SEJARAH PENDIRIAN PERKEMBANGAN dDAN KEMU
SEJARAH PENDIRIAN DAN PERKEMBANGAN DINASTI UMAYYAH
A. Pendahuluan
Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak
akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut
sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat
mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka
mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan)[1]
Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan
cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun
peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang
mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang
pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh
muslim lainnya.[2] Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi
kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Dinasti ini dinisbatkan kepada Umayyah ibn Abd al-Syams ibn Abd al-Manaf,
nenek moyang Muawiyah ibn Abu Sufyan. Pendirian dinasti ini mempunyai akar sejarah
yang cukup panjang. Salah satunya dendam yang berurat akar dalam diri Umayyah dan
keturunannya kepada kelompok Bani Hasyim, nenek moyang Nabi Muhammad.
Umayyah ibn Abd Syams adalah musuh politik Hasyim ibn Abdul Manaf.
Keduanya masih keturunan Quraisy. Kedua kubu sering bertarung memperebutkan
kedudukan dan kehormatan.[3] Pertarungan mereka berujung pada pertarungan ideologi
agama, khususunya ketika Allah memilih salah satu keturunan Hasyim, yaitu
Muhammad menjadi Nabi. Mayoritas keturunan Umayyah berada di sebrang kekufuran
dan menjadi penentang utama Muhammad, sementara mayoritas keturunan Hasyim
berada di sebrang keimanan dan menjadi pendukung utama Muhammad.
Keputusan Allah untuk memilih salah satu keturunan Hasyim menjadi Nabi ini
menjadi kekalahan telak bagi Bani Umayyah, karena dengan misi agama baru ini,
Muhammad menjadi penguasa jazirah Arab yang paling dihormati sekaligus ditakuti,
sementara keturunan Bani Umayyah, yang diwakili oleh keluarga Abu Sufyan menjadi
kelompok yang hina, bahkan secara terpaksa dan dalam kondisi terdesak, mereka harus
mengikuti agama Muhammad, yaitu masuk islam pada waktu peristiwa Futuh al-Makkah
tahun 10 H.
Kekalahan telak ini menjadi kenangan pahit yang tidak bisa dilupakan oleh
keturunan Umayyah, sehingga di kemudian hari, salah satu penerusnya, yaitu Muawiyah
melakukan berbagai cara untuk membangun kekuasaan yang lebih besar dibanding apa
yang telah dilakukan Muhammad.
Muawiyah berhasil membangun pemerintahan melebihi apa yang telah di bangun
oleh saudaranya, Muhammad. Dengan mencontoh model pemerintahan Persia dan
Bizantium, dinastinya mampu memperluas kekuasaan islam yang tidak bisa dilakukan
oleh pemimpin islam sebelum dan sesudahnya. Khalifah-khalifah besar ini seperti
Muawiyah I, Abd al-Malik, al-Walid I, dan Umar ibn Abdul Aziz melakukan revolusi
pemerintahan yang melahirkan peradaban islam yang luar biasa.
Namun, sehebat-hebatnya sebuah kekuasaan politik, pada akhirnya akan
mengalami kemunduran atau kehancuran. Kehebatan Dinasti Umayyah hanya bisa
dirasakan sampai khalifah Umar ibn Abul Aziz. Setelah pemerintahannya, kekuasaan
Dinasti Umayyah semakin surut dan kemudian hancur pada masa raja terakhir, Marwan
II, setelah direbut oleh para pemegang bendera hitam, yaitu koalisi antara bani
Abbasiyah, Syiah, dan kelompok Khurasan. Maka berkakhirlah masa pemerintahan
Dinasti Umayyah jilid I. Kelak salah satu keluarga Dinasti Umayyah yang lolos dari
pengejaran kelompok Bani Abbasiyah akan mendirikan Dinasti Umayyah jilid II.
B. Kelahiran Dinasti Umayyah (41 H – 132 H/661-740)
Muawiyah ibn Abi Sufyan, yang pada waktu terbunuhnya Utsman ibn Affan, masih
menjabat sebagai gubernur Suriah, menolak membait Ali ibn Abi Tholib sebagai khalifah
keempat Khulafaur Rasyidin. Ia malah menuntut Ali untuk bertanggung jawab atas
kematian khalifah ketiga itu.[4]. Bahkan ia menyatakan memisahkan diri dari
pemerintahan Ali dan dibaiat oleh pengikutnya sebagai khalifah pada tahun 40 H/660 M
di Iliya (Yerusalem)[5]. Pembaitan ini menjadi cikal bakal berdirinya dinasti Umayyah
dan kelompok Muawiyah ini menjadi bughot pertama dalam sejarah Islam yang
memisahakan diri dari pemerintahan islam yang sah. Mereka mendirikan negara di dalam
Negara; dengan menjadikan Damaskus menjadi ibu kota pemerintahan islam. Padahal
pusat pemerintahan yang sah adalah kufah di bawah kepemimpinan Ali.
Setelah kematian Ali pada bulan Ramadhan tahun 40 H/661 M, putra tertua Ali
yang bernama al-Hasan diangkat menjadi pengganti Ali. Namun al-Hasan sosok yang
jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin
negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Oleh karena itu, ia melakukan
kesepakatan damai[6] dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya
kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai
antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk
memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.[7]
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas
kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia
menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki
jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk
melaksanakan
tugas-tugas
kekhalifahan,
aku
tidak
akan
ragu
berikrar
setia
kepadamu.”[8]
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu
halus, hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk
melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi
tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah
pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
C. Khalifah-Khalifah Dinasti Umayyah[9]
Ada 14 khalifah dinasti Umayyah. Keempat belas khalifah ini berasal dari dua
keluarga, yaitu keluarga Abu Sufyan dan Al-Hakam. Kedua-duanya cucu Umayyah bin
Abd Syams. Keluarga Abu Sufyan diwakili oleh Muawiyah I, Yazid I, dan Muawiyah II.
Keluarga al-Hakam diwakili oleh Marwan I, Abdul Malik, Walid I, Sulaiman, Umar,
Yazid II, Hisyam, Walid II, Yazid III, Ibrahim, dan Marwan II. Hubungan geneologis
dinasti Umayyah digambarkan dalam pohon silsilah berikut ini.
1. Muawiyah ibn Abu Sufyan atau Muawiyah I (41-60 H/661-679 M)
Nama lengkapnya Abu Abdurrahman Muawiyah bin Abu Sufyan. Ibunyya
Hindun ibnt Rubai’ah ibnt Abd Syam.[11] Sebagaimana disebutkan di bagian
pendahuluan bahwa Muawiyah seorang politisi ulung dan pendiri dinasti
Umayyah. Ia pantas disebut raja terbesar bani Umayyah karena jasa-jasanya dalam
membangun fondasi dinasti Umayyah sehingga sanggup bertahan sampai 91 tahun.
Hitti menggambarkan sosok Muawiyah ini.
Dalam diri Mu’awiyah seni berpolitik berkembang hingga tingkatan yang
mungkin lebih tinggi tinimbang (dibandingkan dengan: penulis) khalifah-khalifah
lainnya. Menurut para penulis biografinya, nilai utama yang ia miliki adalah alhilm, kemampuan luar biasa untuk mengunakan kekuatan hanya ketika dipandang
perlu dan, sebagai gantinya, lebih banyak menggunakan jalan damai. Kelembutan
yang sarat dengan kebijakan, yang ia gunakan agar tentara meletakkan senjata dan
membuat kagum musuhnya, sikapnya yang tidak mudah marah dan pengendalian
diri yang sangat tinggi, membuatnya mampu menguasai keadaan.[12]
Pada masa pemerintahnnya, ekpansi wilayah islam diteruskan meliputi dua
wilayah utama, yaitu wilayah barat dan wilayah Timur. Di wilayah Barat,
kepulauan Jarba di Tunisia, kepulauan Rhodesia, kepulauan Kreta, dan kepulauan
Ijih dekat Konstantinopel dapat ditaklukan. Bahkan penaklukan sampai ke daerah
Maghrib Tengah (Aljazair). Uqbah ibn Nafi adalah panglima perang yang paling
terkenal di wilayah ini. Di kawasan Timur, sebagian daerah-daerah di Asia Tengah
dan wilayah Sindh dapat ditaklukan di bawah kepemimpinan Abdullah ibn Ziyad.
[13]
Kesuksesan Muawiyah ini karena disokong oleh orang-orang yang berada
di sekelilingnya, yaitu Amr ibn Ash (Gubernur Mesir), Al-Mughirah (Gubernur
Kufah), dan Ziyad ibn Abihi (Gubernur Basrah). Ketiga orang ini para politisi
ulung yang menjadi andalan Muawiyah.[14]
Selain ketiga orang tersebut, Muawiyah juga sangat dibantu oleh orangorang Suriah. Mereka masyarakat yang sangat patuh dan setia kepadanya. Mereka
berhasil dicetak oleh Muawiyah menjadi kekuatan militer yang berdisiplin tinggi
dan terorganisir.[15]
Beberapa keberhasilan Muawiyah selain perluasan daerah islam.
Pencipataan stabilitas nasional. Pada masa pemerintahannya, tidak ada
pemberontakan yang berarti kecuali letupan-letupan kecil saja.
Pendirian departemen pencatatan adiminstrasi negara, termasuk pembuatan
stempel pertama kali dalam sejarah pemerintahan islam.
Pendirian
pelayanan
pos
untuk
menghubungkan
wilayah-wilayah
kekuasaan dan untuk melakukan konsolidasi diantara pemimpin-pemimpin wilayah
tersebut. Pelayanan ini diantaranya menggunakan kuda dan keledai.
