Ekonomi Politik Keuangan Syariah di mata

Ekonomi Politik Keuangan Syariah
Friday, 19 January 2007

AGUNG VAZZA
Dorongan politik ternyata lebih berperan dalam pesatnya pertumbuhan sektor keuangan syariah di Eropa. Sektor
keuangan syariah. Rasanya, siapapun tak menyangkal, sektor yang satu ini sedang mengalami pertumbuhan sangat
pesat. Mulai dari produk-produk yang ditawarkan sampai pada semakin menjamurnya lembaga-lembaga keuangan
syariah itu sendiri, baik di dalam maupun di luar negeri.

Kalau dulu produk-produk keuangan syariah lebih didominasi pada produk-produk perbankan syariah, maka kini investor
bisa menemui produk yang lebih beragam. Obligasi syariah adalah salah satu yang sekarang marak ditawarkan di pasar
modal negeri ini. Juga reksadana syariah. Belum lagi produk-produk yang ditawarkan terkait asuransi syariah.
Makin beragamnya produk-produk keuangan syariah tentu saja tak lepas dari makin banyaknya lembaga-lembaga
keuangan syariah di negeri ini. Perbankan syariah tumbuh pesat, belum lagi asuransi syariah, bahkan pasar modal
syariah, serta lembaga-lembaga keuangan lain yang juga menerapkan prinsip-prinsip Islami. Semua itu pastinya
menyediakan alternatif selain produk-produk dan lembaga keuangan konvensional yang selama ini terkesan jadi satusatunya pilihan.
Di Indonesia, perkembangan sektor keuangan syariah itu, sesungguhnya mulai terjadi ketika negeri yang 90 persen
penduduknya menganut Islam ini berantakan dihantam krisis ekonomi, terutama di sektor perbankan. Saat itu, hampir
seluruh sektor keuangan konvensional lumpuh. Kalaupun ada yang mampu bertahan, itu adalah perbankan syariah.
Meski tak lepas juga dari imbasan krisis, perbankan syariah mampu tetap eksis, tanpa terlalu banyak mendapat
‘pertolongan’ pemerintah seperti halnya perbankan konvensional.

Dalam situasi dan kondisi seperti itulah, kemudian, banyak pihak menyadari ‘kekuatan’ sektor keuangan yang
menerapkan syariah. Sejak itulah pertumbuhan sektor keuangan syariah makin pesat. Perbankan konvensional seakan
berlomba-lomba membentuk unit-unit syariah, dengan beragam produk yang ditawarkan. Bahkan sejumlah bank sakit
yang sempat ‘dirawat’ di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dikonversikan seutuhnya menjadi bank syariah.
Secara keseluruhan, pesatnya pertumbuhan sektor keuangan syariah di Indonesia, terjadi lebih karena dorongan
ekonomi, akibat berantakannya keuangan konvensional dihantam krisis ekonomi. Kenyataan serupa sebenarnya juga
terjadi di dunia internasional, bahkan di kawasan yang selama ini dikenal sebagai kekuatan sektor keuangan
konvensional seperti Amerika Serikat dan Eropa.
Selain dorongan ekonomi akibat krisis ekonomi yang juga sempat melanda, pertumbuhan sektor keuangan syariah di
dunia internasional, antara lain juga terjadi lantaran dorongan politik. Dan berbicara soal politik dunia, jelas nama Amerika
Serikat (AS) tak bisa begitu saja diabaikan.
Kebijakan politik Paman Sam terhadap konflik Israel dan Palestina, bisa dikata menjadi awal pertumbuhan keuangan
syariah dunia, khususnya di Eropa. Banyak investor Timur Tengah yang kemudian menaruh dananya di sektor keuangan
Eropa. Tentu saja ini menjadi dorongan bagi sejumlah perusahaan pengelola investasi di Eropa untuk membuka
windows-windows syariah.

Uniknya, kebanyakan dari perusahaan investasi Eropa itu, sebenarnya, juga merupakan mitra dari perusahaan investasi
yang berbasis di AS. Sebut saja misalnya King and Spalding, sebuah firma hukum yang menawarkan jasa advis untuk
investasi di produk-produk syariah, yang berbasis di AS. Menurut mitra firma hukum ini di Eropa, seperti dikutip
International Herald Tribune (IHT), permintaan advis untuk investasi produk syariah di Eropa kini lebih banyak dari

suplainya.
Kenyataan itu barangkali cukup jelas mencerminkan besarnya dorongan politik dalam pertumbuhan keuangan syariah di
dunia internasional. Meski tak lepas juga dari dorongan ekonomi, namun sebagian investor Islami mengalihkan
investasinya dari AS ke Eropa, juga Asia Tenggara, lantaran kebijakan politik Paman Sam terhadap persoalan Israel dan
Palestina.
Dorongan politik seperti itu semakin terasa ketika terjadi peristiwa yang mengejutkan seluruh penjuru dunia, runtuhnya
menara kembar kebanggaan AS, World Trade Center (WTC), 11 September 2001. Setelah peristiwa yang kemudian
dikenal dengan istilah The Black September itu, pemerintahan Paman Sam langsung mengeluarkan sejumlah ketentuan
baru, dan lebih ketat, yang dianggap mendiskreditkan dunia Islam.
Kebijakan itulah yang kemudian mengakibatkan muncul kekhawatiran di kalangan investor muslim. Mereka khawatir
pemerintah AS bakal memeriksa (mengaudit) habis-habisan, atau secara berlebihan, rekening investasi dan keuangan.
Alhasil, kalangan investor muslim merasa lebih terancam untuk berinvestasi di AS. Lantaran itulah, ditambah
memburuknya perekonomian AS, mereka pun mengalihkan dananya ke kawasan seperti Eropa dan Asia Tenggara.
Dan keunikan kembali terjadi. Ketika kalangan investor mengalihkan dana ke Eropa, mereka tetap berinvestasi di Inggris.
Padahal, Inggris juga diketahui langsung melakukan investigasi terhadap jaringan dana-dana investasi Islam. Bedanya,
kemudian pemerintah Inggris, dalam hal ini Britain’s Financial Services Authority and Anti Terrorism Unit, mengeluarkan
pernyataan; setelah melakukan investigasi terhadap jaringan dana investasi Islam, dipastikan tidak ada dana atau
transaksi mencurigakan.
Pernyataan itulah yang dianggap melegakan kalangan investor muslim, terutama dari Timur Tengah. Produk-produk
keuangan syariah dan lembaga keuangan syariah pun berkembang pesat di Inggris. Bahkan Inggris kini dikenal juga

