Istri yang Bekerja Dapat Meningkatkan Ke

Istri yang Bekerja Dapat Meningkatkan Kepuasan Pernikahan karena Adanya
Equal Marital Power dan Peningkatan Kesejahteraan.

Pendapat bahwa seorang wanita yang menjadi seorang istri seharusnya menjadi seorang
ibu rumah tangga yang memasak di dapur, mengasuh anak, dan membereskan rumah
(Murniati, 2004) sudah tidak relevan dengan kenyataan yang ada sekarang. Banyak suami
yang sekarang tidak menjadi pencari nafkah tunggal di keluarga karena istri mereka juga ikut
bekerja, bahkan banyak diantara mereka, istri justru menjadi pencari nafah utama. Contoh
kasusnya, bisa kita lihat dari penyanyi Ruth Sahanaya yang menjadi pencari nafkah utama,
sedangkan suaminya Jeffry Waworuntu hanya menjadi manajer pribadinya. Rumah tangga
mereka pun dikatakan harmonis, tidak banyak diberitakan di media mengalami permasalahan.
Bahkan yang terlihat adalah dalam kehidupan rumah tangga mereka, terjadi keseimbangan
pembagian peran dan kesejahteraan mereka meningkat, karena istri bekerja. Melihat hal ini,
menurut penulis istri yang bekerja tidak selalu menjadi penyebab ketidakbahagiaan rumah
tangga, seperti yang dikatakan oleh sex roles spealization, tetapi justru menjadi salah satu
menjadi penyebab kepuasan rumah tangga karena adanya equal marital power dan
peningkatan kesejahteraan hidup.
Kehidupan rumah tangga yang dialami oleh suatu pasangan erat kaitannya dengan
pernikahan yang mereka alami. Pernikahan adalah hubungan pria dan wanita yang diakui
secara sosial, yang ditujukan untuk melegalkan hubungan seksual, melegitimasi
membesarkan anak, dan membangun pembagian peran di antara sesama pasangan ( Duvall &

Miller, 1985 dalam Sarwono & Meinarno, 2009). Dalam suatu pernikahan terdapat suatu
komitmen untuk membangun sebuah hubungan intim yang berlangsung selamanya (Baron,
dkk., 2008), oleh karena itu penting bagi pasangan suami istri untuk terus berusaha dalam
menjaga keutuhan rumah tangga mereka yang salah satunya dengan tetap menjaga kepuasan
pernikahan.
Menurut Blood (1969) kepuasan pernikahan tertinggi ada pada pernikahan dimana
diterapkan syncratic power structure dimana autoritas dibagikan dan keputusan dibuat
berdasarkan joint basis pada banyak hal (Olson & DeFrain, 2006). Semakin banyak suami
dan istri berkomunikasi dalam pembuatan keputusan, maka akan semakin sehat pernikahan
mereka dan kepercayaan pada masing-masing pasangan untuk mengalokasikan sumber daya
semakin besar. Apabila hal ini jarang dilakukan bisa terjadi perasaan alienasi pada pasangan

suami istri. Buerkle (1961, dalam Blood, 1969) juga mengatakan jika istri yang sejahtera
memiliki rasa hormat dan menghargai pendapat suami, begitu juga sebaliknya.
Kenyataannya istri yang bekerja menurut Parson (1959, dalam Schoen, dkk., 2002)
tidak sesuai dengan sex role specialization karena partisipasi istri dapat membuat terciptanya
kompetisi status yang merusak hubungan suami istri. Sex role specialization adalah role yang
diharapkan ada pada suami atau istri dalam rumah tangga. Dalam data yang diperoleh Mc
Ginnis, (1958 dalam Blood, 1969) dikatakan bahwa role utama dari istri adalah memasak
dan mengurus rumah, sedangkan suami adalah memenuhi kebutuhan finansial. Menurut

Becker, dikatakan juga bila kedua pasangan suami istri ini bekerja maka role specialization
akan berkurang, lebih lanjut ia juga mengatakan pernikahan yang stabil apabila istri
berprofesi sebagai ibu rumah tangga.
Namun, pendapat Parson dan Becker ini banyak mendapat pertentangan karena
penelitian yang mereka lakukan hanya dilakukan pada awal pernikahan dimana memang
hubungan yang terjadi cenderung lemah. Selain itu kritik pada teori sex role specialization
juga karena penghitungan gaji suami dan istri dilakukan secara sendiri-sendiri, bukan total
gaji suami ditambah istri karena semakin besar total pendapatan yang dimiliki oleh suami dan
istri, maka semakin baik pernikahannya (Moffit, 2000 dalam Schoen, dkk., 2002).
Sedangkan, menurut Oppenheimer (1994, dalam Schoen, dkk., 2002 ), sex role specialization
hanya baik untuk keluarga besar, dan tidak untuk keluarga nuclear.
Wanita bekerja dikatakan justru dapat membantu menstabilkan keadaan rumah tangga
mereka. Menurut economic opportunity hypothesis, kenaikan gaji pada istri bisa menjadi
reward yang membantu menstabilkan rumah tangga, serta meningkatkan kemandirian dari
istri (Schoen, 2002., Ball & Chernova, 2008), hal ini membuat istri bekerja justru memiliki
kesehatan emosional dan fisikal yang lebih baik, dibandingkan dengan istri yang tidak
bekerja (Doumas, dkk., 2008). Bagi suami, peningkatan pendapatan rumah tangga juga
diasosiasikan dengan kenaikan kesejahteraan karena tekanan ekonomi dalam keluarga
berkurang. Kenaikan waktu kerja pada suami dan istri juga bisa menurunkan kemungkinan
perceraian pada mereka (Doumas, dkk., 2008). Walaupun dalam hal ini, kebahagiaan

pernikahan menjadi suatu hal yang penting karena pada pasangan suami istri yang bahagia,
maka istri yang bekerja bukanlah menjadi hal yang akan merusak pernikahan, tanpa
kebahagiaan pernikahan istri yang bekerja justru dapat menjadi hal yang merusak hubungan
penikahan.