Pembangunan departemen pemungutan pajak. Departemen ini mendorong
kesejahteraan dan stabilitas ekonomi masyarakat.[16]
Muawiyah meninggal pada bulan April tahun 679 M/60 H. Dunia telah
mencatatkan namanya sebagai pemimpin yang paling berpengaruh pada jamannya.
Ia telah membangun fondasi kekuasaan yang sangat kokoh. Kelak para penerusnya
melanjutkan cita-citanya dengan bertumpu pada fondasi yang sudah dibangunnya.
2. Yazid ibn Muawiyah (60-64 H/679-683 M)
Namanya Yazid ibn Muawiyah ibn Abu Sufyan. Ia khalifah kedua dinasti
Umayyah yang dibait langsung oleh ayahnya untuk menggantikannya. Pembaiatan
ini menjadi yang pertama kali terjadi dalam sistem politik islam dan semakin
mempertegas sebuah sistem pemerintahan turun temurun (Monarki) Dinasti
Umayyah.
Mayoritas masyarakat membaitnya, namun Ibnu Umar, Ibnu Abu Bakar,
Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan Husen ibn Ali tidak mau membaitnya. Namun karena
dipaksa untuk membait, tokoh-tokoh tersebut kecuali ibn Zubair dan Husen
akhirnya membait Yazid sebagai pemimpin pemerintahan.[17]
Kecuali sedikit penaklukan di daerah Afrika dan moralitasnya yang sangat
buruk, tidak ada yang menonjol dari diri seorang Yazid. Malah pada masa
pemerintahnya, terjadi dua tragedi yang sangat mencoreng sejarah Islam.
Pertama, tragedi Karbala memerah. Pada waktu itu, seorang panglima Yazid
yang sangat bengis, yang bernama Ubaidillah ibn Ziyad dan pasukannya mencegat
rombongan Husen beserta pengikutnya di Karbala. Pasukan Ziyad membunuh
Husen dan pengikutnya dengan cara yang sangat sadis. Kepala Husen diserahkan
kepada pemimpinnya, Yazid ibn Abu Sufyan.
Kedua, peristiwa Hurrah dan penghalalan Madinah. Peristiwa ini terjadi
karena Abdullah ibn Zubair tidak mau membait Yazid. Ibnu Zubair malah
mengumumkan pencopotan Yazid di madinah dan membait dirinya sendiri sebagai
pemimpin pemerintahan. Yazid pun mengirimkan pasukan untuk menumpas
kelompok Ibnu Zubair. Ratusan sahabat Ibnu Zubair dan anak-anak meninggal
dunia. Yazid menghalalkan pertumpahan darah untuk membasmi pemberontakan.
[18]
Yazid meninggal dunia pada tahun 64 H / 683 M dengan masa
kepemimpinan selama dua tahun. Ia telah menjadi contoh buruknya moralitas
seorang pemimpin pemerintahan islam.
3. Muawiyah bin Yazid (64 H/683 M)
Khalifah ketiga Dinasti Umayyah ini tidak banyak diceritakan sejarah. Hal
ini dikarenakan pemerintahannya yang sangat pendek. Ia menggantikan ayahnya
sebagai raja. Namun ia mengundurkan diri karena sakit. Ia meninggal pada tahun
pengangkatannya sebagai raja ketiga Dinasti Umayyah.
4. Marwan ibn Hakam (64-65 H/683-684 M)
Marwan diangkat menjadi khalifah keempat setelah Muawiyah ibn Yazid
mengundurkan diri. Ia memerintah hampir satu tahun. Pada saat pemerintahannya,
posisinya goyah karena mayoritas masyarakat lebih mempercayai Abdullah ibn
Zubair sebagai pemimpin yang sah. Sehingga hal ini menyebabkan dualisme
kepemimpinan, yaitu kepemimpinannya yang berpusat di Suria, Damaskus dan
kepemimpinan Abdullah ibn Zubair yang berpusat di daerah Hijaj (makkah dan
Madinah).
5. Abdul Malik ibn Marwan (73-86 H/ 692-702 M)
Setelah Yazid ibn Muawiyah diangkat oleh ayahnya sebagai khalifah,
Abdullah ibn Zubair, salah satu tokoh yang menolak membait Yazid, lari ke
Makkah dan membaiat dirinya sebagai Raja. Setelah Yazid meninggal dunia maka
Ibnu Zubair semakin berkuasa, apalagi raja Muawiyah II yang ditunjuk
menggantikan Yazid sakit-sakitan dan mengundurkan diri. Kekuasaa Ibnu Zubair
semakin luas. Ia berkuasa dari tahun 64 sampai 73 H.
Di pihak Dinasti Umayyah sendiri, setelah kematian Marwan bin Hakam,
putranya yang bernama Abdul Malik dibait menggantikan ayahnya pada tahun 65
H. Namun penggantian ini belum sepenuhnya legal, sebab Ibnu Zubair masih
berkuasa. Oleh karena itu, seteleh Ibnu Zubair terbunuh pada tahun 73 H, maka
sejak itu Abdul Malik resmi menjadi khalifah kelima Dinasti Umayyah.
Abdul Malik dianggap sebagai pendiri kedua Dinasti Umayyah. Hal ini
disebabkan ia mampu membangun kembali kebesaran dinasti Umayyah setelah
hampir punah pada jaman raja Muawiyah II sampai menjelang kematian Ibnu
Zubair. Ia juga diberi gelar Abdul Muluk, karena empat putranya menjadi
penerusnya sebagai raja dinasti Umayyah. Mereka adalah al-Walid II, Sulayman,
Yazid II, dan Hisyam.
Beberapa kemajuan pada masa Abdul al-Malik adalah membangun
nasionalisasi Arab dengan membuat mata uang sendiri dan menjadikan bahasa
Arab menjadi bahasa resmi administrasi pemerintahan. Ia meninggal pada tahun 86
H/705 M dan memerintah secara resmi selama 13 tahun.[19]
6. Walid ibn Abdul Malik (86-96 H/705-714 M).
Walid terkenal sebagai seorang arsitektur ulung pertama dalam sejarah
Islam. Dia banyak mendirikan bangunan-bangunan yang megah dalam sekala
besar, diantaranya membangun Masjid Damaskus, membangun Qubbat alShakhrah di Yerusalem dan memperluas Masjid Nabawi.[20]
Selain terkenal dengan membangun infrastruktur yang megah, pada masa
pemerintahannya, penaklukan kawasan islam diperluas. Pasukannya berhasil
menaklukan Sisilia dan Merovits, Afrika, dan Andalusia di bagian barat. Pada masa
ini hidup seorang panglima besar islam asal Barbar, yang bernama Thariq ibn
Ziyad. Ia berhasil menduduki Andalusia pada tahun 92 H / 710 M. Di kawasan
timur, pasukan Walid berhasil menguasai Asia Tengah dengan panglimanya yang
terkenal, yaitu Qutaibah ibn Muslim al-Bahili. Sind dan India pun berhasil
ditaklukan di bawah pimpinan Muhammad ibn Qasim Ats-Tsaqafi. Penaklukan ini
menjadikan wilayah islam semakin luas.[21]
Walid berkuasa sampai tahun 96 H/ 714 M. Ia salah satu negarawan besar
dinasti Umayyah. Ia dikenal dengan jasa-jasanya membangun peradaban islam
yang ada sampai sekarang. Penerusnya tidak mampu melakukan apa yang telah
dilakukannya.
7. Sulayman ibn Abdul Malik (96-99 H/ 714-717 M).
Sulayman diangkat oleh ayahnya, Abdul Malik untuk menjadi pemimpin
pemerintahan islam setelah Walid mangkat. Ia saudara laki-laki Walid. Namun,
Walid telah bersekongkol untuk menurunkan Sulaeman dari jabatannya dan
menggantikannya dengan anaknya, yaitu Yazid II. Namun Sulayman ternyata
menunjuk anak pamannya, Umar ibn Abdul Aziz untuk menggantikanya[22]. Tidak
banyak yang bisa dijadikan sebagai bukti kemajuan pemerintahannya, kecuali
keputusannya untuk menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya.
Keputusannya itu menjadi karya Sulaeman yang paling hebat. Ia meninggal pada
tahun 99 H/ 717 M.
8. Umar ibn Abdul Aziz (99-101 H/ 717-719 M)
Umar ibn Abdul Aziz adalah putra saudara Sulayman, yaitu Abdul Aziz.
Umar pantas diberi gelar khalifah kelima khulafaur rasyidin karena kesholihan dan
kemulyaannya. Sebelum ia diangkat menjadi khalifah Dinasti Umayyah kedelapan,
ia seorang yang kaya raya dan hidup dalam kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan
menghambur-hamburkan uang. Namun setelah diangkat menjadi khalifah, ia
berubah total menjadi seorang raja yang sangat sederhana, adil dan jujur.[23]
Karena kesholihannya, ia dianggap sebagai seorang sufistik pada jamannya. Ia juga
disebut sebagai pembaharu islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa pemerintahnnya relatif singkat, yaitu sekitar tiga tahuan,
namun banyak perubahan yang ia lakukan. Diantaranya, ia melakukan komunikasi
politik dengan semua kalangan, termasuk kaum Syiah sekalipun. Ini tidak
dilakukan oleh saudara-saudaranya sesama raja dinasti Umayyah. Ia banyak
menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan
masjid-masjid. Yang tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem
zakat dan sodaqoh, sehingga pada jamannya tidak ada lagi kemiskinan.[24]
Pada masa pemerintahnnya, tidak ada perluasan daerah yang berarti.
Menurutnya, ekspansi islam tidak harus dilakukan dengan cara imprealisme
militer, tapi dengan cara dakwah. Oleh karena itu, ia mengirim para mubalig ke
daerah kekuasaan islam, yang otoritas agamanya bukan islam.