sebagai negara Eropa pertama yang mengembangkan produk real estat syariah.
Paman Sam boleh saja berpromosi tidak mendiskreditkan Islam terkait The Black September. Tapi, ketika justru AS yang
mempertajam konflik dengan Irak, sampai akhirnya melahirkan perang yang dikecam dunia internasional, kalangan
investor muslim justru merasa lebih terancam ketimbang sebelumnya.
Saat perang, investor dari negara-negara Timur Tengah, seolah makin semangat berinvestasi di Eropa, dengan memilih
instrumen investasi jangka pendek. Ini terjadi lantaran mereka merasa perlu menjaga likuiditas. Dan setelah perang usia,
sebuah keunikan kembali terjadi. Investor muslim tadi bukannya menarik kembali investasinya, melainkan justru
mengalihkan ke instrumen investasi jangka panjang.
Usut punya usut, ternyata, kalangan investor tadi masih merasa khawatir besarnya sentimen anti-AS bakal mengganggu
likuiditas mereka. Real estat, pasar kredit, serta saham-saham teknologi dan medikal (kesehatan) jadi pilihan investasi
jangka panjang mereka.
Betul. Dorongan ekonomi memang tak lepas dari pergerakan dana investor muslim yang pada gilirannya mempercepat
pertumbuhan produk dan lembaga keuangan syariah ke Eropa dan Asia Tenggara. Namun, memperhatikan kenyataan
dan keunikan di atas, tak pelak dorongan politik pun jadi faktor penentu.
Khusus di Indonesia, barangkali, pertumbuhan sektor keuangan syariah yang terbukti tahan krisis, bakal lebih pesat jika
pemerintah berani mengeluarkan kebijakan politik yang mampu mengundang dana-dana investasi yang ‘kabur’ dari AS.
Kalau tidak, mungkin 90 persen penduduk Islam negeri ini cuma bisa gigit jari, melihat trtiliunan rupiah dana syariah
mengalir dan berputar di negara-negara di mana penduduk muslim jadi minoritas.

(Republika)


Etika Bisnis Syariah
Sunday, 11 June 2006

Dalam pandangan Al Quran, tanggung jawab individual sangat penting dalam sebuah transaksi bisnis. Setiap
individu bertanggungjawab terhadap semua transaksi yang dilakukannya. Tidak ada seorangpun yang memiliki
previlage tertentu atau imunitas untuk menghadapi konsekuensi terhadap apa yang dilakukannya. Dalam Al
Quran, hal tersebut merupakan alat pencegah terhadap terjadinya tindakan yang tidak bertanggungjawab,
karena setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat.
Al Quran dan Hadist telah memberikan resep tertentu dalam tatakrama demi kebaikan seorang pelaku bisnis.
Seorang pelaku bisnis diwajibkan berperilaku dengan etika bisnis sesuai dengan yang dianjurkan oleh Al Quran
dan Sunnah yang terangkum dalam 3 (tiga) garis besar, yakni :

1.

Murah Hati

2.

Motivasi untuk Berbakti


3.

Ingat Allah dan Prioritas Utama-Nya

Banyak ayat-ayat Al Quran dan Hadist Nabi yang memerintahkan kaum Muslimin untuk bermurah hati. Orang
yang beriman diperintahkan untuk bermurah hati, sopan dan bersahabat saat melakukan dealing dengan sesama
manusia. Al Quran secara ekspresif memerintahkan agar kaum Muslimin bersifat lembut dan sopan manakala
berbicara dengan orang lain sebagaimana yang tercantum dalam Surah Al Baqarah ayat 83 dan Surah Al Israa’
ayat 53.

Tindakan murah hati, selain bersikap sopan dan santun, adalah memberikan maaf dan berlapang dada atas
kesalahan yang dilakukan orang lain, serta membalas perlakuan buruk dengan perilaku yang baik, sehingga
dengan tindakan yang demikian musuh pun akan bisa menjadi teman yang akrab. Selain itu hendaknya seorang
Muslim dapat memberikan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan kapan saja ia dibutuhkan tanpa
berpikir tentang kompensasi yang akan didapat.

Manifestasi lain dari sikap murah hati adalah menjadikan segala sesuatu itu gampang dan lebih mudah serta
tidak menjadikan orang lain berada dalam kesulitan. Islam menginginkan para pemeluknya untuk selalu
membantu, dan mementingkan orang lain lebih dari dirinya sendiri ketika orang lain itu sangat

membutuhkannya dan berlaku moderat dalam memberikan bantuan.

Melalui keterlibatannya di dalam aktivitas bisnis, seorang Muslim hendaknya berniat untuk memberikan
pengabdian yang diharapkan oleh masyarakat dan manusia secara keseluruhan. Cara-cara eksploitasi

kepentingan umum, atau berlaku menciptakan sesuatu kebutuhan yang sangat artificial, sangat tidak sesuai
dengan ajaran Al Quran. Agar seorang Muslim mampu menjadikan semangat berbakti mengalahkan
kepentingan diri sendiri, maka ia harus selalu mengingat petunjuk-petunjuk berikut:

a.

Mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan orang lain;

b.
Memberikan bantuan yang bebas bea dan menginfakkannya
kepada orang yang membutuhkannya;
c.
baik.

Memberikan dukungan dan kerjasama untuk hal-hal yang


Seorang Muslim diperintahkan untuk selalu mengingat Allah, meskipun dalam keadaan sedang sibuk oleh
aktivitas mereka. Umat Islam hendaknya sadar dan responsive terhadap prioritas-prioritas yang telah ditentukan
oleh Sang Maha Pencipta. Prioritas-prioritas yang harus didahulukan adalah:

a. Mendahulukan mencari pahala yang besar dan abadi di akhirat
ketimbang keuntungan kecil dan terbatas yang ada di dunia;
b. Mendahulukan sesuatu yang secara moral bersih daripada
sesuatu yang secara moral kotor, meskipun akan mendatangkan keuntungan yang lebih besar;
c.

Mendahulukan pekerjaan yang halal daripada yang haram;

d. Mendahulukan bisnis yang bermanfaat bagi alam dan
lingkungan sekitarnya daripada bisnis yang merusak tatanan yang telah baik.

Dari bahasan singkat di atas dapat disimpulkan, bahwa perilaku bisnis yang baik dan benar telah di atur dengan
seksama di dalam Al Quran sebagai pedoman hidup yang komprehensif dan universal bagi seluruh umat
Islam. Dengan demikian marilah kita mulai menerapkan etika-etika bisnis menurut ajaran yang dibawa oleh
Rasulullah Shallullahu Alaihi wa Sallam sejak empat belas abad yang lalu tanpa perlu bimbang dan ragu lagi.

Penulis : Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Legitimasi Bisnis Syariah
Sunday, 11 June 2006

Al Quran sebagai pegangan hidup umat Islam telah mengatur kegiatan bisnis secara eksplisit, dan memandang
bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang menguntungkan dan menyenangkan, sehingga Al Quran sangat
mendorong dan memotivasi umat Islam untuk melakukan transaksi bisnis dalam kehidupan mereka.
Al Quran mengakui legitimasi bisnis, dan juga memaparkan prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk dalam
masalah bisnis yang dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) bagian, yakni sebagai berikut:

1.

