Tugas matkul hukum bisnis tentang perlin

Nama

: Rega Widya Parastri

NIM

: 16080324061

Kelas

: S1 Pendidikan Tata Niaga

Matkul

: Hukum Bisnis

Dosen pengampu mata kuliah : Finisica Dwijayati Patrikha, S.Pd., M.Pd.
Tugas Mata Kuliah Hukum Bisnis
1) Bagaimana cara mengajukan perlindungan konsumen ?
Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang
dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Yang dimaksud
konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. (Pasal 1 UUPK)
Berdasarkan UU No. 8 Pasal 1 Butir 1 Tahun 1999, tentang perlindungan
konsumen disebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui unangundang khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang
yang selalu merugikan hak konsumen.
Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya,
konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan konsumen tersebut dapat
menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh
pelaku usaha. Perlindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang ini adalah
adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian
hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan atas hukum untuk memperdayakan
kosumen dengan memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/ jasa
berdasarkan kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila
dirugikan oleh pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen
akan haknya masih rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh rendahnya pendidikan

konsumen. Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat
dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan
konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.
Berikut ini sebagaimana telah dipaparkan, bagaimana cara mengajukan perlindungan
konsumen, yaitu sebagai berikut :
 Melalui atau melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan
dan pendidikan konsumen. Hal ini dimaksudkan dapat menjadi landasan hukum
yang kuat bagi pemerintah dan bagi lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat.
 Perlunya upaya pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan UndangUndang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integrative dan
komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif dan efesien di dalam
masyarakat. Di samping itu, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
dalam pelaksanaanya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha
kecil dan menengah. Hal ini dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan
sanksi atas pelanggarannya.
 Melalui atau berdasarkan dengan piranti hukum yang melindungi konsumen
dan dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang nanti akan mendorong
lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui

penyediaan barang dan/ atau jasa yang berkualitas dan bermanfaat.
 Melalui atau berlandaskan pada Undang-Undang tentang Perlindungan
Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan
nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang
memberikan

perlindungan

terhadap

konsumen

adalah

dalam

rangka

membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah
kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi

negara Undang-Undang Dasar 1945.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan
perlindungan adalah:


Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27, dan
Pasal 33.



Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaga
Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara
Republik Indonesia No. 3821).



Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha-Usaha Tidak Sehat.




Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif
Penyelesian Sengketa.



Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Pengawasan dan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.



Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001
Tentang Penanganan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada seluruh dinas
Indag Prop/Kab/Kota.



Surat

Edaran


Direktur

Jenderal

Perdagangan

Dalam

Negeri

No.

795/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen.
2) Guna mengajukan perlindungan konsumen
Kegunaan mengajukan perlindungan konsumen yaitu sebagai berikut :
 Konsumen lebih yakin dan terlindung kesehatan dan keamanannya dari tingkah
buruk para yang mungkin saja memasukkan bahan berbahaya atau terlarang ke
dalam produk tersebut.
 Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri.
 Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari
ekses negatif pemakaian barang dan/ jasa.
 Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
 Menetapkan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
 Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha.
 Meningkatkan kualitas barang dan/ jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/ jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen.
3) Keuntungan mengajukan perlindungan konsumen

Berikut ialah keuntungan dalam mengajukan perlindungan konsumen yaitu :
a) Konsumen mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan/ jasa.
b) Konsumen memiliki hak untuk memilih barang dan/ jasa serta mendapatkan
barang dan/ jasa serta mendapatkan barang dan/ jasa tersebut sesuai dengan

nilai tukar serta kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c) Konsumen mendapatkan dan dapat mengetahui informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ jasa.
d) Konsumen mendapatkan dan dapat mengajukan keluhan berupa pendapat atau
saran atas barang dan/ jasa yang digunakan.
e) Konsumen memiliki dan mendapatkan advokasi, perlindungan konsumen, dan
upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut dan adil.
f) Konsumen mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
g) Konsumen mendapatkan pelayanan dan perlakuan engan baik, benar, dan jujur
serta tidak diskriminatif.
h) Konsumen mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ atau pergantian jika
barang dan/ jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian dan sebagaimana
mestinya.
4) Kerugian mengajukan perlindungan konsumen
Berikut ialah kerugian dalam mengajukan perlindungan konsumen yaitu :
a) Konsumen terkadang merasa kurang puas atas kenyaman, keamanan, dan
keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/ jasa karena tidak sesuai minat
dan kebutuhan yang konsumen inginkan.
b) Konsumen terkadang tidak dapat memilih barang dan/ jasa serta tidak
mendapatkan barang dan/ jasa tersebut jika tidak sesuai dengan nilai tukar dan

kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c) Konsumen salah mengartikan informasi yang didapatkan dan hal tersebut
menjadikan konsumen kurang puas atas bentuk pelayanan di dalam bagian
informasi yang tidak sesuai harapan konsumen serta dapat terjadinya kesalah
pahaman antara konsumen dengan pelaku usaha.
d) Konsumen terkadang merasa tidak puas apabila keluhan atau pendapat tidak
segera direspon atau ditanggapi dengan baik dan tanggap.