Umar mangkat dari jabatannya pada tahun 101 H/719 M dengan
meninggalkan karakter pemerintahan yang adil dan bijaksana terhadap semua
golongan dan agama. Penerusnya nanti justru berbanding terbalik dengan karakter
kepemimpinannya.
9. Yazid ibn Abdul Malik atau Yazid II (101-105 H/719-723 M)
Konsepsi pemerintahan yang telah dibangun Umar “dihancurkan” oleh cara
kepemimpinan Yazid II. Ia memperkaya diri dan suka menghambur-hambrukan
uang untuk memenuhi hasrat duniawinya. Badri Yatim menjelaskan karakter
khalifah kesembilan Dinasti Umayyah ini.
Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang
memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam
ketentraman dan kedamaian, pada jamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar
belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi
terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga
masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul Malik.[25]
Yazid memerintah selama hampir empat tahun. Kepemimpinannya buruk
dan diwarnai oleh adanya konfrontasi dari masyarakat. Tidak ada kemajuan yang
layak dicatat dalam sejarah. Ia meninggal dunia pada tahun 105 H/742 M.
Selanjutnya kepemimpinan dipegang oleh saudaranya, Hisyam ibn Abdul Malik.
10. Hisyam ibn Abdul Malik (105-125 H/ 723-742 M)
Siapakah khalifah kesepuluh Dinasti Umayyah ini? Badri Yatim
memasukan Hisyam sebagai salah satu dari lima khalifah besar Dinasti Umayyah,
selain Muawiyah ibn Abu Sufyan, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul
Malik, dan Umar ibn Abdul Aziz.[26] Hiiti memasukannya sebagai negarawan
ketiga dan terakhir Dinasti Umayyah setelah Muawiyah ibn Abu Sufyan dan Abdul
Malik.[27] Hal ini karena pada masa pemerintahnnya, terjadi perbaikan-perbaikan
administrasi dan menghidupkan tanah-tanah yang mati.
Kami kurang sependapat dengan pemikiran dua penulis tersebut. Kami
tidak menemukan alasan atau data yang kuat dari para penulis tersebut dan tidak
juga kami menemukan referensi yang mendukung. Malahan dikatakan oleh penulis
lain bahwa selama hampir dua puluh tahun memerintah, negara mengalami
kemorosotan dan melemah.[28] Hal ini disebabkan banyaknya rongrongan dari
luar dan perpecahan dari dalam pemerintahan. Rongrongan dari luar diantaranya
pemberontakan oleh Zaid ibn Ali ibn Husen sebagai refresentasi dari kelompok
Syiah Zaidiyah dan seruan pembentukan pemerintahan Abbasiyah. Dari dalam
karena adanya konflik orang-orang Arab Selatan dan Arab Utara.[29]
11. Walid bin Yazid ibn Abdul al-Malik atau Walid II (125-126 H/ 742-743 M)
Penerus Hisyam, Walid bin Yazid tidak mampu mengembalikan
pemerintahan menjadi lebih baik. Malahan keadaan pemerintahan menjadi lebih
buruk. Alasannya, selain musuh semakin kuat, ia juga meniru gaya hidup ayahnya,
Yazid ibn Abdul Malik. Dia banyak menciptakan permusuhan. Oleh karena itu,
saudara sepupunya, Yazid ibn al-Walid-yang kelak menjadi pengganti Walidmemerintahkan untuk mencopot Walid dari jabatannya. Setelah hampir tiga tahun
memerintah, Walid pun dibunuh oleh pasukan Yazid ibn al-Walid dan ia
mengantikan kedudukan Walid.
12. Yazid bin Walid atau Yazid III (126 H/743 M)
Pada masa jabatannya, pemerintahan semakin kacau. Pemberontakan di
mana-mana. Keluarga khalifah pun sudah terpecah. Akhirnya Yazid III meninggal
dunia akibat penyakit tha’un setelah memerintah selama enam bulan.[30]
13. Ibrahim ibn al-Walid ibn Abd al- Malik (127 H / 744 M)
Dia hanya memerintah selama 70 hari. Oleh karena itu, ada yang tidak
memasukannya sebagai salah satu khalifah Dinasti Umayyah. Pada masanya,
tanda-tanda kehancuran Dinasti Umayyah semakin jelas. Perpecahan diantara
keluarga semakin terbuka. Ia dituntut oleh Marwan ibn Muhammad ibn Marwan
untuk mempertanggung jawabkan kematian Walid II yang dibunuh oleh Yazid III,
kakak Ibrahim. Ia melarikan diri dari Damaskus. Marwan sampai ke Damaskus dan
dibaiat sebagai khalifah terakhir Dinasti Umayyah Jilid I.
14. Marwan ibn Muhammad ibn Marwan atau Marwan II (127-132 H / 744 – 749 M)
Setelah dibait sebagai raja, ia mencoba memperbaiki keadaan pemerintahan
yang sudah kacau balau. Ia mencoba menjalankan roda pemerintahan yang sudah
lemah. Namun roda pemerintahan sudah sangat rusak, sehingga pemerintahan
bukan menjadi baik, malah menjadi hancur.
Pada masa ini kekuatan kaum pemberontak yang diantaranya diwakili oleh
kaum khawarij dan keturunan Abbas ibn Abdul Mutholib semakin kuat. Malah
kelompok Abbasiyah ini berani memproklamirkan berdirinya Dinasti Abbasiyah
pada tahun 129 H/ 446 M, yang dipimpin oleh Ibrahim. Marwan berhasil
menagkap dan membunuhnya. Namun pengganti Ibrahim, Abu al-Abbas asShaffah lebih kuat dan didukung oleh kaum Syiah dan Khurasan.
Pada tahun 131 H / 748 M, terjadilah pertempuran besar antara pasukan asShoffah dan Marwan di sungai Zab. Marwan melarikan diri dan terbunuh pada
tahun 132 H. Pada tahun ini pula, tepatnya hari Kamis, tanggal 30 Oktober [31],
as-Shaffah dibait menjadi khalifah pertama Bani Abbasiyah. Ia berhasil merebut
kekuasaan pemerintahan dari tangan Dinasti Umayyah. [32]
Dengan terbunuhnya Marwan, maka hancurlah kerajaan dinasti Umayyah
jiid I. Namun, ada salah seorang keturunan Dinasti Umayyah jilid I yang berhasil
melarikan diri dari kejaran pasukan Abbasiyah dan kelak ia membangun kerajaan
besar dinasti Umayyah jilid II di Andalusia.
D. Kemajuan Dinasti Umayyah
Al-Usairy menyebut empat keutamaan Dinasti Umayyah yang dilupakan sejarah.
a. Muawiyah seorang sahabat mulia. Walau pun melakukan kesalahan ijtihad politik,
yaitu tidak mengakui pemerintahan yang sah di bawah kepemimpinan khalifah Ali,
namun tetap ia berlaku adil karena semua sahabat adil. Marwan bin Hakam, khalifah
keempat Dinasti Umayyah adalah lapisan pertama tabi’in yang banyak
meriwayatkan hadis dari sejumlah sahabat besar. Abdul Malik seorang ulama besar
Madinah, sementara Umar bin Abdul Aziz dianggap sebagai kholifah kelima
khulafaur rasydin. Pernyaan ini ia perkuat dengan sebuah sabda Rasulullah,
“Manusia terbaik adalah manusia yang berada di masaku, kemudian generasi setelah
mereka, lalu generasi setelah mereka.”
b. Dinasti Umayyah selalu menghormati kalangan berilmu dan orang-orang yang
memiliki sipat-sipat utama.
c. Dinasti Umayyah melakukan terobosan besar di bidang politik kekuasaan Negara
dengan menguasai negeri dan daerah hingga sampai ke wilayah Cina di sebelah
timur, Andalusia (Spanyol), dan selatan Perancis di sebelah barat.
d. Dinasti Umayyah sukses menghidupkan tanah-tanah mati menjadi produktif yang
menjadi andalan hidup msyarakat, membangun infrastruktur yang megah di berbagai
daerah kekuasaan. [33].
Pernyataan Al-Usairy patut kita uji kebenaraannya. Hemat kami, poin ketiga dan
kempat bisa dipercaya karena bukti-bukti sejarah memang ada. Namun untuk poin
pertama dan kedua, tidak ada alasan untuk menyetuji tanpa melakukan kritik. Kalau
benar Umayyah pengikut setia Muhammad, Nabi akan kecewa dengan cara berpolitik
yang digunakan oleh Umawiyah dan sebagaian khalifah-khalifah Dinasti Umayyah
lainnya. Oleh karena itu, keadilan seorang sahabat dengan sendirinya akan hilang
karena dosa-dosa besar yang dilakukannya. Karena selain Nabi tidak ada yang
dima’shum, kecuali dalam tradisi teologi kaum Syiah.
Dalam sejarah Dinasti Umayyah, mayoritas khalifah-khalifahnya dan para
pembantunya tidak menghargai kalangan berilmu kecuali dari kelompoknya dan yang
bisa ditundukan. Ulama-ulama yang bukan dari kelompok mereka dan yang tidak bisa
ditundukan dikejar dan dibunuh atas perintah raja Dinasti Umayyah.[34]
Oleh karena itu kami akan merumuskan kemajuan-kemajuan Bani Umayyah,
tanpa melihat cara mereka mewujudkan kemajuan-kemajuan tersebut.