Kebebasan dalam Usaha

2.

Keadilan Sosial

3.


Tatakrama Perilaku Bisnis

Al Quran mengakui hak individu dan kelompok untuk memiliki dan memindahkan suatu kekayaan secara bebas
dan tanpa paksaan. Al Quran mengakui otoritas deligatif terhadap harta yang dimiliki secara legal oleh seorang
individu atau kelompok. Al Quran memberikan kemerdekaan penuh untuk melakukan transaksi apa saja, sesuai
dengan yang dikehendaki dengan batas-batas yang ditentukan oleh Syariah. Kekayaan dianggap sebagai sesuatu
yang tidak bisa diganggu gugat dan tindakan penggunaan harta orang lain dengan cara tidak halal atau tanpa
izin dari pemilik yang sah merupakan hal yang dilarang. Oleh karena itu, penghormatan hak hidup, harta dan
kehormatan merupakan kewajiban agama sebagaimana terungkap dalam Surah An Nisaa’ ayat 29.

Pengakuan Al Quran terhadap pemilikan harta benda, merupakan dasar legalitas seorang Muslim untuk
mengambil keputusan yang berhubungan dengan harta miliknya, apakah dia akan menggunakan, menjual atau
menukar harta miliknya dengan bentuk kekayaan yang lain. Al Quran memberikan kebebasan berbisnis secara
sempurna, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Pembatasan dalam hal keuangan dan kontrol
pertukaran juga dibebaskan, karena hal itu menyangkut kebebasan para pelaku bisnis. Kompetensi terbuka
didasarkan pada hukum natural dan alami, yakni berdasarkan penawaran dan permintaan (supply dan demand).

Akan tetapi perlu diingat bahwa legalitas dan kebebasan di atas, jangan diartikan dapat menghapuskan semua
larangan tata aturan dan norma yang ada di dalam kehidupan berbisnis. Seorang Muslim diwajibkan

melaksanakan secara penuh dan ketat semua etika bisnis yang ditata oleh Al Quran pada saat melakukan semua
transaksi, yakni:
1.

Adanya ijab qabul (tawaran dan penerimaan) antara dua pihak yang

melakukan transaksi;
2.

Kepemilikan barang yang ditransaksikan itu benar dan sah

3.

Komoditas yang ditransaksikan berbentuk harta yang bernilai

4.

Harga yang ditetapkan merupakan harga yang potensial dan wajar

5.

Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak saat jika
mendapatkan kerusakan pada komoditas yang akan diperjualbelikan (Khiyar Ar-Ru’yah)
6.
Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak yang terjadi
dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak (Khiyar Asy- Syarth)

Meskipun dalam melakukan transaksi bisnis, seorang Muslim harus juga memperhatikan keadilan sosial bagi
masyarakat luas. Ajaran Al Quran yang menyangkut keadilan dalam bisnis dapat dikategorikan menjadi dua,
yakni bersifat imperatif (perintah) dan berbentuk perlindungan.

Salah satu ajaran Al Quran yang paling penting dalam masalah pemenuhan janji dan kontrak adalah kewajiban
menghormati semua kontrak dan janji, serta memenuhi semua kewajiban. Al Quran juga mengingatkan bahwa
setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya dalam hal yang berkaitan dengan ikatan janji dan kontrak
yang dilakukannya sebagaimana terdapat dalam Surah Al Israa’ ayat 34. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa
Al Quran menginginkan keadilan terus ditegakkan dalam melakukan semua kesepakatan yang telah disetujui.

Kepercayaan konsumen memainkan peranan yang vital dalam perkembangan dan kemajuan bisnis. Itulah
sebabnya mengapa semua pelaku bisnis besar melakukan segala daya upaya untuk membangun kepercayaan
konsumen. Al Quran berulangkali menekankan perlunya hal tersebut, melalui ayat-ayat yang memerintahkan
umat Islam untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan akurat, dan memperingatkan dengan
keras siapa saja yang melakukan kecurangan akan mendapat konsekuensi yang pahit dan getir dari Allah SWT.

Islam juga peduli terhadap hukum perlindungan terhadap hak-hak dan kewajiban mutualistik antara pekerja
dengan yang mempekerjakan. Etika kerja dalam Islam mengharuskan, bahwa gaji dan bayaran serta spesifikasi
dari sebuah pekerjaan yang akan dikerjakan harus jelas dan telah disetujui pada saat adanya kesepakatan awal,
dan pembayaran telah dilakukan pada saat pekerjaan itu telah selesai tanpa ada sedikitpun penundaan dan
pengurangan. Para pekerja juga mempunyai kewajiban untuk mengerjakan pekerjaannya secara benar, effektif,
dan effisien. Al Quran mengakui adanya perbedaan upah di antara pekerja atas dasar kualitas dan kuantitas
kerja yang dilakukan sebagaimana yang dikemukakan dalam Surah Al Ahqaaf ayat 19, Surah Al Najm
ayat 39-41.

Sungguh sangat menarik apa yang ada dalam Al Quran yang tidak membedakan perempuan dengan laki-laki

dalam tataran dan posisi yang sama untuk masalah kerja dan upah yang mereka terima, sebagaimana yang
terungkap dalam Surah Ali’ Imran ayat 195.

Al Quran memerintahkan kepada manusia untuk bertindak jujur, tulus, ikhlas, dan benar dalam semua
perjalanan hidupnya, dan hal ini sangat dituntut dalam bidang bisnis. Islam memerintahkan semua transaksi
bisnis harus dilakukan dengan jujur dan terus terang, dan tidak dibenarkan adanya penipuan, kebohongan serta
eksploitasi dalam segala bentuknya. Perintah ini mengharuskan setiap pelaku bisnis secara ketat berlaku adil
dan lurus dalam semua dealing dan transaksi bisnisnya.

Islam juga menganjurkan, untuk melakukan tugas-tugas dan pekerjaan tanpa ada penyelewelengan dan
kelalaian, dan bekerja secara efisien dan penuh kompentensi. Ketekunan dan ketabahan dalam bekerja dianggap
sebagai sesuatu yang mempunyai nilai terhormat. Suatu pekerjaan kecil yang dilakukan secara konstan dan
professional lebih baik dari sebuah pekerjaan besar yang dilakukan dengan cara musiman dan tidak
professional. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasullulah yang berbunyi “Sebaik-baiknya pekerjaan adalah yang
dilakukan penuh ketekunan walaupun sedikit demi sedikit.” (Hadist diriwayatkan oleh H.R. Tirmidzi).