e) Konsumen akan protes jika ia tidak mendapatkan advokasi, perlindungan
konsumen, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen tidak
segera diproses atau diurus sesuai dengan perjanjian atau kesepakatan yang
telah dibuat antara konsumen dengan pelaku usaha, jika itu terjadi
berkelanjutan maka konsumen berhak atau akan mengambil tindakan secara
hukum.
f) Konsumen akan kecewa dan tidak puas apabila konsumen tidak mendapatkan
pembinaan dan pendidikan konsumen sesuai dengan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
g) Konsumen terkadangt merasa tidak puas dan merasa kecewa apabila tidak
mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau pergantian jika barang dan/ jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian dan tidak sebagaimana mestinya.

5) Hukum larangan monopoli
Larangan praktik monopoli dalam dunia usaha dan persaingan usaha yang tidak
sehat tercantum dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Menurut Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat definisi monopoli adalah penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Sedangkan yang dimaksud dengan Praktek monopoli adalah pemusatan
kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Secara umum materi Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat meliputi hal-hal berikut ini:
a. Perjanjian yang Dilarang
Ketentuan Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 undang-undang tersebut telah
menetapkan jenis-jenis perjanjian yang dapat menimbulkan terjadinya praktik
monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat sehingga antara pelaku usaha yang
satu dengan lainnya dilarang untuk membuatnya.


Perjanjian yang dilarang ini, berupa:
1. Penguasaan produksi dan/ atau pemasaran barang dan/ atau jasa
(perjanjian oligopoli).
2. Penetapan harga atau mutu suatu barang dan/ atau jasa yang harus
dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang
sama, penetapan harga secara diskriminatif terhadap barang dan/ atau
jasa yang sama untuk pembeli yang berbeda, penetapan harga di bawah
harga pasar dan larangan menjual kembali barang atau jasa yang dibeli
dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan
(perjanjian penetapan harga).
3. Pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/
atau jasa (perjanjian pembagian wilayah).
4. Penghalangan untuk melakukan usaha yang sama baik untuk tujuan
pasar dalam negeri maupun luar negeri. Penolakan penjualan setiap
barang atau jasa (perjanjian pemboikotan).
5. Pengaturan produksi dan/ atau pemasaran suatu barang dan/ atau jasa
untuk memengaruhi harga (perjanjian kartel).
6. Pembentukan gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar
dengan tetap menjaga atau mempertahankan kelangsungan hiup
masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan
untuk mengontrol produksi barang dan/ atau pemasaran atas barang
dan/ atau jasa (perjanjian trust).
7. Penguasaan

pembelian

atau

penerimaan

pasokan

agar

dapat

mengendalikan harga atas barang dan/ atau jasa dalam pasar
bersangkutan (perjanjian oligopsoni).
8. Penguasaan produksi sejumlah produk yang termasuk ke dalam
rangkaian produksi barang dan/ atau jasa tertentu mana setiap
rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan,

baik dalam suatu rangkaian langsung maupun tidak langsung
(perjanjian integrasi vertikal).
9. Persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/ atau jasa hanya
memasok atau tidak memasok kembali barang dan/ atau jasa tersebut
terhadap pihak tertentu dan/ atau pada tempat tertentu (perjanjian
tertutup).
10. Perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha
tidak sehat (perjanjian dengan pihak luar negeri).
b. Kegiatan yang Dilarang
Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan/ atau persaingan usaha tidak sehat juga dilarang Undang-Undang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Kegiatan-kegiatan yang dimaksud meliputi:
1. Penguasaan atas produksi dan pemasaran barang dan/ atau jasa
(kegiatan monopoli).
2. Penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/
atau jasa dalam pasar bersangkutan (kegiatan monopsoni).
3. Penolakan atau penghalangan pengusaha tertentu untuk melakukan
kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; penghalangan
konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan

hubungan

usaha

dengan

pengusaha

pesaing;

pembatasan peredaran atau penjualan barang dan/ atau jasa pada
pasar bersangkutan; praktik monopoli terhadap peng-usaha
tertentu; jual rugi atau penetapan harga yang sangat rendah untuk
menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar yang
bersangkutan; dan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi
dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga
barang dan/ atau jasa (kegiatan penguasaan pasar).

4. Persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan menetukan
pemenang tender dan/ atau untuk mendapatkan informasi kegiatan
usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan
dan/ atau menghambat produksi dan/ atau pemasaran barang dan/
atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan/
atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar yang bersangkutan
menjadi berkurang, baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan
waktu yang dipersyaratkan (kegiatan persekongkolan).
c. Posisi Dominan
Posisi dominan dapat pula mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/
atau persaingan usaha yang tidak sehat. Karena itu, posisi dominan sebagaimana
yang diatur dalam ketentuan Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 Undang-Undang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.
Dalam ketentuan Pasal 25 Ayat (2) Undang-Undang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat juga dilarang ditentukan bahwa pelaku usaha
memiliki potensi dominan apabila memenuhi kriteria di bawah ini:
a) Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50%
atau lebih pangsa pasar satu jenis barang dan/ atau jasa tertentu.
b) Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai
75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang dan/ atau jasa tertentu.
Posisi dominan bisa timbul melalui hal-hal berikut ini:
a) Jabatan rangkap pada lebih dari satu perusahaan dalam pasar
bersangkutan yang sama atau memiliki keterkaitan yang erat dalam
bidang dan jenis usaha secara bersama-sama menguasai pangsa pasar
produk tersebut. (Pasal 26)
b) Pemilikan saham mayoritas pada perusahaan sejenis dengan bidang
usaha yang sama dan pasar yang sama. (Pasal 27)
c) Penggabungan, peleburan, pengambil alihan. (Pasal 28)

6) Contoh praktik monopoli (secara legal dan ilegal)
 Contoh praktik monopoli secara legal ialah sebagai berikut:


Kasus PT Carrefour dengan KPPU

Seiring dengan perkembangan, persaingan usaha, khususnya pada
bidang ritel diantara pelaku usaha semakin keras. Untuk mengantisipasinya,
Pemerintah dan DPR menerbitkan Undang Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
praktek Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan hadirnya
undang - undang tersebut dan lembaga yang mengawasi pelaksanaannya, yaitu
KPPU, diharapkan para pelaku usaha dapat bersaing secara sehat sehingga
seluruh kegiatan ekonomi dapat berlangsung lebih efisien dan memberi manfaat
bagi konsumen.
Di dalam kenyataan yang terjadi, penegakan hukum UU praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ini masih lemah. Dan kelemahan
tersebut "dimanfaatkan" oleh pihak Carrefour Indonesia untuk melakukan
ekspansi bisnis dengan mengakuisisi PT Alfa Retailindo Tbk. Dengan
mengakuisisi 75% saham PT Alfa Retailindo Tbk dari Prime Horizon Pte Ltd
dan PT Sigmantara Alfindo. Berdasarkan laporan yang masuk ke KPPU, pangsa
pasar Carrefour untuk sektor ritel dinilai telah melebihi batas yang dianggap
wajar sehingga berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat.
Dari latar belakang di atas dapat ditarik suatu permasalahan sebagai
berikut : Sejauh mana PT Carrefour melanggar Undang Undang No. 5 Tahun
1999, sanksi apa yang telah diberikan untuk pelanggaran tersebut, dan apa yang
seharusnya dilakukan oleh pemerintah dalam menangani kasus tersebut ?
Kasus PT Carrefour sebagai Pelanggaran Undang Undang No. 5
Tahun 1999. Salah satu aksi perusahaan yang cukup sering dilakukan adalah
pengambil alihan atau akuisisi. Dalam UU No. 40/3007 tentang perseroan