Perluasan wilayah sampai batas-batas terjauh. Wilayah Islam membentang dari
Lautan Atlantik dan Pyreness sampai ke Indus dan perbatasan Cina; dari pantai
Biscay hingga Indus dan daratan Cina, serta dari laut Aral hingga sungai Nil. Pada
masa kejayaan tersebut, terjadi penaklukan Spanyol dan penaklukan kembali
Afrika Utara. Jadi seratus tahun pasca wafatnya Nabi Muhammad, islam telah
menyentuh wilayah yang sangat luas.[35]
Mengenai kehebatan ekspansi Dinasti Umayyah ini, Karen Armstrong menulis
bahwa kaum muslimin telah mampu mendirikan imperium mereka di bawah
kepemimpinan Dinasti Umayyah. Imperium ini berkuasa hingga kawasan Asia dan
Afrika Utara. Ekspansi itu tidak saja diilhami oleh agama, tetapi juga oleh
semangant imperialisme Arab.[36]
Nasionalisasi atau arabisasi dalam bidang adminitrasi, yaitu diantaranya dengan
mengharuskan menggunakan Bahasa Arab dalam pelayanan administrasi
pemerintahan.
Pembentukan enam lembaga atau departemen di pusat pemerintahan.
a) Diwan al-Kharaj (Departemen Perpajakan) yang berwenang mengelola seluruh
keuangan
negara,
termasuk
mengumpulkan
pendapatan
pajak
dan
membagikannya untuk masyarakat
b) Diwan al-Rasa’il (Lembaga Korespondensi) yang bertugas mengkordinir
semua hal yang berkaitan dengan surat menyurat.
c) Diwan al-Khatam (Lembaga Pelayanan Stempel) yang berwenang untuk
membuat dan memelihara salinan dari setiap dokumen resmi Negara.
d) Diwan al-Barid (Lembaga Pelayanan Pos) bertugas untuk menyampaikan
berita-berita antara
raja dan para pejabat, termasuk pelayanan untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
e) Diwan al-Qudat (Lembaga Peradilan) yang bertugas memproses dan memutus
perkara
f) Diwan al-Jund (Angkatan Bersenjata) yang bertugas membentuk angkatan
bersenjata dan mengkordinirnya.
Pembangunan dan perbaikan infrastruktur, termasuk pembangunan berbagai
monumen dan masjid-masjid, diantaranya Kubah Batu di Yerusalem dan Masjid
Muawiyah di Damaskus, dan perbaikan Masjid Nabawi di Madinah.
Pembuatan keping mata uang Arab pertama dalam sejarah pemerintahan islam
yang diberlakukan dalam transaksi perdagangan.
E. Kemunduran Peradaban Islam Pada Masa Bani Umayyah
Kemunduran Pada Masa Bani Umayyah
Ada 7 faktor penyebab kemunduran kekuasaan Bani Umayyah, yaitu :
1. Persoalan suksesi kekhalifahan
2. Sikap glamor penguasa
3. Perlawanan kaum Khawarij
4. Perlawanan dari kelompok Syi’ah
5. Meruncingnya pertentangan etnis
6. Timbulnya stratifikasi sosial
7. Munculnya kekuatan baru
Sedangkan kemunduran atau bahkan kehancuran peradaban Islam pada masa
Bani Umayyah ini oleh karena 2 sebab, yaitu :
1. Hancurnya kekuasaan Islam di Andalusia dan rendahnya semangat para ahli
dalam menggali budaya Islam
Kehancuran kekuasaan Islam di Andalusia pada 1492 M berdampak
buruk terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Para
ahli tidak banyak memiliki motivasi untuk mengkaji ilmu pengetahuan lagi.
Karena mereka sudah merasa putus asa skibat serangan yang dilakukan
oleh para penguasa Kristen, dan tindakan para penguasa tersebut terhadap
peninggalan peradaban Islam di Andalusia, seperti penghancuran pusatpusat peradaban Islam dan sebagainya.
2. Banyaknya orang Eropa yang menguasai ilmu pengetahuan dari Islam
Di lembaga-lembaga pendidikan tinggi, tidak hanya orang-orang
Islam yang diberikan kesempatan mempelajari ilmu pengetahuan, tetapi
juga kesempatan itu diberikan kepada semua orang, termasuklah orangorang Kristen Barat yang tertarik untuk mempelajari ilmu pengetahuan
yang dikembangkan oleh umat Islam.
Ketertarikan karena metode ilmiah Islam, seorang pendeta Kristen
Roma anggota Ordo Fransiskan dari Inggris bernama Roger Bacon (1214 –
1292 M) datang belajar bahasa Arab di Paris antara tahun 1240 – 1268 M.
Melalui kemampuan bahasa Arab dan bahasa Latinnya itu, ia dapat
membaca naskah asli dan terjemahan berbagai ilmu pengetahuan, terutama
ilmu pasti. Buku-buku asli dan terjemahan dibawanya ke Inggris pada
Universitas Oxford, lalu diterjemahkannya dengan menghilangkan nama
pengarang aslinya, yang kemudian dikatakannya sebagai hasil karyanya
sendiri. Sejak saat itulah mulai banyak bermunculan orang Eropa yang
menterjemahkan buku-buku yang dikarang oleh tokoh-tokoh Islam sebagai
hasil karyanya sendiri.
F. Penutup
Secara umum, Dinasti Umayyah berhasil melahirkan peradaban Islam yang luar
biasa. Era Dinasti Umayyah ini menjadi catatan sejarah islam yang berhasil
membuktikanan kepada dunia bahwa bahwa kerajaan Islam mampu berdiri tegak dan
bersaing dengan dua kerajaan besar non muslim, yaitu Persia dan Bizantium.
Secara moralitas politik dan moralitas keagamaan, Dinasti Umayyah ini mengalami
kebobrokan moral. Kecuali Umar ibn Abdul Aziz, tidak satu pun dari khalifah-khalifah
Dinasti Umayyah ini yang mencontoh moralitas politik Rasulullah SAW. Kelak
kebobrokan moral ini menjadi salah satu pemicu keruntuhan Dinasti Umayyah.
Daftar Pustaka
Al-Husairy, Ahmad. 2008. Sejarah Islam Sejak Jaman Nabi Adam Hingga Abad XX.
Diterjemahkan dari at-Tarikh al-Islam oleh Samson Rahman. Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana.
Amstrong, Karen. 2003. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan oleh
Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4000 Tahun. Diterjemahkan dari The
History of God oleh Zainul AM. Bandung: Mizan.
Dahlan, Syekh Ihsan Muhammad. Sirojuttholibin . Darul Ihya al-Kutubul al-Arabiyyah.
Hitti, Philip K. 2008.The History of Arabs. Diterjemahkan dari The History of Arabs; From
The Earliest Times to The Present oleh R. Cecep Lukman Yasin dan dedi Slamet Riyadi.
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Rahmat, Jalaludin. 2002. Al-Mustafa; Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi Saw. Bandung:
Muthahhari Press.
Tibrizi, E. Abdul Aziz. Sejarah Kebudayaan Islam; Diktat II .Tangerang: Ponpes Daarul elQalam.
Yatim, Badri. 1995. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
[1]Philip K. Hitti, The History of Arabs. Terjemahan dari The History of Arabs; From The
Earliest Times to The Present Oleh R. Cecep Lukman Yasin dan deDi Slamet Riyadi
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2008), Cet. Ke-1, hlm..257.
[2]Ibid., hlm. 244.
[3]Jalaludin Rahmat, Al-Mustafa; Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi Saw. (Bandung:
Muthahhari Press. 2002), Cet. Ke-1, hlm. 16.
[4]Ahmad al-Husairy, Sejarah Islam Sejak Jaman Nabi Adam Hingga Abad XX.
Diterjemahkan dari at-Tarikh al-Islam oleh Samson Rahman, (Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana. 2008), Cet. Ke-6, hlm. 174.
[5]Ibid., hlm. 235.
[6]Ibid., hlm. 236.
[7]Ibid. hlm.177
[8]Hitti, The History of Arabs, hlm. 245.
[9]Terminologi khalifah bisa diganti dengan terminologi raja. Alasannya, (1) penunjukan
langsung putra Muawiyah, Yazid, sebagai khalifah menegaskan sebuah sistem kerajaan
yang pertama kali muncul dalam konsep tatanegara Islam dan (2) model pemerintahan
Dinasti Umayyah banyak meniru kerajaan Bizantium dan Persia.
[11]Syekh Ihsan Muhammad Dahlan, Sirojuttholibin (Darul Ihya al-Kutubul al-Arabiyyah),
Jilid II, hlm. 70
[12]Hiiti, The History of Arabs, hlm. 245.
[13]Al-Usairy, Sejarah Islam, hlm. 188-189.
[14]Hitti, The History of Arab, hlm. 244.
[15]Ibid, hlm.242.
[16]E. Abdul Aziz Tibrizi, Sejarah Kebudayaan Islam; Diktat II (Tangerang: Ponpes Daarul
el-Qalam), hlm. 7.
[17]Al-Usairy, Sejarah Islam, hlm. 92
[18]Ibid, hlm. 193.
[19]Ibid, hlm. 199.
[20]Ibid, hlm. 200.
[21]Ibid, hlm. 200-202.
[22]Ibid, hlm., 203.
[23]Ibid, hlm. 204
[24]Ibid.
[25]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1995), Cet.
Ke-3, hlm.47.
[26]Ibid, hlm.43)
[27]Hitti, The History of Arabs, hlm. 348.
[28]Al-Usairy, Sejarah Islam, hlm. 209
[29]Ibid, hlm. 208-209
[30]Ibid, hlm. 210
[31]Hitti, The History of Arabs, hlm. 355
[32]Al-Usairy, Sejarah Islam, hlm, hlm. 211-212.
[33]Ibid, hlm.183.
[34]Rakhmat, Al-Mustafa; Pengantar, hlm. 27-28.
[35]Hitti, The History of Arabs, hlm. 255.
[36]Karen Amstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan oleh OrangOrang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4000 Tahun. Diterjemahkan dari The History of
God oleh Zainul AM (Bandung: Mizan. 2003), Cet. VI.
