiwa mereka tidak terjamin.
2. Ahl al-Zimmi
Kata dzimmah berarti perjanjian, atau jaminan dan keamanan. Disebut demikian karena
mereka mempunyai jaminan perjanjian (‘ahd) Allah dan Rasul-Nya, serta jamaah kaum
Muslim untuk hidup dengan rasa aman di bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan
masyarakat Islam. Mereka (orang-orang kafir ini) berada dalam jaminan keamanan kaum
Muslim berdasarkan akaddzimmah.
Implikasinya adalah, mereka termasuk ke dalam warga negara Darul Islam.
Akad dzimmah mengandung ketentuan untuk membiarkan orang-orang non muslim tetap
berada dalam keyakinan/agama mereka, disamping menikmati hak untuk memperoleh
jaminan keamanan dan perhatian kaum Muslim. Syaratnya adalah mereka
membayar jizyah serta tetap berpegang teguh terhadap hukum-hukum Islam di dalam
persoalan-persoalan publik. Landasan adanya penarikan jizyah dari ahl al-zimmi yaitu
dalam SuratAt Taubah ayat 29.
Unsur-unsur seseorang dikatakan ahl al-zimmi yaitu: Non-muslim, baligh, berakal, laki-laki,
bukan budak, tinggal di dar al-Islam dan mampu membayar jizyah.

Yang dikatakan non-muslim adalah ahl al-Kitab, murtad, dan orang musyrik.
1.

Sebagaimana pendapat Abu Bakar ibnu Ali al-Jashshash yang dikutip oleh Dr.

Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqh syiasah ahl al-Kitab yang tergolong ahl alzimmi yaitu Yahudi dan Nasrani, serta Majusi.
2.

Mayoritas ulama sepakat mengenai ketidakbolehan orang-orang murtad melakukan

akad zimmah dengan pemerintahan Islam, berdasarkan firman Allah QS. Al-Fath, 48:16, yang
artinya: Kamu perangi mereka, atau mereka sendiri menyerah masuk Islam.
3.

Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan menerima orang musyrik sebagai ahl al-

zimmi. Mazhab Syafi’i, Hambali, Zahiri, dan Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa
pemerintahan Islam tidak boleh menerima orang musyrik yang bukan ahl alKitab sebagai ahl al-zimmi dan memungut jizyah mereka. Mereka berlandaskan pada QS. AlTaubah, 9:5: Perangilah orang-orang musyrik dimana pun kamu bertemu dengan
mereka. Sedangkan Imam Malik, al-Auza’i dan Ibn Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa
jizyah boleh diambil dari orang non-muslim mana pun, tanpa memandang mereka
sebagai ahl al-Kitab atau bukan.
3. Musta’min
Menurut Ahli Fiqih musta’min adalah orang yang memasuki wilayah lain dengan mendapat
jaminan keamanan dari pemerintah setempat, baik ia muslim maupun harbiyun. Menurut alDasuki yang dikutip oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya FiqihSiyasah,
antara musta’min dan mu’ahid mempunyai pengertian sama. Mu’ahid adalah orang non
muslim yang memasuki wilayahDar al-Islam dengan memperoleh jaminan keamanan dari
pemerintah Islam untuk tujuan tertentu, kemudian ia kembali ke wilayahDar al-Harb.
Para Ulama berbeda pendapat mengenai masa berlakunya perjanjian jaminan keamanan
bagi musta’min. Menurut Mazhab Syafi’i tidak boleh melebihi empat bulan. Menurut
Mazhab Maliki yaitu jika perjanjian tersebut tidak dibatasi oleh waktu, maka dalam waktu
empat bulan berakhir dengan sendirinya. Sedangkan jika dibatasi oleh waktu, maka
perjanjian berakhir sesuai kesepakatan. Menurut Mazhab Hanafi dan Syi’ah Zaidiyah,
maksimal selama satu tahun. Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal menentukan
paling lama, yaitu empat tahun.

4. Harbiyun
Kafir Harbi adalah setiap orang kafir yang tidak tercakup di dalam perjanjian (dzimmah)
kaum Muslim, baik orang itu kafir mu’ahid atau musta’min, atau pun bukan kafir
mu’ahid dan kafir musta’min.
Ditinjau dari aspek hukum, kafir harbi dibagi menjadi dua, yaitu (1) kafir harbi hukman,
artinya secara de jure (secara hukum) kafir harbi, dan (2) kafir harbi fi’lan atau kafir harbi
haqiqatan (de facto) yakni orang-orang kafir yang tengah berperang/memerangi kaum
Muslim.
Terhadap kafir harbi muharibah fi’lan (yaitu negara kafir yang de facto tengah memerangi
kaum Muslim), maka Daulah Islamiyah tidak dibolehkan melakukan interaksi apapun kecuali
jihad fi sabilillah. Tidak diperkenankan membuka hubungan diplomatik, hubungan dagang,
atau perjanjian lainnya. Warga negara kafir harbi muharibah fi’lan tidak memperoleh
jaminan keamanan kecuali jika mereka datang ke Daulah Islamiyah untuk mendengarkan
Kalamullah.
Terhadap kafir harbi ghairu muharibah fi’lan (yaitu negara kafir yang de facto tidak sedang
berperang dengan Daulah Islamiyah), maka dibolehkan melakukan interaksi, seperti
mengadakan perjanjian perdagangan, perjanjian untuk bertetangga baik. Terhadap warga
negaranya dibolehkan mengunjungi/memasuki wilayah Daulah Islamiyah, baik untuk
kepentingan dagang, melancong, atau keperluan lainnya yang dibolehkan, sesuai dengan teks
perjanjian bilateral (jika terikat dengan suatu perjanjian