Kompentensi dan kejujuran adalah dua sifat yang membuat seseorang dianggap sebagai pekerja handalan
seperti yang dinyatakan dalam Surah Al Qashash ayat 26.

Standard Al Quran untuk kepatutan sebuah pekerjaan adalah berdasarkan pada keahlian dan kompetensi
seseorang dalam bidangnya. Ini merupakan hal penting, karena tanpa adanya kompentensi dan kejujuran, maka
bisa dipastikan tidak akan lahir efisiensi dari seseorang. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi pemilik
otoritas untuk melakukan investigasi sebelum ia menentukan seseorang dalam jabatan publik tertentu, terutama
dalam posisi-posisi kunci dan pengambil keputusan.

Al Quran juga memerintahkan kaum Muslimin untuk melakukan penyelidikan dan verifikasi (tabayyun)
terhadap semua pernyataan dan informasi yang datang sebelum ia mengambil suatu keputusan dan
melaksanakan sebuah aksi (tindakan), serta melaksanakan investigasi terhadap komoditas tertentu sebelum
memutuskan untuk melakukan pembelian.

Dalam rangka penerapan keadilan dalam perilaku bisnis, Al Quran telah memberikan petunjuk-petunjuk yang
pasti bagi orang-orang yang beriman yang berguna sebagai alat perlindungan sebagaimana yang diatur dalam
Surah Al Baqarah ayat 282-283. Alat perlindungan yang dimaksud adalah mebuat kontrak pada saat bisnis
dilakukan, terutama untuk jual-beli yang dilakukan tidak dengan cara tunai (cash). Penulisan Kontrak tersebut
harus disertai dengan saksi, minimal 2 (dua) orang laki-laki atau 1 (satu) orang laki-laki dan 2 (dua) orang
perempuan. Perlindungan lainnya, bagi transaksi bisnis yang tidak dilakukan dengan tunai adalah jaminan
barang milik pihak yang berhutang kepada pihak yang memberi piutang hingga seluruh transaksi pembayaran

terakhir selesai dilaksanakan.

Dalam pandangan Al Quran, tanggung jawab individual sangat penting dalam sebuah transaksi bisnis. Karena
setiap individu bertanggungjawab terhadap semua transaksi yang dilakukannya dan tidak ada seorangpun yang
memiliki previlage tertentu atau imunitas untuk menghadapi konsekuensi terhadap apa yang dilakukannya. Hal
tersebut merupakan alat pencegah terhadap terjadinya tindakan yang tidak bertanggungjawab, karena setiap
orang akan dimintai pertanggung-jawabannya baik di dunia maupun di akhirat.

Penulis: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islam)

Spiritualitas Pemb. Ekonomi
Sunday, 11 June 2006

Sebelum terjadinya krisis multi dimensi pada tahun 1997 yang dampaknya masih terasa
hingga kini, para pakar ekonomi kapitalis yakin bahwa dengan pertumbuhan ekonomi akan memperbesar
“kue ekonomi”, sehingga setiap orang akan memperoleh lebih banyak bagian. Pertambahan Produk
Domestik Bruto bagi suatu negara atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) bagi suatu wilayah
daerah diyakini sebagai pertambahan kekayaan dan kesejahteraan masyarakat. Menurut David C. Korten
(2002), usaha yang tidak henti-hentinya dalam mengejar “pertumbuhan ekonomi” telah mempercepat
kehancuran sistem pendukung kehidupan yang ada di planet ini, memperhebat persaingan dalam
memperebutkan sumber daya, memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin, dan menggerogoti
nilai-nilai dalam hubungan keluarga dan masyarakat. Semakin terpusatnya kekuasaan yang semakin
hebat di tangan korporasi global dan lembaga-lembaga keuangan telah melucuti pemerintah dari
kemampuannya untuk menempatkan prioritas ekonomi, sosial dan lingkungan dalam kerangka
kepentingan umum yang lebih luas. PDB (PDRB) merupakan sebuah petunjuk nilai pasar secara kasar dari
transaksi uang terhadap barang dan jasa pada suatu bangsa atau regional. Sedangkan kerja produktif
yang dilakukan untuk diri sendiri tidak diperhitungkan, meskipun bermanfaat bagi kesejahteraan. Namun
sebaliknya, transaksi yang paling merugikan pun malahan dimasukkan selama diperhitungkan dengan
uang.PDB (PDRB) sama sekali tidak memperhatikan terkurasnya modal hidup, jumlah keseluruhan modal
manusia, sosial dan kelembagaan dalam memperbaharui diri, yang berfungsi sebagai fondasi kehidupan
dan peradaban. Ketika hutan dibabat habis atau laut dikuras habis, maka penjualan kayu atau ikan
dihitung sebagai tambahan kekayaan, tetapi perubahan yang diperlukan terhadap potensi produktif dan
eko-sistem yang hilang akibat eksploitasi tersebut tidak diperhitungkan. Hal yang sama juga terjadi pada
saat minyak bumi dan sumber mineral lain yang tidak dapat diperbaharui ditambang, biaya
mengeluarkannya diperhitungkan sebagai tambahan PDB (PDRB), tetapi tidak ada yang dikurangi akibat
terkurasnya modal fisik alami yang tersedia. Jadi, dengan demikian, mungkin sekali dengan ukuran
seorang Ekonom, ekonomi suatu negara atau wilayah daerah dianggap tumbuh dengan cepat sekali di
saat negara atau wilayah tersebut sedang menderita erosi yang parah dari potensi produktifnya serta
kesejahteraan para masyarakatnya di masa depan. Untuk mengetahui kemakmuran perekonomian suatu
negara atau wilayah daerah, kemudian para Ekonom membagi angka PDB (PDRB) dengan jumlah
penduduk, yang disebut dengan PDB (PDRB) per Kapita. Sebuah wilayah yang mempunyai PDRB per
Kapita yang tinggi akan dianggap sebagai sebuah wilayah yang makmur dan mempunyai tingkat
kesejahteraan ekonomi yang tinggi terlepas apakah terdistribusi secara seimbang ataupun terdapat
kesenjangan yang tinggi antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya.
Menurut Chapra (2000), setiap perekonomian dapat dikatakan telah mencapai efisiensi yang optimal
apabila telah menggunakan seluruh potensi sumber daya manusia dan materi yang terbatas sedemikian
rupa sehingga kuantitas barang dan jasa maksimum yang dapat memuaskan kebutuhan telah dihasilkan
dengan tingkat stabilitas ekonomi yang baik dan tingkat pertumbuhan berkesinambungan di masa yang
akan datang. Pengujian efisiensi tersebut terletak pada ketidak-mampuannya untuk mencapai hasil yang
lebih dapat diterima secara sosial tanpa menimbulkan ketidakseimbangan makro ekonomi dan sosial yang
berkepanjangan, atau merusak keserasian keluarga dan sosial atau tatanan moral dari masyarakat. Suatu
perekonomian dapat dikatakan telah mencapai keadilan yang optimal apabila barang dan jasa yang
dihasilkan didistribusikan sedemikian rupa. Sehingga, kebutuhan semua individu memuaskan secara
memadai. Di samping itu juga terdapat distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, tanpa
menimbulkan pengaruh buruk terhadap motivasi untuk bekerja, menabung, berinvestasi dan melakukan
usaha.Keadilan akan membawa kepada efisiensi dan pertumbuhan yang lebih besar. Keadilan dicapai
bukan saja dengan meningkatkan kedamaian dan solidaritas sosial, tetapi juga dengan meningkatkan