Sumber:https://cecengsalamudin.wordpress.com/2011/10/04/sejarah-pendiriandan-perkembangan-dinasti-umayyah/
http://alchafielrezpect.blogspot.com/2014/06/bani-umayyah-sejarah-berdirikemajuan.html
A. Pendahuluan
Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak
akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut
sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat
mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka
mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan)[1]
Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan
cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun
peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang
mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang
pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh
muslim lainnya.[2] Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi
kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Dinasti ini dinisbatkan kepada Umayyah ibn Abd al-Syams ibn Abd al-Manaf,
nenek moyang Muawiyah ibn Abu Sufyan. Pendirian dinasti ini mempunyai akar sejarah
yang cukup panjang. Salah satunya dendam yang berurat akar dalam diri Umayyah dan
keturunannya kepada kelompok Bani Hasyim, nenek moyang Nabi Muhammad.
Umayyah ibn Abd Syams adalah musuh politik Hasyim ibn Abdul Manaf.
Keduanya masih keturunan Quraisy. Kedua kubu sering bertarung memperebutkan
kedudukan dan kehormatan.[3] Pertarungan mereka berujung pada pertarungan ideologi
agama, khususunya ketika Allah memilih salah satu keturunan Hasyim, yaitu
Muhammad menjadi Nabi. Mayoritas keturunan Umayyah berada di sebrang kekufuran
dan menjadi penentang utama Muhammad, sementara mayoritas keturunan Hasyim
berada di sebrang keimanan dan menjadi pendukung utama Muhammad.
Keputusan Allah untuk memilih salah satu keturunan Hasyim menjadi Nabi ini
menjadi kekalahan telak bagi Bani Umayyah, karena dengan misi agama baru ini,
Muhammad menjadi penguasa jazirah Arab yang paling dihormati sekaligus ditakuti,
sementara keturunan Bani Umayyah, yang diwakili oleh keluarga Abu Sufyan menjadi
kelompok yang hina, bahkan secara terpaksa dan dalam kondisi terdesak, mereka harus
mengikuti agama Muhammad, yaitu masuk islam pada waktu peristiwa Futuh al-Makkah
tahun 10 H.
Kekalahan telak ini menjadi kenangan pahit yang tidak bisa dilupakan oleh
keturunan Umayyah, sehingga di kemudian hari, salah satu penerusnya, yaitu Muawiyah
melakukan berbagai cara untuk membangun kekuasaan yang lebih besar dibanding apa
yang telah dilakukan Muhammad.
Muawiyah berhasil membangun pemerintahan melebihi apa yang telah di bangun
oleh saudaranya, Muhammad. Dengan mencontoh model pemerintahan Persia dan
Bizantium, dinastinya mampu memperluas kekuasaan islam yang tidak bisa dilakukan
oleh pemimpin islam sebelum dan sesudahnya. Khalifah-khalifah besar ini seperti
Muawiyah I, Abd al-Malik, al-Walid I, dan Umar ibn Abdul Aziz melakukan revolusi
pemerintahan yang melahirkan peradaban islam yang luar biasa.
Namun, sehebat-hebatnya sebuah kekuasaan politik, pada akhirnya akan
mengalami kemunduran atau kehancuran. Kehebatan Dinasti Umayyah hanya bisa
dirasakan sampai khalifah Umar ibn Abul Aziz. Setelah pemerintahannya, kekuasaan
Dinasti Umayyah semakin surut dan kemudian hancur pada masa raja terakhir, Marwan
II, setelah direbut oleh para pemegang bendera hitam, yaitu koalisi antara bani
Abbasiyah, Syiah, dan kelompok Khurasan. Maka berkakhirlah masa pemerintahan
Dinasti Umayyah jilid I. Kelak salah satu keluarga Dinasti Umayyah yang lolos dari
pengejaran kelompok Bani Abbasiyah akan mendirikan Dinasti Umayyah jilid II.
B. Kelahiran Dinasti Umayyah (41 H – 132 H/661-740)
Muawiyah ibn Abi Sufyan, yang pada waktu terbunuhnya Utsman ibn Affan, masih
menjabat sebagai gubernur Suriah, menolak membait Ali ibn Abi Tholib sebagai khalifah
keempat Khulafaur Rasyidin. Ia malah menuntut Ali untuk bertanggung jawab atas
kematian khalifah ketiga itu.[4]. Bahkan ia menyatakan memisahkan diri dari
pemerintahan Ali dan dibaiat oleh pengikutnya sebagai khalifah pada tahun 40 H/660 M
di Iliya (Yerusalem)[5]. Pembaitan ini menjadi cikal bakal berdirinya dinasti Umayyah
dan kelompok Muawiyah ini menjadi bughot pertama dalam sejarah Islam yang
memisahakan diri dari pemerintahan islam yang sah. Mereka mendirikan negara di dalam
Negara; dengan menjadikan Damaskus menjadi ibu kota pemerintahan islam. Padahal
pusat pemerintahan yang sah adalah kufah di bawah kepemimpinan Ali.
Setelah kematian Ali pada bulan Ramadhan tahun 40 H/661 M, putra tertua Ali
yang bernama al-Hasan diangkat menjadi pengganti Ali. Namun al-Hasan sosok yang
jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin
negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Oleh karena itu, ia melakukan
kesepakatan damai[6] dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya
kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai
antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk
memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.[7]
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas
kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia
menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki
jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk
melaksanakan
tugas-tugas
kekhalifahan,
aku
tidak
akan
ragu
berikrar
setia
kepadamu.”[8]
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu
halus, hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk
melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi
tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah
pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
C. Khalifah-Khalifah Dinasti Umayyah[9]
Ada 14 khalifah dinasti Umayyah. Keempat belas khalifah ini berasal dari dua
keluarga, yaitu keluarga Abu Sufyan dan Al-Hakam. Kedua-duanya cucu Umayyah bin
Abd Syams. Keluarga Abu Sufyan diwakili oleh Muawiyah I, Yazid I, dan Muawiyah II.
Keluarga al-Hakam diwakili oleh Marwan I, Abdul Malik, Walid I, Sulaiman, Umar,
Yazid II, Hisyam, Walid II, Yazid III, Ibrahim, dan Marwan II. Hubungan geneologis
dinasti Umayyah digambarkan dalam pohon silsilah berikut ini.
1. Muawiyah ibn Abu Sufyan atau Muawiyah I (41-60 H/661-679 M)
Nama lengkapnya Abu Abdurrahman Muawiyah bin Abu Sufyan. Ibunyya
Hindun ibnt Rubai’ah ibnt Abd Syam.[11] Sebagaimana disebutkan di bagian
pendahuluan bahwa Muawiyah seorang politisi ulung dan pendiri dinasti
Umayyah. Ia pantas disebut raja terbesar bani Umayyah karena jasa-jasanya dalam
membangun fondasi dinasti Umayyah sehingga sanggup bertahan sampai 91 tahun.
Hitti menggambarkan sosok Muawiyah ini.
Dalam diri Mu’awiyah seni berpolitik berkembang hingga tingkatan yang
mungkin lebih tinggi tinimbang (dibandingkan dengan: penulis) khalifah-khalifah
lainnya. Menurut para penulis biografinya, nilai utama yang ia miliki adalah alhilm, kemampuan luar biasa untuk mengunakan kekuatan hanya ketika dipandang
perlu dan, sebagai gantinya, lebih banyak menggunakan jalan damai. Kelembutan
yang sarat dengan kebijakan, yang ia gunakan agar tentara meletakkan senjata dan
membuat kagum musuhnya, sikapnya yang tidak mudah marah dan pengendalian
diri yang sangat tinggi, membuatnya mampu menguasai keadaan.[12]
Pada masa pemerintahnnya, ekpansi wilayah islam diteruskan meliputi dua
wilayah utama, yaitu wilayah barat dan wilayah Timur. Di wilayah Barat,
kepulauan Jarba di Tunisia, kepulauan Rhodesia, kepulauan Kreta, dan kepulauan
Ijih dekat Konstantinopel dapat ditaklukan. Bahkan penaklukan sampai ke daerah
Maghrib Tengah (Aljazair). Uqbah ibn Nafi adalah panglima perang yang paling
terkenal di wilayah ini. Di kawasan Timur, sebagian daerah-daerah di Asia Tengah
dan wilayah Sindh dapat ditaklukan di bawah kepemimpinan Abdullah ibn Ziyad.
[13]
Kesuksesan Muawiyah ini karena disokong oleh orang-orang yang berada
di sekelilingnya, yaitu Amr ibn Ash (Gubernur Mesir), Al-Mughirah (Gubernur
Kufah), dan Ziyad ibn Abihi (Gubernur Basrah). Ketiga orang ini para politisi
ulung yang menjadi andalan Muawiyah.[14]
Selain ketiga orang tersebut, Muawiyah juga sangat dibantu oleh orangorang Suriah. Mereka masyarakat yang sangat patuh dan setia kepadanya. Mereka
berhasil dicetak oleh Muawiyah menjadi kekuatan militer yang berdisiplin tinggi
dan terorganisir.[15]
Beberapa keberhasilan Muawiyah selain perluasan daerah islam.
Pencipataan stabilitas nasional. Pada masa pemerintahannya, tidak ada
pemberontakan yang berarti kecuali letupan-letupan kecil saja.
Pendirian departemen pencatatan adiminstrasi negara, termasuk pembuatan
stempel pertama kali dalam sejarah pemerintahan islam.
Pendirian
pelayanan
pos
untuk
menghubungkan
wilayah-wilayah
kekuasaan dan untuk melakukan konsolidasi diantara pemimpin-pemimpin wilayah
tersebut. Pelayanan ini diantaranya menggunakan kuda dan keledai.
Pembangunan departemen pemungutan pajak. Departemen ini mendorong
kesejahteraan dan stabilitas ekonomi masyarakat.[16]
Muawiyah meninggal pada bulan April tahun 679 M/60 H. Dunia telah
mencatatkan namanya sebagai pemimpin yang paling berpengaruh pada jamannya.