terbatas disebutkan bahwa hanya saham yang dapat diambil alih. Jadi, asset dan
yang lainnya tidak dapat di akuisisi.
Akuisisi biasanya menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan
efisiensi dan kinerja perusahaan. Dalam bahas inggrisnya dikenal dengan
istilah acquisition atau take over. Pengertian acquisition atau take over adalah
pengambilalihan suatu kepentingan pengendalian perusahaan oleh suatu
perusahaan lain. Istilah Take Over sendiri memiliki 2 ungkapan:
1. Friendly take over (akuisisi biasa)
2. Hostilr take over (akuisisi yang bersifat "mencaplok"), Pengambil alihan
tersebut ditempuh dengan cara membeli saham dari perusahaan tersebut.
Esensi dari akuisisi adalah praktek jual beli. Dimana perusahaan
pengakuisisi akan menerima hak atas saham dan perusahaan terakuisisi akan
menerima hak atas sejumlah uang harga saham tersebut. menurut pasal 125 ayat
(2) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa
pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan.
Jika pengambilalihan dilakukan oleh perseorangan, maka keputusan akuisisi
harus mendapat persetujuan dari RUPS. Dan pasal yang sama ayat 7
menyebutkan pengambilalihan saham perseroan lain langsung dari pemegang
saham tidak perlu didahului dengan membuat rancangan pengambil alihan,
tetapi dilakukan langsung melalui perundingan dan kesepakatan oleh pihak
yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap
memperhatikan anggaraan dasar perseroan yang diambil alih.
Dalam mengakuisisi perusahaan yang akan mengambil alih harus
memperhatikan kepentingan dari pihak yang terkait yang disebutkan dalam UU
No. 40 tahun 2007, yaitu Perseroan, Pemegang Saham Minoritas, Karyawan
Perseroan, Kreditor, Mitra Usaha lainnya dari Perseroan, masyarakat serta
persaingan sehat dalam melakukan usaha.
Dalam sidang KPPU tanggal 4 November 2009, Majelis Komisi
menyatakan Carrefour terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 17
(1) dan Pasal 25 (1) huruf a UU No.5/1999 tentang larangan praktik monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat. Pasal 17 UU No.5/1999, yang memuat

ketentuan mengenai larangan bagi pelaku usaha untuk melakukan penguasaan
pasar, sedangkan Pasal 25(1) UU No.5/1999 memuat ketentuan terkait dengan
posisi dominan.
Majelis Komisii menyebutkan berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh
selama pemeriksaan

perusahaan itu pangsa pasar perusahaan ritel itu

meningkat menjadi 57,99% (2008) pasca mengakuisisi Alfa Retailindo. Pada
2007, pangsa pasar perusahaan ini sebesar 46,30%. Sehingga secara hukum
memenuhi kualifikasi menguasai pasar dan mempunyai posisi dominan,
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 Ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999.
Berdasarkan pemeriksaan, menurut Majelis KPPU, penguasaan pasar
dan posisi dominan ini disalahgunakan kepada para pemasok dengan
meningkatkan dan memaksakan potongan- potongan harga pembelian barang barang pemasok melalui skema trading terms. Pasca akuisisi Alfa Retailindo,
sambungnya, potongan trading terms kepada pemasok meningkat dalam kisaran
13%-20%. Pemasok, menurut majelis komisi, tidak berdaya menolak kenaikan
tersebut karna nilai penjualan pemasok di Carrefour cukup Signifikan.
Kesimpulannya :
Pelanggaran etika bisnis dapat melemahkan daya siang hasil industri
dipasar internasional. Ini bisa terjadi sikap para pengusaha kita. Kecendrungan
makin banyaknya pelanggaran etika bisnis membuat keprihatinan banyak pihak.
Pengabaian etika bisnis dirasakan akan membawa kerugian tidak saja buat
masyarakat, tetapi juga bagi tatanan ekonomi nasional. Disadari atau tidak, para
pengusaha yang tidak memperhatikan etika bisnis akan menghancurkan nama
mereka sendiri dan negara.



Kasus PT PLN
PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) adalah perusahaan pemerintah

yang bergerak di bidang pengadaan listrik nasional. Hingga saat ini, PT. PLN
masih merupakan satu-satunya perusahaan listrik sekaligus pendistribusinya.

Dalam hal ini PT. PLN sudah seharusnya dapat memenuhi kebutuhan listrik
bagi masyarakat, dan mendistribusikannya secara merata.
Usaha PT. PLN termasuk ke dalam jenis monopoli murni. Hal ini
ditunjukkan karena PT. PLN merupakan penjual atau produsen tunggal, produk
yang unik dan tanpa barang pengganti yang dekat, serta kemampuannya untuk
menerapkan harga berapapun yang mereka kehendaki.
Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga.
Dapat disimpulkan bahwa monopoli pengaturan, penyelengaraan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan
hukumnya ada pada negara. Pasal 33 mengamanatkan bahwa perekonomian
Indonesia akan ditopang oleh 3 pemain utama yaitu koperasi, BUMN/D (Badan
Usaha Milik Negara/Daerah), dan swasta yang akan mewujudkan demokrasi
ekonomi yang bercirikan mekanisme pasar, serta intervensi pemerintah, serta
pengakuan terhadap hak milik perseorangan. Penafsiran dari kalimat “dikuasai
oleh negara” dalam ayat (2) dan (3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan
tetapi utamanya dalam bentuk kemampuan untuk melakukan kontrol dan
pengaturan serta memberikan pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada
azas kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Contoh kasus monopoli yang dilakukan oleh PT. PLN adalah:
1.