insentif bagi upaya dan inovasi yang lebih besar. Para Ekonom, sebelumnya berpandangan bahwa apabila
pertumbuhan dapat diakselerasi, mekanisme trickle-down pada akhirnya akan menyelesaikan
permasalahan kemiskinan dan distribusi pendapatan.Menurut mereka, redistribusi pendapatan yang
menguntungkan orang miskin kemungkinan tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam arti
output per kapita yang lebih besar.Keadilan menurut Qardhawi (1994) adalah keseimbangan antara
berbagai potensi individu baik moral ataupun material, antara individu dengan komunitas (masyarakat),
antara komunitas dengan komunitas. Keadilan tidak berarti kesamaan secara mutlak karena menyamakan
antara dua hal yang berbeda seperti membedakan antara dua hal yang sama. Kedua tindakan tersebut
tidak dapat dikatakan keadilan, apalagi persamaan secara mutlak adalah suatu hal yang mustahil karena
bertentangan dengan tabiat manusia. Dengan demikian, keadilan adalah menyamakan dua hal yang sama
sesuai dengan batas-batas persamaan dan kemiripan kondisi antar keduanya, atau membedakan antara
dua hal yang berbeda sesuai batas-batas perbedaan dan keterpautan kondisi antar keduanya.Arti keadilan
dalam ekonomi adalah persamaan dalam kesempatan dan sarana, serta mengakui perbedaan
kemampuan dalam memanfaatkan kesempatan dan sarana yang disediakan. Oleh sebab itu, tidak boleh
ada seorang pun yang tidak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan yang
memungkin-kannya untuk melaksanakan salah satu kewajibannya. Juga tidak boleh ada seorang pun
yang tidak mendapatkan sarana yang akan dipergunakan untuk mecapai kesempatan tersebut.

Untuk

mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang berkeadilan harus ada suatu sistem pasar yang sehat. Pasar itu
sebenarnya adalah sebuah mekanisme yang canggih, namun gampang dirusak, untuk menata kehidupan
ekonomi, sehingga setiap pribadi memberikan sumbangannya bagi keseluruhan dan juga memenuhi
kebutuhannnya sendiri dengan kebebasan penuh untuk melakukan pilihan pribadinya. Pasar yang sehat
menggalakkan keragaman, prakarsa dan kreativitas pribadi, dan upaya-upaya yang produktif (Korten,
2002).Pasar yang sehat sangat tergantung pada kesadaran para pesertanya, sehingga harus ada
persyaratan agar masyarakat umum menjatuhkan sanksi terhadap orang yang tidak menghormati hak
dan kebutuhan orang lain, serta mengekang secara sukarela dorongan pribadi mereka untuk melampaui
batas. Apabila tidak ada suatu budaya etika dan aturan-aturan publik yang memadai, maka pasar
gampang sekali dirusak. Pasar yang sehat, tidak berfungsi dengan paham individualisme ekstrem dan
kerakusan kapitalisme yang semena-mena, dan juga tidak berfungsi lewat penindasan oleh hierarki dan
yang tidak mementingkan diri sama sekali, seperti dalam komunisme. Kedua faham tersebut merupakan
penyakit yang amat parah.Sistem Kapitalisme telah memberikan kepada individu kebebasan yang luar
biasa, mengalahkan masyarakat dan kepentingan sosial, baik material maupun spiritual (Laissez Faire
Laissez Fasser). Sebaliknya, sistem komunisme merampas dari individu segala yang telah diberikan oleh
sistem kapitalisme, sehingga individu menjadi kurus, kusut, kehilangan motivasi dan kepribadian.
Kesemuanya itu dirampas dan kemudian diberikan kepada sesuatu yang disebut “masyarakat”, yang
tercermin dalam “Negara”. Negara menjadi gemuk dan berkuasa penuh. Padahal ia tidak lain adalah alat
yang terdiri atas sejumlah individu. Akhirnya sekelompok kecil orang menjadi gemuk dan berkuasa di atas
penderitaan orang lain, yang nota bene mayoritas dari masyarakat (Qardhawi, 1995).Oleh karena itu,
perlu dicari sebuah solusi dalam Ekonomi yang dapat merealisasikan keadilan antara hak-hak individu
dengan hak-hak kolektif suatu masyarakat. Pada saat ini, para ahli Ekonomi menggali kembali sistem
ekonomi Islam yang pernah berjaya sebelum abad pertengahan. Ruh sistem ekonomi Islam adalah
keseimbangan (pertengahan) yang adil. Ciri khas keseimbangan ini tercermin antara individu dan
masyarakat sebagaimana ditegakkannya dalam berbagai pasangan lainnya, yaitu dunia dan akhirat,
jasmani dan ruhani, akal dan nurani, idealisme dan fakta, dan pasangan-pasangan lainnya yang
disebutkan di dalam kitab Al Qur’an. Sistem Ekonomi Islam tidak menganiaya masyarakat, terutama
masyarakat lemah, seperti yang dilakukan oleh sistem kapitalis. Juga tidak menganiaya hak-hak
kebebasan individu, seperti yang dilakukan oleh komunis, terutama Marxisme. Akan tetapi, keseimbangan
di antara keduanya, tidak menyia-nyiakan, dan tidak berlebih-lebihan, tidak melampaui batas dan tidak
pula merugikan.Guna mencapai keseimbangan tersebut, dibutuhkan adanya lingkungan yang baik dan
sadar secara moral yang dapat membantu reformasi unsur manusia di pasar berlandaskan sebuah
keimanan. Dengan demikian akan melengkapi sistem harga di dalam memaksimalkan efisiensi maupun
keadilan pada penggunaan sumber daya manusia dan sumber daya materi lainnya. Namun, sangat sulit,

untuk mengasumsikan bahwa semua individu akan sadar secara moral kepada masyarakat, dan keimanan