Hal positif lain, dari istri yang bekerja adalah dalam rumah tangganya cenderung terjadi
equal marital power yang menjadi salah satu faktor naiknya kepuasan pernikahan. Menurut
Scanzoni (1978, dalam Rogers & DeBoer, 2001) kontribusi istri dalam ekonomi dapat
menjadi hal fundamental dalam kebahagiaan pernikahan karena menciptakan equal marital
power yang membantu meningkatkan interaksi yang efektif antara pasangan suami istri.
Selain itu, dikatakan juga equal marital power dalam pernikahan diasosiasikan dengan
kerjasama dalam pengasuhan anak, saling berbagi ketertarikan, semakin besar munculnya
ketertarikan satu sama lain yang berkontribusi pada kebahagiaan pernikahan. Prinsip saling
berbagi, terutama, penting bagi kebahagiaan pernikahan pada wanita, dan pria yang menganut
perilaku gender role yang liberal.
Pendapat tentang istri yang bekerja akan merusak hubungan rumah tangga tidaklah
selalu benar. Walaupun dikatakan bahwa istri yang bekerja akan merusak dari sex role
specialization dan kehidupan rumah tangga akan stabil apabila istri bekerja sebagai ibu
rumah tangga, namun pendapat ini dikritik karena penelitian dilakukan hanya pada pasangan
yang baru menikah dimana kehidupan rumah tangga cenderung memiliki banyak masalah,

serta. Selain itu, pendapat ini tidak sesuai apabila diterapkan pada keluarga nuclear.
Sebaliknya, istri yang bekerja justru dapat membawa dampak positif dalam kehidupan rumah
tangga karena istri yang bekerja, apabila ia mengalami kenaikan gaji maka kesenangannya
bisa menjadi reward baginya yang justru membuat kesehatan psikologis dan fisiknya lebih
baik, dibandingkan dengan istri yang tidak bekerja. Bagi suami istri yang bekerja juga bisa
meningkatkan kesejahteraan dirinya karena tekanan ekonomi dalam keluarga juga berkurang,
dan penambahan waktu kerja pada suami dan istri juga berkolerasi dengan penurunan
kemungkinan bercerai. Hal positif lain yang terjadi saat istri bekerja adalah dalam rumah
tangga cenderung terjadi equal marital power yang merupakan salah satu faktor dalam
kepuasan pernikahan, dimana dalam equal marital power cenderung terjadi pola komunikasi
yang efektif pada pasangan suami istri dan meningkatkan prinsip saling berbagi, misalnya
dalam kerjasama pengasuhan anak, saling berbagi ketertarikan, dan saling berkontribusi. Halhal diatas menjadikan bahwa kebahagiaan pernikahan justru terjadi saat istri turut
berkontribusi di perekonomian membantu suami karena menimbulkan equal marital power,
dan kesejahteraan yang lebih baik.

Daftar Pustaka

Ball, Richard., & Chernova, Kateryna. (2008). Absolute income, relative income, and
happiness. Social Indicator Research, 88, 497-529.
Baron, Robert A., Branscombe, Nyla R., Byrne, Donn.(2008). Social psychology(12thed).

New York: Pearson International Edition.
Blood, Robert, O. Jr.(1969). Marriage (2nd.ed). Toronto: The Macmillan Company.
Doumas, Diana M., Margolin, Gayla., John, Richard S. (2008). Spillover patterns in
single-earner couples: Work, self-care, and the marital relationship. Journal Familly
Economic Issue, 29, 55-73.
http://ebahana.com/warta-1880-Resepnya-Takut-Akan-Tuhan.html, diunduh pada 15
Desember 2011
Murniati, A. Nunuk P. (2004). Getar gender. Magelang : Indonesia Tera. Diunduh dari :
http://books.google.co.id/books?id=9pweRyuenoC&pg=PA123&lpg=PA123&dq=budaya+perempuan+di+indonesia&source=bl&
ots=DBHgVLENKC&sig=9xALNubQ_StuBI8rbmOMPwwwN8&hl=id&ei=u3LpTtb0FMTlrAfO8NTDBw&sa=X&oi=book_r
esult&ct=result&resnum=3&ved=0CCsQ6AEwAg#v=onepage&q=budaya
%20perempuan%20di%20indonesia&f=false, diunduh pada 15 Desember 2011
Olson, David. H., dan DeFrain, John. (2006). Marriage and families; Intimacy, diversity,
and strengths (5th.ed). New York : McGraw Hill.
Rogers, Stacy J., & De Boer, Danelle D. (2001). Changes in wives’ income: Effect on
marital happiness, psychological well-being, and the risk. Journal of Marriage and
Familly, 63, 458.
Rogers, Stacy J., & May, Dee C. (2003). Spillover between marital quality and job
satisfaction: Long-term patterns and gender differences. Journal of Marriage and
Familly, 65, 482

Sarwono, Sarlito W.& Meinarno, Eko A. (2009). Psikologi sosial. Jakarta: Salemba
Humanika.
Schoen, Robert., Astone, Nan Marie., Rothert, Kendra., dkk. (2002). Women’s
employeement, marital happiness, and divorce. Social Forces, 82, 643