Ia telah membangun fondasi kekuasaan yang sangat kokoh. Kelak para penerusnya
melanjutkan cita-citanya dengan bertumpu pada fondasi yang sudah dibangunnya.
2. Yazid ibn Muawiyah (60-64 H/679-683 M)
Namanya Yazid ibn Muawiyah ibn Abu Sufyan. Ia khalifah kedua dinasti
Umayyah yang dibait langsung oleh ayahnya untuk menggantikannya. Pembaiatan
ini menjadi yang pertama kali terjadi dalam sistem politik islam dan semakin
mempertegas sebuah sistem pemerintahan turun temurun (Monarki) Dinasti
Umayyah.
Mayoritas masyarakat membaitnya, namun Ibnu Umar, Ibnu Abu Bakar,
Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan Husen ibn Ali tidak mau membaitnya. Namun karena
dipaksa untuk membait, tokoh-tokoh tersebut kecuali ibn Zubair dan Husen
akhirnya membait Yazid sebagai pemimpin pemerintahan.[17]
Kecuali sedikit penaklukan di daerah Afrika dan moralitasnya yang sangat
buruk, tidak ada yang menonjol dari diri seorang Yazid. Malah pada masa
pemerintahnya, terjadi dua tragedi yang sangat mencoreng sejarah Islam.
Pertama, tragedi Karbala memerah. Pada waktu itu, seorang panglima Yazid
yang sangat bengis, yang bernama Ubaidillah ibn Ziyad dan pasukannya mencegat
rombongan Husen beserta pengikutnya di Karbala. Pasukan Ziyad membunuh
Husen dan pengikutnya dengan cara yang sangat sadis. Kepala Husen diserahkan
kepada pemimpinnya, Yazid ibn Abu Sufyan.
Kedua, peristiwa Hurrah dan penghalalan Madinah. Peristiwa ini terjadi
karena Abdullah ibn Zubair tidak mau membait Yazid. Ibnu Zubair malah
mengumumkan pencopotan Yazid di madinah dan membait dirinya sendiri sebagai
pemimpin pemerintahan. Yazid pun mengirimkan pasukan untuk menumpas
kelompok Ibnu Zubair. Ratusan sahabat Ibnu Zubair dan anak-anak meninggal
dunia. Yazid menghalalkan pertumpahan darah untuk membasmi pemberontakan.
[18]
Yazid meninggal dunia pada tahun 64 H / 683 M dengan masa
kepemimpinan selama dua tahun. Ia telah menjadi contoh buruknya moralitas
seorang pemimpin pemerintahan islam.
3. Muawiyah bin Yazid (64 H/683 M)
Khalifah ketiga Dinasti Umayyah ini tidak banyak diceritakan sejarah. Hal
ini dikarenakan pemerintahannya yang sangat pendek. Ia menggantikan ayahnya
sebagai raja. Namun ia mengundurkan diri karena sakit. Ia meninggal pada tahun
pengangkatannya sebagai raja ketiga Dinasti Umayyah.
4. Marwan ibn Hakam (64-65 H/683-684 M)
Marwan diangkat menjadi khalifah keempat setelah Muawiyah ibn Yazid
mengundurkan diri. Ia memerintah hampir satu tahun. Pada saat pemerintahannya,
posisinya goyah karena mayoritas masyarakat lebih mempercayai Abdullah ibn
Zubair sebagai pemimpin yang sah. Sehingga hal ini menyebabkan dualisme
kepemimpinan, yaitu kepemimpinannya yang berpusat di Suria, Damaskus dan
kepemimpinan Abdullah ibn Zubair yang berpusat di daerah Hijaj (makkah dan
Madinah).
5. Abdul Malik ibn Marwan (73-86 H/ 692-702 M)
Setelah Yazid ibn Muawiyah diangkat oleh ayahnya sebagai khalifah,
Abdullah ibn Zubair, salah satu tokoh yang menolak membait Yazid, lari ke
Makkah dan membaiat dirinya sebagai Raja. Setelah Yazid meninggal dunia maka
Ibnu Zubair semakin berkuasa, apalagi raja Muawiyah II yang ditunjuk
menggantikan Yazid sakit-sakitan dan mengundurkan diri. Kekuasaa Ibnu Zubair
semakin luas. Ia berkuasa dari tahun 64 sampai 73 H.
Di pihak Dinasti Umayyah sendiri, setelah kematian Marwan bin Hakam,
putranya yang bernama Abdul Malik dibait menggantikan ayahnya pada tahun 65
H. Namun penggantian ini belum sepenuhnya legal, sebab Ibnu Zubair masih
berkuasa. Oleh karena itu, seteleh Ibnu Zubair terbunuh pada tahun 73 H, maka
sejak itu Abdul Malik resmi menjadi khalifah kelima Dinasti Umayyah.
Abdul Malik dianggap sebagai pendiri kedua Dinasti Umayyah. Hal ini
disebabkan ia mampu membangun kembali kebesaran dinasti Umayyah setelah
hampir punah pada jaman raja Muawiyah II sampai menjelang kematian Ibnu
Zubair. Ia juga diberi gelar Abdul Muluk, karena empat putranya menjadi
penerusnya sebagai raja dinasti Umayyah. Mereka adalah al-Walid II, Sulayman,
Yazid II, dan Hisyam.
Beberapa kemajuan pada masa Abdul al-Malik adalah membangun
nasionalisasi Arab dengan membuat mata uang sendiri dan menjadikan bahasa
Arab menjadi bahasa resmi administrasi pemerintahan. Ia meninggal pada tahun 86
H/705 M dan memerintah secara resmi selama 13 tahun.[19]
6. Walid ibn Abdul Malik (86-96 H/705-714 M).
Walid terkenal sebagai seorang arsitektur ulung pertama dalam sejarah
Islam. Dia banyak mendirikan bangunan-bangunan yang megah dalam sekala
besar, diantaranya membangun Masjid Damaskus, membangun Qubbat alShakhrah di Yerusalem dan memperluas Masjid Nabawi.[20]
Selain terkenal dengan membangun infrastruktur yang megah, pada masa
pemerintahannya, penaklukan kawasan islam diperluas. Pasukannya berhasil
menaklukan Sisilia dan Merovits, Afrika, dan Andalusia di bagian barat. Pada masa
ini hidup seorang panglima besar islam asal Barbar, yang bernama Thariq ibn
Ziyad. Ia berhasil menduduki Andalusia pada tahun 92 H / 710 M. Di kawasan
timur, pasukan Walid berhasil menguasai Asia Tengah dengan panglimanya yang
terkenal, yaitu Qutaibah ibn Muslim al-Bahili. Sind dan India pun berhasil
ditaklukan di bawah pimpinan Muhammad ibn Qasim Ats-Tsaqafi. Penaklukan ini
menjadikan wilayah islam semakin luas.[21]
Walid berkuasa sampai tahun 96 H/ 714 M. Ia salah satu negarawan besar
dinasti Umayyah. Ia dikenal dengan jasa-jasanya membangun peradaban islam
yang ada sampai sekarang. Penerusnya tidak mampu melakukan apa yang telah
dilakukannya.
7. Sulayman ibn Abdul Malik (96-99 H/ 714-717 M).
Sulayman diangkat oleh ayahnya, Abdul Malik untuk menjadi pemimpin
pemerintahan islam setelah Walid mangkat. Ia saudara laki-laki Walid. Namun,
Walid telah bersekongkol untuk menurunkan Sulaeman dari jabatannya dan
menggantikannya dengan anaknya, yaitu Yazid II. Namun Sulayman ternyata
menunjuk anak pamannya, Umar ibn Abdul Aziz untuk menggantikanya[22]. Tidak
banyak yang bisa dijadikan sebagai bukti kemajuan pemerintahannya, kecuali
keputusannya untuk menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya.
Keputusannya itu menjadi karya Sulaeman yang paling hebat. Ia meninggal pada
tahun 99 H/ 717 M.
8. Umar ibn Abdul Aziz (99-101 H/ 717-719 M)
Umar ibn Abdul Aziz adalah putra saudara Sulayman, yaitu Abdul Aziz.
Umar pantas diberi gelar khalifah kelima khulafaur rasyidin karena kesholihan dan
kemulyaannya. Sebelum ia diangkat menjadi khalifah Dinasti Umayyah kedelapan,
ia seorang yang kaya raya dan hidup dalam kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan
menghambur-hamburkan uang. Namun setelah diangkat menjadi khalifah, ia
berubah total menjadi seorang raja yang sangat sederhana, adil dan jujur.[23]
Karena kesholihannya, ia dianggap sebagai seorang sufistik pada jamannya. Ia juga
disebut sebagai pembaharu islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa pemerintahnnya relatif singkat, yaitu sekitar tiga tahuan,
namun banyak perubahan yang ia lakukan. Diantaranya, ia melakukan komunikasi
politik dengan semua kalangan, termasuk kaum Syiah sekalipun. Ini tidak
dilakukan oleh saudara-saudaranya sesama raja dinasti Umayyah. Ia banyak
menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan
masjid-masjid. Yang tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem
zakat dan sodaqoh, sehingga pada jamannya tidak ada lagi kemiskinan.[24]
Pada masa pemerintahnnya, tidak ada perluasan daerah yang berarti.
Menurutnya, ekspansi islam tidak harus dilakukan dengan cara imprealisme
militer, tapi dengan cara dakwah. Oleh karena itu, ia mengirim para mubalig ke
daerah kekuasaan islam, yang otoritas agamanya bukan islam.
Umar mangkat dari jabatannya pada tahun 101 H/719 M dengan
meninggalkan karakter pemerintahan yang adil dan bijaksana terhadap semua
golongan dan agama. Penerusnya nanti justru berbanding terbalik dengan karakter
kepemimpinannya.