Ekonomi
Islam itu Adil & Indah
memainkan peran komplementer (Chapra, 2000). Negara harus melakukannya dengan cara-cara yang
saja tidak akan mampu menghilangkan ketidakadilan sistem pasar, sehingga negara juga harus

tidak mengekang kebebasan dan inisiatif sektor swasta berlandaskan kerangka hukum yang dipikirkan
Friday, 16 June 2006
dengan baik, bersama dengan insentif dan hukuman yang tepat, check and balance untuk memperkuat
basis moral masyarakat dan menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif. Oleh karena itu, telah
dirasakan bahwa system ekonomi kapitalis sekuler yang membedakan antara kesejahteraan material
dengan masalah ruhaniah banyak membawa masalah dalam distribusi kesejahteraan yang adil dan
seimbang di antara masyarakat. Dengan demikian, sebagaimana yang dikemukakan oleh Fukuyama
(1995), bahwa perlu disadari, kehidupan ekonomi tertanam secara mendalam pada kehidupan sosial dan
tidak bisa dipahami terpisah dari adat, moral, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat di mana proses
ekonomi itu terjadi. Sehingga, membahas pembangunan ekonomi di Indonesia dengan memasukkan nilainilai Islam bukan suatu hal yang irrelevant. Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Guru marketing Hermawan Kartajaya sudah beberapa lama bergaul dengan praktisi keuangan
syariah. Ia mulai fasih mengatakan ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin. Beragama Katolik,
Hermawan malah berniat ikut dalam mengembangkan nilai marketing Islami. Berikut petikan wawancara
sesaat setelah peluncuran buku Sharia Marketing di Jakarta pekan lalu.
Sebetulnya apa beda marketing syariah dan konvensional?
Dalam dunia marketing itu ada istilah kelirumologi. Itu lho sembilan prinsip yang disalah artikan. Misalnya
marketing diartikan untuk membujuk orang belanja sebanyak-banyaknya. Atau marketing yang yang
pada akhirnya membuat kemasan sebaik-baiknya padahal produknya tidak bagus. Atau membujuk
dengan segala cara agar orang mau bergabung dan belanja. Itu salah satu kelirumologi ( merujuk istilah
yang dipopulerkan Jaya Suprana). Marketing syariah itu mengajarkan orang untuk jujur pada konsumen
atau orang lailn. Nilai syariah mencegah orang (marketer) terperosok pada kelirumologi itu tadi. Ada nilainilai yang harus dijunjung oleh seorang pemasar. Apalagi jika ia Muslim.
Apakah nilai marketing syariah bisa diterapkan umat lain?
Lha ya nilai Islam itu universal. Rahmatan lil alamin. Begitu kan istilahnya. Nabi Muhammad itu
menyebarkan ajaran Islam pasti bukan hanya untuk umat Islam saja. Jadi tidak apa-apa jika nilai
marketing syariah ini inisiatif orang Islam supaya bisa menginspirasikan orang lain. Makin banyak nonMuslim yang ikut menerapkan nilai ini, makin bagus. Saya ikut mengendorse marketing syariah. Soal
jujur itu kan universal. Jadi marketing syariah harus diketahui orang lain dalam rangka rahmatan lil
alamin itu.
Apa nilai inti marketing syariah?
Integrity atau tak boleh bohong. Transparansi. Orang kan tak boleh bohong. Jadi orang membeli karena
butuh dan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan, bukan karena diskonnya. Itu jika konsep marketing
dijalankan secara benar.
Bagaiman muasal perkembangan nilai spiritual dalam marketing
Sejalan dengan perkembangan dunia. Setelah September attack, orang melihat IQ dan EQ saja tidak
cukup. Harus ada SQ, spiritual quotient. Orang melihat
Apakah nilai marketing syariah ini akan bertahan?
Ya pasti sustain. Karena prinsip dasarnya kejujuran. Ini yang dibutuhkan semua orang. Apalagi setelah
kasus seperti Enron, Worldcom dan lainnya. Orang melihat bisnis itu harus jujur.
Lalu di mana peran ilmu marketing dalam konsep syariah
Syariah mengendorse marketing dan marketing mengendorse syariah. Ilmu marketing menyumbangkan
profesionalitas dalam syariah. Karena jika orang marketing tidak profesional, orang tetap tidak percaya.
Lihat saja bagaimana investor Timur Tengah belum mau investasi di Indonesia, meski negara ini
populasinya mayoritas Muslim. Karena mereka tidak yakin dengan profesionalitas kita. Jadi, jujur saja
tidak cukup.
Bukankan nilai kejujuran dan transparansi itu diajarkan semua agama
Ya. Memang semua agama mengajarkan nilai itu. Tapi jangan lupa bahwa islam itu rahmatan lil alamin.
Jadi, ada titik singgung. Bukankah lebih baik mencari yang serupa dari pada memperkarakan yang
berbeda. Jika begitu hidup kita damai. Menurut saya, tak mengapa kita sebut marketing syariah. Karena
mayoritas populasi di Indonesia itu Muslim. Jadi nilai syariah yang kita kedepankan. Kita mulai di sini, di
Indonesia. Ada bagusnya jika yang mengendorse itu orang Islam, bukan yang lain.

Setelah nilai spiritual konsep apa lagi yang akan mengemuka dalam dunia bisnis?

Millenium. Orang mencari
keseimbangan.
Memasarkan
dengan
Hati Maksudnya orang berbisnis itu harus menjaga kelangsungan