Fungsi PT. PLN sebagai pembangkit, distribusi, dan transmisi listrik

mulai dipecah. Swasta diizinkan berpartisipasi dalam upaya pembangkitan
tenaga listrik. Sementara untuk distribusi dan transmisi tetap ditangani PT.
PLN. Saat ini telah ada 27 Independent Power Producer di Indonesia. Mereka
termasuk Siemens, General Electric, Enron, Mitsubishi, Californian Energy,
Edison Mission Energy, Mitsui & Co, Black & Veath Internasional, Duke
Energy, Hoppwell Holding, dan masih banyak lagi. Tetapi dalam menentukan
harga listrik yang harus dibayar masyarakat tetap ditentukan oleh PT. PLN
sendiri.

2.

Krisis listrik memuncak saat PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN)

memberlakukan pemadaman listrik secara bergiliran di berbagai wilayah
termasuk Jakarta dan sekitarnya, selama periode 11-25 Juli 2008. Hal ini
diperparah oleh pengalihan jam operasional kerja industri ke hari Sabtu dan
Minggu, sekali sebulan. Semua industri di Jawa-Bali wajib menaati, dan sanksi
bakal dikenakan bagi industri yang membandel. Dengan alasan klasik, PLN
berdalih pemadaman dilakukan akibat defisit daya listrik yang semakin parah
karena adanya gangguan pasokan batubara pembangkit utama di sistem
kelistrikan Jawa-Bali, yaitu di pembangkit Tanjung Jati, Paiton Unit 1 dan 2,
serta Cilacap. Namun, di saat yang bersamaan terjadi juga permasalahan serupa
untuk pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU Muara Tawar dan
PLTGU Muara Karang.
Dikarenakan PT. PLN memonopoli kelistrikan nasional, kebutuhan
listrik masyarakat sangat bergantung pada PT. PLN, tetapi mereka sendiri tidak
mampu secara merata dan adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hal ini
ditunjukkan dengan banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan listriknya belum
terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak sebagaimana
contoh diatas. Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi
masyarakat, dan investor menjadi enggan untuk berinvestasi.
Kesimpulan :
Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa PT. Perusahaan Listrik
Negara (Persero) telah melakukan tindakan monopoli, yang menyebabkan
kerugian pada masyarakat. Tindakan PT. PLN ini telah melanggar Undangundang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

 Contoh praktik monopoli secara ilegal ialah sebagai berikut:
1. Kartel Penetapan Layanan Tarif Short Message Service (SMS)
KPPU berhasil membongkar praktek kartel yang dilakukan enam
perusahaan seluler selama 2004-2008 yang menetapkan persekongkolan

harga tarif SMS Rp 350/SMS, konsumen dirugikan mencapai Rp 2,827
triliun.
Keenam perusahaan operator seluler tersebut diantaranya PT
Excelcomindo Pratama Tbk (XL), PT Telkomsel, PT Telkom, PT Bakrie
Telecom Tbk, PT Mobile-8 Telecom Tbk dan PT Smart Telecom yang telah
dihukum denda oleh KPPU.
Namun hingga sampai saat ini, kerugian konsumen yang mencapai
Rp 2,827 triliun belum bisa ditemukan cara pengembalian ganti
kerugiannya.

2. Kartel Garam
Praktik kartel garam ini berhasil dibongkar KPPU mulai 2005.
Garam yang "dimainkan" adalah bahan baku garam yang dipasok di
Sumatera Utara. Pelakunya hanya beberapa perusahaan atau pengusaha.
Hingga kini KPPU masih melakukan pengawasan ketat agar kartel jenis ini
tak terjadi lagi.
3. Kartel minyak goreng curah
Berdasarkan Putusan KPPU No 24/KPPU-I/2009 yang ditetapkan
pada 4 Mei 2010, diputuskan ada price pararelism harga minyak goreng
kemasan dan curah, dimana 20 produsen minyak goreng terlapor selama
April-Desember 2008 melakukan kartel harga dan merugikan masyarakat
setidak-tidaknya sebesar Rp 1,27 triliun untuk produk migor kemasan
bermerek dan Rp 374.3 miliar untuk produk migor curah.
Namun keputusan KPPU tersebut kandas di tangan Mahkamah
Agung (MA) yang menolak keputusan KPPU tersebut atas keberatan yang
dilakukan 20 produsen minyak goreng yang menjadi terlapor.
4. Kartel Obat Hipertensi jenis amplodipine besylate
KPPU menyatakan PT Pfizer Indonesia dan PT Dexa Medica
bersalah telah melakukan kartel dengan menghukum setiap anggota