9. Yazid ibn Abdul Malik atau Yazid II (101-105 H/719-723 M)
Konsepsi pemerintahan yang telah dibangun Umar “dihancurkan” oleh cara
kepemimpinan Yazid II. Ia memperkaya diri dan suka menghambur-hambrukan
uang untuk memenuhi hasrat duniawinya. Badri Yatim menjelaskan karakter
khalifah kesembilan Dinasti Umayyah ini.
Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang
memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam
ketentraman dan kedamaian, pada jamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar
belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi
terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga
masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul Malik.[25]
Yazid memerintah selama hampir empat tahun. Kepemimpinannya buruk
dan diwarnai oleh adanya konfrontasi dari masyarakat. Tidak ada kemajuan yang
layak dicatat dalam sejarah. Ia meninggal dunia pada tahun 105 H/742 M.
Selanjutnya kepemimpinan dipegang oleh saudaranya, Hisyam ibn Abdul Malik.
10. Hisyam ibn Abdul Malik (105-125 H/ 723-742 M)
Siapakah khalifah kesepuluh Dinasti Umayyah ini? Badri Yatim
memasukan Hisyam sebagai salah satu dari lima khalifah besar Dinasti Umayyah,
selain Muawiyah ibn Abu Sufyan, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul
Malik, dan Umar ibn Abdul Aziz.[26] Hiiti memasukannya sebagai negarawan
ketiga dan terakhir Dinasti Umayyah setelah Muawiyah ibn Abu Sufyan dan Abdul
Malik.[27] Hal ini karena pada masa pemerintahnnya, terjadi perbaikan-perbaikan
administrasi dan menghidupkan tanah-tanah yang mati.
Kami kurang sependapat dengan pemikiran dua penulis tersebut. Kami
tidak menemukan alasan atau data yang kuat dari para penulis tersebut dan tidak
juga kami menemukan referensi yang mendukung. Malahan dikatakan oleh penulis
lain bahwa selama hampir dua puluh tahun memerintah, negara mengalami
kemorosotan dan melemah.[28] Hal ini disebabkan banyaknya rongrongan dari
luar dan perpecahan dari dalam pemerintahan. Rongrongan dari luar diantaranya
pemberontakan oleh Zaid ibn Ali ibn Husen sebagai refresentasi dari kelompok
Syiah Zaidiyah dan seruan pembentukan pemerintahan Abbasiyah. Dari dalam
karena adanya konflik orang-orang Arab Selatan dan Arab Utara.[29]
11. Walid bin Yazid ibn Abdul al-Malik atau Walid II (125-126 H/ 742-743 M)
Penerus Hisyam, Walid bin Yazid tidak mampu mengembalikan
pemerintahan menjadi lebih baik. Malahan keadaan pemerintahan menjadi lebih
buruk. Alasannya, selain musuh semakin kuat, ia juga meniru gaya hidup ayahnya,
Yazid ibn Abdul Malik. Dia banyak menciptakan permusuhan. Oleh karena itu,
saudara sepupunya, Yazid ibn al-Walid-yang kelak menjadi pengganti Walidmemerintahkan untuk mencopot Walid dari jabatannya. Setelah hampir tiga tahun
memerintah, Walid pun dibunuh oleh pasukan Yazid ibn al-Walid dan ia
mengantikan kedudukan Walid.
12. Yazid bin Walid atau Yazid III (126 H/743 M)
Pada masa jabatannya, pemerintahan semakin kacau. Pemberontakan di
mana-mana. Keluarga khalifah pun sudah terpecah. Akhirnya Yazid III meninggal
dunia akibat penyakit tha’un setelah memerintah selama enam bulan.[30]
13. Ibrahim ibn al-Walid ibn Abd al- Malik (127 H / 744 M)
Dia hanya memerintah selama 70 hari. Oleh karena itu, ada yang tidak
memasukannya sebagai salah satu khalifah Dinasti Umayyah. Pada masanya,
tanda-tanda kehancuran Dinasti Umayyah semakin jelas. Perpecahan diantara
keluarga semakin terbuka. Ia dituntut oleh Marwan ibn Muhammad ibn Marwan
untuk mempertanggung jawabkan kematian Walid II yang dibunuh oleh Yazid III,
kakak Ibrahim. Ia melarikan diri dari Damaskus. Marwan sampai ke Damaskus dan
dibaiat sebagai khalifah terakhir Dinasti Umayyah Jilid I.
14. Marwan ibn Muhammad ibn Marwan atau Marwan II (127-132 H / 744 – 749 M)
Setelah dibait sebagai raja, ia mencoba memperbaiki keadaan pemerintahan
yang sudah kacau balau. Ia mencoba menjalankan roda pemerintahan yang sudah
lemah. Namun roda pemerintahan sudah sangat rusak, sehingga pemerintahan
bukan menjadi baik, malah menjadi hancur.
Pada masa ini kekuatan kaum pemberontak yang diantaranya diwakili oleh
kaum khawarij dan keturunan Abbas ibn Abdul Mutholib semakin kuat. Malah
kelompok Abbasiyah ini berani memproklamirkan berdirinya Dinasti Abbasiyah
pada tahun 129 H/ 446 M, yang dipimpin oleh Ibrahim. Marwan berhasil
menagkap dan membunuhnya. Namun pengganti Ibrahim, Abu al-Abbas asShaffah lebih kuat dan didukung oleh kaum Syiah dan Khurasan.
Pada tahun 131 H / 748 M, terjadilah pertempuran besar antara pasukan asShoffah dan Marwan di sungai Zab. Marwan melarikan diri dan terbunuh pada
tahun 132 H. Pada tahun ini pula, tepatnya hari Kamis, tanggal 30 Oktober [31],
as-Shaffah dibait menjadi khalifah pertama Bani Abbasiyah. Ia berhasil merebut
kekuasaan pemerintahan dari tangan Dinasti Umayyah. [32]
Dengan terbunuhnya Marwan, maka hancurlah kerajaan dinasti Umayyah
jiid I. Namun, ada salah seorang keturunan Dinasti Umayyah jilid I yang berhasil
melarikan diri dari kejaran pasukan Abbasiyah dan kelak ia membangun kerajaan
besar dinasti Umayyah jilid II di Andalusia.
D. Kemajuan Dinasti Umayyah
Al-Usairy menyebut empat keutamaan Dinasti Umayyah yang dilupakan sejarah.
a. Muawiyah seorang sahabat mulia. Walau pun melakukan kesalahan ijtihad politik,
yaitu tidak mengakui pemerintahan yang sah di bawah kepemimpinan khalifah Ali,
namun tetap ia berlaku adil karena semua sahabat adil. Marwan bin Hakam, khalifah
keempat Dinasti Umayyah adalah lapisan pertama tabi’in yang banyak
meriwayatkan hadis dari sejumlah sahabat besar. Abdul Malik seorang ulama besar
Madinah, sementara Umar bin Abdul Aziz dianggap sebagai kholifah kelima
khulafaur rasydin. Pernyaan ini ia perkuat dengan sebuah sabda Rasulullah,
“Manusia terbaik adalah manusia yang berada di masaku, kemudian generasi setelah
mereka, lalu generasi setelah mereka.”
b. Dinasti Umayyah selalu menghormati kalangan berilmu dan orang-orang yang
memiliki sipat-sipat utama.
c. Dinasti Umayyah melakukan terobosan besar di bidang politik kekuasaan Negara
dengan menguasai negeri dan daerah hingga sampai ke wilayah Cina di sebelah
timur, Andalusia (Spanyol), dan selatan Perancis di sebelah barat.
d. Dinasti Umayyah sukses menghidupkan tanah-tanah mati menjadi produktif yang
menjadi andalan hidup msyarakat, membangun infrastruktur yang megah di berbagai
daerah kekuasaan. [33].
Pernyataan Al-Usairy patut kita uji kebenaraannya. Hemat kami, poin ketiga dan
kempat bisa dipercaya karena bukti-bukti sejarah memang ada. Namun untuk poin
pertama dan kedua, tidak ada alasan untuk menyetuji tanpa melakukan kritik. Kalau
benar Umayyah pengikut setia Muhammad, Nabi akan kecewa dengan cara berpolitik
yang digunakan oleh Umawiyah dan sebagaian khalifah-khalifah Dinasti Umayyah
lainnya. Oleh karena itu, keadilan seorang sahabat dengan sendirinya akan hilang
karena dosa-dosa besar yang dilakukannya. Karena selain Nabi tidak ada yang
dima’shum, kecuali dalam tradisi teologi kaum Syiah.
Dalam sejarah Dinasti Umayyah, mayoritas khalifah-khalifahnya dan para
pembantunya tidak menghargai kalangan berilmu kecuali dari kelompoknya dan yang
bisa ditundukan. Ulama-ulama yang bukan dari kelompok mereka dan yang tidak bisa
ditundukan dikejar dan dibunuh atas perintah raja Dinasti Umayyah.[34]
Oleh karena itu kami akan merumuskan kemajuan-kemajuan Bani Umayyah,
tanpa melihat cara mereka mewujudkan kemajuan-kemajuan tersebut.
Perluasan wilayah sampai batas-batas terjauh. Wilayah Islam membentang dari
Lautan Atlantik dan Pyreness sampai ke Indus dan perbatasan Cina; dari pantai
Biscay hingga Indus dan daratan Cina, serta dari laut Aral hingga sungai Nil. Pada
masa kejayaan tersebut, terjadi penaklukan Spanyol dan penaklukan kembali
Afrika Utara. Jadi seratus tahun pasca wafatnya Nabi Muhammad, islam telah
menyentuh wilayah yang sangat luas.[35]
Mengenai kehebatan ekspansi Dinasti Umayyah ini, Karen Armstrong menulis
bahwa kaum muslimin telah mampu mendirikan imperium mereka di bawah
kepemimpinan Dinasti Umayyah. Imperium ini berkuasa hingga kawasan Asia dan
Afrika Utara. Ekspansi itu tidak saja diilhami oleh agama, tetapi juga oleh
semangant imperialisme Arab.[36]
Nasionalisasi atau arabisasi dalam bidang adminitrasi, yaitu diantaranya dengan
mengharuskan menggunakan Bahasa Arab dalam pelayanan administrasi
pemerintahan.