alam, tidak merusak lingkungan. Berbisnis juga ditujukan untuk menolong manusia yang miskin dan
Sunday, 02
July 2006
bukan
menghasilkan
keuntungan untuk segelintir orang saja. Nilai-nilai ini ke depan akan mengemuka.
Sekarang pertemuan para praktisi marketing mulai mengarah ke sana.
Syariah Marketing
Setelah mengenal Islam, apa pendapat Anda tentang nilai yang diajarkan
Islam agama yang universal dan komprehensif. Guidance-nya lengkap. Ada petunjuk untuk seorang
pedagang, kepala negara, seorang anak, panglima perang dan semuanya. Ada diatur secara lengkap. Di
atas semua itu Kalo
sayahati
melihat
Islam itu
ajaran
yang damai
dan
indah.
Ajaran Islam
bisa dipakai semua
sama-sama
enak,
keuntungan
jadi
nomor
kesekian,
karena
orang.
kesan
saya dan mengapa saya mau mempelajari nilai Islam untuk dikembangkan dalam
berkah Itu
yang
didamba.
konsep marketing. Saya sekarang menjadi aktivis lingkungan dan nilai-nilai.
Seorang sales wanita mempersentasikan produk pada klien dari
Sumber: Republika
beberapa
perusahaan. Setelah berjalan beberapa saat, sepertinya
customer kurang meresponnya. Maka, sang sales mulai menerapkan jurus
jitunya.
Tanpa ragu, ia–maaf–membuka kancing baju atas sambil presentasi.
Begitu seterusnya, tanpa canggung, satu persatu kancingnya pun
dibuka. Akhirnya, bersamaan dengan dibukanya kancing baju ketiga,
produk yang ditawarkan pun ludes.
Anda seorang marketer? Tentu pernah mendengar cerita di atas. Atau,
cerita lain yang berbeda 180 derajad. Cerita ini dialami oleh Sekjen
Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Muhammad Syakir Sula, saat
menunaikan ibadah haji tahun lalu.
Saat di Madinah, ia mengunjungi percetakan al-Qur'an terbesar di
dunia. Percetakan yang biasa membagikan al-Qur'an gratis ke seluruh
dunia ini, merupakan wakaf Kerajaan Saudi Arabia. Di percetakan ini,
Ketua Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) ini, membeli
beberapa al-Qur'an.
Salah satunya, al-Qur'an saku cetakan terbaru yang dihiasi kaligrafi
indah. Harganya 9 riyal (1 riyal sekitar Rp 2.700). Sayang,
percetakan ini hanya membolehkan pembelian maksimal 10. Karenanya,
ia pun keliling toko buku mencari al-Qur'an yang sama.
Sampailah di dua toko buku yang berdekatan. Yang satu menjual 12
riyal, tapi persediannya hanya 5. Sedangkan satunya yang masih
banyak persediannya, menjual 35 rial. Ia pun membeli di toko yang
menawarkan harga 12 riyal tanpa menawar, karena harganya masih wajar.
Ketika ia menawar di toko yang memasang harga 35 rial, si penjual
tak mau menurunkan harga. Sampai pada harga 20 rial, Arab ini tetap
tak mau. Pokoknya, ia keukeuh pada harga 35 rial. Ia lantas
protes. "Syekh, antum jualannya yang benar dong. Di sebelah hanya 12
riyal, masa di sini 35 riyal." Dengan santai, ia menjawab, "Naam di
sebelah 12 riyal, tapi di sini 35 riyal baru halal.
Akhirnya, ia meninggalkan toko sambil berbisik pada istrinya, "Dasar

pelit ni Arab." Rupanya, si penjual mengerti bahasa Indonesia.
Lantas bilang, "Saya tidak bakhil, tapi saat ini saya tidak ikhlas
jual 12 riyal." Sambil tersenyum, Syakir berbalik, salaman, kenalan,
dan minta maaf.
Karena penasaran, CEO Batasa Tazkia Consulting (BTC) ini, dua hari
kemudian mendatangi toko yang sama. Tapi, kali ini ia datang dengan
sikap sok akrab, karena sudah kenalan sebelumnya. "Assalamu'alaikum
syekh, kaifa haluk …," Ia mencoba basa-basi dalam bahasa Arab.
Setelah suasana menjadi akrab, ia bertanya, "Syekh, ana mau beli alQur'an ini 30, antum jual berapa?" Arab itu bilang, "Antum shahib
ana, 10 riyal halal." Karuan saja, Syakir pun kaget. "Kemarin antum
kasih 35 riyal, sekarang 10 riyal. Ana tau harga dipercetakan 9
riyal, jadi antum cuma untung 1 riyal."
Arab ini ketawa sambil memeluk dan berkata, "Akhi ana cuma perlu
berkahnya. Hari ini ana jual 10 riyal tapi ikhlas. Kalo antum
senang, ana dapat berkahnya. Kemarin, meski ana jual dengan untung
besar, tapi ana tak ikhlas, antum pun tak ikhlas, jadi tidak berkah."
Itulah cerita yang mengemuka saat Seminar dan Peluncuran Buku
Syariah Marketing yang diselenggarakan MarkPlus&Co di Hotel
Shangrila, Jakarta, Selasa (18/4). Selain Muhammad Syakir Sula,
seminar ini menghadirkan Staf Ahli Kementrian BUMN Aries Mufti,
Presiden MarkPlus&Co Hermawan Kertajaya, Pakar Ekonomi Syariah
Muhammad Syafii Antonio, dan praktisi bisnis syariah.
Selanjutnya, Syakir menjelaskan, cara penjualan seperti cerita
pertama di atas, sama sekali tak dibenarkan. Nilai-nilai universal,
apalagi agama, apapun agamanya, juga tidak membenarkannya.
Karenanya, diperlukan pelurusan terhadap penyimpangan praktik
marketing. Salah satu caranya, menggunakan pendekatan syariah.
Berdasarkan konsep inilah, Syakir Sula dan Hermawan Kertajaya
menyusun buku "Syariah Marketing." Dalam buku ini dipaparkan empat
karakteristik syariah marketing, yakni teistis (religius), etis
(beretika), realistis (fleksibel), dan humanistis (manusiawi).
Dua dari empat karakteristik ini dijelaskan Syakir sebagai berikut.
Pertama, teistis berarti marketer syariah harus membentengi diri
dengan nilai-nilai spiritual, karena marketing memang "akrab" dengan
riswah (suap), korupsi, kolusi, dan wanita. Untuk itu, ia harus
memiliki ketahanan moral, selalu mendekatkan diri pada Allah, dan
meyakini jika gerak-geriknya diawasi Sang Khalik.
Kedua, etis, artinya perilaku marketer syariah harus mengedepankan
akhlak, etika, dan moral. Ia harus mampu menjemput nilai-nilai
moral, agar mewarnai budaya marketing yang bermoral, beretika,
manusiawi, menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita. Tidak
menjadikan wanita sebagai obyek pemuas nafsu atau asesoris untuk

melariskan produk dan bisnis.
Apalagi, Rasul saw "melaknat penyuap dan orang yang disuap" (HR
Ahmad, at-Tarmidzi dan Ibn Majah). Dalam hadist lain, Rasul
mengatakan, termasuk orang yang dilaknat adalah ar-ra'isy, yakni
perantara terjadinya perbuatan maksiat antara keduanya.
Pada cerita yang kedua, Syakir menilai, pedagang Arab menerapkan
strategi bisnis dengan hati. Ia langsung menghujam ke jantungnya
pemasaran. How to win the heart share (bagaimana memenangkan hati
pelanggan). Prinsipnya berlandaskan ukhuwah Islamiyah baik pada
customer dan competitor.
Sehingga, ketika hati sama-sama enak, sama-sama suka, keuntungan
menjadi nomor kesekian, karena berkah yang didamba. "Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kamu," (Qs. An-Nisa 29).
Di dunia marketing, dikenal tiga medan pertempuran yang harus
dimenangkan. Pertama, strategi. Di sini, aspek segmentasi,
targeting, dan positioning harus lebih baik dari competitor, untuk
memenangkan perang pemikiran, how to win the mind share (bagaimana
menang di benak nasabah).
Kedua, taktik. Dalam bisnis harus mengenal dan memperhatikan aspek
diferensiasi (keunikan) dari produk kita. Ketiga, marketing mix atau
4P (product, price, place, promotion) dan selling. Kelima aspek ini
merupakan kekuatan utama untuk memenangkan persaingan di pasar. How
to win the market share (bagaimana memenangkan pasar).
Pedagang Arab itu mengetahui bagaimana caranya merayu, menarik hati
dan memberikan service yang langsung menyentuh hati para pembelinya.
Sehingga tercipta brand dirinya yang selalu diingat pelangganya.
Secara tak langsung, ia mempraktikkan marketing critical moment of
truth (suatu kesan yang sangat membekas dan tak akan terlupakan).
Tak heran jika beberapa hari kemudian, Syakir mengajak beberapa
kawannya yang kebetulan juga ingin membeli al-Qur'an, ke toko itu.
Secara tak sadar, ia telah menjadi agen pedagang Arab itu, tanpa
komisi dan sejenisnya.
Sementara itu, Hermawan Kertajaya mengatakan, secara umum pangsa
pasar syariah tergabi dua, yakni pasar rasional dan emosional. Pasar
rasional adalah pasar yang didasarkan pada nilai-nilai rasional,
seperti tingkat profit, kualitas layanan dan produk. Pangsa pasar
ini disebut pasar mengambang.
Sedangkan pasar emosional adalah pasar yang memilih bisnis berbasis
syariah karena pertimbangan halal haram dan kekhawatiran terhadap
riba. Tapi, persepsi ini sering dianggap salah oleh praktisi bisnis