kelompok usaha Prizer yang menjadi terlapor membayar denda Rp25
miliar.
Sedangkan Dexa Medica dinilai bersalah melakukan kartel
penetapan harga dan dihukum membayar denda Rp 20 miliar dan
diperintahkan perusahaan farmasi nasional untuk menurunkan harga
tensivask sebesar 60% dari harga neto apotek.
5. Kartel penetapan harga tiket dalam Fuel Surcharge
Berdasarkan putusan KPPU No.25/KPPU/2010 Tanggal 4 Mei,
memutuskan menghukum sembilan maskapai diantaranya PT Sriwijaya, PT
Metro Batavia (Batavia Air), PT Lion Mentari Airlines (Lion Air), PT
Wings Abadi Airlines (Wings Air), PT Merpati Nusantara Airlines, PT
Travel Express Aviation Service dan PT Mandala Airlines bersalah telah
melakukan kartel dengan melakukan kesepakatan harga patokan avtur
selama 2006-2009. Praktek tersebut menyebabkan konsumen merugi
hingga Rp 13,8 triliun. KPPU pun menghukum sembilan maskapai dengan
ganti rugi total sebesar Rp 586 miliar.
Namun Mahkamah Agung menolak keputusan MA atas gugatan
keberatan sembilan maskapai atas putusan KPPU tersebut.

7) Alasan Indonesia menerapkan Undang-Undang Anti Monopoli
Prospek UU No. 5 Tahun 1999 Dalam Mencegah Terjadinya Praktek Monopoli
Tujuan UU Antimonopoli Indonesia adalah menjaga kepentingan umum, meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menciptakan iklim
usaha yang kondusif melalui persaingan sehat, mewujudkan kegiatan usaha yang efektif
dan efisien dengan melarang monopoli.
Ketentuan UU Antimonopoli baru dapat diterapkan kepada pelaku usaha yang
membuat perjanjian jika perjanjian tersebut mempunyai akibat terhadap pasar yang
bersangkutan, yaitu terjadi praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Perjanjian yang bersifat rule of reason adalah ketentuan pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal
11, pasal 16, pasal 22, pasal 23, dan pasal 24. Perjanjian horisontal yang ditetapkan di
dalam UU Antimonopoli adalah sebagai berikut :

·
Penetapan Harga
Ketentuan pasal 5 ayat 1 adalah apa yang dikenal dengan larangan price fixing
secara horisontal. Ketentuan pasal 5 ayat 1 tersebut adalah suatu larangan yang per se.
artinya, para pelaku usaha otomatis ditindak oleh KPPU, jika mereka membuat
perjanjian penetapan harga, tanpa memperhatikan apakah akan terjadi persaingan usaha
tidak sehat atau tidak sebagai akibat penetapan harga tersebut, karena yang mengalami
akibat dari perjanjian tersebut adalah konsumen/ pembeli.
Dengan demikian harga yang di bayar oleh konsumen / pembeli bukanlah
harga yang ditentukan oleh persaingan antar pelaku usaha, dan melalui proses antara
permintaan dan penawaran, melainkan karena ditetapkan oleh para pelaku usaha yang
membuat perjanjian price fixing tersebut.
Penetapan harga suatu barang atau jasa tertentu ditetapkan berdasarkan banyak
faktor, dan dalam sistem ekonomi pasar penetapan harga juga ditentukan oleh
persaingan antar pelaku usaha pesaing. Menurut prinsip dasar persaingan usaha, harga
atas suatu barang atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen tidak boleh ditetapkan
oleh siapapun, termasuk asosiasi-asosiasi ekonomi seperti INACA.
·

Diskriminasi Harga dan Diskon
Larangan penetapan diskriminasi (price discrimination) disebutkan dalam pasal
6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
tersebut menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang
mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari
harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 tersebut, diskriminasi harga dilarang apabila pelaku
usaha membuat suatu perjanjian dengan pelaku usaha lain yang mengakibatkan pembeli
yang satu harus membayar harga yang tidak sama atau berbeda dengan harga yang
harus dibayar pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama, karena hal ini dapat
menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat di kalangan pelaku usaha atau dapat
merusak persaingan usaha.
Dalam hal ini terdapat tiga jenis dan tingkatan strategis diskriminasi harga, di mana
setiap tingkatan menuntut informasi yang berbeda mengenai konsumen, yaitu:
Diskriminasi harga sempurna