Pembentukan enam lembaga atau departemen di pusat pemerintahan.
a) Diwan al-Kharaj (Departemen Perpajakan) yang berwenang mengelola seluruh
keuangan
negara,
termasuk
mengumpulkan
pendapatan
pajak
dan
membagikannya untuk masyarakat
b) Diwan al-Rasa’il (Lembaga Korespondensi) yang bertugas mengkordinir
semua hal yang berkaitan dengan surat menyurat.
c) Diwan al-Khatam (Lembaga Pelayanan Stempel) yang berwenang untuk
membuat dan memelihara salinan dari setiap dokumen resmi Negara.
d) Diwan al-Barid (Lembaga Pelayanan Pos) bertugas untuk menyampaikan
berita-berita antara
raja dan para pejabat, termasuk pelayanan untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
e) Diwan al-Qudat (Lembaga Peradilan) yang bertugas memproses dan memutus
perkara
f) Diwan al-Jund (Angkatan Bersenjata) yang bertugas membentuk angkatan
bersenjata dan mengkordinirnya.
Pembangunan dan perbaikan infrastruktur, termasuk pembangunan berbagai
monumen dan masjid-masjid, diantaranya Kubah Batu di Yerusalem dan Masjid
Muawiyah di Damaskus, dan perbaikan Masjid Nabawi di Madinah.
Pembuatan keping mata uang Arab pertama dalam sejarah pemerintahan islam
yang diberlakukan dalam transaksi perdagangan.
E. Kemunduran Peradaban Islam Pada Masa Bani Umayyah
Kemunduran Pada Masa Bani Umayyah
Ada 7 faktor penyebab kemunduran kekuasaan Bani Umayyah, yaitu :
1. Persoalan suksesi kekhalifahan
2. Sikap glamor penguasa
3. Perlawanan kaum Khawarij
4. Perlawanan dari kelompok Syi’ah
5. Meruncingnya pertentangan etnis
6. Timbulnya stratifikasi sosial
7. Munculnya kekuatan baru
Sedangkan kemunduran atau bahkan kehancuran peradaban Islam pada masa
Bani Umayyah ini oleh karena 2 sebab, yaitu :
1. Hancurnya kekuasaan Islam di Andalusia dan rendahnya semangat para ahli
dalam menggali budaya Islam
Kehancuran kekuasaan Islam di Andalusia pada 1492 M berdampak
buruk terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Para
ahli tidak banyak memiliki motivasi untuk mengkaji ilmu pengetahuan lagi.
Karena mereka sudah merasa putus asa skibat serangan yang dilakukan
oleh para penguasa Kristen, dan tindakan para penguasa tersebut terhadap
peninggalan peradaban Islam di Andalusia, seperti penghancuran pusatpusat peradaban Islam dan sebagainya.
2. Banyaknya orang Eropa yang menguasai ilmu pengetahuan dari Islam
Di lembaga-lembaga pendidikan tinggi, tidak hanya orang-orang
Islam yang diberikan kesempatan mempelajari ilmu pengetahuan, tetapi
juga kesempatan itu diberikan kepada semua orang, termasuklah orangorang Kristen Barat yang tertarik untuk mempelajari ilmu pengetahuan
yang dikembangkan oleh umat Islam.
Ketertarikan karena metode ilmiah Islam, seorang pendeta Kristen
Roma anggota Ordo Fransiskan dari Inggris bernama Roger Bacon (1214 –
1292 M) datang belajar bahasa Arab di Paris antara tahun 1240 – 1268 M.
Melalui kemampuan bahasa Arab dan bahasa Latinnya itu, ia dapat
membaca naskah asli dan terjemahan berbagai ilmu pengetahuan, terutama
ilmu pasti. Buku-buku asli dan terjemahan dibawanya ke Inggris pada
Universitas Oxford, lalu diterjemahkannya dengan menghilangkan nama
pengarang aslinya, yang kemudian dikatakannya sebagai hasil karyanya
sendiri. Sejak saat itulah mulai banyak bermunculan orang Eropa yang
menterjemahkan buku-buku yang dikarang oleh tokoh-tokoh Islam sebagai
hasil karyanya sendiri.
F. Penutup
Secara umum, Dinasti Umayyah berhasil melahirkan peradaban Islam yang luar
biasa. Era Dinasti Umayyah ini menjadi catatan sejarah islam yang berhasil
membuktikanan kepada dunia bahwa bahwa kerajaan Islam mampu berdiri tegak dan
bersaing dengan dua kerajaan besar non muslim, yaitu Persia dan Bizantium.
Secara moralitas politik dan moralitas keagamaan, Dinasti Umayyah ini mengalami
kebobrokan moral. Kecuali Umar ibn Abdul Aziz, tidak satu pun dari khalifah-khalifah
Dinasti Umayyah ini yang mencontoh moralitas politik Rasulullah SAW. Kelak
kebobrokan moral ini menjadi salah satu pemicu keruntuhan Dinasti Umayyah.
Daftar Pustaka
Al-Husairy, Ahmad. 2008. Sejarah Islam Sejak Jaman Nabi Adam Hingga Abad XX.
Diterjemahkan dari at-Tarikh al-Islam oleh Samson Rahman. Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana.
Amstrong, Karen. 2003. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan oleh
Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4000 Tahun. Diterjemahkan dari The
History of God oleh Zainul AM. Bandung: Mizan.
Dahlan, Syekh Ihsan Muhammad. Sirojuttholibin . Darul Ihya al-Kutubul al-Arabiyyah.
Hitti, Philip K. 2008.The History of Arabs. Diterjemahkan dari The History of Arabs; From
The Earliest Times to The Present oleh R. Cecep Lukman Yasin dan dedi Slamet Riyadi.
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Rahmat, Jalaludin. 2002. Al-Mustafa; Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi Saw. Bandung:
Muthahhari Press.
Tibrizi, E. Abdul Aziz. Sejarah Kebudayaan Islam; Diktat II .Tangerang: Ponpes Daarul elQalam.
Yatim, Badri. 1995. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
[1]Philip K. Hitti, The History of Arabs. Terjemahan dari The History of Arabs; From The
Earliest Times to The Present Oleh R. Cecep Lukman Yasin dan deDi Slamet Riyadi
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2008), Cet. Ke-1, hlm..257.
[2]Ibid., hlm. 244.
[3]Jalaludin Rahmat, Al-Mustafa; Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi Saw. (Bandung:
Muthahhari Press. 2002), Cet. Ke-1, hlm. 16.
[4]Ahmad al-Husairy, Sejarah Islam Sejak Jaman Nabi Adam Hingga Abad XX.
Diterjemahkan dari at-Tarikh al-Islam oleh Samson Rahman, (Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana. 2008), Cet. Ke-6, hlm. 174.
[5]Ibid., hlm. 235.
[6]Ibid., hlm. 236.
[7]Ibid. hlm.177
[8]Hitti, The History of Arabs, hlm. 245.
[9]Terminologi khalifah bisa diganti dengan terminologi raja. Alasannya, (1) penunjukan
langsung putra Muawiyah, Yazid, sebagai khalifah menegaskan sebuah sistem kerajaan
yang pertama kali muncul dalam konsep tatanegara Islam dan (2) model pemerintahan
Dinasti Umayyah banyak meniru kerajaan Bizantium dan Persia.
[11]Syekh Ihsan Muhammad Dahlan, Sirojuttholibin (Darul Ihya al-Kutubul al-Arabiyyah),
Jilid II, hlm. 70
[12]Hiiti, The History of Arabs, hlm. 245.
[13]Al-Usairy, Sejarah Islam, hlm. 188-189.
[14]Hitti, The History of Arab, hlm. 244.
[15]Ibid, hlm.242.
[16]E. Abdul Aziz Tibrizi, Sejarah Kebudayaan Islam; Diktat II (Tangerang: Ponpes Daarul
el-Qalam), hlm. 7.
[17]Al-Usairy, Sejarah Islam, hlm. 92
[18]Ibid, hlm. 193.
[19]Ibid, hlm. 199.
[20]Ibid, hlm. 200.
[21]Ibid, hlm. 200-202.
[22]Ibid, hlm., 203.
[23]Ibid, hlm. 204
[24]Ibid.
[25]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1995), Cet.
Ke-3, hlm.47.
[26]Ibid, hlm.43)
[27]Hitti, The History of Arabs, hlm. 348.
[28]Al-Usairy, Sejarah Islam, hlm. 209
[29]Ibid, hlm. 208-209
[30]Ibid, hlm. 210
[31]Hitti, The History of Arabs, hlm. 355
[32]Al-Usairy, Sejarah Islam, hlm, hlm. 211-212.
[33]Ibid, hlm.183.
[34]Rakhmat, Al-Mustafa; Pengantar, hlm. 27-28.
[35]Hitti, The History of Arabs, hlm. 255.
[36]Karen Amstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan oleh OrangOrang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4000 Tahun. Diterjemahkan dari The History of
God oleh Zainul AM (Bandung: Mizan. 2003), Cet. VI.
Sumber:https://cecengsalamudin.wordpress.com/2011/10/04/sejarah-pendiriandan-perkembangan-dinasti-umayyah/
http://alchafielrezpect.blogspot.com/2014/06/bani-umayyah-sejarah-berdirikemajuan.html