syariah. Sesungguhnya, pasar emosional ini justru yang rasional,

Uang:
Perspektif
karena mereka
menghitungIslam
untung rugi di setiap hal yang mereka
lakukan.
Wednesday, 19 July 2006
Bukankah al-Qur'an memerintahkan, setiap manusia wajib mewujudkan
kebahagiaan akhirat tanpa melupakan kebahagiaan dunia. Karenanya,
meski pasar emosional sangat concern terhadap nilai-nilai syariah
dalam bisnis, bukan berarti mereka melupakan aspek rasional, seperti
untung rugi, kenyamanan, service, dan lainnya.
Jika begitu, ngapain buka kancing baju segala?
Dwi Hardianto
Laporan: Afriadi Murwanto
Sumber: Rubrik TIJARAH, Majalah SABILI edisi No. 22 Th XIII, 18 Mei 2006

PERSPEKTIF UANG DALAM EKONOMI SYARIAH

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat tidak dapat melakukan semuanya secara
seorang diri. Ada kebutuhan yang dihasilkan oleh pihak lain, dan untuk mendapatkannnya seorang
individu harus menukarnya dengan barang atau jasa yang dihasilkannya.

Namun, dengan kemajuan zaman, merupakan suatu hal yang tidak praktis jika untuk memenuhi suatu
kebutuhan, setiap individu harus menunggu atau mencari orang yang mempunyai barang atau jasa yang
dibutuhkannya dan secara bersamaan membutuhkan barang atau jasa yang dimilikinya. Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu sarana lain yang berfungsi sebagai media pertukaran dan satuan pengukur nilai untuk
melakukan sebuah transaksi. Jauh sebelum bangsa Barat menggunakan uang dalam setiap transaksinya,
dunia Islam telah mengenal alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, bahkan Al Quran secara eksplisit
menyatakan alat pengukur nilai tersebut berupa emas dan perak dalam berbagai ayat. Para fuqaha
menafsirkan emas dan perak tersebut sebagai dinar dan dirham.
Uang Dalam Pandangan al-Ghazali & Ibnu Khaldun
Jauh sebelum Adam Smith menulis buku “The Wealth of Nations” pada tahun 1766 di Eropa., Abu Hamid
al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau
menjelaskan, uang berfungsi sebagai media penukaran, namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu
sendiri. Maksudnya, adalah uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang
wajar dari pertukaran tersebut, dan uang bukan merupakan sebuah komoditi. Menurut al-Ghazali, uang
diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna. Maknanya
adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang. Dalam istilah ekonomi
klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility function), yang artinya
adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan memberikan kegunaan.
Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab “Muqaddimah” yang ditulis oleh Ibnu Khaldun.
Beliau menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara
tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif.
Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya
pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi
merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja,
meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya.
Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan
atau penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan
permintaan (demand), sehingga setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu
kota makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan akan murah,
demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang tidak akan
terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap jenis barang. Apabila satu barang
harganya naik, namun karena tidak terjangkau oleh daya beli, maka harga akan turun kembali.
Merujuk kepada Al-Quran, al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun uang adalah seorang

penjahat, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran. Dalam teori
moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil
terjadinya transaksi, sehingga perekonomian menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan bahwa
mencetak atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham. Mencuri adalah
suatu perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang
setiap kali uang palsu itu dipergunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka
waktu yang lebih panjang.
Fungsi Uang dalam Ekonomi Syariah vs Konvensional
Menurut konsep Ekonomi Syariah, uang adalah uang, bukan capital, sementara dalam konsep ekonomi
konvensional, konsep uang tidak begitu jelas. Misalnya dalam buku “Money, Interest and Capital” karya
Colin Rogers, uang diartikan sebagai uang dan capital secara bergantian. Sedangkan dalam konsep
ekonomi Syariah uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan merupakan public goods. Capital
bersifat stock concept dan merupakan private goods. Uang yang mengalir adalah public goods,
sedangkan yang mengendap merupakan milik seseorang dan menjadi milik pribadi (private good).
Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam ekonomi konvensional konsep
tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang
banyal membicarakan masalah externalities, public goods dan sebagainya. Konsep publics goods
tercermin dalam sabda Rasulullah SAW, yakni “Tidaklah kalian berserikat dalam tiga hal, kecuali air, api,
dan rumput.”
Persamaan fungsi uang dalam sistem Ekonomi Syariah dan Konvensional adalah uang sebagai alat
pertukaran (medium of exchange) dan satuan nilai (unit of account). Perbedaannya adalah ekonomi
konvensional menambah satu fungsi lagi sebagai penyimpan nilai (store of value) yang kemudian
berkembang menjadi motif money demand for speculation, yang merubah fungsi uang sebagai salah satu
komoditi perdagangan. Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali telah memperingatkan bahwa
“Memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang diperdagangkan,
niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang.”
Dengan demikian, dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena manfaat yang
didapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan dari fungsinya sebagai perantara untuk
mengubah suatu barang menjadi barang yang lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat
tukar dan satuan nilai mejadi komoditi dapat dirasakan saat ini, yang dikenal dengan teori “Bubble Gum
Economic”.
Peringatan Ibnu Tamiyah Akibat Menjadikan Uang Sebagai Komoditi
Dijadikannya uang sebagai komiditi telah menimbulkan dampak buruk dalam perekonomian secara global,
sebagiman yang dapat diraskan pada saat ini. Namun sebenarnya, dampak tersebut sudah diingatkan
oleh Ibnu Tamiyah yang lahir di zama