Di mana produsen akan menetapkan harga yang berbeda untuk setiap
konsumen. Dengan menerapkan strategi ini, produsen akan menyerap seluruh
surplus konsumen, sehingga dapat mencapai laba yang paling tinggi.
Diskriminasi tingkat harga kedua,
Pada strategi ini produsen menerapkan harga yang berbeda untuk setiap
pembelinya berdasarkan jumlah barang yang dibeli. Pembeli yang bersedia
membeli barang lebih banyak diberikan harga per unit yang lebih murah.
Diskriminasi harga umumnya ditetapkan produsen yang mengetahui bahwa
permintaan atas produk mereka beragam secara sistematik berdasarkan
karakteristik konsumen dan kelompok demografis.
·

Pembagian Wilayah Pasar
Pembagian wilayah pasar di antara pelaku usaha yang saling bersaing
merupakan salah satu bentuk perjanjian horisontal (kartel) yang dilarang oleh UU
Antimonopoli. Ketentuan pasal 9 menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan untuk membagi wilayah
pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan/ atau jasa sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat.
Unsur yang harus dipenuhi dari ketentuan pasal 9 adalah bahwa pelaku usaha harus
saling bersaing pada pasar yang sama dan membuat suatu perjanjian pembagian wilayah
pemasaran. Akibat dari kesepakatan pembagian wilayah pemasaran tersebut, wilayah
pemasaran masing-masing pelaku usaha menjadi terbatas.

·
Pemboikotan
Pemboikotan salah satu hambatan persaingan diatur di dalam ketentuan pasal
10 UU Antimonopoli. Syarat-syarat terpenuhinya suatu pemboikotan adalah saat para
pelaku usaha yang saling bersaing pada pasar yang sama membuat suatu perjanjian
diantara mereka. Perjanjian yang dibuat mempunyai akibat bagi pelaku usaha yang lain,
yaitu menghambat untuk masuk kepasar yang bersangkutan (pasal 10 ayat 1). Hal yang
lazim dilakukan dalam pemboikotan adalah pemboikotan pemasaran atau pembelian
suatu barang atau jasa tertentu yang dilakukan oleh pelaku usaha yang saling bersaing
sehingga merugikan pelaku usaha yang lain (pasal 10 ayat 2).

·
Penetapan Jumlah Produksi
Ketentuan pasal 11 mengatur larangan pengaturan jumlah produksi dan / atau
pemasaran suatu barang atau jasa tertentu yang bermaksud untuk mempengaruhi harga
yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat.
Ketentuan pasal 11 tersebut dapat dikenakan, jika pelaku usaha yang saling bersaing
membuat perjanjian yang menetapkan jumlah produksi atau pemasaran barang tertentu.
Perjanjian tersebut harus mempunyai tujuan, yaitu untuk melakukan kegiatan
koordinasi produksi dan pemasaran yang mempengaruhi harga barang atau jasa tertentu
yang mengganggu (menghambat) persaingan pada pasar yang bersangkutan. Unsurunsur ketentuan pasal 11 adalah:
Adanya perjanjian di antara pelaku usaha
Mengatur jumlah produksi
Mengatur pemasaran suatu barang dan/atau jasa
Bermaksud untuk mempengaruhi harga
Dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat.
·

Persekongkolan
Persekongkolan yang ditetapkan di dalam pasal 22 sampai pasal 24 mengenai
pengaturan tender, tukar menukar informasi, dan hambatan masuk pasar menunjukkan
bahwa UU Antimonopoli juga mengenal unsur yang disebut saling menyesuaikan
perilaku pasar pelaku usaha (kegiatan kolusif).
Persekongkolan merupakan perjanjian horisontal yang dilakukan tanpa
membuat suatu perjanjian tertulis. Sejauh mana pembuktian suatu kegiatan
persekongkolan, dapat dilihat dari kondisi pasar yang bersangkutan, yaitu terhambatnya
persaingan diantara pelaku usaha karena penyesuaian perilaku pelaku usaha yang satu
yang diikuti secara sengaja (sadar) oleh pelaku usaha yang lain untuk mencapai tujuan
yang sama.
Pasal 22 mengatur larangan persekongkolan antara pelaku usaha dengan pihak
lain untuk mengatur dan/ atau menentukan pemenang tender sehingga dapat
mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Persekongkolan yang biasanya dilakukan
dalam tender adalah untuk mempengaruhi harga yang akan ditawarkan oleh peserta

tender. Yang menjadi penghambat dalam penerapan pasal 22 tersebut adalah ketentuan
pasal 1 angka 8, yang menetapkan bahwa persekongkolan atau konspirasi bentuk kerja
sama antara pelaku usaha yang satu dengan yang lain untuk menguasai pasar yang
bersangkutan bagi pelaku usaha yang bersekongkol.
Ketentuan pasal 23 mengatur hambatan persaingan melalui tukar menukar
informasi antara pelaku usaha dengan pihak lain (pihak ketiga). Diasumsikan pihak
ketiga memberikan informasi pelaku usaha yang bersifat rahasia secara strategis yang
dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
Persekongkolan yang ditetapkan pasal 24 sebenarnya adalah suatu larangan
tindakan pemboikotan seperti yang ditetapkan di dalam pasal 10. Pelaku usaha dilarang
bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan / atau pemasaran
barang dan / atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan barang atau jasa
pesaingnya berkurang pada pasar yang bersangkutan, baik dari jumlah, kualitas,
maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Dalam aspek perilaku ini ditelusuri bentuk praktek yang tidak lazim dilihat dan
standar persaingan yang sehat dan jujur. Berbagai tindakan dan upaya secara tidak sehat
untuk menyingkirkan pelaku usaha lainnya (misalnya trust, kartel, price fixing,
diskriminasi harga, pembagian wilayah, dll) biasa dimasukkan kedalam praktek
monopoli dan persaingan tidak sehat.

Monopoli dan Persaingan Usaha merupakan hal biasa dalam kegiatan ekonomi.
Sejauh kegiatan itu dilakukan dalam rambu-rambu hukum, implikasi penerapan
monopoli dan persaingan usaha tidak bisa dihindari dalam mekanisme ekonomi pasar.
Hanya bedanya apa yang terjadi sebelum adanya Undang-undang No.5 Tahun 1999
praktek-praktek monopoli maupuan persaingan tidak diatur dalam koridor hukum yang
seharusnya.
Sesudah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Praktek Monopoli dalam kegiatan
bisnis dilarang jika terbukti merugikan pelaku usaha lain, konsumen, masyarakat
maupun negara. Undang-undang No. 5 Tahun 1999 menegaskan larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diantara para pelaku usaha dapat diancam
dengan sanksi administratif dan sanksi pidana. Ketentuan Undang-udang No. 5 Tahun
1999 telah memenuhi prinsip Undang-undang Anti Monopoli dalam mengatur Struktur
Pasar dan perilaku bisnis, karena memuat gabungan dua pengaturan yang di masukkan

dalam satu kitab per undang-undangan baik itu mengenai Undang-undang Anti
Monopoli maupun peraturan perundangan yang menyangkut persaingan usaha
atau Competition Act.
Penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia diserahkan kepada Komisi
Pengawas Persaingan usaha (KPPU), selain keterlibatan aparat Kepolisian, Kejaksaan
dan Pengadilan. Penegakan pelanggaran hukum persaingan harus dilakukan terlebih
dahulu melalui KPPU. penegakan hukum persaingan usaha dapat dilakukan oleh
Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan saja. Karena Pengadilan merupakan tempat
penyelesaian perkara resmi yang dibentuk oleh negara. Namun untuk hukum persaingan
usaha, pada tingkat pertama penyelesaian sengketa antar pelaku usaha tidak dapat
dilakukan oleh pengadilan. Alasannya adalah karena hukum persaingan usaha
membutuhkan orang-orang yang memiliki latar belakang dan/atau mengerti betul seluk
beluk bisnis dalam rangka menjaga mekanisme pasar.
Pelaksanaan Undang-undang No.5 Tahun 1999 yang akan diterapkan pada
pelaku usaha yang melakukan praktek monopoli maupun praktek persaingan curang
harus dilaksanakan dengan berbagai pertimbangan efektifitas yang tepat. Sehingga tidak
mengganggu kepentingan efisiensi jalannya ekonomi negara secara keseluruhan, tetapi
tetap harus mengutamakan persaingan usaha yang sehat dan jujur.
8) Bentuk usaha yang dilarang di Indonesia
1. Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
2. Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli
tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai
penjual jumlahnya banyak.
3. Penguasaan pasar

Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan
praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;
b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan;
d. Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4. Persekongkolan
Adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku
usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan
pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).
5. Posisi Dominan
Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana
pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan
dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara
pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan,
kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan
pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
6. Jabatan Rangkap
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa
seorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan,
pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada
perusahaan lain.

7. Pemilikan Saham
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa
pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis,
melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama atau
mendirikan beberapa perusahaan yang sama.
8. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa
pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang
menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari
keuntungan.